Anda di halaman 1dari 5

Gelang Persahabatan

Aku (Ariana) dan Rae (Rachell) sudah berteman sejak kecil. Kita tak terpisahkan.
Kami pun mempunyai sepasang gelang persahabatan yang selalu kami pakai setiap hari.
Gelang tersebut memiliki manik-manik berbentuk angklung. Hampir setiap hari Rae akan
berkunjung ke rumahku dan sebaliknya untuk bermain bersama. Rumah kami bersebelahan,
sehingga kami pun pergi dan pulang sekolah berbarengan. Di sekolah, kami dikenal sebagai
‘Duo Dermawan,’ karena kami sering membantu teman-teman. Namun, semuanya berubah
sejak hari itu.
“Halo Ria! Selamat pagi!” sapa Rae. “Hi Rae! Pagi juga,” balasku.
“Ehhh, kamu denger ngga cerita tentang rumah angker yang ada di dekat sekolah
kita?”
“Hah?! Rumah angker apaan?”
“Rumah yang katanya berhantu di pojokkan jalan itu lhoo. Kata anak kelas 6, benaran
ada hantunya, mereka lihat sendiri!”
“Ah, masa sih, bohong.”
“Kalau nggak percaya, ayo coba kita buktikan sendiri. Nanti sepulang sekolah kita
datang ke rumah itu.”
“Oke, ayo! Aku tidak takut,” jawabku dengan percaya diri.
Aku dari dulu tidak percaya dengan hal-hal semacam begituan. Bagiku, hantu, setan,
atau apapun itu hanyalah cerita yang dibuat untuk menakuti anak-anak supaya menurut pada
orang tua dan tidak berkeliaran di malam hari. Hari ini adalah hari yang tepat untuk
membuktikan pendapatku itu, atau setidaknya itu yang kupikir.
...
Rae sudah menungguku di depan ruang kelasku sepulang sekolah. Aku yang piket
hari itu harus membersihkan ruang kelas terlebih dahulu sebelum pulang. Di tengah
kesibukanku itu, aku tiba-tiba mendengar bisikan “jangan pergi”. Aku pun menoleh. Tidak
ada siapa-siapa di dekatku. Aku menoleh ke pintu kelasku. Rae memberi isyarat yang
menyuruh aku untuk lebih cepat. ‘Hm, aneh,’ pikirku.
Di tengah perjalanan, Rae cerita panjang lebar tentang rumah angker itu. Katanya, ada
hantu pocong di halaman belakang rumah itu, lalu ada kuntilanak di tangga, ada suara bayi
menangis, dan lain-lain. Aku suka mendengarkan cerita Rae karena ia menceritakannya
dengan penuh semangat. Rae memang tipe orang yang suka berbicara dan bercerita tentang
banyak hal, sehingga ia populer di antara teman-teman. Sedangkan aku adalah
kebalikkannya. Kita seperti teman dekat yang melengkapi satu sama lain.
Sesampainya di depan rumah angker itu, aku merasa rumah itu hanyalah seperti
rumah kosong pada umumnya. Pagar dan pintu depannya tidak tertutup, maka kami pun
masuk ke dalam rumah itu. Setelah berapa lama, aku pun mulai bosan.
“Biasa aja nih rumahnya, gaada horror horrornya. Aku pulang aja ya.”
“Shhhh.... tunggu sebentar, kamu dengar itu nggak?”
“Nggak, memangnya ada suara?”
“Sebentar, sebentar, kayaknya dari arah atas, lantai 2.”
Aku pun mencoba mendengarkan suara apa yang dimaksud Rae, namun aku tetap
tidak mendengar apa-apa.
“Itu, suara itu barusan! Baru saja kau juga dengar kan? Aku yakin ada sesuatu di atas
sana.”
“Aku dari tadi coba dengerin tapi aku nggak denger apa-apa, Rae.”
“Ayo coba kita cek ke lantai dua.”
“Bahaya. Ini rumah sudah lama tidak ditinggali, bisa jadi, rapuh kayunya. Selain itu,
langit sudah mulai gelap.”
“Ayolah... sebentar aja kita cek, kalau gaada apa-apa kita langsung kembali. Atau
jangan-jangan, kamu takut ya, Ria?”
“Ih, aku nggak takut, tau.”
Kami pun melangkah dengan hati-hati menuju lantai dua. Bau jamur menyengat
hidung. Lantai dan dinding yang berdebu menandakan tidak ada tanda-tanda kehidupan yang
mendiami rumah ini setelah sekian lama. Rae bergerak ke sisi kiri seakan-akan sudah
mengetahui sumber bunyinya. Aku pun mengikutinya dari belakang. Ia membuka pintu
paling pojok.
Di dalam hanyalah ruangan kosong dengan satu set angklung di tengah. Aku pun
berpikir bahwa bunyi yang didengar Rae berasal dari angklung yang tertiup angin. Rae
melangkah masuk. ‘Hei,’ bisikku, memegang tangannya, mencegahnya masuk. “Mungkin
bunyinya berasal dari angklung yang tertiup angin, sudahlah, ayo kita pulang saja,” kataku.
Namun Rae hanya terdiam. Pandangannya terfokus pada angklung tersebut. Aku merasa ada
yang aneh.
Tiba-tiba angklung itu bergoyang sendiri, memainkan nada-nada. Aku merinding. Rae
berjalan masuk ke dalam ruangan. Aku menarik tangannya, akan tetapi ia terus melangkah,
langkah kakinya seirama dengan ketukan nada-nada tersebut. “Rae! Sadar, Rae!” Tanganku
bergetar. Aku mencoba menarik Rae, namun tidak berhasil. “Aduh!” aku merasa ada yang
mendorongku dari belakang hingga aku terjatuh ke dalam ruangan. “Duar!” pintu di
belakangku pun tertutup dengan kencang.
Aku berdiri, dan melihat ke arah Rae. Ia hanya berdiri mematung di depan angklung
itu. Aku pun mencoba mendengarkan nada-nada yang dimainkan angklung itu, ‘sol do, do
do, re mi mi mi do, fa mi, re si do re do,’ Lho, ini kan nada-nada lagu ‘Naik-Naik ke Puncak
Gunung.’ Dengan hati-hati, aku berjalan mendekati angklung tersebut. Angklungnya
berhenti. Rae tetap saja tidak beranjak dari tempatnya. Entah kenapa aku merasa aku harus
memainkan nada-nada tadi pada angklung itu. Kumainkan angklung tersebut, ‘sol do, do do,
re mi mi mi do, fa mi, re si do re do.’ Sunyi. Aku merinding. Sejenak terasa seperti waktu
berhenti.
“Akhhh!!!” Aku menoleh ke Rae yang berteriak. Ia menunjuk ke arah belakangku.
Aku melihat ada tulisan melayang di atas angklung tersebut. “Di masa depan, salah satu dari
kamu akan jatuh miskin. Bantulah sebelum semuanya terlambat.” Begitulah tulisannya. Aku
dan Rae ketakutan dan kebingungan. Pintu terbuka dan kami pun lari meninggalkan rumah
angker itu.
Malamnya, aku tidak bisa tidur memikirkan kata-kata tadi itu. “Bantulah sebelum
semuanya terlambat,” maksudnya sebelum terlambat itu bagaimana ya? Siapa yang akan
jatuh miskin? Kapan tepatnya itu akan terjadi di masa depan? Pertanyaan-pertanyaan muncul
di kepalaku, namun aku tak menemukan jawabannya.
...
Keesokan harinya, aku dan Rae pergi ke sekolah seperti biasa. Tetapi, aku merasa ada
yang janggal dari Rae. Hal itu terbukti saat kita berdua sampai di sekolah. Ada teman yang
ingin meminjam uang dari Rae, namun Rae menolak. Sehingga, aku yang meminjamkan
uang tersebut pada anak itu. Rae pun terlihat lebih pendiam dan murung.
“Hei, Rae. Kamu gapapa kan?” tanyaku.
“Iya, aku gapapa kok.” balasnya.
“Beneran? Kamu kok kelihatan tidak bersemangat?”
“Aku benaran nggak apa-apa kok, Ria.” Rae tersenyum, namun hal itu terlihat
dipaksakan. Ia pun terlihat tidak nyaman dan terus memegangi gelang persahabatan yang
dipunyainya itu.
“Kalau ada apa-apa, cerita ke aku ya?”
“Iya.”
Bel berbunyi, tanda berakhirnya waktu istirahat. Kami kembali ke kelas masing-
masing. Di kelas, aku mendengar teman-teman yang duduk di belakangku berbisik tentang
sesuatu.
“Tadi aku lihat, Rae, yang dari kelas 5A, nggak mau minjemin uang ke Budi.”
“Hah?!”
“Shhhh..... jangan keras-keras, nanti kedengaran Ria.”
“Eh tapi lho, masa bener? Kan Rae dan Ria terkenal dermawan banget.”
“Iya bener kok, trus.... Tadi dia juga nggak mau meminjamkan pulpen ke Lily.”
“Hm, ada apa ya?”
Rupanya memang ada yang berbeda dari Rae hari ini. Tapi aku tidak sepenuhnya
percaya pada perkataan mereka. Aku ingin menyelidiki sendiri. Aku pura-pura ijin ke toilet,
namun sebenarnya aku mengintip ke kelas Rae. Tak kusangka, Rae sedang marah-marah di
kelas, ini pertama kalinya aku melihat Rae marah besar. Teman-teman kelas pun sangat ribut.
Guru-guru pun berdatangan ke kelas Rae, maka aku kembali ke kelasku. Kira-kira apa yang
terjadi ya? Sepulang sekolah, Rae tidak berkata apa-apa. Kita hanya berjalan dalam diam
menuju rumah masing-masing. Rae pasti sudah menduga bahwa aku tau sesuatu. Aku merasa
gelisah.
Semakin hari, aku merasa kami semakin jauh. Kami tetap pergi dan pulang sekolah
bersama, namun, kami jarang bertemu selain itu. Kelas kami pun beda, sehingga kami
semakin jarang berbicara satu sama lain. Aku mulai sering mendengar rumor-rumor di
kelasku bahwa Rae itu sebenarnya pelit, namun ia hanya pura-pura baik. Masa-masa ujian
pun semakin mendekat, sehingga kami lebih fokus pada belajar saja.
Suatu hari, aku melihat Rae menangis sendirian di toilet. Aku mendekatinya dan
mencoba menenangkannya. Ia terlihat sangat sedih.
“Ria, kamu- masih ingat-, kan, dengan pesan yang- kita lihat di rumah angker, itu?”
tanya Rae dengan terbata-bata karena masih menangis.
“Iya, kenapa dengan pesan itu?”
“Salah-, satu-, dari kita akan jatuh-, miskin.”
“Itu bisa saja bohong, Rae. Jangan terlalu percaya takhayul.”
“Nggak! Pokoknya nggak! Aku-! Gamau jadi miskin! Tidak ada yang mengerti aku!
Aku mau berhemat! Aku gamau minjemin uang ataupun apa-apa lagi ke teman-teman! Pergi
sana, Ria!” Teriak Rae sambil melepas gelang persahabatan dan melemparnya ke tanah.
“Sebentar Rae-”
“PERGI!!!”
Aku kaget. Perasaanku bercampur aduk. Antara marah dan sedih menjadi satu. Aku
pun pergi meninggalkan Rae. Mulai saat itu, kami pun semakin jarang berbicara, aku dan Rae
pergi dan pulang sekolah sendiri-sendiri. Rae pun tak pernah memakai gelang persahabatan
itu lagi. Orangtuaku mulai bertanya-tanya mengapa aku jarang main ke rumah Rae lagi. Aku
hanya menjawab asal bahwa kita berdua fokus pada ujian.
Saat lulus SD, keluargaku harus pindah ke kota lain, sehingga aku pun ikut pindah.
Aku sedikit khawatir dengan Rae, namun aku berpikir bahwa ia lama-lama akan menyadari
bahwa takhayul itu tidak nyata. Aku tetap menyimpan nomor-nomor teman-temanku
sehingga kami masih bisa saling menghubungi. Teman-teman SDku berkata bahwa Rae tidak
berubah dan ia masih saja pelit seperti dulu.
...
Puluhan tahun pun berselang, dan aku sudah hampir melupakan kejadian rumah
angker dan Rae. Tiba-tiba, ada notifikasi dari HP ku, yaitu dari salah seorang teman SD. Ia
mengajak melakukan reuni SD. Aku pun diundang ke grup reuni itu. Isi pesan dalam grup
tersebut kebanyakan hanyalah saling sapa dan menanyakan kabar satu sama lain. Namun ada
satu pesan yang menarik perhatianku. Budi, teman SD, berkata bahwa Rae jatuh miskin. Rae
kabarnya ditipu orang dan semua uangnya diambil.
Aku pun sangat terkejut. Seketika aku mendengar bunyi angklung lagi. Aku sedang
berada di dalam rumahku, tidak ada angklung di rumahku. Dari manakah suara itu? Seketika
aku ingat tentang gelang persahabatanku dan kejadian di rumah angker bersama Rae. Aku
langsung menanyakan kepada Budi dimana Rae tinggal sekarang. Ia berkata bahwa Rae
masih tinggal di kota tempat SD kita dulu. Tanpa pikir panjang aku pun pergi mendatangi
kota itu. Tak kusangka aku akan kembali lagi ke tempat ini. Aku pergi ke rumah Rae.
Ingatanku tentang kejadian-kejadian yang berlangsung dulu kembali satu per satu.
Aku menyesal meninggalkan Rae sendirian saat ia menangis waktu itu. Seharusnya aku tidak
pergi begitu saja. Kukumpulkan keberanianku untuk menekan bel rumah itu. Dari luar,
kulihat ada seorang wanita di dalam rumah tersebut. Ia berjalan membukakan pintu untukku.
Di tangannya kulihat sebuah gelang yang tak asing.
“Rae?” kataku, melihat gelang persahabatan itu. Aku hampir tidak mengenalinya, Rae
terlihat sangat murung dan sedih.
“Ria?”
“Rae, kamu memakai gelang persahabatan itu?”
“Ria, maafkan aku, aku terus berharap kamu kembali. Aku tidak bisa lepas dari masa
lalu, sejak hari itu, aku terus memikirkan kamu,”
“Maaf. Maafkan aku, Rae. Maaf aku meninggalkanmu sendirian.”
“Aku juga minta maaf, Ria. Aku sangat egois.”
“Ayo kita saling membantu. Aku tidak akan meninggalkanmu lagi.”
“Baiklah, aku juga berjanji bahwa aku tidak akan menjadi pelit lagi.”
Sejak saat itu, aku dan Rae kembali berteman seperti dulu lagi. Kami pun saling
membantu ketika ada masalah. Rae sekarang sudah menjadi orang sukses yang menginspirasi
banyak orang dengan cerita kehidupannya.

Anda mungkin juga menyukai