Anda di halaman 1dari 3

Hayy bin Yaqzhon dan Inspirasi Akal (3)

Beberapa pelajaran yang dapat diambil dari kisah Hayy bin Yaqzhon. Yakni dari awal, kita sudah
disuguhkan kisah imajinasi yang yang menginspirasi kisah-kisah terkenal sekarang seperti Robinson
Crueso dan Tarzan di dunia modern.

Kisah perjalanan survival seorang anak manusia di sebuah pulau terpencil dengan hanya mengandalkan
pikirannya dan bahkan mencapai pencerahan batin dengan kekuatannya sendiri. Kisah ini benar-benar
menantang semua kepercayaan bahwa ilmu dan pengetahuan tidaklah bisa diraih hanya dengan
mengandalkan diri sendiri. Ilmu dan pengetahuan didapatkan secara turun temurun, dari kepercayaan
dan pengajaran nenek moyang. Kita mengenal tradisi, cara berpikir, tata krama dan tindak tanduk
berdasarkan apa yang kita lihat dari bapak dan ibu kita. Orang tua kita pun belajar itu dari orang tua
mereka, kakek, nenek dan terus seperti itu hingga ke masa leluhur kita. Semua pelajaran dan
kebijaksanaan diturunkan kepada anak-anak dan diajarkan di sekolah-sekolah. Setidaknya itulah yang
kita percayai.

Namun Hayy bin Yaqzhon. Adalah sebuah anomaly dalam imajinasi. Fantasi yang membuat kita berpikir
bahwa sebenarnya semua pikiran bisa bermain dan berhura-hura tanpa adanya guru atau apapun yang
memicu pikiran untuk berkembang. Sebab antara otak (materi) dan pikiran (inmateri) berproses dengan
melihat suasana alam sekitar. Bahkan manusia yang paling primitif sekalipun terpaksa belajar bertahan
hidup dengan sebisanya meniru alam. Kepercayaan sejatinya muncul karena pikiran merespon kejadian-
kejadian yang luar biasa dari alam semesta. Karena alam semesta ini sejatinya terhubung dengan
sesuatu yang Maha Hidup. Karena itu, pikiran juga akan terhubung pada tali yang tak terlihat untuk
mencapai sesuatu yang Maha Ghaib itu.

Sebenarnya kendala yang dihadapi oleh Hayy adalah masalah bahasa. Ia mengerti bahwa ini adalah
daun, kayu, ranting, pohon, kera, rusa dan lain sebagainya. Tapi bagaimana ia bisa menerjemahkan
pikirannya menjadi semua nama adalah hal yang misterius. Penulisnya, Ibnu Thufail, bahkan tidak
memberi jawaban bagaimana proses berpikir Hayy yang tanpa nama itu berlangsung. Apakah Hayy
menciptakan sendiri nama-nama itu, apakah dia bermain dahulu dengan alam kata-kata. Bagaimana bisa
Hayy bisa berpikir dengan sangat dalam, padahal untuk menghitung “satu”, “dua” dan “tiga” saja ia
harus bisa menggambar satu bahasa yang menarik dalam ingatannya. Kemudian Hayy juga bisa
membedakan dan mengkalasifikasi antara tumbuhan, hewan dan benda-benda langit dan menemukan
bahwa dibalik itu ada jiwa dan satu entitas yang meliputinya. Keadaan jiwa Hayy itulah yang masih
menjadi misteri. Mengapa Hayy dapat menemukan sendiri nama-nama yang ia tandai sendiri dalam
ingatannya dan merumuskannya dalam dialog dengan dirinya sendiri, padahal ia sama sekali tidak
pernah mendengar siapapun berbicara sebelumnya.

Masalah ini terpecahkan dengan melihat Wahyu. “Wa allama Adamal asma’a kullaha”. Sang Tuhan yang
Maha Hidup. Sang Wajibul wujud. Mengajarkan pada Adam, manusia pertama tentang satu ilmu
Bernama “ilmu nama-nama”. Adam tahu bahwa Matahari adalah Matahari, bulan adalah bulan, gunung
adalah gunung dengan sekian macam ciri-ciri, sifat-sifat, perilaku, kondisi dan lain sebagainya sehingga
Adam Bersama ilmu yang dimilikinya senantiasa lengket dan menjadi abadi dalam DNA diri dan
keturunannya. Setiap manusia yang lahir, pasti akan mempertanyakan nama-nama itu. Jika ia tidak
dapat menjawabnya, maka dibuatlah nama itu sendiri. Orang Indonesia menamakannya Gunung,
sedangkan orang Inggris menamakannya Mountain. Manusia adalah “Inventor” dari nama-nama itu
sendiri, karena Tuhan mengajarkan Adam. Memasukkan DNA “nama-nama” ke dalam sel-sel otaknya
sehingga bagaikan algoritma yang terus menerus berkembang. Adam mengembangkan sendiri nama-
nama versinya sendiri dan dan kemudian diajarkan kepada keturunannya.

Hayy bin Yaqzhon dan Inspirasi Akal (4)

Apa akhirnya, Hayy bin Yaqzhon dan temannya Absal adalah contoh orang-orang yang berpikir. Yang
pertama berpikir tentang alam dan pada akhirnya menyimpulkan tentang kehadiran Tuhan dan yang
Kedua belajar tentang Tuhan dari guru dan berkembang seiring dengan rasa dan pengalaman yang
matang.

Hayy layaknya Nabi Ibrahim yang melihat benda-benda langit seraya mencari Tuhan, sebelum sampai
pada tahap ketauhidan. Berpikir adalah cara yang paling murni bagi manusia untuk menemukan Tuhan.
Berpikir adalah cara untuk terbebas dari penjajahan informasi. Hayy adalah contoh kedaulatan pikiran
bagi manusia, berdaulat dengan akalnya, mantap dengan sikap dan pencariannya, serta benar dengan
kesimpulannya. Namun, apakah Hayy bin Yaqzhon cukup puas hanya dengan pikirannya sendiri?

Ternyata tidak, ia butuh orang lain, ia butuh guru yang mengajarinya seperti apa persisnya Tuhan itu.
Manusia adalah makhluk sosial, ia tidak bisa sendirian. Hayy yang seolah mencari kebenaran, padahal
sebenarnya ia hanya mencari teman untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan.

Karena itu, pada pertama kali dalam kehidupan Hayy bin Yaqzhon, bukan lagi otaknya yang bermain,
namun perasaan yang bekerja. Karena sejatinya segala macam keinginan seperti kepuasan adalah kerja
perasaan. Kerja hati dibandingkan akal pikiran. Dan perasaan tidak dapat terasah dengan maksimal
kecuali dengan cara berguru. Persis seperti kita belajar bagaimana bertata krama.

Kita perlu diberitahu oleh orang tua, sanak kerabat, guru dan lingkungan sekitar, bagaimana caranya
menjadi orang yang beradab, sopan, dan tahu adat. Dengan itu pula kita mengetahui apa yang membuat
orang suka dan tidak suka pada kita.

Itulah peran bagi Absal. Guru spiritual yang mengajari Hayy tidak hanya bahasa, namun juga rasa.
Perasaan yang akan mengantarkan Hayy menuju Tuhannya, Tatacara ibadah kepadaNya, dan bahkan
bagaimana cara bergaul dengan kaumnya. Absal belajar sisi spiritual bukan berasal dari pikiran semata,
ia belajar dari gurunya, ia belajar dari kitab-kitab. Ia membaca lingkungan dan alam, berdasarkan
informasi eksternal. Pikiran Iblam bertumbuh seiring tumbuhnya informasi yang masuk ke dalam dirinya.
Mereka berdua sejatinya berpasangan dan tidak dapat terpisahkan. Bersama mereka dapat menemukan
Tuhan dalam diri dan alam. Dengan menggabungkan hati dan pikiran. Memaksimalkan anugerah Tuhan
pada diri mereka masing-masing.

Anda mungkin juga menyukai