Anda di halaman 1dari 9

TUGAS HUKUM ACARA PIDANA

Nama : Made Bellysky Mahardika


Nim : 010001800278
UPAYA HUKUM PIDANA
1. UPAYA HUKUM PRAPERADILAN
Praperadilan merupakan salah satu lembaga dalam hukum pidana Indonesia, secara formil
diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP. Dalam praktik digunakan oleh pihak-
pihak/institusi yang mengajukan upaya atas ketidakpuasan penerapan hukum atau
tindakan/keputusan aparat hukum yang dianggap telah menciderai rasa keadilan dan
kepentingan mereka. Berdasarkan ketentuan Pasal 78 Ayat (1) dan (2) KUHAP praperadilan
merupakan wewenang pengadilan negeri dan praperadilan tersebut dipimpin oleh hakim
tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera.
Adapun kewenangan pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus perkara praperadilan
dimaksud adalah sebagai berikut:
1.   sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan;
2.   ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan
pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
terhadap permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau tentang
sah atau tidaknya penahanan hanya diajukan oleh tersangka, keluarga, atau kuasanya kepada
ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasanya sedangkan hak untuk mengajukan
permintaan untuk dapat diperiksanya sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau
sah atau tidaknya penghentian penuntutan adalah penyidik atau penuntut umum atau pihak
ketiga yang berkepentingan dengan menyebutkan pula alasannya.
Selain dari pihak-pihak dan perihal yang menjadi dasar praperadilan diatas dapat pula
diajukan ganti kerugian dan rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan
atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan hal dimaksud dapat diajukan oleh
tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan
menyebutkan alasanya. Ketentuan mengenai ganti kerugian dan rehabilitasi lebih lanjut diatur
dalam Pasal 95 sampai dengan Pasal 101 KUHAP.
Atas putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud Pasal 79, dan Pasal 81 KUHAP
tidak dapat dimintakan banding, terkecuali putusan praperadilan yang menetapkan tidak
sahnya penghentian penyidikan atau tidak sahnya penghentian penuntutan. Putusan banding
terhadap pemeriksaan keberatan atas putusan praperadilan pada tingkat pertama yang
diajukan  penyidik atau penuntut umum atau tersangka, keluarga termasuk kuasanya
merupakan putusan akhir (pihak-pihak dimaksud dalam uraian di atas yang dapat
mengajukan banding tidak secara eksplisit disebutkan dalam ketentuan KUHAP. Namun
demikian, dapat disimpulkan melalui suatu analisa bahwasanya kepentingan siapa yang
terganggu atas putusan praperadilan tersebut atau dapat pula diserap suatu ketentuan dari
pasal-pasal sebelumnya dalam undang-undang ini).
2. UPAYA HUKUM BIASA
a. Banding (Pasal 67 KUHAP)
Terhadap diri terdakwa atau penuntut umum, KUHAP memberikan hak kepada mereka untuk
mengajukan upaya banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap
putusan bebas murni/vrijpraak (bebas dari segala dakwaan), bebas tidak murni/onslag van
alle rechtvervollging atau lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah
kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat (putusan tindak
pidana ringan dan perkara pelanggaran lalu-lintas).
b. Kasasi (Pasal 244 KUHAP)
Terhadap putusan pidana yang diberikan pada tingkat terakhir  oleh pengadilan lain selain
daripada Mahkamah Agung (Red: pengadilan negeri dan pengadilan tinggi), terdakwa
ataupun penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada
Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas murni/vrijpraak.
Selanjutnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 253 KUHAP pemeriksaan dalam tingkat
kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 244 dan Pasal 248 KUHAP guna menentukan:
1)     apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana
mestinya;
2)     apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang;
3)     apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya;
maka oleh karena itu dalam tingkat kasasi kepada pihak yang mengajukan upaya hukum,
undang-undang ini mewajibkan adanya memori kasasi dalam permohonannya, dan dengan
alasan yang diuraikan dalam memori tersebut Mahkamah Agung menerima, memeriksa dan
memutus perkara yang diajukan dan dengan sendirinya tanpa memori kasasi permohonan
tersebut menjadi gugur.
3. UPAYA HUKUM LUAR BIASA
a. Pemeriksan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum (Pasal 259 KUHAP)
Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap dari pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung dapat diajukan 1 (satu) kali
permohonan oleh Jaksa Agung dan putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh
merugikan pihak yang berkepentingan.
b. Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang telah Mempunyai Kekuatan Hukum
Tetap (Pasal 263 KUHAP)
Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan
bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan
permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
Permintaan peninjauan kembali diajukan bersamaan dengan memori peninjauan kembali dan
berdasarkan alasan dari pemohon tersebut Mahkamah Agung mengadili hanya dengan alasan
yang telah ditentukan oleh KUHAP sebagai berikut:
1)     Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu
sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas
atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat
diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
2)     Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan
tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu,
ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
3)     Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu
kekeliruan yang nyata;
selanjutnya, atas dasar alasan yang sama sebagaimana disebutkan dalam poin 1, 2 dan 3 di
atas (Pasal 263 Ayat [2] KUHAP) maka terhadap suatu putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila
dalam putusan itu secara jelas memperlihatkan bahwa dakwaan telah terbukti akan tetapi
pemidanaan tidak dijatuhkan.
Dalam hal permintaan peninjauan kembali tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tersebut
pada Pasal 263 Ayat (2) KUHAP, maka Mahkamah Agung menyatakan bahwa permintaan
peninjauan kembali tidak dapat diterima dengan disertai dasar alasannya. Pernyataan tidak
dapat diterima tersebut tidak terkait dengan substansi/materiil pemeriksaan peninjauan
kembali namun lebih kepada alasan formil yang tidak terpenuhi sehingga terhadapnya dapat
diajukan kembali.
Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permintaan peninjauan kembali tersebut
memenuhi persyaratan dan alasan peninjauan kembali telah sesuai dengan ketentuan KUHAP
maka Mahkamah Agung akan memeriksa permohonan itu dan membuat putusan sebagai
berikut:
1)     Apabila alasan pemohon tidak benar atau tidak terbukti, Mahkamah Agung menolak
permintaan peninjauan kembali dengan menetapkan bahwa putusan yang dimintakan
peninjauan kembali itu tetap berlaku disertai dengan dasar pertimbangnnya;
2)     Apabila alasan pemohon benar atau terbukti, maka Mahkamah Agung membatalkan
putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu dan menjatuhkan putusan yang alternatifnya
sebagai berikut:
a)     putusan bebas;
b)     putusan lepas dari segala tuntutan;
c)     putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum;
d)     putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
Dalam hal Mahakamah Agung menjatuhkan pidana terhadap permintaan peninjauan kembali
itu maka dengan alasan apapun pidana yang dijatuhkan tidak boleh  melebihi pidana yang
telah dijatuhkan dalam putusan semula.
Istilah saksi mahkota memang tidak ditemui dalam peraturan perundang-undangan yang
mengatur hukum acara pidana di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”). Walaupun demikian istilah saksi mahkota sering
ditemui pada praktik Hukum Acara Pidana.

Definisi Saksi
Istilah saksi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP diartikan:

Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri
dan ia alami sendiri.
Namun kemudian, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010
tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(“Putusan MK 65/PUU-VIII/2010”) makna saksi telah diperluas menjadi sebagai berikut:

Menyatakan Pasal 1 angka 26 dan angka 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4), serta
Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang pengertian saksi dalam Pasal 1 angka
26 dan angka 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4), serta Pasal 184 ayat (1) huruf a
KUHAP, tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam
rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.

Definisi Saksi Mahkota


Perlu diketahui bahwa saksi mahkota memiliki perbedaan dengan saksi dalam definisi di atas.
Mengenai definisi saksi mahkota sendiri, kami mengutip alasan pemohon kasasi (kejaksaan)
dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2437 K/Pid.Sus/2011 yang menyebutkan bahwa:

Walaupun tidak diberikan suatu definisi otentik dalam KUHAP mengenai Saksi mahkota
(kroongetuide), namun berdasarkan perspektif empirik maka Saksi mahkota didefinisikan
sebagai Saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang tersangka atau Terdakwa lainnya
yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal mana kepada Saksi tersebut
diberikan mahkota. Adapun mahkota yang diberikan kepada Saksi yang berstatus Terdakwa
tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya
suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke Pengadilan atau
dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan. Menurut Prof. Dr. Loebby Loqman, S.H.,
M.H., dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Saksi mahkota adalah kesaksian sesama
Terdakwa, yang biasanya terjadi dalam peristiwa penyertaan.

Selain itu, dalam Surat Edaran Kejaksaan Agung Nomor B-69/E/02/1997 Tahun 1997 tentang
Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana (“SE Kejagung B-69/1997”) juga dijelaskan
mengenai saksi mahkota sebagai berikut:

Dalam KUHAP tidak terdapat istilah saksi mahkota, namun sejak sebelum berlakunya
KUHAP, istilah saksi mahkota sudah dikenal dan lazim diajukan sebagai alat bukti, namun
dalam Berita Acara Pemeriksaan istilah tersebut tidak pernah dicantumkan.
Dalam Praktek, saksi mahkota digunakan dalam hal terjadi penyertaan (deelneming), dimana
terdakwa yang satu dijadikan saksi terhadap terdakwa lainnya oleh karena alat bukti yang lain
tidak ada atau sangat minim.
Dengan pertimbangan bahwa dalam status sebagai terdakwa, keterangannya, hanya berlaku
untuk dirinya sendiri sesuai ketentuan pasal 189 (3) KUHP, oleh karena itu dengan
berpedoman pada pasal 142 KUHP, maka berkas perkara harus diadakan pemisahan
(splitsing), agar para terdakwa dapat disidangkan terpisah, sehingga terdakwa yang satu dapat
menjadi saksi terhadap terdakwa lainnya. Bahwa Yurisprudensi yang diikuti selama ini
mengakui saksi Mahkota sebagai alat bukti. Sebagai contoh, misalnya Putusan Mahkamah
Agung Nomor 1986 K/Pid/1989 tanggal 2 Maret 1990, menyatakan bahwa Jaksa Penuntut
Umum diperbolehkan oleh undang-undang mengajukan teman terdakwa yang ikut serta
melakukan perbuatan pidana tersebut sebagai saksi dipersidangan Pengadilan Negeri, dengan
syarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa, tidak termasuk dalam berkas
perkara yang diberikan kesaksian (Gesplits).
Satu-satunya putusan Pengadilan yang menolak saksi Mahkota sebagai alat bukti adalah
Putusan Mahkamah Agung dalam kasus pembunuhan MARSINAH, yang menyatakan “saksi
Mahkota bertentangan dengan hukum" (Putusan Mahkamah Agung Nomor 1174 K/Pid/1994,
381 K/Pid/1994, 1592 K/Pid 1994 dan 1706 K/Pid/1994).

Untuk mengantisipasi kemungkinan adanya hakim yang menjadikan Putusan Mahkamah


Agung dalam perkara pembunuhan terhadap Marsinah tersebut sebagai dasar putusannya,
maka dalam menggunakan saksi mahkota, supaya sedapat mungkin diupayakan juga
tambahan alat bukti lain.

Saksi Mahkota dalam Praktik


Dalam praktiknya, pengajuan saksi mahkota dalam persidangan bukan hal yang baru.
Misalnya, dalam kasus Bank Bali, mantan Gubernur Bank Indonesia, Syahril Sabirin pernah
dijadikan saksi mahkota (lebih jauh simak artikel Syahril Sabirin Jadi Saksi Mahkota).Dalam
kasus yang menjerat mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Antasari Azhar, saksi
mahkota juga dihadirkan dalam persidangan (lebih jauh simak artikel Antasari Azhar dan
Wiliardi Tuding Ada Konspirasi dan Jaksa Diminta Siapkan Tuntutan untuk Antasari).

Akan tetapi penggunaan saksi mahkota ini juga mendapat pertentangan dari beberapa
kalangan, salah satunya datang dari mantan Hakim Agung RI, Adi Andojo Soetjipto dalam
bukunya “Menyongsong dan Tunaikan Tugas Negara Sampai Akhir: Sebuah Memoar” (hal.
167) menyatakan bahwa cara pembuktian dengan menggunakan saksi mahkota
(kroongetuige) tidaklah dibenarkan dan dilarang menurut Ilmu Pengetahuan Hukum.

Mengenai penggunaan saksi mahkota ini juga ditemui dalam Yurisprudensi Mahkamah
Agung Nomor 1174 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 jo. Nomor 1592 K/Pid/1994 tanggal 3
Mei 1995 yang menyatakan bahwa pemeriksaan terhadap saksi mahkota sebaiknya tidak
dilakukan karena hal itu bertentangan dengan hukum acara pidana yang menjunjung tinggi
prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Menjawab pertanyaan Anda, sebagai kesimpulan, saksi mahkota adalah istilah untuk
tersangka/terdakwa yang dijadikan saksi untuk tersangka/terdakwa lain yang bersama-sama
melakukan suatu perbuatan pidana. Walaupun tidak diatur secara tegas dalam KUHAP, tapi
dalam praktiknya memang sering dijumpai adanya saksi mahkota untuk pembuktian pada
perkara pidana.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
Surat Edaran Kejaksaan Agung Nomor B-69/E/02/1997 Tahun 1997 tentang Hukum
Pembuktian Dalam Perkara Pidana

Putusan:
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1174 K/Pid/1994;
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1592 K/Pid/1994;
Putusan Mahkamah Agung Nomor 2437 K/Pid.Sus/2011;
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Pengertian Saksi Verbalisan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, verbalisan berarti orang (penyidik) yang melakukan
proses verbal (penyidikan). Pada dasarnya, ketentuan mengenai saksi verbalisan ini belum
diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP) maupun
peraturan perundang-undangan lainnya di Indonesia. Namun, penggunaan saksi verbalisan ini
banyak ditemui dalam ranah praktik hukum acara pidana.
Dari sisi hukum acara pidana, yang dimaksud dengan saksi verbalisan atau disebut juga
dengan saksi penyidik adalah seorang penyidik yang kemudian menjadi saksi atas suatu
perkara pidana karena terdakwa menyatakan bahwa Berita Acara Pemeriksaan (“BAP”) telah
dibuat di bawah tekanan atau paksaan. Dengan kata lain, terdakwa membantah kebenaran
dari BAP yang dibuat oleh penyidik yang bersangkutan. Sehingga, untuk menjawab bantahan
terdakwa, penuntut umum dapat menghadirkan saksi verbalisan ini.
Latar belakang dari munculnya saksi verbalisan ini adalah adanya ketentuan Pasal 163
KUHAP yang menentukan:
“Jika keterangan saksi di sidang berbeda dengan keterangannya yang terdapat dalam berita
acara, hakim ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta minta keterangan
mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan sidang.”
Oleh karena itulah, kemudian keberadaan saksi verbalisan ini sering ditemui dalam
persidangan. Karena terdakwa kerap mengaku terpaksa mengakui tuduhan karena ditekan
atau disiksa penyidik. Akan tetapi, setiap kali terdakwa menjadikan alasan penekanan dan
penyiksaan itu untuk mencabut BAP, penyidik umumnya membantah. Dapat dikatakan, saksi
verbalisan nyaris tak pernah mengakui perbuatannya. Lebih jauh, simak artikel Saksi
Verbalisan Tidak Mungkin Mengaku.
Jadi, seperti yang telah diuraikan di atas, saksi verbalisan adalah saksi penyidik yang
berfungsi untuk menguji bantahan terdakwa atas kebenaran BAP. Dan dasar dari adanya
saksi verbalisan ini belum diatur dalam peraturan perundang-undangan yang ada, namun
banyak ditemui dalam praktik.

Kesaksian Berantai
Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengatur bahwa:
“hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Ketentuan tersebut menjadi hal penting dalam sistem pembuktian yang berdasarkan acuan
“terbukti secara sah dan meyakinkan” (beyond a reasonable doubt).
Alat bukti menjadi dasar bagi hakim dalam memutuskan suatu perkara, karena dengan alat
bukti hakim dapat mengungkap dan menemukan kebenaran materil (kebenaran sejati),
sebagaimana tujuan dari hukum pidana itu sendiri. Hukum acara pidana bertujuan untuk
mencari, mendapatkan, atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran
yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum
acara pidana yang jujur dan tepat.
Pasal 184 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia mengatur 5 (lima) jenis alat
bukti yang sah, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan
terdakwa. Artinya, hakim akan menjatuhkan pidana kepada seseorang jika sekurang-
kurangnya 2 (dua) dari 5 (lima) alat bukti tersebut membuat hakim berkeyakinan bahwa
benar terjadi tindak pidana dan terdakwa adalah pelakunya. Jika hakim memiliki keraguan
maka harus juga berdasarkan keraguan yang beralasan (reasonable doubt).
Pada Pasal 185 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana juga diatur bahwa
keterangan 1 (satu) orang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa
bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Namun, ketentuan tersebut
menjadi tidak berlaku, apabila disertai ada alat bukti yang sah lainnya. Hal ini dikenal dengan
istilah unus testis nullus testis.
Ketentuan-ketentuan tersebut diatur sedemikian tentunya supaya tercapai keadilan dalam
pemeriksaan perkara, dimana hakim tidak menjatuhkan pidana kepada orang yang tidak
bersalah.
Banyak pihak yang memandang bahwa jika demikian ketentuannya, maka akan banyak
pelaku tindak pidana yang tidak dapat dijatuhi hukuman dengan alasan tidak ada alat bukti
yang sah atau tidak ada seorang pun saksi yang melihat pelaku melakukan tindak pidana
tersebut. Untuk perkara-perkara yang demikian, hakim dapat menggunakan ketentuan Pasal
185 ayat 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Pasal 185 ayat 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, mengatur:
“Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau
keadaandapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada
hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya
suatu kejadian atau keadaan tertentu”.
Ketentuan ini sering disebut dengan saksi berantai (kettingbewijs),yaitu beberapa orang saksi
memberikan keterangan tentang suatu kejadian, namun keterangan tersebut berhubungan satu
sama lain, sehingga dianggap sah sebagai alat bukti.
Dengan adanya ketentuan ini, maka sesungguhnya tidak ada juga kelonggaran atau
kesempatan bagi seorang pelaku tindak pidana meskipun tidak ada saksi yang melihatnya
secara langsung atau hanya ada 1 (satu) saksi saja tanpa alat bukti yang sah lainnya, atau
dengan alasan tidak cukup alat bukti.

Anda mungkin juga menyukai