Anda di halaman 1dari 4

Nama : Made Bellisky Mahardka

NIM :010001800197
Dosen :Ninuk Wijiningsih.S.H,M.H

TUGAS HUKUM KONSTITUSI

 Putusan MK Nomor 008/PUU-II/2004

1. Bagian dari konstitusi (UUD NRI 1945) yang dilakukan perubahan


berdasarkan putusan
Menimbang bahwa Para Pemohon yaitu Pemohon I dan Pemohon II
mengajukan Permohonan Pengujian Pasal 6 Undang-undang Nomor 23 Tahun
2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang pada
pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:Adapun dasar-dasar/alasan-
alasan diajukannya permohonan ini adalah sebagai berikut:
a) Bahwa dalam Pasal 24C ayat (1) perubahan ketiga Undang-Undang
Dasar 1945 berbunyi: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar“
b) Bahwa permohonan pengujian Pasal 6 Undang-undang Nomor 23
Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
yang diundangkan pada tanggal 31 Juli 2003, didasarkan pada: Pasal
10 ayat (1) huruf a dan Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
c) Bahwa Pasal 50 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, berbunyi: Pasal 50:
“Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-
undang yang diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 “ Pasal 10 ayat (1) huruf a: (1)
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. Menguji undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 “
d) Bahwa Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden diundangkan setelah perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni
diundangkan pada tanggal 31 Juli 2003. Maka berdasarkan ketentuan-
ketentuan tersebut di atas, Pasal 24 C ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) dan
Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa,
menguji dan memutus permohonan Para Pemohon; Bahwa berdasarkan
uraian di atas, maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk
memeriksa dan memutus permohonan yang diajukan oleh Para
Pemohon
2. Pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara .
Terhadap kedua hal dimaksud, Mahkamah Konstitusi berpendapat sebagai
berikut:
a) KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Bahwa sesuai
dengan ketentuan Pasal 24 C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) Undang-
undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maka
terlepas dari adanya perbedaan pendapat di antara para Hakim
Konstitusi mengenai Pasal 50 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003,
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final guna menguji Pasal 6 huruf d,
atau keseluruhan Pasal 6 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003
tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b) KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) Bahwa para
Pemohon menganggap hak konstitusional mereka dirugikan dengan
diberlakukannya Pasal 6 huruf d dan s Undang-undang Nomor 23
Tahun 2003, sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2003; Pemohon I, K.H. Abdurrahman Wahid,
sebagai perorangan warga negara Indonesia yang diusulkan sebagai
calon Presiden oleh Partai Kebangkitan Bangsa maupun sebagai Ketua
Umum Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa, memiliki kedudukan
hukum (legal standing) guna mengajukan permohonan pengujian
terhadap Pasal 6 huruf d, atau keseluruhan Pasal 6 Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden;
c) TENTANG PROVISI Menimbang bahwa para Pemohon a quo juga
mengajukan permohonan provisi agar Mahkamah Konstitusi terlebih
dahulu menyatakan dan memerintahkan Pasal 6 Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden untuk sementara dinyatakan tidak berlaku hingga adanya
keputusan yang berkekuatan hukum tetap dan final atas perkara ini;
Sehubungan dengan permohonan provisi dimaksud, dalam hukum
acara pengujian undang-undang berdasarkan Undang-undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, lembaga provisi tidak
dikenal. Oleh karena itu permohonan provisi a quo harus dinyatakan
tidak dapat diterima;
d) POKOK PERKARA Menimbang bahwa pengujian undang-undang
yang dimohonkan para Pemohon semula adalah Pasal 6 Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden yang oleh para Pemohon dianggap bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 karena bersifat diskriminatif serta merugikan hak konstitusional
para Pemohon
Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 22 April 2004 para
Pemohon, melalui kuasanya, telah memperbaiki permohonannya
dengan menyatakan bahwa substansi yang dimohonkan untuk diuji
hanya sebatas Pasal 6 huruf d dan s Undang-undang Nomor 23 Tahun
2003; Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 22 April 2004
Pemohon, melalui kuasanya guna memperkuat dalil-dalilnya.
3. pendapat saya terhadap perubahan konstitusi melalui putusan MK 
Menurut pendapat saya terhadap perubahan konstistusi melalu putusan MK
Nomor 008/PUU-II/2004.MK harus mengikuti struktur dan sebagai mana juga
dalam amandemen Undang - undang ini sesuai dengan fungsi MK .
dalam putusan ini terjadi perubahan / amandemen Pengujian Pasal 6 Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945

 Putusan MK Nomor 005/PUU-4/2006

1. Bagian dari konstitusi (UUD NRI 1945) yang dilakukan perubahan


berdasarkan putusan MK
Di dalam permohonannya, para Pemohon menyatakan:
1) Mengajukan permohonan putusan:
a) ketentuan Pasal 1 angka 5
b) ketentuan Pasal 20
c) ketentuan Pasal 21
d) ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5)
e) Pasal 23 ayat (2), (3) dan (5)
f) Pasal 24 ayat (1)
g) Pasal 25 ayat (3) dan (4) Undang-undang No 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 89, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4415) serta Pasal 34
ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4358)
31 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya ketentuan Pasal
24B dan Pasal 25.
2) Materi muatan dalam Pasal 1 angka 5, Pasal 20, Pasal 21,
Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5), Pasal 23 ayat (2), (3) dan (5),
Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (3) dan (4) Undang-undang Nomor 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Pasal 34 ayat (3) Undang-
undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

2. Pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara.


Dalam putusannya, MK menghapus semua kewenangan KY dalam hal
pengawasan hakim, namun didasari dengan pertimbangan yang berbeda dari
alasan yang diberikan oleh para pemohon (Hakim Agung). Dalam Pasal 56
ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK menyebutkan bahwa dalam hal
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar
putusan menyatakan permohonan dikabulkan. Dari pernyataan pasal, jelas
dimengerti bahwa permohonan yang dikabulkan adalah bila didasari dengan
alasan yang tepat. Sementara, MK sendiri memiliki alasan yang benar-benar
berbeda dari alasan pemohon. Alasan MK adalah adanya ketidakjelasan
rumusan karena pertukaran posisi kata “menegakkan” dan “menjaga”.
Memang, salah satu petunjuk untuk menguji apakah sebuah muatan UU sudah
sesuai dengan UUD adalah dengan melihat ketentuan yang dirumuskan dalam
Batang Tubuh UUD 1945[12]. Di sini, perlu dilakukan perbandingan-
perbandingan, terutama dalam hal gramatikal. Namun, bukan berarti MK
dapat begitu saja menghapus kewenangan ini. Dalam hal ini, ketentuan dalam
UU KY sama sekali tidak bertentangan, seperti yang disebutkan oleh MK,
melainkan lebih tepatnya tidak harmonis dengan ketentuan pada UUD 1945
Amandemen. Hal ini tercermin dari pendapat MK bahwa kewenangan KY
dianggap kurang rinci sehingga menimbulkan lebih banyak ketidakpastian
hukum. Selain itu, bila disimak kembali, pendapat MK bahwa kewenangan
KY kurang rinci adalah bertentangan dengan alasan MK yang semula.
Kewenangan yang tidak rinci,bukanlah dengan kewenangan yang
bertentangan. Dalam kasus ini, dasar yang dijadikan MK pun tidak saling
mendukung.

3. Pendapat saya terhadap perubahan konstitusi melalui putusan MK 


 Putusan MK Nomor 008/PUU-II/2004
Menurut saya perubahan dalam putusan mk nomor 008/PUU-II/2004
Perubahan tersebut bermakna bahwa kedaulatan rakyat tidak lagi
dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, tetapi oleh rakyat yang memilih
presiden dan wakil presiden dengan melalui pemilu

 Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006


Menurut saya Memang pengadilan yang mandiri dan netral merupakan
salah satu unsur penting dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum
Munculnya perseteruan lembaga MA dan KY secara mendasar
memberikan sebuah indikasi bahwa telah terjadi benturan kepentingan,
dalam hal ini terutama mengenai pengawasan hakim, termasuk juga
Hakim Agung dan Hakim Konstitusi. Konflik KY terhadap MK
memang tidak mencuat ke permukaan, namun dapat tercermin dari
putusan MK yang menganulir semua bagian yang terkait dengan MK.
UUD 1945 Amandemen, baik MA, MK dan KY sama-sama berada
dalam satu lingkup kekuasaan, dalam hal ini Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 24 UUD 1945 Amandemen menyatakan bahwa Kekuasaan
Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Selanjutnya ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
MA dan oleh MK. Dari sini, terlihat jelas bahwa yang dimaksudkan
dengan hakim adalah semua hakim-hakim yang berada di bawah
naungan MA dan MK. Pendapat bahwa Hakim Agung bukan
merupakan hakim “biasa” adalah keliru. Apalagi, dalam Pedoman
Perilaku Hakim yang dibentuk oleh MA sendiri, dengan tegas
menyatakan bahwa batasan Hakim mencakup seluruh hakim, termasuk
Hakim ad-Hoc sekalipun di semua lingkungan peradilan dan semua
tingkatan peradilan[8], dalam hal ini termasuk juga Hakim Agung

Anda mungkin juga menyukai