Anda di halaman 1dari 7

Nama : Fenita Dhea Ningrumsari

NIM : B012192012
Program Studi : Magister Ilmu Hukum

TUGAS HUKUM PIDANA PERLINDUNGAN ANAK

1. Mencari titik taut antara Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2014 tentang Pedoman
Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak dan Peraturan Pemerintah No. 65
Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum
Berusia 12 (Dua Belas Tahun).
- Pada dasarnya antara Perma No. 4/2014 dan PP No. 65/2015 memiliki substansi yang

sama, yaitu pedoman pelaksanaan diversi. Hanya saja, pada Perma No. 4/2014 tidak

mengatur secara jelas dan rinci mengenai pedoman pelaksanaan diversi dan hanya

mengatur pedoman pelaksanaan diversi pada tingkat peradilan saja. Sedangkan pada PP

No. 6/2015 menjabarkan lebih jelas mengenai aturan diversi dan mengatur pedoman

pelaksanaan diversi mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan sampai tingkat

pemeriksaan di pengadilan.

- Namun terdapat aturan yang berbeda antara Perma No. 4/2014 dan PP No. 65/2015,

serta terdapat beberapa isi dari Perma No.4/2014 yang tidak diatur dalam PP No.

65/2015. Begitu pula sebaliknya, terdapat beberapa aturan di dalam PP No. 65/2015

yang tidak diatur dalam Perma No.4/2014, diantaranya:

a. PP No. 65/2015 mengatur penjelasan yang lebih lengkap mengenai aturan diversi

yang tidak ditemukan dalam Perma No.4/2014 seperti: tujuan diversi (Pasal 2); hal-

hal yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan dalam proses diversi (Pasal 6 ayat

(1) dan (2); hasil kesepakatan diversi (Pasal 6 ayat (3) dan Pasal 7 ayat (4);
Pelaksanaan diversi pada tahap penyidikan (Pasal 12-Pasal 30); dan Pelaksanaan

diversi pada tahap penuntutan (Pasal 31-Pasal 48) .

b. Pasal 1 ayat (1) Perma No.4/2014 menyatakan bahwa: “Musyawarah diversi adalah

musyawarah antara para pihak yang melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban

dan/atau orang tua/walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial

Profesional, perwakilan masyarakat dan pihak-pihak yang terlibat lainnya untuk

mencapai kesepakatan diversi melalui pendekatan restoratif”. Sedangkan dalam Pasal

5 ayat (1) PP diatur Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan

melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban atau Anak Korban dan/atau orang

tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional. Tenaga

Kesejahteraan Sosial dan/atau masyarakat dilibatkan dalam musyawarah diversi

hanya dalam hal yang diperlukan (Pasal 5 ayat (2).

c. Dalam pasal 1 ayat (2) Perma No. 4/2014 berbunyi: “Fasilitator diversi adalah hakim

yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan untuk menangani perkara Anak yang

bersangkutan”. Artinya, menurut Perma ini yang menjadi fasilitator diversi hanyalah

hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan. Sedangkan jika kita merujuk pada

Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak diatur

pada Pasal 7 ayat (1): “Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan

perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi.” Aturan yang sama

juga terdapat dalam Pasal 3 ayat (1) PP No. 65/2015 berbunyi: “Setiap Penyidik,

Penuntut Umum dan Hakim dalam memeriksa Anak wajib mengupayakan diversi.

Artinya, menurut Undang-Undang SPPA dan Perma No. 65/2015 fasilitor anak

bukanlah hanya hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan saja, melainkan
Penyidik dan Penuntut Umum juga bisa menjadi falisitator anak dalam musyawarah

diversi.

d. Terdapat perbedaan narasi pengertian anak pada PP No. 65/2015 dan Perma No.

4/2014. Di dalam PP No. 65/2015 Pasal 1 ayat (3) dikatakan bahwa: “Anak yang

Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah

berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang

diduga melakukan tindak pidana”. Narasi pengertian Anak ini sama dengan yang

tertulis pada Undang-Undang No.11/2012 Pasal 1 ayat (3). Sedangkan di dalam Pasal

2 Perma No.4/2014 dikatakan bahwa: “Diversi diberlakukan terhadap anak yang

telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun

atau telah berumur 12 (dua belas) tahun meskipun pernah kawin tetapi belum

berumur 18 (delapan belas) tahun, yang diduga melakukan tindak pidana.

e. Terdapat penjelasan mengenai Kaukus di dalam Pasal 1 ayat (3) Perma No.4/2014:

“Kaukus adalah pertemuan terpisah antara Fasilitator Diversi dengan salah satu pihak

yang diketahui oleh pihak lainnya”. Terdapat pula pada Pasal 5 ayat (7): “Bila

dipandang perlu, Fasilitator Diversi dapat melakukan pertemuan terpisah (kaukus)

dengan para pihak”. Sementara kaukus sendiri tidak diatur dalam PP No. 65/2015

maupun Undang-Undang No. 11/2012.

f. Terdapat perbedaan syarat penerapan diversi antara Perma No.4/2014 dengan PP

No.65/2015. Pada Perma No. 4/2014 Pasal 3 menyatakan bahwa: “Hakim Anak

wajib mengupayakan diversi dalam hal Anak didakwa melakukan tindak pidana yang

diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan didakwa pula dengan

tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih dalam
bentuk surat dakwaan subsidiaritas, alternatif, kumulatif, maupun kombinasi

(gabungan). Sedangkan Pasal 3 ayat (2) PP No. 65/2015 menyatakan bahwa:

“Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana

yang dilakukan: a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan b.

bukan merupakan pengulangan tindak pidana.” Jika merujuk pada UU SPPA

mengatur syarat yang sama dengan yang diatur dalam PP.

g. Pasal 55 ayat (2) PP No. 65/2015 berbunyi: “Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan

penetapan kesepakatan diversi sekaligus menetapkan status barang bukti dalam

jangka waktu paling lama 3 (tiga0 hari terhitung sejak tanggal surat Kesepakatan

Diversi ditandatangani”. Kemudian dalam Pasal 55 ayat (3) diatur jangka waktu

penyampaian penetapan sebagaimana dimaksud ayat (2) kepada Hakim, Penuntut

Umum dan Pembimbing kemasyarakatan paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak

tanggal penetapan. Sedangakan di dalam Perma No. 4/2014 tidak diatur dua hal

tersebut di atas, hanya diatur mengenai pengembalian kesepakatan diversi oleh Ketua

Pengadilan kepada Fasilitator Diversi apabila tidak memenuhi syarat, selambat-

lambatnya 3 (tiga) hari (terdapat pada Pasal 6 ayat (4)).

h. Dalam Pasal 8 Perma No.4/2014 diatur bahwa: “Fasilitator Diversi tidak dapat

dikenai pertanggungjawaban pidana maupun perdata atas isi kesepakatan diversi”.

Sedangkan aturan ini tidak terdapat di dalam PP No. 65/2015

i. Pasal 9 Perma No. 4/2014 mengatur tentang Barang Bukti, berbunyi: “Penetapan

Ketua Pengadilan atas Kesepakatan Diversi sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat

(3) memuat pula penentuan status barang bukti yang telah disita dengan
memperhatikan Kesepakatan Diversi. Sedangkan dalam PP No.65/2015 tidak ada

pengaturan mengenai barang bukti.

j. Pasal 7 ayat (1) PP No. 65/2015 berbunyi: “Kesepakatan diversi dapat dilakukan

tanpa persetujuan korban dan/keluarga Anak korban, jika: a. tindak pidana yang

berupa pelanggaran; b. tindak pidana ringan; c. Tindak pidana tanpa korban; atau d.

Nilai kerugian korban tidak lebih dari upah minimum provinsi setempat”. Bunyi

pasal ini tertuang juga dalam UU SPPA Pasal 9 ayat (2). Namun aturan ini tidak

terdapat dalam Perma No.4/2014

k. Pasal 8 PP No. 65/2015 mengatur tentang jangka waktu pelaksanaan diversi. Namun

di dalam Perma No. 4/2014 tidak ada pasal yang mengatur hal tersebut.

l. Dituangkan dalam Pasal 49 PP No. 65/2015 bahwa, Ketua Pengadilan menetapkan

Hakim Anak dalam jangka waktu paling lama 3 hari terhitung sejak tanggal

pelimpahan perkara diterima oleh Penuntut Umum. Sementara dalam Perma

No.4/2014 tidak diatur hal tersebut.

m. Diatur jangka waktu dilaksanakannya diversi oleh hakim (Pasal 50 ayat (1)) dan

jangka waktu pelaksanaan diversi di pengadilan (Pasal 51 ayat (1)) dalam PP

No.65/2015, sedangkan di Perma No.4/2014 tidak ditemukan.

2. Apakah dengan berlakunya PP No. 65/2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan
Penanganan Anak yang Belum Berusia 12 Tahun membuat Peraturan Mahkamah Agung
No. 4 Tahun 2014 sudah tidak berlaku? Karena substansi yang diatur oleh keduanya sama
yaitu diversi.
- Peraturan Mahkamah Agung merupakan peraturan perundang-undangan diluar

hirarki peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam pasal 7 ayat (1) UU No.

12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang diakui


keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan

oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan

kewenangan. (terdapat dalam Pasal 8 ayat (2) UU No.12/2011).

Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

dengan jelas mengatur bahwa ketentuan mengenai pedoman pelaksanaan diversi, tata

cara, dan koordinasi pelaksanaan diversi diatur dengan Peraturan Pemerintah. Atas

mandat Undang-Undang tersebut sehingga pemerintah membuat Peraturan

Pemerintah No.65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan

Penanganan Anak yang Belum Berusia 12 Tahun yang ditetapkan pada tahun 2015.

Namun dengan ditetapkannya PP No.65/2015 tidak serta merta membuat Perma

No.4/2014 tidak berlaku lagi. Dalam pelaksanaan diversi memang harus berpedoman

pada Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Peraturan Pemerintah No.

65/2015 sesuai yang diamanatkan oleh UU SPPA. Namun dalam hal yang tidak diatur

dalam UU SPPA dan PP No. 65/2015 tetapi terdapat aturan mengenai hal tersebut

pada Peraturan Mahkamah Agung No.4/2014 maka Perma dapat dijadikan rujukan

dan menjadi dasar hukum yang kuat dan mengikat.

Adapun beberapa ketentuan yang berbeda yang diatur dalam Perma dan PP

No.65/2015 maupun UU SPPA sesuai dengan asas hukum lex superiori derogat legi

inferiori (hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang kedudukannya

lebih rendah). Maka jika terdapat pertentangan ketentuan hukum yang digunakan

adalah ketentuan hukum yang lebih tinggi, dalam hal ini Undang-Undang No. 11

tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, kemudian Peraturan Pemerintah

No. 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak
yang Belum Berusia 12 Tahun, lalu Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2014

tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.

Anda mungkin juga menyukai