Kejahatan Tanpa Korban
Kejahatan Tanpa Korban
guse prayudi
Informasi yang Anda sediakan pada form ini tidak akan digunakan untuk hal apa pun selain
mengirimkan email ke teman Anda. Fitur ini tidak akan digunakan untuk beriklan atau promosi-diri
yang berlebihan.
Kirim Email
Oleh
Guse
Prayudi
Setelah berlakunya UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
(UU SPPA) maka khusus untuk perkara Anak[1]
dikenal mekanisme untuk mengalihkan penyelesaian perkara dari proses peradilan
pidana ke proses di luar peradilan pidana, yang dinamakan dengan Diversi (Pasal
1 angka7). Menurut Pasal 7 ayat (1)
dinyatakan dalam semua tingkat pemeriksaan baik pada tingkat penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di Pengadilan Negeri wajib diupayakan Diversi.
Akan tetapi tidak semua perkara wajib dilakukan Diversi, UU SPPA mengatur
hanya dilaksanakan dalam hal Anak melakukan tindak pidana yang :
Diversi merupakan ciri utama UU SPPA karena dalam UU Peradilan Anak yang
lama dan aturan hukum pidana lainnya tidak mengenal hal tersebut. Mengingat pentingnya
mekanisme ini dijalankan,
UU SPPA dalam Pasal 96 mengancam pidana penjara atau denda bagi Penyidik, Penuntut
Umum dan Hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban Diversi, meskipun
kemudian oleh Mahkamah Konstitusi ketentuan ini dibatalkan[2]
akan tetapi tidak mengurangi maksud dan keinginan pembuat UU SPPA jika Diversi merupakan
mekanisme yang penting dan wajib diupayakan pada setiap tingkat pemeriksaan
perkara.
Secara normatif pelaksanaan Diversi akan menghasilkan 2 (dua) hal yakni berhasil
mencapai kesepakatan dan tidak berhasil mencapai kesepakatan. Syarat utama Diversi mencapai
kesepakatan adalah
pertama : korban dan/atau keluarga Anak korban[3]
menyetujuinya dan kedua : Anak (pelaku)
serta keluarganya bersedia melakukan Diversi.
Kualifikasi “Anak bersedia melakukan Diversi” diartikan Anak mengakui
perbuatannya, karena salah satu tujuan dari Diversi adalah menanamkan rasa
tanggung jawab kepada Anak (Pasal 6 UU SPPA) apalagi dikaitkan jika
penyelesaian perkara melalui Diversi dihitung sebagai terbukti melakukan satu
bentuk tindak pidana dan sebaliknya jika Anak tidak mengakui perbuatannya maka
tidaklah mungkin Diversi bisa berhasil mencapai kesepakatan.
1.
perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;
2.
penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;
3.
keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga
pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau
4.
pelayanan masyarakat (Pasal 11).
1.
tindak pidana yang berupa pelanggaran;
2.
tindak pidana ringan; yang diancam dengan pidana penjara
atau pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan;
Aturan
ini memperlihatkan biasnya UU SPPA dalam mengkonstruksikan persetujuan korban
dalam Diversi, aturan satu menyatakan pentingnya peran korban akan tetapi
aturan lainnya memperlihatkan peran korban dikesampingkan.
Tidak seperti Diversi tindak pidana yang ada korbannya, meskipun belum ada
PPnya, akan tetapi pelaksanaannya relatif lebih mudah oleh karena tata caranya dirinci
dalam beberapa pasal UU SPPA, bahkan untuk tingkat pengadilan diatur jelas
dalam Perma, sedangkan untuk pelaksanaan Diversi tindak pidana tanpa korban
hanya disebutkan dalam dua Pasal yakni Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 10 ayat (1)
dan (2) UU SPPA.
Dari aturan pasal tersebut dapat dikonstruksikan bentuk dan tata cara Diversi
tindak pidana tanpa korban sebagai berikut :
-
Anak dan keluarganya akan menerima isi kesepakatan
Diversi oleh karena tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak pengguna narkotika
relatif “lebih ringan dan menguntungkan” dibandingkan jika proses berlanjut ke
persidangan. Jika berhasil didiversi “hukumannya”
hanya berupa rehabilitasi, dikembalikan kepada orang tua, mengikuti diklat
atau pelayanan masyarakat paling lama 3 bulan, relatif jauh lebih ringan jika
berproses di pengadilan Anak tersebut menghadapi ancaman pidana penjara
maksimal 4 (empat) tahun dan proses peradilan yang memakan waktu.
Apalagi
hal ini dikaitkan dengan asas dari pelaksanaan Diversi adalah harus mempertimbangkan:
Semakin
rendah ancaman pidana semakin tinggi prioritas Diversi.
b. umur Anak;
Artinya
jiwa UU SPPA menginginkan Diversi wajib dilakukan pada setiap tingkat
pemeriksaan dan jika tindak pidana tanpa
korban tersebut diancam pidana yang rendah, dilakukan Anak yang masih muda
serta adanya rekomendasi dari PK, keluarga dan masyarakat maka Penuntut Umum atau
Hakim seharusnya diberikan kewenangan penuh oleh undang-undang untuk melakukan Diversi
terhadap perkara tersebut, apalagi dikaitkan dengan tujuan penanganan perkara Anak
yakni mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak.
Dalam
konstruksi ini dimungkinkan jika Diversi gagal pada tingkat Penyidikan, maka Diversi wajib dilakukan
lagi pada tingkat
penuntutan dan jika gagal juga maka harus dilakukan pada tingkat Pengadilan
Negeri.
Jika
dikaitkan dengan satu-satunya alasan Diversi tidak berhasil mencapai
kesepakatan pada tingkat Penyidikan adalah Anak tidak mengakui perbuatannya maka
point utamanya ketika perkara bergulir ke tahap penuntutan dan persidangan, Penuntut
Umum dan Hakim harus mempertanyakan “kesediaan” Anak melakukan Diversi (baca:
mempertanyakan Anak mengakui perbuatannya atau tidak), karena dimungkinkan pada
tingkat Penyidikan Anak bersikeras tidak mengakui perbuatannya akan tetapi
ketika pada tahap penuntutan atau persidangan, Anak sikapnya berbalik menjadi
mengakui perbuatannya, maka untuk mengetahui sikap Anak tersebut Penuntut Umum dan
Hakim haruslah diberi ruang untuk melakukan Diversi perkara tersebut.
Konstruksi
ini diperoleh dari ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU SPPA yang menyatakan
Kesepakatan Diversi dapat dilakukan oleh Penyidik bersama pelaku dan/atau
keluarganya, Pembimbing Kemasyarakatan, serta dapat melibatkan tokoh
masyarakat. Jika dalam tindak pidana
yang ada korbannya, korban memiliki peran yang penting dalam Diversi dan
pembuatan isi kesepakatan Diversi maka dalam hal tindak pidana tanpa korban,
kesepakatan Diversi tersebut dirumuskan oleh Penyidik bersama pelaku dan pihak
lainnya.
Oleh
karena kualifikasinya “dapat” maka kehadiran dan keterlibatan pihak lainnya selain Penyidik tidak
menjadi syarat utama,
hal ini sinkron dengan konstruksi pertama yang dibentuk Pasal 9 ayat (2) yakni “Kesepakatan
Diversi tanpa memerlukan kesediaan Anak dan keluarganya” (keabsolutan
kesepakatan Diversi tindak pidana tanpa korban)”. Penyidik tidak berkewajiban untuk meminta
saran dari Anak (pelaku) dan/atau keluarganya serta tokoh masyarakat dalam hal
pembuatan isi kesepakatan Diversi, terkeculi pihak PK yang memiliki peran penting dalam
pelaksanaan
Diversi karena ada konstruksi selanjutnya yakni Kesepakatan Diversi dilakukan
atas rekomendasi dari PK.
Aturan
ini menunjukkan Penyidik diberikan ruang untuk melibatkan pihak lainnya dalam
perumusan isi kesepakatan Diversi, tetapi oleh karena terdapat konstruksi
pertama yang dibentuk oleh Pasal 9 ayat (2), diartikan pelaku dan keluarganya meskipun
terlibat dalam proses pembuatan kesepakatan Diversi tetapi tidak diberikan hak
yuridis untuk menyanggah/berkeberatan atas isi kesepakatan Diversi yang dibuat
oleh Penyidik.
Akan
tetapi dalam RPP Diversi konstruksinya berbeda, menurut RPP kualifikasi “dapat”
hanya mengikat pada tokoh masyarakat, untuk pihak Anak dan/atau keluarganya
harus dilibatkan dalam pembuatannya, hal ini terlihat dari aturan Pasal 25 ayat
(4) RPP Diversi yang menyatakan “Kesepakatan Diversi …………. dilakukan oleh Penyidik
bersama Anak dan/atau keluarganya, Pembimbing Kemasyarakatan, serta dapat
melibatkan tokoh masyarakat”.
Kualifikasi seperti ini jelas berbeda hakikatnya dengan yang dianut oleh
UU SPPA dan bahkan bertentangan dengan Konstruksi Pertama yakni “Kesepakatan Diversi”
tanpa memerlukan kesediaan Anak dan keluarganya.
Pasal
10 ayat (2) UU SPPA menyatakan Kesepakatan Diversi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh Penyidik atas rekomendasi Pembimbing Kemasyarakatan
dapat berbentuk:
Aturan
di atas menunjukkan langkah Penyidik membuat kesepakatan Diversi, meski tidak
mensyaratkan kesediaan Anak dan keluarganya, keterlibatan tokoh masyarakat akan tetapi Penyidik
dalam membuat kesepakatan Diversi
harus atas rekomendasi dari PK.
Rekomendasi
dari PK-lah sebenarnya yang menjadi penentu isi kesepakatan Diversi, oleh
karena secara yuridis PK-lah yang dianggap mengetahui kepentingan yang terbaik
untuk Anak karena PK-lah yang melakukan penelitian kemasyarakatan terhadap Anak
tersebut.
Dalam RPP Diversi diatur tata cara pelaksanaan Diversi tindak pidana tanpa
korban sebagai berikut :
Paragraf
5
Proses
Diversi yang tidak Memerlukan Persetujuan Korban
Pasal 25
Pasal 26
a.
pengembalian kerugian dalam hal ada
korban;
b.
rehabilitasi medis dan psikososial;
c.
penyerahan kembali kepada orang
tua/Wali;
d.
keikutsertaan dalam pendidikan atau
pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau
e.
pelayanan masyarakat paling lama 3
(tiga) bulan.
Pasal 27
Kesepakatan Diversi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 langsung diselesaikan di tingkat Penyidikan,
kecuali Anak tidak melaksanakan kesepakatan Diversi.
Pasal 28
(1) Dalam
hal tidak ada korban dan Anak serta keluarganya setuju dilakukan Diversi, Penyidik
menentukan waktu pertemuan untuk musyawarah.
(2) Musyawarah
dipimpin oleh Penyidik sebagai fasilitator dan Pembimbing Kemasyarakatan
sebagai pembantu fasilitator.
(3) Musyawarah
dihadiri oleh Anak dan orang tua/walinya serta dapat melibatkan tokoh
masyarakat.
(4) Pihak
yang hadir dapat memberikan masukan/pendapat/rekomendasi.
(5) Musyawarah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali
sesuai dengan kebutuhan.
Pasal 29
(1) Kesepakatan
Diversi dirumuskan dalam surat kesepakatan Diversi yang ditandatangani oleh Anak
dan keluarganya, korban atau Anak Korban dan kerluarganya, Penyidik,
fasilitator serta saksi.
(2) Seluruh
proses pelaksanaan Diversi dicatat dalam berita acara Diversi.
Dari ulasan dan analisa aturan UU SPPA diperbandingkan pula dengan isi RPP Diversi
maka terdapat langkah-langkah yuridis dalam pelaksanaan Diversi tindak pidana
tanpa korban sebagai berikut :
Dalam
konstruksi ini penyebab utama perkara maju ke tahap penuntutan dan persidangan
karena Anak tidak mengakui perbuatannya, jika pada tahap penuntutan atau
persidangan Anak bersikap sebaliknya yakni mengakui perbuatannya dan menyetujui
dilakukan Diversi maka karena kewenangan Diversi hanya pada Penyidik, Diversi untuk
perkara Anak tersebut tidak dapat dilakukan oleh Penuntut Umum atau Hakim.
Dalam
RPP Diversi terdapat alasan lain gagalnya Diversi perkara tindak pidana tanpa
korban dan perkara dilanjutkan ke Penuntutan yakni apabila Anak tidak
melaksanakan kesepakatan Diversi (Pasal 27 RPP), dan jika berpegang teguh pada
rumusan pasal sebelumnya maka Penuntut Umum/Hakim tidak berwenang melakukan
lagi Diversi perkara Anak tersebut.
Penuntut
Umum atau Hakim baru berwenang melakukan Diversi jika Diversi gagal pada tahap sebelumnya,
oleh karena kewenangan juga melekat pada Penuntut Umum atau Hakim maka Diversi harus
dilaksanakan sesuai langkah Diversi pada tahap Penyidikan yakni :
Sebaiknya
untuk memperkuat konstruksi ini pihak pendiversi sebelumnya yaitu Penyidik dan Penuntut
Umum harus dinyatakan kehilangan hak yuridisnya untuk terlibat dan berkeberatan
dengan proses Diversi selanjutnya, sehingga saat Diversi pada tingkat
penuntutan, Penyidik tidak memiliki dasar hukum untuk terlibat dan keberatan
dengan kesepakatan Diversi yang dihasilkan oleh Penuntut Umum, begitu pula Penuntut
Umum pada saat Diversi pada tingkat Pengadilan Negeri tidak diberikan ruang
untuk terlibat dan keberatan jika Diversi di pengadilan berhasil mencapai
kesepakatan.
Dengan
demikian jika terjadi kasus penyalahgunaan narkotika oleh Anak dan Diversinya gagal
di Penyidikan dan Penuntutan akan tetapi pada saat didiversi di pengadilan, Anak
menjadi mengakui perbuatannnya maka Hakim tidak perlu melibatkan pihak Penuntut
Umum untuk mempertanyakan sikap yuridisnya atas perkara Anak tersebut tetapi
langsung membuatkan kesepakatan Diversi atas rekomendasi dari PK. Hal ini untuk menyelesaikan
masalah jika Anak
bersedia didiversi akan tetapi Penuntut Umum keberatan dengan hal tersebut.
Diharapkan aturan Pasal 9 dan 10 UU SPPA dalam kerangka Pasal 7 ayat (1) UU
SPPA sehingga dalam PP Diversi diatur dan diberikan kewenangan pada semua
tingkat pemeriksaan untuk melaksanakan Diversi perkara Anak yang melakukan
tindak pidana tanpa korban jika mekanisme Diversi pada tingkat sebelumnya gagal.
[1] Pasal 1
angka 3 UU SPPA menyatakan anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas)
tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan
tindak pidana.
-
Pengertian
anak dalam UU SPPA mendasarkan pada batas umur semata tanpa mensyaratkan pernah
tidaknya anak terikat dalam
perkawinan, konstruksinya sama
dengan pengertian anak menurut Pasal 1 angka1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yakni Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
-
Pasal 2 PERMA
No. 4 Tahun 2014, Diversi dilakukan terhadap anak yang telah berumur 12 tahun
tetapi belum berumur 18 tahun atau telah berumur 12 tahun meskipun pernah kawin
tetapi belum berumur 18 tahun
[2] Menurut
Putusan Mahkamah Konstitusi No.
110/PUU-x/2012 : Pasal 96, Pasal 100 dan
Pasal 101 UU No.11 Tahun 2012 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat
[5] Pasal 1
angka 15 UU jis Pasal 59, Pasal 67,
Pasal 78 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan anak yang
menjadi “korban” penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya (napza) harus mendapatkan perlindungan khusus.
-
menyerahkannya kembali kepada orang tua; atau
-
mengikutsertakannya dalam program pendidikan,
pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS paling lama 6
(enam) bulan dan dapat diperpanjang paling lama 6 bulan.
a.
Narkotika
Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun;
b.
Narkotika
Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun; dan
c.
Narkotika
Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun.