Anda di halaman 1dari 16

Kirimkan Entri melalui Email kepada Teman: 

guse prayudi
Informasi yang Anda sediakan pada form ini tidak akan digunakan untuk hal apa pun selain
mengirimkan email ke teman Anda. Fitur ini tidak akan digunakan untuk beriklan atau promosi-diri
yang berlebihan.

Nama Anda eBoyaction

Alamat Email Teman Pilih dari kontak

Masukkan alamat email, paling banyak 10, Wajib


pisahkan dengan tanda koma.

Pesan Maksimum 300


karakter

Buktikan bahwa Anda


bukan robot

Kirim Email

DIVERSI PERKARA TINDAK PIDANA TANPA KORBAN

Oleh

Guse
Prayudi

A.    Persetujuan Korban dalam Diversi

Setelah berlakunya UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
(UU SPPA) maka khusus untuk perkara Anak[1]
dikenal mekanisme untuk mengalihkan penyelesaian perkara dari proses peradilan
pidana ke proses di luar peradilan pidana, yang dinamakan dengan Diversi (Pasal
1 angka7).  Menurut Pasal 7 ayat (1)
dinyatakan dalam semua tingkat pemeriksaan baik pada tingkat penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di Pengadilan Negeri wajib diupayakan Diversi.

Akan tetapi tidak semua perkara wajib dilakukan Diversi, UU SPPA mengatur
hanya dilaksanakan dalam hal Anak melakukan tindak pidana yang :

a.       diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh)


tahun; dan

b.      bukan merupakan pengulangan tindak pidana; yang


dilakukan oleh Anak, baik tindak pidana sejenis maupun tidak sejenis, termasuk
tindak pidana yang diselesaikan melalui Diversi (Pasal 7 ayat (2) UU SPPA dan
penjelasannya).

Diversi merupakan ciri utama UU SPPA karena dalam UU Peradilan Anak yang
lama dan aturan hukum pidana lainnya tidak mengenal hal tersebut.  Mengingat pentingnya
mekanisme ini dijalankan,
UU SPPA dalam Pasal 96 mengancam pidana penjara atau denda bagi Penyidik, Penuntut
Umum dan Hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban Diversi, meskipun
kemudian oleh Mahkamah Konstitusi ketentuan ini dibatalkan[2]
akan tetapi tidak mengurangi maksud dan keinginan pembuat UU SPPA jika Diversi merupakan
mekanisme yang penting dan wajib diupayakan pada setiap tingkat pemeriksaan
perkara.

Secara normatif pelaksanaan Diversi akan menghasilkan 2 (dua) hal yakni berhasil
mencapai kesepakatan dan tidak berhasil mencapai kesepakatan.  Syarat utama Diversi mencapai
kesepakatan adalah
pertama : korban dan/atau keluarga Anak korban[3]
menyetujuinya dan kedua : Anak (pelaku)
serta keluarganya bersedia melakukan Diversi. 
Kualifikasi “Anak bersedia melakukan Diversi” diartikan Anak mengakui
perbuatannya, karena salah satu tujuan dari Diversi adalah menanamkan rasa
tanggung jawab kepada Anak (Pasal 6 UU SPPA) apalagi dikaitkan jika
penyelesaian perkara melalui Diversi dihitung sebagai terbukti melakukan satu
bentuk tindak pidana dan sebaliknya jika Anak tidak mengakui perbuatannya maka
tidaklah mungkin Diversi bisa berhasil mencapai kesepakatan.

Bentuk kesepakatan Diversi dengan persetujuan korban telah ditentukan dalam


UU SPPA yakni berupa :

1.     
perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;

2.     
penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;

3.     
keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga
pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau

4.     
pelayanan masyarakat (Pasal 11).

Tergantungnya Diversi pada kesepakatan korban menimbulkan kritik karena


memperlihatkan dasar dari Diversi adalah mengedepankan perdamaian dengan korban
bukan mengutamakan yang terbaik untuk Anak, hal ini sebagaimana pendapat dari Institute for
Criminal Justice Reform sebagai
berikut :
Diversi
telah diakui secara resmi sebagai bagian dari mekanisme keadilan restoratif,
namun Diversi dalam UU SPPA ini sangat mengedepankan faktor perdamaian antara
korban tindak pidana dengan Anak yang berhadapan dengan hukum. Selain itu
proses Diversi hanya bisa dilakukan bila tindak pidana tersebut diancam dengan
pidana kurang dari 7 tahun penjara dan bukan pengulangan tindak pidana.

ICJR memandang bahwa mestinya proses Diversi mengutamakan kepentingan


terbaik bagi anak, bukan perdamaian antara korban dengan anak. Selain itu
proses Diversi semestinya tidak terkungkung dengan batasan ancaman penjara
dibawah 7 tahun. Pada prinsipnya sesuai dengan prinsip – prinsip hukum
internasional, proses Diversi haruslah mengutamakan kepentingan terbaik bagi
anak. [4]

Selanjutnya UU SPPA mengamanatkan kepada Pemerintah untuk membuat PP dalam pelaksanaan,


proses, tata cara, dan koordinasi pelaksanaan Diversi, akan tetapi sampai
dengan berlakunya UU SPPA, PP tersebut masih berwujud RPP sehingga Mahkamah
Agung untuk mengisi kekosongan aturan mengeluarkan Perma No. 4 Tahun 2014 tentang
Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.

Aturan Perma tersebut memberikan petunjuk teknis pelaksanaan Diversi di tingkat


Pengadilan Negeri, melihat jenis serta cakupan aturannya terlihat Perma
mengatur pelaksanaan Diversi terhadap tindak pidana yang memiliki korban,
artinya Perma tidak mengatur dan menyebutkan adanya pelaksanaan Diversi terhadap
tindak pidana yang tidak ada korbannya.

Padahal dalam UU SPPA, pelaksanaan Diversi tidak melulu dilakukan terhadap


tindak pidana yang memiliki korban, untuk tindak pidana tanpa korban juga wajib
dilakukan Diversi.  Dalam praktek
peradilan, tindak pidana tanpa korban misalnya penyalahgunaan narkotika yang bahkan
menurut UU Perlindungan Anak[5], Anak
yang menjadi penyalahguna narkotika dikategorikan sebagai korban.

Berbeda dengan Diversi pada umumnya yang menggantungkan keberhasilannya pada


perdamaian dengan korban, oleh karena tindak pidana tanpa korban tidak memiliki
korban maka esensi kesepakatan korban menjadi hilang, oleh karenanya lumrah
jika UU SPPA membuat aturan khusus mengenai Diversi tindak pidana tanpa korban yang
berbeda dengan Diversi pada umumnya yakni termuat dalam Pasal 9 dan Pasal 10.

Ternyata konstruksi Diversi dapat dilakukan tanpa persetujuan korban selain


berlaku untuk tindak pidana tanpa korban, menurut Pasal 9 ayat (2) UU SPPA juga
berlaku dalam hal :

1.     
tindak pidana yang berupa pelanggaran;

2.     
tindak pidana ringan; yang diancam dengan pidana penjara
atau pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan;

3.      nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah


minimum provinsi setempat;

Aturan
ini memperlihatkan biasnya UU SPPA dalam mengkonstruksikan persetujuan korban
dalam Diversi, aturan satu menyatakan pentingnya peran korban akan tetapi
aturan lainnya memperlihatkan peran korban dikesampingkan. 

Tidak memerlukannya persetujuan korban dalam pelaksanaan dan pembuatan kesepakatan


Diversi merupakan ciri pembeda yang utama antara Diversi tindak pidana umumnya
dengan tindak pidana tanpa korban, hal ini pula yang membedakan konsep keadilan
restoratif dengan konsep Diversi, dimana keadilan restoratif syarat utamanya
adalah adanya maaf dan persetujuan dari korban, sedangkan Diversi tidak selalu mensyaratkan
adanya persetujuan korban.

B.     Konstruksi Diversi Tindak Pidana Tanpa Korban

Tidak seperti Diversi tindak pidana yang ada korbannya, meskipun belum ada
PPnya, akan tetapi pelaksanaannya relatif lebih mudah oleh karena tata caranya dirinci
dalam beberapa pasal UU SPPA, bahkan untuk tingkat pengadilan diatur jelas
dalam Perma, sedangkan untuk pelaksanaan Diversi tindak pidana tanpa korban
hanya disebutkan dalam dua Pasal yakni Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 10 ayat (1)
dan (2) UU SPPA.

Dari aturan pasal tersebut dapat dikonstruksikan bentuk dan tata cara Diversi
tindak pidana tanpa korban sebagai berikut :

1.      Konstruksi Pertama : “Kesepakatan Diversi” tanpa


memerlukan kesediaan Anak dan keluarganya.

Selain tanpa memerlukan persetujuan korban


ternyata Diversi untuk tindak pidana tanpa korban memiliki karakteristik khusus
lainnya yakni dilakukan tanpa kesediaan Anak dan keluarganya, konstruksi ini
diperoleh dari penafsiran a contrario ketentuan Pasal 9 ayat (2) huruf c UU SPPA yang
menyatakan  : Kesepakatan Diversi harus mendapatkan persetujuan
korban dan/atau keluarga Anak Korban serta
kesediaan Anak dan keluarganya, kecuali
untuk tindak pidana tanpa korban;

Sekilas aturan tersebut menunjukkan Diversi bisa


"dipaksakan" kepada anak, bersedia atau tidak, dalam hal tindak
pidana tanpa korban, Anak harus mau didiversi dan hal ini berbeda dengan Diversi
“umumnya” karena syarat utama pelaksanaan Diversi adalah Anak (pelaku) harus
bersedia melakukan Diversi atau
Anak harus mengakui perbuatannya.  Jika Anak
tidak mengakui perbuatannya maka proses Diversi harus dinyatakan gagal sejak
awal.

Permasalahannya adalah ketentuan Pasal 9 ayat (2) tersebut


menyebut kualifikasi “kesepakatan Diversi” bukan “pelaksanaan Diversi”,
konstruksi ini menimbulkan dua hal yakni :

a.    Jika pelaksanaan Diversi


disamakan bentuknya dengan kesepakatan Diversi maka Anak dan keluarganya dapat
“dipaksa” untuk bersedia melakukan Diversi dan dapat “dipaksa” untuk bersedia
menjalani isi kesepakatan Diversi.

b.    Jika yang dapat


dipaksakan hanya kesepakatan Diversi bukan pelaksanaan Diversinya maka pelaksanaan
Diversi tergantung pada kesediaan Anak (sama dengan Diversi pada umumnya), jika
Anak dan keluarganya tidak bersedia melakukan Diversi maka Diversi tidak dapat
dilaksanakan sehingga otomatis tidak memungkinkan adanya kesepakatan Diversi (Diversi
dinyatakan gagal sejak awal).

Dengan melihat asas praduga tak bersalah dan asas


seseorang tidak dapat dipaksa untuk mengakui telah melakukan tindak pidana maka
yang lebih memiliki dasar pembenar adalah konstruksi kedua yakni Anak harus
diberikan ruang untuk memilih sikap bersedia atau tidak melakukan Diversi, hak Anak
untuk menyatakan tidak mengakui melakukan tindak pidana harus tetap diberikan
ruang, sehingga dalam hal tindak pidana tanpa korban, Diversi tidak dapat
dilaksanakan jika Anak tidak mengakui perbuatannya dan sebaliknya jika Anak mengakui
perbuatannya maka Diversi dapat dilaksanakan.

Akan tetapi yang harus digaris bawahi adalah


alasan Anak tidak mau melaksanakan Diversi hanyalah berbentuk Anak tidak
mengakui perbuatannya dan bukan alasan lainnya, jika Anak mengakui perbuatannya
maka upaya Diversi harus dilaksanakan dan diikuti dengan pembuatan kesepakatan Diversi.

Oleh karena konstruksi “kesepakatan Diversi dibuat


tanpa kesediaan anak” maka jika Anak melakukan tindak pidana tanpa korban, Penyidik
mempunyai kewenangan “absolut”  untuk
menetapkan jenis tindakan yang diberikan kepada Anak tersebut dalam kesepakatan
Diversi yang dibuat.[6]

2.      Konstruksi Kedua : Hanya Penyidik yang disebutkan


memiliki kewenangan untuk melakukan Diversi tindak pidana tanpa korban.

Konstruksi ini diperoleh dari ketetuan Pasal 10 UU


SPPA yang aturan pasalnya hanya “menyebutkan” Penyidik yang dapat melaksanakan Diversi
untuk tindak pidana dalam Pasal 9 ayat (2) UU SPPA (pelanggaran; tindak pidana
ringan;  tindak pidana tanpa korban; atau
nilai kerugian korban tidak lebih dari UMP), karena tidak menyebutkan pihak
lain dalam hal ini Penuntut Umum dan Hakim Pengadilan Negeri maka Pasal 10
dijadikan dasar untuk menyatakan Penuntut Umum dan Hakim tidak berwenang untuk
melakukan Diversi perkara Anak yang melakukan tindak pidana tanpa korban. 

Tidak disebutnya Penuntut Umum menjadi beralasan


untuk perkara pelanggaran dan tindak pidana ringan karena sesuai hukum acara, Penuntut
Umum tidak dilibatkan dalam penyelesaian perkara tersebut[7], akan tetapi untuk
jenis perkara lainnya yang disebutkan dalam Pasal 9 ayat (2) UU SPPA penyelesaiannya
harus melalui Penuntut Umum.  Apalagi
jika dikaitkan dengan tidak disebutnya Hakim dengan alasan hukum acara karena
mutlak Hakim terlibat dalam penyelesaian perkara seluruhnya sehingga jika
ketentuan Pasal 10 UU SPPA dibuat dengan mendasarkan kepada pihak yang terlibat
dalam penyelesaian perkara menurut hukum acara pemeriksaan perkara pidana maka
konstruksinya menjadi berantakan.

Dalam RPP SPPA kembali diatur mengenai Diversi tanpa


persetujuan korban, namun pengaturan dalam RPP SPPA tidak menjawab banyak
pernyataan yang timbul dari pengaturan dalam UU SPPA. Pengaturan mengenai Diversi
tanpa persetujuan korban dalam RPP SPPA hanya terdapat dalam 3 pasal (Pasal 25,
Pasal 26 dan Pasal 27 RPP SPPA). Diversi tanpa persetujuan korban hanya akan
dilakukan pada tahapan Penyidikan atau kepolisian (Pasal 10 UU SPPA jo Pasal 27 RPP SPPA).[8]
Dengan demikian konstruksi
hanya Penyidik yang disebutkan berwenang melakukan Diversi tindak pidana tanpa
korban diperkuat keberadaannya oleh RPP Diversi.

Tidak ada penjelasan mengenai alasan Pasal 10 UU


SPPA dan dalam RPP Diversi hanya menyebutkan kewenangan Penyidik dan tidak
menyebutkan Diversinya bisa dilakukan juga oleh Penuntut Umum atau Hakim jika Diversi
pada tingkat sebelumnya gagal,  apakah
kurang pengaturannya[9] atau memang
konstruksinya dibuat demikian? Yakni pembuat UU SPPA menganggap tidaklah
mungkin Diversi tindak pidana tanpa korban khususnya (dan umumnya Diversi tindak
pidana dalam Pasal 9) gagal pada tingkat Penyidikan, Diversinya dipastikan
berhasil pada tingkat Penyidikan sehingga UU SPPA tidak mengenal Diversi tindak
pidana tanpa korban pada tingkat penuntutan dan persidangan di Pengadilan
Negeri.
“Keharusberhasilan” Diversi pada tingkat Penyidikan
sebenarnya beralasan karena jika Anak pada tingkat Penyidikan mengakui
perbuatannya maka kesepakatan Diversi pasti berhasil karena selain tidak ada
korban yang akan menyanggahnya, hal ini didukung pula oleh konstruksi
kesepakatan Diversi itu sendiri tidak memerlukan kesediaan anak/keluarganya serta
dengan melihat bentuk “hukuman” Diversi tanpa persetujuan korban relatif “ringan”
maka “dipastikan” Anak dan keluarga tidak bisa lepas dari kesepakatan Diversi atau
Anak merasa lebih diuntungkan dengan adanya kesepakatan Diversinya tersebut.

Contohnya jika kasus penyalahgunaan narkotika golongan


I yang ancaman pidananya pidana penjara maksimal 4 (empat) tahun[10], Anak bersedia
melakukan Diversi dalam bentuk mengakui perbuatannya, sehingga Penyidik melakukan
Diversi, dipastikan Diversi tersebut berhasil oleh karena :

-      
Anak dan keluarganya akan menerima isi kesepakatan
Diversi oleh karena tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak pengguna narkotika
relatif “lebih ringan dan menguntungkan” dibandingkan jika proses berlanjut ke
persidangan.  Jika berhasil didiversi “hukumannya”
hanya berupa rehabilitasi, dikembalikan kepada orang tua, mengikuti diklat
atau pelayanan masyarakat paling lama 3 bulan, relatif jauh lebih ringan jika
berproses di pengadilan Anak tersebut menghadapi ancaman pidana penjara
maksimal 4 (empat) tahun dan proses peradilan yang memakan waktu.

-       Hal yang paling penting, jikapun Anak dan


keluarganya keberatan dengan isi kesepakatan Diversi, mereka oleh UU tidak
diberikan peran untuk tidak menyetujuinya oleh karena konstruksinya adalah “Kesepakatan
Diversi” dibuat tanpa memerlukan kesediaan Anak dan keluarganya.

Hal di atas memperlihatkan adanya “penekanan” agar


perkara tanpa korban khususnya dan tindak pidana ringan/sepele lainnya harus
selesai pada tingkat Penyidikan, perkara tersebut tidak pantas untuk dinaikkan
ke penuntutan dan diajukan ke persidangan, sehingga untuk
menyaring perkara-perkara yang sepele agar tidak diajukan ke pengadilan[11], ketentuan Pasal 9, 10
UU SPPA hanya menyebutkan Penyidiklah yang berwenang melakukan Diversi. 

“Keharusberhasilan” Diversi tindak pidana tanpa


korban pada tingkat Penyidikan berkorelasi tidaklah mungkin ada perkara
tersebut yang maju ke tingkat penuntutan/persidangan sehingga tidak diperlukan
adanya pemberian kewenangan pada Penuntut Umum/Hakim.  Hal inilah yang kemudian
memperlemah
konstruksi ini karena pada kenyataannya terdapat keadaan yang menyebabkan Diversi
tindak pidana tanpa korban pada tingkat Penyidikan tidak berhasil sehingga
perkara maju ke tingkat penuntutan atau persidangan.

Sehingga lahirnya pandangan sebaliknya, meskipun dalam Pasal 10 hanya Penyidik


yang disebut dapat melakukan Diversi akan tetapi tidak menutup kewenangan Penuntut
Umum dan Hakim untuk melakukan Diversi perkara tindak pidana tanpa korban, hal ini dengan
melihat ruang berlakunya
Pasal 10 tersebut dilingkupi oleh aturan umum dalam Pasal 7 ayat (1) UU SPPA yakni
Dalam semua tingkat pemeriksaan baik pada tingkat Penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan perkara Anak di Pengadilan Negeri wajib diupayakan Diversi.

Apalagi
hal ini dikaitkan dengan asas dari pelaksanaan Diversi adalah harus mempertimbangkan:

a.       kategori tindak pidana;

Semakin
rendah ancaman pidana semakin tinggi prioritas Diversi.
b.      umur Anak;

            Semakin muda umur Anak


semakin tinggi prioritas Diversi.

c.       hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas;


dan  dukungan lingkungan keluarga dan
masyarakat (Pasal 9 ayat (1) UU SPPA)

Artinya
jiwa UU SPPA menginginkan Diversi wajib dilakukan pada setiap tingkat
pemeriksaan dan jika tindak pidana tanpa
korban tersebut diancam pidana yang rendah, dilakukan Anak yang masih muda
serta adanya rekomendasi dari PK, keluarga dan masyarakat maka Penuntut Umum atau
Hakim seharusnya diberikan kewenangan penuh oleh undang-undang untuk melakukan Diversi
terhadap perkara tersebut, apalagi dikaitkan dengan tujuan penanganan perkara Anak
yakni mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak.

Dalam
konstruksi ini dimungkinkan jika Diversi gagal pada tingkat Penyidikan, maka Diversi wajib dilakukan
lagi pada tingkat
penuntutan dan jika gagal juga maka harus dilakukan pada tingkat Pengadilan
Negeri. 

Jika
dikaitkan dengan satu-satunya alasan Diversi tidak berhasil mencapai
kesepakatan pada tingkat Penyidikan adalah Anak tidak mengakui perbuatannya maka
point utamanya ketika perkara bergulir ke tahap penuntutan dan persidangan, Penuntut
Umum dan Hakim harus mempertanyakan “kesediaan” Anak melakukan Diversi (baca:
mempertanyakan Anak mengakui perbuatannya atau tidak), karena dimungkinkan pada
tingkat Penyidikan Anak bersikeras tidak mengakui perbuatannya akan tetapi
ketika pada tahap penuntutan atau persidangan, Anak sikapnya berbalik menjadi
mengakui perbuatannya, maka untuk mengetahui sikap Anak tersebut Penuntut Umum dan
Hakim haruslah diberi ruang untuk melakukan Diversi perkara tersebut.

3.      Konstruksi Ketiga : Kesepakatan Diversi “dapat”


dilakukan oleh Penyidik bersama pihak lainnya.

Konstruksi
ini diperoleh dari ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU SPPA yang menyatakan
Kesepakatan Diversi dapat dilakukan oleh Penyidik bersama pelaku dan/atau
keluarganya, Pembimbing Kemasyarakatan, serta dapat melibatkan tokoh
masyarakat.  Jika dalam tindak pidana
yang ada korbannya, korban memiliki peran yang penting dalam Diversi dan
pembuatan isi kesepakatan Diversi maka dalam hal tindak pidana tanpa korban,
kesepakatan Diversi tersebut dirumuskan oleh Penyidik bersama pelaku dan pihak
lainnya.

Oleh
karena kualifikasinya “dapat” maka kehadiran dan keterlibatan pihak lainnya selain Penyidik tidak
menjadi syarat utama,
hal ini sinkron dengan konstruksi pertama yang dibentuk Pasal 9 ayat (2) yakni “Kesepakatan
Diversi tanpa memerlukan kesediaan Anak dan keluarganya” (keabsolutan
kesepakatan Diversi tindak pidana tanpa korban)”.  Penyidik tidak berkewajiban untuk meminta
saran dari Anak (pelaku) dan/atau keluarganya serta tokoh masyarakat dalam hal
pembuatan isi kesepakatan Diversi, terkeculi pihak PK  yang memiliki peran penting dalam
pelaksanaan
Diversi karena ada konstruksi selanjutnya yakni Kesepakatan Diversi dilakukan
atas rekomendasi dari PK.
Aturan
ini menunjukkan Penyidik diberikan ruang untuk melibatkan pihak lainnya dalam
perumusan isi kesepakatan Diversi, tetapi oleh karena terdapat konstruksi
pertama yang dibentuk oleh Pasal 9 ayat (2), diartikan pelaku dan keluarganya meskipun
terlibat dalam proses pembuatan kesepakatan Diversi tetapi tidak diberikan hak
yuridis untuk menyanggah/berkeberatan atas isi kesepakatan Diversi yang dibuat
oleh Penyidik.

Akan
tetapi dalam RPP Diversi konstruksinya berbeda, menurut RPP kualifikasi “dapat”
hanya mengikat pada tokoh masyarakat, untuk pihak Anak dan/atau keluarganya
harus dilibatkan dalam pembuatannya, hal ini terlihat dari aturan Pasal 25 ayat
(4) RPP Diversi yang menyatakan “Kesepakatan Diversi …………. dilakukan oleh Penyidik
bersama Anak dan/atau keluarganya, Pembimbing Kemasyarakatan, serta dapat
melibatkan tokoh masyarakat”. 
Kualifikasi seperti ini jelas berbeda hakikatnya dengan yang dianut oleh
UU SPPA dan bahkan bertentangan dengan Konstruksi Pertama yakni “Kesepakatan Diversi”
tanpa memerlukan kesediaan Anak dan keluarganya.

4.      Konstruksi Keempat : Kesepakatan Diversi dilakukan


oleh Penyidik atas rekomendasi Pembimbing Kemasyarakatan.

Pasal
10 ayat (2) UU SPPA menyatakan Kesepakatan Diversi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh Penyidik atas rekomendasi Pembimbing Kemasyarakatan
dapat berbentuk:

a.       pengembalian kerugian dalam hal ada korban;

b.      rehabilitasi medis dan psikososial;

c.       penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;

d.      keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di


lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau

e.       pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan.

Aturan
di atas menunjukkan langkah Penyidik membuat kesepakatan Diversi, meski tidak
mensyaratkan kesediaan Anak dan keluarganya, keterlibatan tokoh masyarakat akan tetapi Penyidik
dalam membuat kesepakatan Diversi
harus atas rekomendasi dari PK.

Rekomendasi
dari PK-lah sebenarnya yang menjadi penentu isi kesepakatan Diversi, oleh
karena secara yuridis PK-lah yang dianggap mengetahui kepentingan yang terbaik
untuk Anak karena PK-lah yang melakukan penelitian kemasyarakatan terhadap Anak
tersebut. 

C.     Pelaksanaan Diversi Tindak Pidana Tanpa Korban menurut


RPP Diversi

Dalam RPP Diversi diatur tata cara pelaksanaan Diversi tindak pidana tanpa
korban sebagai berikut :

Paragraf
5
Proses
Diversi yang tidak Memerlukan Persetujuan Korban

Pasal 25

(1)      Kesepakatan Diversi harus mendapatkan persetujuan


korban atau Anak Korban dan/atau keluarga Anak Korban serta kesediaan Anak dan keluarganya.

(2)      Persetujuan korban atau Anak Korban dan/atau


keluarga Anak Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperlukan dalam
hal:

a.    tindak pidana yang berupa pelanggaran;

b.    tindak pidana ringan;

c.    tindak pidana tanpa korban; atau

d.   nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah


minimum provinsi setempat.

(3)      Kesepakatan Diversi yang dilakukan tanpa


persetujuan korban atau Anak Korban dan/atau keluarga Anak Korban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Penyidik bersama Anak dan/atau keluarganya,
Pembimbing Kemasyarakatan, serta dapat melibatkan tokoh masyarakat.

Pasal 26

Kesepakatan Diversi sebagaimana dimaksud 


dalam Pasal 25 dilakukan oleh Penyidik atas rekomendasi Pembimbing
Kemasyarakatan dapat berbentuk:

a.      
pengembalian kerugian dalam hal ada
korban;

b.     
rehabilitasi medis dan psikososial;

c.      
penyerahan kembali kepada orang
tua/Wali;

d.     
keikutsertaan dalam pendidikan atau
pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau

e.      
pelayanan masyarakat paling lama 3
(tiga) bulan.

Pasal 27

Kesepakatan Diversi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 langsung diselesaikan di tingkat Penyidikan,
kecuali Anak tidak melaksanakan kesepakatan Diversi.
Pasal 28

(1)      Dalam
hal tidak ada korban dan Anak serta keluarganya setuju dilakukan Diversi, Penyidik
menentukan waktu pertemuan untuk musyawarah.

(2)      Musyawarah
dipimpin oleh Penyidik sebagai fasilitator dan Pembimbing Kemasyarakatan
sebagai pembantu fasilitator.

(3)      Musyawarah
dihadiri oleh Anak dan orang tua/walinya serta dapat melibatkan tokoh
masyarakat.

(4)      Pihak
yang hadir dapat memberikan masukan/pendapat/rekomendasi.

(5)      Musyawarah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali
sesuai dengan kebutuhan.

Pasal 29

(1)      Kesepakatan
Diversi dirumuskan dalam surat kesepakatan Diversi yang ditandatangani oleh Anak
dan keluarganya, korban atau Anak Korban dan kerluarganya, Penyidik,
fasilitator serta saksi.

(2)      Seluruh
proses pelaksanaan Diversi dicatat dalam berita acara Diversi.

D.    Suatu Usulan : Tata Cara Pelaksanaan Diversi Tindak


Pidana Tanpa Korban.

Dari ulasan dan analisa aturan UU SPPA diperbandingkan pula dengan isi RPP Diversi
maka terdapat langkah-langkah yuridis dalam pelaksanaan Diversi tindak pidana
tanpa korban sebagai berikut :

1.      Jika yang dipakai adalah konstruksi : “Hanya Penyidik


yang berwenang melakukan Diversi tindak pidana tanpa korban” (Dasar Hukum :
Pasal 10 jo Pasal 9 ayat (2) UU SPPA);

a.       Diversi menghasilkan kesepakatan, langkahnya


adalah :

-       Penyidik melaksanakan Diversi ;

-       Diversi dilakukan Penyidik bersama pelaku dan/atau


keluarganya, Pembimbing Kemasyarakatan, serta dapat melibatkan tokoh masyarakat.

-       Anak dan keluarganya menyetujui dilakukan Diversi/


Anak mengakui perbuatannya.
-       Pembimbing Kemasyarakatan memberikan rekomendasi
kepada Penyidik tentang bentuk kesepakatan Diversi;

-       Kesepakatan Diversi dibuat oleh Penyidik dengan


“dapat” melibatkan Anak dan keluarga serta tokoh masyarakat akan tetapi asasnya
adalah tidak memerlukan kesediaan Anak dan keluarganya, selanjutnya bersama
dengan berita acara Diversi diajukan ke Pengadilan Negeri untuk dibuatkan
Penetapan KPN atas kesepakatan Diversi tersebut,

-       KPN mengeluarkan Penetapan tentang Kesepakatan Diversi.

-       Penyidik menerbitkan penetapan penghentian Penyidikan;

b.      Diversi tidak menghasilkan kesepakatan, langkahnya


adalah :

-       Penyidik melaksanakan Diversi ;

-       Diversi dilakukan Penyidik bersama pelaku dan/atau


keluarganya, Pembimbing Kemasyarakatan, serta dapat melibatkan tokoh
masyarakat. 

-       Anak dan keluarganya tidak menyetujui dilakukan


Diversi/Anak tidak mengakui perbuatannya.

-       Diversi dinyatakan gagal sejak awal, dibuatkan


berita acaranya dan perkara dilanjutkan ke Penuntutan.

-       Penuntut Umum mengajukan berkas perkara ke


Pengadilan untuk disidangkan.

Dalam
konstruksi ini penyebab utama perkara maju ke tahap penuntutan dan persidangan
karena Anak tidak mengakui perbuatannya, jika pada tahap penuntutan atau
persidangan Anak bersikap sebaliknya yakni mengakui perbuatannya dan menyetujui
dilakukan Diversi maka karena kewenangan Diversi hanya pada Penyidik, Diversi untuk
perkara Anak tersebut tidak dapat dilakukan oleh Penuntut Umum atau Hakim.

Dalam
RPP Diversi terdapat alasan lain gagalnya Diversi perkara tindak pidana tanpa
korban dan perkara dilanjutkan ke Penuntutan yakni apabila Anak tidak
melaksanakan kesepakatan Diversi (Pasal 27 RPP), dan jika berpegang teguh pada
rumusan pasal sebelumnya maka Penuntut Umum/Hakim tidak berwenang melakukan
lagi Diversi perkara Anak tersebut.

2.      Jika yang dipakai adalah konstruksi : “Penyidik, Penuntut


Umum, Hakim berwenang melakukan Diversi tindak pidana tanpa korban pada tingkat
pemeriksaannya masing-masing” (Dasar Hukum : Pasal 7 ayat (1) Jis Pasal 10, Pasal 9 ayat (2) UU
SPPA);

Penuntut
Umum atau Hakim baru berwenang melakukan Diversi jika Diversi gagal pada tahap sebelumnya,
oleh karena kewenangan juga melekat pada Penuntut Umum atau Hakim maka Diversi harus
dilaksanakan sesuai langkah Diversi pada tahap Penyidikan yakni :

a.       Diversi menghasilkan kesepakatan, langkahnya


adalah :

-       Penuntut Umum/ Hakim melaksanakan Diversi ;


-       Diversi dilakukan Penuntut Umum/Hakim bersama
pelaku dan/atau keluarganya, Pembimbing Kemasyarakatan, serta dapat melibatkan
tokoh masyarakat;

-       Anak yang semula pada tingkat Penyidikan tidak


mengakui perbuatannya menjadi mengakui perbuatannya atau Anak dan Keluarganya yang
pada tingkat sebelumnya tidak menyetujui dilakukan Diversi menjadi menyetujui
dilakukan Diversi.

-       Pembimbing Kemasyarakatan memberikan rekomendasi


kepada Penuntut Umum/Hakim mengenai isi/bentuk kesepakatan Diversi;

-       Kesepakatan Diversi dibuat oleh Penuntut Umum/Hakim


dengan “dapat” melibatkan Anak dan keluarga serta tokoh masyarakat tetapi asasnya
adalah tidak memerlukan kesediaan Anak dan keluarganya, selanjutnya bersama
dengan berita acara Diversi diajukan ke Ketua Pengadilan Negeri untuk dibuatkan
Penetapan KPN atas kesepakatan Diversi tersebut.

-       KPN mengeluarkan Penetapan tentang Kesepakatan Diversi.

-       Penuntut Umum menerbitkan penetapan penghentian


penuntutan/Hakim menerbitkan Penetapan Penghentian Pemeriksaan Perkara.

Sebaiknya
untuk memperkuat konstruksi ini pihak pendiversi sebelumnya yaitu Penyidik dan Penuntut
Umum harus dinyatakan kehilangan hak yuridisnya untuk terlibat dan berkeberatan
dengan proses Diversi selanjutnya, sehingga saat Diversi pada tingkat
penuntutan, Penyidik tidak memiliki dasar hukum untuk terlibat dan keberatan
dengan kesepakatan Diversi yang dihasilkan oleh Penuntut Umum, begitu pula Penuntut
Umum pada saat Diversi pada tingkat Pengadilan Negeri tidak diberikan ruang
untuk terlibat dan keberatan jika Diversi di pengadilan berhasil mencapai
kesepakatan.

Dengan
demikian jika terjadi kasus penyalahgunaan narkotika oleh Anak dan Diversinya gagal
di Penyidikan dan Penuntutan akan tetapi pada saat didiversi di pengadilan, Anak
menjadi mengakui perbuatannnya maka Hakim tidak perlu melibatkan pihak Penuntut
Umum untuk mempertanyakan sikap yuridisnya atas perkara Anak tersebut tetapi
langsung membuatkan kesepakatan Diversi atas rekomendasi dari PK.  Hal ini untuk menyelesaikan
masalah jika Anak
bersedia didiversi akan tetapi Penuntut Umum keberatan dengan hal tersebut.

b.      Diversi tidak menghasilkan kesepakatan, langkahnya


adalah :

-       Penuntut Umum/ Hakim melaksanakan Diversi ;

-       Diversi dapat dilakukan Penuntut Umum/ Hakim bersama


pelaku dan/atau keluarganya, Pembimbing Kemasyarakatan, serta dapat melibatkan
tokoh masyarakat. 

-       Anak tetap tidak mengakui perbuatannya atau Anak dan


keluarganya tidak menyetujui dilakukan Diversi.

-       Diversi dinyatakan gagal sejak awal, dibuatkan berita


acaranya dan perkara dilanjutkan ke Penuntutan atau Persidangan  (Penuntut Umum mengajukan
berkas perkara ke
Pengadilan untuk disidangkan, Hakim menentukan hari sidang untuk pemeriksaan
perkara).
Usulan
langkah di atas bisa diaplikasikan terhadap Diversi tindak pidana lainnya dalam
Pasal 9 ayat (2) UU SPPA yakni pelanggaran; 
tindak pidana ringan; dan nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai
upah minimum provinsi setempat, dengan ketentuan jika menurut hukum acara Penuntut
Umum tidak dilibatkan dalam proses pemeriksaan perkara tertentu maka wewenang Penuntut
Umum untuk melakukan Diversi perkara tersebut menjadi hapus. 

E.     Penutup : kepentingan Anak yang paling utama.

Konstruksi dan langkah pelaksanaan Diversi tindak pidana tanpa korban di


atas merupakan hasil analisis sederhana dengan tujuan untuk memperkaya wacana dan
memberikan masukan dalam pembuatan aturan pelaksana Diversi tindak pidana tanpa
korban khususnya dan umumnya terhadap Diversi tanpa persetujuan korban (tindak
pidana pelanggaran, tipiring dan yang kerugiannya dibawah UMP).

Pemberian kewenangan pada setiap tingkat pemeriksaan (Penyidik, Penuntut


Umum, Hakim) untuk melaksanakan Diversi tindak pidana tanpa korban memiliki
aspek yang lebih dalam melindungi kepentingan Anak dan sesuai dengan jiwa UU
SPPA jika Diversi pada semua tingkat pemeriksaan merupakan hal yang wajib dan
penting dilaksanakan. 

Diharapkan aturan Pasal 9 dan 10 UU SPPA dalam kerangka Pasal 7 ayat (1) UU
SPPA sehingga dalam PP Diversi diatur dan diberikan kewenangan pada semua
tingkat pemeriksaan untuk melaksanakan Diversi perkara Anak yang melakukan
tindak pidana tanpa korban jika mekanisme Diversi pada tingkat sebelumnya gagal.

[1] Pasal 1
angka 3 UU SPPA menyatakan anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas)
tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan
tindak pidana. 

-         
Pengertian
anak dalam UU SPPA mendasarkan pada batas umur semata tanpa mensyaratkan pernah
tidaknya anak terikat dalam 
perkawinan,  konstruksinya sama
dengan pengertian anak menurut Pasal 1 angka1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yakni Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

-         
Pasal 2 PERMA
No. 4 Tahun 2014, Diversi dilakukan terhadap anak yang telah berumur 12 tahun
tetapi belum berumur 18 tahun atau telah berumur 12 tahun meskipun pernah kawin
tetapi belum berumur 18 tahun

[2] Menurut
Putusan Mahkamah Konstitusi  No.
110/PUU-x/2012 : Pasal 96,  Pasal 100 dan
Pasal 101 UU No.11 Tahun 2012 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat

[3] Menurut Penjelasan Pasal 9 ayat (2) UU SPPA,


ketentuan mengenai “Persetujuan keluarga Anak Korban” dimaksudkan dalam hal
korban adalah Anak di bawah umur.

[4] http://icjr.or.id/selamat-datang-tindak-pidana-diversi/, diakses tanggal 21 Januari 2014.

[5] Pasal 1
angka 15 UU jis Pasal 59, Pasal 67,
Pasal 78 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan anak yang
menjadi “korban” penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya (napza) harus mendapatkan perlindungan khusus.

[6] Mengenai “keabsolutan” keputusan penyidik c.q PK dan penyampingan


persetujuan dari korban dalam UU SPPA bukan hal yang “aneh”, karena Pasal 21 UU
SPPA menunjukkan adanya “keabsolutan” penyidik c.q PK untuk anak belum berumur
12 melakukan Tindak Pidana, aturannya menyebutkan Jika Anak belum berumur 12
tahun melakukan tindak pidana maka : Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan
Pekerja Sosial Profesional; mengambil keputusan dan Keputusan ini
diserahkan ke pengadilan untuk ditetapkan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari
untuk :

-       
menyerahkannya kembali kepada orang tua; atau

-       
mengikutsertakannya dalam program pendidikan,
pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS paling lama 6
(enam) bulan dan dapat diperpanjang paling lama 6 bulan.

[7] Lihat Bagian Keenam Acara Pemeriksaan Cepat


menurut UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
[8] Supriyadi
Widodo Eddyono, Erasmus A.T. Napitupulu dan Anggara, Minimum Partisipasi, Minimum Proteksi :
Catatan ICJR Terhadap RPP SPPA,
2014 : hal 13.

[9] Salah satu


contoh kurangnya aturan dalam UU SPPA adalah mekanisme penghentian perkara anak
setelah kesepakatan diversi berhasil dan ditetapkan oleh KPN, jika pada tingkat
penyidikan diatur mekanisme SP3 dan pada tingkat Penuntutan diatur mekanisme
penghentian penuntutan (Pasal 12 ayat (5) UU SPPA), akan tetapi
bentuk/mekanisme penghentian perkara yang diversinya berhasil pada tingkat
Pengadilan Negeri tidak disebut/diatur dalam SPPA.

   Atas kekurangan mekanisme ini maka Mahkamah Agung membuat aturan


Pasal 6 ayat (5) Perma No. 4 Tahun 2014, yakni jika diversi mencapai
kesepakatan maka setelah menerima penetapan dari KPN, Hakim menerbitkan
Penetapan Penghentian Pemeriksaan Perkara.

[10] Pasal 127 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 tentang


Narkotika menyatakan Setiap Penyalah Guna:

a.  
Narkotika
Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun;

b.  
Narkotika
Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun; dan

c.  
Narkotika
Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun.

[11] Kritik utama terhadap UU Peradilan Anak yang lama


khususnya dan hukum pidana pada umumnya adalah tidak adanya ketentuan yang
mengatur hak hakim untuk menyampingkan perkara yang sepele/ringan, contoh kasus
yang mengemuka dipublik menunjukkan atau perkara tidak patut/layak maju ke
persidangan adalah perkara anak di Palu karena pencurian sandal jepit.

Hak cipta © 1999 – 2020 Google

Anda mungkin juga menyukai