Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

“Audit Investigatif dengan Menganalisis Unsur Perbuatan Melawan Hukum”

Dosen Pengampuh : Riana Anggraeny Ridwan, SE., M.Si

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK VIII

Nurul Fitrah C0220004

Nasmawati C0220308

Nurhazanah Adinah C0220317

Hesti Widianinsi C0220389

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SULAWESI BARAT

TAHUN AJARAN 2022/2023


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Akuntansi forensik bekerja sama dengan hukum dalam menyelesaikan masalah
hukum. Karena itu, akuntan forensik perlu memahami hukum pembuktian sesuai dengan
masalah hukum yang dihadapi, seperti pembuktian untuk tindak pidana hukum (dimana
beberapa pelanggaran dan kejahatan mengenai fraud diatur ), tindak pidana khusus (seperti
korupsi, pencucian uang, perpajakan, dan lain-lain), pembuktian dalam hukum perdata,
pembuktian dalam hukum administrasi, dan sebagainya. Akuntan forensik mengenal teknik
analisis dari pengalamannya sebagai auditor.
Bab ini membahas teknik analisis dengan menggunakan rumusan mengenai
perbuatan- perbuatan melawan hukum seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 jucto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (selanjutnya disingkat Undang-Undang Tipikor).
Perbuatan melawan hukum dirumuskan dalam satu atau beberapa kalimat yang dapat
dianalisis atau dipilah-pilah ke dalam bagian yang lebih kecil. Unsur-unsur ini dikenal dengan
istilah Belanda, bestanddeed (tunggal) atau bestanddeelen (jamak). Penyidik atau akuntan
forensik mengumpulkan bukti dan barang untuk setiap unsur tersebut. Bukti dan barang bukti
yang dikumpulkan setiap unsur akan mendukung atau membantah adanya perbuatan melawan
hukum.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja Jenis Tindak Pidana Korupsi ?
2. Apa saja Tindak Pidana Lain Berkaitan Dengan Tipikor?
3. Sebutkan beberapa Konsep Undang-Undang ?
4. Apa saja Analisis Korupsi ?

C. TUJUAN
1. Mengetahui Jenis Tindak Pidana Korupsi
2. Mengetahui Tindak Pidana Lain Berkaitan Dengan Tipikor
3. Mengetahui Konsep Undang-Undang
4. Mengetahui Analisis korupsi

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. TIGA PULUH JENIS TINDAK PIDANA KORUPSI


Undang-undang tipikor merumuskan 30 jenis atau bentuk tindak pidana korupsi yang
dibagi dalam tujuh kelompok yang diringkas dalam Tabel 1.

Tabel 1

Perincian 30 Jenis Tindak Pidana Korupsi

Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009

Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

3
4
B. TINDAK PIDANA LAIN BERKAITAN DENGAN TIPIKOR
Selain ke-30 bentuk tindak pidana korupsi, Undang-Undang Tipikor Bab III mengatur
beberapa tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.
1. Mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka.
terdakwa, atau saksi dalam perkara korupsi.
2. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar.
3. Dalam perkara korupsi, melanggar KUHP Pasal 220 (mengadukan perbuatan pidana.
padahal ia tahu perbuatan itu tidak dilakukan), Pasal 231 (menarik barang yang disita),
Pasal 421 (pejabat menyalahgunakan kekuasaan, memaksa orang melakukan, tidak
melakukan, atau membiarkan sesuatu). Pasal 422 (pejabat menggunakan paksaan
untuk memeras pengakuan atau mendapat keterangan). Pasal 429 (pejabat
melampaui kekuasaan memaksa masuk ke dalam rumah atau ruangan atau
pekarangan tertutup... atau berada di situ secara melawan hukum) atau Pasal 430

5
(pejabat melampaui kekuasaan menyuruh memperlihatkan kepadanya atau merampas
surat, kartu pos, barang atau paket... atau kabar lewat kawat)

C. BEBERAPA KONSEP UNDANG-UNDANG


Di bawah ini ada catatan mengenai beberapa konsep, baik yang secara umum dikenal
dalam KUHP dan KUHAP maupun yang khas untuk tindak pidana korupsi, Konsep-konsep itu
adalah:
1. Alat bukti yang sah
Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal
188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,
khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari:
a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu,
dan
b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca,
dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas,
maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar,
peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki
makna.

2. Beban Pembuktian Terbalik


Pembuktian terbalik ini diberlakukan pada tindak pidana baru tentang
gratifikasi dan terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga
berasal dari salah satu tindak pidana.

3. Gugatan Perdata atas Harta yang Disembunyikan


Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga
juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk
negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka negara dapat
melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya.

6
4. Perampasan Harta Benda yang Disita
Ketentuan ini dapat dilihat dalam Pasal 38 ayat 5 dari Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 yang berbunyi sebagai berikut:
Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti
yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindakan pidana korupsi
maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang
yang telah disita.
dan penjelasannya berbunyi sebagai berikut: “Ketentuan dalam ayat ini, dimaksudkan
pula untuk menyelamatkan kekayaan Negara"
Karena orang itu telah meninggal dunia, kesempatan baginya banding tidak
ada. Setelah ia meninggal, pertanggungjawabannya dibatasi sampai pada
perampasan harta benda yang telah disita.

5. Pemidanaan secara In Absentia


Pengalaman mengenai koruptor yang melarikan diri atau tidak hadir dalam
persidangan, diatasi dengan ketentuan mengenai pemidanaan secara in absentia. Hal
ini diatur dalam pasal 38 ayat 1. 2, 3, dan 4 Undang-Undang Pemberantasan Tipikor
yang berbunyi sebagai berikut:
1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang
pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus
tanpukehadirannya.
2) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan
dijatuhkan. maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan
surat-surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai
diucapkan dalam sidang yang sekarang.
3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut
umum padi papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau
diberitahukan kepada kuasanya.
4) Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan banding atas putusan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

6. "Memperkaya" versus "Menguntungkan"


Seorang pejabat menerima suap dari seorang pengusaha dan seluruh jumlah
itu diberikan kepada atasannya. Pejabat itu tidak memperkaya dirinya sendiri, tetapi

7
tetap menguntungkan dirinya sendiri. Dengan menyerahkan seluruh tawaran itu
kepada atasannya, ia menguntungkan diri karena bisa mendapat keistimewaan (favor)
dalam bentuk kenaikan pangkat, jabatan, gaji dan seterusnya.
Perumusan TPK dalam Pasal 2 Undang-Undang Tipikor berbeda dari
perumusan dalam Pasal 3. Dalam Pasal 2, digunakan istilah "memperkaya diri sendiri
atau orang lain". Sementara itu, dalam Pasal 3. digunakan istilah "menguntungkan diri
sendiri atau orang lain"

7. Pidana Mati
Dalam Pasal 2 ayat 2 dari Undang-Undang Tipikor, dikatakan: "Dalam hal
tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam
keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan". Penjelasannya berbunyi sebagai
berikut:
Yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini dimaksudkan
sebagaipemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut
dilakukanpada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang
yang berlaku pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak
pidana korupsi atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

8. Nullum Delictum
Maknanya dapat dilihat pada Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi: "Suatu perbuatan
tidak dapat dipidana. kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundangundangan
pidana yang telah ada"
Dalam kaitan dengan TPK, asas ini dikemukakan dalam dua kasus. Pertama
untuk kasus-kasus TPK yang dilakukan sebelum keluarnya suatu undang-undang,
tetapi diadili setelah keluarnya undang-undang tersebut. Kedua, sewaktu KPK
menangani kasus yang terjadi sebelum keuarnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan TPK. ada orang yang mempertanyakan
wewenang KPK dengan menggunakan asas nullum delictum ini. Dalam kasus
semacam ini, asas ini sebenarnya tidak dilanggar karena substansi hukumnya sudah
diatur dalam undang-undang yang mendahului TPK itu. Yang terjadi kemudian adalah
perluasan dari aparat yang menanganinya, yakni dari polisi dan jaksa ke KPK.

8
9. Concursus Idealis
Konsep concursus idealis berkenaan dengan satu perbuatan yang tercakup dalam
lebih dari satu aturan pidana. Hal ini terlihat dalam Pasal 63 yang berbunyi sebagai
berikut:
1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang
dikenakan hanyasalah satu di antara aturan-aturan itu; jika berbeda-beda,
yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
2) Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur
pula dalam aturanpidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang
diterapkan.

10. Concursus Realis


Konsep concursus realis ini berkenaan dengan beberapa perbuatan yang
dilakukan berbarengan. Hal ini terdapat dalam KUHP Pasal 65 yang berbunyi sebagai
berikut.
1) Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai
perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang
diancam dengan pidana pokokyang sejenis, maka dijatuhkan hanya satu
pidana.
2) Maksimum pidana yang dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana yang
diancam terhadap perbuatan itu, tetapi boleh lebih dari maksimum pidana
yang terberat ditambah sepertiga.

11. Perbuatan Berlanjut


Perbuatan berlanjut ini diatur dalam Pasal 64 ayat 1 KUHP yang berbunyi
sebagai berikut.
1) Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan
kejahatan ataupelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga
harus dipandang sebagai satuperbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan
satu aturan pidana jika berbeda-beda. yangditerapkan yang memuat ancaman
pidana pokok yang paling berat.

9
12. Lepas dari Tuntutan Hukum" versus "Bebas".
Putusan bebas (vrijspraak) atau bebas mumi (zaivere vrijspraak) diatur dalam
KUHAP Pasal 191 ayat 1 yang berbunyi: "Jika pengadilan berpendapat bahwa dari
hasil pemeriksaan di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwaan
kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas."
"Lepas dari segala tuntutan hukum" (ontslag van alle rechtsvervolging) diatur
dalam KUHAP Pasal 191 ayat 2 yang berbunyi sebagai berikut: "Jika pengadilan
berpendapat bahwa perbuatan yang didakwaan kepada terdakwa terbukti, tetapi
perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari
segala tuntutan hukum."

D. ANALISIS KASUS KORUPSI


Para akuntan forensik dapat menarik pelajaran berharga dari pendapat dan komentar
para ahli hukum mengenai kasus-kasus yang sudah ada putusan hakim. Prof. Dr. Jur. Andi
Hamzah adalah salah satu seorang di antara para ahli hukum pidana dan hukum acara pidana
yang banyak menulis tentang kasus-kasus korupsi.
Analisis berikut disarikan dari tulisan beliau. Beliau memberikan pendapat dalam
kasus-kasus korupsi, seperti dalam kasus Akbar Tandjung di Pengadilan Tinggi, Selanjutnya
pendapat beliau digunakan oleh Mahkamah Agung meskipun tidak secara utuh.
Dalam bukunya, Profesor Andi Hamzah mencantumkan posisi dan analisis kasusnya
secara terperinci. Analisis di bawah merupakan ringkusan untuk menonjolkan hal-hal penting
bagi akuntan forensik. Para akuntan forensik sebaiknya mempelajan dokumentasi dari suatu
kasus secara utuh, yaitu sejak surat dakwaan yang diajukan penuntut umum, sampai kepada
Mahkamah Agung.

KASUS SAMADIKUN HARTONO


Penuntut Umum mendakwa Samadikun Hartono (Presiden Komisaris PT Bank Modern Tbk).
bersama-sama dengan Bambang Trianto (Presiden Direktur PT Bank Modern Tbk).
Dakwaan primair
Secara berlanjut (voortgezette handeling) melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu badan secara melawan hukum atau secara tidak patut menggunakan
uang atau menyalurkan dana BLBI atau bertentangan dengan peruntukannya yang secara
langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara sebesar Rp169.492.986.461.54.

10
Dakwaan subsidair
Perbuatan itu juga menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dengan
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan
atau kedudukan, yang langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.
Menarik sekali apa yang dikatakan Andi Hamzah mengenai putusan Pengadilan Negeri dan
Mahkamah Agung dalam kasus Samadikun Hartono, serta tragedi pada akhirnya.
Dalam pertimbangan Pengadilan Negeri, perbuatan terdakwa tidak dapat dikualifikasikan
sebagai perbuatan melangar hukum. Karena itu terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan
baik yang primair maupun yang subsidair.
Nyata sekali kekeliruan hakim karena pada dakwaan subsidair yang terdakwa juga
dibebaskan, tidak ada bagian inti (bestanddeel) melawan hukum sehingga tidak perlu
dibuktikan.
Adalah hak terdakwa dan penasihat hukumnya untuk membuktikan bahwa tidak ada unsur
melawan hukum, dan jika hakim menerima alasan tersebut, putusannya harus lepas dari
segala tuntutan hukum dan bukan bebas (vrispraak). Putusan macam inilah yang disebut oleh
doktrin sebagai bebas mumi atau niet zuivere vrijspraak yang sama dengan lepas dari segala
tuntutan hukum terselubung (verkapte ontslag van alle rechtsvervolging).
Oleh karena itu, benar putusan mahkamah agung yang menerima permohonan kasasi jaksa
penuntut umum karena putusan tersebut seharusnya lepas dari segala tuntutan hukum yang
dapat diajukan dalam tingkat kasasi.
Mahkamah Agung memutuskan bahwa terdakwa Samadikun Hartono terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama
dan berlanjut. Terdakwa dipidana dengan pidna penjara empat tahun dan denda sebesar
Rp20.000.000,00 subsidair tiga bulan kurungan.

11
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN
Kesimpulannya adalah terdapat beberapa pasal pada dasar hukum yang ada di undang-
undang tipikor tentang tindak pidana korupsi yaitu Pasal 2. Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 11, dan
Pasal 12. Adapun juga unsur-unsur tindak pidana korupsi dan jenis bentuk tindak pidana korupsi yang
telah dikelompokkan menurut undang-undang. Terdapat beberapa konsep, baik secara umum dikenal
KUHP dan KUHAP maupun yang khas untuk tindak pidana korupsi. Konsep-konsep tersebut terdiri dari
alat bukti yang sah, beban pembuktian terbalik, gugatan perdata atas harta yang disembunyikan,
pemidanaan secara in absentia, memperkaya versus menguntungkan, pidana mati, nullum delictum,
concursus idealis, concursus realis, perbuatan berlanjut dan lepas dari tuntutan hukum versus bebas.
Terdapat juga kasus korupsi yaitu kasus Korupsi Samadikun Hartono.

12

Anda mungkin juga menyukai