Anda di halaman 1dari 38

Pembuktian Terbalik

Bambang Santoso,S.H.,M.Hum

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SOLO
Referensi
• Indriyanto Seno Aji, 2006, Korupsi dan Pembalikan Beban
Pembuktian
• Martiman Prodjohamidjojo, 2001, Penerapan Pembuktian
Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU No. 31 tahun 1999)
• Hari Sasangka, Hkm Pembuktian dalam perkara Pidana
PENGATURAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UU PIDANA
KHUSUS
DI INDONESIA

• UU NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA  PASAL 98 


Hakim berwenang meminta terdakwa membuktikan bahwa seluruh
harta kekayaan dan harta benda istri, suami, anak, dan setiap orang
atau korporasi bukan berasal dari hasil tindak pidana Narkotika dan
Prekursor Narkotika yang dilakukan terdakwa.
• UU NOMOR 8 TAHUN 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN
PEMBERANTASAN TPPU  Pasal 78 (1) Dalam pemeriksaan di
sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, hakim
memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa Harta Kekayaan
yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). (2)
Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan
perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
• UU TIPIKOR
Mengapa Korupsi Termasuk Kejahatan yang Sulit Dijangkau
Oleh Hukum (beyond the reach of law)?

Kedudukan ekonomi atau politik yang kuat dari pelaku

Keadaan-keadaan sekitar perbuatan yang mereka


lakukan itu sedemikian rupa sehingga mengurangi
kemungkinan mereka untuk dilaporkan atau dituntut


Indonesia adalah negara yang sangat tinggi
tingkat korupsinya namun tidak ada koruptornya
Mengapa Korupsi Termasuk Kejahatan yang
Sulit Dijangkau Oleh Hukum (beyond the
reach of law)?

Kedudukan ekonomi atau politik yang kuat


dari pelaku
Keadaan-keadaan sekitar perbuatan yang
mereka lakukan itu sedemikian rupa
sehingga mengurangi kemungkinan
mereka untuk dilaporkan atau dituntut

Indonesia adalah negara yang
sangat tinggi tingkat korupsinya
namun tidak ada koruptornya
• Putusan dalam perkara korupsi:
1.Kasus diputus sebagai kasus perdata, sehingga
tidak layak diproses dalam prosedur peradilan
pidana
2.Tidak ada bukti-bukti otentik yang mendukung
telah terjadinya tindak pidana korupsi yang
berakibat dibebaskannya terdakwa
3.Bukti-bukti yang dimunculkan di pengadilan
cukup kuat, ada alasan-alasan yang
memberatkan, namun akhirnya terdakwa
dijatuhi pidana yang ringan.
HAL-HAL BARU DALAM
UU NO. 31 TAHUN 1999

1. Pengembalian kerugian negara tidak menghapus


dipidananya pelaku
2. Perumusan Delik Sebagai delik formal (direvisi dgn
putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 menjadi delik
materiil)
3. Pidana Minimal Khusus
4. Korporasi Sebagai Subyek TPK
5. Delik gratifikasi
6, Ancaman Pidana mati
7. Ancaman pidana penjara sebagai ganti pidana
tambahan pembayaran uang pengganti
Pembuktian Terbalik

• Adopsi dari sistem Anglo Saxon Reversal Burden of Proof (Omkering


van het Bewijslast)  Pembalikan beban pembuktian  Thd certain case
(gratification/bribery)
• TP Korupsi  seriousness /extra ordinary crime  penanganannya secara
extra ordinary
• Tdk pernah berlaku secara absolut dan total
• Bertentangan dengan asas presumption of innonce, non self
incrimination, dan remain silent (The Bill of Right  no person shall be
compelled in any criminal case to be a witness againts him self)
• Konsekuensi logis dari asas praduga tak bersalah ini, maka kepada
tersangka atau terdakwa diberikan hak oleh hukum untuk tidak
memberikan keterangan yang akan memberatkan/merugikan dirinya di
muka persidangan (the right of non-self incrimination), dan untuk tidak
memberikan jawaban baik dalam proses penyidikan maupun dalam
proses persidangan ( the right to remain silent).
Pembuktian terbalik
 Asas praduga tak bersalah merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari prinsip due of process  suatu
proses telah berlangsung jujur, adil, dan tidak memihak

 Dlm UUPTPK tdk diberlakukan thd semua delik TP


Korupsi (Psl 2 s/d 16 UU No. 31/1999)  hanya thd delik
pemberian yg berkaitan dgn suap dan soal perampasan
 Dilakukan dalam proses peradilan  bukan pada saat
penyidikan/penuntutan
 Di dalam hukum acara pidana Belanda , hak to remain
silent tersangka/terdakwa dijamin dan dilindungi
sedemikian rupa sehingga jika penyidik memaksa
keterangan dari tersangka/terdakwa, maka
tersangka/terdakwa diberikan hak untuk mengajukan
”review” kepada ”examining judges” untuk memeriksa
kebenaran ”review” dari tersangka/terdakwa ybs.
 Tim perancang RUU KUHAP (2007), di bawah pimpinan
Prof. Andi Hamzah, yang telah memasukan ketentuan
mengenai ”hakim komisaris” atau semacam ”examining
judges” di dalam sistem hukum acara pidana, yang
bertugas mengawasi dan memeriksa penyalahgunaan
wewenang (abuse of power) penyidik dalam
menjalankan tugasnya
Pembuktian terbalik

 Asas praduga tak bersalah


merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari prinsip due
of process  suatu proses
telah berlangsung jujur, adil,
dan tidak memihak
 Dlm UUPTPK tdk diberlakukan
thd semua delik TP Korupsi
(Psl 2 s/d 16 UU No. 31/1999) 
hanya thd delik pemberian yg
berkaitan dgn suap dan soal
perampasan
 Dilakukan dalam proses
peradilan  bukan pada saat
penyidikan/penuntutan
Pembuktian terbalik bersifat
terbatas/khusus dan berimbang

• Hanya terbatas dilakukan thd delik gratification yg berkaitan dgn


bribery
• Hanya terbatas dilakukan thd perampasan harta benda
• Hanya terbatas penerapan asas lex temporisnya  tdk dpt
diberlakukan secara retro aktif  melanggar HAM, asas legalitas
dan menimbulkan asas lex talionis (balas dendam)
• Tdk diperkenankan menyimpang dari asas daad-daderstrafrecht 
tdk diperkenankan melanggar kepentingan dan hak-hak prinsip
pembuat/pelaku
• Berimbang  beban pembuktian tetap dilakukan JPU
Diskusi Panel Mhs UI 10-12
Agustus 1970
 Tdk setuju pembuktian terbalik  krn:
 tdk ada keadaan darurat yg dpt
membenarkan penyimpangan yg mengurangi
HAM
 Dikhawatirkan akan menimbulkan penyakit
baru spt pemerasan yg tdk kurang jahatnya
dgn korupsi  terkait dgn mentalitas aparat
penegak hkm yg jelek
• Yang setuju  korupsi sdh merajalela shg menghambat
pembangunan sdgkan pemberantasannya kurang sungguh2
• Diakui penggunaan asas pembuktian terbalik melanggar asas
presumption of innonce dan non self incrimination  perlu diadakan
pengamanan (precautions), yaitu :
 Pembuktian terbalik hanya diperlukan khusus dlm hkm acara
pemberantasan korupsi
 ketidakmampuan utk membuktikan harta kekayaan sah bkn me
rpkan satu-satunya bukti, tetapi masih diperlukan alat bukti lain
dan keyakinan hakim
 Tindak pidana korupsi hrs diadili oleh pengadilan anti korupsi yg
khusus dgn PU khusus serta diadakan pengadilan banding-kasasi
 perlu peningkatan gaji dan peralatan yg layak bagi aparat hkm
YANG PERLU JADI PERTIMBANGAN
DALAM PEMBUKTIAN TERBALIK

 Perumusan dan pendekatan yang meminimalkan


pelanggaran HAM
 Pada perkara tindak pidana korupsi seperti apa saja
diberlakukan
 Siapa saja saja yang diberi kewenangan dan kapan
mempergunakannya
 Bagaimana mengendalikannya agar tidak disalahgunakan
 Bagaimana cara menilai keberhasilan penerapan konsep ini
secara keseluruhan
 Bagaimana cara mendapatkan dukungan masyarakat untuk
pemberlakuannya
Alasan penambahan ketentuan pembuktian
terbalik dalam UU No. 31 tahun 1999
 Ketentuan mengenai "pembuktian terbalik" perlu ditambahkan
dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai ketentuan yang
bersifat "premium remidium" dan sekaligus mengandung sifat
prevensi khusus terhadap pegawai negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 angka 2 atau terhadap penyelenggara negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, untuk tidak melakukan
tindak pidana korupsi.
 Pembuktian terbalik ini diberlakukan pada tindak pidana baru
tentang gratifikasi dan terhadap tuntutan perampasan harta
benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4,
Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini.
LANDASAN YURIDIS PEMBUKTIAN TERBALIK
DALAM UUPTK
 Pasal 37 UU No. 31 tahun 1999
 37A, 38 A, 38 B, 38 C UU No. 20 tahun 2001
Pasal 37
UU no. 31 tahun 1999
• Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi.
• Dalam hal terdakwa dapat dibuktikan bahwa ia tidak melakukan
tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan
sebagai hal yang menguntungkan baginya.
• Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang Seluruh harta
bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda
setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan
perkara yang bersangkutan.
• Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan
yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan
kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk
memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah
melakukan tindak pidana korupsi.
• Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat 2), dan 3)
dan ayat (4), penuntut umum tetap berkewajiban untuk
membuktikan dakwaannya.
PENJELASAN
PASAL 37
 Ketentuan ini merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana yang menentukan bahwa
jaksa yang wajib membuktikan dilakukannya tindak pidana, bukan
terdakwa. Menurut ketentuan ini terdakwa dapat membuktikan
bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Apabila terdakwa
dapat membuktikan hal tersebut, tidak berarti ia tidak terbukti
melakukan korupsi, sebab penuntut umum masih tetap
berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Ketentuan pasal ini
merupakan pembuktian terbalik yang terbatas karena jaksa
masih tetap wajib membuktikan dakwaannya.
Perubahan Psl 37 UU 31/1999 oleh UU No. 20/2001  Psl
37 dan 37A

• Pasal 37 :
• (1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia
tidak melakukan tindak pidana korupsi.
• (2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian
tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk
menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.
Pasal 37A
• Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta
bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda
setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan
dengan perkara yang didakwakan.
• (2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan
yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber
penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti
yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana
korupsi.
• (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal
15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan
Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap
berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
Pasal 38B
• Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14,
Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12
Undang-undang ini, wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda
miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak
pidana korupsi.
• (2)  Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak
pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak
pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian
harta benda tersebut dirampas untuk negara.
• (3)  Tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam 
ayat (2) diajukan oleh penuntut umum pada saat membacakan tuntutannya
pada perkara pokok.
Pasal 38B
• (4) Pembuktian bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) bukan berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh
terdakwa pada saat membacakan pembelaannya dalam perkara
pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi.
• (5) Hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk
memeriksa pembuktian yang diajukan terdakwa sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4).
• (6) Apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala
tuntutan hukum dari perkara pokok, maka tuntutan perampasan
harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
harus ditolak oleh hakim.
• Pasal 38 C
• Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana
yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana
korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka negara
dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli
warisnya.
PASAL 35
UU NO. 25/2003
(Tindak Pidana Pencucian Uang)
• Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang
pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa
harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak
pidana
• Penjelasan pasal 35 :Psl ini berisi ketentuan bahwa
terdakwa diberi kesempatan untuk membuktikan
harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana.
Ketentuan ini dikenal sebagai asas pembuktian
terbalik
HONGKONG
• Pasal 10 (1b) Prevention of Bribery Ordinance 1970,
Added 1974 : “or is in control of pecuaniary
resources of property disproportionate to his
present or past official emoluments, shall, unless he
gives satisfactory explanation to the court as to
how he was` able to maintain such standard of
living or how such pecuniary resources of property
came under his control, be guilty of an offence”.
 
Britain’s Prevention of Corruption Act 1916 (Section 2):

• “Where ….it proved that any money, gift, or other


consideration has been paid or given to or received by a
person in the employment of his majesty or any government
departement or a public body by or from a person, or agent of
a person holding or seeking to obtain a contract from his
majesty or any government departement or public body, the
money, gift or considerations shall be deemed to have been
paid or given and received corruptly as such inducement or
reward as in mentioned in such act unless the contrary is
proved
 
Prevention of Corruption ACT Singapore:
• “ Where …..it is proved that any gratification has been
paid or given to or received by a person in the
employment of the government or any departement
thereof or of a public body by or from a person or agent
of a person who has or seeks to have any dealing have
the government or any departement thereof any public
body, that grafitification shall be deemed to have been
paid or given and` received corruptly as an inducement
or reward as herein before mentioned unless the
contrary is proved
PENGERTIAN GRATIFIKASI

• Menurut Black’s Law Dictionary “a voluntarily given reward or recompense


for a service or benefit” (sebuah pemberian yang diberikan atas
diperolehnya suatu bantuan atau keuntungan)
• Gratifikasi berbeda dengan hadian dan sedekah. Hadiah dan sedekah tidak
terkait dengan kepentingan untuk memperoleh keputusan tertentu
• pemberian untuk memperoleh keuntungan tertentu lewat keputusan yang
dikeluarkan oleh penerima gratifikasi. Pemikiran inilah yang menjadi
landasan pasal pemidanaan gratifikasi.
• Pasal 12B ayat (1) UU No. 31/1999 yo UU No. 20/2001, yang berbunyi setiap
gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap,
apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya.
• Dari rumusan pasal tersebut, berarti tidak semua gratifikasi menjadi suap.
gratifikasi yang menjadi suap yang berakibat hukuman pidana (pemidanaan
gratifikasi) (Pasal 12 B (2)).
• Dalam penjelasan UU tersebut gratifikasi diartikan sebagai, pemberian dalam arti luas,
yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat atau diskon, komisi, pinjaman tanpa
bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-
cuma, dan fasilitas lainnya
PENGERTIAN GRAIFIKASI MENURUT KPK

• Menurut Buku Saku Memahami Gratifikasi yang diterbitkan Komisi


Pemberantasan Korupsi (hal. 3-4), pengertian gratifikasi mempunyai makna
yang netral, artinya tidak terdapat makna tercela atau negatif dari arti kata
gratifi­kasi tersebut.
• Tidak semua gratifikasi itu bertentangan dengan hukum, melainkan hanya
gratifikasi yang memenuhi kriteria dalam unsur Pasal 12B UU
Pemberantasan Tipikor saja. Sehingga untuk mengetahui kapan gratifikasi
menjadi kejahatan korupsi, perlu dilihat rumusan Pasal 12B ayat (1) UU
Pemberantasan Tipikor yang menyatakan:
• Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan
yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya
Kesimpulan pengertian Gratifikasi

• Jika dilihat dari rumusan di atas, maka dapat ditarik


kesimpulan bahwa suatu gratifikasi atau pemberian hadiah
berubah menjadi suatu yang perbuatan pidana suap pada saat
Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri menerima suatu
gratifikasi atau pemberian hadiah dari pi­hak manapun
sepanjang pemberian tersebut diberikan berhubungan dengan
jabatan ataupun pekerjaannya
ASAS PEMBUKTIAN GRATIFIKASI

• Asas pembuktian yang digunakan, pengaturan Pasal 12B UU


Pemberantasan Tipikor menentukan bila nilai gratifikasinya di atas
Rp10 juta atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan
merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi.
• Sedangkan, apabila nilai gratifikasinya kurang dari Rp10 juta,
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut
umum. Artinya, asas pembuktian terbalik hanya diterapkan terhadap
kasus suap yang nilai gratifikasinya di atas Rp10 juta atau lebih.
UNSUR-UNSUR GRATIFIKASI SEBAGAI
TINDAK PIDANA KORUPSI
• pegawai negeri atau penyelenggara negara;
• menerima gratifikasi;
• yang berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya;
• penerimaan gratifikasi itu tidak dilaporkan kepada KPK dalam
jangka waktu 30 hari sejak diterimanya gratifikasi .
• Secara operasional, yang harus dibuktikan oleh Jaksa Penuntut
Umum; pertama, adanya serah terima gratifikasi, kedua, adanya
putusan yang memberikan keuntungan pada penerima gratifikasi,
ketiga, adanya sebab akibat dari dua hal tersebut
LEGALITAS TERTANGKAP
TANGAN DLM GRATIFIKASI
• Penangkapan pelaku gratifikasi secara hukum pidana terkait dengan kapan gratifikasi
menjadi tindak pidana sehingga penyidik bisa melakukan tindakan hukum termasuk
penangkapan pada saat menerima gratifikasi atau yang biasa disebut dengan istilah
tangkap tangan. Kewenangan aparat melakukan tangkap tangan hanya pada
perbuatan hukum yang masuk kualifikasi tindak pidana.
• Menrt UU penerimaan gratifikasi tidak otomatis menjadi perbuatan yang terkualifisir
sebagai tindak pidana. Pasal 12 C (1) berbunyi; ketentuan sebagaimana dimaksud
pasal 12B (1) tidak berlaku jika penerima gratifikasi melaporkan gratifikasi yang
diterimanya kepada KPK. Penerima gratifikasi masih memiliki waktu 30 hari untuk
melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (Pasal 12C (2)). Pasal 12C
ayat 1 dan ayat 2 menghapus ketentuan pemidanaan gratifikasi sebagaimana dalam
pasal 12B ayat 1.
• Penerimaan gratifikasi belum otomatis menjadi tindak pidana karena undang-undang
masih memberikan kesempatan untuk melaporkan kepada KPK. Lantas, KPK dalam
waktu 30 hari sejak menerima laporan gratifikasi wajib menetapkan gratifikasi dapat
menjadi milik negara. (pasal 12C(1)).
• Penangkapan tangan penerimaan gratifikasi tidak bisa dibenarkan karena
bertentangan dengan pasal 12C
• penangkapan gratifikasi sangat bermanfaat untuk mengungkapkan adanya
kesepakatan perbuatan tindak pidana korupsi. Gratifikasi menjadi simbol atas
kesepakatan tersebut. Gratifikasi merupakan wajah di ujung permainan konspiratif
tindak pidana korupsi.Tanpa ada tangkan tangan gratifikasi tidak mungkin atau sulit
mengungkapkan adanya konspirasi tindak pidana korupsi.
MACAM GRATIFIKATOR
• Pelaku gratifikasi atau gratifikator, dalam ilmu hukum pidana
dipisahkan menjadi dua yaitu, gratifikator aktif dan gratifikator
pasif. Gratifikator aktif adalah orang yang memberikan gratifikasi,
sedang gratifikator pasif adal;ah orang yang menerima gratifikasi.
Kedua jenis gratifikator tersebut dapat dijerat dengan Pasal 12 B
UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001.
• Pasal 12 B menentukan bahwa sistem pembuktian dalam perkara
gratifikasi dibagi menjadi dua. Gratifikasi yang nilainya Rp 10 juta
atau lebih, maka gratifikator pasif harus membuktikan bahwa
gratifikasi itu bukan suap. Gratifikasi yang nilainya kurang dari Rp
10 juta, maka jaksa penuntut umum yang harus membuktikan
bahwa gratifikasi itu adalah suap.
HAMBATAN PEMBUKTIAN GRATIFIKASI
Salah satu hambatan dalam membuktikan apakah suatu
gratifikasi merupakan suap atau tidak, adalah adanya
kesulitan dalam menentukan apakah pemberian
gratifikasi tersebut berhubungan dengan suatu jabatan
atau pekerjaan.
Contohnya, Pemberian parsel (gratifikasi) pada saat
Lebaran, Natal atau Tahun Baru di kalangan pejabat
sudah menjadi tradisi yang berlangsung puluhan tahun.
Pada praktiknya, akan sulit untuk memilah mana pemberian
parsel yang dilakukan dengan dengan niat silaturahim,
dan pemberian parsel mana yang diiringi harapan naik
jabatan atau dapat proyek.
HAMBATAN PENEGAKAN HUKUM
GRATIFIKASI
• Implementasi penegakan peraturan gratifikasi meng­hadapi
kendala karena banyak masyarakat Indonesia masih
menganggap bahwa memberi hadiah (baca: gratifikasi)
merupakan hal yang lumrah.
• Secara sosiologis, hadiah adalah sesuatu yang bukan saja
lumrah tetapi juga berperan sangat penting dalam merekat
‘kohesi sosial’ dalam suatu masyarakat maupun antar-
masyarakat bahkan antar-bangsa.
Perbedaan suap dan
gratifikasi
• UU No. 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap (“UU 11/1980”)
• Selain pengaturan suap dan gratifikasi berbeda, definisi dan sanksinya juga berbeda.
Dari definisi tersebut di atas, tampak bahwa suap dapat berupa janji, sedangkan
gratifikasi merupakan pemberian dalam arti luas dan bukan janji. Jika melihat pada
ketentuan-ketentuan tersebut, dalam suap ada unsur“mengetahui atau patut dapat
menduga” sehingga ada intensi atau maksud untuk mempengaruhi pejabat publik
dalam kebijakan maupun keputusannya
• Sedangkan untuk gratifikasi, diartikan sebagai pemberian dalam arti luas,
namun dapat dianggap sebagai suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan
yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. 
• Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia memang masih belum terlalu
jelas pemisahan antara perbuatan pidana suap dan perbuatan pidana gratifikasi
karena perbuatan gratifikasi dapat dianggap sebagai suap jika diberikan terkait
dengan jabatan dari pejabat negara yang menerima hadiah tersebut.
• Hal tersebut berbeda dengan pengaturan di Amerika yang
mana antara suap dan gratifikasi yang dilarang dibedakan.
• Perbedaannya adalah jika dalam gratifikasi yang dilarang, pemberi
gratifikasi memiliki maksud bahwa pemberian itu sebagai
penghargaan atas dilakukannya suatu tindakan resmi, sedangkan
dalam suap pemberi memiliki maksud (sedikit banyak) untuk
mempengaruhi suatu tindakan resmi (sumber: “Defining
Corruption: A Comparison of the Substantive Criminal Law of Public
Corruption in the United States and the United Kingdom”, Greg
Scally: 2009). Sehingga jelas pembedaan antara suap dan gratifikasi
adalah pada tempus (waktu) dan intensinya (maksudnya).

Anda mungkin juga menyukai