Anda di halaman 1dari 26

A.

Hakikat hukum Khitbah

Memang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang membicarakan hal

khitbah. Namun tidak ditemukan secara jelas dan terarah adanya perintah atau

larangan melakukan khitbah. Sebagimana perintah untuk mengadakan perkawinan

dengan kalimat yang jelas, baik dalam Al-Qur’an maupun dalam Nadits Nabi SAW.

Oleh karena itu dalam menetapkan hukumnya adalah mubah. Namun Ibnu Rusyad

dalam Bidayatul al-mujtahid yang menulis Imam Daud al-Zuhairi, yang mengatakan

hukumnya adalah wajib. Ulama mendasarkan pendapat pada perubahan dan tradisi

yang dilakukan Nabi dalam khitbah. 1

Khitbah seorang laki-laki kepada seorang perempuan baik dengan ucapan

langsung maupun secara tertulis, khitbah perempuan sebaiknya dengan sindiran.

Dalam mekhitbah dapat dilakukan dengan tanpa melihat wajahnya, juga dapat

melihat perempuan yang dikhitbahnya

: Adapun hal ini Al-Qur’an dijelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 235-237

         
         
         
         
         
          
        
       
        
1
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Di Indonesia, hlm. 50.
         
        
          
 
Artinya
Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran
atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah
mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah
kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar
mengucapkan Perkataan yang ma'ruf. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati)
untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah
mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah
bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. Tidak ada kewajiban
membayar atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu
bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah
kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut
kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu
pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-
orang yang berbuat kebajikan. Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu
bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan
maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali
jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan
nikah, dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu
melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa
yang kamu kerjakan.2

Hal ini juga dijelaskan dalam hadis sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Yang artinya :“Telah menceritakan kepada kami Musadda, telah menceritakan
kepada kami Abdul Wahid bin Ziyad, telah menceritakan kepada kami Muhammad
bin Ishaq, dari Daud bin Hushain, dari Waqid bin Abdurrahman bin Sa’d bin Mu’ad
2
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, hlm 53-55
dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Apabila salah seorang
di antara kalian meminang seorang perempuan, jika ia mampu untuk melihat sesuatu
yang mendorongnya untuk menikahinya hendaknya ia melakukannya. Jabir berkata:
kemudian aku meminang seorang gadis dan aku bersembunyi untuk melihatnya
hingga aku melihat darinya apa yang mendorongku untuk menikahinya, lalu aku pun
menikahinya.3

Sebagaimana dalam Tafsir Ibnu katsir ayat 235-237:


As-Sauri, Syu'bah,dan Ibnu Jarir serta lain lainnya meriwayatkan dari Mansur,

dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman Nya: Tidak ada dosa bagi

kalian meminang wanita-wanita itu dengan sindiran. Yang dimaksud dengan istilah

ta'rid atau sindiran ialah bila seorang lelaki mengatakan, "Sesungguhnya aku ingin

kawin, dan sesungguhnya aku ingin mengawini seorang wanita yang anu dan anu

sifatnya," dengan kata kata yang telah dikenal. Menurut suatu riwayat, contoh kata-

kata sindiran lamaran ialah seperti, "Aku ingin bila Allah memberiku rezeki

(mengawinkan aku) dengan seorang wanita," atau kalimat yang bermakna; yang

penting tidak boleh menyebutkan pinangan secara tegas kepadanya. Menurut riwayat

yang lain ialah, "Sesungguhnya aku tidak ingin kawin dengan seorang wanita

selainmu, insya Allah." Atau "Sesungguhnya aku berharap dapat menemukan seorang

wanita yang saleh." Akan tetapi, seseorang tidak boleh menegaskan lamarannya

kepada dia selagi dia masih dalam idahnya.

Menurut Imam Bukhari meriwayatkan secara ta'liq. Untuk itu ia mengatakan,

telah menceritakan kepadanya Talq ibnu Ganam, dari Zaidah, dari Mansur, dari

3
Abu Dawud Sulaiman ibn Al-Asy’ats As-Sijistani, Sunan Abi Dawud, kitabu Nikah, Bab Fi
Haqqil Marati Ala Zaujiha, (Riyadh: Maktabah Al-Ma’arif, 1428 H/2007 M), No. 2082, hlm. 361.
Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Dan tidak ada dosa bagi

kalian meminang wanita-wanita itu dengan sindiran. (Al-Ba ah, [2:235]) Yang

dimaksud dengan sindiran ialah bila seseorang lelaki mengatakan, "Sesungguhnya

aku ingin kawin. Sesungguhnya wanita benar-benar merupakan hajatku. Aku

berharap semoga dimudahkan untuk mendapat wanita yang saleh."

Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid, Tawus, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair,

Ibrahim An Nakha'i, Asy-Sya'bi, Al-Hasan, Qatadah, Az Zuhri, Yazid ibnu Qasit,

Muqatil ibnu Hayyan, dan Al-Qasim ibnu Muhammad serta sejumlah ulama salaf dan

para imam sehubungan dengan masalah ta'rid atau sindiran ini. Mereka mengatakan,

boleh melakukan pinangan secara sindiran kepada wanita yang ditinggal mati oleh

suaminya.

Hal yang sama berlaku pula terhadap wanita yang ditalak bain, yakni boleh

melamarnya dengan kata-kata sindiran, seperti yang telah dikatakan oleh Nabi kepada

Fatimah binti Qais ketika diceraikan oleh suaminya Abu Amr ibnu Hafs dalam talak

yang ketiga. Nabi terlebih dahulu memerintahkan Fatimah binti Qais untuk

melakukan idahnya di dalam rumah Ibnu Ummi Maktum, lalu bersabda kepadanya:

"Apabila kamu telah halal (boleh nikah), maka beri tahulah aku. Ketika masa idah

Fatimah binti Qais telah habis, maka ia dilamar oleh Usamah ibnu Zaid (pelayan

Nabi), lalu Nabi mengawinkan Fatimah binti Qais dengan Usamah."

Wanita yang diceraikan, tidak ada


Perselisihan pendapat di kalangan ulama, bahwa tidak boleh bagi selain suaminya

melakukan lamaran secara terang-terangan, tidak boleh pula secara sindiran.

Sebagaimana dalam Tafsir Al- munir

“Yang dibicarakan di sini masih berkaitan dengan perempuan. Dalam ayat-

ayat terdahulu dijelaskan hukum talak, rujuk, penyusuan, hak hak istri dan anak,

kewajiban bapak (memberi nafkah, pangan, dan papan), dan kewajiban beridah dan

berkabung atas wanita yang di tinggal mati suaminya. Sedangkan dalam ayat ini

diterangkan bolehnya melamar wanita yang beridah wafat secara implisit, tidak se

cara eksplisit, serta sahnya melangsungkan akad atasnya sesudah idahnya habis.

Allah Ta'ala menjelaskan bahwa tidak ada dosa atas seorang laki-laki jika ia

menyampaikan tyampaikan lamaran secara tersirat kepada wanita ditinggal mati

suaminya atau kepada walinya begitu pula kepada wanita yang terkena talak wayang

baa'in di tengah masa idah; dan tidak ada dosa atasnya pula jika ia menyembunyikan

niat menikahinya di dalam hatinya, karena lamaran secara implisit ini tidak

menyinggung hak suami yang lama, malah lamaran seperti ini memberi semacam

kepercayaan dan jaminan daan masa depan, karena wanita itu akan keadaan kini tidak

ada yang menafkahinya; di samping karena penyembunyian sesuatu di dalam hati

adalah wajar dan sukar dihindari, dan karena itu Allah Ta'ala berfirman: "Allah

mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka" dalam hatimu, sukar

bagimu menyembunyi kan keinginanmu, tapi tidak ada bahayanya menginginkan

sesuatu di dalam hati.


Namun diharamkan mengadakan janji kawin secara rahasia karena janji kawin

ini dapat meman cing fitnah dan menimbulkan gosip. Hanya saja tidak diharamkan

mengadakan janji dengan perkataan baik yang tidak memalukan ketika dinyatakan

secara terang-terangan, misalnya menyebut dirinya (laki-laki yang bersangkut an)

memperlakukan istri dengan baik, berhati lapang terhadap istri, dan sejenisnya. Jadi,

yang dimaksud dengan qaulan ma'ruufan adalah perkataan secara implisit, tidak

eksplisit. Arti nya: Janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan wanita itu

kecuali dengan bahasa ter sirat (secara implisit).

Asalnya, maksud as-sirr adalah persetu buhan, tapi di sini yang dimaksud

adalah akad nikah secara rahasia pada masa idah. Jadi, kata. as-sirr dipakai untuk

menyebut "akad" yang merupakan sebab terjadinya persetubuhan. Menurut pendapat

lain-yang dipilih oleh ath Thabari-, maksud as-sirr di sini adalah zina, atau ucapan

kepada wanita "Aku cinta kamu, dan berjanjilah kamu tidak akan menikah dengan

selain aku!" Ibnu Katsir berkata: Ada kemungkinan ayat ini umum, mencakup se mua

itu.

Contoh lamaran tersirat kepada wanita yang beridah wafat atau kepada

walinya dalam masa idah, misalnya: laki-laki berkata "Kamu sungguh cantik" atau

"Mudah-mudahan Allah. memberiku istri yang salehah sepertimu" su paya wanita itu

tertarik kepadanya, atau ia memuji dirinya di depan wanita itu "Aku orang yang

berakhlak mulia, berasal dari keluarga terhormat, dermawan, pandai bergaul, baik.

kepada istri" dan ungkapan-ungkapan tersirat lainnya yang biasa dipakai orang dan
dipoles dengan berbagai seni bahasa secara cemer lang. Faedahnya nyata: supaya

wanita itu memilih pelamar yang paling baik dan mulia.

Sedangkan lamaran secara eksplisit ke pada wanita yang beridah karena

mening galnya suami atau karena talak baa'in adalah haram pula. Dalil bolehnya

lamaran secara implisit adalah riwayat ath-Thabari dari Sakinah binti Hanzhalah bin

Abdullah bin Hanzhalah, katanya: Abu Ja'far (Muhammad bin Ali al-Baqir)

mengunjungiku saat aku dalam masa idah. la berkata, "Wahai anak Hanzhalah, kamu

sudah tahu aku adalah ke rabat Rasulullah saw, dan aku sangat berpe ngaruh dalam

Islam." Aku berkata, "Semoga Allah mengampunimu, wahai Abu Ja'far! Me ngapa

kau melamarku padahal aku masih da lam masa idah, sementara kau adalah orang

yang menjadi teladan masyarakat?" la berkata, "Benarkah aku berbuat begitu?

Sebetulnya aku hanya memberitahumu tentang kekerabat anku dengan Rasulullah

saw. dan keduduk anku. Pada suatu hari Rasulullah saw. mengun jungi Ummu

Salamah yang belum lama di tinggal mati suaminya, Abu Salamah. Beliau terus-

menerus memberitahunya kedudukan beliau di sisi Allah sambil bertumpu pada tikar

sehingga membekas pada tangannya.

Namun itu tidak dianggap sebagi lamaran." Jadi, perkataan baik yang tidak

mungkar menurut syariat (yaitu ucapan sopan, bahasa sindiran yang halus, dan

perkataan lembut yang tidak melukai yang termasuk bahasa ter sirat) itulah yang

boleh, seperti yang dilaku kan Nabi saw. kepada Ummu Salamah setelah suaminya
meninggal, di mana beliau men ceritakan kepadanya kedudukan beliau di sisi Allah

Ta'ala.

Selanjutnya Allah SWT menyebutkan wak tu bolehnya melangsungkan akad

nikah de ngan wanita yang beridah, yaitu setelah masa idah habis. Dia melarang

dengan keras me langsungkan akad sebelum itu. Dia berfirman :

“Janganlah kamu melaksanakan akad nikah dengan wanita yang beridah wafat
sebelum habis masa idahnya dari mantan suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari.”
Allah Ta'ala memperingatkan kita agar tidak melanggar ketentuan ini. Dia

berfirman: "Ketahuilah, Allah mengetahui keinginan me lakukan sesuatu yang tidak

boleh, yang kamu sembunyikan dalam hatimu. Karena itu, hin darilah melakukan

pelanggaran (berupa per kataan atau perbuatan) terhadap apa yang. dilarang Allah."

Dalam peringatan ini hukum digandeng dengan nasehat (yang berisi janji pahala dan

ancaman hukuman) supaya hukum itu benar-benar dijaga dan diamalkan.

Namun, meski demikian, ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun terhadap

orang yang melanggar hukum-hukum-Nya dan berbuat. dosa kemudian dia bertobat

dan berbuat baik, dan Dia Maha Penyantun, yang tidak langsung menimpakan

hukuman, melainkan memberi kesempatan kepada hamba-hamba Nya untuk

memperbaiki amal mereka, maka dari itu janganlah kamu terpedaya bila Dia

menangguhkan hukumanmu.

B. Hakikat Hukum Mahar


Dalam Islam, disyari’atkannya membayar mahar hanyalah sebagai hadiah

yang diberikan seorang lelaki kepada seorang perempuan yang dipinangnya ketika

lelaki itu ingin menjadi pendampingnya, dan sebagai pengakuan dari seorang lelaki

atas kemanusiaan, kemuliaan dan kehormatan perempuan.

Karena itu, dalam al-Qur’an Allah telah menegaskan dalam surat an-Nisa
ayat 4 :

        


      
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan.. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada
kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.4
Pengertiannya adalah, bayarkanlah mahar kepada mereka sebagai pemberian

yang setulus hati. Pemberian itu adalah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas

persetujuan kedua pihak, karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas. Mahar

merupakan kewajiban yang harus dipenuhi dalam sebuah pernikahan, karena mahar

sebagai pemberian yang dapat melanggengkan cinta kasih, yang mengikat dan

mengukuhkan hubungan antara suami istri. Mahar yang harus dibayarkan ketika akad

nikah hanyalah sebagai wasilah (perantara), bukan sebagai ghayah (tujuan), karena

itu islam sangat menganjurkan agar mahar atau mas kawin dalam perkawinan

dipermudah.5

4
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV. asy-Syifa’, 1992, h.
115.
5
Ahmad Mudjab Mahalli, Wahai Pemuda Menikahlah, Jogjakarta: Menara Kudus, 2002, h.
148
Islam tidak menetapkan jumlah besar atau kecilnya mahar, karena adanya

perbedaan kaya dan miskin, lapang dan sempitnya rezeki. Selain itu tiap masyarakat

mempunyai adat dan radisinya sendiri, karena itu Islam menyerahkan masalah jumlah

mahar itu berdasarkan kemampuan masingmasing orang atau keadaan dan tradisi

yang berlaku dalam keluarganya. Segala nash yang memberikan keterangan tidaklah

dimaksudkan kecuali untuk menunjukkan pentingnya nilai mahar tersebut, tanpa

melihat besar kecilnya jumlah. Jadi diperbolehkan memberi mahar misalnya dengan

sebuah cincin besi atau hanya mengajarkan beberapa ayat al-Qur’an dan lain

sebagainya , dengan persyaratan sudah saling disepakati oleh kedua belah pihak yang

melakukan akad.

Seperti hadits di bawah ini: “Dari Sahal bin Saad bahwa Nabi SAW …….lalu

Nabi bersabda “ sekarang kamu berdua saya nikahkan dengan mahar ayat al-Qur’an

yang ada padamu”. (HR. Bukhari Muslim).

Hadits di atas menunjukkan bahwa mahar itu boleh berupa sesuatu yang

bermanfaat. Di antara yang bermanfaat itu adalah mengajarkan beberapa ayat dari

alQur’an. Selain mengajarkan ayat-ayat dari al-Qur’an, bentuk mahar dalam

perbuatan jasa atau manfaat lainnya adalah yang termasuk dalam kategori melayani

(khidmad), mereka berargumen dengan mengacu kepada firman Allah yang

menceritakan perkawinan Nabi Musa a.s. dengan putri Nabi Syu’aib a.s. dengan

mahar dalam bentuk jasa yang bermanfaat yaitu bekerja selama delapan tahun.
Mahar adalah wajib dibayar suami kepada istrinya. Namun setelah pasti ketentuan

pembayarannya, tidak tertutup kemungkinan bagi pasangan suami istri yang saling

mencintai dan meridhoi dan menjadi pasangan yang mesra dalam sebuah rumah tangga

untuk menghadiahkan kembali mahar itu kepada suaminya demi kepentingan dan

kesenangan bersama, sebab harta itu telah menjadi hartanya.

Tentang hukum memberikan mahar adalah wajib, sesuai firman Allah SWT dalam

Q.S. anNisa ayat 47.

      


         
         
   
Hai orang-orang yang telah diberi Al Kitab, berimanlah kamu kepada apa
yang telah Kami turunkan (Al Quran) yang membenarkan kitab yang ada pada kamu
sebelum Kami mengubah muka (mu), lalu Kami putarkan ke belakang[306] atau
Kami kutuki mereka sebagaimana Kami telah mengutuki orang-orang (yang berbuat
maksiat) pada hari Sabtu. dan ketetapan Allah pasti berlaku.
Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah SWT telah memerintahkan kepada

suami untuk membayar mahar kepada istrinya. Karena perintah itu tidak disertai

dengan qarinah yang menunjukkan kepada sunnah ataupun mubah, maka ia

menghendaki kepada makna wajib. Jadi mahar adalah wajib bagi suami terhadap

istrinya, karena tidak ada qarinah yang memalingkannya dari makna wajib kepada

makna yang lain.6Pemberian tersebut juga sebagai pertanda eratnya hubungan dan

cinta yang mendalam antara calon suami-istri, di samping jalinan yang seharusnya

menyelimuti rumah tangga yang mereka bangun.


6
Ibid
Di kalangan banyak orang telah menjadi tradisi bahwa mereka tidak cukup

hanya dengan pemberian mahar saja, tetapi diiringi dengan aneka ragam hantaran

(hadiah) lainnya, baik berupa makanan, pakaian, peralatan rumah tangga, atau yang

lainnya, sebagai penghargaan dari calon suami kepada calon istri tercinta yang

nantinya akan mendampingi hidupnya.7

Besar dan bentuk mahar hendaknya senantiasa berpedoman kepada sifat

kesederhanaan dan ajaran kemudahan yang dianjurkan Islam, sehingga besar dan

bentuk mahar itu tidak sampai memberatkan calon mempelai pria.

Kalau mahar atau mas kawin itu adalah hak seorang perempuan (istri) maka

istri yang baik adalah yang tidak mempersulit atau mempermahal mas kawin. Kini,

tidak sedikit dari kaum muslimin yang telah teracuni paham materialisme. Mereka

memandang mahar dengan pandangan materi semata. Mahar mereka jadikan sebagai

asas dalam akad nikah. Padahal sebenarnya mahar hanyalah sebagai lambang

penghormatan terhadap kaum wanita. Namun ternyata sekarang menjadi tuntutan

yang paling utama. Pandangan seperti itu sangat bertentangan dengan syari’at Islam

yang memerintahkan kepada pemeluknya untuk mempermudah masalah mahar.

Mempermahal mas kawin adalah sesuatu yang dibenci oleh Islam, karena akan

mempersulit hubungan perkawinan di antara sesama manusia. Islam tidak menyukai

mahar yang berlebih-lebihan (wanita yang memasang mahar terlalu mahal), bahkan

7
Nurjannah, Mahar Pernikahan, Jogjakarta: Prisma Sophie Press, 2003, Cet. I, h. 27
sebaliknya mengatakan bahwa setiap kali mahar itu lebih murah tentu akan memberi

berkah dalam kehidupan suami istri (berumah tangga).

Dan mahar yang murah adalah menunjukkan kemurahan hati si perempuan,

bukan berarti malah menjatuhkan harga dirinya. Dari ‘Aisyah ra. Ia berkata, bahwa

Rasulullah Saw, bersabda:

Yang artinya : “Sesungguhnya perkawinan yang besar barakahnya adalah

yang paling murah maharnya. Dan sabdanya pula: perempuan yang baik hati adalah

yang murah maharnya, memudahkan dalam urusan perkawinannya dan baik

akhlaknya. Sedang perempuan yang celaka yaitu maharnya mahal, sulit

perkawinannya dan buruk akhlaknya”. (HR. Ahmad).8

Masih banyak manusia yang tidak mengenal mahar atau maskawin ini,

mereka berpegang dengan adat Jahiliyah. Yaitu seorang ayah menyerahkan anak

gadisnya kepada laki-laki yang berani memberikan jumlah mahar yang tinggi,

sebaliknya menolak menyerahkan anak gadisnya kepada laki-laki yang hanya mampu

memberikan mahar dengan jumlah yang sedikit. Sehingga seakan-akan perempuan itu

merupakan barang dagangan yang dipasang tarif dalam etiket perdagangan itu.

Perbuatan semacam ini menimbulkan banyak kegelisahan sehingga laki-laki maupun

perempuan terlibat dalam bahayanya, akan menimbulkan banyak kejahatan dan

kerusakan serta mengacaukan dunia perkawinan sehingga akhirnya yang halal itu

lebih sulit untuk dicapai daripada yang haram (zina). Masalah nominal mahar, Islam
8
Sayyid Sabiq, alih bahasa Drs Moh. Thalib, op. cit , h. 58-59
tidak mengatur tentang berapa banyak dan sedikitnya jumlah mahar tersebut. Dalam

hal ini jumlah mahar tergantung pada keadaan pihak suami serta kedudukan si istri.

Kewajiban seorang muslim agar memberikan mahar atau maskawin kepada

wanita yang akan dipersunting menjadi istrinya terdapat dalam al-Qur’an surat an-

Nisa ayat 25, dan Ia pun mengingatkan kaum muslimin agar menikahi wanita dengan

seijin walinya dan membayarkan maskawinnya.

       


        
         
      
        
         
           

“Dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup
perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini
wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui
keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain[285], karena itu
kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut
yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan
bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila
mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan
yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita
merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang
yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu,
dan kesabaran itu lebih baik bagimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”
Dalam kitab terjemahan Kifayatul Akhyar, Syaikh Abu Sujak berkata:

“Mengenai paling sedikit dan paling banyaknya maskawin tidak ada batas

tertentu”.9

Seperti dalam QS. an-Nisa’ ayat 20:

      


       
   
“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang
kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka
janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu
akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan
(menanggung) dosa yang nyata ?”10
Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa mahar itu dapat ditentukan (bentuk dan

jumlahnya) atau juga bisa tidak ditetapkan. Mahar yang ditentukan baik bernilai besar

ataupun kecil, merupakan jumlah yang disepakati kedua belah pihak pada saat

perkawinan ataupun sesudahnya, itulah yang sebaiknya, pemberian mahar ini dapat di

bayar secara tunai dan bisa juga ditangguhkan sesuai persetujuan istri.

Wahbah al-Zuhaily dalam bukunya alFiqh al-Islamy wa Adillatuhu

mengatakan bahwa mahar yang disepakati oleh pengantin lakilaki dan perempuan

yang disebutkan dalam redaksi akad sesudahnya. Berdasarkan definisi tersebut, dapat

dimengerti bahwa penetapan jumlah mahar telah ditentukan ketika akad nikah, akan

9
Imam Taqiyudin Abubakar Bin Muhammad Alhusaini, Penerjamah: K.H. Syarifudin Anwar
dan K.H. Misbah Mustafa, Kifayatul Akhyar (Kelengkapan Orang Saleh), Surabaya: Bina Insan, t. th,
h. 135
10
Sayyid Sabiq, Op. cit., h. 59
tetapi diperbolehkan untuk membayar secara penuh sekaligus atau melakukan

penundaan. Hal ini tentunya sangat didukung oleh kerelaan kedua belah pihak.11

Hal-hal yang termasuk dalam ke dalam mahar musamma dalam akad adalah

apa saja yang diberikan oleh suami untuk istrinya menurut adat yang berlaku sebelum

pesta pernikahan ataupun sesudahnya, seperti gaun pengantin atau pemberian yang

diberikan sebelum dukhul (bersetubuh) atau sesudahnya. Karena yang ma’ruf (baik)

dalam masyarakat seperti yang disyaratkan dalam akad adalah lafdziyah (yang

dilafalkan atau diucapkan).

Pemberian itu wajib disebutkan pada saat akad, suami harus menyebutkan

kecuali bila disyaratkan untuk tidak menyebutkan dalam akad.12 Sedangkan mahar

yang tak ditentukan adalah merupakan mahar yang diberikan oleh calon suami

kepada calon istrinya yang ketentuan besar kecilnya belum ditetapkan dan bentuknya

juga tidak disebutkan. Akan tetapi mahar ini disesuaikan dengan kedudukan wanita

dalam struktur kehidupan sosial dari segala aspek atau pertimbangan seperti

keagamaan, kekayaan, kecantikan, kepandaian, kesopanan, usia, kegadisan,

kejandaan, negeri, keturunan, dan kemuliaan leluhurnya. Mahar mitsil itu diukur dari

perempuan yang menyerupai istri dari seluruh kerabatnya, baik dari pihak ayah

maupun ibunya.

11
Prof. Abdur Rahman I. Doi, Ph. D., Op.cit., h. 69-70
12
Ibid
Seperti saudara kandung, bibi dari pihak ayah, anak paman dari pihak ayah,

bibi dari pihak ibu dan selain mereka dari kerabat yang ada. Jumlah mahar atau

maskawin yang wajar itu akan tergantung pada kedudukan seseorang dalam

kehidupannya, status sosial, pihak-pihak yang menikah itu, dan dapat berbeda dari

satu tempat dengan tempat yang lainnya, dari satu masa ke waktu yang lain dan dari

satu negeri dengan negeri yang lain.13 Jenis mahar yang dipakai masyarakat Indonesia

secara umum adalah mahar musamma, biasanya ditetapkan bersama atau dengan

musyawarah dari kedua belah pihak.

Berapa jumlahnya dan bagaimana bentuknya harus disepakati bersama, dan

sunnah tatkala mengucapkan ijab kabul pernikahan, agar para saksi dapat mendengar

secara langsung jumlah dan bentuk dari mahar tersebut. Penentuan mahar serta

pemberiannya baik dengan cara memberi kontan atau menangguhkannya adalah suatu

hal yang diperbolehkan, akan tetapi ketentuan dari mahar musamma ini telah

ditetapkan ketika ijab kabul pernikahan. Keputusan musyawarah antara kedua belah

pihak dapat menjadi tolak ukur pemberian mahar secara kontan ataupun penundaan.14

a. Syarat-syarat Mahar

Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat

sebagai berikut.

13
Ibid
14
Nurjannah, Op. cit., h. 42-43.
1. Harga berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga

walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar, mahar

sedikit, tapi bernilai tetap sah disebut mahar.

2. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan

memberikan khamar, babi, atau darah, karena semua itu haram dan

tidak berharga.

3. Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang

milik orang lain tanpa seizinnya namun tidak termasuk untuk

memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya kelak.

Memberikan mahar dengan barang hasilghasab tidak sah, tetapi

akadnya tetap sah

4. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya. Tidak sah mahar dengan

memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan

jenisnya.15

b. Fungsi-Fungsi Mahar

Salah satu usaha Islam dalam memperhatikan dan menghargai

perempuan yaitu memberi hak untuk memegang usahanya. Di zaman Jahiliah

hak perempuan dan dihilangkan dan disia-siakan, lalu Islam datang

mengembalikan hak-hak itu. Kepadanya diberi hak mahar dan kepada suami

15
Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, juz 4, h. 103
diwajibkan memberi mahar. kepadanya bukan kepada ayahnya dan kepada

orang yang paling dekat kepadanya.

Mahar adalah bagian esensial pernikahan dalam Islam. Tanpa mahar

sebuah pernikahan tidak dapat dinyatakan telah dilaksanakan dengan benar.

Mahar harus ditetapkan sebelum pelaksanaan akad nikah. Merupakan hak

mutlak seorang perempuan untuk menentukan besarnya mahar

Apabila mahar sudah ditentukan bentuk dan besar kecilnya, maka

barang itulah yang wajib dibayarkan. Tetapi bila tidak ada ketentuan

sebelumnya dan tidak disebutkan bentuknya di waktu akad nikah, maka bagi

mempelai pria kepada calon mempelai perempuan, baik berupa uang, barang

atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Para Imam mazhab

(selain Imam Malik) sepakat bahwa mahar bukanlah salah satu rukun akad,

tetapi merupakan salah satu konsekuensi adanya akad. Karena itu, akad nikah

boleh dilakukan tanpa (menyebut) mahar. Apabila terjadi percampuran,

ditentukanlah mahar, dan jika kemudian kemudian si istri ditalak sebelum

dicampuri maka dia tidak berhak atas mahar, tetapi harus diberi mut'ah yaitu

pemberian sukarela dari suami berdasarkan bentuk pakaian, cincin, dan

sebagainya. Abdur Rahman alJaziri mengatakan mahar berfungsi sebagai

pengganti (muqabalah) istimta' dengan istrinya. Sedangkan sebagian ulama

Malikiyah mengatakan bahwa mahar berfungsi sebagai imbalan jasa


pelayanan seksual dan Abu Hasan Ali memposisikan mahar sebagai alat ganti

yang wajib dimiliki perempuan karena adanya akad nikah.

c. Macam-macam Mahar/maskawin

Semua ulama’ telah sepakat bahwa membayar mahar itu adalah wajib.

Sedangkan macam-macam mahar dapat dibedakan menjadi dua yaitu: Mahar

Musammadan Mahar Mitsil.16

1. Mahar Musamma

Mahar musamma merupakan mahar yang telah jelas dan ditetapkan

bentuk dan jumlahnya dalam shighat akad. Jenis mahar ini dibedakan lagi

menjadi dua yaitu: Pertama Mahar Musamma Mu’ajjal, yakni mahar yang

segera diberikan oleh calon suami kepada calon isterinya. Menyegerakan

pembayaran mahar termasuk perkara yang sunnat dalam Islam. Kedua Mahar

Musamma Ghair Mu’ajjal, yakni mahar yang telah ditetapkan bentuk dan

jumlahnya, akan tetapi ditangguhkan pembayarannya.

Berkenaan dengan pembayaran mahar, maka wajib hukumnya apabila

telah terjadi dukhul. Ulama’ sepakat bahwa membayar mahar menjadi wajib

apabila telah berkhalwat (bersepi-sepian/berdua-duan) dan juga telah dukhul.

Membayar mahar apabila telah terjadi dukhul adalah wajib, sehingga

jika belum terbayarkan maka termasuk utang piutang. Namun, jika sang isteri
16
Beni Ahmad Saebani, Fiqih Munakahat Bandung: CV Pustaka Setia, 2009,h. 275-279.
rela terhadap maharnya yang belum dibayarkan oleh suaminya. Sementara

suaminya telah meninggal, maka tidak wajib ahli warisnya membayarkan

maharnya. Jika isterinya tidak rela, maka pembayaran mahar itu diambilkan

dari harta warisannya oleh ahli warisnya.

2. Mahar Mitsil

Mahar Mitsil adalah mahar yang jumlah dan bentuknya menurut

jumlah dan bentuk yang biasa diterima keluarga pihak isteri karena tidak

ditentukan sebelumnya dalam akad nikah.

Imam Malik menjelaskan ayat tersebut bahwa seorang laki-laki boleh

memilih salah satu dari ketiga kemungkinan ada. Kemungkinan pertama,

seorang suami tidak perlu membayar mahar kepada isterinya. Kemungkinan

kedua, suami membayarkan mahar mitsilnya. Kemungkinan ketiga, memilih

membayar mahar mitsilnya adalah keputusan yang dipandang lebih adil dan

bijaksana karena disesuaikan dengan kemampuan pihak suami dan jumlah

yang biasa diterima oleh pihak keluarga isteri.

d. Hikmah Mahar

Adapun hikmah disyari’atkannya mahar adalah sebagai berikut :

1. Menunjukkan kemuliaan wanita, karena wanita yang dicari laki-laki

bukan laki-laki yang dicari wanita. Laki-laki yang berusaha untuk

mendapatkan wanita meskipun harus mengorbankan hartanya.


2. Mengangkat derajat perempuan dan memberikan hak kepemilikannya.

Sehingga diberi hak menerima mahar dari suaminya saat menikah, dan

menjadikan mahar sebagai kewajiban bagi suami untuk menghormati

perempuan dengan memberikan mahar tersebut.

3. Menunjukkan cinta dan kasih sayang seorang suami kepada isterinya,

karena mahar itu sifatnya pemberian, hadiah, atau hibah yang oleh al-

Qur`an diistilahkan dengan nihlah (pemberian dengan penuh

kerelaan), bukan sebagai pembayar harga wanita.

4. Menunjukkan kesungguhan diri karena menikah dan berumah tangga

bukanlah main-main dan perkara yang bisa dipermainkan.

5. Menunjukkan tanggung jawab suami dalam kehidupan rumah tangga

dengan memberikan nafkah, karenanya laki-laki adalah pemimpin atas

wanita dalam kehidupan rumah tangganya. Dan untuk mendapatkan

hak itu, wajar bila suami harus mengeluarkan hartanya sehingga ia

harus lebih bertanggung jawab dan tidak sewenang-wenang terhadap

isterinya.

C. Perempuan perempuan yang haram dinikahi

1. Pengertian Mahram

Mahram Menurut istilah ada beberapa pendapat:

a. Abdul Barr Rahimahullah, adalah lakilaki yang haram bagi wanita

karena sebab nasab seperti bapak dan saudara laki-lakinya atau

sebab pernikahan seperti suami, bapak suami (mertua) dan anak


laki-laki suami (anak tiri) atau anak susuan, saudara sesusuan dan

karena sebab yang lain.

b. Al-Hafid., mahram perempuan adalah orang yang diharamkan

baginya atas dasar ikatan (pernikahan) kecuali ibu hasil hubungan

badan yang syubhat dan wanita yang dilaknat.

c. Ibnu Qudamah rahimahullah adalah semua orang yang haram

untuk dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab, persusuan dan

pernikahan, seperti bapaknya, anaknya atau saudara laki-lakinya

karena sebab nasab atau sepersusuan.

d. Ibnu Atsir Rahimahullah adalah yang diharamkan menikah dengan

sanak keluarganya seperti bapak, anak, saudara laki-laki,

pamannya atau yang lainnya yang masih memiliki ikatan mahram.

e. Muhammad Khasyad Rahimahullah adalah seorang yang haram

menikah atas dasar ikatan karena sebab pernikahan, nasab,

persusuan atau sebab yang lain.

f. Syaikh Shaleh Al-Fauzan rahimahullah adalah semua orang yang

haram dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab seperti bapak,

anak, dan saudaranya atau dari sebab-sebab pernikahan yang lain

seperti saudara sepersusuannya, ayah ataupun anak tirinya


Jadi definisi mahram secara keseluruhan adalah larangan atau

pengharaman yang berkaitan dengan hukum misalnya; pernikahan, safar,

batasan aurat serta hukum berjabat tangan, dan lain-lain.

Ada beberapa ayat yang menjelaskan tentang mahram, antara lain:

Surah An-nisa ayat 22 :

           
      

“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh


ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu
Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).”

Kemudian Surah An-Nisa Ayat : 23-24 :

    


     
     
      
       
       
         
         
           
      
       
         
       
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu
yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang
dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu
belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak
berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak
kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua
perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan
juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu
miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu.
dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri
dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang
telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka
maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa
bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah
menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana.”

2. Sebab-sebab Turunnya ayat-ayat tentang Mahram


a. Surah An-nisa ayat 22

Menurut Imam Jalaludin al-Suyuti

(1422: 74), Dikemukakan oleh Ibnu Abi

Hatim, al-Faryabi dan Ath-Thabrani

\DQJ EHUVXPEHU GDUL ¶$GL\ ELQ 7VDELW

dari seorang laki-laki Anshar. Seorang

laki-laki Anshar itu berkata¥$EX4DLV

bin al-Aslat yang termasuk orang

sholeh Anshar meninggal dunia. Lalu

anak laki-lakinya meminang isterinya.

Maka berkatalah isteri Qais itu¥$NX


anggap kamu anakku dan termasuk

GDUL NDXPPX \DQJ VKROHKµ /DOX

wanita itu datang menghadap Nabi

saw untuk menerangkan kejadiannya

tadi. Maka Nabi memerintahkan untuk

kembali kerumah. Lalu turunlah ayat

ini sebagai keterangan mengenai

ketentuan larangan mengawini ibu tiri

Anda mungkin juga menyukai