Memang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang membicarakan hal
khitbah. Namun tidak ditemukan secara jelas dan terarah adanya perintah atau
dengan kalimat yang jelas, baik dalam Al-Qur’an maupun dalam Nadits Nabi SAW.
Oleh karena itu dalam menetapkan hukumnya adalah mubah. Namun Ibnu Rusyad
dalam Bidayatul al-mujtahid yang menulis Imam Daud al-Zuhairi, yang mengatakan
hukumnya adalah wajib. Ulama mendasarkan pendapat pada perubahan dan tradisi
Dalam mekhitbah dapat dilakukan dengan tanpa melihat wajahnya, juga dapat
: Adapun hal ini Al-Qur’an dijelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 235-237
1
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Di Indonesia, hlm. 50.
Artinya
Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran
atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah
mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah
kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar
mengucapkan Perkataan yang ma'ruf. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati)
untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah
mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah
bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. Tidak ada kewajiban
membayar atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu
bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah
kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut
kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu
pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-
orang yang berbuat kebajikan. Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu
bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan
maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali
jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan
nikah, dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu
melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa
yang kamu kerjakan.2
Hal ini juga dijelaskan dalam hadis sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Yang artinya :“Telah menceritakan kepada kami Musadda, telah menceritakan
kepada kami Abdul Wahid bin Ziyad, telah menceritakan kepada kami Muhammad
bin Ishaq, dari Daud bin Hushain, dari Waqid bin Abdurrahman bin Sa’d bin Mu’ad
2
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, hlm 53-55
dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Apabila salah seorang
di antara kalian meminang seorang perempuan, jika ia mampu untuk melihat sesuatu
yang mendorongnya untuk menikahinya hendaknya ia melakukannya. Jabir berkata:
kemudian aku meminang seorang gadis dan aku bersembunyi untuk melihatnya
hingga aku melihat darinya apa yang mendorongku untuk menikahinya, lalu aku pun
menikahinya.3
dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman Nya: Tidak ada dosa bagi
kalian meminang wanita-wanita itu dengan sindiran. Yang dimaksud dengan istilah
ta'rid atau sindiran ialah bila seorang lelaki mengatakan, "Sesungguhnya aku ingin
kawin, dan sesungguhnya aku ingin mengawini seorang wanita yang anu dan anu
sifatnya," dengan kata kata yang telah dikenal. Menurut suatu riwayat, contoh kata-
kata sindiran lamaran ialah seperti, "Aku ingin bila Allah memberiku rezeki
(mengawinkan aku) dengan seorang wanita," atau kalimat yang bermakna; yang
penting tidak boleh menyebutkan pinangan secara tegas kepadanya. Menurut riwayat
yang lain ialah, "Sesungguhnya aku tidak ingin kawin dengan seorang wanita
selainmu, insya Allah." Atau "Sesungguhnya aku berharap dapat menemukan seorang
wanita yang saleh." Akan tetapi, seseorang tidak boleh menegaskan lamarannya
telah menceritakan kepadanya Talq ibnu Ganam, dari Zaidah, dari Mansur, dari
3
Abu Dawud Sulaiman ibn Al-Asy’ats As-Sijistani, Sunan Abi Dawud, kitabu Nikah, Bab Fi
Haqqil Marati Ala Zaujiha, (Riyadh: Maktabah Al-Ma’arif, 1428 H/2007 M), No. 2082, hlm. 361.
Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Dan tidak ada dosa bagi
kalian meminang wanita-wanita itu dengan sindiran. (Al-Ba ah, [2:235]) Yang
Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid, Tawus, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair,
Muqatil ibnu Hayyan, dan Al-Qasim ibnu Muhammad serta sejumlah ulama salaf dan
para imam sehubungan dengan masalah ta'rid atau sindiran ini. Mereka mengatakan,
boleh melakukan pinangan secara sindiran kepada wanita yang ditinggal mati oleh
suaminya.
Hal yang sama berlaku pula terhadap wanita yang ditalak bain, yakni boleh
melamarnya dengan kata-kata sindiran, seperti yang telah dikatakan oleh Nabi kepada
Fatimah binti Qais ketika diceraikan oleh suaminya Abu Amr ibnu Hafs dalam talak
yang ketiga. Nabi terlebih dahulu memerintahkan Fatimah binti Qais untuk
melakukan idahnya di dalam rumah Ibnu Ummi Maktum, lalu bersabda kepadanya:
"Apabila kamu telah halal (boleh nikah), maka beri tahulah aku. Ketika masa idah
Fatimah binti Qais telah habis, maka ia dilamar oleh Usamah ibnu Zaid (pelayan
ayat terdahulu dijelaskan hukum talak, rujuk, penyusuan, hak hak istri dan anak,
kewajiban bapak (memberi nafkah, pangan, dan papan), dan kewajiban beridah dan
berkabung atas wanita yang di tinggal mati suaminya. Sedangkan dalam ayat ini
diterangkan bolehnya melamar wanita yang beridah wafat secara implisit, tidak se
cara eksplisit, serta sahnya melangsungkan akad atasnya sesudah idahnya habis.
Allah Ta'ala menjelaskan bahwa tidak ada dosa atas seorang laki-laki jika ia
suaminya atau kepada walinya begitu pula kepada wanita yang terkena talak wayang
baa'in di tengah masa idah; dan tidak ada dosa atasnya pula jika ia menyembunyikan
niat menikahinya di dalam hatinya, karena lamaran secara implisit ini tidak
menyinggung hak suami yang lama, malah lamaran seperti ini memberi semacam
kepercayaan dan jaminan daan masa depan, karena wanita itu akan keadaan kini tidak
adalah wajar dan sukar dihindari, dan karena itu Allah Ta'ala berfirman: "Allah
ini dapat meman cing fitnah dan menimbulkan gosip. Hanya saja tidak diharamkan
mengadakan janji dengan perkataan baik yang tidak memalukan ketika dinyatakan
memperlakukan istri dengan baik, berhati lapang terhadap istri, dan sejenisnya. Jadi,
yang dimaksud dengan qaulan ma'ruufan adalah perkataan secara implisit, tidak
eksplisit. Arti nya: Janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan wanita itu
Asalnya, maksud as-sirr adalah persetu buhan, tapi di sini yang dimaksud
adalah akad nikah secara rahasia pada masa idah. Jadi, kata. as-sirr dipakai untuk
lain-yang dipilih oleh ath Thabari-, maksud as-sirr di sini adalah zina, atau ucapan
kepada wanita "Aku cinta kamu, dan berjanjilah kamu tidak akan menikah dengan
selain aku!" Ibnu Katsir berkata: Ada kemungkinan ayat ini umum, mencakup se mua
itu.
Contoh lamaran tersirat kepada wanita yang beridah wafat atau kepada
walinya dalam masa idah, misalnya: laki-laki berkata "Kamu sungguh cantik" atau
"Mudah-mudahan Allah. memberiku istri yang salehah sepertimu" su paya wanita itu
tertarik kepadanya, atau ia memuji dirinya di depan wanita itu "Aku orang yang
berakhlak mulia, berasal dari keluarga terhormat, dermawan, pandai bergaul, baik.
kepada istri" dan ungkapan-ungkapan tersirat lainnya yang biasa dipakai orang dan
dipoles dengan berbagai seni bahasa secara cemer lang. Faedahnya nyata: supaya
mening galnya suami atau karena talak baa'in adalah haram pula. Dalil bolehnya
lamaran secara implisit adalah riwayat ath-Thabari dari Sakinah binti Hanzhalah bin
Abdullah bin Hanzhalah, katanya: Abu Ja'far (Muhammad bin Ali al-Baqir)
mengunjungiku saat aku dalam masa idah. la berkata, "Wahai anak Hanzhalah, kamu
sudah tahu aku adalah ke rabat Rasulullah saw, dan aku sangat berpe ngaruh dalam
Islam." Aku berkata, "Semoga Allah mengampunimu, wahai Abu Ja'far! Me ngapa
kau melamarku padahal aku masih da lam masa idah, sementara kau adalah orang
saw. dan keduduk anku. Pada suatu hari Rasulullah saw. mengun jungi Ummu
Salamah yang belum lama di tinggal mati suaminya, Abu Salamah. Beliau terus-
menerus memberitahunya kedudukan beliau di sisi Allah sambil bertumpu pada tikar
Namun itu tidak dianggap sebagi lamaran." Jadi, perkataan baik yang tidak
mungkar menurut syariat (yaitu ucapan sopan, bahasa sindiran yang halus, dan
perkataan lembut yang tidak melukai yang termasuk bahasa ter sirat) itulah yang
boleh, seperti yang dilaku kan Nabi saw. kepada Ummu Salamah setelah suaminya
meninggal, di mana beliau men ceritakan kepadanya kedudukan beliau di sisi Allah
Ta'ala.
nikah de ngan wanita yang beridah, yaitu setelah masa idah habis. Dia melarang
“Janganlah kamu melaksanakan akad nikah dengan wanita yang beridah wafat
sebelum habis masa idahnya dari mantan suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari.”
Allah Ta'ala memperingatkan kita agar tidak melanggar ketentuan ini. Dia
boleh, yang kamu sembunyikan dalam hatimu. Karena itu, hin darilah melakukan
pelanggaran (berupa per kataan atau perbuatan) terhadap apa yang. dilarang Allah."
Dalam peringatan ini hukum digandeng dengan nasehat (yang berisi janji pahala dan
orang yang melanggar hukum-hukum-Nya dan berbuat. dosa kemudian dia bertobat
dan berbuat baik, dan Dia Maha Penyantun, yang tidak langsung menimpakan
memperbaiki amal mereka, maka dari itu janganlah kamu terpedaya bila Dia
menangguhkan hukumanmu.
yang diberikan seorang lelaki kepada seorang perempuan yang dipinangnya ketika
lelaki itu ingin menjadi pendampingnya, dan sebagai pengakuan dari seorang lelaki
Karena itu, dalam al-Qur’an Allah telah menegaskan dalam surat an-Nisa
ayat 4 :
yang setulus hati. Pemberian itu adalah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas
persetujuan kedua pihak, karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas. Mahar
merupakan kewajiban yang harus dipenuhi dalam sebuah pernikahan, karena mahar
sebagai pemberian yang dapat melanggengkan cinta kasih, yang mengikat dan
mengukuhkan hubungan antara suami istri. Mahar yang harus dibayarkan ketika akad
nikah hanyalah sebagai wasilah (perantara), bukan sebagai ghayah (tujuan), karena
itu islam sangat menganjurkan agar mahar atau mas kawin dalam perkawinan
dipermudah.5
4
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV. asy-Syifa’, 1992, h.
115.
5
Ahmad Mudjab Mahalli, Wahai Pemuda Menikahlah, Jogjakarta: Menara Kudus, 2002, h.
148
Islam tidak menetapkan jumlah besar atau kecilnya mahar, karena adanya
perbedaan kaya dan miskin, lapang dan sempitnya rezeki. Selain itu tiap masyarakat
mempunyai adat dan radisinya sendiri, karena itu Islam menyerahkan masalah jumlah
mahar itu berdasarkan kemampuan masingmasing orang atau keadaan dan tradisi
yang berlaku dalam keluarganya. Segala nash yang memberikan keterangan tidaklah
melihat besar kecilnya jumlah. Jadi diperbolehkan memberi mahar misalnya dengan
sebuah cincin besi atau hanya mengajarkan beberapa ayat al-Qur’an dan lain
sebagainya , dengan persyaratan sudah saling disepakati oleh kedua belah pihak yang
melakukan akad.
Seperti hadits di bawah ini: “Dari Sahal bin Saad bahwa Nabi SAW …….lalu
Nabi bersabda “ sekarang kamu berdua saya nikahkan dengan mahar ayat al-Qur’an
Hadits di atas menunjukkan bahwa mahar itu boleh berupa sesuatu yang
bermanfaat. Di antara yang bermanfaat itu adalah mengajarkan beberapa ayat dari
perbuatan jasa atau manfaat lainnya adalah yang termasuk dalam kategori melayani
menceritakan perkawinan Nabi Musa a.s. dengan putri Nabi Syu’aib a.s. dengan
mahar dalam bentuk jasa yang bermanfaat yaitu bekerja selama delapan tahun.
Mahar adalah wajib dibayar suami kepada istrinya. Namun setelah pasti ketentuan
pembayarannya, tidak tertutup kemungkinan bagi pasangan suami istri yang saling
mencintai dan meridhoi dan menjadi pasangan yang mesra dalam sebuah rumah tangga
untuk menghadiahkan kembali mahar itu kepada suaminya demi kepentingan dan
Tentang hukum memberikan mahar adalah wajib, sesuai firman Allah SWT dalam
suami untuk membayar mahar kepada istrinya. Karena perintah itu tidak disertai
menghendaki kepada makna wajib. Jadi mahar adalah wajib bagi suami terhadap
istrinya, karena tidak ada qarinah yang memalingkannya dari makna wajib kepada
makna yang lain.6Pemberian tersebut juga sebagai pertanda eratnya hubungan dan
cinta yang mendalam antara calon suami-istri, di samping jalinan yang seharusnya
hanya dengan pemberian mahar saja, tetapi diiringi dengan aneka ragam hantaran
(hadiah) lainnya, baik berupa makanan, pakaian, peralatan rumah tangga, atau yang
lainnya, sebagai penghargaan dari calon suami kepada calon istri tercinta yang
kesederhanaan dan ajaran kemudahan yang dianjurkan Islam, sehingga besar dan
Kalau mahar atau mas kawin itu adalah hak seorang perempuan (istri) maka
istri yang baik adalah yang tidak mempersulit atau mempermahal mas kawin. Kini,
tidak sedikit dari kaum muslimin yang telah teracuni paham materialisme. Mereka
memandang mahar dengan pandangan materi semata. Mahar mereka jadikan sebagai
asas dalam akad nikah. Padahal sebenarnya mahar hanyalah sebagai lambang
yang paling utama. Pandangan seperti itu sangat bertentangan dengan syari’at Islam
Mempermahal mas kawin adalah sesuatu yang dibenci oleh Islam, karena akan
mahar yang berlebih-lebihan (wanita yang memasang mahar terlalu mahal), bahkan
7
Nurjannah, Mahar Pernikahan, Jogjakarta: Prisma Sophie Press, 2003, Cet. I, h. 27
sebaliknya mengatakan bahwa setiap kali mahar itu lebih murah tentu akan memberi
bukan berarti malah menjatuhkan harga dirinya. Dari ‘Aisyah ra. Ia berkata, bahwa
yang paling murah maharnya. Dan sabdanya pula: perempuan yang baik hati adalah
Masih banyak manusia yang tidak mengenal mahar atau maskawin ini,
mereka berpegang dengan adat Jahiliyah. Yaitu seorang ayah menyerahkan anak
gadisnya kepada laki-laki yang berani memberikan jumlah mahar yang tinggi,
sebaliknya menolak menyerahkan anak gadisnya kepada laki-laki yang hanya mampu
memberikan mahar dengan jumlah yang sedikit. Sehingga seakan-akan perempuan itu
merupakan barang dagangan yang dipasang tarif dalam etiket perdagangan itu.
kerusakan serta mengacaukan dunia perkawinan sehingga akhirnya yang halal itu
lebih sulit untuk dicapai daripada yang haram (zina). Masalah nominal mahar, Islam
8
Sayyid Sabiq, alih bahasa Drs Moh. Thalib, op. cit , h. 58-59
tidak mengatur tentang berapa banyak dan sedikitnya jumlah mahar tersebut. Dalam
hal ini jumlah mahar tergantung pada keadaan pihak suami serta kedudukan si istri.
wanita yang akan dipersunting menjadi istrinya terdapat dalam al-Qur’an surat an-
Nisa ayat 25, dan Ia pun mengingatkan kaum muslimin agar menikahi wanita dengan
“Mengenai paling sedikit dan paling banyaknya maskawin tidak ada batas
tertentu”.9
jumlahnya) atau juga bisa tidak ditetapkan. Mahar yang ditentukan baik bernilai besar
ataupun kecil, merupakan jumlah yang disepakati kedua belah pihak pada saat
perkawinan ataupun sesudahnya, itulah yang sebaiknya, pemberian mahar ini dapat di
bayar secara tunai dan bisa juga ditangguhkan sesuai persetujuan istri.
mengatakan bahwa mahar yang disepakati oleh pengantin lakilaki dan perempuan
yang disebutkan dalam redaksi akad sesudahnya. Berdasarkan definisi tersebut, dapat
dimengerti bahwa penetapan jumlah mahar telah ditentukan ketika akad nikah, akan
9
Imam Taqiyudin Abubakar Bin Muhammad Alhusaini, Penerjamah: K.H. Syarifudin Anwar
dan K.H. Misbah Mustafa, Kifayatul Akhyar (Kelengkapan Orang Saleh), Surabaya: Bina Insan, t. th,
h. 135
10
Sayyid Sabiq, Op. cit., h. 59
tetapi diperbolehkan untuk membayar secara penuh sekaligus atau melakukan
penundaan. Hal ini tentunya sangat didukung oleh kerelaan kedua belah pihak.11
Hal-hal yang termasuk dalam ke dalam mahar musamma dalam akad adalah
apa saja yang diberikan oleh suami untuk istrinya menurut adat yang berlaku sebelum
pesta pernikahan ataupun sesudahnya, seperti gaun pengantin atau pemberian yang
diberikan sebelum dukhul (bersetubuh) atau sesudahnya. Karena yang ma’ruf (baik)
dalam masyarakat seperti yang disyaratkan dalam akad adalah lafdziyah (yang
Pemberian itu wajib disebutkan pada saat akad, suami harus menyebutkan
kecuali bila disyaratkan untuk tidak menyebutkan dalam akad.12 Sedangkan mahar
yang tak ditentukan adalah merupakan mahar yang diberikan oleh calon suami
kepada calon istrinya yang ketentuan besar kecilnya belum ditetapkan dan bentuknya
juga tidak disebutkan. Akan tetapi mahar ini disesuaikan dengan kedudukan wanita
dalam struktur kehidupan sosial dari segala aspek atau pertimbangan seperti
kejandaan, negeri, keturunan, dan kemuliaan leluhurnya. Mahar mitsil itu diukur dari
perempuan yang menyerupai istri dari seluruh kerabatnya, baik dari pihak ayah
maupun ibunya.
11
Prof. Abdur Rahman I. Doi, Ph. D., Op.cit., h. 69-70
12
Ibid
Seperti saudara kandung, bibi dari pihak ayah, anak paman dari pihak ayah,
bibi dari pihak ibu dan selain mereka dari kerabat yang ada. Jumlah mahar atau
maskawin yang wajar itu akan tergantung pada kedudukan seseorang dalam
kehidupannya, status sosial, pihak-pihak yang menikah itu, dan dapat berbeda dari
satu tempat dengan tempat yang lainnya, dari satu masa ke waktu yang lain dan dari
satu negeri dengan negeri yang lain.13 Jenis mahar yang dipakai masyarakat Indonesia
secara umum adalah mahar musamma, biasanya ditetapkan bersama atau dengan
sunnah tatkala mengucapkan ijab kabul pernikahan, agar para saksi dapat mendengar
secara langsung jumlah dan bentuk dari mahar tersebut. Penentuan mahar serta
pemberiannya baik dengan cara memberi kontan atau menangguhkannya adalah suatu
hal yang diperbolehkan, akan tetapi ketentuan dari mahar musamma ini telah
ditetapkan ketika ijab kabul pernikahan. Keputusan musyawarah antara kedua belah
pihak dapat menjadi tolak ukur pemberian mahar secara kontan ataupun penundaan.14
a. Syarat-syarat Mahar
sebagai berikut.
13
Ibid
14
Nurjannah, Op. cit., h. 42-43.
1. Harga berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga
2. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan
memberikan khamar, babi, atau darah, karena semua itu haram dan
tidak berharga.
4. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya. Tidak sah mahar dengan
jenisnya.15
b. Fungsi-Fungsi Mahar
mengembalikan hak-hak itu. Kepadanya diberi hak mahar dan kepada suami
15
Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, juz 4, h. 103
diwajibkan memberi mahar. kepadanya bukan kepada ayahnya dan kepada
barang itulah yang wajib dibayarkan. Tetapi bila tidak ada ketentuan
sebelumnya dan tidak disebutkan bentuknya di waktu akad nikah, maka bagi
mempelai pria kepada calon mempelai perempuan, baik berupa uang, barang
atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Para Imam mazhab
(selain Imam Malik) sepakat bahwa mahar bukanlah salah satu rukun akad,
tetapi merupakan salah satu konsekuensi adanya akad. Karena itu, akad nikah
dicampuri maka dia tidak berhak atas mahar, tetapi harus diberi mut'ah yaitu
c. Macam-macam Mahar/maskawin
Semua ulama’ telah sepakat bahwa membayar mahar itu adalah wajib.
1. Mahar Musamma
bentuk dan jumlahnya dalam shighat akad. Jenis mahar ini dibedakan lagi
menjadi dua yaitu: Pertama Mahar Musamma Mu’ajjal, yakni mahar yang
pembayaran mahar termasuk perkara yang sunnat dalam Islam. Kedua Mahar
Musamma Ghair Mu’ajjal, yakni mahar yang telah ditetapkan bentuk dan
telah terjadi dukhul. Ulama’ sepakat bahwa membayar mahar menjadi wajib
jika belum terbayarkan maka termasuk utang piutang. Namun, jika sang isteri
16
Beni Ahmad Saebani, Fiqih Munakahat Bandung: CV Pustaka Setia, 2009,h. 275-279.
rela terhadap maharnya yang belum dibayarkan oleh suaminya. Sementara
maharnya. Jika isterinya tidak rela, maka pembayaran mahar itu diambilkan
2. Mahar Mitsil
jumlah dan bentuk yang biasa diterima keluarga pihak isteri karena tidak
membayar mahar mitsilnya adalah keputusan yang dipandang lebih adil dan
d. Hikmah Mahar
Sehingga diberi hak menerima mahar dari suaminya saat menikah, dan
karena mahar itu sifatnya pemberian, hadiah, atau hibah yang oleh al-
isterinya.
1. Pengertian Mahram