Anda di halaman 1dari 18

BAB II

1. Teori Candi

A. Candi
Mendefinisikan Candi sebagai bangunan tempat ibadah dari peninggalan masa
lampau yang berasal dari agama Hindu-Buddha. Prof. HJ Krom dan Dr. WF Stutterheim
mengartikan candi dari asal katanya CANDIKA GHRA Candika = Dewi maut (di
Indonesia dikenal Bethari Durga = Durga Sura Mahesa Mardhani) dan GRHA = GRAHA
= GRIYA/GRIYO yang artinya rumah. Jadi Candi menurut mereka adalah rumah untuk
bethari Durga = rumah dewi maut. Wujud Ciwa Durga Sura Mahesa Mardhani dapat kita
jumpai di candi Prambanan pada Candi Ciwa, pada wujud patung yang oleh masyarakat
setempat dikenal sebagai Roro Jonggrang. Jadi pada masa klasik candi dipahami sebagai
tempat suci untuk bakti kepada para dewa. Namun dalam perkembangannya istilah 'candi'
tidak hanya digunakan oleh masyarakat untuk menyebut tempat ibadah dengan bentuk
bangunan layaknya bangunan peribadatan saja. Hampir semua situs-situs purbakala dari
masa Hindu-Budha atau Klasik Indonesia, baik sebagai istana, pemandian/petirtaan,
gapura, dan sebagainya, disebut dengan istilah candi.
Pendirian Candi pada dasarnya didorong karena adanya keinginan untuk memuja
dan beribadat (kebutuhan berkomunikasi dengan sang pencipta) sehingga muncullah
kebutuhan akan wadah yang dapat menampung dan mendukung kegiatan tersebut. Jadi
dapat dilihat bahwa candi dibangun sebagai wadah aktivitas situs keagamaan (Hindu atau
Budha) yang di dalamnya terdapat karya seni untuk mendukung para penganutnya dalam
membuat penyuasanaan religius dalam lingkungan candi dengan mengekspresikan kreasi
dan nilai religi mereka melalui bentuk - bentuk, baik berupa patung maupun bangunan
termasuk pengolahan estetika arsitektur di dalamnya.
Candi merupakan seni bangun peninggalan masa lampau (Indonesia Hindu-Budha)
yang masih dapat dijumpai hingga saat ini. Sebagai produk budaya, bangunan candi
diperindah dengan perwujudan ornamen pada dinding-dinding bangunannya. Jenis
ornamen candi bervariasi, berupa sosok manusia, hewan, tumbuhan, atau bentuk-bentuk
lainnya yang menggambarkan aspek tertentu sesuai konsep bangunan yang dimaksud.
Komposisi ini tentunya mengacu kepada aktivitas ritual berdasarkan fungsi
pragmatik maupun fungsi simbolik tertentu. Arsitektur adalah wadah untuk menampung
aktivitas manusia di dalamnya jadi semua aspek yang berada di dalamnya (bentuk, struktur,
dan fungsi) memiliki fungsi yang praktis dan nyata untuk menjawab kebutuhan itu
(pengalaman arsitektur). Hampir semua ahli sejarah sependapat bahwa konsep dan arsitek
candi berasal dari pengaruh Hindu dari India yang menyebar pengaruhnya hingga ke
Nusantara sekitar abad ke 4 hingga abad ke 15. Pengertian pengaruh Hindu di sini adalah
untuk menyebut semua bentuk pengaruh yang berasal dari India yang masuk ke Nusantara
pada periode yang disebutkan di atas. Pengaruh-pengaruh itu diantaranya
agama/kepercayaan Hindu dan Budha dengan tata cara ritualnya, Bahasa dan
tulisan(Sansekerta dan Palawa), Konsep kasta dalam masyarakat (stratifikasi sosial), sistem
pemerintahan feodal dan arsitektur bangunan.
Dari tempat asalnya, fungsi candi merupakan bangunan suci untuk
pemujaan/upacara ritual kepada para dewa. Setibanya di Nusantara fungsi candi tidak
hanya difungsikan untuk pemujaan(bangunan suci)tetapi juga untuk tempat perabuan.
Dimasa kerajaan Hindu-Budha berjaya di tanah air, jenazah para raja yang diyakini sebagai
titisan dewa setelah dikremasi ditanam di candi pada suatu wadah yang disebut peripih.
Dalam istilah kuno proses ritual demikian diistilahkan dengan kata dicandikan, artinya
dimakamkan di candi.

Sebagaimana kita pahami di atas, bahwa pengertian candi di Indonesia tidak hanya
dipakai untuk menyebut peninggalan-peninggalan masa klasik dalam bentuknya seperti
bangunan suci tempat ibadah/ritual. Terdapat banyak peninggalan berupa tempat
pemandian. Tentu saja peninggalan seperti ini dahulu difungsikan sebagai tempat mandi
dan aktifitas sehari-hari seperti mandi dan cuci atau tempat pemandian para putri raja dan
kerabatnya. Demikian pula bentuk candi berupa keraton dan gapura. Keraton merupakan
tempat tinggal dan pusat pemerintahan raja yang memerintah dan gapura difungsikan
sebagai tempat pintu masuk ke wilyah keraton atau tempat penting lainnya.
B. Morfologi
Berdasarkan sosoknya bangunan sakral peninggalan jaman Hindu dapat dibagi
menjadi lima jenis tipe, yaitu tipe menara yang sering disebut ‘bentuk candi’ seperti Candi
Prambanan, Sewu, Gedongsongo, dsb; tipe punden baik berundak seperti candi di lereng
penanggungan maupun tak berundak seperti candi Kotes ; tipe kolam seperti candi
Watugede, candi Belahan, candi Jalatunda, Tirta empul ; tipe stupa berundak seperti
Borobudur, maupun tak berundak seperti Palgading dan Sumberawan ; tipe Goa seperi goa
Selomangleng Kediri , Selomangleng Tulungagung, Goa Gajah Selain kelima jenis tipe
bentuk tersebut terdapat pula peninggalan yang merupakan pelengkap dari kompleks
bangunan sakral atau istana dan sering pula oleh masyarakat disebut sebagai candi yaitu
berupa gapura paduraksa seperti Candi Bajangratu, Jedong, Plumbangan, dan gapura
bentar seperti candi Wringinlawang.
Dari keenam bentuk peninggalan tersebut yang paling banyak ditemukan adalah
tipe menara. Tipe menara hanyalah merupakan sebutan untuk membedakannya dengan tipe
lain yang sering dikarakteristikan sebagai ‘candi’, dimana sebutan candi secara fisik
dianggap berbentuk menjulang seperti menara. Tetapi bila candi hanya dipandang dari
sudut fungsi dimana ritual dapat berjalan disana maka tipe lain pun selain gapura juga dapat
dianggap sebagai candi. Keenam bentuk tersebut dapat pula didapatkan pada suatu
kompleks percandian yang luas misalnya Penataran di Blitar dimana terdapat menara,
punden, kolam, gapura ; atau suatu kompleks yang dianggap sebagai bekas keraton seperti
Kompleks Ratu Boko dimana mempunyai unsur gapura, punden, menara, kolam dan goa.
 Tipe menara sebenarnya merupakan tipe yang paling tepat disebut
sebagai candi, karena dianggap lebih mempunyai karakter dan sifat fisik
bangunan ‘candi’ /kuil. Berdasarkan ruang tipe bentuk menara dapat
dibagi menjadi empat jenis yaitu menara tanpa ruang, menara beruang
satu, menara beruang tiga, menara beruang empat.
 Tipe bentuk punden juga dapat dibedakan menjadi tipe punden tak
berundak, punden berundak dan bentuk piramid/zigurat.
 Tipe bentuk Stupa dapat dibedakan menjadi stupa berundak dan stupa
lepas tak berundak.
 Tipe bentuk gapura dapat dibedakan menjadi tipe gapura belah dan
paduraksa.
 Kolam dapat dibedakan menjadi kolam yang bersandar dan tak
bersandar.
 Di samping kelima tipe tersebut, meskipun ‘bukan candi’, goa ikut
mewarnai perkembangan bangunan suci pada masa peradaban Hindu
dan Budha dan dapat menjadi elemen penting dalam suatu kompleks
percandian ataupun pertapaan.
Merujuk pada beberapa pendapat ahli sejarah dapat disusun kerangka pembagian
periode pembangunan candi sebagai berikut : Periode Pra Klasik ( -700) ; Periode Awal
(Klasik Tua) berkisar (700 - 800 M) » Periode I ; Periode Tengah (Klasik Utama) berkisar
(800 – 950 M) » Periode II ; Periode Transisi (Klasik Transisi) berkisar (950 – 1200) »
Periode III ; Periode Akhir (Klasik Muda) berkisar (1200 –1500 M) » Periode IV. Pada
periode Pra-Klasik diperkirakan bangunan candi terbuat dari bahan non batu/non permanen
sehingga sudah hancur atau belum adanya tradisi membangun bangunan ibadah (candi).
Berdasarkan periodisasi tersebut, bentuk candi tipe Menara dapat dibedakan menjadi :
1. KLASIK TUA (700–800 M)
Sosok : Ramping agak tambun
Panteon : Siwa Mahadewa/Lingga+Yoni (Inti)-Durga(Selatan)-Agastya(Utara)-Ganesa
(Barat/Timur)-Mahakala (muka)- Nandiswara (muka)
Sifat : Dominasi Hindu
Bentuk Denah Kaki : Bujursangkar dan Persegipanjang
Bentuk Denah Badan : Bujursangkar, Persegipanjang, Palangsilang
Bentuk Denah Atap : Bujursangkar, Persegipanjang, Palangsilang
Tampak Kaki :
- Dinding polos / dihias persegipangjang sederhana
- Hiasan Tangga didominasi oleh makara Lidah
- Selasar tidak berpagar dan sempit
- Bahan batu
Tampak Badan :
- Kolom semu dan jendela semu
- Hiasan Kala tak berdagu dan makara pada pintu
- Dinding polos atau sedikit motif
- Bahan batu
Tampak Atap :
- Atap bersusun-susun/berteras-teras
- Hiasan pojok atap diukir sederhana/polos
- Puncak berbentuk shikara lengkung
- Bahan batu
Jumlah ruang : 1
Tipe Moulding Kaki, Badan dan Tipe Atap Lihat Tabel Tipe Perletakan 1 dan 2 (lihat
keterangan) Pada Masa ini bangunan didominasi oleh bentuk “menara”, Contoh: Candi
Gedongsongo, Candi Dieng, Candi Selagriya, Candi Gunungwukir, dsb.

2. KLASIK TENGAH/UTAMA (800 – 950)


Sosok : Tambun
Panteon Hindu :
- Siwa Mahadewa/Lingga+Yoni (Inti)-Durga(Selatan)- Agastya(Utara)- Ganesa
(Barat/Timur)-Mahakala (muka)- Nandiswara (muka)
- Siwa Mahadewa (Barat/Timur), Wisnu (Selatan), Brahma (Utara) Budha : Arca
Budha dengan berbagai sikap tergantung mandala
Bentuk Denah Kaki : Bujursangkar, Palangsilang, Persegipanjang
Bentuk Denah Badan : Bujursangkar, Palangsilang, Persegipanjang Bentuk Denah Atap
: Bujursangkar, Palangsilang, Persegipanjang
Tampak Kaki :
- Dinding berhias relief (ragam hias/cerita)
- Hiasan Tangga didominasi oleh makara berkepala
- Adanya selasar berpagar dan lebar
- Hiasan segitiga pada tepi lantai
- Adanya ukiran kolom semu di kanan kiri segmen relief
- Kaki bertingkat
Bahan batu Tampak Badan :
- Kolom dan jendela semu
- Hiasan Kala tak berdagu dan makara pada pintu rteras
- Bahan batu
Tampak Badan :
- Kolom dan jendela semu
- Hiasan Kala tak berdagu dan makara pada pintu
- Dinding dihiasi motif
- Banyak relung-relung pada dinding
- Didapatkan adanya pelipit tengah
- Adanya ukiran kolom semu di kanan kiri segmen relief
- Adanya komponen jendela pada beberapa candi - Bahan Batu
Tampak Atap :
- Atap bersusun-susun/berteras-teras dengan menara-menara kecil yang rapat
- Hiasan segitiga pada tepi dan pojok atap diukir
- Puncak berbentuk shikara lengkung atau ratna atau stupa
- Bahan Batu
Jumlah ruang : 1;3; 4
Jumlah lantai badan : 1 ; 2
Jumlah lantai kaki : 1; 2
Tipe Moulding Kaki, Badan dan Tipe Atap Lihat Tabel
Tipe Perletakan 1,2,3,4,5 (lihat keterangan)
Contoh : Candi Prambanan, Candi Sewu, Candi Kalasan, Candi Sari, Candi Banyuniba,
Candi Ijo, Candi Mendut, dsb

3. KLASIK TRANSISI (950 – 1200 M)


Sosok : Tambun
Panteon : Siwa Mahadewa/Lingga+Yoni (Inti)-Durga(Selatan)- Agastya(Utara)-
Ganesa (Barat/Timur)-Mahakala (muka)- Nandiswara (muka)
Sifat : Hindu Bentuk
Denah Kaki : Bujursangkar
Bentuk Denah Badan : Bujursangkar, Palangsilang
Bentuk Denah Atap : Bujursangkar, Palangsilang
Tampak Kaki :
- Dinding berhias relief (ragam hias)
- Hiasan Tangga didominasi oleh makara berkepala
- Adanya selasar lebar
- Hiasan segitiga pada tepi lantai
- Adanya ukiran kolom semu di kanan kiri segmen relief
- Kaki bertingkat/berteras - Bahan bata
Tampak Badan :
- Hiasan Kala tak berdagu dan makara pada pintu
- Dinding dihiasi motif ragam hias
- Banyak relung-relung pada dinding
- Adanya ukiran kolom semu di kanan kiri segmen relief
- Bahan bata
Tampak Atap :
- Atap bersusun-susun/berteras-teras
- Hiasan segitiga pada tepi dan pojok atap diukir
- Puncak berbentuk shikara lengkung atau ratna atau stupa
- Bahan Bata Jumlah ruang : 1
Jumlah lantai kaki : 1 ; 2
Tipe Perletakan : 1;2; 7 (lihat Keterangan)
Contoh : Candi Sumbernanas, Candi Gunungwukir, Candi Songgoriti Candi
Gunungkawi

4. KLASIK MUDA (1200 – 1500 M)


Sosok : Ramping dan
Tambun Panteon Hindu : - Siwa Mahadewa/Lingga+Yoni (Inti)-Durga(Selatan)-
Agastya(Utara)- Ganesa (Barat/Timur) -Mahakala (muka)- Nandiswara (muka)
Budha : Arca Bodhisatwa atau Budha dengan berbagai Sikap
Bentuk Denah Kaki : Bujursangkar
Bentuk Denah Badan : Bujursangkar, Palangsilang,lingkaran
Bentuk Denah Atap : Bujursangkar
Tampak Kaki :
- Dinding berhias relief (ragam hias/cerita)
- Hiasan Tangga lengkung berkepala Naga
- Adanya selasar sempit
- Hiasan Palang silang
- Hiasan ukiran suluran di atas dan meander di bawah relief pada beberapa candi
- Candi Majapahit kakinya berteras-teras
- Bahan batu/bata
Tampak Badan :
- Hiasan Kala berdagu tidak bermakara
- Dinding dihiasi motif medalion atau palangsilang atau relief cerita atau ukiran
- Adanya pelipit tengah
- Bahan Batu-Bata/
- Ada yang berdinding kayu-tiang+umpak
Tampak Atap :
- Atap tidak berteras-teras tetapi berbentuk prisma segitiga monolit yang diukir menara-
menara kecil
- Hiasan segitiga pada tepi dan pojok atap diukir
- Puncak berbentuk Kubus atau stupa
- Terdapat atap yang terbuat dari bahan non batu berbentuk meru/tumpang
- Bahan Batu-bata atau non batu-bata
Jumlah ruang : 1
Jumlah lantai kaki : 1 ;3; 5
Tipe Moulding Kaki, Badan dan Tipe Atap Lihat Tabel Tipe Perletakan 6,7 (lihat
keterangan) Contoh: Candi Jawi, Candi Jago, Candi Singosari, Candi Kidal, Candi
Penataran, Candi Bayalangu

C. Ornamen
Indonesia memiliki budaya candi yang tidak terhitung jumlahnya, tersebar di
seluruh daerah di pulau Jawa dan Bali, dan sebagian besar terletak di Pulau Jawa,
terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bentuk candi sangat beragam dan bervariasi.
Mulai dari peninggalan masa Mataram kuno (abad 9-10 M) contohnya candi-candi
dataran tinggi Dieng, candi Gedongsanga, candi Borobudur, hingga candi Prambanan.
Peninggalan masa Kediri (abad 11-12 M) contohnya candi Jalatunda, candi Panataran,
hingga Goa Selomanggleng. Peninggalan masa Singasari (abad 12-14 M) contohnya
candi Jago, candi Jawi, candi Kidal. Serta peninggalan masa Majapahit (abad 13-15 M)
mulai dari candi-candi Trowulan hingga candi Mirigambar (lihat Harto, 1999; Munandar,
2015). Agama Hindu dan Budha berkembang di Indonesia antara abad VII-XV Masehi,
dan kebudayaan materi yang ditinggalkan adalah tempat-tempat suci yaitu candi, stupa,
goa pertapaan, dan kolam suci (patirthan) (Santiko, 1995: 02). Seringkali bangunan-
bangunan tersebut diperindah dengan adanya ornamen, teristimewa pada bangunan candi.
Menurut Gustami (1980: 04), ornamen merupakan komponen produk seni yang
ditambahkan atau sengaja dibuat untuk tujuan hiasan. Secara umum, ornamen memiliki
fungsi yang dapat dipilah ke dalam tiga jenis, yaitu fungsi murni estetis, fungsi simbolis,
dan fungsi konstruktif (Sunaryo, 2009: 04).
Keberadaan ormanenpada candi, berfungsi sebagai pengisi kekosongan suatu
bidang atau dinding candi. Ornamen pada candi juga memiliki fungsi sebagai media
untuk melampiaskan hasrat pengabdian, persembahan, penghormatan, dan kebaktian
terhadap nenek moyang atau dewa yang dihormati (Syafii dan Rohidi, 1987: 03). Karena
itu, ornamen candi sebagai produk budaya yang berlatar agama Hindu-Budha, diciptakan
tidak hanya bernilai estetik melainkan juga bernilai religius. Berbicara mengenai ornamen
pada candi erat, maka erat kaitannya dengan relief. Hal ini tersirat pada pernyataan Holt
(2000: 40) yang menyampaikan bahwa dinding candi “dihiasi” dengan relief-relief naratif
dan dekoratif. Lebih lanjut, berdasarkan fungsinya, Jordaan (2009: 121-154)
menggolongkan relief pada candi menjadi relief dekoratif, relief naratif, dan relief ikonik.
Relief naratif merupakan reliefrelief yang memuat cerita tertentu, sementara relief-relief
dekoratif merupakan relief yang diterapkan sebagai hiasan atau ornamen pada candi,
adapun relief ikonik merupakan relief yang menggambarkan tokoh dewa atau tokohtokoh
penting lainnya yang terkait dengan penggambaran sebuah candi.
D. Filosofi
Secara garis besarnya, arsitektur candi Jawa - baik yang berlatar agama Hindu;
Buddha; maupun sinkretisasi kedua agama itu - adalah memuat beberapa makna filosofis
seperti:
1) Candi sebagai Gunung Meru

Bangunan candi tunggal pemujaan di Jawa pada umumnya merupakan


representasi dari konsepsi gunung mahasuci alam semesta yang bernama Gunung Meru
itu. Gunung mitologis ini dikenal dalam pandangan Hinduisme dan Buddhisme sebagai
sumbu penopang alam semesta. Meru juga memiliki beberapa tingkatan yang menjadi
tempat hidup berbagai tingkatan makhluk alam semesta. Pada puncak Meru terdapat
sorga utama tempat bersemayamnya para dewata dan roh-roh suci alam semesta.

2) Candi sebagai simbol pertemuan manusia dan Tuhan

Candi tunggal pada umumnya mengambil bentuk dasar lingga-yoni. Wujud lingga-
yoni ini adalah simbolisasi dari adanya hubungan harmonis antara umat manusia di dunia
sebagai pradhana („penerima‟) yang disimbolkan sebagai yoni horizontal dan Tuhan di
alam atas sebagai purusha („pemberi‟) yang disatukan dengan elemen lingga vertikal
tersebut.

3) Candi simbolisasi kepala Dewa Brahma


Candi tunggal Jawa yang memiliki emapat wajah yang sama; dengan empat ruang
suci (garbhagrha) di keempat sisinya merupakan representasi dari kepala Dewa Brahma.
Dewa Brahma merupakan dewa pencipta alam semesta yang dlama mitologi Hindu dan
Buddha lazimnya diwujudkan sebagai sosok dewa yang berwajah empat (Sanghyang
Caturmukha).
4) Candi sebagai simbolisasi alam semesta
Bangunan candi juga memuat makna sebagai simbol alam semesta dengan ketiga
tingkatannya yang masing-masing memiliki tingkat kesucian masing-masing sesuai
konsepsi Hindu dan Buddha. Dalam pandangan Hindu dan Buddha, alam semesta
digambarkan memiliki tiga tingkatan utama yang disebut dengan Tri Loka. Konsepsi tiga
tingkatan alam ini terejawantahkan dalam bangunan candi sebagai tiga tingkatan
bangunannya.
5. Candi setara dengan tubuh manusia
Ketiga tingkatan bangunan candi juga memiliki kesetaraan makna dengan tiga
bagian vertikal tubuh manusia. Dasar candi sebagai bagian kaki manusia;
badan dan ruang suci candi sebagai badan manusia; dan atap candi sebagai
bagian kepala manusia.

6. Candi juga memuat konsepsi Rwa Bhineda


Bangunan candi juga memuat penerapan konsepsi Rwa Bhineda
(Bipolar/Oposisi biner). Beberapa bagian candi yang mengidikasikan hal
tersebut antara lain dapat dilihat pada elemen-elemen dikotomik sebagai
berikut:
a. Adanya ruang luar dan ruang inti candi.
b. Adanya elemen utama dan elemen pendukung pada candi.
c. Adanya bagian puncak dan dasar candi.
d. Adanya pasangan sosok dwarapala (patung penjaga pintu) yang
berbeda karakter.
e. Adanya sosok arca dewa dalam bilik utama candi yang berkarakter
benevolent-terrible atau pasangan arca dewa dan dewi sebagai simbol
aspek pasiv dan aktiv tokoh dewata.
f. Adanya konsep menaik dan menurun pada ornamen bermotif grafik
pada panel-panel candi.

7. Pada bangunan candi juga mengenal elemen pripih yang pada dasarnya
memuat makna sebagai benih kesucian pada bangunan suci ini. Pripih juga
berperan menarik kekuatan suci Tuhan Yang Mahaesa yang abstrak (niskala)
itu dari alam atas agar “berkenan” menjiwai bangunan candi yang berwujud
riil (sekala) tersebut.

8. Perwujudan bangunan candi juga memiliki kesetaraan makna dengan wujud


mahkota raja Nusantara yang berpuncak satu. Keduanya merupakan
simbolisasi puncak Gunung Meru yang menjadi tiang penopang alam semesta
dalam pandangan Hinduisme dan Buddhisme itu.

2. Teori Masjid
Karakteritik Arsitektur Masjid
Perkembangan Islam pada kelompok-kelompok suku dan bangsa di luar wilayah
Arab, berpengaruh langsung pada keragaman arsitektur sarana ibadah Islam, terutama
masjid. Arsitektur masjid tidak pernah diatur dengan secara detail dan terperinci baik
dalam Al-Quran ataupun Hadist (Nana, 2002). Ada beberapa panutan untuk
merencanakan dan mendirikan masjid yang indah dan agung selama masih maengikuti
batas-batas ajaran Islam. Batasan-batasan tersebut yaitu (Muti’ah, 2011):
Tidak boleh menyerupai produk ajaran agama lain (Tasyabbuuh), seperti gereja,
kelenteng, candi dan bengunan ibadah lainnya. Artinya secara sepintas saja akan
langsung dikenali bahwasanya bangunan tersebut adalah bangunan masjid, dengan ciri
khasnya, seperti menara, beratap kubah, dan lain-lainnya.
Masjid hendaknya mencerminkan simbol ajaran Islam. Seperti segitiga yang
merupakan simbol dari Islam yang berarti Iman, Islam dan Ihsan merupakan pondasi segi
enam sebagai simbol Rukun Islam, dan lain-lain
Tidak boleh berlebihan (ishraf), jangan hanya karena ingin merancang bangunan
masjid yang indah lalu melebihi kebutuhan yang dituntut, keindahan jangan menjadi
tujuan tanpa mempertimbangkan fungsi, karena Allah tidak menyukai orang yang
berlebihan.
Menurut Frehman (1997) bangunan masjid terdiri dari bagian bagian bangunan
antara lain:
1. Kubah
Pada bangunan ibadah seluruh umat beragama menggunakan kubah sebagai atap
pada bangunan. Akan tetapi kubah lebih dominan digunakan pada bangunan masjid dan
gereja. Kubah merupakan karakteristik arsitektur Islam dari masa pembaruan Islam
dengan arsitektur barat yang disebut arsitektur Byzantium (Rochim, 1983).
2. Menara
Menara merupakan bangunan yang memiliki ukuran tinggi yang ukurannya jauh
lebih tinggi dari bangunan induknya. Struktur bangunan menara juga merupakan
bangunan yang ukuran ketinggiannya lebih besar dibandingkan dengan ketebalannya.
Bangunan menara dapat berdiri sendiri ataupun juga dapat ditemukan di bangunan
lain. Fungsi menara pada bangunan masjid digunakan oleh seseorang yang
mengumandangkan adzan (muadzim) untuk tempat mengumandangkan adzan sebagai
tanda shalat.
3. Taman
Taman merupakan bagian dari bangunan yang menghubungkan bangunan dengan
alam. Taman juga berfungsi untuk peralihan unsur kontiunitas antara elemen interior
pada ruang dalam yang didominasi unsur tumbuhan, bunga, dan daun.
4. Aula Shalat
Aula shalat merupakan ruangan yang luas yang berfungsi sebagai tempat untuk
shalat dan aktifitas keagamaan lainnya. Ruang shalat biasanya dibagi menjadi dua bagian
dengan pembatas. Untuk membedakan daerah pria dan wanita.
5. Mihrab
Mihrab merupakan bagian tempat berdirinya imam dalam melaksanakan shalat
yang terdapat di aula shalat. Mihrab biasanya berbentuk sebuah bidang dinding yang
melengkung ke dalam sehingga menciptakan ruang. Arahnya berada pada arah kiblat
yang merupakan orientasi shalat.
6. Mimbar
Mimbar merupakan sebuah podium yang difungsikan untuk penyampai khutbah
(khotib). Terdapat pada sisi kanan mihrab. Kedudukannya lebih tinggi dari ruang shalat
dengan tujuan agar khatib dapat dilihat oleh jamaah. Arah hadap mimbar ke arah jamaah
sehingga membelakangi arah kiblat.
Ciri umum arsitektur masjid selalu mengenai pola atau ornamen yang terus
berulang dan berirama, serta struktur yang melingkar. Ornamen pada bangunan masjid
umumnya berbentuk ukiran dari Al-Quran dalam kaligrafi dengan latar belakang pola
geometrik atau dengan corak alami (Rochym, 1983).
Tujuannya adalah untuk mendapat manfaat dari ayat- ayat Al-Quran yang
berfungsi untuk mengingat tentang ajaran Islam.Macam-macam motif yang terdapat pada
masjid, yaitu: motif Arabesque, dalam hal motif ajaran Islam melarang memakai motif
berbentuk hewan dan manusia. Oleh karena itu, para seniman muslim suka menciptakan
motif yang berbentuk geometris dan floral (tumbuhan), termasuk pada bagian interior
bangunan. Menurut Yulianto Sumalyo (2000) unsur kebudayaan dan gaya seni pada
daerah setempat mempengaruhi bentuk, tata ruang, konstruksi, dekorasi, dan aspek
arsitektural lainnya pada bangunan masjid. Tanpa meninggalkan aturan- aturan penting
seperti arah qiblat dan aturan-aturan masjid lainnya. Penggabungan unsur-unsur budaya
pada bangunan masjid juga merupakan suatu bentuk usaha masyarakat atau umat Islam
setempat dalam menunjukkan identitasnya.
Di Indonesia yang merupakan negara dengan penganut Islam terbesar di ASEAN,
perkembangan pembangunan masjid berlangsung dengan pesat. Bila dibandingkan
dengan arsitektur masjid-masjid kuno di dunia Islam lainnya, arsitektur masjid-masjid
kuno di Indonesia sangatlah sederhana. Padahal pada bangunan-bangunan lain yang
dahulunya telah dibangun sebelum masuknya Islam di Indonesia seperti Candi Borobudur
dan Candi Prambanan kemegahan arsitekturnya sangat menonjol. Hal tersebut
dikarenakan kurang munculnya gairah mencipta karya seni secara begitu saja tanpa
adanya rangsangan dalam mencipta. (Yudoseputro, 1986).
Bentuk bangunan masjid di Indonesia umumnya memiliki ciri – ciri seperti
berdenah bujur sangkar, pada bagian depan dan samping bangunan memiliki serambi, dan
juga pada bagian depan dan samping bangunan masjid umumnya memiliki sebuah kolam,
sebagai tempat wudhuk, dan sisi belakang bangunan umumnya ke arah barat, di
karenakan arah kiblat di Indonesia terletak di arah barat, di tengah - tengah arah barat ini
terdapat mighrab yang digunakan untuk tempat imam memimpin sholat, disamping itu
juga terdapat atap menara.
Menurut G.F. Pjiper (1984) mayoritas masjid tua di Indonesia mengikuti pola
bangunan masjid Jawa dengan ciri-ciri :
1. Pondasi bangunan berbentuk persegi dengan lantai yang agak tinggi.
2. Masjid tidak berdiri di atas tiang, seperti rumah di Indonesia model kuno, tetapi
tidak di atas dasar yang padat.
Namun sekarang masjid Indonesia lebih banyak berbentuk melengkung
melengkung setengah lingkaran berupa kubah. Keberagaman suku dan budaya Indonesia
membuat masjid - masjid di Indonesia antara daerah satu dan daerah lain, suku satu
dengan suku yang lain memiliki ciri – ciri yang berbeda.

Tipologi Bangunan Masjid


Kata tipologi terdiri atas TYPE yang berasal dari kata Typos yang bermakna
karakter, jenis, bentuk, gambaran, atau impresi suatu objek sedangkan LOGY adalah ilmu
yang mempelajari tentang sesuatu, Sehingga Tipology dapat diartikan sebagai “Ilmu yang
mempelajari tentang impresi, gambaran, bentuk, jenis atau karakter dari suatu objek”.
Ilmu tipologi akan mengarah pada upaya untuk mengklasifikasikan atau
mengelompokkan berdasarkan kaidah tertentu yang berdasarkan kepada (Sulistijowati,
1991):

Fungsi (meliputi simbolis, struktural dan penggunaan ruang dan lain – lain)
Geometrik (meliputi prinsip tatanan, geometrik, dan lain – lain)

Langgam (meliputi etnik dan budaya, periode, geografi atau lokasi, dan lain – lain)
Masjid dalam pembangunan awalnya hanyalah berupa bangunan non fisik yang
didirikan oleh Nabi Muhammad (610 M – 632 M) di Madinah. Berupa ruang terbuka
yang hanya dibatasi oleh tembok sebagai garis batas tanah milik warga Madinah yang
kemudian diserahkan sebagai tempat pusat kegiatan pergerakan Nabi dan para
pengikutnya yang kemudian disebut masjid.
Gambar 2.4 Rekonstruksi Masjid yang dibangun Nabi Muhammad
SAW

(Sumber: Yulianto Sumalyo, 2000)

Gambar 2.5 Denah Masjid Nabawi saat perluasan pada tahun 640
SM
BAB III

DATA DAN ANALISA CANDI

A. DATA DAN ANALISA CANDI NGETOS

a. Letak Candi Ngetos


Candi Ngetos terletak di Desa Ngetos, Kecamatan Ngetos, sekitar 17 kilometer
arah selatan kota Nganjuk. Bangunannya terletak ditepi jalan beraspal antara Kuncir dan
Ngetos. Menurut para ahli, berdasarkan bentuknya candi ini dibuat pada abad XV
(kelimabelas) yaitu pada zaman kerajaan (Majapahit). Dan menurut perkiraan, candi
tersebut dibuat sebagai tempat pemakaman raja Hayam Wuruk dari Majapahit. Bangunan
ini secara fisik sudah rusak, bahkan beberapa bagiannya sudah hilang, sehingga sukar
sekali ditemukan bentuk aslinya.

Candi ini yang dikelilingi hutan dan gunung dikira merupakan tempat pemuliaan
Raja Hayam Wuruk. Menarik bahwa di sebelah candi ada sekolah Islam. Atapnya telah
hilang tetapi bangunan itu agak besar. Keadaannya baik dan dahulu ada proyek ronovasi.
Menurut orang yang tinggal di sebelahnya candi ini tidak digunakan dalam arti
keagamaan oleh orang setempat. Ada orang Hindu yang datang untuk bersembahyang.
Mereka datang sebagai rombongan tetapi biasanya tidak tinggal lama.

b. Seni Bangunan dan Relief Candi Ngetos


Berdasarkan arca yang ditemukan di candi ini, yaitu berupa arca Siwa dan arca
Wisnu, dapat dikatakan bahwa Candi Ngetos bersifat Siwa–Wisnu. Kalau dikaitkan
dengan agama yang dianut raja Hayam Wuruk, amatlah sesuai yaitu agama Siwa-Wisnu.
Menurut seorang ahli (Hoepermas), bahwa didekat berdirinya candi ini pernah berdiri
candi berukuran lebih kecil (sekitar 8 meter persegi), namun bentuk keduanya sama. N.J.
Krom memperkirakan bahwa bangunan candi tersebut semula dikelilingi oleh tembok
yang berbentuk bulat cincin. Bangunan utama candi tersebut dari batu merah, sehingga
akibatnya lebih cepat rusak. Atapnya diperkirakan terbuat dari kayu (sudah tidak ada
bekasnya).

Relief pada Candi Ngetos terdapat empat buah, namun sekarang hanya tinggal
satu, yang tiga telah hancur. Pigura-pigura pada saubasemennya (alasnya) juga sudah
tidak ada. Di bagian atas dan bawah pigura dibatasi oleh loteng-loteng, terbagi dalam
jendela-jendela kecil berhiaskan belah ketupat, tepinya tidak rata, atau menyerupai bentuk
banji. Hal ini berbeda dengan bangunan bawahnya yang tidak ada piguranya, sedankan
tepi bawahnya dihiasi dengan motif kelompok buah dan ornamen daun.

Di sebelah kanan dan kiri candi terdapat dua relung kecil yang di atasnya terdapat
ornamen yang mengingatkan pada belalai makara. Namun jika diperhatikan lebih
saksama, ternyata suatu bentuk spiral besar yang diperindah. Dindingnya terlihat kosong,
tidak terdapat relief yang penting, hanya di atasnya terdapat motif daun yang melengkung
ke bawah dan horisaontal, melingkari tubuh candi bagian atas.
Yang menarik, adalah motif kalanya yang amat besar, yaitu berukuran tinggi 2 x
1,8 meter. Kala tersebut masih utuh terletak disebelah selatan. Wajahnya menakutkan,
dan ini menggambarkan bahwa kala tersebut mempunyi kewibawaan yang besar dan
agaknya dipakai sebagai penolak bahaya. Motif kala semacam ini didapati hampir pada
seluruh percandian di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Motif ini sebenarnya berasal
dari India, kemudian masuk Indonesia pada Zaman Hindu. Umumnya, di Indonesia motif
semacam ini terdapat pada pintu-pintu muka suatu percandian.

Candi Ngetos, yang sekarang tinggal bangunan induknya yang sudah rusak itu,
dibangun atas prakarsa raja Hayam Wuruk. Tujuan pembuatan candi ini sebagai tempat
penyimpanan abu jenasahnya jika kelak wafat. Hayam Wuruk ingin dimakamkan di situ
karena daerah Ngetos masih termasuk wilayah Majapahit yang menghadap Gunung
Wilis, yang seakan-akan disamakan dengan Gunung Mahameru. Pembuatannya
diserahkan pada pamannya raja Ngatas Angin, yaitu Raden Condromowo, yang
kemudian bergelar Raden Ngabei Selopurwotoo. Raja ini mempunyai seorang patih
bernama Raden Bagus Condrogeni, yang pusat kepatihannya terletak disebelah barat
Ngatas Angin, kira-kira berjarak 15 km.

Diceritakan, bahwa Raden Ngabei Selopurwoto mempunyai keponakan yang


bernama Hayam Wuruk yang menjadi Raja di Majapahit. Hayam Wuruk semasa hidup
sering mengunjungi pamannya dan juga Candi Lor. Wasiatnya kemudian, nanti ketika
Hayam Wuruk wafat, jenasahnya dibakar dan abunya disimpan di Candi Ngetos. Namun
bukan pada candi yang sekarang ini, melainkan pada candi yang sekarang sudah tidak ada
lagi.
Konon ceritanya pula, di Ngetos dulu terdapat dua buah candi yang bentuknya
sama (kembar), sehingga mereka namakan Candi Tajum. Hanya bedanya, yang satu lebih
besar dibanding lainnya. Krom juga berpendapat, bahwa disekitar candi Ngetos ini
terdapat sebuah Paramasoeklapoera, tempat pemakaman Raja Hayam Wuruk. Mengenai
kata Tajum dapat disamakan dengan Tajung, sebab huruf “ng” dapat berubah menjadi
huruf “m” dengan tanpa berubah artinya. Misalnya Singha menjadi Simha dan akhirnya
Sima. Hal ini sesuai dengan pendapat Soekmono yang menyatakan bahwa setelah Hayam
Wuruk meninggal dunia, maka makamnya diletakkan di Tajung, daerah Berbek, Kediri.

Selanjutnya diceritakan, bahwa Raja Ngatas Angin R. Ngabei Selupurwoto


mempunyai saudara di Kerajaan Bantar Angin Lodoyo (Blitar) bernama Prabu Klono
Djatikusumo, yang kelas digantikan oleh Klono Joyoko. Raja-raja ini ditugaskan oleh
Hayam Wuruk untuk membuat kompleks percandian. Raden Ngabai Selopurwoto di
kompleks Ngatas Angin menugaskan Empu Sakti Supo (Empu Supo) untuk membuat
kompleks percandian di Ngetos. Karena kesaktiannya maka dalam waktu yang tidak
terlalu lama tugas tersebut dapat diselesaikan sesuai petunjuk.

Relief pada Candi Ngetos terdapat empat buah, namun sekarang hanya tinggal satu, yang
tiga telah hancur. Pigura-pigura pada saubasemennya (alasnya) juga sudah tidak kehadiran.
Di pasangan atas dan bawah pigura dibatasi oleh loteng-loteng, terbagi dalam jendela-
jendela kecil berhiaskan belah ketupat, tepinya tidak rata, atau menyerupai bentuk banji.
Hal ini berbeda dengan kontruksi bawahnya yang tidak kehadiran piguranya, sedankan tepi
bawahnya dihiasi dengan motif kelompok buah dan ornamen daun.
Di sebelah kanan dan kiri candi terdapat dua relung kecil yang di atasnya terdapat
ornamen yang mengingatkan pada belalai makara. Namun jika diperhatikan lebih seksama,
ternyata suatu bentuk spiral besar yang diperindah. Dindingnya terlihat kosong, tidak
terdapat relief yang penting, hanya di atasnya terdapat motif daun yang melengkung ke
bawah dan horisaontal, melingkari tubuh candi pasangan atas.
Yang menarik, adalah motif kalanya yang amat besar, yaitu berukuran tinggi 2 x
1,8 meter. Kala tersebut masih utuh terletak disebelah selatan. Wajahnya menakutkan, dan
ini menggambarkan bahwa kala tersebut mempunyi kewibawaan yang besar dan agaknya
dipakai sebagai penolak bahaya. Motif kala semacam ini didapati hampir pada seluruh
percandian di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Motif ini sebenarnya berasal dari India,
kemudian masuk Indonesia pada 100 tahun Hindu. Umumnya, di Indonesia motif semacam
ini terdapat pada pintu-pintu muka suatu percandian.
Di Candi Ngetos sekarang ini tidak didapati kembali satu arcapun. Namun
memenuhi syarat penuturan beberapa penduduk yang dapat dipercaa, bahwa di dalam candi
ini terdapat dua buah arca, paidon (tempat ludah) dan baki yang semuanya terbuat dari
kuningan. Krom pernah menyebut, bahwa di candi diketemukan sebuah arca Wisnu, yang
kemudian disimpan di Kediri. Sedangkan yang lain tidak diketahui tempatnya. Meskipun
demikian dapat dipastikan bahwa candi Ngetos bersifat Siwa-Wisnu, walaupun mungkin
peranan arca Wisnu disini hanya sebagai arca pendamping. Sedangkan arca Siwa sebagai
arca yang utama. Hal ini sama dengan arca Hari-Hara yang terdapat di Simping, Sumberjati
yang berciri Wisnu.

B. ANALISA PENGARUH HINDU BUDHA TERHADAP BANGUNAN MASJID


Masjid di Indonesia umumnya memiliki gaya arsitektur masjid yang membedakannya
dengan arsitektur masjid dari negara lain. Tipe masjid di Indonesia berasal dari Pulau Jawa,
sehingga orang menyebutnya masjid jawa. Masjid di Indonesia umumnya memiliki bentuk
bangunan berbentuk segi empat, umumnya masjid di Indonesia tidak berdiri di atas tiang,
tetapi di atas dasar yang padat. Bangunan masjid di Indonesia memiliki serambi di depan
maupun di kedua sisinya, masjid mempunyai tambahan ruangan di sebelah barat atau barat
laut yang difungsikan sebagai mihrab, halaman pada sekeliling masjid dibatasi oleh tembok
dengan satu pintu masuk di depan yang disebut gapura. Masjid di Indonesia umumnya
mempunyai atap yang berbentuk meruncing keatas, terdiri dari dua sampai lima tingkat, ke
atas semakin kecil.
Salah satu yang masjid di Surabaya yang akan dibahas disini adalah Masjid Takhobar,
terletak JL Ketintang, 156, Gayungan, Ketintang, Kec. Gayungan, Kota SBY, Jawa Timur.
Masjid ini memiliki beberapa keunikan yang berhubungan dengan pengaruh hindu. Pada
Masjid ini menggunakan struktur bangunan yang tahan gempa, titik kritis terletak di
sambungan. Sehingga sambungan yang tidak kuat akan menyebabkan kerusakan parah
pada daerah sambungan tersebut dan akibatnya bangunan akan runtuh.
Maka Pada Masjid ini adanya beberapa
bangunan dengan bentuk sambungan terdapat
pada pertemuan umpak soko guru yang bersifat
sendi, dan soko guru-blandar-sunduk-atap
yang bersifat jepit.. Umpak sendiri merupakan
simbol seperti halnya manusia yang memiliki
alas kaki atau sepatu, yang memiliki konsep
makna pemimpin itu tidak akan kuat jika tidak
dilapisi yang dibawahnya.
Sehingga kombinasi dua sifat sambungan ini dapat mengatasi gaya gempa. Selain itu
Kestabilan kuda-kuda soko guru dijamin dengan angka keamanan yang cukup tinggi.
Terdapat dua sistem struktur penahan gempa bumi, yaitu dengan ikatan balok-kolom
(struktur rangka portal ruang/struktur rong-rongan: tumpang sari-saka guru umpak) dan
pembebanan supaya bangunan menjadi berat dan stabil untuk menahan gempa bumi,
sehingga masih tetap kokoh berdiri walau terkena gempa.

Konstruksi mampu bertahan saat gempa bumi terjadi karena sambungan-sambungan


konstruktif yang ada pada Masjid . Masjid ini mempunyai sistem struktur penahan beban
yang berbeda dengan rumah tradisional Jawa lainnya. Perbedaan itu terletak pada struktur
penahan beban melalui pembebanan pusat bangunan yang berupa saka guru dengan tujuan
agar bangunan menjadi berat dan stabil bila terkena gempa bumi. Inti kekuatan struktur
bentuk rumah Joglo adalah pada struktur rong-rongan (umpak saka guru blandar ) dan
kekuataannya diperoleh dengan penerapan struktur rangka ruang (soko samping blandar
usuk ). Kestabilan kuda-kuda saka guru menjamin keamanan yang cukup tinggi.
Mengacu pada bangunan kuno
seperti candi, masjid ini memiliki
banyak keunikan. Untuk masuk ke
masjid, kita melewati undak-undak.
Undak-undak itu tak lain adalah
pengaruh dari kebudayaan asli Indonesia
yang juga diadopsi pada bangunan candi
Hindu-Buddha. Bangunan itu adalah
punden berundak. Punden berundak
tidak hanya bertahan dengan akulturasi
bersama candi, tetapi juga berakulturasi
dengan bangunan tempat ibadah umat
Islam, yaitu masjid. Bagian punden
berundak pada masjid sering tidak kita sadari karena hanya dianggap sebagai tangga
bertingkat. Namun, jika diperhatikan, tangga bertingkat yang mengelilingi masjid
tersebut berbentuk punden berundak. Dapat dikatakan masjid dibangun di atas punden
berundak atau punden berundak sebagai alas dari masjid. Bangunan punden berundak
selain berakulturasi dengan tempat ibadah, seperti candi dan masjid, masih banyak lagi
bangunan-bangunan yang menggunakan punden berundak. Hal ini menandakan bahwa
arsitektur karya nenek moyang Indonesia pada zaman Megalitikum masih dapat eksis
hingga sekarang tanpa menghilangkan bentuk aslinya.
Atap tumpang sangat erat kaitannya dengan bangunan suci. Dengan demikian,
pemilihan bentuk atap yang disesuaikan dengan ruang suci masyarakat Hindu merupakan
simbol bagian arsitektur yang suci pada masjid. Atap tumpang kemudian dikaitkan juga
dengan simbol tingkatan iman (percaya), Islam (berserah diri) dan ihsan (berbuat baik)
sebagai lambang kesempurnaan manusia. Sebagai penyatu atap, biasanya diberi sebuah
kemuncak dari tanah bakar atau benda lain, yang seakan-akan lebih memberi tekanan
akan keruncingannya. Penutup puncak atap ini dinamakan mustaka yang merupakan
simbol menuju keagungan.
BAB IV

A. Kesimpulan

Akulturasi budaya di Indonesia terjadi tidak hanya pada tradisi dan perilaku
sehari-hari, tapi juga pada bangunan. Peleburan ini membuat bangunan semakin
bervariasi, menjadi semakin indah dan punya bermacam pemasangan struktur. Masing-
masing kebudayaan baru ini juga tidak kehilangan sifat aslinya.

Karena akulturasi budaya juga, Indonesia mempunyai ciri khas yang tidak
dipunya oleh negara lain. Sebagai masyarakat kita harus mengapresiasi dan ikut andil
dalam menjaga kebudayaan, agar budaya yang ada sekarang tidak punah dikemudian hari.

B. Lesson Learn

1. Mengetahui akulturasi budaya Hindu-Budha terhadap arsitektur di Nusantara


khususnya bangunan masjid.
2. Kerajaan Hindu-Budha di Indonesia telah hilang, tapi kebudayaan akulturasi
antara budaya lokal dan Hindu-Budha yang adasekarang tidak boleh hilang.
3. Kebudayaan Hindu – Budha yang masuk ke Indonesia tidak diterima seperti
apa adanya, tetapi diolah, ditelaah dan disesuaikan dengan budaya yang dimiliki
penduduk Indonesia, sehingga budaya tersebut berpadu dengan kebudayaan asli
Indonesia menjadi bentuk akulturasi kebudayaan Indonesia Hindu–Budha.
4. Adanya kemudahan untuk memperlihatkan dan memperkenalkan kebudayaan
negeri kita sendiri ke luar negeri.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai