Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

ILMU FIKIH

PENGERTIAN RUANG LINGKUP ILMU FIQIH, SYARI’AT,


HUKUM DAN TUJUAN MEMPELAJARI USIL FIKIH

DOSEN PENGAMPUH: Drs. Andi Achruh M. Pd. I

DI SUSUN OLE:

KELOMPOK 1

MUH. ILHAM (20500118011)

HANDAYANI (20500118012)

JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MAKASSAR

2019
KATA PENGANTAR

Segala puji kita panjatkan kehadirat Allah Yang Maha


Esa, karena atas Berkat dan Rahmat-Nya saya dapat menulis
makalah ini yang bertujuan untuk melengkapi tugas “Sejarah
Peradaban Islam”. Dan juga dapat melatih saya dalam penulisan
karya tulis ilmiah.

Penyusun menyadari bahwa dalam makalah ini masih


banyak yang perlu di perbaiki baik dari segi sistimatik maupun
konsepsi keilmiahannya. Sehingga saya berharapa kepada
pembaca untuk memberikan kritik dan saran agar saya dapat
memperbaikin kesalaha yang terdapat dalam makalah ini.

Dengan ini saya membersembahakan makalah ini mudah-


mudahan bermanfaat buat saya dan pembaca. Dan lewat kata
pengantar ini saya mengucapkan permohonan maaf apabila isi
makalah yang saya buat ini tidak sesuai.

Samata, April 2019

Tim Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................

DAFTAR ISI................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang........................................................................
B. Rumusan Masalah..................................................................
C. Tujuan.....................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Fikih, Syari’at, dan Hukum..................................


B. Pengertian Ilmu Ushul Fikih..................................................
C. Tujuan Ushul Fiqih................................................................

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan...............................................................................
DAFTAR PUSTAKA....................................................................

LAMPIRAN...................................................................................
BAB I

PENDAHULUA

A. Latar Belakang

Fiqih merupakan sebuah cabang ilmu, yang tentunya bersifat


ilmiyah, logis dan memiliki obyek dan kaidah tertentu. Fiqih
tidak seperti tasawuf yang lebih merupakan gerakan hati dan
perasaan. Juga bukan seperti tarekat yang merupakan
pelaksanaan ritual-ritual. Pembekalan materi yang baik dalam
lingkup sekolah, akan membentuk pribadi yang mandiri,
bertanggung jawab, dan memiliki budi pekerti yang luhur.
Sehingga memudahkan peserta didik dalam mengaplikasikannya
dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi di zaman modern sekarang
semakin banyak masalah-masalah muncul yang membutuhkan
kajian fiqih dan syari’at. Oleh karena itu, peserta didik
membutuhkan dasar ilmu dan hukum Islam untuk menanggapi
permasalahan di masyarakat sekitar.

Tujuan pembelajaran Fiqih adalah untuk membekali peserta


didik agar dapat mengetahui dan memahami pokok-pokok
hukum Islam secara terperinci danmenyeluruh, baik berupa dalil
naqli dan dalil aqli melaksanakan dan mengamalkan ketentuan
hukum Islam dengan benar. Fiqih merupakan sebuah cabang
ilmu, yang tentunya bersifat ilmiyah,logis dan memiliki obyek
dan kaidah tertentu. Fiqih tidak seperti tasawuf cyang lebih
merupakan gerakan hati dan perasaan. Juga bukan seperti tarekat
yang merupakan pelaksanaan ritual-ritual.Pembekalan materi
yang baik dalam lingkupsekolah, akan membentuk pribadi yang
mandiri, bertanggung jawab, dan memiliki budi pekerti yang
luhur. Sehingga memudahkan peserta didik dalam
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi di
zaman modern sekarang semakin banyak masalah-masalah yang
membutuhkan kajianfiqih dan syari’at. Oleh karena itu, peserta
didik membutuhkan dasar ilmu dan hukum Islam untuk
menanggapi permasalahan di masyarakat sekitar.

Dalam mempelajari fiqih, bukan sekedar teori yang berarti


tentang ilmu yang jelas pembelajaran yang bersifat amaliah,
harus mengandung unsur teori dan praktek. Belajar fiqih untuk
diamalkan, bila berisi suruhan atau perintah, harus dapat
dilaksanakan, bila berisi larangan, harus dapat ditinggalkan atau
dijauhi.Pembelajaran fiqih harus dimulai dari masa kanak-kanak
yang berada disekolah dasar. keberhasilan fiqih dapat di lihat
dalam kehidupan sehari-hari baik di dalam rumah maupun diluar
rumah. Contohnya, dalam rumah kecenderungan anak untuk
melakukan shalat sendiri secara rutin. Sedangkan diluar rumah
misalnya intensitas anak dalam menjalankan ibadah seperti
shalat dan puasa dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam
kehidupan di sekolah. Proses pembelajaran yang sementara ini
dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan kita masih banyak
yang mengandalkan cara-cara lama dalam penyampaian
materinya.

Pembelajaran yang baik adalah bersifat menyeluruh dalam


melaksanakannya dan mencakup berbagai aspek, baik aspek
kognitif, afektif, maupun psikomotorik, sehingga dalam
pengukuran tingkat keberhasilannya selain dilihat dari segi
kuantitas juga dari kualitas yang telah dilakukan di sekolah-
sekolah. Mengacu dari pendapat tersebut makapembelajaran
yang aktif ditandai adanya rangkaian kegiatan terencana yang
melibatkan siswa secara langsung, komprehensif baik fisik,
mental maupun emosi. Hal semacam ini sering diabaikan oleh
guru karena guru lebih mementingkan pada pencapaian tujuan
dan target kurikulum. Salah satu upaya guru dalam menciptakan
suasana kelas yang aktif, efektif dan menyenangkan dalam
pembelajaran yakni dengan menggunakan metode yang benar.

A. Rumusan Masalah
1. Pengertian fiqih, syariat, dan hukum
2. Pengertian ilmu ushul fiqih
3. Tujuan usul fiqih
B. Tujuan
4. Untuk mengetahui pengertian fikih, syariat dan
hukum
5. Untuk mengetahui pengertian ilmu ushul fikih
6. Untuk mengetahui tujuan ushul fiqih
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu Fikih, Syari’at dan Hukum


1. Fikih
Dari segi bahas, perkataan fikih (al-fiqh) berasal dari
akar kata , ‫ ق‬, ‫ ف‬dan ) ‫ ه ( فق ه‬yang berarti paham atau
pengetahuan tentang sesuatu. Dari sini dapat ditegaskan
bahwa perkataan fiqh itu menunjuk kepada pengetahuan
tentang hukum-hukum agama, hukum-hukum suariat
(knowledge of the law). Salah satu doa menyebutkan: ‫اللهم‬
‫(علهم ال د بن و فقه ه الت ا و يل‬Wahai Tuhan, ajarkanlah padanya
pengetahuan agama dan jadikan dia memahami ta’wil.
Perkataan fiqh juga dijumpai dalam Al-Qur’an,
dengan kata jadian nafqahun, yafqahu, yafkahun,
yatafaqahu, yang disebut dalam tidak kurang dari 20 ayat.
Akan tetapi kata yang langsung mengaitkannya dengan
pengetahuan agama terdapat dalam ayat yang berbunyi:
‫ليتفقهو ا فى الد ين فلو ال نفر من كل فر قت منهم طا تفة‬
Pengertian fikih dari segi istilah tidak jauh dari
pengertian di atas, hanya saja mempunyai cakupan yang
lebih sempit, sebab fikih tidak mencakup segenap ilmu-ilmu
Agama. Oleh ulama fikih sendiri, perkataan fikih dipakai
dengan pengertian: ilmu tentang hukum-hukum syariat yang
bersifat amaliyah, yang diambil dari dalil-dalil yang
terperinci. Dengan demikian obyek fikih pada dasarnya ada
dua, yakni dalil-dalil tentang hukum perbuatan itu.
Pengertian fikih yang demikian, kembali memperteguh
pandangan yang membedakan antara hukum amaliyah
(jasmaniyah) dengan hukum i’tiqadiyah (hati dan rohani)
atau dalam istilah Ibn Khaldun di atas, al-takalif al-baniyah
dan al-takalif al-qalbiyah. Hal ini menunjukkan bahwa
hukum-hukum tentang aqidah tidak termaksud dalam
wilayah kajian fikih.
Lebih dari pengertian di atas, secara esensial, fikih
dalam arti pemahaman adalah upanya yang sunguh-sungguh
dilakukan oleh para mujtahid. Disini kita dapat memahami
bahwa fikih merupakan produk nalar dari mujtahid ketika
mereka berusaha menggali hukum-hukum amaliyah dari
nash-nash syariat. Dengan kata lain, lewat instrumen fikih
itulah hukum-hukum syariat yang bersifat amaliyah dapat
dipahami dan dilaksanakan oleh manusia. Jadi, meskipun
sumber fikih itu adalah nash-nash syariah (Al-Qur’an dan Al-
Sunnah), namun subtansi fikih itu sendiri adalah ijtihad
ulama, sehingga merupakan produk nalar atau pikiran.
Dalam menggunakan nalarnya untuk mengetahui
hukum, para mujtihad menghadapi dua kemungkinan, yakni
mungkin mereka dapat langsung mengetahui hukum-hukum
setelah menelaah sejumlah nash-nash yang dapat
memberikan pengertian induktif tentang hukum yang digali;
yang demikian disebut fikih tekstual (al-fiqh al-manshush).
Mungkin juga mujtihad dapat mengetahui hukum tentang
suatu perbuatan setelah menggunakan lebih banyak nalar
karena obyek hukum yang dimaksudkan tidak disebut secara
tegas dalam nash-nash syariat; yang demikian disebut fikih
kontekstual berdasarkan ijtihad (al-fiqh al-ijtihadiy).
Baik fikih tekstual (manshush)maupun fikih ijtihad
(ijtihadiy), dua-duanya merupakan hasil pemahaman
mujtahid. Oleh karena itu maka tidak diherankan jika dalam
memahami sesuatu obyek hukum, hasil pemahaman (fikih)
yang dihasilkan oleh seorang mujtahid berbeda atau
bertentangan dengan pemahaman (fikih) yang diperoleh
mujtahid lainnya.di sini terasa jelas betapa berbeda esensi
fikih dengan syariat. Syariat dala arti nash-nash yang
mengandung hukum adalah berasal dari Allah, sedangkan
fikih sebagai uoaya memahami hukum syariat berasal dari
mujtahid. Jika syariat bersifat mutlak dan universal berlaku
untuk segala zaman dan tempat, maka fikih sebagai
pemahaman dan penafsiran dari syariat tentunya tidak mesti
universal, tetapi dapat saja lahir dari ijtihad ulama sesuai
dengan konteks dan kondisi zamannya.
Dalam sejarah fikih Islam, ijtihad yang merupakan
penggunaan nalar dalam memahami dan menetapkan hukum,
telah ada sejak permulaan islam; yakni sejak zaman Nabi
Saw. Ijtihad tidak hanya dilakukan oleh sahabat-sahabat
Nabi, justru Nabi sendiri kadang memberikan penjelasan dan
menetapkan hukum berdasarkan ijtihad. Akan tetapi ijtihad
Nabi tentu saja berbeda dengan ijtihad umatnya.ada dua
pokok hal yang membedakan ijtihad Nabi dari ijtihad
umatnya, yakni; pertama, bahwa kedudukan Nabi SAW
sebagai Rasul utusan Allah yang berfungsi membawa dan
menjelaskan syariat kepada umatnya menyebabkan ijtihad
beliau tidak merupakan produk nalar murni, tetapi lebih patut
di golongkan menjadi Al-Sunnah. Kedua, selaku Nabi dan
Rasul, beliau memiliki sifat ma’sum, yakni keterampilan
untuk tidak melakukan kesalahan dan dosa, sehingga
pemikirannya tetap terjamin untuk selalu benar. Walaupun
beliau pada waktu tertentu melakukan kekeliruan, maka
seketika itu pun mendapat teguran dari Tuhan, sehingga Nabi
dapat kembali ke jalur ijtihad yang benar. Berdasarkan itu
dapat ditegaskan bahwa tak satupun kekeliruan yang perna
dilakukan Nabi kecuali telah di koreksi semuanya oleh
Tuhan, sehingga tak ada yang lolos menjadi bahagian dari
syariat Islam.
Ijtihad yang berkaitan dengan fikih bukanlah ijtihad
Rasulullah, melaikan ijtihad ulama dalam kapasitasnya
sebagai faqih (orang yang berusaha memahami syariat).
Rasulullah SAW sebenarnya tidak dapat disebut faqih, sebab
beliau tidak perlu berusaha memahami syariat, justru beliau
adalah sumber pemahaman dalam kapasitasnya selaku Nabi.
Perbedaan antara Nabi dan fuqaha (faqih), secara singkat
dapat dirumuskan, bahwa Nabi dapat mengetahui makna-
makna syariat tanpa berusaha memahaminya lewat nalar
lebih dahulu, sebab beliau selalu berada dalam bimbingan
wahyu ilahi, sebagaimana ayat yang menjelaskan, Q.S An-
Najm: 3-4 yang artinya “Dan dia (Nabi) tidak berbicara
menurut kemauan nafsunya, ucapannya itu tiada lain kecuali
wahyu yang diwahyukan kepadanya.”, karena itu beliau
menjadi sumber pemahaman. Sementara itu seorang faqih
memperoleh pengetahuan tentang makna syariat setelah
berusaha secara sungguh-sungguh memahaminya lewat
bantuan nalar yang dimilikinya, bukan bimbingan wahyu.
Dengan demikian faqih dalam melakukan ijtihadnya,
bukanlah sejenis manusia yang memiliki ‘ishmah (suci dari
kekeliruan) yang hanya berlakuada seorang Nabi.
Konsekuensi logis dari tak berlakunya ‘ishmah pada
diri para fukaha adlah bahwa para fuqaha dapat saja keliru
dalam berijtihad dan lagi pula hasil ijtihadnya berbeda-beda
sesuai dengan perbedaan cara berpikir mereka. Buikan hanya
perbedaaan berpikir, tetapi juga perbedaan bacaan pun turut
mewarnai perbedaan hasil ijtihad. Contoh yang populer
untuk ini adalah kasus membasuh kedua kaki dalam
berwudhu. Jumhur ulama berpaham bahwa membasuh kaki
adalah fardhu (wajib), sedangkan sebahagian lainnya
mengatakan bahwa membasuh kaki tidaklah wajib, tetapi
cukup mengusapnya dengan air saja. Perbedaan ini timbul
akibat perbedaan membaca kalimat wa arjulakum ((‫وار جلكه‬
dalam ayat yang berbunyi: ‫يا ايها الذ ين ا منو ا اذاقمتم ا لى ا لصال ة‬
‫ف ا غس لواجو هكم و اي د يكم الى المراف ق وامس حوابر وو س كم و جلكم اللى‬
‫الكعبين‬
Ulama sependapat bahwa didlam syariat islam telah
terdapat segala hukum yang mengatur semua tindak-tanduk
manusia, baik perkataan maupun perbuatan. Hukum-hukum
itu adakalanya disebutkan secara jelas serta tegas dan
adakalanya pula hanya dikemukakan dalam bentuk dalil-dalil
dan kaidah-kaidah secara umum. Untuk memahami hukum
islam dalam yang disebut pertama tidak diperlukan ijtihad,
tetapi cukup diambil begitu saja dan diamalkan apa adanya,
karena memang sudah jelas dan tegas disebut oleh Allah.
Hukum islam dalam bentuk ini disebut wahyu murni.
Adapun untuk mengetahui hukum islam dalam bentuk kedua
diperlukan upaya yang sungguh-sungguh oleh para mujtahid
untuk menggali hukum yang terdapat dalam nash melalui
pengkajian dan pemahaman yang mendaam. Keseluruhan
hukum yang ditetapkan melalui cara seperti disebut terakhir
ini fiqh.
2. Pengertian Syari’at

Islam adalah agama yang memiliki aspek akidah (aqidah)


dan syati’at (syari’ah). Secara harfiayah, kata syari’ah dalam
bahasa arab berarti jalan yang lurus. Kata ini juga berarti
jalan menuju ke sumber air dan tempat orang-orang yang
menikmati air minum. Orang-orang Arab dahulu
menggunakan kata ini untuk menunjukkan suatu jalan ke
tempat memperoleh air minum yang secara permanen dan
mencolok dapat di pandang jeas ole mata. Dengan demikian
kata itu berarti suatu jalan yang jelas untuk diikuti ( the clear
path or “the highway” to be followed.

Menurut istilah, perkataan syariat pada mulanya


mempuayai arti yang luas, tidak hanya berarti fikih (fiqh) dan
hukum, tetapi mencukupin pula akidah dan segaala yang di
perintahkan Allah. Dan demikian, syariat mengandung arti
mengesakan Allah, menaati-Nya, beriman kepada rasul-rasul-
Nya, kitab-kitab-Nya dan hari pembalasan. Pendeknya syariat
mencakup segala sesuatu yang membawa seseorang menjadi
Muslim. Pengertian inilah yang terkandung dalam ayat yang
bebunyi: ‫ا المر فاتبعها ثم جعلثا على شر يعة منوو‬, dan ayat lainnya:
‫لك ل جعلن ا منكم ش رعة ومنهاج از‬. Sejalan dengan pengertian-
pengertian yang terkandung dalam ayat itu, ‘Abbas Husni
Muhammad menegaskan bahwa syariat adalah identik dengan
(kandungan) Al-Qur’an dan Sunnah. Atau dapat ditegaskan
bahwa syariat itu tidak lain dari ajaran Islam secarah
keseluruhan yang disebut al-din (‫ )ال د ين‬seperti yang
ditegaskan dalam ayat yang berbunyi: ‫شر ع لكم من الد ين الد ين ما‬
‫و صى به نو حا و ا لذ ى اوحينا اليك وما وصينا به ا بيم و مو س ى و عيس ان‬
‫اقيمواالد ين وال تتفر قوا‬.
Akan tetapi di kemudian hari, pengertian syariat dipahami
secara terbatas dalam arti fikih dan identik dengan huku
Islam. Hal ini setidaknya dikemukakan oleh Ahmad Hasan.
Bahkan Mahmud Syaltut menulis buku yang secara tegas
memisahkan aqidah dan syariat, sebagaimana terkesan dari
judulnya: Al-Islam ‘aqidah wa Syari’ah. Hal itu
dimaksudkannya untuk menunjukkan bahwa syariat telah
diberi arti sempit menyangkut hukum, di luar akidah. Dengan
demikian istilah syariat tidak lagi dipahami oleh kebanyakan
orang dalam arti luas bahkan sudah menjadi istilah yang
identik dengan fikih atau hukum Islam yang sifatnya berbeda
dengan akidah islam. Meskipun demikian, kedua aspek
tersebut, akidah dan syariat, tak dapat dipisahkan antara satu
dengan lainnya. Keterkaitannya tidak hanya dalam bentuk
pengalamalan, tetapi juga dalam dasar-dasarpemikiran yang
berkembang mengenai dua aspek tersebut.

Dari segi pengalaman, sejak zaman Nabi Muhammad


SAW kedua aspek tadi menyatu sepenuhnya. Syariat yang
diajarkan olehbeliau adalah tidak lain dari pengalaman akidah
yang sudah ditanamkan sebelumnya. Karena itu, para sahabat
ketika itu belum cenderung memisahkan antara akidah dan
syariat sebagai obyek pemahaman yang berdiri sendiri.

Seperti telah diketahui, pada zaman Nabi, pemikiran


tentang akidah dan syariat belum muncul ke permukaan, oleh
karena hampir setiapditanyakan langsung kepada Nabi
sendiri. Namun, sahabat-sahabat yang berdiam di luar
Madinah telah mencoba menggunakan ijtihad, terutama
dalam soal-soal hukum. Kasus pengangkatan Mu’adz ibn
Jabal oleh Nabi sebagaihakim di Yaman yang diawali dengan
dialog tentang cara Mu’adz memutuskan hukum, adalah
dijadikan dasar oleh kebanyakan ulama bagi pemakaian
ijtihad di Zaman Nabi sudah menjadi sumber hukum ketiga
sesudah Al-Qur’an dan Al-Sunnah.

Meskipun syariat dapat diartikan secara sempit dengan


hukum, sebenarnya syariat tidaklah sepenuhnya identik
dengan pengertian hukum itu. Jika di atas dikatakan bahwa
hukum itu dapat bersumber dari ijtihad, maka syariat tak
dapat sama sekali bersumber dari ijthad. Syariat itu
sepenuhnya berasal dari Allah SWT, selaku pencipta syariat
(Al-Syari’). Disinilah terasa perbedaan pengertian antara
syariat dan hukum.

1. Pengertian Hukum

Perkataan hukum dari segi bahasa berasal dari akar kata, ‫ح‬
‫ك‬ , dan )‫ م(حكم‬yang berarti “mencegah” atau “menolak”.
Mencegah ketidak adalian, kezaliam dan penganiayaan
disebut hukum (‫)الحكم‬.

Sehubungan dengan itu, maka para ulama ushul


memandang segenap firman Allah yang berkenaan perbuatan
manusia (orang-orang mukallaf0, baik dalam bentuk
ntuntutan, atau berupa pilihan maupun dalam bentuk wadh’iy
(hubungan antara satu perbuatan dengan perbuatan lain).
Firman Allah yang mengandung tuntutan berupa perintah,
oelh ulama fikih dan ulama ushul digolongkan dalam dua sifat
yakni wajib atau sunat, sedangkan firman dalam bentuk
larangan digolongkan dalam hukum haram atau makruh.

B. Pengeetian ilmu Ushul Fiqh


Pengertian ushul fiqh dapat dilihat dari dua sisi. Pertama
sebagai rangkaian dari dua kata: ushul dan fiqh. Kedua, sebagai
satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu syariat. Dilihat dari sudut tata
bahasa (Arab), rangkaian kata ushul dan fiqh tersebut dinamakan
tarkib idhafi, sehingga dua kata itu memberi pengertian ushul
bagi fiqh. Ushul adalah bentuk jamak dari kata ashl yang berarti
“sesuatu yang dijadikan dasar bagi sesuatu yang lain”. Dari
pengertian ini, ushul fiqh berarti sesuatu yang dijadikan dasar
bagi fiqh.
Kalimat “Ushul Fiqih” berasal dari bahasa Arab, yang terdiri
dari kata “Ushul”, jamak dari “Ushlu”(‫ )اصل‬artinya asal, dasar,
atau pokok dan fiqih (‫ )فقة‬artinya paham atau mengerti.

C. Tujuan Ushul Fiqih

Tujuan dari ushul fikih yaitu untuk mengetahui jalan dalam


mendapatkan hukum syara’ dan cara-cara untuk mengistinbatkan
satu hukum dari dalilnya. Dengan menggunakan ushul fiqih itu,
seseorang dapat terhindar dari jurang taklid, sebagaimana
seorang mujtahid menggunakannya dalam, mengistinbatkan
furu’ (cabang) dari ushul (asal). Begitu juga sebagaimana yang
dilakukan oleh seorang muttabi dalam mengembalikan furu’
(cabang) kepada ushul (asal).

Ushul fiqh, ialah: “membuhur jalan untuk mengetahuin


hukum-hukum syariat, mengetahui cara-cara menginstinbathkan
hukum dan dalil yang menurut biasa dengan mempergunakan
jalan itu terhindar dari kesalahan.

Memang para fuqaha pernah memfatwakan bahwa pintu


ijtihad telah tertutup, maksudnya mulai tahun IV H para ulama
tidak dibolehkan lagi berijtihad. Fatwa ini jelas tidak beralasan,
karena banyaknya dalil yang mendorong kaum Muslimin
memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad.
Fikih tetap berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.
Dan selama fikih masih berkembang , selama itu pula tetap
diperlukan ilmu ushul fiqih. Adapun di Indonesia menurut
peneliti para ulama belumlah begitu lama pesatnya perhatian
terhadap ilmu ushul fiqih.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari segi bahas, perkataan fikih (al-fiqh) berasal dari akar


kata , ‫ ق‬, ‫ ف‬dan ) ‫ ه ( فقه‬yang berarti paham atau pengetahuan
tentang sesuatu. Islam adalah agama yang memiliki aspek akidah
(aqidah) dan syati’at (syari’ah). Secara harfiayah, kata syari’ah
dalam bahasa arab berarti jalan yang lurus. Kata ini juga berarti
jalan menuju ke sumber air dan tempat orang-orang yang
menikmati air minum. Perkataan hukum dari segi bahasa berasal
dari akar kata, ‫ك‬ ,‫ ح‬dan )‫ م(حكم‬yang berarti “mencegah” atau
“menolak”. Mencegah ketidak adalian, kezaliam dan
penganiayaan disebut hukum (‫)الحكم‬.

Pengertian ushul fiqh dapat dilihat dari dua sisi. Pertama


sebagai rangkaian dari dua kata: ushul dan fiqh. Kedua, sebagai
satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu syariat. Dilihat dari sudut tata
bahasa (Arab), rangkaian kata ushul dan fiqh tersebut dinamakan
tarkib idhafi, sehingga dua kata itu memberi pengertian ushul
bagi fiqh.

Tujuan dari ushul fikih yaitu untuk mengetahui jalan dalam


mendapatkan hukum syara’ dan cara-cara untuk mengistinbatkan
satu hukum dari dalilnya. Dengan menggunakan ushul fiqih itu,
seseorang dapat terhindar dari jurang taklid, sebagaimana
seorang mujtahid menggunakannya dalam, mengistinbatkan
furu’ (cabang) dari ushul (asal). Begitu juga sebagaimana yang
dilakukan oleh seorang muttabi dalam mengembalikan furu’
(cabang) kepada ushul (asal).

DAFTAR PUSTAKA

Kato Alaiddin. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh.2016. Jakarta:


Rajawali Pers

Djalil Basiq. Ilmu Ushul Fiqih (Satu dan Dua). 2010. Jakarta.
kencana

Hao Hamka. Filsafat Ushul Fiqhi. 1998. Yayasan Al-Ahkam


Ujung Pandang

Siddieqy Hasbi Ash. Pengantar Ilmu Fiqih. 1904. Jakarta.


Bulan Bintang

Anda mungkin juga menyukai