Penyusun :
Modul Mata Kuliah Wajib Perguruan Tinggi, Pendidikan Agama Islam ini merupakan satu
ikhtiar substantif untuk memberi ruang pendalaman terhadap keilmuan dan praktik
keagamaan bagi Mahasiswa/taruna beragama Islam, kehadiran modul ini diharapkan
menjadi teman belajar atau istilah pembelajarannya adalah sumber belajar minimal.
Rosululloh Muhammad SAW telah memberi pelajaran, bahwa siapa yang dikehendaki
baik oleh Allah Swt maka orang itu diberikan pemahaman oleh Allah Swt tentang Agama.
Sebagai mata kuliah yang mengedepankan pembangunan karakter, kehadiran mata kuliah
pendidikan agama Islam adalah salah satu oase utama bagi mahasiswa untuk membentuk
dirinya menjadi pribadi dan komunitas ulul albab, yakni intelektual yang mengintegrasikan
fikir, dzikir dan amal shalih. Mahasiswa disarankan untuk mengikuti perkuliahan dengan
baik, mempelajari semua materi dengan baik, serta menginternalisasi pengamalan Islam
dalam kehidupan sehari-hari.
Modul MK. Pendidikan Agama Islam ini merupakan “literatur dinamis” yang senantiasa
dapat diperbaiki, diperbaharui, dan dimutakhirkan sesuai dengan dinamika kebutuhan dan
perubahan zaman. Masukan dari berbagai kalangan diharapkan dapat meningkatkan
kualitas modul ini. Terahirkalinya, sumber ilmu dan kebenaran adalah dari Sang Khaliq,
maka secuil ilmu disini hanyalah debu dari luasnya ilmu Allah SWT. Wallahualam
bisshowab.
Bisa kuliah di Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) merupakan satu anugerah bagi
mahasiswa, maka rawatlah anugerah itu dengan belajar yang giat, ibadah yang taat, dan
menjadilah insan ulul albab yang banyak manfaat.
Penyusun
i
PETUNJUK PENGUNAAN MODUL
1. Pelajari modul pembelajaran secara berurutan dimulai dari kegiatan belajar paling
awal dan runtut sampai akhir kegiatan belajar disesuaikan dengan kecepatan
kemampuan belajar mahasiswa/taruna;
2. Lakukan diskusi pendalaman materi dengan sesama mahasiswa/taruna, guna
memperkuat penangkapan materi kegiatan belajar. Jika ditemukan masalah belajar
yang tidak bisa dipecahkan oleh mahasiswa, diharapkan untuk tidak segan meminta
bimbingan dosen;
3. Setelah mempelajari materi pada setiap modul, untuk setiap sub materi modul
mahasiswa menuliskan poin-poin yang telah dipelajari pada ruang kosong yang
telah disediakan dalam modul “Saya Telah Belajar”:
4. Kerjakan soal-soal latihan yang terdapat pada setiap akhir kegiatan belajar dengan
jujur, ini dimaksudkan untuk mengukur pencapaian hasil belajar. Setelah
mengerjakan cocokan jawaban saudara dengan kunci jawaban yang terdapat pada
akhir modul, jika hasilnya masih dibawah nilai standar ketuntasan materi kegiatan
belajar, maka pelajari kembali materi kegiatan belajar.
Demikian petunjuk penggunaan modul ini, untuk dijadikan acuan bagi mahasiswa/taruna
dalam proses mempelajari modul mata kuliah.
Penyusun
ii
PETA MATERI MODUL MK. PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
MODUL I
MODUL II
MODUL III
MODUL IV
MODUL V
MODUL VI
MODUL VII
iii
DAFTAR ISI
MODUL I1 ...................................................................................................................... 1
PENGANTAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PETUNJUK MATERI
A. Deskripsi Materi ....................................................................................................1
B. Petunjuk Belajar Materi ......................................................................................... 1
C. Capaian Pembelajaran ........................................................................................... 1
- CPMK
- Sub CPMK
MODUL II ..................................................................................................................... 12
KONSEPSI SUMBER AGAMA ISLAM
PETUNJUK MATERI
A. Deskripsi Materi ..................................................................................................12
B. Petunjuk Belajar Materi ....................................................................................... 12
C. Capaian Pembelajaran ......................................................................................... 12
- CPMK
- Sub CPMK
iv
KONSEPSI SUMBER AGAMA ISLAM ....................................................................13
1. Al-Qur‟an .............................................................................................................13
2. As-Sunnah (Hadist) ............................................................................................. 21
3. Ijtihad ...................................................................................................................25
4. Rangkuman Materi .............................................................................................. 44
5. Daftar Referensi ...................................................................................................45
6. Soal Latihan .........................................................................................................45
MODUL IV ................................................................................................................... 55
IBADAH DALAM AGAMA ISLAM
PETUNJUK MATERI
A. Deskripsi Materi ..................................................................................................55
B. Petunjuk Belajar Materi ....................................................................................... 55
C. Capaian Pembelajaran ......................................................................................... 55
- CPMK
- Sub CPMK
v
2. Macam-macam Ibadah ......................................................................................... 57
3. Tujuan dan Syarat Ibadah .................................................................................... 58
4. Rangkuman Materi .............................................................................................. 60
5. Daftar Referensi ...................................................................................................60
6. Soal Latihan .........................................................................................................61
MODUL V ..................................................................................................................... 62
RELIGIUSITAS BEKERJA DALAM ISLAM
PETUNJUK MATERI
A. Deskripsi Materi ..................................................................................................62
B. Petunjuk Belajar Materi ....................................................................................... 62
C. Capaian Pembelajaran ......................................................................................... 62
- CPMK
- Sub CPMK
MODUL VI ................................................................................................................... 70
AKHLAK DALAM ISLAM
PETUNJUK MATERI
A. Deskripsi Materi ..................................................................................................70
B. Petunjuk Belajar Materi ....................................................................................... 70
C. Capaian Pembelajaran ......................................................................................... 70
- CPMK
- Sub CPMK
vi
4. Konsep Pembentukan Akhlak sebagai Karakter Islami .......................................92
5. Rangkuman Materi .............................................................................................. 94
6. Daftar Referensi ...................................................................................................95
7. Soal Latihan ........................................................................................................95
vii
MODUL I
PETUNJUK MATERI
A. Deskripsi Materi
Modul I membahas tentang konsep awal pendidikan agama Islam di Perguruan tinggi
yang harus dikuasai oleh mahasiswa, ini merupakan pijakan awal untuk
menghantarkan materi-materi selanjutnya yang lebih komplek.
C. Capaian Pembelajaran
Capaian Pembelajaran Mata Kuliah
Mampu menjelaskan dasar, tujuan dan kerangka Pendidikan agama sesuai agama
masing-masing
Sub Capaian Pembelajaran Mata Kuliah
Mampu menjelaskan tentang Pengantar Pendidikan Agama Islam di Perguruan
Tinggi
1
PENGANTAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
“”
- Imam Syafi’i-
Kompetensi yang diharapkan dari Pendidikan Agama Islam kususnya pada STPN
adalah agar mahasiswa memiliki paradigma berfikir yang benar dalam memahami
ajaran Islam (kognitif). Termotivasi untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan
kepada Allah SWT melalui studi Islam yang lebih mendalami di luar kampus
(afektif). Mampu mengaplikasikan pesan-pesan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-
hari, baik dalam hubungannya dengan Allah, dengan sesama manusia maupun dengan
alam sekitar, termasuk dalam pengembangan ilmu Ukur Pertanahan.
2
Materi Aplikasi Nilai-nilai Islam dalam kehidupan berisi analisi seputar
bagaimana menghadirkan Allah dalam aktivitas hidup, merumuskan kunci sukses
manusia sebagai Khalifah di muka bumi, memfungsikan riitual dalam Perubahan
Prilaku (behavior change), menyikapi ajaran tasawuf yang benar dan yang
menyimpang, serta tentang etika Islam dalam pembinaan keluarga dan kegiatan sosial
serta dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
3
Berbagai segi atau aspek ini terangkum dari konsep-konsep yang ada dalam
dua sumber aslinya Yaitu Al-qu‟an dan As _sunnah (Hadist). Dari kedua sumber
pokok ini para pemikir Islam berhasil mengambil berbagai Ajaran atao konsep dalam
berbagai Aspek Kehidupan manusia, konsep yang terpenting dalam Islam adalah
tauhid, yaitu Ajaran yang menjadi dasar dalam Islam, yaitu pengakuan tentang adanya
satu Tuhan, Yaitu Allah Swt. Dari segi kebahasaan Islam berasal dari bahasa Arab
yaitu kata “salima”, yg mengandung arti selamat, sentosa dan damai. Dari kata salima
selanjutnya diubah menjadi bentuk aslama yg berarti berserah diri masuk dalam
kedamaian. Sumber lain: salima yang berarti selamat sentosa kemudian dibentuk kata
aslama yg berarti memeihara dlm keadaan selamat sentosa, dan berarti pula
menyerahkan diri, tunduk, patuh, taat. Kata aslama inilah yg mengandung arti dari
segala arti yg terkandung di dalam pokok artinya. Oleh sebab itu orang yg berserah
diri, patuh dan taat disebut sebagai orang Muslim.
Islam berbicara panjang lebar tentang pendidikan, inti pendidikan Islam adalah
budi Pekerti, jadi pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa pendidikan dalam
Islam. Mencapai akhlak yang karimah (mulia) adalah tujuan yang sebenarnya dari
pendidikan Islam. Meskipun demikian Pendidikan Islam tetap memperhatikan
Pendidikan jasmani, akal, ilmu, ataupun segi segi praktis lainnya.
Sejalan dengan pendapat diatas Harun Nasution, menegaskan bahwa tujuan
pendidikan Islam tidak hanya mengisi peserta didik dengan Ilmu pengetahuan dan
mengembangkan ketrampilannya, tetapi juga mengembangkan aspek moral dan
agamanya. Konsep ini sejalan dengan konsep manusia yang tersusun dari tubuh, akal
dan hati nurani yang kita yakini bersama. Jadi konsep pendidikan seperti ini
menghendaki bukan hanya pengintegrasian nilai nilai kebudayaan nasional, tetapi juga
pengintegrasian ajaran ajaran ke dalam pendidikan.
Pendidikan Agama di lembaga pendidikan baik perguruan tinggi merupakan
bagian integral dari pelaksanaan pendidikan yang diselenggarakan di lembaga
pendidikan formal dan sekaligus menjadi bagian dari pendidikan nasional. Dalam
UUD 1945 pasal 31 ayat 2 dinyatakan bahwa pemerintah menyelengarakan satu
sistem pendidikan Nasional yang diatur dengan Undang-undang.
Sebagai bagian dari pendidikan Nasional, Pendidikan Agama Islam
mempunyai peran yang sangat penting dan strategis dalam rangka mewujudkan fungsi
dan tujuan Pendidikan nasional, peraturan pemerintah No 55 tahun 2007 tentang
pendidikan Agama dan pendidikan Keagamaan pasal 2 ayat 1 secara tegas
4
menyatakan bahwa pendidikan Agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang
beriman dan bertaqwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan
mampu menjaga kedamaian dan kerukunan Hubungan Inter dan antarumat beragama.
Untuk mewujudkan tujuan pendidikan sebagaimana yang diharapkan, perlu
dirancang suatu pendidikan yang mampu menghasilkan ouput yang memiliki
kecerdasan baik fikir maupun dzikir, juga manusia yang siap pakai. Berkait dengan hal
ini konsep pendidikan Agama Islam di STPN menawarkan konsep dua diterminan
pokok, yaitu :1. Subtansi atau isi Ajaran Islam (2) Problem sosial yang dihadapi oleh
umat agar mampu menjawab tantangan sosial di masyarakatnya.
Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti "tradisi"
atau "A" berarti tidak; "GAMA" berarti kacau. Sehingga agama berarti tidak
kacau. Dapat juga diartikan suatu peraturan yang bertujuan untuk mencapai
kehidupan manusia ke arah dan tujuan tertentu. Dilihat dari sudut pandang
kebudayaan, agama dapat berarti sebagai hasil dari suatu kebudayaan, dengan
kata lain agama diciptakan oleh manusia dengan akal budinya serta dengan
adanya kemajuan dan perkembangan budaya tersebut serta peradabanya.
Bentuk penyembahan Tuhan terhadap umatnya seperti pujian, tarian, mantra,
nyanyian dan yang lainya, itu termasuk unsur kebudayaan. . Sedangkan kata
lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin
5
religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali".
Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Pengertian dan definisi agama menurut para ahli. Agama menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur tata keimanan
(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata
kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta
lingkungannya. Émile Durkheim mengatakan bahwa agama adalah suatu
sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang
berhubungan dengan hal yang suci. Kita sebagai umat beragama semaksimal
mungkin berusaha untuk terus meningkatkan keimanan kita melalui rutinitas
beribadah, mencapai rohani yang sempurna kesuciannya.Sedangkan menurut
Bahrun Rangkuti, seorang muslim cendekiawan sekaligus seorang linguis,
mengatakan bahwa definisi dan pengertian agama berasal dari bahasa
Sansekerta; a-ga-ma. A (panjang) artinya adalah cara, jalan, The Way, dan
gama adalah bahasa Indo Germania; bahasa Inggris Togo artinya jalan, cara-
cara berjalan, cara-cara sampai kepada keridhaan kepada Tuhan. Selain
definisi dan pengertian agama berasal dari bahasa Sansekerta, agama dalam
bahasa Latin disebut Religion, dalam bahasa-bahasa barat sekarang bisa
disebut Religion dan Religious, dan dalam bahasa Arab disebut Din.
Harun Nasution mengatakan bahwa agama dilihat dari sudut muatan atau isi
yang terkandung di dalamnya merupakan suatu kumpulan tentang tata cara
mengabdi kepada Tuhan yang terhimpun dalam suatu kitab, selain itu beliau
mengatakan bahwa agama merupakan suatu ikatan yang harus dipegang dan
dipatuhi. Taj dab,dkk (1994:37) menyatakan bahwa agama berasala dari kata
a, berate tidak dan gama, berarti kacau, kocar-kacir. Jadi, agama artinya tidak
kacau, tidak kocar-kacir, dan/atau teratur. Maka, istilah agama merupakan
suatu kepercayaan yang mendatangkan kehidupan yang teratur dan tidak
kacau serta mendatangkan kesejahteraan dan keselamatan hidup manusia.
Jadi, agama adalah jalan hidup yang harus ditempuh oleh manusia dalam
kehidupannya di dunia ini supaya lebih teratur dan mendatangkan
kesejahteraan dan keselamatan. Setelah agama Nasrani masuk ke Indonesia,
muncul istilah baru yang diidentikkan dengam istilah agama, yaitu “religion”
6
(bhs Inggris) yang berasal dari bahasa Latin yaitu dari kata “relegere” yang
artinya berpegang kepada norma-norma. Dalam bahasa Indonesia kata
religion dikenal dengan sebutan “religi” dibaca reliji. Istilah ini erat kaitannya
dengan sistem dan ruang lingkup agama Nasrani yang menunjukkan hubungan
tetap antara manusia dengan Tuhan saja. Dalam Islam kata agama merupakan
arti dari kata “ad- diin” yang berarti pengaturan hubungan manusia dengan
Tuhan (vertikal) dan hubungan manusia dengan manusia, termasuk dengan
dirinya sendiri dan alam lingkungan hidupnya (horisontal).
Dari ketiga pendapat tersebut, kalau diteliti lebih mendalam, memiliki titik
persamaan. Semua menyakini bahwa agama merupakan kebutuhan manusia
yang paling esensial, adanya kesadaran di luar diri manusia yang tidak dapat
dijangkau olehnya, adanya kesabaran dalam diri manusia, bahwa ada sesuatu
yang dapat membimbing, mengarahkan, dan mengasihi di luar jangkauanny.
7
yang bermakna dasar “selamat” (Salama). Dari pengertian Islam secara bahasa
ini, dapat disimpulkan Islam adalah agama yang membawa keselamatan hidup
di dunia dan di akhirat (alam kehidupan setelah kematian).
Islam juga agama yang mengajarkan umatnya atau pemeluknya (kaum
Muslim/umat Islam) untuk menebarkan keselamatan dan kedamaian, antara
lain tercermin dalam bacaan shalat --sebagai ibadah utama-- yakni ucapan doa
keselamatan "Assalamu'alaikum warohmatullah"
Sedangkan pengertian Islam menurut bahasa, kata Islam berasal dari kata
aslama yang berakar dari kata salama. Kata Islam merupakan bentuk mashdar
(infinitif) dari kata aslama ini.
Islam berasal dari kata „salm‟ ( )الس َّْلنyang berarti damai atau kedamaian.
Firman Allah SWT dalam Al-Quran:
Kata „salm‟ dalam ayat di atas memiliki arti damai atau perdamaian. Ini
merupakan salah satu makna dan ciri dari Islam, yaitu bahwa Islam merupakan
agama yang mengajarkan umatnya untuk cinta damai atau senantiasa
memperjuangkan perdamaian, bukan peperangan atau konflik dan kekacauan.
"Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu‟min berperang maka
damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu
8
berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang
berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika
golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara
keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil.” (QS. 49 : 9).al hujurat
Sebagai salah satu bukti Islam merupakan agama yang sangat menjunjung
tinggi perdamaian adalah Allah SWT melalui Al-Quran baru mengizinkan atau
memperbolehkan kaum Muslimin berperang jika mereka diperangi oleh para
musuh-musuhnya.
ص ِش ِه ْن لَمَذِيش
ْ ًَ ًٰ ع َل ُ أ ُرِىَ ِللَّزِييَ يُمَاحَلُىىَ بِأًََّ ُه ْن
َّ ظ ِل ُوىا ۚ َوإِ َّى
َ ََّللا
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena
sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar
Maha Kuasa menolong mereka itu.” (QS. 22 : 39). Al Hajj
Islam Berasal dari kata „aslama‟ ( )أَ ْسلَ َنyang berarti berserah diri atau pasrah
hal ini menunjukkan bahwa seorang pemeluk Islam merupakan seseorang yang
secara ikhlas menyerahkan jiwa dan raganya hanya kepada Allah SWT.
Penyerahan diri seperti ini ditandai dengan pelaksanaan terhadap apa yang
Allah perintahkan serta menjauhi segala larangan-Nya.
َ س ُي دِيًٌا ِه َّو ْي أ َ ْسلَ َن َو ْج َههُ ِ ََّلِلِ َو ُه َى ُه ْحسِي َواحَّبَ َع ِهلَّتَ ِإب َْشا ِه
ۗ ين َحٌِيفًا َ َو َه ْي أ َ ْح
ً ين َخ ِل
يال َّ ََواح َّ َخز
َ َّللاُ ِإب َْشا ِه
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas
menyerahkan dirinya (aslama wajhahu) kepada Allah, sedang diapun
mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah
mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.” (QS. 4 : 125) ad dukhon
9
Saya Telah Belajar
(Tuliskan poin-poin inti dari materi yang telah dipelajari)
4. Rangkuman Materi
Sebagai generasi muda Islam yang masih memiliki waktu yang panjang, hendaknya
para mahasiswa Muslim mendekatkan diri pada konsepsi insan beragama, sehingga
termotivasi untuk mendalami ajaran Islam yang utuh dan bisa mengamalkan ajaran-
ajaran Islam dengan baik dan benar. Dengan bekal ajaran Islam yang cukup,
diharapkan aktivitas yang dilakukan, terutama aktivitas ibadah, menjadi berkualitas
dan dapat dipertanggungjawabkannya di hadapan Allah Swt. Untuk menghasilkan
akhlak atau karakter mulia – yang merupakan citacita setiap Muslim, juga salah satu
tujuan pendidikan nasional Indonesia – dalam konsep Islam harus dimulai dari
membangun fondasi yang kuat, yakni mendasari dengan akidah atau iman yang kokoh.
Dengan iman yang kokoh pasti akan tumbuh semangat yang tinggi untuk
melaksanakan seluruh aturan Allah baik yang ada dalam al-Quran maupun Sunnah,
baik yang terkait dengan ibadah maupun muamalah, dengan baik dan penuh
keikhlasan semata-mata karena Allah, tanpa ada tendensi lainnya. Jika semua aturan
Allah ditaati dan dilaksanakan pastilah akan terwujud akhlak atau karakter mulia pada
diri seseorang. Karena itu, pemahaman yang benar akan konsep dasar Islam menjadi
sangat penting untuk membangun komitmen moral untuk melaksanakan seluruh ajaran
Islam.
5. Daftar Referensi
Al-Qur‟an dan Hadist
Mubarak, KH Zakky. 2007. Menjadi Cendekiawan Muslim. Yayasan Ukhuwah
Ihsaniah, Depok
10
Prof. Dr Azra Azyumardi. 2002, Buku Teks Pendidikan Agama Islam. Jakarta 18
Agustus 2002 Direktorat Perguruan Tinggi.
6. Soal Latihan
Jelaskan secara komprehensif dengan konstruksi bahasa anda, tentang konsepsi
pentingnya pendidikan agama Islam untuk mewujudkan generasi Islam yang
berkarakter mulia dan memahami agamanya.
11
MODUL II
PETUNJUK MATERI
A. Deskripsi Materi
Materi mengenai sumber ajaran Islam memberikan khasanah ilmu agama tentang
sumber dari ajaran-ajaran Agama Islam yang merupakan Agama samawi dari Allah
SWT. Taruna diajak “bertamasya” di taman ilmu yang membahas Al-Qur‟an,
Hadist/Sunnah, dan konsepsi ijtihad dalam Islam. Materi ini sekaligus untuk
menekankan, bahwa setiap ajaran Islam tidak boleh keluar dari sumbernya.
C. Capaian Pembelajaran
Capaian Pembelajaran Mata Kuliah
Mampu menjelaskan sumber, kerangka dasar ajaran agama, konsep ibadah dan spirit
religiusitas dalam bekerja sesuai agama Islam.
12
SUMBER AJARAN ISLAM
1) Al-Qur’an :
a. Pengertian Al-qur’an
Adapun kata Qur‟an, dari segi isytiqaqnya (asal usul kata), terdapat beberapa
perbedaan pandangan dari para ulama. Antara lain, sebagaimana yang diungkapkan
oleh muhammad bin Muhammad Abu Syaibah (1992) dalam kitab Al-Madkhal li
Dirasah al-Qur‟an al-Karim, sebagai berikut:
1. Qur‟an adalah bentuk masdar dari qara‟a , dengan demikian, kata Qur‟an
berarti “bacaan”. Kemudian kata ini selanjutnya, sebagaimana bagi kitab suci
yang diturunkan oleh Allh swt. Kepada nabi Muhammad saw, pendapat ini
didasarkan pada firman Allah: Artinya “apabila kami telah seesai membacanya
maka ikutilah bacaannya. (QS. Al Qiyamah : 18). Antara lain yang berpendapat
demikian adalah al-Lihyan (w.215 H).
2. Qur‟an adalah kata sifat dari al-qar‟u yang bermakna al-jam‟u (kumpulan).
Selanjutnya digunakan sebagai nama bagi kitab suci yang diturunkan kepada
nabi Muhammad saw, alas an yang dikemukakan adalah karena Al- Qur‟an
terdiri dari sekumpulan suruh dan ayat, memuat kisah-kisah, perintah dan
larangan, dan juga karena Al-Qur‟an mengumpulkan inti sari dari kitab- kitab
yang diturunkan sebelumnya. Pendapat ini, antara lain dikemukakan oleh al-
Zujaj (w.311 H).
3. Kata al-Qur‟an adalah ism alam, bahkan kata bentukkan dan sejak awal
digunakan sebagai nama bagi kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT
kepada nabi Muhammad saw, pendapat ini diriwayatkan dari Imam Syafi‟y
(w.204 H).
Menurut Abu Syahbah, dari ketiga pendapat di atas, yang paling tepat
adalah pendapat yang pertama. yakni bahwa Al-Qur‟an dari segi isytiqaqnya,
adalah bentuk masdar dari kata qara‟a.
Sedangkan Al-Qur‟an menurut istilah, antara lain, adalah: Firman Allah
13
swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, yang memiliki
kemukjizatan lafal, membacanya bernilai ibadah, diriwayatkan secara
mutawatir, yang tertulis dalam mushhaf, dimulai dengan surah al-Fatihah dan
diakhiri dengan surah al-Nas. (Muhammad Abu Syahbah: 1992)
M. Qurais Shihab (1997) mendefinisikan Al-Qur‟an sebagai : “firman-
firman Allah yang disampaikan oleh malaikat jibril sesuai redaksinya kepada
Nabi Muhammad saw, dan diterima oleh ummat Islam secara tawatur.
Maka dapat didefinisikan bahwa: Al-Qur‟an adalah firman Allah swt
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui perantara malaikat
Jibril a.s sesuai dengan redaksinya, yang memiliki kemukjizatan lafal, yang
tertulis dalam mushaf, dimulai dari suruh al-Fatihah sampai pada suruh al-Nas,
dan disampaikan secara mutawatir kepada umat Islam, dimana membacanya
dinilai sebagai ibadah.
14
Dasar yang menunjukkan bahwa mimpi yang benar bagi para nabi
adalah wahyu yang wajib diikuti adalah mimpi Nabi Ibrahim „alaihis salam
agar menyembelih putranya, Ismail „alaihis salam. Allah ta‟ala berfirman:
Artinya: “Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang
sangat sabar. Tatkala anak itu telah sampai pada umur sanggup berusaha
bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, „Wahai anakku, sesungguhnya
aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah
bagaimana pendapatmu!‟ Dia menjawab, „Wahai ayahku, kerjakanlah apa
yang diperintahkan kepadamu, insyaAllah engkau akan mendapatiku
termasuk orang-orang yang sabar‟.” (QS. Ash-Shaffatt [37]: 101-102)
Artinya: “Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung.” (QS.
An-Nisaa [4]: 164)
Demikian pula, menurut pendapat yang paling shahih, Allah ta‟ala pun
telah berbicara secara langsung kepada Rasul kita, Muhammad shallallahu
„alaihi wa sallam, pada malam isra‟ mi‟raj.
15
Kedua, Jibril menjelma sebagai seorang laki-laki dalam bentuk manusia.
Cara ini lebih ringan bagi Rasul shallallahu „alaihi wa sallam.
Oleh karena itu, sangat tepat apa yang pernah di kemukakan oleh al-Wahidi
an-Naisaburi bahwa “tidak mungkin bisa memahami suatu ayat tertentu tanpa
mengetahui latar belakang sejarah turunnya ayat tersebut”. Lebih jauh, ia
menyatakan bahwa “asbabun nuzul adalah bidang ilmu al-Qur‟an yang paling
penting untuk dicermati dan diperhatikan, sebab penafsiran dan pengungkapan
maksud dari suatu ayat tidak akan dapat dilakukan tanpa mengetahui kronologis
yang menjadi penyebab turunnya ayat tersebut”.
16
terjadinya sesuatu dapat disebut asbab an-nuzul, dalam pemakaiannya, ungkapan
asbab an-nuzul khusus dipergunakan untuk menyatakan sebab-sebab yang
melatar belakangi turunnya Alquran, seperti halnya asbab al wurud secara khusus
digunakan bagi sebab terjadinya hadist. Banyak pengertiannya terminologi yang
di rumuskan oleh para ulama, di antaranya:
1. Menurut Az-zarqoni: Asbab an-nuzul adalah hal khusus atau sesuatu yang
terjadi serta hubungan dengan turunnya ayat al-qur‟an yang berfungsi sebagai
penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi”.
2. Ash-shabuni: asbab an-nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang
menyebabkan turunnya satu ayat atau beberapa ayat mulai yang berhubungan
dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa pertanyaan yang diajukan
kepada nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama”.
3. Subhi shalih: asbab an-nuzul adalah suatu yang menjadi sebab turunnya satu
atau beberapa ayat al-qur‟an yang terkadang menyiratkan suatu peristiwa,
sebagai respon atasnya atau penjelas terhadap hukum-hukum ketika peristiwa
itu terjadi”.
4. Mana‟al-Qaththan: asbab an-nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang
menyebabkan turunnya al-qur‟an, berkenaan dengannya waktu peristiwa itu
terjadi, baik berupa kejadian atau pertanyaan yang diajukan kepada nabi”.
Hampir senada dengan definisi di atas, Dr. Dawud al-Aththar
mengemukakan pengertian asbabun nuzul, yaitu : “Asbab al-Nuzul adalah
sesuatu yang melatar belakangi turunnya suatu ayat atau lebih, sebagai jawaban
terhadap suatu pertanyaan atau menjelaskan hukum yang terdapat dalam
peristiwa tersebut.
Dari definisi asbabun nuzul yang dikemukakan di atas, dapat di tarik suatu
pengertian bahwa yang menjadi “asbab” itu adakalanya terjadi suatu peristiwa
yang membutuhkan penjelasan hukum, atau adanya suatu pertanyaan yang di
ajukan kepada Nabi saw, kemudian turun suatu ayat untuk menjelaskan hukum
dari peristiwa atau pertanyaan tersebut. Makna peristiwa (waqi‟ah) dalam
definisi di atas dapat dipahami dalam bentuk pertengkaran, kesalahan yang
dilakukan, pujian atas suatu sikap dan pemecahan masalah.
17
d. Tujuan Al-Qur'an diturunkan
a) Untuk membersihkan aka] dan menyucikan jiwa dari bentuk syirik serta
memantapkan keyakinan tentang keesaan yang sempuma bagi Tuhan seru
sekalian alam, keyakinan yang tidak semata-mata sebagai suatu konsep
teologis, tetapi falsafah hidup dan kehidupan umat manusia
b) Untuk mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, yakni bahwa umat
manusia merupakan umat yang seharusnya dapat bekerja sama dalam
pengabdian kepada Allah SWT dan pelaksanaan tugas kekhalifahan.
c) Untuk menciptakan persatuan dan kesatuan bukan saja antar suku atau
bangsa, tetapi kesatuan alam semesta, kesatuan kehidupan dan akhirat,
natural dan supranatural, kesatuan ilmu, iman, dan rasio, kesatuan kebenaran,
kesatuan kepribadian, manusia, kesatuan kernerdekaan dan determinasi,
kesatuan sosial, politik dan ekonomi, dan kesemuanya berada di bawah satu
keesaan, yaitu keesaan Allah SWT.
d) Untuk mengajak manusia berfikir dan bekerjasama dalam bidang kehidupan
bermasyarakat dan bemegara melalui musyawarah dan mufakat yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan.
e) Untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual, kebodohan, penyakit
dan penderitaan hidup, serta pemerasan manusia atas manusia, dalam bidang
sosial ekonomi, politik, dan juga agama.
f) Untuk memadukan kebenaran dan keadilan dengan rahmat dan kasih sayang,
dengan menjadikan keadilan sosial sebagai landasan pokok kehidupan
masyarakat manusia.
g) Untuk memberi jalan tengah antar falsafah monopoli kapitalisme dengan
falsafah kolektif komunisme, menciptakan ummat wassathan yang menyeru
18
kepada kebaikan dan mencegah kepada kemungkaran.
h) Untuk menekankan peranan ilmu dan teknologi. Guna menciptakan satu
peradaban yang sejalan dengan jati diri manusia, dengan panduan dan paduan
Nur Ilahi ( 1996: 12-13)
muslim dianjurkan untuk membacanya serta memahami isi dari kandungan ayat
tersebut. Maka dari itu perlu bagi kita untuk mempelajari Al-Qur‟an, baik belajar
Sebagai bukti cintanya, dia akan semakin bersemangat membacanya setiap waktu,
Artinya: “Dan kami turunkan dari Al-Qur‟an (sesuatu) yang menjadi penawar
dan rahmat bagi orang yang beriman, sedangkan bagi orang zalim (Al-Qur‟an
itu) hanya akan menambah kerugian…..
Dalam sebuah riwayat pernah diungkapkan bahwa pada suatu hari, seseorang
Ibnu Mas‟ud, berilah nasihat yang dapat kujadikan obat bagi jiwaku yang sedang
gelisah,” keluhnya. Ibnu Mas‟ud menjawab, “Kalau penyakit itu yang menimpamu,
bawalah hatimu mengunjungi tiga tempat, yaitu tempat orang-orang membaca Al-
Qur‟an, bacalah Al-Qur‟an, atau dengarlah baik-baik orang yang membaca Al-
19
Qur‟an.
Artinya: Dari Aisyah r.a berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Orang yang
membaca Al-Qur‟an dan ia mahir maka nanti akan bersama-sama denganpara
malaikat yang mulia lagi taat. Sedang orang yang membaca Al-Qur‟an dan ia
merasa susah di dalam membacanya tetapi ia selalu berusaha maka ia mendapat
dua pahala
20
2) As-Sunnah (Hadist )
a. Pengertian As-sunnah
Sunnah memiliki kedudukan istimewa dalam hukum Islam dikarenakan
kekuatan otoritatif yang dimilikinya. Posisi yang begitu penting meletakan sunnah
sebagai sumber yang harus dijadikan referensi dalam pengambilan dan penetapan
setiap keputusan Hukum, menurut Imam Syafii sunnah yang valid hanya terdapat
dalam teks hadist yang diperoleh melalui metode transmisi periwayatan tertentu
dan bukan dengan cara yang lain. Dengan batasan demikian berarti sunnah identik
dengan hadist yaitu informasi tentang Nabi Muhammad SAW.
Sementara itu Yusuf al -qaradawi, seorang pemikir termuka yang berasal dari
mesir sepakat bahwa Sunnah merupakan sumber dasar hukum Islam yang kedua
setelah al-qurán, secara sederhana ia menyatakan bahwa sunnah berfungsi untuk
menjelaskan maksud-maksud al-qurán, baik berupa penegasan, pembatasan, atau
penetapan Hukum baru. Sunnah yang menentukan peran al-qurán, sedangkan al-
qurán itu sendiri hanya dapat difahami secara penuh dan dapat diaplikasikan
secaara benar hanya karena pertolongan Sunnah, namun dari berbagai peran
tersebut harus pula ditegaskan bahwa otoritas sunnah tidak boleh keluar dari
lingkaran batas-batas al-qurán itu sendiri.
Dari dua pendapat itu dapat ditarik suatu pengertian bahwa as-sunnah adalah
pensarah Al-Qur‟an, karena Rasulullah bertugas menyampaikan Al-Qur‟an dan
menjelaskan pengertiannya. Maka As-asunnah menerangkan ma‟na Al-Qur‟an,
adalah dengan cara:
1) Menerangkan apa yang dimaksud dari ayat-ayat mudjmal, seperti
menerangkan waktu-waktu sembayang, bilangan raka‟at, kaifiyat ruku‟,
kaifiyat sujud, kadar-kadar zakat, waktu-waktu memberikan zakat, macam-
macamnya dan cara-cara mengerjakan haji. Karena inilah Rasulullah s.a.w.
bersabda: Artinya “ambillah olehmu dariku perbuatan-perbuatan yang
dikerjakan dalam ibadah haji”.
2) Menerangkan hukum-hukum yang tidak ada didalam Al-Qur‟an seperti
mengharamkan kita menikahi seseorang wanita bersamaan dengan menikahi
saudaranya ayahnya, atau saudara ibunya, seperti mengharamkan kita makan
binatang-binatang yang bertaring.
21
3) Menerangkan ma‟na lafad, contoh seperti mentafsirkan al maghdlubi
„alaihim dengan orang yahudi dan mantafsirkan adldlallin, dengan orang
nasrani
Sunnah berdiri sebagai penjelas maksud al-Qur‟an, penjamin makna al-
Qur‟an dan pelengkap perintah-perintah yang ada dalam al-Qur‟an, sehingga al-
Qur‟an tidak bisa dipahami tanpa sunnah, Qur‟an tidak bisa mandiri tanpa sunnah.
Misalnya al-Qur‟an memberikan perintah-perintah umum, maka sunnah
menjelaskan maksudnya secara spesifik. Sunnah juga memberikan informasi
tambahan yang mutlak diperlukan dalam praktek peribadatan yang tidak ada
dalam al-Qur‟an. Karena itu muncul anggapan bahwa, kebutuhan al-Qur‟an
terhadap sunnah lebih besar daripada kebutuhan sunnah terhadap al-
Qur‟an.(Dikutif dari tulisan Ahmad Rafiq dalam Studi Analisis atas al-Qur‟an dan
as-Sunnah Antara Tekstual dan Kontekstual, (Yogyakarta: UIN Yogyakarta,
2011).
b. Bagian-bagian Sunnah
Dari pengertian yang dijelaskan diatas maka oleh para ahli usul membagi sunnah
itu kepada tiga yaitu :
1) Sunnah Qauliyyah (Perkataan Nabi) Yaitu Hadis-hadis Rasul Saw yang beliau
katakana dalam berbagai tujuan dan konreks yang memuat berbagai maksud
Syara'baik yang berkaitan dengan aqidah, akhlak, maupun yang lainnya.
Contoh Rasul Bersabda dalam Hadisnya sebagai berikut : "Dari Ibnu Abbas,
dari nabi Saw apabila seseorang kaum is hendak hersetuhuh dengan isterinya
bacalah Dengan mum Altah. Ya Tuhan jauhkanlah syaitan clari pada kamu dari
pada anak yang engkau anugerahkan kepada kami, kalau terjadi anak dengan
persetubuhan itu niscaya syetun tidak akan memberi bahaya kepada anak itu
menjadi anak yan balk. Buchari".
2) Sunnah Fi'liyah (Perbuatan Nabi Saw) Segala perbuatan Rasul atau
pekerjaannya yang dipahami dan dilakuan nabi diikuti umatnya sampai kepada
kita. Salah satu contoh dari sunnah ini adalah : "Dari Aisyah Isteri nabi Saw .
sesungguhnya nabi Saw, apabila mandi karena Janaba dimulainya membasuh
kedua belah tangannya, lalu is berwudhu sebagaiaman wudhunya untuk
sembahyang, kemudian itu dimasukkan anak jarinya kedalam air dan
22
digosokannya pangkal rambut kepalanya. Kemudian dituangkannya keatas
kepalanga tiga sauk air dengan kedua belah tangannya, dan dituangkannya air
kepada segenap tubuhnya".
3) Sunnah Tagririyah, Bila seseorang melakukan suatu perbuatan atau
mengemukakan suatu ucapan dihadapan nabi atau pada masa nabi, nabi
mengetahui apa yang dilakukan orang itu dan mampu menyangganya, namun
nabi diam dan tidak menyanggahnya, maka hal ini merupakan pengakuan dari
nabi. Keadaan diam nabi itu dapat dibedakan dalam dua bentuk: Pertama, nabi
mengetahui bahwa perbuatan itu pernah dibenci dan dilarang oleh nabi. dalam
hal ini kadang-kadang nabi mengetahi bahwa sipelaku tarjih. Umpamanya pada
suatu waktu nabi melipat kedua tangannya dibawah dada pada waktu berdiri
sedang shalat, dan pada waktu lain meluruskan tangannya dibawah. Dalam hal
ini tidak dapat dikatakan ada pertentangan antara dua perbuatan nabi, sehingga
dikatakan bahwa perbuatan yang dilakukan beliau kemudian membatalkan atau
mensahkan apa yang dilakukan nabi sebelumnya. Bila nabi melakukan suatu
perbuatan yang bukan merupakan penjelasan terhadap sebelumnya, tidak ada
pula dalil yang menunjukkan bahwa perbuatan itu khusus untuk nabi, tetapi
dapat diketahui sifat perbuatan wajib, nadab atau mubah. Melalui penjelasan
langsung dari nabi atau tidak maka mayoritas ulama figih dan kalam sepakat
mengatakan bahwa umat dituntut mengikuti perbuatan itu baik yang berbentuk
baik, nadab atau ibadah. Kedua, bentuk perbuatan tersebut berlaku secara
umum untuk nabi sendiri maupun untuk umatnya. Perbuatan nabi yang dapat
diketahui merupakan penjelasan hukum untuk umat dan menjadi dalil hukum
yang harus dipatuhi oleh umat dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat dart
ulama semua sepakat. Penjelasan dalam bentuk ini adalah yang dikemukakan
Nabi dengan ucapan yang jelas, seperti sabda Nabi : "Sholatlah kamu
sebagaimana kamu melihat saya sholat
23
tatkala ditanya tentang budi pekerti Rasulullah saw, beliau menjawab; “Budi
pekertinya adalah al-Qur‟an.
Ummat Islam telah sepakat menjadikan sunnah sebagai salah satu dasar
hukum untuk beramal (ibadah), karena sesuai dengan yang dikehendaki Allah.
Kesepakatan ummat Islam dalam mempercayai, menerima dan mengamalkan
segala ketentuan yag terkandung di dalam sunnah sudah dilakukan sejak
Rasulullah saw masih hidup. Sepeningggal beliau, semenjak masa khulafa al
Rasyidin hingga masa-masa selanjutnya, tidak ada yang mengingkarinya. Dalam
lintasan sejarah Islam, banyak peristiwa yang menunjukkan adanya kesepakatan
untuk menggunakan sunnah Rasulullah SAW sebagai sumber hukum Islam, salah
satunya adalah apa yang disebutkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal berikut ini :
24
Alhamdulillah atas taufiq yang dianugerahkan oleh Allah kepada utusan
Rasul-Nya”.
3) Ijtihad
a. Pengertian
Sebelum membahas fungsi ijtihad sebagai sumber hukum Islam, kamu perlu
untuk mengetahu pengertian ijtihad terlebih dahulu. Kata Ijtihad sendiri berasal dari
kata ijtahada yajtahidu ijtihadan yang memiliki arti mengerahkan segala kemmpuan
yang ada pada diri dalam menanggung beban. Menurut bahasa, ijtihad dapat di
artikan dengan bersungguh-sungguh dalam mencurahkan semua isi pikiran.
Sedangkan untuk pengertian ijtihad dilihat dari isitilah adalah mencurahkan
semua tenaga serta pikiran dan bersungguh-sungguh dalam menetapkan suatu
hukum. Maka dari itu tidak disebut ijtihad jika tidak adanya unsur kesulitan pada
suatu pekerjaan. Secara terminologis, berijtihad merupakan mencurahkan semua
25
kemampuan dalam mencari syariat dengan menggunakan metode tertentu. Ijtihad
sendiri dipandang sebagai sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur‟an dan
hadits. Ijtihad juga menjadi pemegang fungsi penting dalam penetapan hukum Islam.
Orang yang melaksanakan Ijtihad disebut dengan Mujtahid, dimana orang tersebut
adalah orang yang ahli tentang Al-quran dan hadits.
Demikian juga dilihat dari kata masdar dari fiil madhi yaitu “ijtihada”,
penambahan hamzah dan ta‟ pada kata “jahada” menjadi “ijtihada” pada wazan
ifta‟ala, berarti usaha untuk lebih sungguh-sungguh. Seperti halnya “kasaba” menjadi
“iktasaba” berati usaha lebih kuat dan sungguh-sungguh. Dengan demikian “ijtihada”
berarti usaha keras atau pengerahan daya upaya. Ijtihad dalam pengertian lain yaitu
berusaha memaksimalkan daya dan upaya yang dimilikinya.
Dengan demikian, ijtihad bisa digunakan sebagai upaya untuk menyelesaikan
masalah-masalah yang menyangkut tentang hukum Islam. Tetapi pengertian ijtihad
dapat dilihat dari dua segi baik etimologi maupun terminologi. Dalam hal ini
memiliki konteks yang berbeda. Ijtihad secara etimologi memiliki pengertian:
“pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit”. Sedangkan
secara terminologi adalah “penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu
yang terdekat pada kitabullah (syara) dan sunnah rasul atau yang lainnya untuk
memperoleh nash yang ma‟qu; agar maksud dan tujuan umum dari hikmah syariah
yang terkenal dengan maslahat.
Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu metode penggali sumber hukum. Dasar-
dasar ijtihad atau dasar hukum ijtihad ialah al-Qur‟ an dan sunnah. Di dalam ayat
yang menjadi dasar dalam ber-ijtihad sebagai firman Allah Swt dalam QS. al-
Nisa‟:105 sebagai berikut: Artinya: “Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab
kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia
dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu dan janganlah kamu menjadi
penantang (orang yang tidak bersalah) karena (membela) orang-orang yang
khianat”. Demikian juga dijelaskan dalan QS. al-Rum: 21: Artinya: “Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.
Di kalangan ulama terjadi beberapa masalah mengenai ijtihad. Misalnya, Imam
Syafe‟i menyamakan ijtihad dengan qiyas yakni dua nama tetapi maksudnya satu.
Dan tidak mengakui ra‟yu yang didasarkan pada istihsan dan masalah mursalah.
Sementara ulama lain memiliki pandangan lain yang lebih luas tentang ijtihad,
menurut mereka ijtihad itu mencakup pada ra‟yu, qiyas dan akal.
26
Pendapat tentang ra‟yu tersebut sebagaimana yang diungkapkan oleh para
sahabat, yaitu mengamalkan apa-apa yang dipandang maslahat oleh seorang
mujtahid. Atau paling tidak mendekati hukum syariat tanpa melihat apakah hal
tersebut ada dasarnya maupun tidak.
Dengan berdasarkan itu, Ad-Dawalibi membagi ijtihad menjadi tiga bagian yang
sebagiannya sesuai dengan pendapat Asy-Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqat, yaitu:
pertama, ijithad al-batani yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara dari
nash, 2) ijtihad al-qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat
dalam al-Qur‟an dan as-Sunnah dengan menggunakan metode qiyas, 3) ijtihad al-
istishlah, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam al-Qur‟an
dan sunnah dengan mengunaka ra‟yu berdasar kaidah istishlah. Di samping itu,
Muhammad Taqlyu Al-Hakim menganggap bahwa penjabaran seperti di atas
belumlah sempurna. Sehingga ia membagi ijtihad menjadi dua: 1) ijtihad al-aqll,
yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal dan tidak menggunakan dalil
syara‟, 2) ijtihad syari‟,yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara.
b. Metode Ijtihad
i. Ijma’
27
keagamaan.
Dari definisi tersebut maka dapat diketahui bahwa suatu kesepakatan
tentang hukum dapat disebut sebagai ijma‟ manakala memenuhi beberapa
persyaratan sebagai berikut:
28
persyaratan sebagai mujtahid, tetapi ia cenderung berafiliasi dengan
suatu mazhab tertetu dan mengikuti karakteristik ijtihad mazhab
tersebut dengan berpedoman pada metode ijtihad yang ditetapkan oleh
imam mazhabnya.
C. Mujtahid muqayyad, adalah orang yang memiliki kemampuan
memahami dalil-dalil syar‟i, tetapi tidak mau keluar dari nalar
pemikiran hukum yang dikembangkan oleh mazhab yang ia anut,
mujtahid dalam tingkatan ini sebenarnya tidak pernah menggali hukum
terhadap permasalahan yang baru, tetapi hanya mengambil hukum
yang telah dirumuskan oleh mazhab yang ia ikuti untuk menjawab
permasalahan hukum yang muncul.
Dari penjelasan tersebut maka dapat dikatakan bahwa
kesepakatan orang awam yang tidak memiliki kemampuan dalam
berijtihad atau orang yang belum mencapai derajat sebagai mujtahid
tidak dapat dikatakan sebagai ijma‟, begitu pula penolakkan mereka.
Karena orang yang tidak memenuhi persyaratan sebagai mujtahid tidak
memiliki keahlian memahami hukum syariah, sehingga pendapatnya
tidak dapat dianggap sebagai ijma‟, meskipun jumlah mereka sangatlah
banyak. Dalam hal ini para ulama ushul berpendapat bahwa apabila
pada suatu masa tidak didapati seorang pun yang dapat memenuhi
persyaratan sebagai mujtahid, maka dapat dipastikan tidak ada ijma‟
dalam masa tersebut. Apabila hanya ada satu atau beberapa ulama yang
dapat mencapai derajat mujtahid misalnya, apabila kesepakatan
tersebut dapat mewakili seluruh pendapat ulama dengan derajat
mujtahid pada masa tersebut, maka dapat disebut ijma‟ namun apabila
kesepakatan tidak mewakili pandangan para ulama mujtahid lainnya,
maka tidak dapat dikatakan sebagai ijma‟. Memang ada pendapat yang
menyatakan bahwa kesepakatan sebagian ulama mujtahid atau
sebagian besar dari mereka sudah dapat dikatakan sebagai ijma‟, tetapi
pendapat tersebut adalah pendapat yang lemah. Karena hakekat ijma‟
menurut jumhur ulama ushul fiqh adalah kesepakatan seluruh ulama
mujtahid pada masa tertentu.
29
2) Ijma’ dilakukan Setelah Nabi SAW Wafat
Pada masa Nabi saw masih hidup, umat Islam dapat menanyakan
semua permasalahan yang dihadapinya terkait hukum syariah secara
langsung kepada Nabi saw, kemudian Nabi menjawabnya berdasarkan
wahyu yang diturunkan kepada baliau. Karena itu pada tersebut tidak ada
ruang untuk ijma‟ sebagai sumber hukum. Sepeninggalnya beliau
kemudian muncul permasalahanpermasalahan baru yang tidak terdapat
pada masa Nabi, sehingga untuk memutuskan hukumnya mutlak
diperlukan ijtihad dan ijma‟ sebagai salah satu metodenya. Misalnya
tentang masalah kodifikasi al-Qur‟an, atau masalah penetapan status tanah
daerah taklukan yang semakin luas.
30
saja, tetapi setiap masa dimana terdapat para ulama yang telah mencapai
derajat sebagai mujtahid, maka kesepakatan mereka hendaknya diakui
sebagai ijma‟ dan dapat dijadikan sebagai rujukan hukum. Hal ini karena
setiap masa selalu ada masalah-masalah baru yang berbeda dengan masa
sebelumnya yang membutuhkan penyelesaian hukum. Apabila ijma‟ yang
diakui hanya ijma‟ sahabat, maka umat Islam setelah masa sahabat akan
kesulitan mencari rujukan hukum terhadap masalah yang dihadapinya.
31
dimana berbagai sarana komunikasi dan transportasi modern telah
tersedia, tidak ada alasan bagi para mujtahid untuk mengalami kesulitan
dalam melakukan kesepakatan yang lingkupnya internasional. Karena itu
ijma‟ pada zaman sekarang yang diakui menurutnya haruslah ijma‟ yang
lingkupnya internasional, bukan ijma‟ dalam lingkup nasional atau
bahkan hanya dalam satu kelompok saja. AlNaim berpendapat bahwa
ijma‟ internasional dapat dilakukan dengan adanya pertemuan dialog
informal seperti Non-Govermental Organization (NGO) Internasional
antara para ulama mujtahid dari seluruh negara di dunia tanpa
memandang latar belakangnya yang penting mereka memiliki kesamaan
komitmen untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia. Konsep
ijma‟ dalam pandangan al-Naim juga menggugat pandangan bahwa
keputusan ijma‟ terdahulu tidak dapat dihapus oleh ijma‟ kemudian.
Selain itu ia juga menolak klaim ijma‟ yang hanya berdasarkan pada
otoritas kepompok atau bangsa tertentu, lebih-lebih otoritas perorangan
dimana dalam suatu musyawarah ada orang yang mendominasi
pendapatnya dan ada orang yang hanya mengikuti saja. Ijma‟- ijma‟
seperti itu tidak diakui sebagai ijma‟ dalam pandangan Abdullah alNaim.
Menurut Abdul Wahab Khallaf , ijma‟ bila dilihat dari cara mendapatkan
hukum melalui ijma‟ , maka ijma‟ itu ada dua macam: yaitu Ijma‟ Sharih (The
real ijma‟) dan Ijma‟ Sukuti (The silent ijma‟) Ijma‟ Sharih ialah, setiap mujtahid
menyatakan bahwa mereka menerima semua yang disepakati. Menurut ulama
jumhur.
Ijma‟ sharih ini yang dapat dijadikan hujjah ( dalil hukum). Sedangkan imam
syafi‟i juga sepakat bahwa ijma‟ sharih yang dapat dijadikan hujjah (dalil hukum),
sehingga Imam Syafi‟i mengatakan sebagai berikut: jika engkau atau salah
seorang ulama mengatakan,”hukum ini telah disepakati”, maka niscaya setiap
ulama yang engkau temui juga megatakan seperti apa yang engkau katakan.
32
sedangkan mujtahid yang lain tidak memberikan respon atau kementar, umatku
tidak bersepakat terhadap sesuatu yang sesat, lalu Allah mengabulkannya).
Syarat dan Rukun Ijma‟ Menurut Wahbah az-Zuhaili, syarat ijma‟ adalah
yang melakukan ijma‟ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan
ijtihad, kesepakatan itu muncul dari mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat
terhadap agamanya), Mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan
diri dari ucapan atau dari perbuatan bid‟ah. Keiga syarat ini disepakati oleh
seluruh ualama.
Menurut ulama ushul fiqh rukun ijma‟ itu ada lima: pertama Yang terlibat
dalam pembahasan hukum syara‟ melalui ijma‟adalah seluruh mujtahid, kedua
mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum adalah seluruh mujtahid yang
ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam, keempat kesepakatan
itu diawali dari masing-masing mujtahid setelah mereka mengemukan
pandangannya, kelima hukum yang disepakati itu adalah hukum syara‟yang
bersifat aktual dan tidak ada hukumnya dalam al-qur‟an ataupun dalam hadits
Rasulullah SAW.
Macam-macam Ijma‟ Menurut Abdul Wahab Khallaf , ijma‟ bila dilihat dari
cara mendapatkan hukum melalui ijma‟ , maka ijma‟ itu ada dua macam: yaitu
Ijma‟ Sharih (The real ijma‟) dan Ijma‟ Sukuti (The silent ijma‟) Ijma‟ Sharih
ialah, setiap mujtahid menyatakan bahwa mereka menerima semua yang
disepakati. Menurut ulama jumhuR ijma‟ sharih ini yang dapat dijadikan hujjah (
dalil hukum). Sedangkan imam syafi‟i juga sepakat bahwa ijma‟ sharih yang
dapat dijadikan hujjah (dalil hukum), sehingga Imam Syafi‟i mengatakan sebagai
berikut: jika engkau atau salah seorang ulama mengatakan,”hukum ini telah
disepakati”, maka niscaya setiap ulama yang engkau temui juga megatakan seperti
apa yang engkau katakan”. Ijma‟ Sukuti ialah, sebagian mujtahid pada saat
menampilkan pendapatnya secara jelas mengenai suatu pristiwa dengan sistem
fatwa atau dalam majlis, sedangkan mujtahid yang lain tidak memberikan respon
atau kementar terhadap pendapat tersebut, baik mengenai kecocokan pendapat
atau perbedaannya.
Tentang ijma‟ sukuti ada tiga pendapat: Pertama, Menurut ulama jumhur
berpendapat ijma‟ sukuti tidak dapat dipakai sebagai hujjah atau dalil, karena
33
menganggap tidak hanya sebagai pendapat ulama mujtahid saja. Kedua, menurut
ulama Hanafiyah Ijma‟ Sukuti dapat dijadikan sebagai hujjah ketika telah ada
ketetapan, bahwa seorang mujtahid yang diam ketika dihadapkan kepadanya suatu
kejadian, dan diutarakan pendapatnya mengenai peristiwa tersebut, dan tidak ada
kecurigaan bahwa diamnya mujtahid tersebut karena takut, karena posisi diamnya
seorang mujthid bearti dia sedang memberi fatwa. (Abdul Wahab Khallaf, Ilmu
Ushul Fiqh, Terjemahan Nor Isandar dkk, Rajawali Press ,Jakarta, 1993, h.75),
Ketiga menurut Abu Ali al-Jubba‟i (tokoh Muktazilah w.303 H) bahwa ijma‟
sukuti dapat dikatakan ijma‟, apabila generasi mujtahid yang menyepakati hukum
tersebut sudah habis. Karena sikap diam mujtahid lain bersikap diam saja
terhadap hukum yang disepakati sebagian mujtahid itu sampai mereka wafat,
maka kemungkinan adanya mujtahid yang membantah hukum tersebut tidak ada
lagi. Imam al‟Amidi (ahli ushul fiqh dari mazhab Syafi‟y), Ibnu Hajib (ahli ushul
fiqh dari mazhab Maliki), dan Imam Abu bakar Muhammad bin Husein al-Karkhi
(ahli ushul fiqh dari mazhab Hanafi), berpendapat, bahwa kesepakatan seperti ini
tidak dikatakan ijma‟, tetapi dapat dijadikan hujjah, dan sifat kehujjahannya juga
bersifat zanni.
Ijma‟ ahli Madinah menurut pandangan Imam Malik dapat dijadikan dalil
atau argumentasi dalam berhujjah. Sedang sebagian mazhab Maliki telah sepakat
bahwa ijma‟ penduduk Madinah yang dapat dijadikan hujjah ialah ijma‟ mereka
terhadap masalah-masalah yang telah ditetapkan oleh Rasulullah, seperti dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Syu‟bah ibn Mughirah tentang kesepakatan mereka
dalam memberikan harta pusaka kepada nenek atau hadits Nabi tentang
interpretasi terhadap saudara seayah termasuk juga dalam kategori saudara dalam
pengertian umum.
Ulama yang pro pada pendapat bahwa ijma‟ tidak mungkin terjadi lagi, karena
pada waktu terjadi pristiwa pengambil hukum dengan cara ijma‟, pada masa itu
para ulama mujtahid masih saling kenal, tempat tinggal mereka masih berdekatan,
wilayah umat Islam atau negara belum begitu luas seperti sekarang, dan masih
memungkin masing-masing mujtahid dapat memperhatikan pendapat mereka
34
masing-masing, tentang persoalan hukum yang di ajukan kepada mereka. Ulama
klasik seperti Imam as-Syafi‟i, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim alJauziah , (dari
mazhab Hanbali), begitu juga pandagan ulama yang sudah modern seperti
Muhammad Abu Zahrah, Muhammad Hudri Bek dan Fath adDuraini ( guru besar
fiq dan Ushul Fiqh dari Unversitas Suriah, Damacus, dan Wahbah az-Zuhaili,
mereka berpendapat tidak mungkin akan terjadi ijma‟ seperti pada masa sahabat.
Maka persoalan isu-isu seperti keputusan anggota MPR RI, atau DPR RI tentang
Undang-undang atau keputusan kepala daerah seperti Gubernur/Bupati/Walikota
seperti PERDA tentang larang judi, minuman keras dan sebagainya yang muncul
pada zaman kotemporer atau globalisasi tidak akan mungkin dapat
mengakomodasi persoalan hukum baru, artinya ijma‟ tidak dapat diterapkan
sebagai metode penetapan hukum baru pada era sekarang. Mereka memberikan
dasar pemikiran bahwa ijma dapat terjadi karena mengharuskan semua mujtahid
disemua negara harus hadir dan memberikan respon pada persoalan yang diajukan
kepada mereka, kemudian persyaratan yang masuk dalam kategori mujtahid juga
sangat ketat.
Menurut Wahbah az-Zuhaili, syarat ijma‟ adalah (1) yang melakukan ijma‟
tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad, (2) kesepakatan
itu muncul dari mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat terhadap agamanya),
(3) Mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan
atau dari perbuatan bid‟ah. Ketiga syarat ini disepakati oleh seluruh ulama.224
Sedangkan pada zaman sekarang sangat sulit dan langka ulama yang menguasai
semua bidang ke ilmuan apalagi yang masuk dalam kategori mujtahid. Akan tetapi
kalau kita melihat dari subtansi dari tujuan ijma‟ sebagai salah satu metode
penetapan hukum, di karenakan ada persoalan baru yang muncul ditengah-tengah
kehidupan masyarakat, sedangkan dalilnya dalam al-Qur‟an dan al-Hadits tidak
ditemukan. Maka perlu kita mempertimbangkan pendapat Abdul Wahab Khallaf,
bahwa Ijma‟ akan mungkin terjadi apabila masalahnya diserahkan kepada
pemerintah, karena pemerintah sebagai ulil Amri dapat mengetahui mujtahid-
mujtahidnya, dan setiap pemerintah dapat mengetahui dan menentukan mujtahid
suatu bangasa dan disepakati juga oleh mujtahid seluruh dunia Islam”.
35
perintah/undangan kepala Negara, itulah yang mungkin terjadi sepanjang masa.
Inilah ijma‟ yang terjadi di masa Abu bakar dan Umar” Kalau memperhatikan
pengertian dari subtansi pengertian ijma‟ tersebut, kemudian didukung oleh
pendapat Abdul Wahab Khallaf dan Hasbi ash-Shidieqy, ada kemungkinan bahwa
Keputusan MPR RI, DPR RI dan keputusan kepala daerah atau menghimpun
berbagai macam fatwa yang dikeluarkan oleh ulama dari berbagai lembaga seperti
fatwa ulama NU dan fatwa ulama majlis Tarjih Muhammadiyah dan Fatwa MUI,
yang kebetulan subatansi dari isi fatwa tersebut sama-sama menyatakan bahwa
merokok itu haram karena merusak kesehatan manusia.dapat dianggap sebagai
ijma‟, paling dapat kita sebut sebagai ijma‟ lokal.
ii. Qiyas
Secara etimologi, qiyas berarti mengira-ngirakan atau menyamakan. Meng-
qiyas-kan, berarti mengira-ngirakan atau menyamakan sesuatu terhadap sesuatu
yang lain. Sedangkan secara terminologis, menurut ulama usul fikih, qiyas
adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nas hukumnya dengan sesuatu yang
ada nas hukumnya karena adanya persamaan „illat hukum.7Dalam redaksi yang
lain, qiyas adalah menyamakan suatu hukum dari peristiwa yang tidak memiliki
nas hukum dengan peristiwa yang sudah memiliki nas hukum, sebab adanya
persamaan dalam „illat hukumnya.8 Qiyas berarti mempertemukan sesuatu yang
tidak ada nas hukumnya dengan hal lain yang ada nas hukumnya karena ada
persamaan „illat hukum. Dengan demikian, qiyas merupakan penerapan hukum
36
analogis terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan „illat
akan melahirkan hukum yang sama pula. Oleh karenanya, sebagaimana yang
diungkapkan Abu Zahrah, asas qiyas adalah menghubungkan dua masalah
secara analogis berdasarkan persamaan sebab dan sifat yang membentuknya.
Apabila pendekatan analogis itu menemukan titik persamaan antara sebab-
sebab dan sifat-sifat antara dua masalah tersebut, maka konsekuensinya harus
sama pula hukum yang ditetapkan. Qiyas merupakan salah satu medote istinbāṭ
yang dapat dipertanggungjawabkan karena ia melalui penalaran yang
disandarkan kepada nas. Ada beberapa ayat Al-Qur‟an yang dijadikan landasan
bagi berlakunya qiyas di dalam menggali hukum, di antaranya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S An-
Nisa‟ (4): 59)
Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan
“kembali kepada Allah dan Rasul” (dalam masalah khilafiah), tiada lain adalah
perintah supaya menyelidiki tanda-tanda kecenderungan apa sesungguhnya yang
dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh melalui pencarian
„illat hukum yang merupakan tahapan dalam melakukan qiyas.
Abdul Wahab Khallaf menyebutkan alasan pengambilan dalil ayat di atas
sebagai dalil qiyas,yakni bahwa Allah SWT telah memerintahkan kepada orang-
orang yang beriman untuk mengembalikan permasalahan yang diperselisihkan
dan dipertentangkan di antara mereka kepada Allah dan Rasulullah jika mereka
tidak menemukan hukumnya dalam al-Qur‟an maupun Sunnah. Sedangkan
mengembalikan dan merujukkan permasalahan kepada Allah dan Rasul adalah
mencakup semua cara dalam mengembalikan permasalahan itu. Artinya, bahwa
menyamakan peristiwa yang tidak memiliki nas dengan peristiwa yang sudah
ada nasnya dikarenakan adanya kesamaan „illat, maka hal tersebut termasuk
kategori “mengembalikan permasalahan kepada Allah dan Rasul-Nya”
sebagaimana dalam kandungan ayat di atas. Selain al-Nisa‟ (4): 59, para ulama
juga menjadikan surat al-Hasyr (59): 2 sebagai salah satu landasan kehujjahan
qiyas.
37
Qiyas menurut istilah ushul fiqhi, ialah menyamakan suatu masalah yang
tidak terdapat ketentuan hukumnya dalam nash (Al-Qur'an dan Sunnah), karena
adanya persamaan illat hukumnya (motif hukum) antara kedua masalah itu.
40
iii. Istihsan
Istihsan secara etimologi merupakan bentuk masdar dari ٍاستحسyang
berarti menganggap baik sesuatu. Atau mengira sesuatu itu baik. Abu Hanifah
tetap menggunakan arti lughawi sebagai dasar pemakaian istihsan yaitu ٍ)استحس
astahsin) berarti saya menganggap baik. Arti lain dari istihsan adalah
mengikuti sesuatu yang lebih baik atau mencari yang lebih baik untuk diikuti
karena memang disuruh untuk itu.
Dari pengertian secara etimologi tersebut, maka tergambar adanya
seseorang yang telah menghadapi dua hal yang keduanya baik, akan tetapi ada
hal yang mendorongnya untuk meninggalkan satu di antaranya dan menetapkan
untuk diambil yang satunya karena dianggap lebih baik untuk diamalkan.
Adapun pengertian istihsan menurut istilah, ada beberapa definisi yang
dirumuskan oleh beberapa ahli ushul:
Ibnu Subki mengajukan dua rumusan definisi, yaitu: Beralih dari
penggunaan suatu qiyas kepada qiyas lain yang lebih kuat dari padanya. (qiyas
pertama). Beralih dari penggunaan sebuah dalil kepada adat kebiasaan
karena suatu kemaslahatan. Ibnu Subki menjelaskan bahwa definisi yang
pertama tidak terjadi perdebatan karena yang terkuat di antara dua qiyas harus
didahulukan. Sedangkan definisi kedua ada pihak yang menolaknya.
Alasannya, apabila dapat dipastikan bahwa adat istiadat itu baik karena berlaku
seperti pada masa Nabi atau sesudahnya, dan tanpa ada penolakan dari nabi
atau dari yang lainnya, tentu ada dalil pendukungnya, baik dalam bentuk nash
maupun ijma‟.
Dalam bentuk seperti ini adat harus diamalkan secara pasti. Namun bila
tidak terbukti kebenarannya, maka cara tersebut tertolak secara pasti.
Istilah istihsan dikalangan Ulama Hanafiyah sebagaimana yang dikutip
oleh al-Sarkhasi
انعًم باالجتھاد و غائب انزاي فً تقد ٌز يا جعهھ انشز ع يو كو ال نُص انً ارائُا
Beramal dengan ijtihad dan umum pendapat dalam menentukan sesuatu
yang syara' menyerahkannya kepada kita.
اند نٍم انذي ٌكو ٌ يعا رضا نهقٍاس انظا ھز انذي تسبق انٍھ االوھاو قبم اَعاو انتا يم فً حكى انعا
د ة واشبا ھھا يٍ اال صول ٌظھز ھٍ اند نٍم انذي عا رضھقھ فً انقوة فاٌ انعًم بھ ھو انو ا جب
Dalil yang menyalahi qiyas yang zahir yang didahului prasangka sebelumm
diadakan pendalaman terhadap dalil itu namun setelah diadakan penelitian yang
41
mendalam terhadap dalil itu dalam hukum yang berlaku dan dasar-dasar yang
sama dengan itu ternyata bahwa dalil yang menyalahi qiyas itu lebih kuat dan
oleh karenanya wajib diamalkan.
iv. Maslahah Mursalah
Menurut bahasa, kata maslahah berasal dari Bahasa Arab dan telah
dibakukan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi kata maslahah, yang berarti
mendatangkan kebaikan atau yang membawa kemanfaatan dan menolak
kerusakan.1 Menurut bahasa aslinya kata maslahah berasal dari kata salahu,
yasluhu, salahan, صانحا, ٌصهح, صهحartinya sesuatu yang baik, patut, dan
bermanfaat. Sedang kata mursalah artinya terlepas bebas, tidak terikat dengan
dalil agama (al-Qur‟an dan al-Hadits) yang membolehkan atau yang
melarangnya.
Menurut Abdul Wahab Khallaf, maslahah mursalah adalah maslahah di
mana syari‟ tidak mensyari‟atkan hukum untuk mewujudkan maslahah, juga
tidak terdapat dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau pembatalannya.
Sedangkan menurut Muhammad Abu Zahra, definisi maslahah mursalah adalah
segala kemaslahatan yang sejalan dengan tujuan-tujuan syari‟(dalam
mensyari‟atkan hukum Islam) dan kepadanya tidak ada dalil khusus yang
menunjukkan tentang diakuinya atau tidaknya.
Dengan definisi tentang maslahah mursalah di atas, jika dilihat dari segi
redaksi nampak adanya perbedaan, tetapi dilihat dari segi isi pada hakikatnya
ada satu kesamaan yang mendasar, yaitu menetapkan hukum dalam hal-hal
yang sama sekali tidak disebutkan dalam al-Qur-an maupun al-Sunnah, dengan
pertimbangan untuk kemaslahatan atau kepentingan hidup manusia yang
bersendikan pada asas menarik manfaat dan menghindari kerusakan.
Sumber asal dari metode maslahah mursalah adalah diambil dari al-Qur‟an
maupun al-Sunnah yang banyak jumlahnya, seperti pada ayat-ayat berikut:
QS. Yunus: 57
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran
dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam
dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman”. (QS.
Yunus: 57)
QS. Al-Baqarah: 220
42
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah:
"Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul
dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu dan Allah mengetahui siapa
yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau
Allah menghendaki, niscaya dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Baqarah:
220
Sedangkan nash dari al-Sunnah yang dipakai landasan dalam
mengistimbatkan hukum dengan metode maslahah mursalah adalah Hadits
Nabi Muhammad SAW, yang diriwayatkan oleh Ibn Majjah yang berbunyi :
Arinya: Muhammad Ibn Yahya bercerita kepada kami, bahwa Abdur Razzaq
bercerita kepada kita, dari Jabir al-Jufiyyi dari Ikrimah, dari Ibn Abbas:
Rasulullah SAW bersabda, “ tidak boleh membuat mazdarat (bahaya) pada
dirinya dan tidak boleh pula membuat mazdarat pada orang lain”. (HR. Ibn
Majjah)
Atas dasar al-Qur‟an dan al-Sunnah di atas, maka menurut Syaih
Izzuddin bin Abdul Salam, bahwa maslahah fiqhiyyah hanya dikembalikan
kepada dua kaidah induk, yaitu: د رء انًفاسد. Menolak segala yang rusak atau
جهب انًصانحmenarik segala yang bermasalah. Sementara itu Prof. Dr. Hasbi
Asy-Siddieqy mengatakan bahwa kaidah kully di atas, pada perkembangan
berikutnya dikembangkan menjadi beberapa kaidah pula, diantaranya adalah:
o Sesungguhnya kemazdaratan itu harus dihilangkan
o Sesunggunhnya kemazdaratan itu tidak boleh dihilangkan dengan
membuat kemazdaratan pula
o Sesungguhnya menolak kemazdaratan harus didahulukan atas menarik
kemaslahatan
o Sesungguhnya kemazdaratan yang khusus harus dipikul untuk menolak
kemazdaratan umum.
o Sesungguhnya harus dikerjakan (dilakukan) kemazdaratan yang lebih
ringan dari kedua kemazdaratan.
o Sesungguhnya segala yang darurat (yang terpaksa dilakukan)
membolehkan yang terlarang.
o Sesungguhnya hajat itu di tempatkan di tempat darurat 8. Sesungguhnya
kepicikan itu harus dihilangkan
43
o Sesungguhnya kesukaran itu mendatangkan sikap kemudahan
Untuk menjaga kemurnian metode maslahah mursalah sebagai landasan
hukum Islam, maka harus mempunyai dua dimensi penting, yaitu sisi pertama
harus tunduk dan sesuai dengan apa yang terkandung dalam nash (alQur‟an
dan al-Hadits) baik secara tekstual atau kontekstual. Sisi kedua harus
mempertimbangkan adanya kebutuhan manusia yang selalu berkembang
sesuai zamannya. Kedua sisi ini harus menjadi pertimbangan yang secara
cermat dalam pembentukan hukum Islam, karena bila dua sisi di atas tidak
berlaku secara seimbang, maka dalam hasil istinbath hukumnya akan menjadi
sangat kaku disatu sisi dan terlalu mengikuti hawa nafsu disisi lain. Sehingga
dalam hal ini perlu adanya syarat dan standar yang benar dalam menggunakan
maslahah mursalah baik secara metodologi atau aplikasinya.
4) Rangkuman Materi
Sumber Hukum Islam ialah segala sesuatu yang dijadikan pedoman atau yang
menjadi sumber syari‟at islam yaitu Al-Qur‟an dan Hadist Nabi Muhammad (Sunnah
Rasulullah SAW). adapun sumber Hukum Islam yang mashur di sepakti ulama : Al-
quran, As sunnah (hadist), Ijtihad ( ijma, qiyas, Maslahar mursalah)
44
5) Daftar Referensi
Dr. Dawud al-Aththar, Mujaz „Ulum al-Qur‟an, alih bahasa oleh Afif Muhammad dan
Ahsin Muhammad (Bandung: PUSTAKA HIDAYAH, 1994).
Jaluluddin as-Suyuti, Al-Itqan Fi Umu Al-Qur‟an, (Kairo: Dar as-Salam, 2003), jilid
II, )
Ash Shieddieqy, M. Hasbi, Sejarah Dan Pengantar ilmu Al-Qur'an, Bulan Bintang,
Jakarta, I 982
Hasbi Ash shiddieqiy, Ilmu-ilmu al-Qur‟an, (Semarang: PT. PUSTAKA RIZKI
PUTRA, 2002).
Rosihon Anwar, Ulumul Quran (Bandung: Pustaka Setia, 2006).
6) Soal Latihan
1) Al quran adalah sumber hukum Islam yang utama, jelaskan bagaimana al quran di
wahyukan.
2) Jelaskan fungsi al quran diturunkan ke dunia
3) As Sunnah adalah sumber hukum islam kedua setelah al quran, apa yang ada
fahami tentang As sunnah
4) Ijtihad adalah sumber hukum islam ketiga setelah As sunnah, jelaskan pengertian
ijtihad dan apa saja metodologi ijtihad tersebut
5) Ijma adalah salah satu metode ijtihad, apa yang anda ketahui tentang Ijma dan
sebutkan ijma masa kini
45
MODUL III
PETUNJUK MATERI
A. Deskripsi Materi
Modul III ini akan membahas tentang Kerangka Dasar Agama Islam, bagi kita umat
Islam memahami agama ini seperti memahami konstruksi bangunan rumah, dimana
ada pondasi, tiang, dan atap assesorisnya. Kerangka Dasar Agama Islam yang
dimaksud adalah Aqidah, Syariah, dan Akhlak, ketiganya penting dan tidak bisa
saling dipisahkan.
C. Capaian Pembelajaran
Capaian Pembelajaran Mata Kuliah
Mampu menjelaskan sumber, kerangka dasar ajaran agama, konsep ibadah dan spirit
religiusitas dalam bekerja sesuai agama Islam.
46
KERANGKA DASAR AGAMA ISLAM
Kerangka dasar dapat diartikan sebagai garis besar suatu pembicaraan atau rute
perjalanan yang akan ditempuh atau bagian-bagian pokok yang menyangga suatu
bangunan (AS Hornby, 1987:804 dan John M. Echols dalam Hassan Shadily,
1987:255)Ajaran Islam ialah sekumpulan pesan ketuhanan yang diterima oleh Nabi
Muhammad SAW (571-632 M) untuk disampaikan kepada manusia sebagai petunjuk
perjalanan hidupnya semenjak lahir hingga mati (Syaltout, 1983:25). Dengan
demikian, pengertian kerangka dasar ajaran Islam adalah gambaran asli, garis besar,
rute perjalanan, atau bagian pokok dari pesan ketuhanan yang disampaikan Nabi
Muhammad SAW kepada manusia.
Kerangka dasar ajaran Islam sangat terkait erat dengan tujuan ajaran Islam. Secara
umum tujuan pengajaran Islam atau Pendidikan Agama Islam (PAI), khususnya di
perguruan tinggi adalah membina mahasiswa agar mampu memahami, menghayati,
meyakini, dan mengamalkan ajaran Islam sehingga menjadi insan Muslim yang
beriman, bertakwa kepada Allah Swt., dan berakhlak mulia. Untuk mencapai tujuan
tersebut, maka kerangka dasar ajaran Islam meliputi tiga konsep kajian pokok, yaitu
aqidah, syariah, dan akhlak. Tiga kerangka dasar ajaran Islam ini sering juga disebut
dengan tiga ruang lingkup pokok ajaran Islam atau trilogi ajaran Islam.
Kalau dikembalikan pada konsep dasarnya, tiga kerangka dasar Islam di atas
berasal dari tiga konsep dasar Islam, yaitu iman, islam, dan ihsan. Ketiga konsep dasar
Islam ini didasarkan pada hadis Nabi saw. yang diriwayatkan dari Umar Ibn
Khaththab. Hadis ini menceritakan dialog antara Malaikat Jibril dengan Nabi saw.
Jibril bertanya kepada Nabi tentang ketiga konsep tersebut, pertamatama tentang
konsep iman yang dijawab oleh Nabi dengan rukun iman yang enam, yaitu iman
kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasulnya, Hari Akhir, dan Qadla
dan Qadar-Nya. Jibril lalu bertanya tentang islam yang dijawab dengan rukun Islam
47
yang lima, bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan puasa di bulan
Ramadhan, dan haji ke Baitullah bagi yang mampu..
Kemudian Jibril bertanya tentang konsep ihsan yang dijawab dengan rukun ihsan,
yaitu menyembah (beribadah) kepada Allah seolah-olah melihat-Nya, dan jika tidak
bisa melihat Allah, harus diyakini bahwa Dia selalu melihatnya. Berdasarkan hadis di
atas, dapat dipahami bahwa rukun atau kerangka dasar ajaran Islam itu ada tiga, yaitu
iman, islam, dan ihsan. Dari tiga konsep dasar ini para ulama mengembangkannya
menjadi tiga konsep kajian. Konsep iman melahirkan konsep kajian aqidah; konsep
islam melahirkan konsep kajian syariah; dan konsep ihsan melahirkan konsep kajian
akhlak. Penjelasan ketiga konsep kajian ini dapat dilihat di bawah ini.
2. Akidah
Aqidah atau sistem keyakinan Islam dibangun atas dasar enam keyakinan atau yang
biasa disebut dengan rukun iman yang enam. Adapun kata iman, secara etimologis,
berarti percaya atau membenarkan dengan hati. Sedang menurut istilah syara‟, iman
berarti membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lidah, dan melakukan dengan
anggota badan.
Dengan pengertian ini, berarti iman tidak hanya terkait dengan pembenaran dengan
hati atau sekedar meyakini adanya Allah saja, misalnya. Iman kepada Allah berarti
meyakini bahwa Allah itu ada; membuktikannya dengan ikrar syahadat atau
mengucapkan kalimat-kalimat dzikir kepada Allah; dan mengamalkan semua perintah
Allah dan menjauhi semua larangan-Nya.
Inilah makna iman yang sebenarnya, sehingga orang yang beriman berarti orang
yang hatinya mengakui adanya Allah (dzikir hati), lidahnya selalu melafalkan kalimat-
48
kalimat Allah (dzikir lisan), dan anggota badannya selalu melakukan perintah-perintah
Allah dan menjauhi semua larangan-Nya (dzikir perbuatan). Dari uraian di atas dapat
juga dipahami bahwa iman tidak hanya tertumpu pada ucapan lidah semata. Kalau iman
hanya didasarkan pada ucapan lidah semata, berarti iman yang setengah-setengah atau
imannya orang munafiq seperti yang ditegaskan al-Quran dalam surat al-Baqarah (2)
ayat 8-9
3. Syari’ah
Secara etimologis, syariah berarti jalan ke sumber air atau jalan yang harus diikuti,
yakni jalan ke arah sumber pokok bagi kehidupan. Orang-orang Arab menerapkan
istilah ini khususnya pada jalan setapak menuju palung air yang tetap dan diberi tanda
yang jelas terlihat mata (Ahmad Hasan, 1984: 7). Adapun secara terminologis syariah
berarti semua peraturan agama yang ditetapkan oleh Allah untuk kaum Muslim baik
yang ditetapkan dengan al-Quran maupun Sunnah Rasul (Muhammad Yusuf Musa,
1988: 131). Mahmud Syaltut mendefinisikan syariah sebagai aturan-aturan yang
disyariatkan oleh Allah atau disayariatkan pokokpokoknya agar manusia itu sendiri
menggunakannya dalam berhubungan dengan Tuhannya, dengan saudaranya sesama
Muslim, dengan saudaranya sesama manusia, dan alam semesta, serta dengan
kehidupan (Syaltut, 1966: 12). Syaltut menambahkan bahwa syariah merupakan cabang
dari aqidah yang merupakan pokoknya. Keduanya mempunyai hubungan yang sangat
erat yang tidak dapat dipisahkan. Aqidah merupakan fondasi yang dapat membentengi
syariah, sementara syariah merupakan perwujudan dari fungsi kalbu dalam beraqidah
(Syaltut, 1966: 13).
49
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa kajian syariah tertumpu pada masalah
aturan Allah dan Rasul-Nya atau masalah hukum. Aturan atau hukum ini mengatur
manusia dalam berhubungan dengan Tuhannya (hablun minallah) dan dalam
berhubungan dengan sesamanya (hablun minannas). Kedua hubungan manusia inilah
yang merupakan ruang lingkup dari syariah Islam. Hubungan yang pertama itu
kemudian disebut dengan ibadah, dan hubungan yang kedua disebut muamalah. Ibadah
mengatur bagaimana manusia bisa berhubungan dengan Allah. Dalam arti yang khusus
(ibadah mahdlah), ibadah terwujud dalam rukun Islam yang lima, yaitu mengucapkan
dua kalimah syahadah (persaksian), mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di
bulan Ramadhan, dan pergi haji bagi yang mampu. Sedang muamalah bisa dilakukan
dalam berbagai bentuk aktivitas manusia dalam berhubungan dengan sesamanya.
Ilmu fikih ini mengkaji konsep-konsep syariah yang termuat dalam al-Quran dan
Sunnah dengan melalui ijtihad. Dengan ijtihad inilah syariah dikembangkan lebih rinci
dan disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat
manusia. Sebagaimana dalam kajian aqidah, kajian ilmu fikih ini juga menimbulkan
berbagai perbedaan yang kemudian dikenal dengan mazhab-mazhab fikih. Jika aqidah
merupakan konsep kajian terhadap iman, maka syariah merupakan konsep kajian
terhadap islam. Islam yang dimaksud di sini adalah islam sebagaimana yang dijelaskan
dalam hadis Nabi saw. yang di riwayatkan oleh Umat Ibn Khaththab sebagaimana yang
diungkap di atas.
50
4. Akhlak
Akhlak merupakan salah satu dari tiga kerangka dasar ajaran Islam yang juga
memiliki kedudukan yang sangat penting. Akhlak merupakan buah yang dihasilkan dari
proses menerapkan aqidah dan syariah. Ibarat bangunan, akhlak merupakan
kesempurnaan dari bangunan tersebut setelah fondasi dan bangunannya kuat. Jadi, tidak
mungkin akhlak ini akan terwujud pada diri seseorang jika dia tidak memiliki aqidah
dan syariah yang baik. Akhir-akhir ini istilah akhlak lebih didominasi istilah karakter
yang sebenarnya memiliki esensi yang sama, yakni sikap dan perilaku seseorang.
Kata akhlak yang berasal dari bahasa Arab al-akhlaq (yang berarti tabiat, perangai,
dan kebiasaan) banyak ditemukan dalam hadis Nabi saw. Salah satunya adalah.
Sedangkan dalam al-Quran hanya ditemukan bentuk tunggal dari akhlaq yaitu
khuluq (QS. al-Qalam (68): 4).
Khuluq adalah ibarat dari kelakuan manusia yang membedakan baik dan buruk, lalu
disenangi dan dipilih yang baik untuk dipraktekkan dalam perbuatan, sedang yang
buruk di benci dan dihilangkan (Ainain, 1985: 186). Dalam khazanah perbendaharaan
bahasa Indonesia kata yang setara maknanya dengan akhlak adalah moral, etika, nilai,
dan karakter. Kata-kata ini sering disejajarkan dengan budi pekerti, tata susila, tata
krama atau sopan santun (Faisal Ismail, 1998: 178). Pada dasarnya secara konseptual
kata etika dan moral mempunyai pengertian serupa, yakni sama-sama membicarakan
perbuatan dan perilaku manusia ditinjau dari sudut pandang nilai baik dan buruk. Akan
tetapi dalam aplikasinya etika lebih bersifat teoritis filosofis sebagai acuan untuk
mengkaji sistem nilai, sedang moral bersifat praktis sebagai tolok ukur untuk menilai
perbuatan yang dilakukan oleh seseorang (Muka Sa‟id, 1980: 23-24). Etika memandang
perilaku secara universal, sedang moral memandangnya secara lokal.
Baik dan buruk akhlak manusia sangat tergantung pada tata nilai yang dijadikan
pijakannya. Abul A‟la al-Maududi membagi sistem moralitas menjadi dua. Pertama,
sistem moral yang berdasar kepada kepercayaan kepada Tuhan dan kehidupan setelah
mati. Kedua, sistem moral yang tidak mempercayai Tuhan dan timbul dari sumber-
sumber sekuler (al-Maududi, 1971: 9). Sistem moral yang berdasar pada gagasan
keimanan pada Tuhan dan akhirat dapat ditemukan pada sistem moral Islam. Hal ini
karena Islam menghendaki dikembangkannya al-akhlaq al-karimah yang pola
perilakunya dilandasi dan mewujudkan nilai Iman, Islam, dan Ihsan. Iman sebagai al-
quwwah al-dakhiliyyah, kekuatan dari dalam yang membimbing orang terus
bermuraqabah (mendekatkan diri kepada Tuhan) dan muhasabah terhadap perbuatan
51
yang akan, sedang, dan sudah dikerjakan. Dan ubudiyah adalah merupakan jalan untuk
merealisasikan tujuan akhlak. Cara pertama untuk merealisasikan akhlak bahkan hanya
dengan mengikatkan jiwa dengan ukuran-ukuran peribadatan kepada Allah. Akhlak
tidak akan nampak dalam perilaku tanpa mengikuti aturanaturan yang ditetapkan oleh
Allah Swt. (Hawa, 1977: 72).
Aqidah, Syari‟ah, dan Akhlaq pada dasarnya merupakan satu kesatuan dalam
ajaran Islam. ketiga unsur tersebut dapat dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan.
Aqidah sebagai sistem kepercayaan yang bermuatan elemen – elemen dasar
keyakinan, menggambarkan sumber dan hakikat keberadaan agama. Sementara syari‟ah
sebagai sistem nilai berisi peraturan yang menggambarkan fungsi agama. Sdangkan
akhlaq sebagai sistem etika menggambarkan arah dan tujuan yuang hendak dicapai
agama.
Oleh karena itu, ketiga komponen tersebut seyogyanya terintegrasi dalam diri
seorang muslim. Integrasi ketiga komponen tersebut dalam ajaran Islam ibarat sebuah
pohon. Akarnya adalah aqidah, sementar batang, dahan, dan daunnya adalah syari‟ah,
sedangkan buahnya adalah aqidah. Muslim yang baik adalah orang yang memiliki
aqidah yang lurus dan kuat yang mendorongnya untuk melaksanakan syari‟ah yang
hanya ditujukan kepada Allah sehingga tergambar akhlaq yang terpuji Atas dasar
hubungan itu, maka Seseorang yang melakukan suatu perbuatan baik, tetapi tidak
dilandasi oleh aqidah , maka orang itu termasuk dalam kategori kafir. Seseorang yang
mengaku beraqidah, tetapi tidak mau melaksanakan syari‟ah, maka orang itu disebut
fasik Seseorang yang mengaku beraqidah dan melaksanakan syari‟ah, tetapi dengan
landasan aqidah yang tidak lurus, maka orang itu disebut munafik Seseorang yang
melakukan perbuatan baik, tetapi tidak dilandasi aqidah, maka perbuatannya hanya
dikategorikan sebagai perbuatan baik.
Perbuatan baik adalah perbuatan yang sesuai dengan nilai- nilai kemanusiaan,
tetapi belum tentu dipandang benar menurut Allah. Perbuatan baik yang didorong oleh
keimanan terhadap Allah sebagai wujud pelaksanaan syari‟ah disebut sebagai amal
sholeh. Oleh karena itu, dala Al-Qur‟an kata amal sholeh selalu diawali dengan kata
iman, antar lain dalam QS. An-Nur, ayat 55.
Saya Telah Belajar
(Tuliskan poin-poin inti dari materi yang telah dipelajari)
52
5. Rangkuman Materi
Kerangka dasar ajaran Islam merupakan dasar-dasar pokok ajaran Islam yang
membekali setiap orang untuk bisa mempelajari Islam yang lebih luas dan mendalam.
Memahami dan mengamalkan kerangka dasar ajaran Islam merupakan keniscayaan
bagi setiap Muslim yangmenginginkan untuk menjadi seorang Muslim yang kaffah.
Tiga kerangka dasar Islam, yaitu aqidah, syariah, dan akhlak, tidak bisa dipisah-
pisahkan. Karena itu, tidak dimungkinkan bagi seorang Muslim memilih sebagiannya
dan meninggalkan sebagiannya yang lain. Sebagai generasi muda Islam yang masih
memiliki waktu yang panjang, hendaknya para mahasiswa Muslim menyadari hal
tersebut, sehingga termotivasi untuk mendalami ajaran Islam yang utuh dan bisa
mengamalkan ajaran-ajaran Islam dengan baik dan benar. Dengan bekal ajaran Islam
yang cukup, diharapkanaktivitas yang dilakukan, terutama aktivitas ibadah, menjadi
berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkannya di hadapan Allah Swt. Untuk
menghasilkan akhlak atau karakter mulia – yang merupakan cita-cita setiap Muslim,
juga salah satu tujuan pendidikan nasional Indonesia – dalam konsep Islam harus
dimulai dari membangun fondasi yang kuat, yakni mendasari dengan akidah atau iman
yang kokoh. Dengan iman yang kokoh pasti akan tumbuh semangat yang tinggi untuk
melaksanakan seluruh aturan Allah baik yang ada dalam al-Quran maupun Sunnah,
baik yang terkait dengan ibadah maupun muamalah, dengan baik dan penuh
keikhlasan semata-mata karena Allah, tanpa ada tendensi lainnya. Jika semua aturan
Allah ditaati dan dilaksanakan pastilah akan terwujud akhlak atau karakter mulia pada
diri seseorang. Karena itu, pemahaman yang benar akan konsep dasar Islam menjadi
sangat penting untuk membangun komitmen moral untuk melaksanakan seluruh ajaran
Islam.
6. Daftar Referensi
Syaikh Mahmoud Syaltout, Islam sebagai Aqidah dan Syari‟ah (1) (Jakarta: Bulan
Bintang, 1967) Hlm. 28-29 7
Ibnu Taimiyah, Aqidah Islam Menurut Ibnu Taimiyah, Terj. (Bandung: Al-Ma‟arif,
1983).
Sayid Sabiq, Aqidah Islam: Suatu Kajian yang Memposisikan Akal Sebagai Mitra
Wahyu, (Al-Ikhlas, Surabaya: 1996),
53
7. Soal Latihan
1) Jelaskan apa yang dimaksud dengan kerangka dasar ajaran Islam
2) Sebutkan dan jelaskan hadis Nabi saw. yang menjelaskan adanya tiga konsep
dasar Islam.
3) Diskusikan dengan teman Saudara, apa hubungan dari ketiga dasar ajaran Islam
dan bagaimana Saudara dapat mewujudkan karakter mulia dengan mendasarkan
pada konsep kerangka dasar ajaran Islam?
54
MODUL IV
PETUNJUK MATERI
A. Deskripsi Materi
Modul IV membahas tentang Ibadah dalam Agama Islam, meskipun telah lama kita
berIslam, dalam banyak hal masih banyak orang Islam yang belum sepenuhnya
faham dengan konsep ibadah dalam Islam. Materi ini akan memberi bekal bagi
Mahasiswa untuk faham dengan benar konsepsi ibadah dalam Islam, sehingga dalam
mempraktikan ibadah kepada Allah dalam kesehariannya dalam dilakukan dengan
benar dan istiqomah.
C. Capaian Pembelajaran
Capaian Pembelajaran Mata Kuliah
Mampu menjelaskan sumber, kerangka dasar ajaran agama, konsep ibadah dan spirit
religiusitas dalam bekerja sesuai agama Islam
55
IBADAH DALAM AGAMA ISLAM
1. Pengertian Ibadah
Ibadah secara etimologis berasal dari bahasa arab yaitu يعبد – عبادة- عبدyang
artinya melayani, patuh, tunduk. Sedangkan menurut terminologis adalah sebutan yang
mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai allah azza wa jalla, baik berupa
ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin1.
Ibadah pada hakekatnya adalah sikap tunduk semata-mata mengagungkan Dzat
yang disembah.Abu A‟la Al-Maududi menyatakan bahwa ibadah dari akar kata“Abd”
yang artinya pelayan dan budak.Jadi hakekat ibadah adalah penghambaan dan
perbudakan. Sedangkan dalam arti etimologi adalah penghambaan dan perbudakan, dan
arti terminologinya adalah usaha mengikuti hukum-hukum dan aturan-aturan Allah
dalam menjalankan kehidupan yang sesuai dengan perintah-perinyah-Nya, mulai akil
baligh sampai meninggal dunia. Indikasi ibadah adalah kesetiaan, kepatuhan dan
penghormatan serta penghargaan kepada Allah SWT serta dilakukan tanpa adanya
batasan waktu.
Ibadah merupakan bentuk integral dari syari‟at, sehingga apapun ibadah yang
dilakukan oleh manusia harus bersumber dari syari‟at Allah SWT, semua tindakan
ibadah yang tidak didasari oleh syari‟at islam maka hukumnya bid‟ah. dan ibadah tidak
hanya sebatas menjalankan rukun islam saja, tetapi ibadah juga berlaku bagi semua
aktivitas duniawi yang didasari dengan rasa ikhlas untuk mencapai ridho Allah SWT.
Ibadah adalah buah dari keimanan kepada Allah, dengan segala sifat-sifat
kesempurnaan-Nya.
Seseorang yang beriman menyakini bahwa adanya segala yang ada dalam sifat-
sifat kesempurnaan Allah, maka dia akan menyembah Allah. Ibadah juga diartikan
tunduk dan berhina diri kepada Allah SWT yang disebabkan karena kesadaran bahwa
Allah yang menciptakan alam ini, yang menumbuhkan, yang mengembangkan, yang
menjaga dan memelihara serta yang membawanya dari suatu keadaan kepada keadaan
yang lain. Ibadah itu timbul dari perasaan tauhid, maka orang yang suka memikirkan
keadaan alam, memperhatikan perjalanan bintang-bintang, kehidupan tumbuh-
tumbuhan, binatang dan manusia, bahkan mau memperhatikan dirinya sendiri, Maka
akan timbul dalam sanubarinya perasaan bersyukur dan berhutang budi kepada Allah
SWT Yang Maha Kuasa, Maha Pengasih dan Maha Mengetahui.
Maka perasaan inilah yang menggerakkan bibir seseorang selalu bersyukur dan
memuji Allah SWT, serta mendorong jiwa dan raganya untuk menyembah dan berhina
diri kepada Allah SWT.Tetapi ada juga manusia yang tidak mau berfikir, dan tidak sadar
56
akan kebesaran dan kekuasaan Allah, sering melupakan-Nya, sebab itulah maka tiap-tiap
agama disyari‟atkan bermacam-macam ibadah, agar dapat meng- ingatkan manusia
kepada kebesaran dan kekuasaan Allah SWT.
Dari keterangan diatas maka jelaslah bahwa tauhid dan ibadah itu tidak bisa
dipisahkan, keduanya saling mempengaruhi,dengan arti: tauhid menumbuhkan ibadah
dan ibadah memupuk tauhid.
2. Macam-macam Ibadah
Menurut Siti Musdiah Mulia dalam bukunya menyelami seluk beluk ibadah dalam
islam, secara garis besar ibadah dapat dibagi menjadi dua macam:
1. Ibadah khassah (khusus) atau ibadah mahdhah (ibadah yang ketentuannya pasti)
yakni, ibadah yang ketentuan dan pelaksanaan nya telah ditetapkan oleh nash dan
merupakan sari ibadah kepada Allah SWT. seperti shalat, puasa, zakat dan haji
2. Ibadah „ammah (umum), yakni semua perbuatan yang mendatangkan kebaikan dan
dilaksanakan dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT. seperti minum, makan,
dan bekerja mencari nafkah
Pengaturan hubungan manusia dengan Allah telah diatur dengan secukupnya,
sehingga tidak mungkin berubah sepanjang masa. Hubungan manusia dengan Allah
merupakan ibadah yang langsung dan sering disebut dengan „Ibadah Mahdhah
penggunaan istilah bidang „Ibadah Mahdhah dan bidang „Ibadah Ghairu Mahdhah atau
bidang „Ibadah dan bidang Muamalah, tidaklah dimaksudkan untuk memisahkan kedua
bidang tersebut, tetapi hanya membedakan yang diperlukan dalam sistematika
pembahasan ilmu.
57
3. Tujuan dan Syarat Ibadah
A. Tujuan Ibadah
Makna sesungguhnya dalam ibadah ketika seseorang diciptakan maka tidak
semata- mata ada di dunia ini tanpa ada tujuan di balik penciptaannya tersebut
Menumbuhkan kesadaran diri manusia bahwa ia adalah makhluk Allah SWT. yang
diciptakan sebagai insan yang mengabdi kepada- Nya. Hal ini seperti firman Allah
SWT. dalam QS Al- Dzariyat [51]:56:
ُ ُ ْ َ َّ َ ْ ْ َ َّ ْ ُ ْ َ َ َ َ
ون
ِ اْلن س ِإ َّل ِل ي ع ب د
ِ وم ا خ ل ق ت ال ِج ن و
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku.
Artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan
supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah
agama yang lurus.
Serta masih banyak lagi ayat yang menjelaskan bahwasanya tujuan utama
manusia diciptakan di bumi ini untuk beribadah hanya kepada Allah sedangkan
tujuan yang lain adalah sebagai pelengkap atas tujuan utama diatas. Lalu apabila
tujuan manusia untuk beribadah kepada Allah semata, bagaimana manusia dapat
menjalankan kehidupannya sebagai makhluk sosial.
Ibadah tidak hanya terbatas kepada sholat, puasa ataupun membaca Al qur‟an
tetapi ibadah juga berarti segala sesuatu yang disukai Allah dan yang diridlai- Nya,
baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik terang- terangan maupun diam-
diam Pada dasarnya, tujuan akal dan pikiran adalah baik dan benar. Akan tetapi
sebelum jalan akal dan fikiran itu diarahkan dengan baik, kebenaran dan
kehendaknya itu belum tentu baik dan benar menurut Allah. Oleh sebab itulah
manusia diberi beban atau taklif, yaitu perintah- perintah dan larangan- larangan
menurut agama Allah SWT, yaitu agama Islam. Gunanya ialah untuk memperbaiki
jalan akal pikirannya.
Adapun disamping keterangan diatas secara ringkas tujuan ibadah dalam Islam
yaitu; (a) Untuk memperkuat keyakinan dan pengabdian kepada Allah. (b) Untuk
menguatkan karakter, mendisiplinkan diri dan peranannya sebagai wakil dan hamba
58
yang dipercaya Allah di bumi. (c) Untuk memperkuat tali persaudaraan dan kasih
sayang diantara sesama muslim. (d) Di samping latihan spiritual, juga merupakan
latihan moral.
B. Syarat Ibadah
Ibadah merupakan perkara yang sakral. Artinya tidak ada suatu bentuk ibadah pun
yang disyariatkan kecuali berdasarkan al- Qur‟an dan sunnah. Semua bentuk ibadah
harus memiliki dasar apabila ingin melaksanakannya karena apa yang tidak
disyariatkan berarti bid‟ah, sebagaimana yang telah diketahui bahwa setiap bid‟ah
adalah sesat sehingga mana mungkin kita melaksanakan ibadah apabila tidak ada
pedomannya? Sudah jelas, ibadah tersebut akan ditolak karena tidak sesuai dengan
tuntunan dari Allah maupun Rasul Nya.
Menurut Syaikh Dr.shalih bin Fauzan bin Abdulah, “ amalnya ditolak dan tidak
diterima, bahkan ia berdosa karenanya, sebab amal tersebut adalah maksiat, bukan
taat”.
Agar bisa diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak benar
terkecuali dengan ada syarat:
a) Ikhlas, artinya hendaklah ibadah yang kita kerjakan itu bukan mengharap
pemberian dari Allah, tetapi semata- mata karena perintah dan ridha- Nya.
Juga bukan karena mengharapkan surga bukan pula takut kepada neraka
karena surga dan neraka itu tdak dapat menyenangkan atau menyiksa tanpa
seizin Allah.
b) Meninggalkan riya‟, artinya beribadah bukan karena malu kepada manusia
atau supaya dilihat orang lain
c) Bermuraqabah, artinya yakin bahwa Tuhan itu selalu melihat dan ada
disamping kita sehingga kita bersikap sopan kepada- Nya.
d) Jangan keluar dari waktu nya, artinya mengerjakan ibadah dalam waktu
tertentu, sedapat mungkin dikerjakan di awal waktu
59
4. Rangkuman Materi
Ibadah dapat dibagi menjadi dua yaitu umum dan khusus. Ibadah umum
artinya segala amalan yang diizinkan Allah. Sedangkan ibadah yang khusus
merupakan apa yang ditetapkan Allah akan perincian-perincian-Nya, tingkah
laku dan dengan cara-cara tertentu. Dari uraian tersebut makna ibadah dapat
dipahami sebagai taat yang disertai ketundukan dan kepatuhan kepada Allah
SWT., dengan menjalankan segala yang dicintai dan diridhai-Nya, melalui
perkataan maupun perbuatan, baik yang bersifat lahiriah maupun yang bersifat
batiniah. Sedang ritual adalah perilaku yang diatur secara ketat yang dilakukan
sesuai dengan ketentuan yang berbeda dengan perilaku sehari-hari, baik cara
melakukan maupun maknanya Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa
pelaksanaan ibadah ritual berpengaruh terhadap akhlak karimah, karena ibadah
yang baik tanpa akhlak yang mulia ibadah itu tidak akan berguna. Dan
sebaliknya, akhlak yang baik tanpa pengamalan ibadah belum bisa dikatakan
iman yang sempurna. Ibadah ritual merupakan ibadah yang dengannya seorang
hamba berhubungan langsung dengan Allah.
Disamping itu tata cara ibadah ritual telah diatur secara terperinci dalam
al-Quran maupun Sunnah Nabi, yang tercakup dalam ibadah ritual ini, misalnya
shalat dan puasa. Selain merupakan kewajiban, ibadah adalah sarana yang
efektif untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah. Akhlak adalah suatu
kekuatan yang timbul dari dalam jiwa atau diri yang tercermin dari tingkah laku
lahir tanpa memerlukan pertimbangan terlebih dahulu, yang dalam
pelaksanaannya sudah menjadi kebiasaan. Apabila perbuatan spontan itu baik
menurut agama dan akal maka itu disebut akhlak yang baik, dan begitu pula
sebaliknya.
Kedudukan akhlak dalam kehidupan manusia menempati tempat yang
sangat penting sekali, baik sebagai individu maupun sebagai anggota
masyarakat. Sebab jatuh bangunya suatu bangsa akan tergantung pada
bagaimana akhlak warganya. Seorang yang berakhlak mulia, selalu
melaksanakan kewajiban-kewajibannya, memberikan hak yang harus diberikan
kepada yang berhak. Kewajiban terhadap dirinya sendiri, terhadap Tuhannya,
terhadap manusia maupun terhadap alam sekitarnya.
5. Daftar Referensi
Hassan Saleh, (ed.), Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer, (Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2008.
Ibnu Mas‟ud dan Zaenal Abidin S, Fiqh Madzhab Syafi‟i, ( Bandung: cv
Pustaka Setia, 2007),
60
Abdurrahman, Fadh bin Sulaiman al-Rumi. 1992. Konsep Salat Menurut al-
Qur‟an, Telaah Kritis Tentang Fiqh Salat, Alih Bahasa Abdullah Abbas,
Firdaus, Jakarta
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1954. Kuliah Ibadah. Semarang: Pustaka Rizki Putra
6. Soal Latihan
1. Jelaskan pengertian ibadah secara etimologi dan terminology, dan apa
kesimpulan yang bisa anda ambil dari pengertian ibadah tersebut?
2. Jelaskan macam-macam ibadah dalam agama Islam dan sebutkan contoh-
contohnya?
3. Jelaskan tujuan ibadah dalam Agama Islam?
4. Jelaskan Syarat-syarat dalam beribadah yang benar?
61
MODUL V
PETUNJUK MATERI
A. Deskripsi Materi
Materi akan membahas tentang nilai-nilai religiusitas yang sebenarnya dimiliki secara
fitrah sebagai karunia Allah SWT kepada setiap manusia, Islam mengarahkan fitrah
ini dalam koridor syariat yakni religiusitas seseorang yang didasarkan pada ajaran
agama Islam. Anda akan masuk pada pembahasan untuk melihat segala sesuatu
dalam kehidupan ini bersumber pada Allah SWT, termasuk dalam bekerja harus
memiliki nilai religiusitas Islam.
C. Capaian Pembelajaran
Capaian Pembelajaran Mata Kuliah
Mampu menjelaskan sumber, kerangka dasar ajaran agama, konsep ibadah dan spirit
religiusitas dalam bekerja sesuai agama masing-masing
62
RELIGIUSITAS BEKERJA DALAM ISLAM
63
praktek agama (ritual dan ketaatan), dimensi pengalaman, dimensi pengetahuan
agama, dimensi pengamalan atau konsekuensi. (Ancok, 1994, 76)
Konsep religiusitas dalam Islam merupakan esensi keberagamaan terkait
ketauhidan atau pengesaan Tuhan, tindakan yang menegaskan Allah sebagai Yang
Esa, Pencipta yang Mutlak dan Transenden, Penguasa segala yang Ada. Tidak ada satu
pun perintah dalam islam yang bisa dilepaskan dari Tauhid. Seperti dikatakan oleh
Ismail Raji al-Faruqi yang dikutip Djamaluddin bahwa, kewajiban untuk menyembah
Tuhan, mematuhi perintah-perintah-Nya, dan menjauhi larangan-larangan-Nya, akan
hancur begitu Tauhid dilanggar (Ancok, 1994, 79). Ini artinya bahwa tauhid adalah
intisari Islam, dan suatu tindakan tak dapat disebut sebagai bernilai Islam tanpa
dilandasi oleh kepercayaan kepada Allah. Selain tauhid atau akidah, pokok pondasi
Islam adalah Syariah dan Akhlaq. Dimana ketiga bagian tersebut antara satu dengan
yang lainnya saling berhubungan.
Sehingga kalau melihat konsep religiusitas versi Glock & Stark, walau tidak
sepenuhnya sama, maka dimensi keyakinan (ideological) dapat disejajarkan dengan
akidah, yang menunjuk pada seberapa tingkat keyakinan Muslim terhadap ajaran
agamanya, terutama terhadap ajaran-ajaran yang bersifat fundamental dan dogmatik.
Seperti keyakinan mengenai Allah, para malaikat, Nabi/Rasul, kitab- kitab Allah,
surga dan neraka, serta qadha dan qadar. Sedang praktik agama (ritual) disejajarkan
dengan syari‟ah, yang menunjukkan seberapa tingkat kepatuhan Muslim dalam
mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana dianjurkan oleh agamanya. Seperti,
sholat, puasa, zakat, haji, membaca qur‟an, doa, zikir, ibadah qurban, iktikaf di masjid
di bulan puasa, dan lain-lain. Dimensi pengamalan (konsekuensial) disejajarkan
dengan akhlaq, yang menunjuk pada seberapa tingkatan Muslim berperilaku
dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya, yaitu bagaimana individu berelasi dengan
dunianya, terutama dengan manusia lain. Dalam ajaran islam dimensi ini meliputi
perilaku suka menolong, bekerjasama, berderma, menyejahterakan dan
menumbuhkembangkan orang lain, menegakkan keadilan dan kebenaran, berlaku
jujur, memaafkan, menjaga lingkungan hidup, menjaga amanat, tidak mencuri, tidak
korupsi, tidak menipu, tidak berjudi, tidak meminum minuman yang memabukkan,
mematuhi norma-norma Islam dalam perilaku seksual, berjuang untuk hidup sukses
menurut ukuran Islam, dan sebagainya.
Dimensi pengetahuan (ilmu) menunjuk pada seberapa tingkat pengetahuan dan
pemahaman Muslim terhadap ajaran agamanya, terutama mengenai ajaran-ajaran
pokok dari agamanya, sebagaimana termuat dalam kitab sucinya. Dalam islam dimensi
ini meliputi pengetahuan tentang isi al-qur‟an, pokok ajaran islam, hukum islam,
sejarah islam, dan lain sebagainya. Dan untuk dimensi pengalaman atau penghayatan
(experiensial) menunjuk pada seberapa jauh tingkat Muslim dalam merasakan dan
mengalami perasaan-perasaan dan pengalaman religius. Dalam islam dimensi ini
terwujud dalam perasaan dekat dengan Allah, perasaan doa-doanya sering terkabul,
perasaan tentram bahagia karena menuhankan Allah, perasaan bertawakkal, perasaan
khusuk ketika melaksanakan sholat, perasaan tergetar ketika mendengar adzan atau
ayat-ayat al- qur‟an, perasaan syukur kepada Allah, perasaan mendapat peringatan
atau pertolongan dari Allah.
64
Maka dapar disimpulkan bahwa religiusitas dalam bekerja ialah kemampuan
memilih yang baik di dalam situasi yang serba terbuka dalam beraktifitas mencari
rejeki. Setiap kali manusia akan melakukan sesuatu, maka ia akan mengacu pada salah
satu nilai yang dipegangi untuk menentukan pilihan dari berbagai alternatif yang ada.
Religiusitas juga dimaknai sebagai upaya transformasi nilai menjadi realitas empiris
dalam proses cukup panjang yang berawal dari tumbuhnya kesadaran iman sampai
terjadinya amal dalam kehidupan.
Agama lebih menitikberatkan pada kelembagaan yang mengatur tata cara
penyembahan manusia kepada penciptanya dan mengarah pada aspek kuantitas,
sedangkan religiusitas lebih menekankan pada kualitas manusia beragama. Agama dan
religiusitas merupakan kesatuan yang saling mendukung dan melengkapi, karena
keduanya merupakan konsekuensi logis kehidupan manusia yang diibaratkan selalu
mempunyai dua kutub, yaitu kutub pribadi dan kebersamaannya di tengah masyarakat.
Penjelasan ini tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan Glock dan Stark yang
memahami religiusitas sebagai percaya tentang ajaran-ajaran agama tertentu dan
dampak dari ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Religiusitas dimaksudkan sebagai pembuka jalan agar kehidupan orang beragama
menjadi semakin inten. Semakin orang religius, hidup orang itu semakin nyata atau
semakin sadar terhadap kehidupannya sendiri, termasuk dalam aspek pekerjaan. Bagi
orang beragama, intensitas itu tidak bisa dipisahkan dari keberhasilannya untuk
membuka diri terus menerus terhadap pusat kehidupan. Inilah yang disebut religiusitas
sebagai inti kualitas hidup manusia, karena ia adalah dimensi yang berada dalam lubuk
hati dan getaran murni pribadi.
Secara operasional religiusitas dalam bekerja didefinisikan sebagai praktik
bekerja berdasarkan ajaran agamanya, tanggapan atau bentuk perlakuan terhadap
agama yang diyakini dan dianutnya serta dijadikannya sebagai pandangan hidup dalam
menjalankan pekerjaan. Religiusitas dalam bentuknya dapat dinilai dari bagaimana
sikap seseorang dalam melaksanakan perintah agamanya dan menjauhi larangan
agamanya. Dengan pemaknaan tersebut, religiusitas bisa dipahami sebagai potensi diri
seseorang yang membuatnya mampu menghadirkan wajah agama dalam menjalani
amanah pekerjaan.
Meminjam konsep Abu Hanifah, religiusitas harus merupakan kesatuan utuh
antara iman dengan Islam. Artinya, religiusitas jika diamati dari sisi internal adalah
iman dan dari sisi eksternalnya adalah Islam. Sebagai suatu fenomena sosial, rumusan
ini sejalan dengan pendapat Joachim Wach bahwa pengalaman beragama terdiri atas
respons terhadap ajaran dalam bentuk pikiran, perbuatan serta pengungkapannya
dalam kehidupan kelompok.
Saya Telah Belajar
(Tuliskan poin-poin inti dari materi yang telah dipelajari)
65
2. Profesionalitas Bekerja dalam Islam
Agama Islam memandang profesionalitas semakna dengan ihsan dan itqon yang
sangat dianjurkan dalam Islam. Ajaran Islam memotivasi umat Islam untuk kerja yang
professional dalam berbagai sisi kehidupan dan berbagai sarana kerja. Rasulullah
shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah mencintai seseorang jika melakukan sesuatu dengan cara
professional”. (HR. Abu Hurairah)
Seorang pekerja yang ikhlas dan profesional adalah ciri insan yang cerdas dan ahli
dalam melakukan sesuatu dan ahli dalam pekerjaannya, mampu menunaikan tugas
yang diberikan kepadanya secara professional dan sempurna, dan diiringi adanya
perasaan selalu diawasi oleh Allah dalam setiap pekerjaannya, semangat yang penuh
dalam meraih keridhaan Allah dibalik pekerjaannya.
Model pegawai atau aparatur seperti tidak membutuhkan adanya pengawasan
dari manusia; berbeda dengan orang yang melakukan pekerjaan karena takut manusia,
sehingga akan menghilangkan berbagai sarana yang ada, melakukan penipuan
terhadap apa yang dapat dilakukan. Adapun pegawai yang mukhlis, yang bekerja
dibawah perasaan adanya pengawasan oleh Dzat yang tidak pernah lengah sedikitpun,
dan tidak ada yang tersembunyi atas apa yang tersembunyi di dalam bumi dan di
langit. Islam tidak hanya melahirkan manusia yang sukses dari sudut pengamalan
agama saja tetapi Juga Ingin melahirkan kesuksesan dalam kehidupan di dunia dan
akhirat. Diantara etika kerja menurut Islam yang apabila diterapkan maka akan
menghasilkan kinerja yang baik, yakni Kerja adalah Ibadah. orang yang mampu
menjaga kehormatannya dalam bekerja terutama secara moral dan profesional, akan
diberi kehormatan lebih tinggi lagi dalam bentuk jabatan dan pangkat yang lebih
tinggi, disegani dan statusnya dalam masyarakat sangat dihormati.
Masalah profesionalisme ini juga sangat terkait dengan hak-hak pegawai dalam
Islam. Jika Allah telah mewajibkan kepada pegawai untuk bekerja dengan cara yang
itqon (professional) dan cakap di dalamnya; maka baginya memiliki hak, sehingga
menjadikan dirinya memiliki kehidupan yang mulia, kokoh dan kuat. Dan diantara
hak-haknya adalah: Tidak membebani pegawai dengan sesuatu yang tidak mampu
dilakukan.. dan tidak memposisikannya pada pekerjaan yang berat yang tidak mampu
dilaksanakan; dan jika kita ingin memberikan pekerjaan yang berat maka hendaknya
kita membantunya dengan diri kita atau mencarikan orang lain untuk dapat
membantunya; Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:
“Dan janganlah kalian membebani mereka dengan apa yang mereka tidak sanggup,
namun jika kalian terpaksa membebaninya maka bantulah mereka”. (HR. Bukhari)
Dalam menyikapi beragam musibah dan problem kemasyarakatan, umat Islam
juga bukanlah umat yang melakukan arogansi penyelesaian, sehingga menghadapi
kondisi dengan melakukan pengrusakan atau berdiam diri; sebagai reaksi terhadap apa
yang terjadi, namun kita adalah kaum yang memandang permasalahan dengan
pandangan yang komprehensif dan mendalam serta cermat, lalu mengembalikannya
pada dasar yang kokoh untuk bisa jadikan sandaran dan terfokus, dan hal tersebut
tidak terwujud kecuali dari “Nizham Islam” yang menyeluruh dan mendetail, yang
didalamnya terdapat kebaikan yang banyak.
66
Memang demikianlah dalam semua hal saat ini harus diserahkan ke orang-orang yang
kompeten. Tidak hanya kompeten secara teknis tapi juga punya kemampuan memilih
orang-orang yang kompeten sehingga keselamatan masyarakat terjaga. Mampu
memilih “the man behind the gun”.
Aspek profesionalitas ini sangat penting bagi seorang pegawai atau aparatur.
Maksudnya adalah kemampuan untuk memahami dan melaksanakan pekerjaan sesuai
dengan prinsipnya (keahlian). Pekerja tidak cukup hanya dengan memegang teguh
sifat-sifat amanah, kuat, berakhlaq dan bertakwa, namun dia harus pula mengerti dan
menguasai benar pekerjaannnya. Khalifah Umar radhiyallahu „anhu pernah
mempekerjakan orang dan beliau memilih dari mereka orang-orang yang profesional
dalam bidangnya. Bahkan Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam mengingatkan:
“Bila suatu pekerjaan tidak diserahkan kepada ahlinya, maka tunggulah
kehancurannya.” (HR. Bukhari).
Jadi tanpa adanya profesionalisme atau keahlian, suatu usaha akan mengalami
kerusakan dan kebangkrutan. Juga menyebabkan menurunnya kualitas dan kuantitas
produksi, bahkan sampai pada kesemrawutan manajemen, serta kerusakan alat-alat
produktivitas. Hal-hal ini tentunya jelas akan menyebabkan juga terjadinya
kebangkrutan total yang tidak diinginkan.
ْ ُ َۡ ِّۗ ِّ ۡ ا ۡ َ ا َ َ َ َ َ َ َ ُ ُ َ َ َ َ َ ن َۚ ٞ َ ُ ۡ اٞ ُ ۡ َ ُّ َ ۡ
َ ت َف َمن َف َر
إل ِ يف ئل َحج َو َما تف َعلوإيهن ئلحج فَل رفث وَّل فسوق وَّل ِجد ِ فِ ض ٰ ئلحج أشهر معلوم
َۡ ۡ ُٓ ُ ا ۡ َ ٰٰۖ َ ا ۡ َ ۡ َ ۡ َ ۡ ُ ه ُِّۗ َ َ َ ا ُ ْ َ ا َ ۡ َ ا
٧٧٥ ون َي ٰ أ ْو ِ يل ئۡلل َب ٰ ِب
ِ ِمن خ ٖي يعلمه ئَّلل وتزودوإ ف ِإن خي ئلز ِإد ئلتقوى وئتق
67
197. (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang
menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats,
berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang
kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan
sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-
orang yang berakal.
68
Saya Telah Belajar
(Tuliskan poin-poin inti dari materi yang telah dipelajari)
4. Rangkuman Materi
Keberagamaan atau religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia.
Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual
(beribadah), tapi juga ketika melakukan aktifitas lain yang didorong oleh kekuatan
spiritual. Religiusitas dimaksudkan sebagai pembuka jalan agar kehidupan orang
beragama menjadi semakin inten. Semakin orang religius, hidup orang itu semakin
nyata atau semakin sadar terhadap kehidupannya sendiri, termasuk dalam aspek
pekerjaan.
Seorang pekerja yang ikhlas dan profesional adalah ciri insan yang cerdas dan ahli
dalam melakukan sesuatu dan ahli dalam pekerjaannya, mampu menunaikan tugas
yang diberikan kepadanya secara professional dan sempurna, dan diiringi adanya
perasaan selalu diawasi oleh Allah dalam setiap pekerjaannya, semangat yang penuh
dalam meraih keridhaan Allah dibalik pekerjaannya.
5. Daftar Referensi
Muhammad Hanif. Islamia: Konsep Bekerja Dalam Islam. 2017. Kualalumpur.
Dwi Andayani. Relasi Etika Kerja dan Etos Kerja Dalam Islam. 2016. Kediri
6. Soal Latihan
1) Jelaskan makna religiusitas bekerja dalam Islam!?
2) Jelaskan konsep professional bekerja dalam tinjauan agama Islam!?
3) Taqwa, Tawakal, dan Doa menjadi spirit seorang Muslim/muslimah dalam
bekerja, jelaskan argumentasi saudara!?
69
MODUL VI
PETUNJUK MATERI
A. Deskripsi Materi
Nah…..Para Taruna sekalian, Materi tentang Akhlak merupakan materi yang bukan
hanya diatas kertas utamanya, pun bukan hanya pengetahuan yang tersimpan rapi di
laci-laci memori otak kita, namun materi akhlak merupakan rentetan ilmu yang harus
penuh dipraktikan seorang yang beragama Islam. Materi ini akan membahas lingkup
akhlak, dalil-dalilnya, juga termasuk penerapan dan contoh akhlak.
C. Capaian Pembelajaran
Capaian Pembelajaran Mata Kuliah
Mencantumkan CMPK sesuai dengan RPS Mata Kuliah yang menjadi dasar
penyusunan Modul 1
70
AKHLAK DALAM ISLAM
1. Pengertian Akhlak
Pembahasan tentang akhlak selalu menarik karena sangat berkaitan dengan
kepribadian seseorang, dan para ulama banyak menyebutkan pentingnya mempelajari
akhlak sebelum mempelajari yang lainnya. Maka dalam kehidupan seseorang dimulai
dari masa kecil, ia belajar akhlak dari lingkungan keluarganya, melakukan pengamatan
sederhana terhadap orang-orang disekitarnya yang secara simultan membentuk pola
akhlak dalam kepribadian dan pemahamannya.
1.1.Pengertian Akhlak Secara Etimologis
Pengertian akhlak secara etimologis atau bahasa, berasal dari bahasa Arab
jama„ dari bentuk mufradnya khuluqun ( )خلقyang diartikan: budi pekerti, perangai,
tingkah laku, karakter atau tabiat. Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuaian
dengan perkataan Khalqun ( )خلقyang berarti kejadian, serta erat hubungannya
dengan Khaliq (( )خالقyang berarti pencipta dan Makhluk ( )مخلىقyang berarti diciptakan.
Dalam pengertian sehari-hari di Indonesia, akhlak umumnya disamakan artinya
dengan budi pekerti, kesusilaan, dan sopan santun, bahkan dalam masyarakat ada
simplifikasi atau penyederhanaan makna akhlak yang cenderung diartikan sebagai
sesuatu yang positif. Masyarakat mengenal manusia yang baik dengan sebutan
manusia yang berakhlak, sedangkan manusia yang tidak baik dilabeli manusia yang
tidak berakhlak.
Akhlak jika dijabarkan dalam konteks kebahasaan yang lebih luas, maka
setidaknya ada empat makna, pertama akhlak diartikan sebagai ilmu tentang
kebiasaan. Arti ini mengikuti pendapat dari para filusuf Yunani, definisi ini
membatasi ruang lingkup ilmu akhlak yang terbatas pada perbuatan manusia yang
sesuai dengan kehendaknya yang menjadi kebiasaan dan tradisi, makna ini mendapat
kritik dari pemerhati tentang akhlak dengan menyebut bahwa ilmu akhlak
seharusnya lebih luas daripada itu, di dalamnya juga meliputi petunjuk yang benar
untuk perbuatan baik dan menjauhi perbuatan buruk serta perintah untuk berpegang
teguh pada tradisi dan kebiasaan yang benar.
Kedua, akhlak diartikan sebagai ilmu tentang manusia. Ini adalah
argumentasi dari seorang penulis berkebangsaan Prancis. Berbeda dengan definisi
pertama yang membatasi ruang lingkup akhlak, maka definisi yang kedua ini justru
lebih luas cakupannya karena dalam definisi ini meliputi segala sesuatu yang
berhubungan dengan manusia dari berbagai macam ilmu dan pengetahuan mulai dari
ilmu kedokteran, ilmu jiwa, ilmu logika, sejarah dan segala macam ilmu yang berada
di sekitar manusia.
Ketiga menjelaskan akhlak sebagai ilmu tentang baik dan buruk. Akhlak
juga diartikan sebagai studi tentang wajib dan kewajiban. Pengertian ini terlalu
ringkas karena mengabaikan sisi yang terpenting dari aspek ilmu yaitu nilai-nilai dari
perbuatan manusia yang berubah nilai baik dan buruk.
Keempat, akhlak didefinisikan sebagai ilmu tentang keutamaan atau sifat-sifat
71
yang utama dan bagaimana cara agar manusia senantiasa menghiasi diri dengan
keutamaan tersebut, dan Ilmu yang membahas tentang keburukan-keburukan dan
bagaimana cara menjaga diri agar menjauhi dari perbuatan buruk tersebut. Ini adalah
pengertian menurut al-Bustani yang dalam definisinya itu membatasi pada
bagaimana manusia menghiasi diri dengan sifat-sifat utama serta menjauhkan diri
dari sifat-sifat buruk dan tercela serta menerangkan contoh-contoh metode untuk
mencapai hal tersebut.
Beberapa kalangan pengkaji etika maupun akhlak seperti Prof. Poedjawiyatna
mengklasifikasi beberapa ukuran baik dan buruk dalam diri manusia dengan
menggunakan beberapa pendekataan, seperti teori hedonisme, utilitarisme, vitalisme,
sosialisme, religeosisme dan humanisme, dengan uraian sebagai berikut;
1) Hedonisme, yaitu sebuah aliran klasik dari Yunani yang menyatakan
bahwa ukuran tindakan kebaikan adalah done, yakni kenikmatan dan
kepuasan rasa. Tokoh utama pandangan ini adalah S. Freud.
2) Utilitarisme, yaitu aliran yang menyatakan bahwa yang baik adalah yang
berguna. Karena ini jika berbuatan itu dilakukan atas diri sendiri maka itu
disebut individual, dan jika terhadap kepentingan orang banyak disebut
sosial.
3) Vatalisme, yaitu aliran yang berpandangan bahwa ukuran perbuatan baik
itu adalah kekuatan dan kekuasaan. Bahwa yang baik adalah
mencermikan kekuatan dalam hidup manusia.
4) Sosialisme, yaitu aliran yang berpendapat bahwa baik nya sesuatu
ditentukan oleh masyarakat. Jadi, masyarakatlah yang menentukan baik
dan buruknya tindakan seseorang bagi anggotanya.
5) Religiosisme, aliran yang mengatakan bahwa baik dan buruk itu adalah
sesuai dengan kehendak Tuhan. Lantas, manakah yang menjadi kehendak
Tuhan itu?, ini adalah tugas para theolog dalam memberikan gambaran.
6) Humanisme, yaitu aliran yang berpandangan bahwa baik dan buruknya
sesuatu itu adalah sesuai dengan kodrat manusia itu sendiri, atau
kemanusiaannya.
Dari sejumlah aliran dalam mengukur baik buruknya sesuatu, bagi Islam tentu
saja memiliki konsep tersendiri tentang akhlak. Islam berpandangan bahwa baik dan
buruk itu adalah sesuai dengan kehendak Allah SWT., kehendak Allah SWT tentu
saja adalah yang termaktub di dalam al-Qur„an dan ajaran praktis para RosulNya,
khususnya terhadap ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Lebih dari itu,
pemahaman tentang kebaikan dan keburukan, atau yang dikehendaki oleh Allah
SWT. dan yang tidak dikehendaki-Nya dapat pula diperoleh melalui akal, jiwa dan
hati yang jernih dengan petunjuk para ulama‟.
72
Definisi kedua akhlak adalah kumpulan dari makna-makna dan sifat-sifat
yang bersemayam di dalam jiwa yang darinya perbuatan seseorang menjadi baik atau
buruk (al-Kharaiti, 14).
Definisi yang ketiga akhlaq adalah perumpamaan dari kondisi jiwa yang
bersih yang memunculkan perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan
pertimbangan pikiran. Jika keadaan jiwa itu menimbulkan perbuatan yang baik
secara akal maupun syariat dengan mudah maka akhlak itu disebut dengan akhlak
yang baik, dan jika yang muncul adalah perbuatan yang jelek maka disebut dengan
akhlak yang buruk.
Akhlak juga diartikan sebagai perilaku manusia sebagaimana mestinya sesuai
dengan teladan yang baik sehingga akal manusia condong untuk mengikutinya bukan
sebagai tujuan tetapi karena itu wajib.
Kemudian komentar dari Ibnu Athir dalam bukunya Annihayah menerangkan:
“Hakikat makna khuluq itu adalah gambaran batin manusia (yaitu jiwa dan
sifat- sifatnya), sedang khalqun merupakan gambaran bentuk luarnya (raut muka,
warna kulit, tinggi rendah tubuhnya, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan
sikap dan perbuatan hamba)”.
Identik dengan pendapat Ibnu Athir ini, adalah Imam Al-Ghazali yang
menyatakan.bahwa: “Bilamana orang mengatakan si A itu baik khalqunya dan
khuluqnya, berarti si A baik sifa-sifat lahiriahnya dan sifat-sifat batiniahnya”.
Seorang pakar ilmu akhlak Abd. Hamid Yunus di dalam kitabnya menyatakan :
“Akhlak ialah segala sifat manusia yang terdidik”, memahami ungkapan tersebut
bisa dimengerti sifat/potensi yang dibawa setiap manusia sejak lahir: artinya, potensi
tersebut sangat bergantung dari cara pembinaan, latihan/pembiasaan dan
pembentukannya. Apabila pengaruhnya posotif, outputnya adalah akhlak mulia;
sebaliknya apabila pembinaaannya negatif, yang terbentuk adalah akhlak mazmumah
(tercela). Lingkungan keluarga, masyarakat dan situasi negara sangat mempengruhi
akhlah seseorang sebagai individu dan warga negara, karena secara potensial dan
aktual Allah telah membentangkan jalan yang benar dan jalan yang salah.
Berikut ini dikemukakan defenisi akhlak menurut beberapa pakar sebagai berikut:
1) Ibn Miskawaih (w 421H/1030M) pakar ilmu Akhlak: “Keadaan jiwa yang
mendorongnya untuk melakukan perbuatan- perbuatan tanpa melalui
pertimbangan pikiran (lebih dulu)
2) Imam Al-Ghazali (1015-1111M) yang dijuluki ulama‟ Hujjatul Islam/Pembela
Islam : “Akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya
73
timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dengan tidak memerlukan
pertimbanganpikiran (lebih dulu)”.
3) Ahmad Amin : “Sementara orang mengetahui bahwa yang disebut akhlak ialah
kehendak yang dibiasakan( karakter). Artinya, kehendak itu bila membiasakan
sesuatu, kebiasaan itu dinamakan akhlak”.
Betapapun semua definisi akhlak diatas berbeda kata-kata, namun tidak berjauhan
maksudnya, bahkan artinya berdekatan satu dengan yang lain. Sehingga Prof. K.H. Farid
Ma„ruf membuat kesimpulan tentang definisi akhlak ini sebagai berikut:
“Kehendak jiwa manusia yang menimbulkan perbuatan dengan mudah karena
kebiasaan, tanpa memerlukan pertimbangan pikiran terlebih dahulu”.
Pengertian yang hampir sama dengan kesimpulan di atas, Dr. M. Abdullah Darroz,
mengemukakan definisi akhlak sebagai berikut:
“Akhlak adalah suatu kekuatan dalam kehendak yang mantap, kekuatan dan
kehendak yang berkombinasi membawa kecenderungan pada pemilihan pihak
yang benar (dalam hal akhlak yang baik) atau pilihan yang jahat (dalam hal
akhlak yang jahat)”.
Sesungguhnya akhlak mempunyai peran yang penting dalam perilaku manusia dan
apa yang dimunculkannya. Perilaku manusia sesuai dengan apa yang bersemayam di
dasar jiwanya dari nilai-nilai dan sifat-sifat. Oleh karena itu, perbuatan-perbuatan
manusia selalu berhubungan dengan jiwanya, artinya adalah bahwa baiknya perbuatan
seseorang itu dikarenakan karena baiknya akhlak orang tersebut.
Oleh karena itu metode yang paling tepat untuk memperbaiki perilaku manusia
adalah dengan memperbaiki jiwa-jiwa dan mensucikannya serta menanamkan akhlak
akhlak yang utama, bahkan agama Islam sudah menjelaskan bahwa perubahan keadaan
seseorang itu mengikuti perubahan jiwanya Allah berkata dalam Surat Ar Radu ayat 11.
َ ْ ّيوا
ُ ّ َّت ُُي َغ َ ُناُب َق نوم
ّ ُح ُ ّ لل ُ ََل ُُي َغ
َ ّي َ ّ للُِإ ّن ُٱّ َنَ ُ َُ ن َن ّ َن َ َ ن َ ن َ نٞ َ ّ َ ُ َُ
ُُنا ِ َٰ ٍ ِ ِ ُ ِ ۡي ُيديهُِونِن ُخل ِف ُهِۦ َُيفظون ُهۥ ُنِن ُأم ِر ُٱ ه
ُ ِ ُن ۢن ُب
ِ لۥ ُنع ِقبَٰت ُ
َ مُنِنُ ُُدون ِ ُهِۦُن ُ َ ُم َر ّد
ّ ُلۥُُ َو َناُل َ ُه َ ُس ٓو ٗءاُفَ ََل
ُ للُب َق نوم َ ََ َٓ َ ُ ن
ُ ّ ادُٱ
ُ ١١ُُال ٍ ِنُو ُ ٖ ِ ُ س ِهمهُِإَوذاُأر
ِ بِأنف
Akhlak yang terpuji merupakan kebutuhan primer dari suatu masyarakat. Sejarah telah
menunjukkan bahwa bangsa yang kuat dan maju adalah bangsa yang memiliki akhlak
yang baik, maka bagi bangsa yang beragama maka urgensi pembentukan akhlak/moral
(akhlak secara lebih luas juga dimaknai sebagai sistem moral) yang baik adalah suatu
74
kebutuhan jangka panjang yang mendesak untuk dilaksanakan, mengabaikan
pembinaan/pendidikan akhlak hanya akan melahirkan generasi yang rusak dan merusak.
Saya Telah Belajar
(Tuliskan poin-poin inti dari materi yang telah dipelajari)
75
َ َْْ َ َُ ُ ْ ا
ِؤن َما ُب ِعثت ِۡلت ِّم َم َص ِالح إۡلخَل ِق
Artinya: “Sesungguhnya aku (Rasulullah )ﷺdiutus untuk menyempurnakan akhlaq yang
baik.” (HR. Ahmad 2/381)
Manusia dengan hati nuraninya dapat juga menentukan ukuran baik dan buruk, sebab
Allah memberikan potensi dasar kepada manusia berupa tauhid. Allah Swt. berfirman:
َ ُ َ ُ ُ ََ ُ َْ َ ُ َ َْ َ ُ ُ َ َ َ ََ ْ
ۛ ور ِه ْم ذ ِّرايت ُه ْم َوأش َهده ْم َع َٰل أنف ِس ِه ْم أل ْست ِب َر ِّبك ْم ٰۖ قالوإ َب َٰل
ِ َو ِإذ أخذ َرُّبك ِم ْن َب ِ ن ين آد َم ِم ْن ظ ُه
ُ َُ َْ َْ َ
َولوإ َي ْو َم ْإلق َي َامة ؤ انا ُك انا َع ْن َه ٰ َذإ َغافل ن
ي ِِ ِ ِ ِ ش ِهدنا ۛ أن تق
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam
dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan
kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu
tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)”.” (QS. al-A‟raf: 172).
Prinsip Akhlak dalam Islam terletak pada Moral Force. Moral Force Akhlak Islam
adalah terletak pada iman sebagai Internal Power yang dimiliki oleh setiap orang mukmin
yang berfungsi sebagai motor penggerak dan motivasi terbentuknya kehendak untuk
merefleksikan dalam tata rasa, tata karsa, dan tata karya yang kongkret. Dalam hubungan
ini Rosulullah SAW, bersabda:
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang terbaik akhlaknya. Dan
sebaik-baik diantara kamu ialah yang paling baik kepada istrinya”
Selain itu, yang menjadi dasar pijakan Akhlak adalah Iman, Islam, dan Islam. Al-
Qur‟an menggambarkan bahwa setiap orang yang beriman itu niscaya memiliki akhlak
yang mulia yang dimisalkan seperti pohon iman yang indah, hal ini dapat dilihat pada surat
Ibrahim ayat 24-27, yang berbunyi:
َ ه ن ۡ َ ِّ َ َ َ ن ۡ ُ ه ُ ۡ َ ۡ َ َ ا ُ ُ ِٓ ۡ ُ
ڪ َل َها ُك ا َٓ َ َۡ َُ ن ا
اِ ل َعل ُه ۡم لن لِ ال ث م ئۡل ئَّلل ُ ۡ يو ا
ِّۗ ه بر ن ِ ذإ ب ي حِ ل أ ت ؤ ت )٤٢ ( ءِ ا وفرعها ِف ئلسم
ُ ِّ َ ُ ٍ۬ َ َ ِ ََ َ ۡ َ ۡ ۡ َ ِ ۡ َ َ َ ُ َ َ ِ َ َ ٍ۬ َ َ َ َ ِ ِۭ َ ِ ِ َ ۡ ُ ا َ َََُ ه
) يثبت٤٤( ض ما لها ِمن قرإر ِه ر ئۡل ق ِ و ف ن مِ ت ث ت ئج ة
ٍ يثب خ
ِ ٍ ةرج ش ك ة ٍ يثب خ
ِ اةٍ ملِ ك ل ث مو ) ٤٣ ( ونيتذڪر
ُئَّلل َما ََ َش ٓاء
ُ يَۚ َو َي ۡف َع ُل ه
َئلَّ ٰ لم ن ن ۡ َ َ ٰ ُّ ۡ َ َ ن ۡ َ َ َ ُ ُّ ه
ُئَّلل ۡ َۡ ْ َُ َ َ هُ ه
ِِ ئَّلل ئل ِذين ءإمنوإ ِبٱلقو ِل ئلث ِاب ِت ِف ئلحيو ِة ئلدنيا و ِف ئۡل ِخر ِةٰۖ وي ِِل
)٤٥(
Artinya: “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan
kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke
langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah
membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.
Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut
dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun. Allah
meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam
kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang lalim dan
memperbuat apa yang Dia kehendaki”.
Ayat diatas memberi pelajaran bahwa ciri khas orang yang beriman adalah indah
perangainya dan santun tutur katanya, tegar dan teguh pendirian (tidak terombang
ambing), mengayomi atau melindungi sesama, mengerjakan buah amal yang dapat
dinikmati oleh lingkungan. Namun disisi lain, sebenarnya masih banyak teori-teori yang
76
berbicara mengenai dasar-dasar akhlak dengan menafikan pemikiran Islam, seperti
relativisme akhlak. Yang mana berkat pembuktian realisme, maka kemutlakan akhlak
adalah pendapat yang sahih dan relativisme akhlak tidak dapat diterima.
Konsep akhlak dalam agama Islam tidak dapat disamakan persis dengan etika. Etika
sebagai konsep dibatasi oleh sopan santun pada lingkungan sosial tertentu dan hal tersebut
belum tentu terjadi pada lingkungan masyarakat yang lainnya. Etika juga sering hanya
dikaitkan dengan perilaku hubungan lahiriah. Misalnya, etika berbicara antara orang
pesisir, orang pegunungan dan orang keraton akan berbeda, dan sebagainya.
Akhlak memiliki makna yang lebih luas, karena akhlak tidak hanya bersangkutan
dengan lahiriah akan tetapi juga berkaitan dengan batiniah maupun pikiran. Akhlak
menyangkut berbagai aspek diantaranya adalah hubungan manusia terhadap Allah dan
hubungan manusia dengan sesama makhluk ciptaan Allah SWT (manusia, binatang,
tumbuh-tumbuhan, benda-benda bernyawa dan tidak bernyawa).
Berikut ruang lingkup akhlak dalam Islam:
1). Akhlak terhadap Allah
Pemaknaan akhlaq kepada Allah dapat ditafsirkan sebagai sikap atau
perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk kepada
Tuhan sebagai Khaliq. Sehingga akhlaq kepada Allah dapat diartikan sebagai
segala sikap atau perbuatan manusia yang dilakukan tanpa dengan berpikir lagi
(spontan) yang memang seharusnya ada pada diri manusia (sebagai hamba)
kepada Allah SWT sebagai Tuhan.
Argumentasi keharusan manusia berakhlak kepada Allah SWT sebagai
Tuhan, dapat ditemukan dalam dalil naqli kitab suci Al-Qur‟an.
a) Allah SWT-lah yang mencipatakan manusia. Dia yang menciptakan manusia
dari air yang ditumpahkan keluar dari tulang punggung dan tulang rusuk hal
ini sebagai mana di firmankan oleh Allah SWT dalam surat at-Thariq ayat 5-
7 yang artinya: “Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia
diciptakan? Dia tercipta dari air yang terpancar dari tulang sulbi dan tulang
dada.” (at-Tariq: 5-7)
b) Allah SWT-lah hati sanubari, disamping anggota badan yang kokoh dan
sempurna kepada manusia. Firman Allah SWT dalam surah an-Nahl ayat 78
yang artinya: “Dan Allah telah mengeluarkan kamu dari perut ibumu
dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS an-Nahl :
78)
c) Allah SWT-lah yang telah menyediakan berbagai bahan dan sarana yang
diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia, seperti bahan makanan yang
berasal dari tumbuh- tumbuhan, air, udara, binatang ternak dan lainnya.
Firman Allah SWT dalam surah al- Jatsiyah ayat 12-13 yang artinya “Allah
77
SWT-lah yang menundukkan lautan untuk kamu supaya kapal-kapal dapat
berlayar padanya dengan seizin-Nya, supaya kamu dapat mencari sebagian
dari karunia-Nya dan mudah-mudahan kamu bersyukur. Dan Dia
menundukkan untuk kamu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi
semuanya, (sebagai rahmat) dari pada Nya. Sesungguhnya pada yang
demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kamu yang
berpikir.” (QS al-Jatsiyah : 12-13)
d) Allah SWT-lah yang telah memuliakan manusia dengan diberikannya
kemampuan, daratan dan lautan. Firman Allah SWT dalam surah Al-Israa‟
ayat 70 yang artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak
cucu Adam, Kami angkut mereka dari daratan dan lautan, Kami beri mereka
dari rizki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS al-
Israa‟: 70)
Adapun akhlak kepada Allah itu antara lain:
Taqwa kepada Allah SWT dengan sebenar-benarnya.
Cinta dan selalu mengharap ridlo kepada Allah SWT
Ikhlas kepada Allah SWT dalam setiap amal ibadah
Khauf (takut) dan raja‟ (penuh harap) terhadap Allah SWT
Bersyukrur terhadap nikmat yang diberikan Allah SWT
Muraqobah, selalu merasa diawasi oleh Allah SWT
Taubat kepada Allah SWT setiap melakukan dosa
Berbaik sangka kepada Allah SWT
Bertawakal kepada Allah SWT
Senantiasa mengingat Allah SWT dengan banyak berdzikir
Memikirkan keindahan ciptaan Allah SWT
Melaksanakan apa-apa yang diperintahkan Allah SWT
Menjauhi apa yang dilarang Allah SWT.
78
ٌَ ٌ ُ ه ُ ان َل ُك ْم نف َر
َ َ ْ ََ
﴾ ٤٧ُإَّلل أ ْس َوة َح َسنة ﴿إالحزإ
ِ ول ِ س ِي ل قد ك
Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah SAW itu suri teladan
yang baik. (QS Al-Ahzab:21)
Artinya: Dialah yang mengutus kepada kamu yang buta huruf seorang Rasul
diantara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka,
mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah. Dan
sesungguhnya, mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.
(QS Al-Jumu‟ah:2).
d. Rasulullah SAW telah mewariskan hadits yang penuh dengan ajaran yang
sangat mulia dalam berbagai bidang kehidupan.
e. Rasulullah SAW telah memberikan contoh modek masyarakat yang sesuai
dengan tuntunan agama, yaitu masyarakat yang beliau bangun di Madinah.
79
Artinya: Katakanlah: “jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah
aku, niscaya Allah akan mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosamu”.
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS Ali Imran:31)
Oleh karena itu, dengan izin Allah Swt, Rasulullah SAW diutus memang
untuk ditaati, Allah SWT berfirman:
ّ ْ َ َ ا ُ ا َ ْ َ َْ َ َ
ِ ول ِؤال ِل ُيطاع ِب ِإذ ِن
﴾٤٢ إَّلل ﴿ألنسا ٍ وما أرسلنا ِمن رس
Artinya: Dan Kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk ditaati
dengan izin Allah (QS An-Nisaa:64).
Tunduk dan patuh kepada ajaran yang disampaikan Rasul. Allah berfirman:
ّ َ إلر ُس
﴾٣٢ ول ﴿ألنور ُ إَّلل َو َأط
يعوإ ا ُ ُق ْل َأط
َ يعوإ ه
ِ ِ
Artinya: Katakanlah: "Ta`atlah kepada Allah dan ta`atlah kepada rasul. (QS
An-Nur 54).
ٌ َ ُ ْ َ ْ ٌ َ ْ َ َ ْ ُ ُ َ َ َ ْ ُ ُ َ َْ َ ْ ُ ُ َ ْ َ ْ ُ ُ َ َْ َ ْ ُ ُ َ َ َ ُ
إل إق ِ َيفت ُموها َو ِت َج َارة ق ْل ِؤن كان آباؤكم وأبن ؤكم و ِإخوإنكم وأزوإجكم وع ِشيتكم وأمو
ن ّ َ ِّ ُ ْ َ َ ْ َ ْ َ َ َ َ َ َ َ َ ُ َ ْ َ ْ َ َ َ َ ا
ول ِه َو ِج َه ٍاد ِ يف َس ِبي ِل ِه س
َِْ
ُ إَّلل َو َر
ِ تخشون كسادها ومس ِاكن ترضونها أحب ِؤليكم من
َ َ ْ َ ْ ْ َ َ ُ ّ َ ْ َ ُ ّ ِ ْ َ َ َِ ا ُ ْ َ ا
﴾٤٢﴿ ي ِ ف َيبصوإ ح ِن يأ ِ ي َت إَّلل ِبأم ِر ِه وإَّلل ال يه ِدي إلقوم إلف
اس ِق ن
Artinya: Katakanlah, jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-
isteri, keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu
khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai,
adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dasn (dari) berjihad
di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.
Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik (QS 9:24).
80
diwujudkan dalam segala tindakan dhahir dan bathin, kecintaan pada Rosul
(dan ajarannya) harus lebih utama daripada kecintaan pada manusia lainnya.
Penjelasan mengenai hal tersebut dapat dijumpai dalam kitab Mukhtashar
Syarah Shahih al-Bukhari
مختۡ رشح صحيح إلبخاريBab 8 tentang Mencintai Rosululloh termasuk
َ ه ه ُ ََ ْ َ َ ه
َ سل َم م َن ُ َ ُ ُ ُّ ا
cabang iman ان
ِ إإليم
ِ ِ ِ باُ حب إلرس, matan hadist
ول صَل إَّلل علي ِه و
tersebut adalah sebagai berikut:
َ ُ َ َ َ ِّ ُ َ َ َ َ ا َ َ َ ُ ْ َ َ َ َ َ ْ َ َ َ ُ َ ْ ٌ َ َ َ ا
َع ْن أ َِ يت ه َر ْي َرة, َع ِن إۡل ْع َر ِج, إلزن ِاد حدثنا أبو: أخ َينا شعيب قال:حدثنا أبو إليم ِان قال
ْ َ
س ِب َي ِد ِه ال ُيؤ ِم ُن
ْ َ ه َ
َ َ َ ول ه َ ه ه ُ َ َ ْ َ َ ه
َ َ َأ ان َر ُس, إَّلل َع ْن ُه
ُض ه َ َر ِن
ِ ف َوإل ِذي نف ي:إَّلل صَل إَّلل عَلي ِه وسلم ق َالِ ي
َ َ َ ُ ُ ْ َ ِا ُ َ َ ا
ب ِؤل ْي ِه ِم ْن َو ِإل ِد ِه َو َول ِد ِه أحدكم حن أ كون أح
Artinya: Abul Yaman meriwayatkan kepada kami, ia berkata : Syu‟aib
mengabarkan kepada kami, ia berkata : Abuz Zunad meriwayatkan kepada
kami, dari al-A‟raj, dari Abu Hurairah Radhiyallahu‟anhu, bahwasanya
Rasulullah Shallalahu‟alaihi wa sallam bersabda : “Demi Allah yang jiwa ku
berada ditangan-Nya. Tidak beriman salah seorang dari kalian sampai aku
lebih ia cintai nya daripada orangtua dan anak nya sendiri.” (H.R. Bukhari).
81
ً ْ َ ْ َ ُ َ َ ْ ً ِّ َ ه
﴾ ٤٧ إَّلل َو ِرض َوإنا ﴿إلفتح
ِ يبتغون فِال من
Artinya: Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama
dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang
sesama mereka, kamu lihat mereka ruku` dan sujud mencari karunia Allah
dan keridhaan-Nya.(QS Al-Fath:29).
Karena ulama disebut pewaris Nabi, maka orang yang disebut ulama
seharusnya tidak hanya memahami tentang seluk beluk agama Islam, tapi
juga memiliki sikap dan kepribadian sebagaimana yang telah dicontohkan
oleh Nabi dan ulama seperti inilah yang harus kita hormati. Adapun orang
yang dianggap ulama karena pengetahuan agamanya yang luas, tapi tidak
mencerminkan pribadi Nabi, maka orang seperti itu bukanlah ulama yang
82
berarti tidak ada kewajiban kita untuk menghormatinya.
83
(rendah hati), 7) malu (berbuat jelek), 8) pemaaf, 9) berhati lembut, 10)
setia, 11) kerja keras, 12) tekun, 13) ulet, 14) teliti, 15) disiplin, 16)
berinisiatif, 17) percara diri, dan 18) berpikir positif. Sikap dan
perilaku mulia seperti ini harus diupayakan secara bertahap dan
berkesinambungan, sehingga terwujud pribadi yang berkarakter yang
dapat menampilkan dirinya dengan kepribadian yang utuh dan mulia di
tengah-tengah masyarakat.
84
apalagi jika mereka adalah saudara dari bapak atau ibu kita. Ketika
kedua orang tua kita sudah meninggal, mereka dapat mengganti
kedudukan kedua orang tua kita. Jika mereka itu bukan saudara kita,
maka kita tetap harus menghormatinya, selama mereka layak untuk
dihormati. Sedang dengan orang-orang yang lebih muda, jika mereka
saudara kita, kita harus memberikan kasih sayang kita yang
sepenuhnya dengan ikut merawat mereka, membimbing, mendidik,
dan membantu mereka jika mereka membutuhkan bantuan kita. Jika
mereka bukan saudara kita, kita tetap harus menyayangi mereka
dengan menunjukkan kasih sayang kita kepada mereka, jangan sekali-
kali kita menyakiti mereka dan melakukan sesuatu yang mengganggu
pertumbuhan dan perkembangan mereka, baik dari segi fisik maupun
mental atau kejiwaan mereka.
Berkaitan dengan hubungan bersama teman-teman sebaya kita
harus dapat bergaul dengan sebaik-baiknya. Mereka ini adalah orang-
orang yang sehari-harinya bergaul dengan kita dan menemani kita baik
di kala suka maupun di kala duka. Yang dapat kita lakukan misalnya
adalah saling memberi salam setiap bertemu dan berpisah dengan
mereka dan dilanjutkan saling berjabat tangan, kecuali jika mereka itu
lawan jenis kita, saling menyambung tali silaturrahim dengan mereka,
saling memahami kelebihan dan kekurangan serta kekuatan dan
kelemahan masing-masing, sehingga segala macam bentuk
kesalahfahaman dapat dihindari, saling tolong-menolong, bersikap
rendah hati dan tidak boleh bersikap sombong kepada mereka, saling
mengasihi dengan mereka, memberi perhatian terhadap keadaan
mereka, selalu membantu keperluan mereka, apalagi jika mereka
meminta kita untuk membantu, ikut menjaga mereka dari gangguan
orang lain, saling memberi nasihat dengan kebaikan dan kesabaran,
mendamaikan mereka bila berselisih, dan saling mendoakan dengan
kebaikan.
Terkait dengan akhlak terhadap orang-orang yang menjadi
lawan jenis kita, Islam memberikan aturan khusus yang harus kita
pegangi dalam rangka bergaul dengan mereka. Di antara ketentuan itu
adalah 1) Tidak melakukan khalwat, yaitu berdua-duaan antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan yang tidak mempunyai
hubungan suami isteri dan tidak pula mahram tanpa ada orang ketiga;
2) tidak melakukan jabat tangan, kecuali terhadap suami atau isterinya,
atau terhadap mahramnya, atau jika ada kondisi darurat harus
bersalaman maka menjaga diri dari lahirnya nafsu syahwat dan
kemungkinan munculnya fitnah; 3) mengurangi pandangan mata,
kecuali yang memang benar-benar perlu; 4) tidak boleh menampakkan
aurat di hadapan lawan jenisnya dan juga tidak boleh saling melihat
aurat satu sama lain; dan 5) tidak melakukan hal-hal yang menjurus
kepada perzinaan, seperti bergandengan tangan, berciuman,
85
berpelukan, dan yang sejenisnya. Hubungan antar lawan jenis ini
menjadi berubah ketentuannya ketika keduanya sudah menjalin
hubungan pernikahan (sudah menjadi suami-isteri). Hubungan antara
keduanya yang semula haram menjadi halal, bahkan bisa bernilai
ibadah. Keduanya menjadi satu kesatuan dalam keluarga yang
bersama-sama bertanggung jawab membawa keutuhan keluarga,
termasuk anak-anak mereka. Kewajiban keduanya selaku orang tua
terhadap anaknya, di samping memberikan kasih sayang kepadanya,
juga harus melindunginya, merawatnya , dan mendidiknya hingga
menjadi manusia dewasa yang utuh kepribadiannya dan siap membina
rumah tangga.
c. Akhlak terhadap Masyarakat
Salah satu sikap penting yang harus ditanamkan dalam diri
setiap Muslim adalah sikap menghormati dan menghargai orang lain.
Orang lain bisa diartikan sebagai orang yang selain dirinya, baik
keluarganya maupun di luar keluarganya. Orang lain juga bisa
diartikan orang yang bukan termasuk dalam keluarganya, bisa
temannya, tetangganya, atau orang yang selain keduanya. Dalam
konteks beragama, orang lain bisa juga diartikan orang yang tidak
seiman dengan kita, atau orang yang tidak memeluk agama Islam.
Terhadap orang lain yang seiman (sesama Muslim), kita harus
membina tali silaturrahim dan memenuhi hak-haknya seperti yang
dijelaskan dalam hadits Nabi Saw. Dalam salah satu haditsnya, Nabi
Saw. menyebutkan adanya lima hak seorang Muslim terhadap Muslim
lainnya, yaitu 1) apabila bertemu, berilah salam kepadanya, 2)
mengunjunginya, apabila ia (Muslim lain) sedang sakit, 3)
mengantarkan jenazahnya, apabila ia meninggal dunia, 4)
memenuhi undangannya, apabila ia mengundang, dan 5)
mendoakannya, apabila ia bersin (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Terhadap suami atau isteri dan anak-anak kita, kita harus saling
menjalin hubungan kasih sayang demi ketenteraman keluarga kita.
Terhadap tetangga, kita harus selalu berbuat baik. Jangan sampai kita
menyakiti tetangga kita (HR. al-Bukhari). Terhadap tamu, kita harus
memuliakan dan menghormatinya. Nabi memerintahkan kepada kita
agar selalu memuliakan tamu (HR. al-Bukhari dan Muslim), dan
segera menyambut kedatangannya serta mengantarkan kepergiannya.
Terhadap orang alim (ulama) dan cendekiawan, kita harus
menghormati keluasan ilmunya dan berusaha untuk selalu bergaul dan
mendekatinya. Terhadap para pemimpin, kita harus menaati mereka
selama tidak menyimpang dari aturan agama. Menaati pemimpin yang
benar berarti menaati Allah Swt. (HR. al-Bukhari dan Muslim). Jika
mampu kita harus memberikan saran dan nasehat yang baik kepada
mereka demi kemajuan yang dipimpinnya.
Adapun terhadap orang-orang yang lemah, seperti fakir miskin
86
dan anak yatim, kita harus berbuat baik dengan menyantuni mereka,
memberikan makanan dan pakaian kepada mereka, dan melindungi
mereka dari gangguan yang membahayakan mereka. Jangan sekali-
kali kita berlaku sewenang-wenang kepada anak yatim dan
menghardik orang yang minta-minta (QS. al-Dluha (93): 9-10).
Terhadap mereka yang tidak seiman, Islam memberikan
beberapa batasan khusus seperti tidak boleh mengadakan hubungan
perkawinan dengan mereka, tidak memberi salam kepada mereka, dan
tidak meniru cara-cara mereka. Ukuran hubungan dengan mereka yang
tidak seiman adalah selama tidak masuk pada ranah aqidah dan
syariah. Di luar kedua hal ini, Islam tidak melarang kita berhubungan
dengan mereka. Terhadap mereka yang mengancam agama kita, kita
harus berbuat tegas (QS. al-Mumtahanah (60): 9). Dan jika mereka
berkhianat, kita pun harus memerangi mereka (QS. al-Anfal (8): 56-
57).
Itulah beberapa cara dalam rangka membina akhlak mulia di
tengah-tengah masyarakat secara umum. Secara khusus bentuk-bentuk
akhlak mulia di masyarakat ini dapat dilakukan dengan cara 1)
menyayangi yang lemah; 2) menyayangi anak yatim; 3) suka
menolong; 4) bersijap pemurah dan dermawan; 5) melakukan amar
ma‟ruf nahi munkar (menyuruh kepada yang ma‟ruf dan mencegah
dari yang munkar); 6) menaati ulama dan ulil amri; 7) bersikap
toleran; dan 8) sopan dalam bepergian, dalam berkendaraan, dalam
bertamu dan menerima tamu, dalam bertetangga, dalam makan dan
minum, dan dalam berpakaian.
87
bumi untuk membawa rahmat dan cinta kasih kepada alam seisinya. Oleh
karena itu, manusia mempunyai tugas dan kewajiban terhadap alam
sekitarnya, yakni melestarikannya dengan baik. Ada kewajiban manusia
untuk berakhlak kepada alam sekitarnya. Ini didasarkan kepada hal-hal sebagi
berikut :
1. bahwa manusia hidup dan mati berada di alam, yaitu bumi;
2. bahwa alam merupakan salah satu hal pokok yang dibicarakan
oleh al quran;
3. bahwa Allah memerintahkan kepada manusia untuk menjaga
pelestarian alam yang bersifat umum dan yang khusus;
4. bahwa Allah memerintahkan kepadaa manusia untuk mengambil
manfaat yang sebesar-besarnya dari alam, agar kehidupannya
menjadi makmur;
5. manusia berkewajiban mewujudkan mewujudkan kemakmuran
dan kebahagiaan di muka bumi.
Manusia wajib bertanggung jawab terhadap kelestarian alam atau
kerusakannya, karena sangat memengaruhi kehidupan manusia. Alam yang
masih lestari pasti dapat memberi hidup dan kemakmuran bagi manusia di
bumi. Tetapi apabila alam sudah rusak maka kehidupan manusia menjadi
sulit, rezeki sempit dan dapat membawa kepada kesengsaraan. Pelestarian
alam ini wajib dilaksanakan oleh semua lapisan masyarakat, bangsa dan
negara.
Berakhlak dengan lingkungan sekitarnya dapat dilakukan manusia
dengan cara melestarikan alam sekitarnya sebagai berikut :
1. melarang penebangan pohon-pohon secara liar
2. melarang perburuan binatang secara liar
3. melakukan reboisasi
4. mengendalikan erosi
5. membuat cagar alam dan suaka margasatwa
6. melarang membuang sampah sembarangan
7. merawat fasilitas umum dengan baik
8. menetapkan tata guna lahan yang lebih sesuai
9. memberikan pengertian yang baik tentang lingkungan kepada
seluruh lapisan masyarakat
10. memberikan sanksi-sanksi tertentu bagi pelanggar-pelanggarnya.
Manusia di bumi sebagai khalifah, mempunyai tugas dan kewajiban
terhadap alam sekitarnya, yakni melestarikan dan memeliharanya dengan
baik.
Allah berfirman :
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
88
orang-orang yang berbuat kerusakan”.(QS. Al Qashash[28] :77)
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan
Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia
Maha Mengetahui segala sesuatu”.
(QS Al Baqarah[2] : 29)
“Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan
dari keadaan semula dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu
menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi,
dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan”. (QS. Al Baqarah[2] :
36)
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan;
karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”.(QS. Al
Baqarah[2] : 168)
89
3. Pembagian Akhlak dalam Islam
Dualisme bentuk akhlak yaitu akhlak yang baik dan akhlak yang buruk
membawa konsekwensi yang berbeda bagi pelakunya. Masing-masing perbuatan
akhlak manusia akan mendapatkan balasannya baik atau buruk. Sebagaimana
dijelaskan diatas akhlak seseorang dibagi menjadi tiga, akhlak terhadap Allah,
terhadap diri sendiri dan masyarakat. Maka balasan dari akhlak juga dari tiga ini.
Balasan dari Allah untuk akhlak manusia berupa pahala untuk orang yang berakhlak
baik dan hukuman bagi yang berakhlak buruk, balasannya bisa di dunia atau kelak di
akhirat. Bagi diri sendiri maka balasan dari akhlak seseorang adalah situasi hatinya
setelah melakukan sesuatu perbuatan jika perbuatan dan akhalaknya baik hatinya
merasa tenang dan nyaman, dan sebaliknya keadaan dan perasaan hatinya buruk dan
tidak baik jika perbuatan dan akhlaknya jelek. Sedangkan balasan dari masyarakat
adalah berupa sanksi sosial sesuai dengan aturan yang berlaku didalam masyarakat.
Pembagian akhlak yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah menurut sudut
pandang Islam, baik dari segi sifat maupun dari segi objeknya. Dari segi sifatnya,
akhlak dikelompokkan menjadi dua, yaitu pertama, akhlak yang baik, atau disebut juga
akhlak mahmudah (terpuji) atau akhlak al-karimah; dan kedua, akhlak yang buruk atau
akhlak madzmumah.
a. Akhlak Mahmudah
Akhlak mahmudah adalah tingkah laku terpuji yang merupakan tanda keimanan
seseorang. Akhlak mahmudah atau akhlak terpuji ini dilahirkan dari sifat-sifat yang
terpuji pula. Sifat terpuji yang dimaksud adalah, antara lain: cinta kepada Allah, cinta
kepda rasul, taat beribadah, senantiasa mengharap ridha Allah, tawadhu„, taat dan
patuh kepada Rasulullah, bersyukur atas segala nikmat Allah, bersabar atas segala
musibah dan cobaan, ikhlas karena Allah, jujur, menepati janji, qana„ah, khusyu dalam
beribadah kepada Allah, mampu mengendalikan diri, silaturrahim, menghargai orang
lain, menghormati orang lain, sopan santun, suka bermusyawarah, suka menolong
kaum yang lemah, rajin belajar dan bekerja, hidup bersih, menyayangi binatang, dan
menjaga kelestarian alam. Selain itu terdapat pula sikap untuk menilai orang lain yang
disebut dengan husnuzzan. Husnuzzan artinya berprasangka baik. Sedangkan
huznuzhan kepada Allah SWT mengandung arti selalu berprasangka baik kepada
Allah SWT, karena Allah SWT terhadap hambanya seperti yang hambanya sangkakan
kepadanya, kalau seorang hamba berprasangka buruk kepada Allah SWT maka
buruklah prasangka Allah kepada orang tersebut, jika baik prasangka hamban
kepadanya maka baik pulalah prasangka Allah kepada orang tersebut.
Apabila kita melihat isyarat ayat al-Quran, terdapat isyarat tentang adanya
hirarki atau tingkatan akhlak mahmudah, yaitu:
1)Tingkat Hasanah, artinya hirarki akhlak mahmudah dalam tingkatan yang
paling rendah. Bentuk kongkritnya menjawab salam dengan redaksi yang sama dengan
yang diucapkan oleh pemberi salam. Misalnya, ketika seseorang mengucapkan salam
dengan redaksi ―Assalamu‟alaikum, dijawab dengan ucapan―wa‟alikumussalam.
2)Tingkat Karimah, artinya hirarki akhlak mahmudah dalam tingkat yang lebih
tinggi dari tingkat hasanah. Bentuk kongkritnya menjawab salam dengan redaksi yang
lebih panjang dari yang diucapkan pemberi salam. Misalnya, ketika seseorang
90
mengucapkan salam dengan redaksi ―Assalamu‟alaikum‖, dijawab dengan ucapan
―wa‟alikumussalam warohmatullah wabarokatuh.‖
3)Tingkat Azhimah, artinya hirarki akhlak mahmudah dalam tingkat yang paling
tinggi. Bentuk kongkritnya yaitu membalas keburukan dengan kebaikan. Hal ini
memang tidak mudah. Rasulullah SAW adalah personifikasi orang yang mampu
mempraktekkan tingkatan ini. Makanya Rasul disebut orang yang memiliki akhlak
mulia dengan tingkat ini. Hal ini diisyaratkan dalam Q.S. al- Qalam [68]: 4 berikut ini:
Artinya: dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung
Hirarki akhlak mahmudah tingkat hasanah dan karimah dalam al-Quran
diisyaratkan oleh Q.S. al-Nisa [4]: 86 berikut ini:
Artinya: “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan,
Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah
penghormatan itu (dengan yang serupa) Sesungguhnya Allah memperhitungankan
segala sesuatu”.
b. Akhlak Madzmumah
Akhlak madzmumah adalah tingkah laku yang tercela atau perbuatan jahat yang
merusak iman seseorang dan menjatuhkan martabat manusia. Sifat yang termasuk
akhlak mazmumah adalah segala sifat yang bertentangan dengan akhlak mahmudah,
antara lain: kufur, syirik, munafik, fasik, murtad, takabbur, riya, dengki, bohong,
menghasut, kikil, bakhil, boros, dendam, khianat, tamak, fitnah, qati„urrahim, ujub,
mengadu domba, sombong, putus asa, kotor,mencemari lingkungan, dan merusak
alam.
Oleh karena itu, hendaknya seorang mukmin senantiasa menghiasi dirinya
dengan akhlak yang terpuji dalam setiap tarikan dan hembusan nafasnya yang
demikian ini sudah diajarkan oleh Allah melalui Al-quran untuk hidup dalam tuntunan
Ilahi. Quraish Shihab menjelaskan tentang hal ini dalam menafsirkan Al Quran surat
Al Anfal ayat 34 yang berbunyi: ―Hai orang-orang beriman berkenan lah Allah
dan Rasul apabila Dia menyeru kamu kepada apa yang menghidupkan kamu.
Menurut Quraish Shihab kata menghidupkan kamu dalam surat Al Anfal ayat 34
tersebut mengandung arti bahwa Allah menganugerahi manusia apa yang berpotensi
mencapai kesempurnaannya. Seperti pencerahan akalnya, keyakinan yang benar, budi
pekerti yang luhur. petunjuk menyangkut kegiatan positif serta perbaikan individu dan
masyarakat. (Shihab, 2018: 68-69).
Sebagaimana akhlak terpuji, akhlak tercela juga dapat dikatakan memiliki
tingkatan, walaupun tidak secara tegas diisyaratkan dalam teks al-Quran atau hadits.
Kata-kata hûban kabîra yang terdapat dalam Q.S. al-Nisa {4]: 2 yang ditafsirkan
dengan dzanban, azhî mâ (dosa besar) atau kata-kata lain yang semakna dengannya,
atau istilah min al-kabâir dalam hadits nabi menunjukkan adanya tingkatan dosa besar.
Beberapa contoh dosa besar yang dijelaskan dalam al-Quran dan hadits
diantaranya: syirik, menyakiti kedua orang tua, memakan harta riba, mengkonsumsi
minuman keras (khamr), membunuh jiwa bukan karena alasan yang benar, dan lain.
Mafhum mukhalafah dari adanya dosa besar adalah ada yang disebut dosa kecil,
walaupun dalam teks al-Quran tidak ada istilah dzanban shagîra. Seorang muslim
91
dituntut menjauhi dosa besar dan kecil. Ketika melakukan dosa besar segera bertaubat
kepada Allah, dan diusahakan sekua mungkin mengerjakan dosa kecil. Dalam sebuah
keterangan dijelaskan:
Artinya: “Tidak ada (disebut) dosa kecil kalau dikerjakan terus menerus
(akhirnya menjadi besar juga), dan tidak ada dosa besar kalau diiringi istighfar/ tobat
(akhirnya akan terhapus juga)”.
92
Dengan demikian, pembentukan karakter Islami merupakan upaya yang
terencana dan sistematis untuk menjadikan seseorang mengenal, peduli dan
menginternalisasikan nilai-nilai Islam sehingga seseorang tersebut berprilaku sebagai
insan kamil.
Pembinaan terhadap karakter memiliki makna yang lebih tinggi dari pada
pembinaan terhadap moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan
mana yang salah. Lebih dari itu, menanamkan kebiasaan tentang yang baik, sehingga
anak menjadi paham, mampu merasakan dan mau melakukan yang baik.
93
Saya Telah Belajar
(Tuliskan poin-poin inti dari materi yang telah dipelajari)
5. Rangkuman Materi
Pengertian akhlak secara etimologis atau bahasa, berasal dari bahasa Arab jama„
dari bentuk mufradnya khuluqun ( )خلقyang diartikan: budi pekerti, perangai, tingkah
laku, karakter atau tabiat. Akhlak jika dijabarkan dalam konteks kebahasaan yang
lebih luas, maka setidaknya ada empat makna, pertama akhlak diartikan sebagai ilmu
tentang kebiasaan, ilmu tentang manusia, ilmu tentang baik dan buruk, dan ilmu
tentang keutamaan atau sifat-sifat yang utama.
94
makhluk ciptaan Allah SWT (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, benda-benda
bernyawa dan tidak bernyawa).
Akhlak segi sifatnya, dikelompokkan menjadi dua, yaitu pertama, akhlak yang
baik, atau disebut juga akhlak mahmudah (terpuji) atau akhlak al-karimah; dan kedua,
akhlak yang buruk atau akhlak madzmumah. Membahas tentang persesuaian akhlak
dan karakter, Abuddin Nata menyebutkan lima ciri yang terdapat dalam perbuatan
akhlak, yaitu pertama, akhlak tersebut sudah menjadi kepribadian yang tertanam kuat
dalam jiwa seseorang; kedua, perbuatan akhlak merupakan perbuatan yang dilakukan
dengan tanpa pemikiran; ketiga, perbuatan akhlak adalah perbuatan tanpa paksaan dan
tanpa ada unsur sandiwara; keempat, akhlak adalah perbuatan yang dilakukan untuk
meninggikan kalimat Allah. Dengan demikian, karakter Islami adalah prilaku, sifat,
tabiat, akhlak yang dilandasi oleh nilai-nilai Islam yang bersumber dari al-Quran dan
Hadis Nabi SAW. Karakter Islami ini intinya adalah akhlaq al-karimah. Akhlaq al-
karimah adalah suatu sifat, tabiat dan prilaku yang menunjukan adanya hubungan baik
dengan Allah (Khaliq) dan sesama makhluk yang didasari oleh nilai-nilai Islam.
6. Daftar Referensi
Ahmad Saebani, dkk. Ilmu Akhlak. Cet.I (Bandung: Pustaka Setia, 2010)
Ilyas, Yunahar. 2005. Kuliah Akhlaq. Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan
Pengalaman Islam (LPPI).
Lahiji, Syehk ZA Qurbani, 2011, Risakah Sang Imam (Ajaran Etika Ali Bin Abi
Thalib), Al-Huda: Jakarta.
Marjuki, 2009, Akhlak Mulia (Pengantar Studi Konsep-Konsep Dasar Etika Dalam
Islam), Debut Wahana Press: Yogyakarta.
Misbah, Mujtaba, 2008, Daur Ulang Jiwa, Al-Huda: Jakarta.
Muslim Nurdin dkk, Moral dan Kognisi Islam, (Bandung: CV Alfabeta, 1995)
Zahruddin AR, Hasanuddin sinaga. Pengantar Studi Akhlak PT Grafindo Persada,
Jakarta, 2004
7. Soal Latihan
1) Jelaskan pengertian Akhlak secara etimologi, dan terminology dalam konsepsi
Agama Islam!
2) Jelaskan argumentasi dasar akhlak Islam sesuai literatur, dan apa yang bisa anda
simpulkan dari argumentasi tersebut!
3) Jelaskan argumentasi bagaimana berakhlak kepada Allah SWT, dan Akhlak
kepada Rosululloh!
4) Bagaimana Islam mengajarkan untuk berakhlak kepada sesama manusia dan
lingkungan tempat tinggalnya, juga sebutkan dalil-dalil naqlinya sebagai dasar
membangun argumentasi?
5) Jelaskan pembagian akhlak dalam study Islam?
6) Jelaskan bagaimana proses pembentukan karakter dalam konsep akhlak Islam?
95
MODUL VII
PETUNJUK MATERI
A. Deskripsi Materi
Muamalah merupakan pembahasan Islam terhadap relasi antar manusia dalam tinjaun
agama. Pada materi ini anda agar belajar tentang konsepsi muamalah mulai dari
pengertian, dasar, ruang lingkup, prinsip dan kaidah muamalah.
C. Capaian Pembelajaran
Capaian Pembelajaran Mata Kuliah
Mampu menjelaskan konsep karakter yang berketuhanan maha esa dan hubungan
baik manusia dalam masyarakat sesuai agama masing-masing
96
MUAMALAH DALAM ISLAM
97
Guna menambah khasanah pemahaman tentang muamalah, dalam islam juga
dikenal adanya Fiqh Muamalah, sebagaimana dikemukakan oleh Abdullah al-Sattar
Fathullah Said yang dikutip oleh Nasrun Haroen yaitu“hukum- hukum yang berkaitan
dengan tindakan manusia dalam persoalan-persoalan keduniaan, misalnya dalam
persoalan jual-beli, utang-piutang, kerja sama dagang, perserikatan, kerja sama dalam
penggarapan tanah, dan sewa-menyewa”, define lainnya sebagai berikut:
Fiqh Muamalah menurut para ahli dalam arti luas:
98
2. Dasar dan Ruang Lingkup Muamalah
2.1. Dasar Muamalah dalam Islam
Dasar dari pengamalan muamalah dalam Islam secara umum berasal dari tiga dasar
sumber utama, yaitu Al Quran dan Hadits, dan ijtihad.
1). Al Qur’an
Seperti yang telah diketahui bahwa Al Qur‟an merupakan referensi utama
yang memuat pedoman dasar bagi umat manusia. Khususnya dalam menemukan
dan menarik suatu perkara dalam kehidupan. Sudah seharusnya setiap muslim
selaluberpegang teguh kepada hukum-hukum yang terdapat di dalam Al Qur‟an
sebagai petunjuk agar menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT, yaitu
mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya. Ayat tentang
muamalah antara lain, QS An Nisa‟ Ayat 58 yang artinya :
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak
menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran
yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi
Maha Melihat
QS Al Muthaffifin ayat 1-6 yang artinya :
1). Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang), 2)
(yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta
dipenuhi, 3) dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain),
mereka mengurangi, 4) Tidakkah orang-orang itu mengira, bahwa sesungguhnya
mereka akan dibangkitkan, 5) pada suatu hari yang besar, 6) (yaitu) pada hari
(ketika) semua orang bangkit menghadap Tuhan seluruh alam.“
QS Ali Imran ayat 3 yang artinya :
Hai orang-orang yg beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah agar kamu mendapat keberuntungan.
2). Hadits
Seperti yang telah diketahui bahwa Hadits merupakan sumber hukum bagi
umat Islam yang kedua setelah Al Qur‟an. yang digunakan oleh umat Islam sebagai
panduan dalam melaksanakan berbagai macam aktivitas, baik yang berkaitan
dengan urusan dunia maupun urusan akhirat. Hadits adalah segala sesuatu yang
disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik berupa perkataan (sabda), perbuatan,
maupun ketetapan yang dijadikan sebagai landasan syari‟at Islam. Hadits tentang
muamalah antara lain :
“Sesungguhnya jika Allah mengharamkan atas suatu kaum memakan sesuatu,
maka Allah mengharamkan pula hasil penjualannya” (HR. Abu Daud)
“Janganlah kalian berbuat zhalim, ingatlah tidak halal harta seorang kecuali
dengan keridhoan darinya” (HR al-Baihaqi).
Dari Abdullah bin mas‟ud r.a dari Nabi SAW beliau bersabda : Riba itu terdiri 73
pintu. Yang paling ringan diantarannya adalah seperti seseorang laki-laki yang
berzina dengan ibunya, dan sehebat-hebattnya riba adalah merusak kehormatan
seorang muslim. (HR. Ibnu Majah).
99
3). Ijtihad
Sumber hukum yang ketiga setelah Al Qur‟an dan hadits adalah ijtihad,
yaitu proses menetapkan suatu perkara baru dengan akal sehat dan pertimbangan
yang matang, dimana perkara tersebut tidak dibahas dalam Al Qur‟an dan hadits.
Ijtihad merupakan sumber yang sering digunakan dalam perkembangan fiqih
muamalah sebagai solusi terhadap suatu permasalahan yang harus diterapkan
hukumnya, tetapi tidak ditemukan dalam Al Qur‟an maupun Hadits.
2.2. Ruang Lingkup Muamalah
Muamalah memiliki ruang lingkup yang dibagi menjadi 2 yaitu Al- Muamalah Al-
Adabiyah dan Al-Muamalah Al-Madiniyah.
1). Al-Muamalah Al-Adabiyah
Yaitu muamalah yang ditinjau dari segi cara tukar menukar benda yang bersumber
dari panca indera manusia, yang unsur penegaknya adalah hak-hak dan kewajiban-
kewajiban. Ruang lingkup fiqh muamalah yang bersifat Adabiyah mencangkup
beberapa hal berikut ini:
a. Ijab Qabul
b. Saling meridhai
c. Tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak
d. Hak dan kewajiban
e. Kejujuran pedagang
f. Penipuan
g. Pemalsuan
h. Penimbunan
i. Segala sesuatu yang bersumber dari indera manusia yang ada kaitannya dengan
peredaran harta dalam hidup bermasyarakat.
100
tersebut dalam menghadapi penagih (utang). Sedangkan dhaman berarti
menanggung hutang orang yang berhutang.
d. Pemindahan hutang (Hiwalah) berarti pengalihan, pemindahan. Pemindahan
hak atau kewajiban yang dilakukan seseorang (pihak pertama) kepada pihak
kedua untuk menuntut pembayaran hutang dari atau membayar hutang kepada
pihak ketiga. Karena pihak ketiga berhutang kepada pihak pertama. Baik
pemindahan (pengalihan) itu dimaksudkan sebagai ganti pembayaran maupun
tidak.
e. Jatuh bangkrut (Taflis) adalah seseorang yang mempunyai hutang, seluruh
kekayaannya habis.
f. Perseroan atau perkongsian (al-Syirkah) dibangun atas prinsip perwakilan dan
kepercayaan, karena masing-masing pihak yang telah menanamkan modalnya
dalam bentuk saham kepada perseroan, berarti telah memberikan kepercayaan
kepada perseroan untuk mengelola saham tersebut.
g. Masalah-masalah seperti bunga bank, asuransi, kredit, dan masalah- masalah
baru lainnya.
Perlu diketahui bahwa ruang lingkup muamalah juga mencakup seluruh aspek
kehidupan manusia seperti bidang ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya. Menurut
Abdul Wahhab Khallaf, berdasarkan tujuannya, muamalah dalam Islam memiliki ruang
lingkup yang meliputi :
101
d. Hukum Acara (Al-Ahkam Al-Murafa‟at)
Definisi hukum acara adalah hukum yang berkaitan dengan sumpah,
persaksian, tata cara mempertahankan hak dan memutuskan siapa yang
terbukti bersalah, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pada hukum
ini bertujuan untuk mengatur dan merealisasikan keadilan di dalam kehidupan
masyarakat.
102
diperintahkan sedangkan dalam muamalah semua boleh dilakukan kecuali yang
dilarang, oleh karena itu semua bentuk transaksi dan akad muamalah boleh
dilakukan oleh manusia asal tidak bertentangan dengan ketentuan syara‟.
b. Mumalah Harus Didasarkan kepada Persetujuan dan Kerelaan Kedua Belah Pihak
artinya dasar dari bermuamalah adalah kerelaan dari kedua belah pihak bagaimana
pun bentuk akad dan transaksi muamalah selama kedua belah pihak rela dan
sepakat serta tidak melanggar ketentuaan syara‟ itu diperbolehkan.
c. Adat Kebiasaan Dijadikan Dasar Hukum maksudnya dalam bermuamalah setiap
daerah atau kelompok mempunyai kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun
dan bertahun-tahun yang selanjutnya menjadi adat kebiasaan dalam bermuamalah
jika adat dan kebiasaan itu tidak bertentangan dengan syara‟ dan diakui oleh
masyarakat maka hal itu sah dijadikan sebagai dasar hukum.
d. Tidak Boleh Merugikan Orang Lain dan Diri Sendiri maksudnya tujuan
bermuamalah adalah mencari keuntungan yang tidak merugikan orang lain, maka
dari itu dalam bermuamalah haruslah sama-sama menguntungkan kedua belah
pihak yang terlibat.
Selanjutnya dalam muamalah juga dikenal adanya prinsip-prinsip khusus muamalah
yang dibagi menjadi dua, yaitu yang diperintahkan dan yang dilarang. Adapun yang
diperintahkan dalam muamalah terdapat tiga prinsip, yaitu :
o Objek transaksi harus yang halal, artinya dilarang melakukan aktivitas ekonomi
atau bisnis terkait yang haram.
o Adanya keridhaan semua pihak terkait muamalah tersebut, tanpa ada paksaan.
o Pengelolaan dana / aset yang amanah dan jujur.
o Riba, merupakan setiap tambahan / manfaat yang berasal dari kelebihan nilai
pokok pinjaman yang diberikan peminjam. Riba juga sebagai suatu kegiatan
yang menimbulkan eksploitasi dan ketidakadilan yang secara ekonomi
menimbulkan dampak sangat merugikan masyarakat
o Gharar, adalah mengandung ketidakjelasan, spekulasi, taruhan, bahaya,
cenderung pada kerusakan.
o Tadlis (penipuan), misalnya penipuan dalam transaksi jual beli dengan
menyembunyikan atas adanya kecacatan barang yang diperjualbelikan.
o Berakad dengan orang-orang yang tidak cakap dalam hokum, seperti orang gila,
anak kecil, terpaksa, dan lain sebagainya.
103
mengetahui hukum-hukum syar‟i yang berhubungan dengan amal perbuatan hamba
berdasarkan pada dalil-dalilnya secara terperinci.
Dari sini bisa disimpulkan bahwa kaidah adalah hukum atau pondasi yang bersifat
umum yang bisa untuk memahami permasalahan yang tercakup dalam
pembahasannya.
Faidah Kaidah
1). Sebuah kaidah fiqih bisa digunakan untuk mengetahui banyak permasalahan
fiqih yang tercakup dalam pembahasannya. Dan ini akan sangat memudahkan
seorang penuntut ilmu untuk mengetahui hukum-hukum fiqih tanpa harus
menghafal sebuah permasalahan satu persatu.
Imam Al-Qarrafi berkata: “Barangsiapa yang menguasai fiqih lewat penguasaan
kaidah-kaidahnya, maka dia tidak butuh untuk menghafal semua permasalahannya
satu persatu karena sudah tercakup dalam keumuman kaidah tersebut.” (Lihat Al-
Furuq Al-Qarrafi 2/115)
2). Penguasaan kaidah akan sangat membantu seseorang dalam memberikan
sebuah hukum yang kontemporer dan belum pernah terjadi sebelumnya dengan
cara yang mudah.
Sumber Kaidah
1. Kaidah yang teksnya terambil langsung dari nash Al-Qur‟an dan As-Sunnah.
2. Kaidah yang teksnya tidak diambil langsung dari nash Al-Qur‟an dan As-
Sunnah, namun kandungannya berdasarkan Al-Qur‟an dan As-Sunnah. Kaidah
yang tersusun berdasarkan ijtihad para ulama. Dan biasanya didasarkan atas sebuah
qiyas atau ta‟lil (melihat sebab dari sebuah hukum) atau dengan melihat kepada
sifat hukum syar‟i secara umum serta melihat kepada maqashid syar‟iyyah
(maksud dan tujuan dari sebuah hukum syar‟i) atau yang lainnya.
Berikut ini disampaikan beberapa kaidah fikih yang khusus di bidang muamalah.
Di antara kaidah khusus di bidang muamalah ini adalah sebagai berikut:
َ ْ ْ َ َ َ َُ َْ ا ُ َ َ
َ إلم َع َامل ِة إإلباحة إال أن يد ال د ِل ْي ٌل عَ
ُ ۡلص ُل ف ن ْ َ
1. َل تح ِري ِمها ِ ِي
“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil
yang mengharamkannya”
Maksud kaidah ini bahwa dalam setiap muamalah dan transaksi, pada dasarnya
boleh, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, kerja sama (mudharabahatau
musyarakah), perwakilan dan lain-lain, kecuali yang tegas-tegas diharamkan
seperti mengakibatkan kemudaratan, tipuan, judi dan riba.
Ibnu Taimiyah menggunakan ungkapan lain :
“Hukum asal dalam muamalah adalah pemaafan, tidak ada yang diharamkan
kecuali apa yang diharamkan Allah SWT”.
104
“Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan, kedua belah pihak yang berakad,
hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan”
Keridhaan dalam melakukan transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena itu,
transaksi barulah sah apabila didasarkan kepada keridhaan kedua belah pihak.
Artinya tidak sah suatu akad apabila suatu pihak dalam keadaan terpaksa atau
dipaksa atau juga merasa tertipu. Bisa terjadi padaa waktu akad sudah saling
meridhai, tetapi kemudian salah satu pihak merasa tertipu, artinya hilang
keridhaannya, maka akad tersebut bisa batal. Contohnya seperti pembeli yang
merasa tertipu karena dirugikan oleh penjual karena barangnya terdapat cacat.
Ungkapan yang lebih singkat dari Ibnu Taimiyah
“Dasar dari akad adalah keridhaan kedua belah pihak”
ْ َ
3. ي ِه ِبال ِؤذ ِن ِه
َْ ْ َ ن
ا َ ََ َْ
ُ ََ ُ َ َ
ِ ال يجور ِۡلح ِد أن يتۡف ِ يف ِمل ِك غ
“Tidak seorang pun boleh melakukan tindakan hukum atas milik orang lain tanpa
izin si pemilik harta”.
Atas dasar kaidah ini, maka si penjual haruslah pemilik barang yang dijual atau
wakil dari pemilik barang atau yang diberi wasiat atau wakilnya. Tidak ada hak
orang lain pada barang yang dijual.
ََ َ ُ َ ُ َْ َ
َ
4. إإلجازةِ لبا ِطل ال يقبل
“Akad yang batal tidak menjadi sah karena diblehkan”
Akad yang batal dalam hukum Islam dianggap tidak ada atau tidak pernah terjadi.
Oleh karena itu, akad yang batal tetap tidak sah walaupun diterima oleh salah satu
pihak. Contohnya, Bank Syariah tidak boleh melakukan akad dengan lembaga
keuangan lainnya yang menggunakan sistem bunga, meskipun sistem bunga
dibolehkan oleh pihak lain, karena sistem bunga telah dinyatakan haram oleh
Dewan Syariah Nasional. Akad baru sah apabila lembaga keuangan lain itu mau
menggunakan akad-akad yang diberlakukan pada perbankan syariah, yaitu akad-
akad atau transaksi tanpa menggunakan sitem bunga.
َ ا َ َ َ َ َ َُ َ
5. ابق ِة
ِ الو كال ِة إلس
ِ ِإإلجازة إلال ِحق ِة ك
“Izin yang datang kemudian sama kedudukannya dengan perwakilan yang telah
dilakukan lebih dahulu”.
Seperti telah dikemukakan kaidah no. 3 bahwa pada dasarnya seseorang tidak
boleh bertindak hukum terhadap harta milik orang lain tanpa seizin pemiliknya.
Tetapi, berdasarkan kaidah diatas, apabila seseorang bertindak hukum pada harta
milik orang lain, dan kemudian si pemilik harta mengizinkannya, maka tindakan
hukum itu menjadi sah, dan orang tadi dianggap sebagai perwakilan dari si pemilik
harta.
6. ان َ َ ْ َ َ ُ
َ ُ ا َ َْ
ِ إۡلجر وإلِمان ال يجت ِمع
“Pemberian upah dan tanggung jawab untuk mengganti kerugian tidak berjalan
bersamaan”
105
Yang disebut dengan dhanan atau ganti rugi dalam kaidah tersebut adalah
mengganti dengan barang yang sama. Apabila barang tersebut ada di pasaran atau
membayar seharga barang tersebut apabila barangnya tidak ada di pasaran
(Majalah Ahkam al-Adliyah Pasal 416)
Contoh, seorang menyewa kendaraan penumpang untuk membawa keluarganya,
tetapi si penyewa menggunakannya untuk membawa barang-barang yang berat
yang mengakibatkan kendaraan tersebut rusak berat. Maka, si penyewa harus
mengganti kerusakan tersebut dan tidak perlu membayar sewaannya. (Majalah
Ahkam al-adliyah Pasal 550)
َ َ ا ُ َ
7. ان ِ إلجرإج ِبالِم
“Manfaat suatu benda merupakan faktor pengganti kerugian”
Arti asal al-kharaj adalah sesuatu yang dikeluarkan baik manfaat benda maupun
pekerjaan, seperti pohon mengeluarkan buah atau binatang mengeluarkan susu.
Sedangkan al-dhaman adalah ganti rugi.
Contohnya, seekor binatang dikembalikan oleh pembelinya dengan alasan cacat. Si
penjual tidak boleh meminta bayaran atas penggunaan binatang tadi. Sebab,
pengguanaan binatang tadi sudah menajadi hak pembeli.
َْ ُ َ
8. لغ ْرم ِبالغن ِم
“Risiko itu menyertai manfaat”
Maksudnya adalh bahwa seseorang yang memanfaatkan sesuatu harus menanggung
risiko. Biaya notaris adalah tanggung jawab pembeli kecuali ada keridhaan dari
penjual untuk ditanggung bersama. Demikian pula halnya, seseorang yang
meminjam barang, maka dia wajib mengembalikan barang dan risiko ongkos-
ongkos pengembaliaannya. Berbeda dengan ongkos mengangkut dan pemeliharaan
barang, dibebankan kepada pemilik barang.
ََ َ ن
ُْ ئ َ ََ ا ََ َ
9. اف ض ْم ِن ِه
ِؤذإ بطل إلشن بطل م ِ ي
“Apabila sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada dalam tanggungannya”
Contohnya, penjual dan pembeli telah melaksanakan akad jual beli. Si pembeli
telah menerima barang dan si penjual telah menerima uang. Kemudian kedua belah
pihak membatalkan jual beli tadi. Maka, hal pembeli terhadap barang menjadi batal
dan hak penjual terhadap harga barang menjadi batal. Artinya, si pembeli harus
mengembalikan barangnya dan si penjual harus mengembalikan harga barangnya.
َ َ
10. العق ِد عَل َمن ِاف ِعها
ََ ْ
َ إلعقد عَل إۡلع َيان ك
َ َ َْ ََ ُ ْ
ِ
“Akad yang objeknya suatu benda tertentu adalah seperti akad terhadap manfaat
benda tersebut”
Objek suatu akad bisa berupa barang tertentu, misalnya jual beli, dan bisa pula
berupa manfaat suatu barang seperti sewa menyewa. Bahkan sekarang, objeknya
bisa berupa jasa seperti jasa broker. Maka, pengaruh hukum dari akad yang
106
objeknya barang atau manfaat dari barang adalah sama, dalam arti rukun dan
syaratnya sama.
ُ َ ا
11. ات فال ي ِصح ت ْو ِق ْيته
َ َ َ
َ ُ ُ ْ َ َ َ ُّ ُ َ ُ ُ ْ َ ُّ َ ُ
ِ ود إلمعاوض
ِ كل ماي ِصح تأ ِبيده ِمن إلعق
“Setiap akad mu‟awadhah yang sah diberlakukan selamanya, maka tidak sah
diberlakukan sementara”
Akad mu‟awadhah adalah akad yang dilakukan oleh dua pihak yang masing-
masing memiliki hak dan kewajiban, seperti jual beli. Satu pihak (penjual)
berkewajiban menyerahkan barang dan berhak terhadap harga barang. Di pihak lain
yaitu pembeli berkewajiban menyerahkan harga barang dan berhak terhadap barang
yang dibelinya. Dalam akad yang semacam ini tidak sah apabila dibatasi waktunya,
sebab akad jual beli tidak dibatasi waktunya. Apabila waktunya dibatasi, maka
bukan jual beli tapi sewa menyewa.
َ َْ ْ ن َ ا َ
12. اط ٌل ُّ إۡل ْم ُر بالت
ِ ۡ ِف ِ يف ِمل ِك إلغ ِي ب ِ
“Setiap perintah untuk bertindak hukum terhadap hak milik orang lain adalah
batal”
Maksud kaidah ini adalah apabila seseorang memerintahkan untuk bertransaksi
terhadap milik orang lain yang dilakukannya seperti terhadap miliknya sendiri,
maka hukumnya batal. Contohnya, seorang kepala penjaga keamanan
memerintahkan kepada bawahannya untuk menjual barang yang dititipkan
kepadanya, maka perintah tersebut adalah batal. Kaidah ini juga bisa masuk dalam
kaidah fiqih siyasah, apabila dilihat dari sisi kewenangan memerintah dari atasan
kepada bawahannya.
ْ َ ُّ ا ُّ ا ََ
13. ضِ الي ِتم إلت َيعث ِؤال ِبالقب
“Tidak sempurna akad tabarru‟ kecuali dengan penyerahan barang”
Akad tabarru‟ adalah akad yang dilakukan demi untuk kebajikan semata seperti
hibah atau hadiah. Hibah tersebut belum mengikat sampai penyerahan barangnya
dilaksanakan.
َ ا ََ ن
َ ا ُ َ
14. انِ اف إلِم
ع ين ِ ي ِ ْ إلجوإز ر
إلش ي
“Suatu hal yang dibolehkan oleh syara‟ tidak dapat dijadikan objek tuntutan ganti
rugi.”
Maksud kaidah ini adalah sesuatu yang dibolehkan oleh syariah baik melakukan
atau meninggalkannya, tidak dapat dijadikan tuntutan ganti rugi. Contohnya, si A
menggali sumur di tempat miliknya sendiri. Kemudian binatang tetangganya jatuh
ke dalam sumur tersebut dan mati. Maka, tetangga tadi tidak bisa menuntut ganti
rugi kepada si A, sebab menggali sumur di tempatnya sendiri dibolehkan oleh
syariah.
15. ت
َ ّ َ ا ََ َ ْ
ٌ ْ الي نيع ر َ ُ َ َْ ُ ن
ِ شء ِمن ي ٍد أح ٍد ِؤال ِبحق ث ِاب ي
107
“Sesuatu benda tidak bisa dicabut dari tangan seseorang kecuali atas dasar
ketentuan hukum yang telah tetap.”
ُ ْ َ َ ُ َ َْ ٌ َ َ ُ
16. ول ج ِائز أن يك ْون ق ِبلت ُ ُّ
ٍ كل قب
“Setiap kabul/penerimaan boleh dengan ungkapan saya telah diterima.”
Sesungguhnya berdasarkan kaidah ini, adalah sah dalam setiap akad jual beli, sewa
menyewa, dan lain-lain. Akad untuk menyebut qabiltu (saya telah terima) dengan
tidak mengulangi rincian dari ijab. Rincian ijab itu, seperti saya jual barang ini
dengan harga sekian dibayar tunai, cukup dijawab dengan “saya terima”.
ٌ َ َُ ُ َ َْ ْ
17. إلعق ِد أو ِمن ُمقتِاه فه َو ج ِائز
َْ
َ شط كان من َمصلحة ْ ُّ َ َ ْ ْ َ َ َ ُ
ِ ِ ٍ ْ كل ر
“Setiap syarat untuk kemaslahatan akad atau diperlukan oleh akad tersebut, maka
syarat tersebut dibolehkan.”
Contonya seperti dalan gadai emas kemudian ada syarat bahwa apabila barang
gadai tidak ditebus dalam waktu sekian bulan, maka penerima gadai berhak untuk
menjualnya. Atau syarat kebolehan memilih, syarat tercatat di notaris.
ُ ُ َ َ ا ُ ْ
ك ُّل َماصح ا َ ا ُ
18. إلرهن ِب ِه صح ض َما نه
“Setiap yang sah digadaikan, sah pula dijadikan jaminan.”
ُ ُْ َ َ ُ َ َ َ
19. َماجاز ب ْي ُعه جاز َرهنه
“Apa yang boleh dijual boleh pula digadaikan.”
Sudah barang tentu ada kekecualiannya, seperti manfaat barang boleh disewakan
tapi tidak boleh digadaikan karena tidak bisa di serah terimakan.
َ َُ ً َْ َ
20. ك ُّل ق ْرض ج ار َمنف َعة فه َو ِربا
َ ُ
“Setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh Kreditor) adalah sama dengan
riba.”
108
4. Relasi Muamalah dan Kehidupan Sosial
Kehidupan sosial kemasyarakatan menunjukkan keniscayaan hubungan antar
umat manusia, baik itu bernilai profit maupun non profit/sosial. Islam sebagai agama yang
paripurna/sempurna, tidak hanya menekankan pada ajaran tentang relasi vertikal manusia
dengan Tuhan (Allah SWT), namun juga memberi perhatian tentang relasi horizontal antar
manusia. Bahkan agama Islam melalui hadist Nabi Muhammad SAW menyebutkan bahwa
sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak bermanfaat bagi manusia yang lainnya,
َّ ُُ َ َ َ ر
hadist ini sangat relevan (اس
ِ الناس أنفعهم ِللن
ِ )خ ْ ُي.
Kaitan dengan konsep muamalah dan relasi sosial, dapat disimpulkan bahwa
Islam mendorong umatnya untuk memiliki kesalehan sosial disamping kesalehan ibadah,
bahkan dalam konsep muamalah kita diajari memperluas cakrawala/perspektif tentang
ibadah yang berkorelasi dengan pahala dari Allah SWT. Dalam konsep muamalah Islam,
umat yang mengikuti ketentuan muamalah sesuai syariat Islam maka dia juga sedang
beribadah grairu mahgdoh, yang berarti berpotensi mendapatkan pahala dan kemulyaan
dari Allah SWT. Untuk semakin menunjukan relasi muamalah dengan relasi sosial, berikut
dikemukanan 5 argumentasi.
Pertama, dalam al-Qur‟an atau kitab-kitab Hadist, proporsi terbesar kedua sumber
Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah. Menurut Ayatullah Khumaini dalam
bukunya yang dikutib Jalaluddin Rahmat dikemukakan bahwa perbandingan ayat-ayat
ibadah dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial adalah satu berbanding seratus,
untuk satu ayat ibadah, ada seratus ayat muamalah (masalah sosial).
Kedua, bahwa ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam Islam ialah adanya
kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang
penting, maka ibadah boleh diperpendek (tentu bukan ditinggalkan), melainkan dengan
tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.
Ketiga, bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih
besar daripada ibadah yang bersifat perseorangan. Karena itu shalat yang dilakukan secara
berjama‟ah dinilai lebih tinggi nilainya daripada shalat yang dikerjakan sendirian dengan
ukuran satu berbanding dua puluh tujuh derajat.
Keempat, dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak
sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifarat (tebusan)-nya
ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial. Bila puasa tidak
mampu dilakukan misalnya, maka jalan keluarnya adalah dalam bentuk memberi makan
bagi orang miskin. Bila suami istri bercampur siang hari di bulan Ramadhan maka
tebusannya adalah memberi makan kepada orang miskin.
Kelima, dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan
mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah. Dalam hubungan ini, misalnya kita
dapat membaca hadis yang artinya sebagai berikut. ”Orang yang bekerja keras untuk
menyantuni janda dan orang miskin, adalah seperti pejuang di jalan Allah (atau aku kira
beliau berkata) dan seperti orang yang terus menerus shalat malam dan terus menerus
berpuasa.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari beberapa argumentasi diatas, kita dapat mengetahui bahwa Islam sangat
memperhatikan kehidupan sosial, dan tentu menghendaki tatanan sosial yang teratur,
109
tertib, saling menghormati, menjaga nilai-nilai kemanusiaan, dan sebagainya, dengan kata
lain orang yang menerapkan konsep muamalah dalam kehidupan sosialnya, maka sejatinya
dia sedang ikut mewujudkan tatanan kehidupan yang baik.
5. Rangkuman Materi
Muamalah secara harfiah/bahasa berarti “pergaulan” atau hubungan antar manusia
sebagai ciptaan Allah SWT, dalam pengertian harfiah yang bersifat umum ini,
muamalah berarti perbuatan atau pergaulan manusia di luar peribadahan. Sedangkan
muamalah secara terminology/istilah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu
pengertian muamalah dalam arti luas dan dalam arti sempit.
Pengertian muamalah dalam arti luas yaitu “menghasilkan duniawi supaya
menjadi sebab suksesnya urusan ukhrawy”. Menurut Muhammad Yusuf Musa yang
dikutip Abdul Majjid : “Muamalah adalah peraturan-peraturan Allah yang harus
diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia”.
Adapun pengertian muamalah dalam arti sempit, didefinisikan oleh para ulama
Hudhari Beik yang dikutip oleh Hendi Suhendi, “muamalah adalah semua akad yang
membolehkan manusia saling menukar manfaatnya”. Dasar dari pengamalan
muamalah dalam Islam secara umum berasal dari tiga dasar sumber utama, yaitu Al
Quran dan Hadits, dan ijtihad.
Muamalah memiliki ruang lingkup yang dibagi menjadi 2 yaitu Al- Muamalah Al-
Adabiyah dan Al-Muamalah Al-Madiniyah. Perlu diketahui bahwa ruang lingkup
muamalah juga mencakup seluruh aspek kehidupan manusia seperti bidang ekonomi,
sosial, politik, dan sebagainya.
Konsep muamalah dalam Islam mengatur hubungan antar manusia dengan
manusia lain yang sasarannya adalah harta benda, dalam kajian muamalah maka harus
memperhatikan prinsip-prinsip untuk dijadikan acuan dan pedoman untuk mengatur
kegiatan muamalah.
110
Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut: Muamalah adalah Urusan
Duniawi, Mumalah Harus Didasarkan kepada Persetujuan dan Kerelaan Kedua Belah
Pihak, Adat Kebiasaan Dijadikan Dasar Hukum, Tidak Boleh Merugikan Orang Lain
dan Diri Sendiri.
6. Daftar Referensi
Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, Sapiudin Shiddiq, Fiqh Muamalat, (Jakarta:
Prenada Media Group, 2010
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
1993)
7. Soal Latihan
1) Jelaskan Pengertian muamalah dalam konsep Islam?
2) Jelaskan pemahaman terhadap dasar muamalah dalam Islam pada Al-Qur'an,
Hadist, dan Ijtihad ulama'!
3) Jelaskan tentang Al- Muamalah Al-Adabiyah dan Al-Muamalah Al-Madiniyah
dalam konsep Muamalah Islam!
4) Jelaskan ruang lingkup muamalah berdasarkan tujuannya!
5) Jelaskan prinsip-prinsip muamalah yang harus dijadikan acuan dalam
bermuamalah?
6) Jelaskan 3 kaidah dalam bidang muamalah yang paling anda fahami?
7) Jelaskan relasi muamalah dengan kehidupan sosial dalam konsep Islam?
8) Coba diskripsikan satu kasus muamalah dan penyelesaiannya menggunakan
konsepsi muamalah dalam Islam?
111
112