“KONSEP FIQIH”
TAHUN 2021/2022
KATA PENGANTAR
Assalamu‘alaikum Wr.Wb
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam.Atas izin dan
karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah tepat waktu.Tak lupa pula penulis haturkan
shalawat serta salam kepada junjungan Rasulullah Muhammad SAW.Semoga syafaatnya
mengalir pada kita di hari akhir kelak.Penulisan makalah berjudul “Konsep Fiqih” bertujuan
untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih.Yang di berikan oleh bapak Dr.Sukirdi, M.Pd.
kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun dari banyak pihak kami terima dengan senang hati untuk
menyempurnakan makalah ini.
Wa’salammu’alaikum Wr.Wb.
Penulis
1
DAFTAR ISI
III.C.Tujuan ................................................................................................................... 3
2
BAB I
PENDAHULUAN
Mempelajari ilmu fiqih menjadi sebuah sarana manusia untuk menjalani kehidupan di
dunia, baik ibadah maupun muamalah.Fiqh dalam konteks ibadah akan membahas hubungan
manusia dengan Tuhan sedangkan fiqh dalam konteks muamalah akan membahas hubungan
manusia dengan manusia.
Hal yang pertama dipelajari adalah konsep dasar dari ilmu fiqh.Konsep dasar tersebut
meliputi pengertian, sumber hukum islam, ruang lingkup, dan pengertian ilmu fikih.
3
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian “fiqh” secara etimologis berati “paham yang mendalam”. Bila “paham” dapat
digunakan untuk hal hal yang bersifat lahiriah, maka fiqh berarti paham yang menyampaikan
ilmu lahir kepada ilmu batin.Karena itulah At-Tirmidzi menyebutkan, “Fiqh tentang sesuatu”,
berarti mengetahui batinnya sampai kepada kedalamannya.
Kata “faqaha” atu yang berakar kepada kata itu dalam Al-Qur’an disebut dalam 20 ayat :
19 diantaranya berarti bentuk tertentu dalam kedalaman paham dan kedalaman ilmu yang
menyebutkan dapat diambil manfaat darinya.
Ada pendapat yang megatakan bahwa “fiqhu” atau paham tidak sama dengan “ilmu”
walaupun wazan (timbangan) lafaznya sama. meskipun belum menajdi ilmu, paham adalah
pikiran yang baik dari segi kesiapannya menangkap apa yang dituntut. Ilmu bukanlah dalam
bentuk zhanni seperti paham atau fiqh yang merupakan ilmu tentang zheanni dalam dirinya.
Secara definitif, fiqh berarti “ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliyah
yang digali dan ditemukan dan dalil-dalil yang tafsili”.
Dalam definisi ini,fiqh diibaratkan dengan ilmu karena fiqh itu semacam ilmu
pengetahuan. Memang fiqh itu tdak sama dengan ilmu seperti disebutkan diatas, fiqh itu bersifat
zhanni.Fiqh adalah apa yang dapat dicapai oleh mujtahid dengan zhan nya, sedangkn ilmu tidak
bersifat zhanni seperti fiqh.Namun, karena zhan dalam fiqh ini kuat, maka ia mendekati kepada
ilmu; karena dalam definisi ini ilmu digunakan juga untuk fiqh.Dalam definisi diatas terdapat
batasan atau pasal yang disamping menjelaskan hakikat dari fiqh itu, sekaligus juga memisahkan
arti kata fiqh itu dari yang bukan fiqh.
4
Kata “hukum” dalam definisi tersebut menjelaskan bahwa hal-hal yang berada diluar apa
yang dimaksud dengan kata “hukum”, seperti zat, tidaklah termasuk kedalam pengertian fiqh.
Bentuk jamak dari hukum adalah “ahkam”. Disebut dalam bentuk jamak adalah untuk
menjelaskan bahwa fiqh itu ilmu tentang seperangkat aturan yang disebut hukum.
Penggunaan kata “syar’iyyah” atau “syariah” dalam definisi tersebut menjelaskan bahwa
fiqh itu menyangkut ketentuan yang bersifat syar’i, yaitu sesuatu yang berasal dari kehendak
Allah. Kata ini sekaligus menjelaskan bahwa sesuatu yang bersifat ‘Aqli’ seperti ketentuan
bahwa dua kali dua adalah empat atau bersifat hissi seperti ketentuan bahwa api itu panas
bukanlah lapangan ilmu fiqh.
Kata “amaliah” yang terdapat dalam definisi diatas menjelaskan bahwa fiqh itu hanya
menyangkut tindak tanduk manusia yang bersifat lahiriah. Dengan demikian, hal-hal yang
bersifat tidak amaliah seperti masalah keimanan atau ‘akidah tidak termasuk dalam lingkungan
fiqh dalam artian ini.
Penggunaan kata “digali dan ditemuikan” mengandung arti bahwa fiqh itu adalah hasil
penggalian, penemuan, penganalisisian, dan penentuan ketetapan tentang hukum. Karenanya bila
bukan dalam bentuk hasil penggalian – seperti mengetahui apa-apa yang secara lahir dan jelas
dikatakan Allah – tidak disebut fiqh. Fiqh itu adalah hasil penemuan mujtahid dalam hal-hal
yang tidak dijelaskan oleh nash.
Kata “tafsili” dalam definisi itu menjelaskan tentang dalil-dalil yang digunan seorang faqih atau
mujtahid dalam penggalian dan peemuannya. Karena itu, ilmu yang diperoleh orang awam dari
seorang mujtahid yang terlepas dari dalil tidak termasuk kedalam pengertian fiqh.
Al-amidi memberikan definisi fiqh yang berbeda dengan definisi yang berbeda dengan
yang diatas, yaitu : “ilmu tentang seperangkat hukum-hukum syara’ yang bersifat furu’iyah yang
berhasil didapatkan melalui penalaran atau istidlal”.
5
Kata “furu’iyah” daam definisi Al-Amidi ini menjelaskan bahwa ilmu tentang dalil dan
macam-macamnya sebagai hujjah, bukanlah fiqh menurut artian ahli ushul, sekalipun yang
diketahui itu adalah hukujm yang bersifat mazhari.
Penggunaan kata “penaaran” dan “istidlal” (yang sama maksudnya dengan “digali”)
menurut istilah ibnu subki diatas memberikan penjelasan bahwa fiqh itu adalah hasil penalaran
dan istidlal. Ilmu yang diperoleh bukan dengan cara itu – seperti ilmu nabi tentang apa yang
diketahuinya dengan perantaraan wahyu – tidak disebut fiqh.
Dengan demikian, secara ringkas dapat dikatakan, “fiqh itu adalah dugaan kuat yang
dicapai seorang mujtahid dalam usahanya menemukan hukum Allah”. (Syarifuddin, 2009)
Imu Ushul Fiqih memiliki dua tema kajian yang utama, yakni; (1) menetapkan suatu
hukum berdasarkan dalil; dan (2) menetapkan dalil bagi suatu hukum. Dengan demikian, ilmu
Ushul Fiqih tidak dapat lepas dari dua aspek pembahasan, yakni dalil dan hukum. Istilah dalil
menurut pengertian bahasa mengandung beberapa makna, yakni: penunjuk, buku petunjuk, tanda
atau alamat, daftar isi buku, bukti, dan saksi. Ringkasnya, dalil ialah penunjuk (petunjuk) kepada
sesuatu, baik yang material (hissi) maupun yang non material (ma’nawi).
Sedangkan secara istilah, para ulama ushul fiqih mengemukakan mengenai definisi dalil
yaitu : sesuatu yang dijadikan sebagai dalil terhadap hukum syara’ yang berkenaan dengan
perbuatan manusia yang didasarkan pada pandangan yang benar mengenainya, baik secara qathi
(pasti) atau Zhanni (kuat).
Menurut Al-Amidi, para ahli Ushul Fiqih biasa memberi definisi dalil dengan “sesuatu yang
mungkin dapat mengantarkan [orang] kepada pengetahuan yang pasti menyangkut objek
informatif”.
6
Dalam hal ini, para ulama sepakat menempatkan al-Quran dan As-Sunnah sebagai dalil
dan berbeda pendapat tentang dalil-dalil selebihnya; ada yang menerimanya sebagai dalil dan ada
yang menolaknya; atau, ada yang menerima sebagiannya dan menolak yang selebihnya.
Dari sini dapat penulis simpulkan bahwa dalil adalah merupakan sesuatu yang
daripadanya diambil hukum syara’ yang berkenaan dengan perbuatan manusia secara mutlak,
baik dengan jalan qathi atau dengan jalanzhanni mengenai pandangan kebenaran. (Syarifuddin,
2009)
Pertama, dalil yang sahih menurut dirinya dan wajib diamalkan, terdiri dari:
1. Dalil yang disampaikan oleh Nabi dalam bentuk yang terbaca, yaitu Al-Quran;
2. Dail yang disampaikan Nabi dalam bentuk yang tak terbaca, yaitu sunah. Al-Quran dan
sunah disebut dalil nash; dan
3. Dalil yang tidak disampaikan oleh nabi atau bukan nabi atau bukan nash, bentuknya
terdiri dari:
Nash dan ijma’ dalil pokok sedangkan qiyas dan istidlal adalah cabang yang mengikuti
kepada nash dan ijma’.
Kedua, sesuatu yang diperkirakan dalil sahih,sebenarnya bukan dalil, yaitu: syar’u man qablana,
madzhab shahabi, istisan dan maslahah mursalahah.
Dari uraian diatas, dalil syara’ dapat dikelompokan pada dua kelompok:
1. Dalil-dalil syara’ yang disepakati, yaitu Qur’an, sunah, Ijma’, dan Qiyas.
2. Dalil-dalil syara’ yang tidak disepakati, yaitu istisan, maslahah, mursalah, istihah, ‘urf,
syar’u man qablana, dan mazhab shahabi.
7
1. Dalil-dalil syara’ yang disepakati, yaitu Qur’an, sunah, Ijma’, dan Qiyas.
1) Al-Qur’an
I. Definisi
Dari segi bahasa Lafadz Al-Quran berasal dari lafadz qira’ah, yaitu mashdar (infinitif) dari
lafadz qara’a, qira’atan, qur’anan. Dari aspek bahasa, lafadz ini memiliki arti “mengumpulkan
dan menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu ucapan yang
tersusun rapih”. Sedangkan secara istilah al-Qur’an ialah kitab yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad Saw yang ditulis dalam mushaf yang diriwayatkan sampai kepada kita dengan jalan
yang mutawatir, tanpa ada keraguan.
Al-Qur’an ( )القرآنadalah kitab suci agama Islam.Umat Islam memercayai bahwa Al-Qur’an
merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, yang
disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril.
Jadi dapat disimpulkan Al-Qur’an Al-Qur’an ialah wahyu berupa kalamullah yang
diamanatkan kepada malaikat jibril, disampaikannya kepada Nabi Muhammad Saw, isinya tak
dapat ditandingi oleh siapapun dan diturunkan secara bertahap, lalu disampaikan kepada
umatnya dengan jalan mutawatir dan dimushafkan serta membacanya dihukumkan sebagai suatu
ibadah.
Al-Qur’an berfungsi sebagai hakim atau wasit yang mengatur jalannya kehidupan
manusia agar berjalan lurus. Itulah sebabnya ketika umat Islam berselisih dalam segala urusan
hendaknya ia berhakim kepada al-Qur’an. Al-Qur’an lebih lanjut memerankan fungsi sebagai
pengontrol dan pengoreksi tehadap perjalanan hidup manusia di masa lalu. Misalnya kaum Bani
Israil yang telah dikoreksi oleh Allah.
Hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an itu ada 3 macam, yaitu:Pertama, hukum-
hukumi’tiqadiyah. Yakni, hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban para mukallaf untuk
beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya. Rasul-rasul-Nya dan hari
pembalasan.
Kedua, hukum-hukum akhlaq. Yakni, tingkah laku yang berhubungan dengan kewajiban
mukallaf untuk menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan dirinya dan
sifat-sifat yang tercela.
Hukum-hukum amaliah di dalam Al-Qur’an itu terdiri atas dua macam, yakni:
Hukum ibadat. Misalnya, shalat, shaum, zakat, haji dan sebagainya. Hukum-hukum ini
diciptakan dengan tujuan untuk mengatur hubungan hamba dengan Tuhan.
Hukum-hukum mu’amalat. Misalnya, segala macam perikatan, transaksi-transaksi
kebendaan, jinayat dan ‘uqubat (hukum pidana dan sanksi-sanksinya). Hukum-hukum
9
mu’amalah ini diciptakan dengan tujuan untuk mengatur hubungan manusia dengan
manusia, baik sebagai perseorangan maupun sebagai anggota masyarakat.Hukum-hukum
selain ibadat menurut syara’ disebut dengan hukum mu’amalat.
Hasil penyelidikan para ulama tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan
hukum-hukum menunjukkan bahwa hukum-hukum Al-Qur’an yang berkaitan dengan ibadat dan
ahwalus-syakhshiyahsudah terperinci. Kebanyakan dari hukum-hukum ini bersifat ta’abudi
(ibadat) sehingga tidak banyak memberikan kesempatan ahli pikir untuk menganalisanya dan
hukum ini bersifat permanen, tetap tidak berubah-ubah lantaran perubahan suasana dan
lingkungan.
Adapun selain hukum-hukum ibadat dan ahwal al-syakhshiyah, seperti hukum perdata,
pidana (jinayat), perundang-undangan (dusturiyah), internasional (dauliyah) dan ekonomi dan
keuangan (iqtishadiyah wa al-maliyah), maka dalil-dalil hukumnya masih merupakan ketentuan
yang umum atau masih merupakan dasar-dasar yang asasi. Sedikit sekali yang sudah terperinci.
Hal itu disebabkan karena hukum-hukum tersebut berkembang sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan kemaslahatan yang sangat dihajatkan.
Dalam hal ini Al-Qur’an hanya memberi ketentuan-ketentuan umum dan dasar-dasar yang
asasi saja agar penguasa setiap saat mempunyai kebebasan dalam menciptakan perundang-
undangan dan melaksanakannya sesuai dengan kemaslahatan yang dihajatkan pada saat itu, asal
tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan (dalil-dalil) dan jiwa syari’at.
2) As-Sunnah
I. Definisi As-Sunnah
As-Sunnah atau al-hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw, baik
berupa qaul (ucapan), fi’il (perbuatan) maupun taqrir (sikap diam tanda setuju) Nabi Saw. Sesuai
dengan tiga hal tersebut yang disandarkan kepada Rasulullah Saw, maka sunnah itu dapat
dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:
10
i. Sunnah qauliyyah ialah sabda yang beliau sampaikan dalam beraneka tujuan dan
kejadian. Misalnya sabda beliau sebagai berikut.
“Tidak ada kemudharatan dan tidak pula memudharatkan”. (HR. Malik).Hadis di atas termasuk
sunnah qauliyyah yang bertujuan memberikan sugesti kepada umat Islam agar tidak membuat
kemudharatan kepada dirinya sendiri dan orang lain.
ii. Sunnah fi’liyyah ialah segala tindakan Rasulullah Saw. Misalnya tindakan beliau
melaksanakan shalat 5 waktu dengan menyempurnakan cara-cara, syarat-syarat dan
rukun-rukunnya, menjalankan ibadah haji, dan sebagainya.
iii. Sunnah taqririyah ialah perkataan atau perbuatan sebagian sahabat, baik di hadapannya
maupun tidak di hadapannya, yang tidak diingkari oleh Rasulullah Saw atau bahkan
disetujui melalui pujian yang baik. Persetujuan beliau terhadap perkataan atau perbuatan
yang dilakukan oleh sahabat itu dianggap sebagai perkataan atau perbuatan yang
dilakukan oleh beliau sendiri.
Kedudukan As-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam, selain didasarkan pada keterangan ayat-
ayat al-Qur’an dan hadits, juga didasarkan kepada kesepakatan para sahabat. Para sahabat telah
bersepakat menetapkan kewajiban mengikuti sunnah Rasulullah Saw. Para ulama telah sepakat
bahwa As-Sunnah dapat dijadikan hujjah (alasan) dalam menentukan hukum. Namun demikian,
ada yang sifatnya mutaba’ah(diikuti) yaitu tha’ah dan qurbah (dalam taat dan taqarrub kepada
Allah) misalnya dalam urusan aqidah dan ibadah, tetapi ada juga yang ghair mutaba’ah (tidak
diikuti) yaitu jibiliyyah (budaya) dan khushushiyyah (yang dikhususkan bagi Nabi).Contoh
jibiliyyah seperti mode pakaian, cara berjalan, makanan yang disukai. Adapun contoh
khushushiyyah adalah beristri lebih dari empat, shaum wishal sampai 2 hari dan shalat 2 rakaat
ba’da Ashar.
Hukum-hukum yang dipetik dari As-Sunnah wajib ditaati sebagaimana hukum-hukum yang
diistinbathkan dari al-Qur’an sebagaimana diungkapkan dalam QS Ali- Imran: 32, An- Nisa: 80,
59 dan 65, dan Al- ahzab: 36.
11
III. Hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an
As-Sunnah, dalam tinjauan hukum dan penafsiran, dapat dilihat dari dua aspek, yakni
hubungannya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang bersifat mandiri. Dari aspek hubungannya
dengan al-Quran, As-Sunnah adalah sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an. Hubungan ini
disebut hubungan struktural. Sementara dari aspek lain, As-Sunnah sebagai penjelas bagi Al-
Qur’an disebut hubungan fungsional. Di antara dasarnya adalah firman Allah Ta’ala dalam QS.
al- Hasyr: 7, an- Nahl: 44, dan an- Nahl: 64.
Fungsi As-Sunnah terhadap al-Qur’an dari segi kandungan hukum mempunyai 3 fungsi
sebagai berikut.
I. As-Sunnah berfungsi sebagai ta’kid (penguat) hukum-hukum yang telah ada dalam Al-
Qur’an. Hukum tersebut mempunyai 2 dasar hukum, yaitu Al-Qur’an sebagai penetap
hukum dan As-Sunnah sebagai penguat dan pendukungnya. Misalnya, perintah
mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, larangan syirik, riba dan sebagainya.
II. As-Sunnah sebagai bayan (penjelas)
III. takhshish (pengkhusus) dan taqyid (pengikat) terhadap ayat-ayat yang masih mujmal
(global), ‘am (umum) atau muthlaq (tidak terbatasi), yaitu ayat-ayat Al-Qur’an yang
belum jelas petunjuk pelaksanaannya, kapan dan bagaimana, dijelaskan dan dijabarkan
dalam As-Sunnah. Misalnya, perintah shalat yang bersifat mujmal dijabarkan dengan As-
Sunnah. Nabi Saw bersabda: “Shalatlah kalian seperti kalian melihat (mendapatkan) aku
shalat.” (HR. Bukhari)
3) Ijma’
I. Definisi
Menurut ulama Ushul Fiqh, ijma adalah kesepakatan para imam mujtahid di antara umat
Islam pada suatu masa setelah Rasulullah saw wafat, terhadap hukum syara tentang suatu
masalah. Karena itu, jika terdapat suatu kejadian yang dihadapkan kepada seluruh mujtahid di
12
kalangan umat Islam pada suatu waktu, mereka kemudian bersepakat terhadap suatu hukum
mengenai kejadian tersebut. Kesepakatan mereka itulah yang disebut ijma.
Jadi kehujjahan ijma’ sebagaimana dalam Qur’an Surat An-Nisa ayat 59, Allah
memerintahkan orang yang beriman untuk menaati Perintah-Nya, Rasul, dan juga Ulil Amri.
Ibnu Abbas menafsirkan Ulil Amrisebagai Ulama’, jika ulama’ telah sepakat mengenai sesuatu
hukum hendaknya hukum itu diikuti dan ditaati.
Dilihat dari segi melakukan ijtihadnya, ijma itu ada dua bagian yaitu :
I. Ijma Sharih yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu waktu terhadap suatu kejadian
dengan menyajikan pendapat masing-masing secara jelas yang dilakukan dengan cara
memberi fatwa atau memberi keputusan.
II. Ijma Syukuty yaitu sebagian mujtahid pada satu waktu mengemukakan pendapatnya
secara jelas terhadap suatu kejadian yang dilakukan dengan cara memberi fatwa dan
mujtahid lainnya tidak menanggapi pendapat tersebut dalam hal persesuaiannya atau
perbedaannya.
13
Sedangkan dilihat dari segi qath’i dan zhanni dalalah hukumnya, ijma ini terbagi menjadi dua
bagian juga yaitu sebagai berikut.
I. Ijma Qoth’i. Dalalah hukumnya ijma sharih, hukumnya telah dipastikan dan tidak ada
jalan lain untuk mengeluarkan hukum yang bertentangan serta tidak boleh mengadakan
ijtihad hukum syara mengenai suatu kejadian setelah adanya ijma sharih.
II. Ijma Zhanni. Dalalah hukumnya ijma syukuty, hukumnya diduga berdasarkan dugaan
kuat mengenai suatu kejadian. Oleh sebab itu masih memungkinkan adanya ijtihad lain,
sebab hasil ijtihad bukan merupakan pendapat seluruh mujtahid.
4) Qiyas
I. Definisi
Al-Qiyas menurut bahasa adalah mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain yang bisa
menyamainya. Contohnya, mengukur pakaian dengan meteran. Sedangkan menurut ulama Ushul
Fiqh, Qiyas adalah menyamakan satu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian lain yang
ada nashnya pada hukum yang telah menetapkan lantaran adanya kesamaan di antara dua
kejadian itu dalam illat hukumnya. Misalnya, masalah meminum khamr merupakan suatu
perbuatan yang hukumnya telah ditetapkan dalam nash. Hukumnya haram berdasarkan QS Al-
Maidah ayat 90. Dengan illat memabukkan. Oleh karena itu setiap minuman yang terdapat illat
memabukkan hukumnya sama dengan khamr dan haram meminumnya.
I. Al-Ashl ialah sesuatu yang hukumnya terdapat dalam nash. Rukun ini biasanya disebut
Maqis ‘Alaih (yang dipakai sebagai ukuran).
II. Al-Far’u ialah sesuatu yamg hukumnya tidak terdapat di dalam nash dan hukumnya
disamakan kepada al-ashl, biasa disebut juga Al Maqis (yang diukur)
14
III. Hukmul Ashl ialah hukum syara yang terdapat nashnya menurut al ashl dan dipakai
sebagai hukum asal bagi al-Far’u.
IV. Al-Illat ialah keadaan tertentu yang dipakai dasar bagi hukum ashl, kemudian al-Far’u itu
disamakan kepada ashl dalam hal hukumnya.
2. Dalil-dalil syara’ yang tidak disepakati, yaitu istisan, maslahah, mursalah, istihah, ‘urf,
syar’u man qablana, dan mazhab shahabi.
Secara etimologis, syar’u man qablana adalah hukum-hukum yang disyariatkan oleh
Allah swt, bagi umat-umat sebelum kita.
2. Mazhab sahabi
Tidak terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama bahwa perkataan sahabat (mazhab
sahabi) yang bukan berdasarkan pikiran semata-mata adalah menjadi hujjah bagi umat islam.
Yang demikian itu, karena apa yang dikatakan oleh para sahabat itu tentu saja berdasarkan apa
yang telah didengarnya dari Rasulullah saw.
3. ‘Uruf
‘Uruf adalah apa-apa yang saling diketahui oleh manusia dan mereka mempraktekannya,
baik perkataan atau perbuatan atau meninggalkan. Dalam pembicaraan ahli hukum tidak ada
perbedaan antara ‘uruf dan adat. Macam-macam ‘urf:
I. ‘Uruf perkataan: penggunaan lafadz al-waladu kepada anak lelaki, bukan kepada anak
perempuan.
II. ‘Uruf perbuatan: manusia sering berjual beli dengan saling memberi barang dan
harganya.
III. ‘Uruf meninggalkan: manusia tidak menggunakan kata-kata daging untuk ikan.
15
4. Maslahah Mursalah
5. Istihsan
Secara bahasa Ihtisan berasal dari kata “hasan” yang berarti adalah baik dan lawan dari
“qobaha” yang berarti buruk. Kemudian di tambah tiga huruf yaitu alif- sin dan ta’ , bewazan
istif’al ,sehingga menjadi istahsana- yastahsinu- istihsaanan. Kata benda (mashdar) yang berarti
menganggap dan meyakini sesuatu itu baik (baik secara fisik atau nilai) lawan dari Istiqbah,
menganggap sesuatu itu buruk. Sedangkan secara istilah, ulama beragam dalam
mendefinisikannya sekalipun esensinya hampir memiliki kesamaan. Berikut ini beberapa definisi
Istihsan:
a. Ungkapan tentang dalil yang dikritik oleh mujtahid itu sendiri (karena)
ketidaksanggupannya untuk memunculkannya disebabkan tidak adanya kata/ ibarah yang
dapat membantu mengungkapankannya. (Abu Zahroh)
b. Meninggalkan / mengalihkan hasil qiyas menuju/ mengambil qiyas yang lebih kuat
darinya. (Jasim Muhalhil)
c. Mengambil kemaslahatan yang bersifat parsial dan meninggalkan dalil yang bersifat
umum/ menyeluruh. (Al Fairuz Abadi)
d. Beralihnya seseorang dari menghukumkan suatu masalah dengan yang serupa karen
adanya kesamaan-kesamaan kepada hal yang berbeda karena pertimbangan yang lebih
kuat yang mengharuskan beralih dari yang pertama. (Al Jayzani)
e. Meninggalkan salah satu ijtihad yang tidak mencakup seluruh lafaznya karena
pertimbangan yang lebih kuat darinya. (Al Qorofi)
16
f. Memprioritaskan untuk meninggalkan tuntutan sebuah dalil dengan cara pengkecualian,
rukhsoh dan mu’arodloh karena sebagian tuntutannya bertentangan. (Ibnul Arobi)
g. Pendapat yang tidak bersandarkan kepada keterangan dari salah satu syarak, yaitu al-
Quran, sunnah, ijma’, dan qiyas. (Imam Syafii).
6. Istishab
Istishab adalah menetapkan hukum yang ada pada waktu yang lalu dan menetapkan pula
berlakunya sampai ada dalil yang mengubahnya. Dengan kata lain, istishab adalah menjadikan
hukum satu peristiwa yang telah ada sejak semula tetap berlaku hingga peristiwa berikutnya,
kecuali ada sumber hukum yang mengubah ketentuan hukum itu. Menurut istilah ahli usul fikih,
istishab adalah membiarkan berlangsungnya suatu hukum yang sudah ditetapkan pada masa
lampau dan masih diperlukan ketentuannya sampai sekarang, kecuali jika ada dalil lain yang
mengubahnya.
Ruang Lingkup fiqh islami meliputi tiga prinsip hubungan manusia yaitu
Ruang lingkup ilmu fiqh yang berkaitan dengan segala kegiatan orang-orang mukallaf
yang meliputi: perkataannya, perbuatannya, dan seluruh daya-upayanya, dapat di bagi atas dua
bagian (kelompok) yaitu:
17
a. Hukum-hukum yang berkaitan dengan segala macam, ibadah yang meliputi: taharah,
shalat, puasa, zakat, haji, nazar, sumpah, dan sebagainya, yang bertujuan untuk mengatur
hubungan manusia dengan Tuhannya.
b. Hukum-hukum selain ibadah, yang dalam istilah syar’i disebut dengan “hukum
muamallah”, yang meliputi berbagai macam transaksi, daya-upaya, hukuman,
pelanggaran, jaminan dan sebagainya yang dimaksudkan untuk mengatur hubungan
orang-orang mukallaf dengan sesama mereka, baik secara pribadi, maupun jama’ah
(masyarakat).
Dizaman modern, hukum mu’amalah, dirinci atas beberapa macam bidang yang sesuai dengan
kebutuhan dan masalah yang berkaitan dengannya, yaitu :
18
Objek ilmu Fiqh pada pokoknya, yang menjadi objek pembahasan dalam ilmu fiqih
adalah perbuatan mukallaf dilihat dari sudut hukum syara’.
Perbuatan tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok besar: ibadah, mu’amalah, dan
‘uqubah.
Pada bagian ibadah tercakup segala persoalan yang pada pokoknya berkaitan dengan
urusan akhirat. Artinya, segala perbuatan yang dikerjakan dengan maksud mendekatkan diri
kepada allah, seperti sholat, puasa, haji, dan lain sebagainya. Bagian mu’amalah mencakup hal-
hal yang berhubungan dengan harta, seperti jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam,
amanah, dan harta peninggalan. Pada bagian ini juga dimasukkan persoalan munakahat dan
siyasah. Bagian ‘uqubah mencakup segala persoalan yang menyangkut tindak pidana, seperti
pembunuhan, pencurian, perampokan, pemberontakan dan lain-lain. Bagian ini juga
membicarakan hukuman-hukuman, seperti qisas, had, diyat, dan ta’zir.
Sesuai dengan definisi fiqh diatas maka seluruh perbuatan dan perilaku manusia
merupakan medan bahasan ilmu fiqh.
Ruang lingkup yang demikian luas ini biasanya dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu:
a. Ibadah, yang berisi tentang tata cara beribadah seperti sholat, puasa, zakat dan haji.
b. Thaharah, yaitu hal ihwal bersuci, baik dari najis maupun dari hadats.
c. Muamalat, yang membahas tentang bentuk-bentuk transaksi dan kegiatan-kegiatan
ekonomi
a. Munakahat, yaitu tenatang pernikahan, perceraian dan soal-soal hidup berumah tangga.
b. Jinayat, yang mengulas tentang perilaku-perilaku menyimpang (mencuri, merampok, zina
dan lain-lain) dan sangsinya
c. Faraidh, yang membahas tentang harta warisan dan tata cara pembagiannya kepada yang
berhak.
d. Siyasat, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan aktifitas politik, peradilan, kepemimpinan
19
II.D. Pengertian Fiqih Ibadah
Secara bahasa kata fiqih dapat diartikan al-Ilm, artinya ilmu, dan al-fahm, artinya
pemahaman. Jadi fiqih dapat diartikan ilmu yang mendalam.
Secara istilah fiqih adalah ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum syar’i yang
berkaitan dengan perbuatan-perbuatan para mukalaf yang dikeluarkan dari dalil-dalilnya yang
terperinci. Mukalaf adalah orang yang layak dibebani dengan kewajiban.
Sementara itu ibadah secara bahasa ada tiga makna; (1) ta’at (( ;)الطاعة2) tunduk (;)الخضوع
(3) hina ( ;)الذلdan ( )التنسكpengabdian. Jadi ibadah itu merupakan bentuk ketaatan, ketundukan,
dan pengabdian kepada Allah.
التقرب ألى هللا بامتثال أوامره واجتنا ب نواهيه والعمل بما أذن به الشا رع وهي عامة وخاصة
Ibadah adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan
menjauhi larangan-larangan-Nya. Juga yang dikatakan ibadah adalah beramal dengan yang
diizinkan oleh Syari’ Allah Swt.; karena itu ibadah itu mengandung arti umum dan arti khusus.
Ibadah dalam arti umum adalah segala perbuatan orang Islam yang halal yang
dilaksanakan dengan niat ibadah. Sedangkan ibadah dalam arti yang khusus adalah perbuatan
ibadah yang dilaksanakan dengan tata cara yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Saw. Ibadah
dalam arti yang khusus ini meliputi Thaharah, Shalat, Zakat, Shaum, Hajji, Kurban, Aqiqah
Nadzar dan Kifarat.
Dari dua pengertian tersebut jika digabungkan, maka Fiqih Ibadah adalah ilmu yang
menerangkan tentang dasar-dasar hukum-hukum syar’i khususnya dalam ibadah khas seperti
meliputi thaharah, shalat, zakat, shaum, hajji, kurban, aqiqah dan sebagainya. (Rachmawan,)
20
1. Pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan perbuatan dan
perkataan mukallaf (mereka yang sudah terbebani menjalankan syari’at agama), yang
diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nash-nash al Qur’an dan As
sunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma’ dan ijtihad.
2. Hukum-hukum syari’at itu sendiri
Jadi perbedaan antara kedua definisi tersebut bahwa yang pertama di gunakan untuk
mengetahui hukum-hukum (Seperti seseorang ingin mengetahui apakah suatu perbuatan
itu wajib atau sunnah, haram atau makruh, ataukah mubah, ditinjau dari dalil-dalil yang
ada), sedangkan yang kedua adalah untuk hukum-hukum syari’at itu sendiri (Yaitu
hukum apa saja yang terkandung dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya berupa
syarat-syarat, rukun –rukun, kewajiban-kewajiban, atau sunnah-sunnahnya).
Jadi fiqh ibadah adalah ilmu yang mencakup segala persoalan yang pada dasarnya berkaitan
dengan akhirat dan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
21
3. Puasa.
Menurut bahasa berarti menahan atau mencegah.
Menurut istilah adalah menahan diri dari makan,minum, hubungan suami istri
dan hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbit matahari sejak terbit fajar
sampai tenggelam matahari. Dasar hukumnya (QS.Albaqoroh:183) dan alhadits.
4. Zakat
Zakat dalam ajaran Islam yaitu harta tertentu yang wajib dikeluarkan seseorang untuk fakir
miskin dan sesuai dengan perintah syara.Dasar hukumnya,(QS.Almuzammil:20)(QS.Luqman:2-
4) (QS.Attaubat:11) (QS.Annur:56) (QS.Adzdzariyat:19). Hadits Nabi SAW.
5. Haji
a) Secara etimologis, haji berarti pergi menuju tempat yang diagungkan atau
menyengaja.
b) Secara terminologis berarti beribadah kepada Allah dengan melaksanakan
manasik haji, yaitu perbuatan tertentu yang dilakukan pada waktu dan tempat
tertentu dengan cara yang tertentu pula.Definisi ini disepakati oleh seluruh
mazhab.Dasar Hukum : QS.Albaqoroh:27, QS Alhaj: 26-27, Hadits “Dari Ibnu
abbas, telah bersabda Nabi SAW,”Hendaklahh kamu bersegera mengerjakan haji,
maka sesungguhnya seseorang tidak akan menyadari sesuatu halangan yang akan
merintangi.”(HR.Ahmad)
6. Pemeliharaan Jenazah
Hukum pemeliharaan jenazah adalah fardu kifayah. Kewajiban muslim terhadap jenazah yaitu,
memandikan, mengkafani, menyalatkan, dan menguburkan
22
1. Thaharah
a. Macam-macam thaharah :
Thaharah batin / spiritual, yaitu dari kemusyrikan dan kemaksiatan. Dilakukan dengan
cara bertauhid dan beramal soleh.
Thaharah fisik, yaitu bersuci dari berbagai hadast dan najis. Dan yang merupakan bagian
kedua dari iman.
b. Cara melakukan thaharah, Dapat dilakukan menjadi 2 cara, yaitu :
Thaharah dengan menggunakan air
Thaharah dengan menggunakan debu yang suci
2. Shalat
Di bagi menjadi 2 yaitu :
1. Shalat fardu
a) Dzuhur, waktunya dari tergelincirnya matahari ke arah barat sampai panjang bayangan
dua kali lipat dari panjang benda aslinya
b) Ashar, dari panjang bayangan dua kali lipat dari panjang benda aslinya sampai
tenggelamnya matahri
c) Maghrib, waktunya dari tenggelamnya matahari sampai hilangnya mendung merah di
langit
d) Isya’, waktunya dari hilangya mendung merah di langit sampai munculnya fajar shodiq
sampai terbitnya matahari.
2. Sholat tathowwu’
Di bagi menjadi 2 :
Sholat tahtowwu muthlaq, solat sunah yang batas dan ketentuannya tidak di tentukan oleh
syara’.
Sholat tathowu muqoyyad, yaitu sholat yang batas dan ketentuannya telah di tentukanm
oleh syara.
Dalam hal ini antara lain sholat-sholat sunnah rowatib, yaitu :
23
(a) Sholat rotibah fajar, yaitu sholat 2 rakaat sebelum sholat fajar
(b) Sholat rotibah dzuhur, yaitu sholat 2 atau 4 rakaat sebelum ataupun sesudah dzuhur
(c) Sholat rotibah ashar, yaitu sholat 4 rakaat sebelum sholat ashar
(d) Shalat rotibah maghrib, yaitu shalat 2 rakaat sesudah sholat maghrib
(e) Sholat rotibah isya, yaitu sholat 2 rakaat sesudah solat isya
3. Sholat-sholat lain yang di syariatkan dalam bagian ini, antara lain :
(a) Sholat malam / tahajjud / tarawih di bulan ramadhan dan witir
(b) Shalat dhuha 2 rakaat sampai dengan 12 rakaat
(c) Shalat tahiyyatul masjid
(d) Shalat taubat
(e) Shalat tasbih 4 rakaat
(f) Shalat istihoroh
3. Puasa
Puasa wajib :
(a) Puasa bulan ramadhan
(b) Puasa qadha
(c) Puasa karafat
(d) Puasa seseorang yang tidak mampu membeli hewan kurban pada haji tamat
(e) Puasa hari ketiga I’tikaf
(f) Puasa nazar
Puasa mustahab (sunah) :
a) Puasa 3 hari setiap bulan hijriyah
b) Puasa pada hari-hari putih (setiap tanggal 13, 14, dan 15 hijriyah)
c) Puasa pada hari al-ghadir (18 dzulhijjah)
d) Puasa pada hari lahir rasulullah saw (27 rajab)
e) Puasa pada hari Arafah (9 dzulhijjah)
f) Puasa pada hari Mubahalah (24 dzulhijjah)
g) Puasa pada hari kamis dan jumat
h) Puasa pada tanggal 1-9 dzulhijjah
24
i) Puasa pada hari pertama dan ketiga pada bulan Muharram
j) Puasa pada seluruh hari dalam setahun, kecuali hari-hari yang di haramkan dan di
makruhkan berpuasa di dalamnya
Puasa makruh :
a) Puasa sunah yang dilakukan seorang tamu tanpa seizin tuan rumah, atau tuan rumah
melarangnya berpuasa
b) Puasa seorang anak (yang belum akil baligh) tanpa seizin ayahnya dan puasa itu akan
membahayakan dirinya
c) Puasa seorang anak yang di larang ayahnya berpuasa, walaupun puasa itu tidak akan
membahayakan dirinya
d) Puasa seorang anak yang di larang ibunya berpuasa, walaupun jika puasa itu di lakukan,
tidak akan membahayakan dirinya
e) Puasa hari arafah bagi orang yang bila ia berpuasa akan menyebabkan badannya lemah,
sehingga tidak mapu membaca doa
4. Zakat
Hukum zakat, hukum zakat adalah wajib / fardhu, macam-macam zakat :
a) Zakat fitrah adalah zakat yang wajib dikeluarkan orang muslim menjelang Idul Fitri pada
bulan ramadhan. Besar zakat ini setar dengan 3,5 liter (2,5 kg) makanan pokok yang ada
di daerah bersangkutan
b) Zakat maal (harta) adalah zakat hasil perniagaan, pertanian, pertambangan, hasil laut,
hasil ternak, harta temuan, emas, dan perak.
Orang-orang yang berhak menerima zakat :
a) Fakir, orang yang hampir tidak memiliki apa-apa sehingga tidak mampu memenuhi
kebutuhan pokok hidup
b) Miskin, orang yang memiliki harta namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar
untuk hidup
c) Amil, orang yang mengumpulkan dan membagikan zakat
25
d) Mu’allaf, orang yang baru masuk islam dan membutuhkan bantuan untuk menyesuaikan
diri dengan keadaan barunya
e) Hamba sahaya, orang yang ingin memerdekakan dirinya
f) Gharimin, orang yang berhutang untuk kebutuhan yang halal dan tidak sanggup untuk
memenuhinya
g) Fisabilillah, orang yang berjuang di jalan Allah
h) Ibnus sabil, orang yang kehabisan biaya di perjalanan
i)
Manfaat zakat :
a) Bisa mempererat tali persaudaraan antara yang miskin dan yang kaya
b) Membuang perilaku buruk dari seseorang
c) Alat pembersih harta dan penjagaan dari ketamakan seseorang
d) Ungkapan rasa syukur atas nikmat yang Allah SWT berikan
e) Untuk pengembangan potensi umat
f) Memberi dukungan moral kepada orang yang baru masuk Islam
g) Menambah pendapatan negara untuk proyek-proyek yang berguna bagi umat
a) Ihram
b) Tawaf ziyarah / tawaf ifadhah
c) Sa’i
d) Wukuf di Padang Arafah
Wajib haji:
26
a) Ihram dimulai dari miqat yang telah di tentukan
b) Wukuf di Arafah sampai matahari tenggelam
c) Mabit di Mina
d) Mabit di Muzdalifah hingga lewat setengah malam
e) Melempar jumrah
f) Mencukur rambut
g) Tawaf wada’
Syarat-syarat wajib haji :
a) Islam
b) Berakal
c) Baligh
d) Mampu
a) Makkah Al Mukaromah
b) Padang Arafah
c) Kota Muzdalifah
d) Kota Mina
Hukum menjalankan ibadah umroh yaitu sunnah muakat, dilaksanakan bagi orang yang mampu.
Meliputi :
I. Ihram
Ihram adalah niat memasuki manasik (upacara ibadah haji) haji dan umroh atau mengerjakan
keduanyadengan menggunakan pakaian ihram, serta meninggalkan beberapa larangan yang
biasanya di halalkan. Pakaian ihram :
a. Untuk pria
Bagi laki-laki terdiri atas 2 lembar kain yang tidak di jahit, yang 1 lembar di sarungkan untuk
menutupi aurat antara pusar hingga lutut. Yang 1 lembar lagi di selendangkan untuk menutupi
27
tubuh bagian atas. Kedua lembar kain di sunahkan berwarna putih dan tidak boleh berwarna
merah atau kuning.
b. Untuk wanita
Mengenakan pakaian yang biasa, yakni pakaian yang menutupi aurat.
Tempat-tempat ihram :
(a) Zul Hulaifah
(b) Juhfah
(c) Yalamlam
(d) Qarnul Manjil
(e) Zatu Irqin
(f) Makkah
(g) Tawaf
2. Tawaf berasal dari kata tafa, artinya mengelilingi atau mengitari.Tawaf menurut istilah
yaitu mengelilingi Ka’bah sebanyak 7 keliling.Sebelum melaksanakan tawaf, jama’ah
harus mandi dan berwudhu dahulu.
Macam-macam tawaf :
(a) Tawaf qudum, yaitu tawaf yang di lakukan ketika sampai di Makkah
(b) Tawaf ifadah, tawaf yang di lakukan pada hari penyembelihan kurban
(c) Tawaf wada, yaitu tawaf yang menjadi rukun haji
(d) Tawaf sunnah, yaitu tawaf yang dilakukan setiap saat
3. Sa’i artinya berlari-lari kecil antara bukit Safa dan Marwah di dekat kota Makkah.
Cara melalukan sa’i :
(a) Dilakukan sesudah tawaf
(b) Berlari-lari kecil atau berjalan cepat dari bukit Safa menuju bukit Marwah
(c) Di kerjakan sebanyak 7 kali putaran, dari Safa ke Marwah satu putaran,dan dari
Marwah ke Safa satu putaran, lalu berakhir di puncak bukti Marwah
(d) Sa’i hanya boleh di lakukan oleh orang-orang yang mengerjakan haji atau umroh
saja.
28
4. Tahallul
Setelah melontar Jumrah ‘Aqabah, jamaah kemudian bertahallul (keluar dari keadaan
ihram), yakni dengan cara mencukur atau memotong rambut kepala paling sedikit tiga helai
rambut. Laki-laki di sunahkan mencukur habis rambutnya, dan wanita mencukur rambut
sepanjang jari, dan untuk orang-orang yang berkepala botak dapat bertahallul secara simbolis
saja.Setelah melaksanakan tahallul, perkara yang sebelumnya di larang sekarang di halalkan
kembali, kecuali menggauli istri sebelum melakukan tawaf ifadah.
5. Pemeliharaan jenazah
29
Sandarkan punggung jenazah dan urutlah perutnya agar kotoran di dalamnya keluar
Basuhlah mulut, gigi, jari, kepala, dan janggutnya
Sisirlah rambutnya agar rapi
Siramlah seluruh badah lalu bilas dengan sabun
Wudhukanlah jenazah
Siram dengan air yang di campurkan kapur barus, daun bidara, atau daun lain yang
berbau harum
30
Apabila jenazah sudah di mandikan dan dikafani, hendaknya segera di shalatkan. Hal-hal yang
harus di perhatikan dalam pelaksanaan shalat jenazah adalah syarat, rukun dan cara shalat
jenazah.
31
Cara menguburkan jenazah
Hal-hal yang perlu di perhatikan dalam penguburan jenazah :
Jenazah segera di kuburka Liang lahat di buat seukuran jenazah dengan kedalaman kira-
kira setinggi orang di tambah setengah lengan dengan lebar kira-kira 1 meter
Liang lahat tidak bisa di bongkar leh binatang buas. Maksud menguburkan jenazah
suntuk menjaga kehormatan mayat dan menjaga kesehatan ornag-orang di sekitar makan
dari bau busuk
Mayat dipikul dari keempat penjuru
Setelah sampai di tempat pemakaman, jemazah di masukkan ke liang lahat dengan posisi
miring ke kanan dan di hadapkan ke kiblat. Ketika meletakkan jenazah di dalm kubur,
kita membaca doa.
Lepaskan tali-tali pengikat, lalu tutup dengan papan, kayu, atau bambu, dan di timbun
sampai galian liang kubur menjadi rata
Mendoakan jenazah dan memohon ampun untuk jenazah.
32
DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin, amir. 2009. Ushul Fiqh jilid 1. Kencana Prenada Media Group. Jakarta
Rachmawan, Hatib. Fiqih Ibadah Dan Prinsip Ibadah Dalam Islam.UAD. Yogyakarta
33