Ushul Fiqih
Di Susun Oleh :
~Dion Maulana
~Saefullah
Semeter : 2 Pai C
Purwakarta, 21 Maret
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGATAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTA
BAB I
PENDAHULUAN
Barang siapa yang melakukan ijtihad dan benar, maka ia mendapatkan dua pahala, dan barang
siapa yang berijtihad dan salah, maka ia mendapatkan satu pahala.
Dari hadis di atas, kita dapat termotivasi untuk melakukan ijtihad dan juga ada jaminan pahala
walaupun hasilnya terjadi kesalahan yang tidak disengaja.
Memang telah terjadi perdebatan mengenai apakah Rasulullah SAW seorang mujtahid
atau bukan. Perdebatan ini berangkat dari pandangan bahwa hasil ijtihad bisa saja salah. Jika
Nabi SAW, melakukan ijtihad, berarti kemungkinan nabi melakukan kesalahan. Dan hal ini
merupakan kemustahilan, sebab nabi adalah seorang yang mempunyai sifat ma’shum yakni
seseorang yang diyakini tidak akan pernah berbuat kesalahan. Begitulah pendapat kelompok
yang menegaskan ijtihad Nabi SAW.
Argumen semacam ini adalah kurang tepat, karena meskipun nabi melakukan kesalahan dan ini
sebuah kewajaran sebagai manusia biasa, namun wahyu telah menunggu untuk meluruskannya.
Jika ternyata hasilnya diakui oleh wahyu, maka kedudukannya ketika itu berubah menjadi
penetapan wahyu. Demikian juga halnya dengan hasil ijtihad para sahabat Nabi yang lokasinya
jauh dari Rasulullah, ketika terjadi kesalahan maka Nabi melalui wahyu yang diterimanya telah
siap untuk meluruskannya.
Mengenai perkembangan Ushul fiqih sebagai pranata ijtihad, secara sederhana dapat dibagi
menjadi tiga periode, yaitu :
Periode sahabat
Periode ini dinamakan periode fatwa dan penafsiran sumber hukum Islam, karena
dalam periode ini, timbul masalah yang baru dan belum terjadi dimasa Rasulullah,
sebagai akibat meluasnya wilayah Islam ke luar Jazirah Arab. Sementara perubahan
sosial budaya dan struktur masyarakat berbeda dengan kondisi jazirah arab pada saat
ayat-ayat al-Quran dan sabda Nabi diwahyukan. Untuk memberi kejelasan tentang status
hukum atas peristiwa baru itu, para sahabat terpanggil untuk memberikan keputusan
fatwa dengan cara merujuk langsung terhadap ketentuan maupun nilai-nilai yang
terkandung dalam al-Quran dan Hadis. Namun tidak semua persoalan baru dapat dengan
mudah ditemukan rujukan literaturnya dalam kedua nash tersebut. Maka para sahabat
mengadakan majlis untuk membicarakn solusi yang diambil pada saat itu dengan
melakukan musyawarah.
Apabila diperoleh kesepakatan pendapat tentang ketentuan hukum atas peristiwa tersebut,
maka hasilnya dianggap sebagai ijma’ sahabat yang mengikat dan wajib ditaati. Akan
tetapi apabila kesepakatan musyawarah belum tercapai, maka mereka melakukan
ijtihad fardhi amali, baik menggunakan qiyas, ishtishlah maupun sadd al-dzariah, yang
ruang lingkupnya terbatas pada peristiwa yang benar-benar terjadi dan tidak menjangkau
pada peristiwa yang belum terjadi. Para sahabat Nabi SAW dalam beberapa ijtihadnya
telah menggunakan metode-metode perumusan hukum yang dalam perjalanan berikutnya
dirumuskan sebagai ushul fiqih.
2.3 Objek Pembahasan Ushul Fiqih
Menurut Imam Abu Hamid Al-Gozali, obyek bahasan ushul fiqih terbagi menjadi 4
bagian:
1. Hukum Syar’i
Dari segi bahasa kata syari‟at berarti jalan ke tempat pengairan atau jalan yang
sesungguhnya harus diturut. Sedangkan menurut metode hukum islam, syari‟at ialah segala
aturan Allah SWT yang berkaitan dengan amalan manusia yang harus dipatuhi oleh manusia itu
sendiri. Sedangkan segala hukum atau aturan-aturan yang berasal dan dibangsakan kepada
syari‟at tersebut disebut hukum syar‟i.2 Pada umumnya ulama ushul fiqh membagi hukum
syar‟i menjadi dua bagian:
a. Hukum Taklifi
Hukum taklifi ialah syar‟i yang mengandung tuntutan atau pilihan untuk dikerjakan atau
ditinggalkan oleh mukalaf. Hukum takfili terbagi menjadi 5 bagian:
Wajib, yaitu segala perbuatan yang diberi pahala jika mengerjakannya dan diberi siksa
apabila meninggalkannya. Contohnya seperti sholat 5 waktu
Haram, yaitu segala perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat dosa dan apabila
ditinggalkan mendapat pahala. Contohnya seperti mabuk
Mandub (sunnah), yaitu segala perbuatan yang apabila dilakukan akan mendapat pahala
dan apabila ditinggalkan tidak berdosa. Contohnya seperti sholat sunah rawatib
Makruh, yaitu segala perbuatan yang apabila ditinggalkan akan mendapat pahala dan
apabila dilakukan tidak berdosa. Contohnya merokok
Mubah, yaitu segala perbuatan yang tidak diberi pahala apabila dikerjakan dan tidak
berdosa apabila ditinggalkan.
b. Hukum Wadhi
Hukum wadh‟i ialah titah Allah SWT yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau juga
penghalang bagi adanya sesuatu yang lain.
Hukum wadh‟i terbagi menjadi 3 bagian:
Sebab, yaitu segala sesuatu yang dijadikan oleh syar‟i sebagai alasan bagi ada dan tidak
adanya hukum. Misalnya: keadaan terpaksa menjadi sebab bolehnya memakan bangkai3
Syarat, yaitu segala sesuatu yang tergantung adanya hukum dengan adanya sesuatu
tersebut, dan tidak adanya sesuatu itu mengakibatkan tidak ada pula hukum.4 Misalnya:
wajib zakat barang perdagangan apabila usaha perdagangan itu sudah berjalan satu tahun
dan mencapai nishob, apabila syarat tersebut belum terpenuhi maka zakat nya tidak wajib
dikeluarkan.
Mani‟, yaitu segala sesuatu dengan adanya dapat meniadakan hukum atau dapat dapat
membatalkan sebab hukum. Misalnya: seseorang yang sudah mencapai nishob dan haul
wajib mengeluarkan zakatnya, namun apabila keadaannya memiliki banyak hutang
bahkan jumlahnya sampai mengurangi nishob zakat maka hutang tersebut menjadi
penghalang sebab adanya hukum wajib zakat.
.
2) Sumber-sumber dan Dalil-dalil Hukum
sumber atau dalil fiqih yang disepakati ada 4, yaitu Al-Quran, Sunnah Rasulullah SAW,
Ijma‟, dan Qiyas. Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalilah ia kepada
Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Q.S. An-Nisa
[4]: 59)
Perintah menaati Allah dan Rasul-Nya artinya perintah untuk mengikuti Al-Quran dan Sunnah
Rasulullah, Sedangkan perintah untuk menaati ulli amri menurut Abdul Wahab Khallaf ialah
perintah mengikuti ijma‟ yaitu hukum-hukum yang telah disepakati oleh para mujtahidin karena
mereka merupakan ulil amri (pemimpin) kaum muslimin dalam hal pembentukan hukum-hukum
islam. Dan perintah untuk mengembalikan kejadian-kejadian yang diperselisihkan antara umat
islam kepada Allah dan Rasul-Nya artinya ialah perintah untuk melakukan.
Al-Quran merupakan sumber hukum utama dan menempati kedudukan pertama dari
sumber-sumber hukum yang lain. Dalam kajian ushul fiqih Al-Quran merupakan objek
pertama dan utama pada kegiatan penelitian dalam memcahkan suatu hukum. Al-Quran
menurut bahasa berarti “bacaan” dan menurut itilah ushul fiqh berarti “Kalam Allah yang
diturunkan-Nya dengan perantaraan Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW
dengan bahasa Arab serta dianggap beribadah membacanya”
2) Ajaran-ajaran yang berhubungan degan akhlak, yaitu hal-hal yang harus dijadikan perhiasan
diri oleh setiap mukallaf berupa sifat-sifat keutamaan dan menghindarkan diri dari hal-hal yang
membawa kepada kehinaan (doktrin akhlak).
Sunnah Rasulullah SAW Menurut istilah ushul fiqh, Sunnah Rasulullah berarti “Segala
perilaku Rasulullah yang berhubungan dengan hukum, baik berupa ucapan (sunnah
qauliyah), perbuatan (sunnah fi‟liyyah), atau pengakuan (sunnah taqririyyah).
1. Sunnah Qauliyah, yaitu perkataan atau ucapan-ucapan nabi SAW yang bertalian
dengan syara‟. Contohnya seperti: “Orang mukmin dengan orang mukmin lainnya
bagaikan sebuah bangunan, yang satu sama lain saling menguatkan”. (HR. Muslim)
2. Sunnah Fi‟liyyah, yaitu amal-amal perbuatan Nabi SAW yang bertalian dengan syara‟.
Contohnya seperti tatacara mengerjakan sholat, ibadah haji, sebagaimana sabda Nabi:
“Kerjakanlah sholat sebagaimana kamu melihat bagaimana aku mengerjakannya” (HR.
Bukhori dan Muslim)
3. Sunnah Taqririyah, yaitu penetapan atau persetujuan Nabi SAW atas suatu amal
perbuatan seorang sahabat yang bertalian dengan syari‟at islam, yang dikerjakan
dihadapan atau dilaporkan kepada Nabi SAW sedangkan Nabi tidak melarang atau
menyalahkannya. Contohnya seperti yang diriwayatkan bahwa pada suatu hari Nabi
disuguhi makanan di antaranya daging (dhab) sejenis biawak. Nabi tidak memakannya
sehingga Khalid bin Walid bertanya: “Apakah daging itu haram ya Rasulullah?” maka
Rasul pun menjawab: “Tidak, tetapi binatang itu tidak terdapat di daerah kaumku.
Makanlah sesungguhnya dia halal” (HR. Bukhori dan Muslim).
3. Ijma
Kata ijma‟ secara bahasa berarti “kebulatan tekad terhadap suatu persoalan” atau “
kesepakatan tentang suatu masalah”. Menurut istilah ushul fiqh adalah kesepakatan para
mujtahid dari kalangan umat islam tentang hukum syara‟pada suatu masa setelah Rasulullah
SAW wafat.
Ijma‟ Sharih (Jelas)
Ijma‟ yang memaparkan pendapat banyak ulama secara jelas dan terbuka, baik dengan
ucapan maupun perbuatan di mana masing-masing mujtahid menyatakan persetujuannya
secara tegas terhadap suatu perkara. Ijma‟ sharih menempati peringkat ijma‟ tertinggi
dan hukum yang ditetapkannya bersifat qat‟i sehingga umat wajib mengikutinya. Seluruh
ulama sepakat dan menerima untuk menjadikan ijma‟ sharih ini sebagai dalil yang sah
dan kuat dalam penetapan hukum syari‟at islam.
Ijma‟ Sukuti (Diam)
Sebagian mujtahid memaparkan pendapat-pendapatnya secara terang dan jelas mengenai
suatu hukum suatu peristiwa melalui perkataan atau perbuatan, sedangkan mujtahid yang
lain tidak memberikan komentar apakah ia menerima atau menolak.9 Menurut Imam
Syafi‟i dan Imam Maliki ijma‟sukuti tidak dapat dijadikan sebagai landasan hukum
karena diamnya sebagian mujtahid belum tentu menandakan setuju. Sedangkan menurut
Imam Hanafi dan Imam Hambali dapat dijadikan sebagaai landasan hukum, bahwa
diamnya sebagian mujtahid dianggap sebagai persetujuan karena jika mujtahid tidak setuju
dan memandangnya keliru, merekan harus tegas menentangnya.
4. Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk
diketahui adanya persamaan antara keduanya. Sedangkan menurut istilah ushul fiqh yaitu
“Menghubungkan (menyamakan hukum) sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan
sesuatu yang ada ketentuan hukumnya karena ada persamaan „illat antara keduanya.
Qiyas dianggap sah apabila memenuhi rukun-rukun qiyas, yaitu:
Al-ashlu, masalah yang telah ditetapkan hukumnya baik dalam Al-Quran maupun
Sunnah.
Adanya hukum ashal, yaitu hukum syara‟ yang terdapat pada ashal yang hendak
ditetapkan pada far‟u (cabang) dengan jalan qiyas.
Adanya cabang (far‟u), yaitu sesuatu yang tidak ada ketegasan hukumnya dalam Al-
Quran, Sunnah, atau Ijma‟ yang hendak ditemukan hukumnya melalui qiyas.
„Illat, yaitu sesuatu yang bisamerubah keadaan. „Illat merupakan rukun inti dari qiyas
karena berdasarkan „illat itulah hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Quran dan
Sunnah dapat dikembangkan.
Adapun macam-macam qiyas yaitu:
Qiyas Awla, yaitu „illat yang terdapat pada far‟u (cabang) lebih utama daripada „illat
yang terdapat pada ashal (pokok). Misalnya mengqiyaskan hukum haram memukul
orangtua kepada hukum haram mengatakan “ah”.
Qiyas Musawi, yaitu „illat yang terdapat pada far‟u sama bobotnya dengan „illat yang
terdapat pada ashal. Misalnya „illat hukum haram membakar harta anak yatim, dalam hal
ini bobot cabangnya sebanding dengan „illat haramnya dengan tindakan memakan harta
anak yatim.
Qiyas Al-Adna, yaitu dimana „illat yang terdapat pada far‟u lebih rendah bobotnya
dibandingkan dengan „illat yang terdapat pada ashlu. Misalnya sifat memabukkan yang
ada pada minuman keras bir lebih rendah dari sifat memabukkan yang terdapat pada
minuman keras khamr.
2.4 Tujuan Mempelajari Ushul Fiqh
Menurut Abdul Wahab Khalaf, tujuan mempelajari ilmu ushul fiqh adalah:
1. Menerapkan kaidah-kaidah, teori, pembahasan dalil-dalil secara terperinci dalam
menghasilkan hukum syari‟at islam yang diambil dari dalil-dalil tersebut.
4. Kaum muslimin harus bertafaquh, artinya memperdalam hukum-hukum agama baik dalam
bidang aqaid dan akhlak maupun ibadah dan muamalah.
Mempelajari ilmu ushul fiqh memiliki berbagai urgensi maupun faedah, di antaranya:
1. Sebagai pondasi pokok dalam beristidlal
3. Menjelaskan ketentuan dalam fatwa, syarat menjadi mufti, serta adab-adab dalam memberi
dan meminta fatwa
3.1 Kesimpulan
1. Fiqih adalah pengetahuan yang dihasilkan melalui proses penelitian dalil-dalil rinci dengan
menggunakan metodologi ushul fiqh.
2. Ushul fiqh berfungsi untuk memahami dalil-dalil rinci agar terhindar dari kesalahpenempatan
dan pemakaian dari dalil-dalil tersebut.
3. Ushul fiqh selain menghasilkan fiqih yang bersifat terperinci juga menghasilkan hukum-
hukum yang bersifat universal yang bisa diterapkan pada masalah-masalah yang mempunyai
kesamaan. Hukum ini yang kemudian disebut dengan qo‟idah fiqhiyah.
4. Ushul fiqh adalah metodologi penggunaan dalil-dalil yang terperinci yang digunakan dalam
fiqih. Sedangkan fiqih adalah penggunaan dalil-dalil terperinci tersebut sesuai dengan kaidah
yang ada dalam ushul fiqh.