Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

ULUMUL QURA’AN

‘AMM DAN KHASS

Dosen Pengampu :

AHMAD SAUQI ALFARANZI, S.Ag

Disusun Oleh :

1. ELMIZA FATRIAZI (21681017)

2. REVAN MARANGGA (21681035)

JURUSAN EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI CURUP

TAHUN AKADEMIK 2021/2022


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul ‘Amm dan Khass.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Bapak Ahmad
Sauqi Alfaranzi, S.Ag. Pada mata kuliah Ulumul Qura’n. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan baru bagi penulis dan juga pembaca.

Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini. Saya menyadari, makalah
yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Curup,07 Desember 2021

Penyusun,

Penulis,

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………….ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………....iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang………………………………………………………………………...1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………………………..1
C. Tujuan………………………………………………………………………………....2

BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi ‘Amm Dan Khass…………………………………………………………….3
B. Macam-Macam ‘Amm………………………………………………………………...4
C. Perbedaan Al-‘Amm Al-Murad Bihil Khusus Dengan Al-‘Amm Al-Makhsus……....5
D. Pengertian Khass Dengan Mukhasis………………………………………………….6
E. Takhsis Sunnah Dengan Quran……………………………………………………….7

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan…………………………………………………………………………...9

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………....10

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an adalah kitab suci yang berasal dari kalam Tuhan. Kebenarannya dijamin
secara teologis oleh Tuhan. Kebenaran al-Qur’an hanya bisa diperoleh dengan syarat
pemaham terhadap al-Qur’an menggunakan pengetahuan yang benar pula. Ilmu bahasa
Arab mempunyai peranan penting dalam kajian al-Qur’an. Ini disebabkan al-Qur’an
diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab. Para ulama’ ahli tafsir mensyaratkan
pemahaman bahasa Arab bagi mereka yang ingin mengkaji al- Qur’an.

Menurut Amin Abdullah kajian al-Qur’an dalam ranah tafsir dan ranah bahasa
merupakan produk ilmu abad klasik Islam. Mengingat problem kemanusian sekarang, hal
ini perlu adanya pendekatan keilmuwan kontemporer misalnya sosiologis, antropologi,
politik, arkeologi, hermeneutic, psikologi, sejarah, etika, filsafat, cultural studies, sains,
dan teknologi, atau lain-lain. Dengan demikian, dalam mengkaji al-Qur’an seseorang tidak
dibenarkan hanya menggunakan pendekatan kebahasaan saja, akan tetapi pengkaji al-
Qur’an dapat menggunakan pendekatan lain yang bisa membantu dalam mendapatkan
pemahaman yang utuh tentang al-Qur’an.

Sebagai sebuah cabang keilmuan, „Ulum al-Qur'an termasuk di antara cabang-


cabang keilmuan yang lebih belakangan hadir. Kemunculannya juga tidak bisa dilepaskan
dari perkembangan penulisan karya tafsir sepanjang Alquran. Sebagai sebuah istilah yang
tersusun atas dua kata, „ulum dan Alquran, dapat kita simpulkan bahwa ada banyak
ilmu yang akan dibicarakan dalam cabang kajian „Ulum al-Qur'an.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu ‘amm dan khass
2. Apa saja macam-macam ‘amm
3. Apa perbedaan al-‘amm al-murad bihil khusus dengan al-‘amm al-makhsus
4. Apa yang dimaksud dengan khass dan mukhasis

1
5. Apa yang dimaksud dengan takhsis sunnah dengan quran

C. Tujuan
1. Mengetahui definisi ‘amm dan khass
2. Menjadi referensi bagi guru, dosen, siswa dan mahasiswa
3. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Quran

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi ‘Amm dan Khass


1. Pengetian ‘Amm

Menurut bahasa, ‘amm berarti merata atau yang umum. Sedangkan menurut
istilah ialah lafadz yang meliputi pengertian umum terhadap semua yang termasuk
dalam pengertian lafadz itu dengan hanya disebut sekaligus.

Djazuli dan Nurul Aen berpendapat bahwa ‘amm adalah lafadz yang sengaja
dikehendaki oleh bahasa untuk menunjukkan satu makna yang benar yang dapat
mencakup seluruh kesatuan-kesatuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.1

Sebagian ulama’ berpendapat, di dalam bahasa terdapat sighat-sighat tertentu


yang secara hakiki dibuat untuk menunjukkan makna umum dan dipergunakan
secara majas pada selainnya. Untuk mendukung pendapatnya ini mereka mangajukan
sejumlah argumen dari dalil-dalil nas siyah, ijma’iyyah dan ma’nawiyah. 2 Di antara dalil
yang mereka ajukan adalah :

Dalil nassiyah yang terdapat dalam al-Qur’an. Allah berfirman dalam QS Al-
Ankabut ayat 33 :3

َ َ‫ك َوأَ ْهل‬


‫ك‬ َ ‫إِنَّا ُمنَجُّ و‬

“Sesungguhnya Kami akan menyelamatkan kamu dan keluargamu”.

1
Djazuli dan Nurul Aen, “Ushul Fiqh, Metodologi Hukum Islam”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h.331
2
Al Qattan, Manna’, “Studi Ilmu-Ilmu Qur’an,terjemah Mudzakir”, (Jakarta: Litera Antarnusa, t.t.), h. 312.
3
Dr. H. Abdillah, Fahrur Rozi. “Al-Quranulkarim Hafazan Perkata”. Al-Quran Al-Qosbah. Bandung: Februari 2021.
QS Al-Ankabut [29]: 33

3
Dalil ma’nawiyah yaitu bahwa makna umum itu dapat dipahami dari penggunaan
lafadz-lafadz tertentu yang menunjukkan demikian. Andaikan lafadz-lafadz tersebut
tidak dibuat untuk makna umum tentu akan sukar bagi akal memahaminya. Sebagai
contoh, lafadz-lafadz syarat, istifham (pernyataan) dan mawsul. Adanya perbedaan
antara kata kull (seluruh) dengan ba’d (sebagian). Seandainya kull tidak menunjukkan
arti umum, tentulah perbedaan itu tidak terwujud.4

2. Pengertian Khass
Lafadz Khass berlawanan dengan lafadz ‘amm. Lafadz Khass adalah lafadz yang
menunjukan makna khusus. Para ulama berbeda dalam mendefinisikan Khass. Manna
al-Qattan mendefinisikan lafadz Khass sebagai lafadz yang tidak menghabiskan semua
apa yang pantas baginya tanpa ada pembatasan. Mustafa Said al-Khin memahami
lafadz Khassadalah setiap lafadz yang digunakan untuk menunjukkan makna satu atas
beberapa satuan yang diketahui. Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan bahwa lafadz
Khass adalah lafadz yang digunakan untuk menunjukkan satu orang tertentu.5
Menurut Adib Shalih, lafadz Khass adalah lafadz yang mengandung satu
pengertian tunggal secara tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas. Sedangkan
Saiful Hadi mengatakan lafadz Khassadalah lafadz yang menunjukkan arti satu atau
lebih tapi masih dapat di hitung atau terbatas.6

B. Macam-Macam ‘Amm
Ditinjau dari segi keberadaan nash, lafaz ‘Amm itu dapat dibagi menjadi tiga
macam, yaitu :
1. ‘Amm yuradu bihi ‘amm, yaitu: ‘Amm yang disertai qarînah yang menghilangkan
kemungkinan untuk dapat dikhususkannya. Contohnya QS. Hud [11], 6:7
         
2. ‘Amm yuradu bihi khusus, yakni adanya lafaz ‘amm yang disertai qarinah yang
menghilangkan arti umumnya. Dan menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
4
Ibid, h. 315
5
Khallaf, Abdul Wahhab, “Ilmu Ushul Fiqh”, (Semarang: Dina Utama, 1994), h. 299.
6
Hadi, Saeful, “Ushul Fiqih”, (Yogyakarta: Sabda Media, 2011), h. 46
7
Dr. H. Abdillah, Fahrur Rozi. “Al-Quranulkarim Hafazan Perkata”. Al-Quran Al-Qosbah. Bandung: Februari 2021.
QS. Hud [11]: 6

4
amm itu adalah sebagian dari satuannya. Misalnya lafaz al-nas dalam firman
Allah QS. Ali-Imran [3], 97:8
     
3. ‘Amm makhsus, artinya ‘amm yang khusus untuk ‘amm atau ‘amm
muthlaq.‘Amm seperti ini tidak disertai dengan qarinah yang menghilangkan
kemungkinan dikhususkan dan tidak disertai pula dengan qarinah yang
menghilangkan keumumannya. Contohnya QS. Al-Baqarah [2], 228:9
     
Kalimat al-muthallaqhât adalah ‘Amm makhsus, ia tetap dalam keumumannya selama
belum ada dalil yang mengkhususkannya.10

C. Perbedaan Al-‘Amm Al-Murad Bihil Khusus Dengan Al-‘Amm Al-Makhsus

Al-‘Amm Al-Murad Bihil Khusus, yakni adanya lafaz ‘amm yang disertai qarinah
yang menghilangkan arti umumnya. Dan menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan amm
itu adalah sebagian dari satuannya. Contohnya lafaz al-nas dalam firman Allah QS. Ali-
Imran [3], 97:11

     


Kalimat al-nâs adalah ‘âm yakni seluruh manusia. Akan tetapi yang dimaksudkan
dengan ayat tersebut adalah khusus yaitu orang-orang mukallaf saja. Karena menurut akal
tidak mungkin Tuhan mewajibkan haji bagi orang-orang yang belum dewasa atau orang-
orang yang tidak adil. Petunjuk akal inilah yang menjadi qarinah yang menghilangkan
arti keumumnan ayat tersebut.
Sedangkan Al-‘Amm Al-Makhsus, artinya ‘amm yang khusus untuk ‘amm atau
‘amm muthlaq.‘Amm seperti ini tidak disertai dengan qarinah yang menghilangkan

8
Ibid. QS. Ali-Imran [3]: 97
9
Ibid. QS. Al-Baqarah [2]: 228
10
al-Zuhailiy, Wahbah, “Ushul al-Fiqh al-Islamiy, juz I”, (Dimasyq: Dar al-Fikr, 1996) , h. 282-283, Yahya, Mukhtar
dan fatchurrahman, “Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami”, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1986), h. 224-226.
Dan Khallaf, Abdul wahhab, “‘Ilm Ushul Fiqh”, (al-Qahirah: Maktabah al-Da’qah, t.th.), h. 185-186.
11
Dr. H. Abdillah, Fahrur Rozi. “Al-Quranulkarim Hafazan Perkata”. Al-Quran Al-Qosbah. Bandung: Februari
2021. QS. Ali-Imran [3]: 97

5
kemungkinan dikhususkan dan tidak disertai pula dengan qarinah yang menghilangkan
keumumannya. Contohnya QS. Al-Baqarah [2], 228:12
     
Kalimat al-muthallaqhat adalah ‘am makhsûs, ia tetap dalam keumumannya selama
belum ada dalil yang mengkhususkannya. Dari sini dapat dipahami, bahwa perbedaan
antara ‘amm yuradu bihi khusûs dengan ‘amm makhsus, terletak pada ada tidaknya
qarinah yang menyertainya atau yang menjelaskannya. Sehingga dapat dibedakan secara
asasi antara keduanya.
Demikianlah ketentuan-ketentuan umum yang diberikan oleh para ulama ushul,
namun di samping itu pula perlu diketahui bahwa dalam al-Quran ada beberapa ayat yang
lafaz-lafaznya terikat dengan kaidah-kaidah umum di atas, tetapi yang dimaksud adalah
khusus. Begitu pula sebaliknya, lafaznya khusus tetapi maksudnya umum. kesemuanya ini
dapat diketahui dengan melihat kesesuaian konteks pembicaraannya. Dan sisi kepastian
hukum lafaz ‘amm, wajib diperpegangi atau diamalkan, hingga ada dalil lain yang
menetapkan pentakhsisannya. Karena diketahui mengamalkan nash-nash yang bersumber
dari al-Kitab dan sunnah hukumnya wajib atas segala yang ditetapkannya.

D. Pengertian Khass dan Mukhasis

Khas menurut bahasa ialah lawan daripada ‘âm. Sedangkan menurut istilah ialah
suatu lafaz yang menunjukkan arti tunggal yang menggunakan bentuk mufrad, baik
pengertian itu menunjuk pada jenis (‫)إنسان‬, atau menunjuk macam (‫)رجل‬, atau juga
menunjuk arti perorangan (‫)خالد‬, ataupun isim jumlah (‫) ثالثة‬.13

Lafadz Khass berlawanan dengan lafad ‘amm. Lafad Khass adalah lafadz yang
menunjukan makna khusus. Para ulama berbeda dalam mendefinisikan Khass. Manna
al-Qattan mendefinisikan lafadz Khass sebagai lafad yang tidak menghabiskan semua apa
yang pantas baginya tanpa ada pembatasan. Mustafa Said al-Khin memahami lafadz
Khass adalah setiap lafadz yang digunakan untuk menunjukkan makna satu atas beberapa

12
Ibid. QS. Al-Baqarah [2]: 228
13
Zahra,Muhammad Abu, “Ushul Fiqh”, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), H. 236

6
satuan yang diketahui. Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan bahwa lafad Khass adalah
lafadz yang digunakan untuk menunjukkan satu orang tertentu.14

Karena Khass tidak dapat menghabiskan semua apa yang pantas baginya tanpa
pembatasan maka diperlukan adanya takhsis (pembatasan) tersebut. Takhsis adalah
mengeluarkan sebagian apa yang dicakup lafadz ‘amm.

Mukhassis dibagi menjadi dua macam, yaitu muKhassis muttasil dan muKhassis
munfasil. MuKhassis muttasil terbagi menjadi lima macam, yaitu: Istisna (pengecualian),
Sifat, Syarat, Ghayah (batas sesuatu), dan Badal Ba’dh min Kull (sebagian menggantikan
keseluruhan). Sedangkan mukhassis munfasil adalah mukhasssis yang terdapat di tempat
lain, baik ayat, hadis, ijma’ ataupun qiyas.

E. Takhsis Sunnah Dengan Quran

Salah satu fungsi dari Sunnah adalah menjadi penjelas, penguat dan mentakhsis ayat
al-Qur’an. Akan tetapi terkadang ayat al-Qur’an justru mentakhsis, membatasi keumuman
Sunnah.

Di antara ulama ushul tidak ada perbedaan di dalam hal kebolehan mentakhsis
keumuman al-Quran dengan al-Quran atau dengan al -Sunnah yang mutawattir. Mereka
berpendapat bahwa nash-nash al -Quran dan al-Sunnah yang mutawattir itu bersifat pasti
ketetapannya. Maka sebagian bisa mentakhsis sebagian yang lain. Al-Sunnah bisa
mentakhsis al-Qur’an, pun pula sebaliknya, al-Qur’an bisa digunakan untuk mentakhsis al–
Sunnah. Adapun mentakhsis al-Quran dengan al-Sunnah yang tidak mutawattir, menurut
mayoritas ulama’ ushul boleh. Mereka beralasan bahwa hal itu terjadi, dan mereka sepakat
mengamalkannya.

Para ulama’ memberikan contoh dengan hadis riwayat Abu Waqid al Laisi. Ia
menjelaskan: Nabi berkata:

“Bagian apa saja yang dipotong dari hewan ternak hidup maka ia adalah
bangkai.” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Tirmizi).15
14
Khallaf,Abdul Wahhab, “Ilmu Ushul Fiqh”, (Semarang: Dina Utama, 1994), h. 299.
15
Hadis Abu Dawud dan Tirmidzi yang menyatakan, hadis ini hasan. Dan ini adalah redaksi Tirmizi.

7
Berdasarkan hadis ini maka setiap bagian yang dipotong dari hewan peliharaan yang
masih hidup adalah bangkai. Hukum bangkai adalah haram untuk dikonsumsi dan termasuk
hal yang najis bila dipegang. Oleh karenanya tidak dibenarkan memotong bagian dari
binatang peliharaan yang masih hidup. Bagian ini bersifat umum karena secara redaksi
hadisnya tidak terdapat kata yang menunjukkan pentakhsisan, sehingga meskipun bagian
yang dipotong itu adalah bulunya maka berdasarkan hadis di atas hukumnya sama,
yaitu bangkai, dan bangkai itu hukumnya najis.

Akan tetapi ternyata di dalam al-Qur’an terdapat ayat yang menerangkan tentang
diperbolehkannya menggunakan bulu domba, bulu unta, dan bulu kambing sebagai alat-alat
rumah tangga dan perhiasan. Ayat itu terdapat dalam surat An Nahl: 80:16

        

Ayat di atas mentakhsis hadis yang menyatakan bahwa setiap bagian yang
dipotong dari binatang ternak yang masih hidup adalah bangkai, karena bila semuanya
dianggap bangkai, maka tidak mungkin boleh digunakan sebagai alat rumah tangga maupun
perhiasan.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

16
Dr. H. Abdillah, Fahrur Rozi. “Al-Quranulkarim Hafazan Perkata”.Al-Quran Al-Qosbah. Bandung: Februari
2021. QS. An Nahl [16]: 80

8
‘Amm berarti merata atau yang umum. Sedangkan menurut istilah ialah lafadz yang
meliputi pengertian umum terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafadz itu
dengan hanya disebut sekaligus. ‘Amm adalah lafadz yang sengaja dikehendaki oleh bahasa
untuk menunjukkan satu makna yang benar yang dapat mencakup seluruh kesatuan-
kesatuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu. Amm itu dapat dibagi menjadi tiga
macam, yaitu :

1. ‘Amm yuradu bihi ‘amm


2. ‘Amm yuradu bihi khusus
3. ‘Amm makhsus

Khass adalah lafadz yang mengandung satu pengertian tunggal secara tunggal atau
beberapa pengertian yang terbatas. Sedangkan Saiful Hadi mengatakan lafadz Khassadalah
lafadz yang menunjukkan arti satu atau lebih tapi masih dapat di hitung atau terbatas.

Al-‘Amm Al-Murad Bihil Khusus, yakni adanya lafaz ‘amm yang disertai qarinah
yang menghilangkan arti umumnya. Dan menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan amm
itu adalah sebagian dari satuannya.

Al-‘Amm Al-Makhsus, artinya ‘amm yang khusus untuk ‘amm atau ‘amm
muthlaq.‘Amm seperti ini tidak disertai dengan qarinah yang menghilangkan kemungkinan
dikhususkan dan tidak disertai pula dengan qarinah yang menghilangkan keumumannya.

DAFTAR PUSTAKA

9
Djazuli dan Nurul Aen, “Ushul Fiqh, Metodologi Hukum Islam”, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2000),

Al Qattan, Manna’, “Studi Ilmu-Ilmu Qur’an,terjemah Mudzakir”, (Jakarta: Litera


Antarnusa, t.t.)

Dr. H. Abdillah, Fahrur Rozi. “Al-Quranulkarim Hafazan Perkata”. Al-Quran Al-Qosbah.


Bandung: Februari 2021.

Khallaf, Abdul Wahhab, “Ilmu Ushul Fiqh”, (Semarang: Dina Utama, 1994)

Hadi, Saeful, “Ushul Fiqih”, (Yogyakarta: Sabda Media, 2011)

Al-Zuhailiy, Wahbah, “Ushul al-Fiqh al-Islamiy, juz I”, (Dimasyq: Dar al-Fikr, 1996)

Yahya, Mukhtar dan fatchurrahman, “Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami”,


(Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1986),

Zahra,Muhammad Abu, “Ushul Fiqh”, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999)

Hadis Abu Dawud dan Tirmidzi

10

Anda mungkin juga menyukai