Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Ushul Fiqih II Kelas EI-3A
Dosen Pengampu:
2022/2023
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga makalah yang berjudul “Dilalah Haqiqat dan Majaz” ini
diselesaikan dengan baik dan tepat waktu yang telah ditentukan.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada Mata
Kuliah Ushul Fiqh II Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih Bapak dosen Ashabul Fadhli, S.H.I, M.H.I Mata
Kuliah Ushul Fiqh II yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan
dan wawasan sesuai dengan bidang studi.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari,
makalah yang ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat
diperlukan demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii
BAB I .....................................................................................................................................1
PENDAHULUAN ................................................................................................................1
A. Latar Belakang ...........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan ........................................................................................................1
BAB II ...................................................................................................................................2
PEMBAHASAN ...................................................................................................................2
A. Pengertian Haqiqah dan Majaz ..................................................................................2
B. Macam-Macam Haqiqah dan Majaz ..........................................................................5
C. Cara mengetahui Haqiqah dan Majaz ........................................................................14
D. Ketentuan Haqiqah dan Majaz ...................................................................................15
E. Penyebab Tidak Berlakunya Haqiqah ........................................................................16
BAB III..................................................................................................................................20
PENUTUP .............................................................................................................................20
A. Kesimpulan ................................................................................................................20
B. Saran ..........................................................................................................................20
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kajian ushul fiqh pemahaman bahasa arab secara mendalam adalah suatu
keharusan bagi seorang yang ingin mendalaminya, maka untuk menginterpretasikan Al-
Qur´an dan sunnah dalam upaya mendedukasi ketentuan-ketentuan hukum dari petunjuk-
petunjuk yang diberikannya. Bahasa Al-Qur´an dan As-sunnah harus dipahami secara benar
agar dapat menggunkana sumber-sumber ini mujtahid harus mengetahui kata-kata nash dan
implikasi-implikasinya secara tepat. Untuk tujuan ini para ualama ushul fiqh memasukan
klasifikasi kata-kata dan pemakaiannya dalam ushul fiqh.
Bagi kita yang mendalami ilmu ushul pertama-tama yang harus dilakukan adalah
bahasa yang dipakai oleh objek kajian tersebut, agar apa yang kita kaji leboh objektiv dan
tidak terkesan subjektiv, karena dengan bahasalah segala gagasan dan fikiran tertuang dan
dengan memahami bahasa tersebut kita bisa memahami gagasan dan fikiran yang dituangkan.
Dalam makalah singkat ini penulis mencoba memberikan sedikit pengetahuan tentang
bagaimana kita menggunakan dan meeperlakukan suatu lafadz ,menurut maknanya yaitu
Haqiqat dan Majaz
B. Rumusan Masalah
A. Apa Pengertian Haqiqah dan Majaz?
B. Apa Saja Macam-Macam Haqiqah dan Majaz?
C. Bagaimana Cara mengetahui Haqiqah dan Majaz?
D. Apa Ketentuan Haqiqah dan Majaz?
E. Apa Penyebab Tidak Berlakunya Haqiqah?
C. Tujuan Penulisan
A. Untuk Mengetahui Pengertian Haqiqah dan Majaz.
B. Untuk Mengetahui Macam-macam Haqiqah dan Majaz.
C. Untuk Mengetahui Cara Haqiqah dan Majaz.
D. Untuk Mengetahui Ketentuan Haqiqah dan Majaz.
E. Untuk Mengetahui Penyebab Tidak Berlakunya.
1
BAB II
PEMBAHASAN
1
Amir Syraifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana), Cet.Vii,Jilid 2, hlm. 27
2
2. Pengertian Majaz
Majaz adalah suatu lafaz yang digunakan untuk menjealaskan suatu lafaz pada
selain makna yang tersurat di dalam nash atau teks, karena adanya persamaan atau
keterkaitan baik antara makna yang tersurat dalam teks maupun maksud yang terkandung
didalam teks tersebut.
Para ulama ushul fiqh memberikan definisi yang beragam tentang majaz2. Tetapi
semuanya berdekatan artinya dan saling melengkapi, yaitu:
1) Al-Sarkhisi memberikan defenisi:
Dari beberapa defenisi diatas dapat dirumuskan pengertian lafaz majaz tersebut,
yaitu:
a. Lafaz itu tidak menunjukkan kepada arti sebenarnya sebagaimana yang dikehendaki
oleh suatu bahasa.
b. Lafaz dengan bukan menurut arti sebenarnya itu dipinjam untuk digunakan dalam
memberikan arti kepada apa yang dimaksud.
2
Amir Syraifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana), Cet.Vii,Jilid 2, hlm. 29
3
c. Antara sasaran dari arti lafaz yang digunakan dengan sasaran yang dipinjam dari arti
lafaz itu memang ada kaitannya.
Pada dasarnya setiap pemakai kata ingin menggunakan lafaz untuk arti menurut
hakikatnya. Namun ada hal-hal tertentu yang mendorongnya untuk tidak mengunakan
haqiqah itu dengan menggunakan majaz. Diantara hal yang mendorong ke arah itu adalah
sebagai berikut3:
a. Kerena berat mengucapkan suatu lafaz menurut haqiqah-nya. Oleh karenanya ia
beralih kepada majaz. Umpamanya lafaz ك١دٕفم, dalam bahasa Arab yang berarti
bahaya besar yang menimpa seseorang. Lafaz itu berat untuk diucapkan seseorang.
b. Karena buruknya kata haqiqah itu bila digunakan; seperti kata دشاءج dalam bahasa
Arab yang menurut haqiqah-nya berarti “tempat berak”. Karena buruk dan joroknya
kata itu maka digunakan kata lain, yaitu اٌغا ٔط yang artinya: “tempat yang tenang
dibelakang rumah”. Dalam bahasa Indonesia sebagai ganti ucapan pergi untuk “buang
berak”, diganti dengan pergi “ke belakang” karena keduanya ada kaitan, yaitu sama-
sama tempatnya dibelakang. Sama halnya dalam hal alasan menggunakan kata majaz
tersebut adalah karena tidak etisnya suatu kata haqiqah kalau digunakan ditengah
orang banyak, seperti kata “bersetubuh” diganti dengan kata lain yang lebih enak
didengar yaitu, “bergaul”.
c. Karena kata mafaz lebih dipahami orang dan lebih populer ketimbang kata haqiqah.
Umpamanya kata jima‟ dalam arti “hubungan kelamin” kurang dipahami oleh orang
banyak, diganti dengan kata lain yang lebih populer yaitu “bersetubuh”.
d. Karena untuk mendapatkan rasa keindahan bahasa (balaghah-nya) seperti
menggunakan kata “singa” untuk seorang pemberani lebih indah dari segi sastra
ketimbang kata “pemberani”.
3
Amir Syraifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana), Cet.Vii,Jilid 2, hlm. 30
4
B. Macam-macam Haqiqah dan Majaz
a. Macam-macam haqiqah
Dari segi ketetapannya sebagai haqiqah, para ulama membagi haqiqah itu kepada
beberapa bentuk:
a. Haqiqah lughawiyyah yang ditetapkan oleh bahasa itu sendiri, yaitu:
Lafaz yang digunakan untuk makna yang ditentukan itu oleh syari´
Umpanya lafaz “shalat” untuk perbuatan tertentu yang terdiri dari perbuatan
dan ucapan yang dimulai dengan “takbir”.
c. Haqiqah ´Urfiyah Ammah yang ditetapkan oleh kebiasaan yang berlaku secara
umum,yaitu:
Lafaz yang digunakan dalam makna menurut yang berlaku dalam kebiasaan
umum.
Pada dasarnya setiap pemakai kata ingin menggunakan lafaz untuk arti menurut
hakikatnya. Namun ada hal-hal tertentu yang mendorongnya untuk tidak mengunakan
haqiqah itu dengan menggunakan majaz. Diantara hal yang mendorong ke rah itu adalah
sebagai berikut:
5
a. Kerena berat mengucapkan suatu lafaz menurut haqiqah-nya. Oleh karenanya ia
beralih kepada majaz. Umpamanya lafaz ك١دٕفم, dalam bahasa Arab yang berarti
bahaya besar yang menimpa seseorang. Lafaz itu berat untuk diucapkan seseorang.
b. Karena buruknya kata haqiqah itu bila digunakan; seperti kata دشاءجdalam bahasa
Arab yang menurut haqiqah-nya berarti “tempat berak”. Karena buruk dan joroknya
kata itu maka digunakan kata lain, yaitu ٔط اٌغا yang artinya: “tempat yang tenang
dibelakang rumah”. Dalam bahasa Indonesia sebagai ganti ucapan pergi untuk “buang
berak”, diganti dengan pergi “ke belakang” karena keduanya ada kaitan, yaitu sama-
sama tempatnya dibelakang. Sama halnya dalam hal alasan menggunakan kata majaz
tersebut adalah karena tidak etisnya suatu kata haqiqah kalau digunakan ditengah
orang banyak, seperti kata “bersetubuh” diganti dengan kata lain yang lebih enak
didengar yaitu, “bergaul”.
c. Karena kata mafaz lebih dipahami orang dan lebih populer ketimbang kata haqiqah.
Umpamanya kata jima’ dalam arti “hubungan kelamin” kurang dipahami oleh orang
banyak, diganti dengan kata lain yang lebih populer yaitu “bersetubuh”.
d. Karena untuk mendapatkan rasa keindahan bahasa (balaghah-nya) seperti
menggunakan kata “singa” untuk seorang pemberani lebih indah dari segi sastra
ketimbang kata “pemberani”.
Pada dasarnya dalam setiap menggunakan lafaz harus dalam bentuk haqiqah-nya
dan tidak boleh beralih kedapa yang lain kecuali bila ada qarinah. Namun dalam beberapa
hal tidak digunakan haqiqah-nya, yaitu dalam keadaan sebagai berikut:
a. Adanya petunjuk penggunaan secara „urfi (kebiasaan) dalam penggunaan lafaz
Dalam hal haqiqah lafaz ditinggalkan, maka yang diamalkan (dipegang) adalah
apa yang mudah dipahami dari lafaz tersebut. Alasannya ialah karena suatu kalimat
(ucapan) ditentukan untuk dipahami dan bila telah terbiasa orang menggunakan suatu
lafaz untuk maksud tertentu, maka penggunaan lafaz itu sudah menempati kedudukan
“haqiqah”. Umpamanya lafaz “shalat”; manurut haqiqah penggunaannya adalah untuk
“doa”. Tetapi karena sudah diketahui bersama bahwa yang dimaksud shalat itu adalah
suatu bentuk tertentu dari perbuatan ibadah, maka pengertian shalat yang arti
6
hakikatnya adalah doa itu tidak lagi dipergunakan. Firman Allah yang menyuruh
shalat dalam surat Thaha (20): 14:
َٓ َٔاسًا١ِّ ٌَِ ْىفُشْ إَِّٔا أَ ْػرَ ْذَٔا ٌٍِظَّا١ٍْ َ َِ ْٓ َشا َء فَٚ ْٓ ِِ ُْؤ١ٍْ َفَ َّ ْٓ َشا َء ف
7
d. Adanya petunjuk dari sifat pembicara
Meskipun si pembicara menyuruh sesuatu yang menurut haqiqah-nya berarti
menurut apa yang diucapkan, namun dari sifat si pembicara itu dapat diketahui bahwa
ia tidak menginginkan sesuatu menurut yang diucapkan. Dalam hal ini, maka haqiqah
yang diucapkan itu tidak perlu diperhatikan. Umpamanya firman Allah dalam surat
Al-Isra‟ (17): 64:
َ ا ْعرَ ْف ِض ْص َِ ِٓ ا ْعرَطَؼَٚ
َ ُِ ُْ تْٕٙ ِِ ْد
َْ ِذهٛص
Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu.
Meskipun pada ayat diatas, haqiqah-nya mengandung “perintah”, namun setiap
orang mengetahui bahwa ucapan itu bukan perintah, karena tidak ada yang meyangkal
bahwa Allah tidak menyuruh untuk kafir. Jelaslah yang dimaksud di sini adalah
memberi kemungkinan dan kemampuan untuk berbuat.
e. Adanya petunjuk tentang tempat atau sasaran pembicaraan
Berdasarkan haqiqah penggunaan lafaz itu harus dipahami menurut apa adanya;
namun ada petunjuk tempat yang menghalangi kita untuk memahami lafaz itu menurut
haqiqah-nya. Umpamanya firman Allah dalam Q.S Al-Fathir: 19
b. Macam-macam Majaz
Semua pengggunaan kata yang ditujukan bukan untuk maksud sebenarnya disebut
majaz. Adapun bentuk-bentuk majaz adalah sebagai berikut:
a. Adanya tambahan dari susunan kata menurut bentuk yang sebernya. Seandainya
dihilangkan tambahan kata itu, sebenarnya tidak mengurangi arti hakikatnya.
8
Umpanya tambahan dari kata ن yang berarti “seperti” yang terdapat dalam
Seandainya kata ن (seperti) itu tidak ada, sebenarnya tidak akan
b. Adanya kekurangan dalam susunan suatu kata dari yang sebenarnya. Kebenaran
maksud dari lafaz itu terletak pada yang kurang itu. Umpanya dalam firman allah
Q.S Yusuf: 82
9
Klasifikasi majaz dalam Al-Quran dapat diklasifikasikan dari aspek hubungan antara
makna yang digunakan dengan makna yang diletakkan pertama kali, majaz bisa dibagi menjadi
dua bagian4, yaitu :
a. Majaz Isti`arah: Isti`arah secara bahasa artinya adalah meminjam. Majaz dalam
konteks ini disusun dengan meminjam kata asal untuk digunakan dengan makna baru
karena ada persamaan antara keduanya. Majaz isti`arah diklasifikasikan sebagai
berikut :
1) Isti`arah Tashrihiyyah Yaitu kata yang dipinjam digunakan untuk
menjelaskan persamaan musyabbah bih dengan musyabbah. Dalam
isti`arah ini biasanya musyabbah bih nya disebutkan. Contoh dalam al-
Qur‟an, QS:Ibrahim : 1
ْٟ ِٕ١َُّ َّا َو َّا َستّْٙ لًُْ سَّبِّ اسْ َدَٚ ُ َّا َجَٕا َح اٌ ُّز ِّي َِِٓ اٌشَّدْ َّ ِحٌَٙ ْا ْخفِطَٚ
ًشا١ْ ص ِغ
َ
"Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih
sayang dan ucapkanlah, "Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya
sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil."
3) Isti`arah Takhyliyyah: Isti`arah ini menetapkan keberadaan musyabbah
bih bagi musyabbah sehingga pihak yang diseru akan membayangkan,
4
Hafidz Abdurrahman,2004,Ulumul Quran,Bogor,hlm.125
10
bahwa musyabbah tersebut sejenis dengan musyabbah bih. Contoh QS: al-
Mulk: 8
ْش٠َأْذِ ُى ُْ َٔ ِز٠ ُْ ٌَََ ۤا اُُٙ ُْ َخ َضَٔـرٌَٙ َ ْ ج َعاََٛا فٙ١ْ ِ فَٟ ِ ِْع ۗ ُوٍَّ َّ ۤا ا ُ ٌْم١َّ ُض َِِٓ ْاٌ َغ١َّ َذَ َىا ُد ذ
ۤ
ِ ًٍَّٝا ػ٠ِٛ َعْٟ َّ ّْ ِش٠ ْٓ َِّ َ اٜ ۤٗ اَ ْ٘ذِٙ ْجَٚ ٍَٝ ُِ ِىثًّا ػْٟ َّ ّْ ِش٠ ْٓ َّ َاَف
ُْ١ص َشا ط ُِّ ْغرَ ِم
b. Majaz Mursal: Majaz mursal ini, jika hubungan antara makna yang digunakan dengan
makna yang diletakkan pertama kali tidak mempunyai persamaan. Ada beberapa
klasifikasi dari mursal, yaitu :
1) Juz`iyyah disebut juz`iyyah karena sesuatu disebut dengan menyebut
bagiannya. Contoh QS: al-Muzzam: 2
11
2) Kulliyyah disebut demikian karena yang dinyatakan adalah
keseluruhannya, sedangkan yang dimaksud hanya sebagian saja. Contoh
QS: al-Baqarah: 19
"Atau seperti (orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit, yang disertai
kegelapan, petir, dan kilat. Mereka menyumbat telinga dengan jari-
jarinya, (menghindari) suara petir itu karena takut mati. Allah meliputi
orang-orang yang kafir."
ًِ ِٗ ِت ِّ ْث١ْ ٍَْ ا َػٚ ُى ُْ فَا ْػرَ ُذ١ْ ٍَ َػٜصا ص ۗ فَ َّ ِٓ ا ْػرَذ َ ِد ل ُ ُِا ٌْ ُذشَٚ َِ ِْش ْاٌ َذـ َشاٙ ُش ْاٌ َذـ َشا َُ تِا ٌ َّشْٙ اٌَ َّش
ّ َّْ َْ ا اٛۤ ُّ ٍَا ْػَٚ للا
َٓ١ْ ِللاَ َِ َغ ْاٌ ُّرَّم َ ّ اُٛا ذَّمَٚ ۗ ُْ ُى١ْ ٍَ َػَِٜا ا ْػرَذ
َْ د
ْٓ ِِ ُاال سْ ض ُ ِ ُْخ ِشجْ ٌََٕا ِِ َّّا ذُ ْٕث٠ ه ُ ا ِدذ فَا ْدَّٚ َ طَ َؼاٍَٝ ٌَ ْٓ َّٔصْ ِث َش ػْٝ عُّٛ ٠ ُْ ُاِ ْر لُ ٍْرَٚ
َ َّع ٌََٕا َست
َ َ تَٚ َاٙ َػ َذ ِعَٚ َاِِٙ ُْٛفَٚ َاِٙ ِلثَّـائَٚ َاٍِٙتَ ْم
َاٍِٙص
5
Ibid.,Hafidz Abdurrahman,hlm.126
12
"Dan (ingatlah), ketika kamu berkata, "Wahai Musa! Kami tidak tahan
hanya (makan) dengan satu macam makanan saja maka mohonkanlah
kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia memberi kami apa yang
ditumbuhkan bumi, seperti sayur-mayur, mentimun, bawang putih, kacang
adas, dan bawang merah.
Majaz memiliki berbagai macam ragam dalam Al-Quran, yakni sebagai berikut :
a. Majaz Al-Mufrad: Majaz yang menggunakan lafadz bukan pada permulaan asal
peletakannya. Macam ini disebut juga majaz al-lughawi, dan ia terbagi ke dalam
beberapa macam:
1) Al-hadzfu atau an-naqsu, yaitu majaz yang menitikberatkan pada adanya
lafadz yang tersembunyi. Contohnya dalam Q.S Yusuf: 82,
Sebagian ulama mengatakan bahwa hurup ن di depan lafadz ٍِٗث secara
b. Majaz at-Takrib: Majaz at-tarkib adalah majaz yang menyandarkan suatu perbuatan
atau kesangsian kepada sesuatu yang tidak memiliki originalitas, dikarenakan adanya
hubungan keterkaitan antara keduanya. Majaz ini di sebut juga majaz al-aql dan majaz
al-isnaad. Contohnya dalam Q.S Al-Anfaal: 2
13
َّاْ ًا٠ِإ ُْ َُٙاذُُٗ َصا َد ْذ٠ ُْ آِٙ ١ْ ٍَد َػ
ْ َ١ٍُِإِ َرا ذَٚ
Di dalam ayat ini terdapat suatu perbuatan Allah, yaitu ادج٠اٌض (penambahan),
yang di sandarkan kepada اخ٠٢ا (ayat-ayat), hal ini karena dengan dibacakannya
Adapun untuk mengetahui lafaz haqiqah adalah secara sima'i , yaitu dari pendengaran
terhadap apa yang biasa dilakukan orang-orang dalam berbahasa. Tidak ad cara lain untuk
mengetahui selain dari itu. Juga tidak dapat diketahui melalui analogi. Sebagaimana keadan
hukum syara' yang tidak dapat diketahui kecuali melalui nash syara' itu sendiri.
Cara mengetahui lafaz majaz adalah melalui usaha mengikuti kebiasaan orang arab
dalam penggunaan isti'arah (peminjam kata). Adapun cara orang arab menggunakan kata
lain untuk dipinjam bagi maksud lain adalah adanya kaitan antara maksud kedua kata itu baik
dalam bentuk manapun dalam arti. Contogdalam bentuk, umpamanya menggunkan kata
ghaib (ىط )اٌغا yang berarti tempat yang tenang di belakang yang dijadikan majaz terhadap
kata "buang air besar", karena buang air besar itu memang biasanya dilakukan di tempat
tenang di belakang. Begitu pula menyamakan dan menggunakan kata الِغرُ إٌغاٚ اyang
berarti saling menyentuh dengan jima' (bersetubuh) karena memang di antara keduanya
terdapat sentuhan.
Contoh keterkaitan dalam makna umpamanya penggunaan kata "singa" oleh orang
Arab dalam bahasa Arab terhadap orang "pemberani" karena ada persamaan di antara kedua
14
kata itu dalam hal kekuatan dan keberanian. Beberapa hal yang dapat dijadikan petunjuk
dalam membedakan haqiqah dengan majaz, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Salah satu di antara kedua lafaz itu lebih dahulu menyentuh pemahaman dibanding
dengan yang lain. Itulah yang haqiqah. Sedangkan yang agak lambat menyentuh
pemahaman adalah majaz
b. Salah satu diantara kedua lafaz itu dapat dikembangkan atau di tasrif-kan ke dalam
beberapa lafaz, seperti kata "amar" ()اِشyang berarti "perintah", digunakan untuk
"ucapan" adalah menurut hakikatnya karena lafaz a-ma-ra itu dapat dikembangkan
kepada bentuk kata amara-ya'muru (ِش ا-ا ِش٠ ) Kalau tidak dapat dikembangkan
sedemikian rupa dinamai majaz seperti penggunaan "amaru" ( اِش )untuk arti "sesuatu
15
adalah asalnya sedangkan majaz hanya kata pinjam. Keduanya tidak dapat berkumpul
dalam satu lafaz.
Bila yang dimaksud suatu lafaz adalah haqiqah, maka majaz tidak diperlukan.
Sebaliknya, bila yang dimaksud suatu lafaz adalah majaz maka haqiqah-nya tidak
diperlukan lagi. Dalam Q.S An-Nisa: 23
Kata ”ibu-ibu” ُْ رُ ُىَِّٙ ُ ا dalam bentuk jamak pada ayat tersebut dapat digunakan
terhadap “nenek”, namun penggunaan untuk “nenek” adalah dalam bentuk majaz.
Begitu pula kata “anak-anak” ا تٕا ء dapat digunakan untuk “cucu”, namun
penggunaan untuk “cucu” adalah dalam bentuk majaz sedangkan haqiqah-nya adalah
untuk anak kandung.
16
Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.
Dalam firman Allah diatas, yang pengertian shalat bukan lagi berdoa, tetapi
bentuk ibadat tertentu yang kita namakan shalat.
َٓ َٔاسًا١ِّ ٌَِ ْىفُشْ إَِّٔا أَ ْػرَ ْذَٔا ٌٍِظَّا١ٍْ َ َِ ْٓ َشا َء فَٚ ْٓ ِِ ُْؤ١ٍْ َفَ َّ ْٓ َشا َء ف
17
yang diucapkan itu tidak perlu diperhatikan. Umpamanya firman Allah dalam surat
Al-Isra‟ (17): 64:
َ ا ْعرَ ْف ِض ْص َِ ِٓ ا ْعرَطَؼَٚ
َ ُِ ُْ تْٕٙ ِِ ْد
َْ ِذهٛص
Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu.
Meskipun pada ayat diatas, haqiqah-nya mengandung “perintah”, namun setiap
orang mengetahui bahwa ucapan itu bukan perintah, karena tidak ada yang meyangkal
bahwa Allah tidak menyuruh untuk kafir. Jelaslah yang dimaksud di sini adalah
memberi kemungkinan dan kemampuan untuk berbuat.
18
keturunannya (Ali Hasbullah,1976:253-254). Demikian, qarinah (penguat) merupakan
faktor penentu bagi penggunaan arti majaz (Wahbah al-Zuhaili, 1986:297).
Dalam kaitannya dengan hukum, hakikat dan majaz adalah sama dalam hal
memberikan pengertian hukum. Kesimpulan hukum dapat diambil dari suatu lafaz
dengan berdasarkan makna yang hakiki yang diciptakan bagi lafaz itu, baik lafaz itu
umum atau khusus, perintah atau larangan. Demikian pula kesimpulan hukum tersebut
dapat diambil dari suatu lafaz dengan berdasarkan makna majazi yang dipinjamkan untuk
lafaz itu (Ali Hasbullah, 1976:254).
Kebanyakan lafaz dalam Alquran dan dipergunakan dengan arti yang hakiki, akan
tetapi ada pula lafaz dalam kedua sumber hukum itu mesti diartikan dengan arti majazi 6.
Contoh bentuk yang pertama, firman Allah Swt:
َْ ُْٛ َْش ٌَ َؼٍَّ ُى ُْ ذُ ْفٍِذ١ا ْاٌ َخٍُٛا ْف َؼَٚ ُْ ْ ا َستَّ ُىٚا ْػثُ ُذَٚ ْ اٚا ْع ُج ُذَٚ ْ اُٛا اسْ َوؼَُِٕٛ َٓ ا٠ْ َا اٌَّ ِزُّٙ٠َا٠
Artinya: “Hai orang orang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah
Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. (QS. Al-Hajj:
77).
Ayat tersebut memerintahkan ruku´, sujud, menyembah Tuhan dan berbuat baik
dalam arti yang hakiki, bukan majazi seperti tunduk kepada hukum alam yang diciptakan
Allah. Adapun contoh bentuk kedua adalah firman Allah Swt:
ْ ا َِ ۤا ًءْٚ ٌ َّ ْغرُ ُُ إٌِّ َغ ۤا َء فٍََ ُْ ذَ ِج ُذَْٚ َج ۤا َء اَ َدذ ِِّ ْٕ ُى ُْ َِِّٓ ْاٌ َغ ۤا ِى ِط اَٚ َعفَش اٍَْٝ ػَٚ اٝاِ ْْ ُو ْٕرُ ُْ َِّشْ ظَٚ
ِّةً ا١َذًا ط١ْ ص ِؼ
َ ْ اُّٛ َّّ َ١َفَر
Artinya: “Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat
buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih)” (QS. Al-Maidah: 6).
6
Ahmad Badawi, Lafaz Ditinjau Dari Segi Hakikat dan Majaz.hlm.55-56
19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Haqiqah dan majaz menurut ulama ushul fiqh ditemukan banyak definisi yang
beragam dimana definisi dikembangkan oleh al-amidi yaitu: haqiqah adalah lafaz yang
digunakan pada asal peletakannya, sedangkan majaz adalah lafaz yang penggunaannya
diletakkan dalam makna yang bukan sebenarnya dalam pembicaraan karena ada
keterkaitannya.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, karena keterbatasan
dan sumber yang didapat, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar
kedepannya makalah ini jauh lebih sempurna.
20
DAFTAR PUSTAKA
Badawi, A. (2019). Lafaz Ditinjau Dari Segi Hakikat dan Majaz. Jurnal Al-Fikru, 55-56.
Dr.Hamzah, S. M. (2021). MAJAZ (Konsep Dasar dan Klasifikasinya dalam ilmu Balagah). Lamongan:
Academia Publication.
Firdaus. (2018). Hakikat dan Majaz dalam Al-Quran dan Sunnah. Jurnal Kajian Pengembangan Umat,
44-50.
Syarifuddin, P. (2011). USHUL FIQH JILID II. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
21