Anda di halaman 1dari 4

Hak Asuh Anak Pasca Perceraian dalam Perspektif Hukum Positif di Indonesia

Latar Belakang :

Judul merupakan salah satu bagian penting dalam sebuah penulisan, dimana judul memiliki arti
untuk memudahkan pembaca paham dan mengerti terkait inti dan fokus utama isi dari penulisan
tersebut. Adapun judul yang digunakan penulis dalam penilisan karya ilmiah ini yaitu “Hak Asuh
Anak Pasca Perceraian dalam Perspektif Hukum Positif di Indonesia”. Dengan memilih untuk
menggunakan judul ini, penulis memiliki alasan terkait pemilihan judul dalam penulisan artikel
ilmiah ini, diantaranya yaitu berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis yang
terisnpirasi dari penelitian yang di lakukan oleh Tim Jurnal Pro Hukum Fakultas Hukum
Universitas Gresik tahun 2017 mengenai “Aspek Yuridis Hak Asuh Anak Akibat Perceraian
Orangtua Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan dan Undang-Undang Perlindungan Anak”.
Perkawinan merupakan jalan sah untuk membangun sebuah keluarga, hubungan suami dan istri
yang telah terikat dalam perkawinan diharapkan dapat menjadi sumber kebahagiaan bagi
keduanya. Salah satu tujuan dan harapan semua keluarga adalah menjadi keluarga yang
harmonis, namun tidak jarang pula terdapat suami istri yang terus menerus bersengketa sehingga
mereka mencari jalan alternatif untuk menyelesaiakan persengketaannya yaitu dengan cara
melakukan perceraian di pengadilan, hal ini juga berpengaruh kepada anak, dengan siapakah hak
asuh anak dapat dijatuhi. Terkadang masih banyak problematika terkait penetapan hak asuh
anak, maka dari itu dalam artikel ini penulis akan membahas tentang bagaimana mekanisme
yang dilakukan terkait penetapan hak asuh anak dalam perspektif hukum positif di Indonesia.
Dalam penetapan hak asuh anak pengadilan menggunakan pertimbangan dari Kompilasi Hukum
Islam serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di dalam Kompilasi
Hukum Islam apabila anak belum berusia 12 tahun (belum mumayyiz) maka keputusan hak asuh
anak jatuh kepada ibunya sedangkan jika anak sudah melebihi umur 12 tahun (sudah mumayyiz)
maka penentuan akan dilakukan oleh anak itu sendiri. Namun penetapan hak asuh anak yang
belum dewasa tidak mutlak selalu jatuh kepada ibunya, melainkan tidak menutup kemungkinan
jatuh kepada ayah dengan berbagai pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan oleh pengadilan.
Adapun rumusan masalah dalam penulisan artikel ilmiah ini diantaranya yaitu: (1)
Bagaimanakah mekanisme penentuan hak asuh anak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)?. (2) Siapakah yang berhak
mendapatkan hak asuh anak serta bagaimana pertimbangannya ditinjau dari Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)? Berdasarkan
rumusan masalah tersebut, penulis memiliki beberapa tujuan dari penulisan artikel ilmiah ini
yaitu: (1) Memberikan sebuah gambaran tentang bagaimanakah mekanisme penentuan hak asuh
anak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam (KHI), (2) Memberikan gambaran tentang siapakah yang berhak mendapatkan hak asuh
anak serta bagaimana pertimbangannya ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Metode penelitian yang penulis
gunakan dalam penulisan makalah ini yaitu menggunakan pendekatan yuridis normatif (metode
penelitian hukum normatif) berupa analisis perundang-undangan tentang penetapan hak asuh
anak dan disertai bahan-bahan sekunder seperti buku, teori, serta jurnal ilmiah. Adapun
pemilihan penggunaan metode tersebut dilakukan penulis dikarenakan penggunaan metode
pendekatan yuridis normatif memudahkan penulis dalam penarikan kesimpulan yang sifatnya
umum yang sudah dibuktikan kebenarannya .

Hasil Penelitian:

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, disebutkan pada Pasal 54 ayat (2) bahwa orangtua
wajib mengasuh dan mendidik anak hingga ia dewasa, hal tersebut harus terus dilakukan
meskipun kedua orang tua sudah bercerai. Untuk penentuan siapakah yang menanggung anak
pasca perceraian bisa dilakukan sendiri tanpa pengadilan bila ada kesepakatan diantara
keduanya, namun tidak jarang ada orangtua yang mengajukan gugatan atas hak asuh di
pengadilan. Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa anak dibawah umur 12 tahun hak asuh
nya diberikan pada ibu, dan ketika ia lebih dari 12 tahun maka anak dapat menentukan sendiri
apakah ikut ibu atau ayah. Namun dalam kasus-kasus lain ayah juga berhak mendapatkan hak
asuh anak meskipun anak belum berusia 12 tahun dengan pertimbangan bahwa ibu tidak dapat
mengasuh atau adanya ketidakwajaran dalam mengasuh anaknya hal tersebut termaktub dalam
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 102 K/Sip/1973. Di dalam Pasal 49 ayat 2 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan meskipun orangtuanya dicabut kekuasaannya dalam
pengasuhan anak mereka tetap berkewajiban membiayai serta memelihara anak tersebut, jadi
dengan siapapun nantinya hak asuh anak akan diberikan keduanya tetap berhak dan
berkewajiban membiayai serta memberi pengasuhan untuk anak tersebut. Sehingga dapat kita
simpulkan bahwasannya pengadilan dalam keputusannya menentukan hak asuh anak dilakukan
berdasarkan siapakah yang lebih berhak serta bersedia untuk mendapatkan hak asuh anak
tersebut karena keputusan itu semata-mata menyangkut kepentingan anak itu sendiri, serta dalam
menentukan hak asuh anak ada syarat-syarat yang harus dipenuhi misalnya kesanggupan dalam
membiayai anak serta bagaimana perlakuan pihak ibu atau ayah dalam mengasuh anak.

Pembahasan Penelitian :

Istilah perceraian berasal dari kata cerai yang artinya pisah. Berdasarkan Pasal 38 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwasannya “Perkawinan dapat putus karena
kematian, perceraian dan atas putusan Pengadilan”, sehingga dapat kita simpulkan bahwa
perceraian merupakan putusnya suatu perkawinan yang dimana juga memutuskan hubungan
antara suami dan istri. Adapun dilakukannya sebuah perceraian harus memenuhi syarat di dalam
undang-undang, dan perceraian dapat ditolak apabila alasan yang diajukan baik dari istri maupun
dari suami dianggap tidak jelas oleh pengadilan. Putusnya tali pernikahan dalam sebuah
perkawinan menyebabkan beberapa hal, salah satunya penentuan nasib seorang anak. Dimana
nasib seorang anak akibat dari perceraian benar-benar harus di perhatikan dengan baik dan juga
harus dijamin untuk tetap dipelihara. Keegoisan orangtua seharusnya tidak membuat nasib
seorang anak terancam, sehingga adanya putusan terkait penentuan hak asuh anak diharapkan
dapat menjamin anak tetap mendapatkan kasih sayang serta pemenuhan kebutuhan hidup tetap
terjamin dengan baik dan benar. Menurut Ash-Sha’ani, pemeliharaan dalam hukum Islam
disebut dengan Al-Hadhanah yang artinya mengasuh anak atau memelihara anak yang belum
mampu berdiri sendiri, baik dalam biaya kebutuhan hidup maupun segala hal yang dapat
membahayakan jiwanya. Sedangkan menurut Sayyid Dabiq, Hadhanah merupakan dimana
adanya pemeliharaan terhadap anak yang masih kecil atau belum tamyiz baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak dapat melakukan suatu keputusan dalam hidupnya sendiri tanpa bantuan
dari orangtuanya, serta orangtua memiliki kewajiban untuk menyediakan segala sesuatu yang
baik untuk kehidupan anaknya dan juga dapat mendidik baik jasmani, rohani, dan juga akal
anaknya hingga ia dapat/mampu berdiri sendiri dalam menjalani kehidupannya. Berdasarkan
Pasal 41 huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan
bahwasannya “Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan
anak- anak, Pengadilan memberi keputusannya” dan juga pada huruf b juga dijelaskan
bahwasannya “Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban
tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut”. Berdasarkan
undang-undang tersebut dapat kita lihat bahwasannya hak anak tetap akan di jamin dan
dipertanggungjawabkan oleh orangtuanya, baik ibu ataupun bapak harus tetap memiliki
kewajiban untuk menjamin kehidupan seorang anak. Selain itu, berdasarkan Pasal 105 Kompilasi
Hukum Islam disebutkan bahwasannya selama anak masih belum berusia 12 tahun (belum
mumayyiz) maka hak asuh anak akan berada di tangan seorang ibu, akan tetapi apabila sang anak
sudah berusia 12 tahun (sudah mumayyiz) maka hak asuh anak berdasarkan keputusan anak itu
sendiri, antara mengikuti sang bapak ataupun sang ibu. Akan tetapi, terkait tentang biaya
pemeliharaan anak itu sendiri akan menjadi tanggungjawab sang ayah baik anak itu sudah
mumayyiz maupun belum. Berdasarkan pengertian diatas dapat kita simpulkan bahwasannya
kehidupan anak akan tetap terjamin hingga ia berusia 21 tahun atau sudah menikah, baik ibu dan
bapak memiliki peran penting dalam kelangsungan hidup sang anak, dan adapun sebuah
perceraian tidak dapat menghilangkan tanggungjawab orangtua dalam menjamin pemeliharaan
dan mendidik anak dengan baik dan benar. Selain itu, adanya perlindungan anak semakin
menjamin bahwa kehidupan anak tidak di telantarkan begitu saja ketika orangtua melakukan
suatu proses perceraian.

Anda mungkin juga menyukai