Anda di halaman 1dari 3

Hak Asuh Anak Pasca Perceraian dalam Perspektif Hukum Positif di Indonesia

Perkawinan merupakan jalan sah untuk membangun sebuah keluarga, hubungan suami dan istri
yang telah terikat dalam perkawinan diharapkan dapat menjadi sumber kebahagiaan bagi
keduanya. Salah satu tujuan dan harapan semua keluarga adalah menjadi keluarga yang harmonis
namun tidak jarang pula terdapat suami istri yang terus menerus bersengketa sehingga mereka
mencari jalan alternatif untuk menyelesaiakan persengketaannya yaitu dengan cara melakukan
perceraian di pengadilan, hal ini juga berpengaruh kepada anak, dengan siapakah hak asuh anak
dapat dijatuhi. Terkadang masih banyak problematika terkait penetapan hak asuh anak, maka
dari itu dalam artikel ini penulis akan membahas tentang bagaimana mekanisme yang dilakukan
terkait penetapan hak asuh anak dalam perspektif hukum positif di Indonesia. Dalam penetapan
hak asuh anak pengadilan menggunakan pertimbangan dari Kompilasi Hukum Islam serta
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di dalam Kompilasi Hukum Islam
apabila anak belum berusia 12 tahun (belum mumayyiz) maka keputusan hak asuh anak jatuh
kepada ibunya sedangkan jika anak sudah melebihi umur 12 tahun (sudah mumayyiz) maka
penentuan akan dilakukan oleh anak itu sendiri. Namun penetapan hak asuh anak yang belum
dewasa tidak mutlak selalu jatuh kepada ibunya, melainkan tidak menutup kemungkinan jatuh
kepada ayah dengan berbagai pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan oleh pengadilan.
Tujuan dari penulisan artikel ilmiah ini adalah: (1) memberikan sebuah gambaran tentang
Bagaimanakah mekanisme penentuan hak asuh anak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), (2) Serta siapakah yang berhak
mendapatkan hak asuh anak serta bagaimana pertimbangannya ditinjau dari Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatife berupa analisis perundang-


undangan tentang penetapan hak asuh anak dan disertai bahan-bahan sekunder seperti buku,
teori, serta jurnal ilmiah.
Hasil Penelitian:

Dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974, disebutkan pada Pasal 54 ayat (2) bahwa orangtua
wajib mengasuh dan mendidik anak hingga ia dewasa, hal tersebut harus terus dilakukan
meskipun kedua orang tua sudah bercerai. Untuk penentuan siapakah yang menanggung anak
pasca perceraian bisa dilakukan sendiri tanpa pengadilan bila ada kesepakatan diantara
keduanya, namun tidak jarang ada orangtua yang mengajukan gugatan atas hak asuh di
pengadilan. Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa anak dibawah umur 12 tahun hak asuh
nya diberikan pada ibu, dan ketika ia lebih dari 12 tahun maka anak dapat menentukan sendiri
apakah ikut ibu atau ayah. Namun dalam kasus-kasus lain ayah juga berhak mendapatkan hak
asuh anak meskipun anak belum usia 12 tahun dengan pertimbangan bahwa ibu tidak dapat
mengasuh atau adanya ketidakwajaran dalam mengasuh anaknya hal tersebut termaktub dalam
Putusan Mahkamah Agung RI No.102 K/Sip/1973. Di dalam Pasal 49 ayat 2 UU No. 1 Tahun
1974 menyebutkan meskipun orangtuanya dicabut kekuasaannya dalam pengasuhan anak
mereka tetap berkewajiban membiayai serta memelihara anak tersebut, jadi dengan siapapun
nantinya hak asuh anak akan diberikan keduanya tetap berhak dan berkewajiban membiayai serta
memberi pengasuhan untuk anak tersebut. Bisa diambil kesimpulan bahwa pengadilan dalam
keputusannya menentukan hak asuh anak dilakukan berdasarkan siapakah yang lebih berhak
serta bersedia untuk mendapatkan hak asuh anak tersebut karena keputusan itu semata-mata
menyangkut kepentingan anak itu sendiri, serta dalam menentukan hak asuh anak ada syarat-
syarat yang harus dipenuhi misalnya kesanggupan dalam membiayai anak serta bagaimana
perlakuan pihak ibu atau ayah dalam mengasuh anak.

Inti Pembahasan:

1. Mekanisme penentuan hak asuh anak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
1.1. Pengertian perceraian
1.2. Pengertian hak asuh anak
1.3. Landasan hukum terkait penentuan hak asuh anak
2. Pertimbangan keputusan pengadilan dalam penentuan hak asuh anak.
2.1. syarat-syarat dan prinsip dalam penentuan keputusan hak asuh anak
2.2. Contoh perkara dalam penentuan hak asuh anak di pengadilan

Anda mungkin juga menyukai