Anda di halaman 1dari 29

JAM DINDING YANG BERDETAK

Karya: Nano Riantiarno

(Catatan kecil sebuah keluarga dalam dua adegan)

Para Pelaku;
THOMAS PATTIWAEL : Papa umur kira-kira 45 tahun

MARIE PATTIWAEL : Mama umur kira-kira 43 tahun

BENNY : Anak Lelakinya


MAGDA : Anak perempuannya
OMA : Seorang nenek tetangga mereka
POLISI

SELURUH KEJADIAN INI TERJADI DI SALAH SATU RUMAH YANG TERLETAK DI KOMPLEKS ORANG-
ORANG MISKIN DAN ORANG –ORANG PENSIUNAN.

Rumah dibagi jadi tiga bagian tapi bersambungan satu sama lain / simultan set.
Pertama-tama : Kita melihat halaman depan, ada pohon pisang beberapa batang. Satu
pohon jambu dan satu pohon kersen, dimuka rumah ada lentera
tergantung persis di atas kursi goyang dekat jendela kayu.
Lalu ruang tengah : Terdapat sebuah sofa reot, permadani butut, dua buah kursi rotan.
Sebuah lemari pecah belah di sudut ruang dekat pintu. Bergordyn
korduray hijau lumut, sebuah lobang pintu tak berdaun pintu dari
sebuah kamar tidur yang pasti sempit , sebuah jam dinding terpaku
diantara sofa megah diantara potret –potret tua, kelihatan jam itu
sangat antik. Keadaan kamar itu betul-betul berantakan.
Bagian ketiga adalah : Rak piring besi yang catnya sudah mulai luntur dan karatan. Ember
berbaur dengan alat –alat lukis, cat-cat, tube-tube kosong figura-figura
kanvas setengah berlukis dan lukisan-lukisan bertumpuk di satu sudut.

1
Kita melihat dapur sama berantakannya dengan ruang tengah. Pada saat lampu fade in kita melihat
seseorang berkerudung selimut tidur di bawah sofa. Bergelung dan mendengkur, dari sebelah dapur
kita mendengar rebut-ribut, hari baru pukul tujuh pagi. Matahari belum begitu panas

ADEGAN PERTAMA

MAMA : (Muncul dari dapur sambil memukul-mukul baki). Bangun … bangun


matahari sudah tepat di atas kepala kita. He, pemalas … ayo bangun tak
tahu malu. Laki-laki sebesar lembu sesiang ini masih tetap berselimut.
Benny,bangun. Benny ...
PAPA : (Dari dalam kamar) Marie ...
MAMA : Mau jadi apa kau kelak? Sudah tak punya kerja selain selain
setiap hari kerja tidur tiduran melulu
PAPA : (Dari dalam kamar) Marie … tuli telinga kau Marie …
MAMA : ya, ya ada apa?
PAPA : (Dari dalam kamar) Di mana kau taruh dasiku?
MAMA : Di atas lemari. Benny, bangun, mandi dulu biar segar. Hei pemalas jika
tidur lagi, sambunglah nanti sehabis mandi
PAPA : (Dari dalam kamar) Tak ada.
MAMA : Dekat kotak topi, di dalam tas plastik merah.
PAPA : (Dari dalam kamar). Brengsek, sejak kapan ia berada di situ.
MAMA : Brengsek, sejak kau taruh dasi di kamar mandi. Benny, bebalnya anak ini.
Kusepak kau, kusepak kau nanti ...
BENNY : (Menggeliat) Masih pagi, Mama ...
MAMA : Pagi, pagi. Buka lebar–lebar matamu. Tak baik tidur lewat jam tujuh pagi
menjauhkan rejeki. Ayo bangun, bangun!
BENNY : Selalu yang itu-itu juga . Aku tidur jam empat pagi, Mama ...
MAMA : Siapa yang menyuruhmu tidur tak teratur hah?
BENNY : Aku melukis Mama. Aku menyelesaikan lukisan.
MAMA : (Mulai menyetrika ). Hah, melukis, melukis apa? Apa tak ada kerjaan lain
selain itu? Dan apa hasilnya? Apa? Cuma kecapean dan telat bangun. Dari
dulu mama sudah bilang takkan ada gunanya kau melukis. Cuma
membuang–buang waktu saja. Apa kau bisa makan karena itu ? Tidak.

2
Melukis adalah pekerjaan pengangguran. Tapi kakakmu mungkin punya
pertimbangan lain sehingga ia mengizinkan kau masuk seni rupa. Lalu apa
hasilnya? Tak ada. Cuma omong kosong. Jerih payah kakakmu
menyekolahkan kau cuma sia-sia, tak ada artinya. Kau keluar–keluar entah
kenapa ...
BENNY : Mama ...
MAMA : Bosan aku. Kau seakan akan menutup mata terhadap semua ini. Kakakmu-
Mamamu-Papamu bekerja membanting tulang sedang kau enak-enakan
tidur, melukis ...
PAPA : (Dari dalam kamar) Marieee ...
MAMA : Apa lagi?
PAPA : (Dari dalam kamar) Apa sudah kau semir sepatuku? Ada debu menempel di
ujungnya. Di mana kau taruh kaus sepatuku?
MAMA : Di dalam keranjang hitam, Tuan besar........
PAPA : (Dari dalam kamar) Yang satunya lagi yang ini sudah bau telur busuk.
Sudah satu bulan tidak kau cuci.
MAMA : Apa kau mau ke tempat orang kawin? Ke pesta? Pakai yang itu. Yang
satunya masih belum basah, belum kering betul …
PAPA : (Dari dalam kamar) Malas ... apa kerja kau selama ini?
MAMA : Apa katamu? Cucian dan setrikaan orang yang masih harus kubereskan
bertumpuk, berkumal di keranjang. Sementara itu hujan terus menerus
turun selam tujuh hari tujuh malam dan masih bilang aku pemalas?
MAGDA : (Masuk, kepalanya bergelung handuk) Sudahlah, mama. Sepagi ini sudah
berteiak-teriak. Tetangga-tetangga masih banyak yang tidur. (Pada Benny)
Benny, sebelum diserobot orang lain, kamar mandi masih kosong. Cepat ...
MAMA : Ia pikir aku enak-enak goyang kaki di rumah. Bagus betul.
MAGDA : Udahlah, Mama. ( Pada Benny) Benny ...
MAMA : Benny, cepat mandi sebelum disebot orang.
BENNY : Pasti sudah diserobot orang lain.
MAMA : Lihat dulu, baru bisa bilang begitu.
BENNY : (Segan-segan) Baiklah, Mama. Aku akan teruskan tidurku di kamar
mandi.

3
MAMA : Ya, dan orang-orang akan berteriak-teriak di depan pintu kamar mandi.
Yang antri menunggu giliran mandi masih banyak ...
BENNY : (Pada Magda) Handukmu ...
MAGDA : (Melepaskan handuknya) Nih!
MAMA : Sikat gigi, odol, gayung, sabun mandi_ jangan lupa.
MAGDA : Kutinggalkan ia di sana.
BENNY : Ah, ada harapan barang-barang itu hilang. (Keluar cepat)
MAMA : Pemalas.
MAGDA : Mama terlalu kaku menghadapi Benny, seharusnya tidak boleh begitu.
(Menyisir rambutnya) Kasihan Benny, andaikan saja ia punya jabatan yang
tinggi di fakultasnya, tentu tak mungkin ia bisa dikeluarkan, dipecat. Ia
anak pandai, punya otak dan tak mudah percaya pada apapun.
MAMA : Kau terlalu memenuhi apa yang dia minta.
MAGDA : Aku mengerti dia, Mama. Itu soalnya.
MAMA : Mestinya ia sudah punya rencana untuk bekerja membantu kita ...
MAGDA : Ia bekerja, Mama. Ia melukis tiap waktu, dengan begitu ia berarti melatih
bekerja. Siapa tahu suatu saat ia bakal jadi sesuatu. Biarkan ia punya
panggilan yang lain.
MAMA : Kita butuh uang untuk bisa terus mempertahankan hidup. Seharusnya anak
sebesar ia juga mulai mencoba-ciba berpikir bagaimana cara mengatasinya.
MAGDA : Mama, ia lagi menyimpulkan. Ia hanya sedang mengalami kekagetan,
bahwa ternyata terdapat pengaruh besar terhadap jalan hidupnya. Dan
karena kekagetan itu mungkin ia menderita sakit sebentar. Tapi jangan
khawatir. Sebentar lagi tentu ia akan sembuh kembali.
MAMA : Aku tahu itu, coba ia bisa rem kehendak untuk berbantah dengan gurunya
tentu ia masih sekolah sekarang ini.
MAGDA : Pertengkaran pendapat itu biasa Mama. Apa lagi dikalangan mahasiswa.
Sedikitnya Benny dengan jujur dan gigih telah mampu mendapatkan
kekuatan untuk mempertahankan pendapatnya walau resikonya sesudah
itu ia dipecat.
MAMA : Guru, biar bagaimanapun tentu lebih pandai dari pada murid-muridnya.
Kalau tidak tak mungkin ia jadi guru.

4
MAGDA : Belum tentu. Kadang-kadang ada guru yang terlalu mempertahankan
pendapat-pendapat yang sudah kuno, usang sedang zaman semakin maju.
Dan kita tak tahu semua pendapat mereka bisa diterapkan pada saat
mereka-mereka itu mulai menua.
MAMA : Ya, tapi dengan begitu Benny dengan sengaja telah menutup salah satu
jalan hidupnya.
MAGDA : Nah, kini sedang ia buktikan apakah tuduhan Mama itu betul atau tidak.
PAPA : (Jika kita dengar sedari tadi ia bicara tentang dasi, kaus kaki, sepatu yang
mengkilat tentu bayangan kita telah tertambat pada kerapihan seorang
parlente. Tapi tidak. Begitu ia keluar dari kamar kita cuma melihat
monumen jaman yang sudah lampau. Tidak lagi up to date. Ia memang
memakai dasi tapi yang murahan, baju keriput karena memang bahannya
murahan, celana komprang dan sepatu; putih. Memang tanda-tanda
parlente masih terdapat sisa-sisanya). Apa yang kalian pertengkarkan?.
MAGDA : Bukan apa-apa Papa. Hanya soal Benny.
PAPA : Selalu Benny. Ia sudah besar, tahu apa yang baik buat dia. Biar dia memilih.
MAGDA : Aku juga berpendapat begitu.
PAPA : Ia laki-laki dan setiap laki-laki harus tahu banyak tentang segala hal.
Dadanya harus dipenuhi oleh pengalaman-pengalaman.
MAMA : Ya, hingga semakin hari ia semakin tenggelam ia oleh kelaki-lakiannya
sendiri.
PAPA : Seperti aku Papanya … Begitu bunyi kalimat lanjutannya bukan? Nah
sudahlah. Tak baik bertengkar sepagi ini. Tetangga-tetangga akan
mendengarnya dan ...
MAMA : Mereka sudah terbiasa mendengar teriakan-teriakan kita.
PAPA : Dan mengapa kita tidak merasa malu, ya? Heran juga aku. Eh, tak kau
sediakan kopi buatku? Sarapan pagiku?
MAMA : Kau ingin apa? Telur mata sapi? Nasi goreng? Kornet atau serdencis?
Segalanya sudah tersedia Tuan besar ...
PAPA : Di mana?
MAMA : Di toko. Dan untuk mengambilnya kita memerlukan kertas berharga.

5
PAPA : (Tertawa). Kau ini terlalu mata duitan. Sudahlah, kalau memang tak dapat
kita ambil berhubung kita tak punya kertas berharga, kopi pahit pun tak
apa, atau remah-remah roti, atau kerak nasi yang digoreng.
MAMA : Kau melucu. Tak ada kopi, tak ada remah-remah roti juga tidak ada kerak-
kerak nasi. Yang ada cuma ini: Air dingin dan angin. Nikmatilah sebelum
kau pergi.
PAPA : (Tersenyum) Nasib.
MAMA : Jangan mengeluh.
PAPA : (Menyambung) Tak menjauhkah rezeki.
MAGDA : (Menyambung ) lebih baik terima segalanya dengan tabah .
MAMA : Konyol.
PAPA : Mengapa? Kita cuma mencoba menyelesaikan kalimat –kalimat darimu.
Bukan begitu, Magda?
MAGDA : Ya, Mama. Ingatan kita terang sekali bukan?
PAPA : Apa betul-betul tak ada sedikitpun sisa-sisa makanan. Rasanya aku semalam
melihat roti tertimbun di sudut–sudut dapur.
MAMA : Mimpi. Apa lagi yang aku lihat. Tentu kau melihat ...
PAPA : Emas berbungkal-bungkal dan duit.
MAMA : Lalu ?
PAPA : Yang ini aneh. Aku melihat kau duduk di kursi goyang, tenang
mengeluarkan butiran-butiran kristal dari matamu. Kau duduk di sudut
dekat peti beras.
MAGDA : Yang sudah kosong.
PAPA : Sudah kosong? Begitu cepat?
MAGDA : Yang kita makan tadi malam adalah sisa-sisa terakhirnya.
MAMA : Tentang kristal-kristal itu? Dan lalu? Apa lagi?
PAPA : Dekat peti beras kau duduk di kursi goyang dengan kepala sebesar gajah dan
mata sebesar durian berwarna merah.
MAMA : Kau mabuk.
PAPA : Jangan marah aku cuma ingin mencoba memakai cara lain untuk membuat
perut kita menjadi kenyang.
MAGDA : Coba kalau kita bisa kenyang tidak melulu lantaran makan.
PAPA : Aku yakin kita pasti bahagia.

6
BENNY : (Masuk cuma memakai handuk yang dililitkan di pinggangnya). Nenek
yang mukanya seperti labu itu benar-benar menjengkelkan. Mama pikir
orang mandi itu bisa bersih; dalam satu menit?
MAMA : Benny, tak pantas kau begitu. Kau kan bukan anak-anak lagi.
PAPA : Dia menggedor-gedor pintu kamar mandi. Mandi Mama pikir bisa tenang
dengan iringan musik berupa gedoran–gedoran pintu? Padahal aku baru
saja masuk. (Pada Magda). Sudah kukatakan padamu, pasta gigi sudah tak
ada di tempatnya lagi. Tiga minggu aku disini dan korbanku meliputi lima
sabun mandi, dua pasta gigi, dan satu lagi sikat gigi. Brengsek. Semuanya
patut dicurigai. (Masuk).
MAMA : Benny ...
BENNY : (Dari dalam kamar) Kita di kelilingi pencuri-pencuri Mama.
PAPA : Benny tidak salah.
MAMA : Lalu apa yang akan kau lakukan? Menggeledah kamar-kamar tidur mereka
dan kita ajukan ke pengadilan jika pencuri-pencuri itu bisa tertangkap?
PAPA : Tak usah repot-repot. Kalau ada kesempatan, kita curi punya mereka dan
mereka harus merasa puas dengan barang–barang barter itu.
MAMA : Terlalu. (Pada Magda). Kau tidak lekas-lekas berangkat?
MAGDA : Tenang Mama. Masih lama. Baru jam tujuh lewat sedikit.
PAPA : (Menunjuk jam dinding). Ah dia belum mendapat giliran rupanya?
MAMA : Giliran apa?
PAPA : Berubah menjadi makanan. Beras misalnya.
MAMA : Tidak. Yang ini akan mendapat giliran yang paling akhir. Nanti jika
memang sudah tidak ada lagi sesuatu yang bias kita jual. Ia merupakan
satu-satunya kenangan dari kau, Tom- satu-satunya pemberian yang paling
berharga darimu pada ulang tahun perkawinan kita yang pertama. Kau
masih ingat?
PAPA : Ingatanku sudah rusak sejak aku berhenti bekerja.
MAMA : Kau ingat Tom. Pasti kau masih ingat.
MAGDA : Jangan khawatir Mama. Ia hanya pura-pura tidak ingat.
PAPA : Dua puluh empat tahun yang lalu ...
MAMA : Ya ...
PAPA : Ya.

7
MAGDA : Nah, kan ? Sudah kukatakan, Papa cuma pura-pura tidak ingat.
PAPA : Waktu itu kau masih secantik dia bukan Marie? (Menunjuk Magda).
MAGDA : Mama lebih cantik dari aku.
MAMA : Omong kosong. Mukaku seperti kucing buduk.
MAGDA : Ayolah Mama, ayolah. Kecantikanmu waktu masih muda tak ada yang bias
menandingi.
PAPA : Ada cerita yang sangat menggelikan. Kau tahu, pada waktu itu Papamu
benar-benar tergila-gila padanya sehingga pernah selama tiga malam
berturut-turut tidur di teras rumahnya.
MAMA : Astaga selama ini kau tidak pernah bilang apa-apa padaku, tentang itu. Lalu
apa saja yang kau kerjakan selama tiga malam itu?
PAPA : Menunggu. Kalau kau keluar sendirian pada malam hari, secara kebetulan
mencari angin karena kau kepanasan atau apa saja, aku akan senang.
MAMA : Jika ternyata aku keluar sendirian, duduk di teras. Apa yang akan kau
lakukan?
PAPA : Ya ... Begitu saja. Mungkin cuma memandang, lalu senyum dari tempat
yang gelap dan membayangkan jika saja ... jika saja ... begitulah.
MAGDA : Ah ... Papa. Begitu penakutnya kau?
PAPA : Zaman dulu, nak ... lain dengan zaman sekarang.
MAGDA : (Menyambung) Anak-anak muda dulu nak …lain dengan yang
sekarang.
PAPA : Nyinyir ...
MAMA : Cuma bisa bertahan tiga malam Tom ?
PAPA : Ya sayang sekali malam ke-empat seorang penjaga malam
menangkapku dan menuduh aku pencuri. Terpaksa kenekatanku cuma
bertahan tiga malam. (Semuanya tertawa).
OMA : (Dari jendela yang terbuka menonjolkan kepalanya). Marie ...
MAMA : Ya?
OMA : Kau telah dengar?
MAMA : Apa, Oma?
OMA : Rice
MAMA : Rice? Mengapa Rice?
OMA : Bunuh diri.

8
MAMA : Hah?
MAGDA : Siapa? Kenapa Oma?
OMA : Rice. Semalam mayatnya diketemukan di pelabuhan dalam
keadaan (Melihat sekeliling) Tapi janji, kau tidak akan cerita pada siapa-
siapa soalnya belum ada yang tahu kecuali aku.
MAMA : Ya, ya, kenapa?
OMA : (Hampir berbisik). Dia hamil empat bulan itu menurut dokter.
Dari dulu sudah berkali-kali aku menasehatkan kepadanya, tidak baik gadis
muda sering keluar malam. Bukan apa-apa banyak setan yang lewat. Tapi
yang dia lakukan apa? Selalu mencibirku dan tetap keluar malam. Nah ini
akibat semua itu.
MAMA : Rice? Dan mayatnya Oma?
OMA : Ada dirumah sakit. Peter dan Stella pagi-pagi buta telah ke rumah sakit.
Kau tahu mengapa aku tahu semua ini Marie?
MAMA : Ya?
OMA : Pagi-pagi sekitar jam setengah lima, perutku terasa tiba-tiba
mules. Dengan agak malas aku pergi ke kamar kecil. Kau tahu
kamar mereka dekat dengan kamar kecil bukan ? Nah, dari situ aku
mendengar seluruh cerita polisi tentang Rice (diam). Kasihan Rice. Dia
sebetulnya anak yang baik, jika saja Papa dan Mamanya tidak setiap hari
bertengkar.
BENNY : (Keluar dari kamar) Papa.........apa kita masih mampu untuk
memelihara burung beo?.
PAPA : Beo? Seekor anjing herderpun kita masih sanggup.
BENNY : Nah, aku akan ambil besok. (Duduk). Perutku lapar sekali.
OMA : Marie, aku pergi dulu.Eh, apa kau tidak ke pasar? Jangan terlalu siang jika
kau tak mau mendapat sisa
MAMA : Aku akan titip nanti, Entin belum ke pasarkan ?.
OMA : Belum. Tapi betul-betul kau harus tutup mulut Marieee, Aku
cuma percaya kau.
MAMA : Ya, Oma. (Oma pergi setelah mengangguk).
BENNY : Jangan khawatir Oma, Mamaku bermulut tembaga. Tak akan
lumer jika api benar-benar panas.

9
MAMA : Benny, tak baik begitu.
BENNY : Selalu celoteh, nyinyir. Nah, Mama kalau kau ingin tahu, nenek itulah
yamg telah menggedor-gedor kamar mandi. Padahal kau tahu dia tidak
mandi tapi cuma kencing.
PAPA : (Tertawa). Barangkali sudah ia keluarkan sebelumnya.
MAMA : Tom …
PAPA : Apa?
MAMA : Kasihan Rice.
BENNY : Tak ada makanan, Mama?
PAPA : Baru saja kau menelannya tadi. Sarapan pagi yang lezat.
BENNY : Rice yang tinggal di dekat kamar mandi itu Mama ?
MAGDA : Ya.
BENNY : Yang mulutnya begitu merah sehingga aku kaget ketika pertama kali aku
melihatnya. Hampir aku menyangka bahwa ia baru saja memangsa darah.
MAMA : Benny, Tak baik begitu. Ia sudah meninggal.
BENNY : Aku tidak memburuk-burukannya kan?
PAPA : Ah sudah waktunya aku pergi. Aku mesti buru-buru sedikit. Ada sesuatu
yang mesti aku kejar
MAMA : Apa?
PAPA : Duit! Mudah-mudahan terkejar dan tertangkap olehku. Aku pergi.
MAMA : Tom.
PAPA : Tak usahlah. Nanti saja.
BENNY : Mama cuma ingin bilang: bawalah duitnya banyak-banyak, Papa.
PAPA : Begitu?
BENNY : (Tertawa). Ya
PAPA : Tidak lebih dan tidak kurang. Sama seperti pada hari-hari yang lalu.
MAMA : Jangan kau pulang terlalu malam Tom.
PAPA : (Dari luar kita mendengar) Mudah–mudahan.
MAGDA : Bawa oleh-oleh buat Mama, Pa.
BENNY : Ia sudah pergi.(Diam Ibu menerika). Berapa banyak kira-kira
gentong bir itu akan memberi Papa duit?.
MAGDA : Mengapa ? Mama sudah tahu sejak lama bukan?
MAMA : Sudahlah Benny. Ambilkan keranjang cucian di kamar tidur.

10
BENNY : Sudahlah Benny.Ambilkan keranjang cucian di kamar tidur.
BENNY : (Patuh) Mama sudah lama tahu bahwa dia punya saingan. Lebih buruk tapi
kaya. Aku yakin papa sudah ditunggu oleh dia. (Keluar membawa
keranjang berisi pakaian yang akan diseterika).
MAGDA : Bagaimanapun juga ia Papamu.
BENNY : Dan juga Papamu. Dulu, Aku pikir baru aku sendiri tahu hal itu, tapi ketika
aku menceriakan padamu ternyata kau sudah tahu, dan Mama juga. Semua
tahu. Aneh memang, tapi nyatanya Mama tak mampu berbua apa-apa,
(Diam) kita miskin, kita miskin, bukan Mama?
MAMA : (Agak tersinggung) Aku temui Entia dulu mudah-mudahan dia belum
berangkat ke pasar. (Keluar cepat).
MAGDA : Benny, kau sakit hatinya.
BENNY : Kasihan Mama. (Mengeluh). Dia sudah kehilangan keberaniannya.
MAGDA : Papa seorang laki-laki, Benny. Dia hanya ingin …
BENNY : Apa yang dia inginkan? Kepuasan? Dan apa yang mama inginkan? Duit?
Mama tidak pernah bisa memberi kepuasan apa-apa pada Papa dan karena
itu Ia membebaskan Papa untuk berbuat apa saja asal Papa bisa bawa
pulang duit untuk bisa hidup. Sebuah barter yang adil. Tapi sudah begitu
murahkah mama?
MAGDA : Benny, banyak hal yang tidak bisa kau mengerti. Kau baru tiga minggu di
sini. Selama ini kau di luar rumah dan melihat kemiskinan kita hanya dari
angan-angan. Kau pulang dua kali setahun, itupun cuma dua malam. Dulu
kau tidak begitu yakin kalau kita miskin? Tapi ini nyatanya, kita tidak
punya apa-apa.
BENNY : Kau pikir di luar rumah aku enak-enak? Dan berlagak kaya? Aku tahu, itu
makanya aku tidak pernah malu untuk mendapatkan duit dengan mencatut
bioskop. Aku tahu kalian di sini membanting tulang untuk membiayaiku
dan aku tidak pernah menutup mata melihat kenyataan itu.
MAGDA : Satu hal harus kau tahu bahwa biaya sekolahmu ...
BENNY : Aku sudah tahu. Kau dan si gentong bir, kekasih Papa itu yang
membiayaiku selama ini bukan begitu? Aku sudah tahu, tidak usah kau
ungkit-ungkit lagi hal itu.
MAGDA : (Menghela nafas). Yah ...

11
BENNY : (Ia mengeluh). Kasihan aku.
MAGDA : Sudahlah, Benny. Kau harus berpikir sedikit tenang. Coba bandingkan apa
yang telah kau ketahui. (Dia melihat Benny) Papa masih belum begitui tua,
Ia masih punya kegairahan hidup. Kegairahan seorang laki-laki. Sementara
itu ia dipecat karena pengurangan pegawai dan sejak itu aku bertekad
menyetop sekolahku dan mulai mencari uang. Dan sejak itu pula papa
mulai kehilangan pegangan. Tadinya ia percaya bahwa ia akan bisa
berkerja hingga pensiun. Tapi yang terjadi malah pemberian uang
pesangon dan pemberhentian. Tapi apa arti uang pesangon jika pintu
bekerja ditutup baginya. Lalu apa lagi keahlian Papa? Dia cuma buruh
kecil. Dia tak punya keahlian apa-apa. Dan Mama lalu mulai sakit-sakitan,
loyo dan masa bodoh menghadapi segala hal. Satu hal yang bertambah
adalah cerewetnya, minta ampun. Memang ia bekerja sangat keras sekali,
karenanya seluruh kegairahan hidupnya seakan-akan habis dihisap semua
itu. (Diam) harapan kami satu-satunya cuma kau. Kami bersedia
melakukan apapun untuk bisa membiayai sekolahmu. Kita telah menjadi
satu sama lain. Memang tak masuk akal kedengarannya dan betapa sakit
bila kita rasakan, seakan-akan harapan telah menginjak habis harga diri.
Tapi satu hal harus kau tahu buat apa semuanya ...
BENNY : Aku tidak menyalahkan siapa-siapa. Aku Cuma bilang; kasihan aku.
MAGDA : Yah ...
BENNY : Mungkin aku yang salah. (Menutupu mukanya dengan kedua tangan)
MAGDA : (Setelah lama sunyi) Benny, apa tidak pernah kau coba untuk menjual
lukisan-lukisanmu? Mungkin bisa laku. Di rumah majikanku aku melihat
begitu banyak lukisan tergantung di dinding ruang tamu dan dia bilang
bahwa harganya mahal-mahal. Aku telah lama melihat bahwa lukisan-
lukisanmu tidak lebih buruk dari lukisan-lukisan milik majikanku.
Lagipula, pasti ada juga baiknya bagi kau. Aku yakin.
BENNY : Kau benar. Sudah ingin kucoba, tapi aku malu. Mereka akan memperolok-
olokkanku.
MAGDA : Ah, kau terlalu rendah diri. Begini, aku punya usul bagus. Kau tahu bukan,
bahwa Papa dan Mama besok ...
BENNY : Ulang tahun perkawinan mereka yang ke dua puluh lima?

12
MAGDA : Ya. Cobalah usahakan supaya kita bisa beri mereka hadiah yang tak begitu
mahal tapi bisa menyenangkan hati mereka. Aku sendiri telah
mengumpulkan sedikit uang. Kalau punyaku dan punyamu digabung tentu
kita akan dapatkan hadiah yang agak mendingan. Bagaimana?
BENNY : Ah, kau kira aku melupakannya, ya? (Menggandeng Magda) kemari, coba
kau lihat. (Benny menyeret Magda ke dapur lalu membuka selubung benda
yang tergolek disudut dapur). Lihat, selama seminggu aku telah mencoba
menggambar kita ... Aku … Kau … Papa … Mama. Dan semuanya
kukerjakan malam-malam sesudah kalian tidur. Aku ingin memberikan
sesuatu kepada mereka dengan diam-diam. Suatu surprise.
MAGDA : Begitu cantiknya aku? Aku tak mengira aku begini bagusnya. Kau sungguh-
sungguh berbakat Benny. Mama dan Papa pasti gembira. Kalau begitu
beres sudah . Kita sudah menemukan hadiah yang menarik.
BENNY : Di bawah sini akan aku tulis: “Buat Mama, Papa tercinta. Dari Benny dan
Magda. Dua puluh lima tahun bahagia bersama”. Eh kau masih punya duit
bukan?
MAGDA : Ya?
BENNY : Kita belikan Papa minuman keras, supaya besok malam dia betah tinggal di
rumah. Kita harus berbuat sesuatu agar mereka tetap bersama biar dalam
kemiskinan. Kita harus usahakan dari belakang. Apa duitmu cukup?
MAGDA : Untuk satu botol saja aku kira cukup.
BENNY : Siapa di antara kita yang telah jadi pemabok? Selain Papa tidak ada. Satu
botol cukup untuk bikin dia muntah-muntah, mabok. Dan terpaksa ia akan
tinggal di rumah.
MAGDA : Setuju. (Kedengaran suara Mama dari luar), Mama, dia sudah dating.
BENNY : Dia belum boleh melihatnya sekarang. (Menyelubungi lukisannya kembali)
Ayo kita kembali duduk-duduk (Mereka kembali keruan tengah dan
Magda menyisir rambut seakan-akan tak terjadi apa-apa, sementara itu
Benny membaca).
MAMA : (Mama masuk). Kasihan Rice. Ternyata semua orang sudah tahu. Mereka
lagi ribut-ribut sekarang. Kau tahu Magda, Rice bunuh diri gara-gara
pacarnya memutuskan percintaan mereka ketika tahu bahwa Rice hamil

13
empat bulan. Dia lari kemana. Eh, kalian belum berangkat juga?.(Melihat
jam dinding). Sudah hamper jam delapan, kau telat nanti Magda.
MAGDA : Sebentar Mama. Aku belum lagi menemukannya. Kemarin sore aku taruh
disini. Apa sudah Mama pindahkan ke tempat lain?
MAMA : Apa?
MAGDA : Alat-alat menjahitku.
MAMA : Kau memang ceroboh. Kuingatkan itu adalah senjatamu, tak patut kau
taruh di sembarang tempat. Coba kalau ada anak-anak kecil kemari dan
mengambilnya. Apa yang akan kau katakan?
MAGDA : Kemarin, aku pusing kepala Mama. Aku taruh di sini. Tak mungkin bisa
hilang.
MAMA : Memang masih ada. Disitu di dalam lemari pakaian dekat tas Mama yang
hitam.
MAGDA : (Masuk kekamar) Memang ada. Nah, ini dia. (Keluar). Aku pergi sekarang.
BENNY : Jangan lupa Magda, kau tahu bukan mereknya ?
MAGDA : Dua kucing hitam berhadapan. Dan botolnya gak gemuk pendek semacam
kendi.
BENNY : Ya, persis.
MAMA : Apa itu?
MAGDA : Sampai nanti Mama (Cepat pergi)
MAMA : Kau bicara tentang apa Benny?
BENNY : (Memeluk Mama) Mamaku sayang. Aku tadi telah menyinggung hatimu
bukan? Kau tidak marah bukan? Mama, aku ingin mencium pipimu setiap
hari asalkan kau tidak cerewet lagi.
MAMA : Benny, kau ini seperti anak kecil saja. Ayolah jangan begini. Mama mau
menyeterika, Benny.
BENNY : Tapi jika dipikir-pikir tak ada Mama yang tak cerewet. Beruntung juga aku
mempunyai Mama yang cerewet. Sedikitnya hari-hari tak pernah kulewati
dalam kesepian. Aku juga mesti pergi. Ada seorang kawan yang berjanji
akan menolongku. Mudah-mudahan dia benar-benar mau menolongku.
Hati-hati di rumah, Ma (Pergi).
MAMA : Kau tidak sarapan dulu?

14
BENNy : (Dari luar) Aku sudah kenyang Mama. Kenyang karena angin dan air
dingin
MAMA : Anak nakal (melihat sekeliling). Berantakannya kamar ini. Aku harus
membereskannya, aku harus membersihkannya, tapi pertama-tama aku
harus menyelesaikan semua seterikaan ini dulu. (Melihat keranjang yang
penuh pakaian ia menyeterika lebih cepat sementara itu jam dinding
berbunyi tepat delapan kali).

FADE OUT
Selesai adegan pertama.

Adegan Dua

Ketika lampu Fade In, kamar tiba-tiba telah bersih dan rapi. Mula-mula dari luar rumah kita dengar
nyanyian. “Selamat ulang tahun kami ucapakan” dan nyanyi gereja: “Datanglah kemari pengantin suci”
dinyanyikan dalam koor yang kacau tapi spontan dan gembira. Lalu kita masuk kekamar tengah. Kita
melihat mereka berempat duduk mengelilingi meja. Bernyanyi dan bertepuk tangan. Ada lilin di meja.
Makanan dan botol minuman keras setengah kosong. Kue ulang tahun. Lukisan Benny terpajang di
tengah ruangan antar jam dinding dan potret tua.

PAPA : (Lalu Mama meniup lilin) Astaga, susah payah juga rupanya meniup api
dari dua puluh lima lilin. Nah, sebelum kita makan, bagaimana kalau kau
menciumku dulu?
MAMA : Sudahlah, aku sedang terharu.
PAPA : Sudah kucium kau berualng kali tadi. Sekarang (Giliranku menciummu).
MAGDA : Ayolah Mama.
BENNY : Mama.
PAPA : Marie aku menunggu.
BENNY : Mama kalau kau malu, kami akan tutup mata.
MAMA : (Dengan cepat mencium Papa, lalu duduk seperti biasa membagikan
makanan dalam piring-piring) sudahlah, kita sudah terlalu tua untuk
berciuman.
BENNY : (Dan Magda bersorak gembira, bertepuk tangan) Bagus.

15
PAPA : (Tak menduga) Cuma pipi?
MAMA : Lalu apa?
PAPA : Cuma pipi? Ayo Mama curang.
MAGDA : Lihat muka Mama merah.
BENNY : Mama malu (Semua tertawa riuh kecuali Mama yang salah tingkah).
MAMA : Kalau kau ganggu aku terus menerus aku akan tutup pesat ini, akan kutaruh
dalam lemari makanan–makanannya, lalu kukunci rapat-rapat pintu
lemarinya dan aku biarkan tikus-tikus menggerogotinya.
BENNY : Jangan Mama aku masih lapar.
MAGDA : Ya, Mama kami masih lapar.
PAPA : Di mana kau beli minuman ini Magda? Rasanya seperti minuman surga.
Kalau aku yang beli biasanya hambar saja tapi yang ini lain. Apa mungkin
begitu? Merek sama tapi lain rasanya?
MAGDA : Soalnya bukan itu Papa.
BENNY : Soalnya Papa sudah mulai mabok jadi segalanya terasa seperti semangat
surga.
PAPA : Eh, anak kecil tahu apa tentang orang mabok? Satu botol bukan apa-apa
bagi Papamu. Setengah botol belum cukup untuk membuatku mabok. Nah,
kau lihat sendiri masih setengah lebih. Lihat, lihat, biar jelas. (Benny
tertawa).
BENNY : Papa, kau berjanji akan mengkritik lukisanku setelah lilin padam ditiup.
Sekaranglah waktunya.
PAPA : Baik, baik akan kukatakan pendapatku tentang lukisan itu. Dengarkan
baik-baik. Kalau dilihat betul-betul memang bagus secara keseluruhan.
Cuma satu cacatnya. Lihat baik-baik pada bagian mata, Mata Papa.
MAMA : Jangan dengarkan omongan Papa Benny, ia pasti akan ngelantur.
PAPA : Kau tahu aku lebih tahu tentang lukisan daripada Mamamu. Coba lihat
jelas-jelas. Mata Benny bagus. Persis mata seorang anak muda yang masih
segar. Mata Magda tidak lebih daripada mata seorang gadis yang penuh
dengan harapan, itu cocok, mata Mamamu -seekor kucing setengah tua
yang tak acuh. Persis bukan ?
MAMA : Kupukul-pukul kau (Semuanya tertawa).

16
PAPA : Aku hanya bilang seperti tidak persis. Jangan marah dulu. Kuteruskan.
Yang aku keberatan ialah kenapa justru mataku kau gambar begitu galak
seperti burung hantu? Itu aku protes. Kau sedang mencoba memperolok-
olokkan Papa? Ujudku kan tidak begitu ganasnya.
BENNY : Aku melukiskan kesan Papa. Apa yang telah terkesan di otakku tiba-tiba
telah ku pindahakan ke kanvas. Mungkin saja ketika kesan Papa
kuhadirkan dalam otakku ada ujud burung hantu yang lewat tiba-tiba saja
dan ketika tanganku bekerja secara tak sadar aku telah menggambar begini.
Yah, aku minta maaf.
PAPA : Aku tidak bilang lukisanmu itu buruk. Jangan lupa aku Cuma bilang bahwa
ia ada cacatnya. Tapi itu menurut aku. Lukisan itu bagus, bukan begitu
Marie?
MAMA : Bagus, Mama senang. Yah, Mama tidak mengerti tentang lukisan, tapi
sungguh-sungguh Mama senang. Warnanya mengingatkan Mama seperti
matahari yang tenggelam diujung laut, kauingat itu Tom?
PAPA : Warnanya manis dan suram.
MAGDA : Ungu dan hitam.
BENNY : Merah magenta dan biru
PAPA : Ah, bagus, bagus. Kita harus bersyukur pada Tuhan bahwa kita bisa
merayakan hari yang bahagia ini dengan sederhana. Sayang pendeta Chris
yang baik hati itu sudah meninggal. Jika ia masih ada tentu ia akan
memberkati kita.
MAMA : Ia akan emlihat bahwa perkawinan yang pernah direstuinya telah berumur
dua puluh lima tahun. Sayang sekali.
PAPA : Tapi ada satu hal yang tadi menggangguku.
MAMA : Apa itu Tom?
PAPA : Omong-omong, kalian dapat duit darimana? Betul-betul aku sangat heran,
bagaimana mungkin duit yang kuperoleh bisa semewah ini. Barangkali duit
yang kuberikan padamu Cuma cukup untuk membeli kue itu saja. Tapi
yang lainnya datang darimana? Aku curiga jadinya. Dari kau Magda?
Benny? Atau kau,Marie?
MAGDA : Kita bukakan rahasianya Benny?
BENNY : Papamu mau tahu?

17
PAPA : Tentu.
MAGDA : Aku menabung khusus untuk itu.
PAPA : Dan kau Benny?
MAGDA : Benny telah menjadi pelukis Papa. Salah satu lukisannya telah ia jual dan
laku, lumayan juga, sama dengan gajiku dua bulan untuk satu lukisan
MAMA : Betul itu Benny?
BENNY : Terlalu kau Magda. Kau sudah bilang supaya rahasia ini jangan kita katakan
pada siapa-siapa. Lebih baik ceritakan cerita bohong yang lain.
MAMA : Jadi lukisan-lukisanmu ternyata bisa dijual. Yang ini pasti akan mahal.
(Menunjuk lukisan keluarga). Kita bisa kaya karena itu Benny.
BENNY : Yang ini? Jelas tidak akan kujual.
BENNY : Ini khusus buat Mama dan Papa.
PAPA : Kau dengar itu Marie? Kita punya anak seorang pelukis. Sejak aku
mimpikan bahwa aku bakal punya anak seorang pelukis. (Dari jendela
muncul orang menongolkan kepalanya).
OMA : Aku mendengar nyanyian-nyanyian. Aku turun kemari. Panas sekali di
dalam kamarku, mungkin hari akan hujan. Eh, sedang berpesta rupanya.
MAMA : Masuklah Oma, kami lagi menikmati kenangan masa lalu sebentar.
BENNY : (Pada Papa). Sebuah labu datang lagi untuk berteriak.
PAPA : (Pada Benny) Kali ini ia tidak akan menggedor-gedor pintu kamar mandi,
tapi datang untuk menggedor-gedor pintu kau ulang tahun.
BENNY : (Pada Papa) Memalukan. Apa mungkin dia bisa kita sayur?
MAMA : Ayolah Oma. Tidak usah malu-malu. Tidak ada siapa-siapa.
OMA : Terima kasih Marie. Aku mesti menyelesaikan rendaanku. Kau tahu
Christine bukan? Anakku yang baru saja kawin satu tahun yang lalu? Kini
ia telah pindah ke Bandung. Setelah sebelas bulan tinggal bersama
mertuanya di Samarinda. Dan kemarin dulu ia mengirim surat.
MAMA : Oma harus mencicipi kue ini
OMA : Ah, hari jadi siapa ini?
BENNY : Benar, Oma. Dua puluh lima tahun yang lalu Marie dan Thomas Pattiwel
dikawinkan dengan syah di gereja oleh Pendeta Chris. (Pada tertawa).
MAGDA : Hus, Benny.
OMA : Oooo –begitu? Selamat, selamat aku ucapkan. (Menjabat tangan Mama)

18
MAMA : Tom …
PAPA : (Bangkit menyalami Oma) Terima kasih.
OMA : Enak kuenya. Kau beli dimana? Pasti bukan di Cikini.
BENNY : Di Cikini Oma ... kami telah mampu berbelanja di pasar Cikini. Ah, Oma
terkejut. Mungkin Oma sangka kami bohong. Tidak. Bukan begitu
Magda?.
MAGDA : Memang begitu.
OMA : Oh, (Mencoba mengalihkan soal) Christine, Marie –telah kaya sekarang
dan ia mengharap aku mau tinggal di rumahnya, suratnya telah datang
kemarin sore. Besok akan kubalas suratnya dan akan kukatakan bahwa aku
ingin menghabiskan sisa-sisa umurku di sini dan akan kukirim taplak meja
berenda ini padanya. Sudah lama sekali ia menginginkan ini. Dan untuk
membuatnya sendiri ia tak bisa merenda.
MAMA : Christine, aku tahu ia sangat cantik.
OMA : Ya, kasihan ia. Ia sangat cantik tapi terlalu kumanjakan. Aku tahu ini
salahku. Tapi kupikir-pikir tak ada salahnya memanjakan anak
perempuanku satu-satunya. Kumanjakan ia hingga memasak sayur
asempun ia tak bisa. Aku tak tahu bagaimana keadaan dapurnya.
OMA : Aku tidak tahu bagaimana keadaan dapurnya sekarang. Apa ia sudah mulai
bisa memasak sendirian, atau ia mampu menggaji babu. Ah, sebagai
Mamanya, Marie, aku maklum bahwa ia mengundangku untuk tinggal
bersamanya karena ia butuh keahlian itu, memasak dan mengatur rumah
tangga. Pintar ia. Anak-anak, anak-anak, tapi aku sudah cukup dengan
segala itu. Aku ingin istirahat. Tulang-tulangku sudah mulai menua. Dan
penyakit encok yang berkala datangnya sangat membuat aku semakin
lemah. Eh, Marie, kau tahu dokter Haryono ynag tinggal di jalan sawo,
bukan? Dulu ia sering kemari. Aku tahu ia mencintai anakku. Begitulah
tergila-gilanya pada yang lain. Dan dokter Haryono mundur teratur.
Kasihan memang, tapi apa boleh buat. Nah, kemarin aku bertemu
dengannya, dan ia memberikan obat_ apa itu, lupa lagi aku namanya. Dan
aneh sekali, penyakit encokku makin hari semakin berkurang rasa
sakitnya. Nyerunya hilang. Betul-betul baik hati ia.

19
MAMA : Dokter-dokter jarang yang tidak baik hatinya. Apa tidak lebih baik Oma
masuk saja? Di luar pasti dingin sekali.
OMA : Biarlah, lain kali saja. Terima kasih, Marie. Kuenya enak sekali. Tom, telah
duapuluhlima tahun kau menjaga Marie, ya?
PAPA : Duapuluhlima tahun lewat tiga jam, Oma.
OMA : Ya, haru sekali, aku. Mari, oh, aku beri tahu kau satu hal lagi. Kalau kau
mau ke pasar, jangan kau titip apa-apa sama Entin. Lebih baik pergi sendiri.
MAMA : Kenapa?
OMA : Ia suka mencatut harga. Sudahlah. (pergi)
BENNY : Terima kasih, Oma. Datanglah kemari sering-sering selama kami masih
punya kue buatan toko Cikini.
MAMA : Benny, tak baik didengar tetangga.
BENNY : Nyinyir.
PAPA : Nah, aku kenyang sudah.
MAGDA : (Menyikut Benny) Ia sudah mau pergi.
BENNY : Tidak, ia Cuma mengatakan bahwa ia kenyang.
MAGDA : Kita tinggalkan mereka berdua, supaya mereka bisa bicara tenang-tenang
tanpa gangguan kita.
BENNY : Usul bagus.
MAGDA : B aik, Mama. Aku dan Benny akan pergi sebentar, sebentar saja.
MAMA : Pergi ke mana? Malam-malam begini?
MAGDA : Cari angin di luar.
BENNY : (Menggandeng Magda) Mungkin nonton bioskop. (Cepat keluar)
MAMA : Jangan terlalu malam-malam pulang.
PAPA : Biarkan mereka bersenang-senang sedikit. (Suasana jadi kaku untuk
sementara. Ada semacam kenangan melintas di pikiran mereka. Kenangan
masa muda. Tentang hidup, tentang kebahagian, tentang cinta, serasa
mereka jadi hidup mundur 25 tahun ke belakang)
PAPA : Kau cantik sekali, Marie. Dengan topi itu rasanya aku berhadapan seperti
dengan seorang bintang film.
MAMA : (Kikuk) Ya, ya. Topi dari gudang. Telah aku sulap jadi begini. Kelihatan
masih bagus, bukan?

20
PAPA : Baru aku perhatikan sekarang bahwa kau memakai topi. Dulu kau juga
pernah memakai topi. Lalu kau agak tersinggung sedikit, dan aku katakan;
selama rambut kau masih bagus, kenapa kita mesti memakai topi.
Kemudian kau menurut dan sejak itu kau tidak pernah memakai topi.
Rambutmu dulu bagus sekali. Panjang dan lebat, hitam dan mengkilat.
Betapa marahnya aku bila rambut itu kau potong biar sejengkal tanpa
setahu aku. Kau nampak lebih cantik dengan rambut terurai. Kenangan
masa muda.
MAMA : Kita telah sama-sama tua.
PAPA : Ya, Marie. (Mengambil sesuatu dari kantong bajunya dan menunjukkan
sebuah potret yang lusuh) Kau ingat potret ini? Lihat, kau uraikan
rambutmu dan sepanjang itu. Aku ingin melihat lagi kau seperti ini, Marie.
MAMA : Tom, kau temukan di mana potret ini?
PAPA : Kemarin lama aku bertemu dengan kawan lama dan ia mengajak aku ke
rumahnya. Di sebuah album miliknya kutemui potret itu dan aku minta
kembali. Ia cuma mengizinkan meminjakannya selama satu minggu. Satu
minggu lagi ia akan datang kemari bertamu, dan mengambil kembali potret
ini. Tapi bukan itu saja, ia berjanji akan mengusahakan kerja untukku.
MAMA : Tom, kau masih nampak muda. Gemuk dan berseri-seri.
PAPA : Pada waktu itu kita belum kawin.
MAMA : Coba kau ingat-ingat di mana tempat ini?
PAPA : Aku ingat. Di tepi pantai sore hari. Di sini, di sebelah sini, menara,
mercusuar dan di sebelah sini rumah makan. Kita sering makan di situ.
Waktu itu kita pergi bertiga. Bersama ...
MAMA : Yopie. Aku ingat bersama Yopie, kawan akrab kita.
PAPA : Nah, dari dia aku dapat potret ini.
MAMA : Dari dia? Kau bertemu dengan dia?
PAPA : Ya.
MAMA : Bagaimana keadaannya?
PAPA : Sangat kaya. Dia punya perusahaan kayu yang sangat maju.
MAMA : Beruntung sekali.

21
PAPA : Kalau ia tak pergi ke Surabaya, tentu malam ini akan datang kemari. (Diam)
Marie, aku ingin topi itu kau buka. Aku ingin mengelus-elus rambutmu
ynag panjang hingga puas.
MAMA : Tapi, tapi Tom ...
PAPA : Ayolah, kau pasti akan lebih cantik ...
MAMA : Tom, aku ...
PAPA : Kucopot topimu?
MAMA : Jangan, jangan ...
PAPA : Kenapa?
MAMA : Aku ... ah, kau pasti marah padaku.
PAPA : Aku? Kenapa harus marah? Kubuka sekarang, heh?
MAMA : Baiklah, tak ada gunanya lagi. Toh akan ketahuan juga nanti. Jangan, biar
aku sendiri yang membukanya. (Mencopot topinya) Kau lihat sekarang …
PAPA : Astaga, Marie, kau apakan rambutmu? Kau ...
MAMA : Ya. (Hampir menangis) Akan kuberi tahu, akan kuceritakan kenapa. Pagi
tadi hampir-hampir aku kehilangan akal dari mana akan aku peroleh untuk
segala ini. Aku ingin kita merayakannya. Tom, biar sederhana, tapi harus
ada peringatan dan tentu saja aku tak mau kalau kita merayakannya cuma
dengan air dingin. Duit yang kau berikan padaku, kemarin sore_ cuma
cukup untuk beli sebotol sirup dan sebungkah es batu. Waktu itu aku
belum tahu bahwa Benny dan Magda mempunyai cukup uang untuk
segalanya ini. Lama aku memikirkan dari mana aku bisa dapatkan uang
tambahan untuk menyiapkan pesta kita. Paling sedikit kita berempat harus
makan enak.
MAMA : Itu tekadku. Lalu tiba-tiba aku dapat akal_ sesudah kalian pergi aku juga
pergi ke pasar pagi. Aku tahu bahwa kau akan marah, tapi apalagi yang bisa
aku lakukan? Tak ada jalan lain. Aku pergi ke tempat mereka, sederetan
pedagang-pedagang dan aku kenal salah satu di antara mereka. Seorang
nenek tua yang sedari dulu, jika aku lewat di depannya, selalu memuji
kelebatan rambutku dan ia mau membelinya. Aku datang padanya. Lalu
segalanya terjadi. Aku harus melihat dengan mata kepalaku sendiri,
milikku ini digunting jadi miliknya, sesudah aku menerima beberapa
lembar duit. Kau tahu, Tom, tadinya aku berfikir mungkin jam antik itu

22
bisa aku jual dan pasti akan laku agak mahal, tapi akhirnya aku berfikir lagi
dan berfikir lagi. Tak mungkin itu. Jam antik itu milik kita bersama. Ia
adalah kenang-kenangan kita, cinta kita. Dia adalah kita. Dan kejadian itu
bukanlah sesuatu yang mendesak, walaupun penting tidak darurat.
Lagipula sudah terlanjur aku mendapatkan jalan lain yang lebih mudah.
Tidak tega aku melepaskan jam itu ... lalu aku memutuskan bahwa lebih
baik rambutku saja yang aku relakan.
PAPA : Marie …
MAMA : Aku tahu kau pasti marah, tapi aku sudah pikirkan hal itu baik-baik dan
segala resiko aku sendiri yang akan mempertanggungjawabkannya. Soalnya
aku ingin ada yang merayakannya. Dan untuk itu kita perlu biaya_kita
perlu uang, tidak banyak, cukup untuk sebuah pesta yang sederhana. Dan
cuma itu satu-satunya hal yang bisa aku lakukan. Kau akan memaklumi
aku, bukan ? Kau harus bisa mengerti. Bisa, bukan? Tom ?
PAPA : Ya, Marie. Tak ada lagi yang bisa kita lakukan. (Mencoba mengalihkan
persoalan) Ah, hanya soal rambut. Mengapa? Beberapa bulan lagi tentu ia
akan memanjang lagi. Lupakan, Marie, lupakan.
MAMA : Tom, mula-mula berat sekali aku lakukan. Aku malu, sangat malu. Ya,
seakan-akan sesudahnya semua mata memandang kepadaku dan
menuduhku pencuri. Pencuri milikku sendiri. Walaupun si nenek itu
bilang bahwa hal itu biasa, tapi tetap saja aku celingukan mencoba
mencurigai setiap orang yang memandangku. Dari rumah sudah
kurencanakan segalanya. Sesudah rambutku tidak ada aku harus kelihatan
tetap cantik dan nenek itu sanggup membuat rambutku keriting dalam
waktu dua jam dengan bayaran yang murah. Hingga sisa harga rambut tadi
masih bisa untuk keperluan yang lain. Tapi, Tom, aku harus mengutuki
hujan. Begitu derasnya air mengalir dari langit sehingga semuanya jadi
berantakan. Yah, semuanya jadi kacau. Aku telah melihat diriku dalam
kaca dan rupaku persis bebek yang kedinginan kena hujan. Seekor kucing
tua yang budukan. Rambutnya kacau balau. (Menangis dan tertawa di
antara tangisannya)
PAPA : Sesudah itu kau mencoba menutupinya dengan topi?
MAMA : Ya.

23
PAPA : Itu sebabnya dari tadi kau kelihatan seperti ikan. Seakan-akan cerewetmu
sudah hilang entah ke mana. Mukamu pucat seperti tubuh kurang darah.
MAMA : Aku pucat, Tom?
PAPA : Tidak, Marie, kau tetap pria tercantik.
MAMA : Biar rambutku hilang separuh? Aku telah kehilangan kekuatan untuk yang
satu itu. Aku ingin, aku ingin, Tom. Aku ingin tapi aku tidak tahu kenapa
hatiku dingin. (Menangis) Kau sudah berjanji tidak akan mengungkit-
ungkit lagi hal itu.
PAPA : Kau bisa. Aku yakin kau bisa. Kau Cuma belum pernah mau mencobanya.
MAMA : Kau sudah berjanji tidak akan mengungkit-ungkit hal itu lagi. Mungkin aku
sakit atau apa. Entahlah, mungkin rasanya aku sakit dan selama ini kau
telah memperlakukan aku sebagai orang sakit. Tom, aku sudah berjanji ...
PAPA : Kau Cuma terlalu dibayangi oleh ketakutan tanpa sebab. Kita akan coba lagi
berdua. Akan aku bantu kau.
MAMA : Aku tak bisa.
PAPA : Sudah tak jadi soal lagi bagiku.
MAMA : Betul-betul kau tidak marah?
PAPA : (Mengangkat kedua jari tangannya) Aku bersumpah ...
MAMA : Tom, tak usah bersumpah …
PAPA : Marie … (Memeluk mama dengan keras dan diciuminya. Untuk sesaat
sunyi, lalu terdengar suara Papa hampir berbisik) Kita mulai sekarang.
MAMA : Apa, Tom?
PAPA : Aku ingin kau kembali lagi jadi istriku malam ini. Aku bersumpah, aku
akan terus di rumah. Aku tak akan pergi-pergi lagi.
MAMA : Tom, aku sudah terlalu tua untuk itu.
PAPA : Dengar, Marie, kau tentu bisa memaklumi aku, bukan?
MAMA : Ya, Tom, aku tahu. Tapi aku tidak bisa_aku ingin, tapi aku tidak bisa. Aku
ciumi kau sepuas hatimu. Tapi aku tidak bisa_aku akan melakukan apa saja,
tapi …
PAPA : Marie, Marie, aku tidak akan meminta apa-apa malam ini. Aku cuma minta
satu hal. Kau harus mencoba satu hal_ jadilah istriku kembali. Sudah lama
kau hilang. Sudah lama sekali aku merasakan kehilangan. Coba, ingin
rasanya aku memeluk kau dalam kehangatan. Kau lihat sentimentil masa

24
remaja mulai lagi menjangkiti tubuhku? Aku ingin selamanya berada di
rumah ini. Tapi kau tak pernah mau mencoba.
MAMA : Aku telah melupakannya, Tom. Urusan-urusan hidup yang lain terlalu
merepotkanku.
PAPA : Mungkin kau telah bisa melupakannya. Tapi aku?
MAMA : Aku ingin, tapi aku tak bisa.
PAPA : Hampir tiga tahun, waktu yang sangat panjang.
MAMA : Aku telah menyiksa kau. Telah kubiarkan kewanitaanku aku injak-injak
sendiri. Telah aku izinkan kau berbuat apa saja yang menurutmu baik buat
dirimu, asal kau jangan tinggalkan aku.
PAPA : Kau pikir aku senang melakukannya?
MAMA : Cari sesuatu yang bisa menyenangkan kau. Aku telah merelakan segalanya.
PAPA : Kau biarkan aku menyiksa diriku sendiri?
MAMA : Sudahlah, Tom. Tak baik kita merusak suasana gembira ini. Kau sudah
berjanji tak akan mengungkit-ungkit hal itu lagi.
PAPA : (Berteriak) Kau pikir aku senang melakukan hal itu?
MAMA : Tom ...
PAPA : Kau tidak punya perasaan. Kau pemalas. Kau tidak pernah mau mencoba.
Coba, kapan kau berusaha? Kapan? Kau menyerah pada keadaan dan
menutupinya dengan kecerewetanmu. Kau menyerah, menyerah,
menyerah.
MAMA : Tom, mengapa kau? Kau mabuk?
PAPA : Sepanjang hari mulutmu mengeluarkan kata-kata seperti senapan mesin
yang mengeluarkan rentetan peluru. Lalu apabila aku menyinggung yang
satu ini, kau bungkam dan Cuma bisa bilang; kau sudah berjanji tak akan
membangkit-bangkitkan hal ini lagi. Lalu apa aku? Siapa? Coba?
MAMA : Aku sudah relakan kau berhubungan dengan wanita itu. Aku sudah relakan
supaya kelaki-lakianmu mendapatkan kepuasan. Supaya kau tidak lagi
menderita pusing kepala. Supaya kau mendapatkan saluran yang wajar.
PAPA : Kau pikir aku senang dengan keadaan semacam ini? selama hampir tiga
tahun aku membohongi diriku sendiri. Keadaan ini telah kucoba kututupi.
Dan aku sudah bosan. Ini gila-gilaan. Kenapa tidak kuceraikan saja kau?

25
Kenapa tidak kutinggalkan saja kau? Ah, Marie, Marie, kau telah menyiksa
aku.
MAMA : Aku tahu, Tom. Aku juga tidak menginginkan hal ini terjadi. Aku tidak
ingin. Tapi apa yang bisa kita lakukan? Sudah nasib.
PAPA : (Lemas) Jadi memang harus begini? Nasib kita memang. Andai kata kita
kaya, mungkin kita bisa usahakan sesuatu yang lain. Kita bisa pergi
memeriksakan diri pada dokter. Lalu dokter akan menyembuhkan kita dan
kita akan kembali lagi seperti biasanya. Tapi kita miskin, dan dokter bukan
milik orang-orang yang tidak berduit.
MAMA : Ya, sudah nasib kita.
PAPA : Kita harus menjalaninya hingga selesai.
MAMA : Ya.
PAPA : Mudah-mudahan kita dapat lotre besok pagi.
MAMA : (Mencoba tertawa) Ya, yang nomor satu.

PAPA : (Berdiri) Baiklah. Aku harus meneruskan membenamkan diri dalam


Lumpur. Aku harus pergi kalau begitu.
MAMA : Tom?
PAPA : Kewajibanku menunggu. Gentong bir tentu sudah lama menunggu.
(Memakai jasnya) Untuk mendapatkan uang kita harus bekerja. Tahu kau,
Marie, bahwa sampai saat ini aku masih punya harapan? Dan satu-satunya
hal yang mesti aku lakukan adalah berusaha sekuat mungkin untuk
menjadi kaya, karena jika kita sudah memiliki yang satu itu, segalanya bisa
terjadi.
MAMA : Tom, kau tinggal bersamaku malam ini?
PAPA : Cuma untuk tidur berdampingan?
MAMA : Ya, menemaniku.
PAPA : Cuma untuk itu, sambil merasakan keperihan nasib. Ada seorang istri, tapi
dia cuma seorang perempuan, kawanku, sudah tua, loyo, semacam guling
atau bantal. Sudah, Marie. Mungkin Yopie betul-betul menepati janjinya.
Aku akan bisa membuat kau lebih bahagia; Benny bisa berpakaian bagus-
bagus dan tidak lagi kesulitan membeli alat lukis dan Magda tidak usah
lagi bekerja di pabrik konveksi. Mungkin jika aku kaya_andaikata tidak

26
juga_ keadaan semacam ini bisa kita rubah ... aku akan bisa tenang tinggal
di rumah, membaca Koran, minum kopi, sambil mendengarkan nyanyian
burung-burung kenari dari kandangnya yang dicat merah dan hitam.
Sementara anjing gemuk mendengkur di kaki kita. Tapi kemiskinan telah
melenyapkan semua itu.
MAMA : Tom, tidak mau tinggal bersamaku malam ini? Untuk malam ini saja.
PAPA : Telah kuminta darimu tadi. Tapi kau menolak. Ini juga termasuk salah satu
bagian dari seluruh sandiwara hidup kita. Aku pergi, Marie.
MAMA : Tom ....
PAPA : Kau telah merelakannya, bukan? Aku bawa botol ini. (keluar sambil
bernyanyi)
MAMA : Tom, tak kau cium aku … (Menangis)
PAPA : (Dari luar kita mendengar nyanyiannya) Jika ular dengan badannya yang
kuning ramping menjalar dari belukar yang berkembang kuning, bawa
mulutku ke mulutnya biar dipagutnya lidahku dan aku jadi terbang ke
surga. (Suaranya makin lenyap)
MAMA : (Menangis) Tom …
Jam dinding tepat berbunyi sembilan kali. Perlahan Mama keluar rumah
dan duduk dikursi goyang di bawah lentera yang masih menyala.
Kedengaran lolong anjing dari jauh. Jam dinding berdetak lebih keras lagi,
memcah sunyi. Muka Mama membesar. (C.U) Menunggu dalam sunyi.
Kosong. Mauk Benny dan Magda tergesa-gesa.
MAGDA : Mama, Papa pergi juga? Mama, kenapa kau?
BENNY : Mama, Papa pergi juga? Mama, kenapa kau?
MAGDA : Mama, kau dengar aku? Mama?
BENNY : Lebih baik Mama masuk, di luar angin dingin jahat sekali. (Mama diam saja)
MAGDA : Biarkan, Benny. Lebih baik kita tidur. Dia pasti akan menunggu Papa
pulang.
BENNY : Kalau kita tidak pergi tadi, mungkin Papa tidak akan pergi.
MAGDA : Sudahlah. (Mereka masuk) Ah, dia pergi dengan botol minuman.
BENNY : Pasti dia pergi ke perempuan itu.
MAGDA : Ah, si gentong bir. (Sambil masuk kamar)

27
BENNY : Menyesal aku telah memberinya minuman. Mungkin dia mabuk dan
berkelahi dengan mama.
MAGDA : Sudahlah, pelukis, tidur lebih baik. (Dari dalam kamar)
Jam dinding berdetak lebih keras lagi. Berdetak seperti detak jantung
manusia. Muka mama yang menunggu kelihatan mengantuk dan setia. Jam
dinding berbunyi empat kali. Sudah jam empat dini hari. Mama menembus
kegelapan dengan matanya. Masih duduk di kursi goyang. Malam hampir
mati dan embun mulai turun. Api lentera sudah padam. Benny yang
berselimut tidur di sofa dan Magda tidur dengan tenteram di ranjangnya.
Detak jam dinding makin cepat seakan detak jantung mama yang juga
semakin cepat. (C.U. mata) Dan dari jauh, dari dunia khayal yang jauh, ia
mendengar suara menderu. Suara barang pecah. Suara teriakan yang parau
dan semakin lama semakin putus dan lenyap. Mama berdiri terkejut dan
ketiga itu juga lewat seekor kucing dari dapur dan lari menyelinap ke gelap
malam. Mama duduk lagi dengan lemas. Sementara itu jam dinding
berdetak lagi lebih keras dan lebih keras lagi. Lalu terdengar lang kah
seseorang mendekat dari kegelapan. Ia polisi.
POLISI : Selamat malam.
MAMA : Ya.
POLISI : Apa betul ini rumah tuan Thomas Pattiwael?
MAMA : Ya.
POLISI : Apa betul ini miliknya? (menunjukkan KTP berlumur darah dibungkus
saputangan putih)
MAMA : (Memperhatikan) Ya. Ini warna merah?
POLISI : Nyonya istrinya?
MAMA : Ini warna merah?
POLISI : Darah, Nyonya. Itu warna merah.
MAMA : Darah? Darah siapa?
POLISI : Sekitar jam duabelas tadi, sebuah konvoi mobil proyek yang mengangkut
pasir dari pantai telah mengengkat sedan tua dan sekaligus telah
membunuh dua orang penumpangnya. Lelaki dan wanita. Mereka sudah
tidak tertolong lagi. Yang wanita adalah pemilik warung minum di

28
pelabuhan. Dan yang laki-laki adalah tuan Pattiwael. Saya menyesal,
Nyonya, talah membawa berita yang buruk.
MAMA : Tom, akhirnya ini yang terjadi ...
POLISI : Menurut dokter, keduanya dalam keadaan mabuk sebelum meninggal.
MAMA : Aku sudah menduganya. Di mana mereka sekarang?
POLISI : Di rumah sakit.
MAMA : Ah, mimpi buruk. (Terhenyak di kursi goyang)

Terdengar lolongan anjing di kejauhan.


Jam dinding berbunyi tepat lima kali.
Lampu padam.

THE END

29

Anda mungkin juga menyukai