Anda di halaman 1dari 288

vi

Harusnya aku lari ketika Lucas melangkah


menghampiriku, tetapi itu tak kulakukan. Aku
hanya berdiri terpaku, menatap ke dalam mata
peraknya. Mata itu menawanku. Membuatku tak
sanggup berpaling. Aku merasakan daya tarik yang
aneh. Aku ingin bersandar padanya. Aku ingin
jatuh ke dalam pelukannya. Berada di dekat Lucas,
selalu membuatku mau merangkak keluar dari
kulitku.
Dia merengkuh lenganku. Kupikir dia akan
merenggutku ke dalam pelukannya dan
mendaratkan ciuman yang sangat kudambakan.
Namun, dia hanya berkata dengan sepenuh
hati, “Kayla, kamu adalah salah satu dari kami.”

i
Sanksi Pelanggaran Pasal 22:
Undang Undang Nomor 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta

1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1)dan
Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1
(satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta
rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau


menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta
atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

ii
R A C H E L H AW T H O R N E

MOONLIGHT
SEBUAH NOVEL DARK GUARDIAN

Penerbit PT Elex Media Komputindo

iii
Dark Guardian: MOONLIGHT
Copyright © 2009 Jan L. Nowasky
Published by arrangement with HarperCollins Publishers.

Alih bahasa: Kartika Sari


Editor: Rina K. Agata

Hak cipta terjemahan Indonesia © 2010


PT Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia, Anggota IKAPI, Jakarta.

Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan sebagian atau seluruh isi


buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta


Isi di luar tanggung jawab percetakan.

iv
Untuk Alex, penasihat yang luar biasa
tentang manusia serigala dan tato.
Terima kasih untuk semua ilham pada
sesi makan siangnya dan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaanku pada pukul dua pagi.
Kau luar biasa, sayang!
Dengan penuh cinta, Ibu.

v
vi
PROLOG

Cahaya bulan membasuh kami, membasuh Lucas dan aku.


Keheningan yang mencekam menembus hutan.
Pepohonan raksasa melingkupi kami. Gemerisik daunnya
membisikkan peringatan dalam semilir angin malam musim
panas itu. Tapi kami mengabaikannya. Kami hanya peduli
pada kami berdua.
Dia jauh lebih tinggi daripada aku, dan aku harus men-
dongakkan kepala untuk menatap ke dalam mata peraknya.
Matanya menghipnotis, yang seharusnya menenangkan debur
jantungku. Namun sebaliknya, jantungku berdetak semakin
cepat. Mungkin kedekatan bibirnya itu yang mengacaukan
hatiku.
Dia melangkah mendekat dan aku mundur, tetapi sebatang
pohon menghentikan langkahku untuk mundur lebih jauh

vii
lagi. Apakah aku siap untuk ini? Apakah aku siap untuk
sebuah ciuman yang akan mengubah hidupku? Aku tahu jika
dia menciumku, aku tidak akan seperti dulu lagi. Kami tidak
akan seperti dulu lagi. Hubungan kami akan berubah—
Pikiranku terguncang oleh kekejaman sebuah kata yang
sederhana. Berubah. Kata itu memiliki arti yang lebih bagiku
saat ini—kini aku mengerti.
Lucas tiba-tiba sudah mendekat. Aku sama sekali tidak
melihat gerakannya. Dia begitu saja sudah ada di situ. Dia
bisa bergerak begitu cepat. Lututku lemas, dan aku bersyukur
ada sebatang pohon yang kokoh untuk bersandar. Dia
mengangkat lengannya dan menekankan tangannya ke batang
pohon di belakang kepalaku, seolah dia juga membutuhkan
tempat untuk bersandar. Apa yang dilakukannya itu mem-
buatnya semakin dekat. Dan aku bisa merasakan kehangatan
tubuhnya. Dalam keadaan normal, dia akan menarikku ke
dalam pelukannya yang hangat, tapi tidak ada yang normal
malam ini.
Dia elok dalam cahaya bulan. Indah, sungguh. Rambutnya
yang tebal dan lurus—perpaduan warna: putih, hitam dan
perak, dan sedikit kecokelatan—jatuh di bahunya. Aku men-
dapat dorongan nekat untuk menyentuh rambutnya,
menyentuh dia.
Namun aku tahu setiap gerakanku merupakan pertanda
baginya, sebuah pertanda bahwa aku telah siap. Dan aku
belum siap. Aku tidak menginginkan apa yang sedang dita-
warkannya. Tidak malam ini. Mungkin tidak selamanya.

viii
Apa yang kutakutkan? Ini hanyalan sebuah ciuman. Aku
pernah mencium lelaki lain. Aku pernah mencium Lucas.
Jadi kenapa pikiran akan sebuah ciuman dari Lucas malam
ini membuatku takut? Jawabannya sederhana: aku tahu
ciuman ini akan mengikat kami selamanya.
Jemarinya dengan lembut menyibakkan rambut di
keningku. Dia pernah mengatakan padaku bahwa bayangan-
nya mengingatkan dia pada seekor rubah. Dia selalu mengait-
kan segala sesuatu dengan hutan. Itu sesuai dengannya dan
cara hidupnya yang menyendiri.
Mengapa dia begitu sabar? Mengapa dia tidak memaksa?
Apakah dia merasakannya juga? Apakah dia mengerti betapa
pentingnya itu jika—
Dia merendahkan kepalanya. Aku tak bergerak. Aku nyaris
tak bernapas. Walau keberatan, aku menginginkannya. Aku
mengharapkannya. Tetapi aku menolaknya.
Bibirnya hampir menyentuh bibirku. Hampir.
“Kayla,” bisiknya penuh harap, dan napasnya yang hangat
mengusap pipiku. “Sudah waktunya.”
Air mataku merebak. Aku menggeleng, menolak untuk
mengakui kebenaran kata-katanya. “Aku belum siap.”
Aku mendengar sebuah geraman yang tidak menyenangkan
di kejauhan. Dia mematung. Aku tahu dia juga mendengar-
nya. Dia menjauh dariku dan melirik ke belakang bahunya.
Saat itulah aku melihat mereka: selusin serigala berkeliling
melingkari tanah terbuka dengan gelisah.

ix
Lucas menoleh kembali padaku, kekecewaan tercermin
dalam mata peraknya. “Kalau begitu pilihlah yang lain. Tetapi
kau tidak bisa menempuhnya sendirian.”
Dia berbalik membelakangiku dan mulai melangkah ke
arah para serigala itu.
“Tunggu!” jeritku.
Terlambat.
Dia mulai melepaskan pakaian seiring langkahnya yang
semakin cepat. Lalu dia berlari. Dia melompat ke udara—
Ketika kakinya menyentuh tanah, dia telah menjelma
menjadi serigala. Dia telah berubah dalam sekejap mata dari
seorang lelaki menjadi binatang buas. Dalam wujud serigala
dia tetap seindah wujud manusianya.
Dia menengadahkan kepalanya dan melolong ke arah
bulan, yang menandai perubahan ini, pembawa takdir.
Suaranya yang memilukan menggema di dalam diriku,
memanggilku. Aku berusaha untuk tidak menjawab, tetapi
kebuasan yang bersemayam jauh di dalam diriku terlalu kuat,
bertekad untuk mendapatkan jalannya.
Aku mulai berlari ke arahnya ....
Sangat sulit untuk memercayainya. Kurang dari dua
minggu yang lalu, aku masih menertawakan dan mengejek
pendapat bahwa manusia serigala itu sebenarnya memang ada.
Dan sekarang aku, Kayla Madison, akan menjadi salah
satunya.

x
SATU

Kurang dari dua minggu sebelumnya....

Ketakutan. Rasa itu hidup, bernapas, dan bersemayam dalam


diriku. Kadang aku dapat merasakannya sedang mencari-cari
jalan untuk membebaskan diri. Perasaan itu menyertaiku
sekarang ketika Lindsey dan aku sedang berjalan melewati
rimbunan semak hutan menjelang tengah malam. Tapi aku
sudah terlatih untuk menyembunyikan rasa panik itu. Aku
tak ingin Lindsey berpikir dia sudah membuat kesalahan ketika
dia meyakinkanku untuk bekerja sebagai seorang pemandu
hutan bersamanya selama musim panas. Kupikir aku bisa
belajar darinya untuk melawan iblis dalam diriku. Dia memberi
arti dalam petualangan yang benar-benar baru bagiku.

1
Tetapi, tetap saja, pergi sendirian ke tempat satwa liar yang
sedang berkeliaran mencari kudapan lezat itu sesuatu yang
tidak masuk akal. Bahkan yang lebih tidak masuk akal lagi,
kami tidak memberi tahu siapa pun. Kami pergi diam-diam
karena meninggalkan barak setelah lampu dipadamkan dapat
menjadi alasan kami dipecat. Setelah bertahan selama
seminggu dalam pelatihan yang intensif, aku sama sekali tak
ingin dipecat pada malam sebelum menjalankan tugas
pertamaku.
Aku menggenggam senjataku—sebuah Maglite. Ayah
angkatku adalah seorang polisi yang telah mengajariku, sekitar
seratus cara untuk membunuh orang dengan senter. Ya,
mungkin aku terlalu melebih-lebihkan, tetapi, tetap saja, dia
telah mengajariku beberapa gerakan bela diri.
Di salah satu sisi yang ditumbuhi pepohonan dan semak
lebat, aku mendengar bunyi gemerisik.
“Ssst! Tunggu dulu. Apa itu?” bisikku agak keras.
Lindsey mengarahkan senternya ke pepohonan dan
bayangan kanopi pohon di atas sana. Walau bulan sabit
menggantung di langit, cahayanya tak mampu menembus
kerimbunan pepohonan di sini. “Apanya yang apa?”
Cahaya senterku menyorotnya ketika aku mengarah-
kannya berkeliling. Dia tersentak dan mengangkat sebelah
tangan untuk melindungi matanya dari sorot cahaya senter.
Rambut pirangnya yang pucat dan halus itu memantulkan
cahaya dan nampak magis. Dia mengingatkanku pada sosok
peri, tetapi aku tahu sosoknya yang penuh kelembutan itu

2
menyembunyikan kekuatan. Dia pernah menjadi berita utama
koran setempat karena berhasil menyelamatkan seorang anak
dari serangan puma dengan menempatkan dirinya di tengah
anak kecil dan binatang buas itu dan berteriak sampai binatang
itu melarikan diri.
“Rasanya aku mendengar sesuatu,” kataku.
“Seperti apa?”
“Nggak tahu.” Hatiku berdebar sambil sekilas memandang
berkeliling. Aku menyukai kegiatan di alam bebas. Tapi
malam ini, berada di sini membuatku takut. Aku tak dapat
menghilangkan perasaan bahwa aku sedang diawasi atau
sedang dalam momen Proyek Sihir Blair.
“Seperti langkah kaki?” tanya Lindsey.
“Nggak juga. Bukan seperti tingkah-laku manusia. Lebih
ringan dan lamban, seperti berjalan memakai kaus kaki—
atau mungkin dengan cakar.”
Lindsey begitu saja melingkarkan lengannya ke bahuku
yang kecil. Dia sedikit lebih tinggi dariku, dan otot-ototnya
kuat terlatih karena sering melakukan hiking dan panjat
tebing. Kami berdua bertemu musim panas tahun lalu ketika
aku pergi berkemah bersama kedua orangtuaku. Lindsey
menjadi salah satu pemandu kami—atau sherpa, sebutan yang
sering dipakai para petugas kebun raya. Dalam waktu singkat
kami saling cocok dan menjalin persahabatan, saling berkabar
selama tahun ajaran itu.
“Kita tidak sedang diikuti, kok,” Lindsey meyakinkan aku.
“Semua orang sudah tidur ketika kita meninggalkan pondok.”

3
“Gimana kalau itu binatang pemangsa?” Ketakutan yang
kurasakan ini tidak masuk akal. Tapi aku tahu, aku mendengar
sesuatu, dan aku tahu itu sesuatu yang tidak bersahabat. Aku
tak bisa menjelaskan bagaimana aku bisa tahu—mungkin
ini yang dinamakan indra keenam atau semacamnya.
Tawa Lindsey menggema di pepohonan.
“Serius, nih. Gimana dengan puma yang kauusir musim
panas lalu?” tanyaku.
“Emang kenapa dengannya?”
“Gimana kalau dia datang untuk balas dendam?”
“Kalau begitu dia akan memangsaku, bukan kamu.
Kecuali kalau dia lapar. Dia akan memakan apa saja yang
larinya paling lambat.”
Itu pastilah aku, pikirku. Aku bukan pelari yang andal,
tetapi aku juga bukanlah Gladiator Amerika.
Aku menghela napas dalam dan mendengarkan baik-baik.
Hutan hening mencekam. Bukankah hutan menjadi sunyi
begitu bahaya mendekat? “Mungkin sebaiknya kita balik
aja.”
Kami berada sekitar satu mil jauhnya dari desa yang terletak
di pintu gerbang kebun raya. Lindsey dan aku menempati
sebuah pondok kecil bersama Brittany, seorang pemandu lain.
Ketika lampu dipadamkan jam sebelas, tak seorang pun
diperbolehkan meninggalkan pondok.
Sekarang Lindsey menirukan suara ayam. “Kotek! Kotek!”
“Lucu banget. Gimana kalau kita dipecat?” tanyaku.
“Kita hanya akan dipecat kalau tertangkap. Ayuk.”

4
“Apa sih, yang sebenarnya mau kautunjukkan padaku?”
Dia hanya bilang padaku kalau dia ingin berbagi “sesuatu yang
istimewa” denganku. Itu sudah cukup membangkitkan rasa
ingin tahuku, tetapi itu ketika kami berada di lingkungan
desa yang aman.
“Gini, Kayla, kalau kau mau jadi sherpa, kau harus
terhubung dengan jiwa petualangan dalam dirimu. Percayalah.
Apa yang ingin kutunjukkan padamu sepadan dengan risiko
kehilangan pekerjaan, nyawa, atau lengan.”
“Wah. Benarkah?” Apakah dia menghindari pertanyaanku?
Kelihatannya begitu. Aku memandang berkeliling dengan
curiga. “Apakah ini melibatkan spesies lelaki?” Karena jujur
saja, itulah satu-satunya hal yang kuanggap sepadan dengan
bahaya.
Lindsey menghela napas tak sabar. “Udahlah, sia-sia saja.
Ayo terus.”
Karena tak ingin ditinggal, terpaksa aku merendengi
langkahnya. Sejauh yang menyangkut diriku, perhatianku
selalu penuh. Ketika berumur lima tahun, ibu dan ayahku
tewas terbunuh di hutan ini. Orangtua angkatku membawaku
kemari musim panas yang lalu untuk membantuku mengatasi
trauma ini, yang mungkin terlambat beberapa tahun untuk
mendapatkan hasil yang maksimal. Kami berkemah di sini
sekitar seminggu. Aku mengalami hari yang menyenangkan,
tapi aku tidak yakin seberapa efektif pengalaman ini mem-
bantuku mengatasi “masalah”ku.

5
Ya, aku memang punya masalah emosional. Itulah sebab-
nya aku mengikuti terapi, menghabiskan satu jam dengan
sia-sia setiap minggu bersama seorang psikiater bernama Dr.
Brandon, yang selalu berkata-kata dengan gaya Yoda—hadapi
ketakutanmu, harus—lebih menjengkelkan dan bukannya
membantuku. Sungguh, aku lebih memilih menghabiskan
waktu bersama seorang dokter gigi.
Mungkin aku hanya membodohi diriku sendiri dengan
berpikir bahwa aku ini cukup berani untuk menghadapi
unsur-unsur alam bebas dari hari ke hari. Lagi pula apa sebe-
narnya yang harus kutakutkan? Bahkan yang menyerang
orangtuaku bukanlah binatang. Mereka ditembak oleh dua
pemburu beruang yang mabuk—di dalam hutan secara
ilegal—yang dengan bodohnya mengira orangtuaku adalah
serigala.
Karena kedua pemburu itu, gertakan dan geraman serigala
secara teratur hadir dalam setiap mimpiku, membuat malam-
malam yang resah dan penderitaan yang membuatku menjerit
dalam tidur. Terapi ini dilakukan untuk mencari akar
penyebab mimpi burukku. Dr. Brandon berteori bahwa alam
bawah sadarku berusaha mencari kebenaran bagaimana dua
orang idiot itu menembak kedua orangtuaku dan kemudian,
dengan muka polos, memberi tahu pihak berwajib, “Mereka
itu serigala, demi Tuhan, itu benar. Mereka akan memangsa
gadis kecil itu.”
Gadis kecil itu, tentu saja aku. Segala sesuatu yang terjadi
pada siang yang sudah lama berlalu itu sangatlah kabur.

6
Segalanya, kecuali kedua orangtuaku yang terbaring tak
bernyawa di hutan.
Tuhan, bagaimana mereka bisa salah membedakan manusia
dengan serigala?
Di belakangku, semak-semak bergemerisik. Aku
menghentikan langkah. Bulu kudukku meremang.
Kuselipkan tangan ke bawah rambut merahku dan meng-
gosok leherku. Tubuhku gemetar dan lenganku merinding.
Aku merasa, kalau berbalik, aku akan melihatnya, apa pun
itu. Apakah aku ingin berhadapan dengannya?
Lindsey kembali melangkah. “Ada apa lagi sekarang?”
“Ada yang sedang mengawasi kita,” bisikku. “Aku bisa
merasakannya.”
Kali ini Lindsey tidak mengganggapku bercanda. Dia
memandang berkeliling. “Mungkin burung hantu yang
sedang mencari makanan enak—atau kudapan tengah malam
yang melarikan diri.”
“Mungkin, tapi ini rasanya lebih seram.”
“Aku tumbuh dan besar di sekitar sini, dan aku sudah
banyak melewatkan waktuku di hutan ini. Nggak ada yang
menyeramkan di sini.”
“Gimana dengan puma itu?”
“Itu jauh di dalam belantara. Di sini masih dalam
lingkungan peradaban. Di beberapa tempat kita masih bisa
menerima sinyal telepon genggam.” Dia menarik tanganku.
“Seratus langkah lagi dan kita udah nyampai.”

7
Aku mengikutinya, namun tetap siaga. Ada sesuatu. Aku
yakin itu. Bukan burung hantu ataupun binatang pengerat.
Bukan sesuatu di pepohonan, bukan sesuatu yang kecil. Tetapi
sesuatu yang mengintai mangsanya.
Rasa ngeri merayapi diriku. Mangsa? Kenapa aku memi-
kirkan itu. Tapi itu benar. Itu yang kurasakan. Sesuatu sedang
mengawasi dan menunggu. Tetapi mengawasi siapa tepatnya?
Dan menunggu apa?
Berapakah langkah lagi? Empat puluh? Bodoh sekali
keluar tanpa memberi tahu siapa-siapa. Kalau sampai
ketahuan orangtuaku, mereka bisa membunuhku. Aku sudah
janji untuk bertanggung jawab. Ini adalah pertama kalinya
aku jauh dari mereka, dan ibu angkatku telah menceramahiku
sampai bosan agar berhati-hati.
Jauh di depan sana, cahaya terang yang menembus
dedaunan menarik perhatianku. “Apa itu?”
“Itulah yang mau kutunjukkan padamu.”
Kami melewati pepohonan dan menuju tempat terbuka,
yang diterangi api unggun. Sebelum sempat menanyakan
pertanyaan lain, selusin remaja—sherpa yang lain—melompat
keluar dari balik pohon. “Surprise!” teriak mereka. “Selamat
ulang tahun!”
Jantungku hampir copot. Aku menekankan sebelah
tanganku ke dada dan tertawa, untunglah tidak terdengar
histeris. “Ulang tahunku bukan sekarang.”
“Besok, kan?” tanya Connor. Dia menyingkirkan rambut
pirangnya yang berwarna pasir dari keningnya, memper-

8
lihatkan mata biru gelapnya. Dia mengangkat pergelangan
tangan yang dilingkari jam tangan. “Dalam sepuluh detik,
sembilan, delapan—”
Anak-anak yang lain ikut menghitung. Aku bisa melihat
mereka semua dengan jelas, berdiri di depan api unggun. Tak
jauh dari Connor ada Rafe, cowok berambut hitam lurus
sebahu dengan sepasang mata cokelat tua dengan lingkaran
luar berwarna hitam. Anak itu tak banyak bicara. Aku kaget
melihat dia ikut-ikutan menghitung.
“Tujuh, enam—”
Di sampingnya, Brittany hampir kelihatan seperti
kembarannya. Rambutnya, yang jatuh tergerai di bahu,
berwarna hitam dan matanya biru tua. Dia telah tertidur
ketika aku pergi. Atau pura-pura tidur, aku baru menya-
darinya. Yah, berusaha mengelabuiku. Dia berhasil. Bagai-
mana dia bisa sampai di sini lebih cepat daripada kami? Aku
bertanya-tanya.
Ada beberapa sherpa lain, yang pernah bertemu denganku
tapi tidak akrab. Tetap saja, itu sangat besar artinya buatku
karena mereka mau muncul dan menjadikan malam ini
istimewa.
“Lima, empat—”
Di sekolah, aku selalu merasa seperti orang yang tersingkir.
Gadis yatim piatu. Anak adopsi. Satu-satu orang yang bukan
menjadi bagian dari mereka. Jack dan Terri Asher telah
memungutku. Mereka bukanlah orangtua tiri yang jahat atau
semacamnya, tetapi mereka tidak selalu memahamiku. Lagi

9
pula memangnya ada orangtua yang benar-benar memahami
anaknya?
“Tiga, dua, satu. Selamat ulang tahun!”
Connor bergerak ke sisi lain api unggun dan membung-
kukkan badan. Api menyala. Lalu sebuah roket meluncur ke
angkasa, meletus membentuk kilau merah, putih, biru, dan
hijau.
Aku yakin sekali kembang api adalah barang ilegal di hutan
lindung seperti ini. Tapi aku terlalu bahagia untuk peduli.
Lagian, aku bebas dari larangan orangtuaku selama musim
panas ini. Aku ingin menguji batas perilaku yang diper-
kenankan.
“Nggak percaya rasanya kalian ingat hari ulang tahunku!”
aku sangat terharu. Bahkan teman-temanku yang hanya
sedikit di kota tak pernah sekali pun mengadakan pesta
kejutan untukku. Aku tak pernah memikirkannya karena
orangtua kandungku meninggal pada hari ulang tahunku,
jadinya pada hari istimewaku ini perasaanku selalu campur
aduk.
“Hari ulang tahun itu penting!” kata Lindsey. “Terutama
kali ini. Sweet seventeen.”
Brittany mengulurkan sebuah nampan yang berisi tujuh
belas cupcake yang dibeli di toko, dengan satu lilin di atas
setiap kue yang menebarkan cahaya kuning.
“Aku suka cupcake,” kataku, “terutama yang belum di-
kemas dan terbuat dari aneka bahan dengan krim di tengah-
nya.”

10
“Katakan permohonanmu dan tiup lilinnya.”
Aku menarik napas dalam dan menunduk, saat itulah aku
melihatnya.
Lucas Wilde.
Dia bersandar pada sebatang pohon dengan tangan terlipat
di dadanya yang bidang, hampir tertelan bayang-bayang seolah
dia memang tak mau terlihat. Tetapi aura keberadaannya
sangat kuat, membuatku kaget karena tak menyadarinya
sampai sejauh ini. Matanya memancarkan sinar perak dalam
kegelapan. Seperti biasa, dia mengawasiku dengan saksama.
Lucas membuatku takut. Oh, itu tidak benar. Apa yang
kurasakan terhadapnya-lah yang membuatku takut. Ada
ketertarikan yang tak dapat kujelaskan. Sebelumnya aku
pernah tergila-gila pada cowok, tapi apa yang kurasakan
terhadapnya jauh melebihi itu. Rasanya sangat kuat, hampir
meluap-luap—dan agak memalukan karena jelas-jelas dia
tidak punya perasaan yang sama. Kalaupun ada, dia cenderung
menghindar berhubungan langsung denganku. Aku berusaha
mengubur perasaanku, tetapi setiap kali memandangnya,
perasaan itu akan muncul ke permukaan dan aku yakin dia
akan melihat dalam mataku, apa yang dengan susah payah
sedang kukendalikan.
Kedekatannya membuat hatiku berpacu dan mulutku
mengering. Aku ingin menyisir untaian rambut panjangnya
yang beraneka warna dengan jemariku. Ketika pertama kali
aku bertemu dengannya, kupikir corak yang tidak wajar itu
berasal dari sebuah botol. Aku belum pernah melihat warna

11
rambut yang seperti ini. Lalu, aku juga belum pernah melihat
orang seperti dia. Dia sangat tegas. Dia menjadi salah satu
pemandu kami pada musim panas yang lalu, tetapi dia jarang
bicara padaku. Tapi, aku sering mendapatinya sedang
mengawasiku. Seolah dia sedang menunggu—
“Ayo, tiup lilinnya,” kata Connor.
Kata-katanya itu menyadarkanku kembali. Aku menga-
takan permohonanku tanpa berpikir, lalu meniup geliat cahaya
lilin dengan satu tiupan keras.
“Silakan,” kata Brittany sambil mengulurkan sebuah cup-
cake padaku. “Maaf ini tidak resmi, tetapi lebih mudah
disajikan di hutan begini.”
“Ini hebat,” kataku berseri-seri, berterima kasih pada
selingan ini. “Aku bahkan tidak mengharapkan apa-apa.”
“Kami suka kejutan,” kata Lindsey. “Tapi kalian semua
seharusnya bisa lebih tenang waktu kemari. Dia mendengar
kalian. Hampir saja semuanya berantakan.”
Dengan bercanda aku memukul lengan Lindsey. “Jadi,
itu yang kudengar tadi?” kelegaan menyelimutiku, tetapi pada
waktu yang sama, itu sama sekali bukanlah penjelasan yang
tepat.
“Nah, ya, seharusnya mereka sudah tidur ketika kita pergi,
jadi kamu tidak curiga, tetapi mereka harus bergegas men-
dahului untuk menyiapkan semuanya. Dan mengerjakannya
dengan tenang.”
“Tapi aku mendengar sesuatu di belakang kita, tepat
sebelum kita sampai di sini.”

12
“Seperti apa?” tanya Lucas sambil melangkah dari pohon.
Suaranya yang dalam menghantar getar kebahagiaan
menembus diriku. Itu hanyalah suara dan tetap saja menyen-
tuhku ke tingkat yang belum pernah kualami dengan siapa
pun. Perasaanku yang tak masuk akal menyadarkanku. Aku
bukanlah tipe yang menarik perhatian orang yang sangat
tampan seperti Lucas. Mendapatkan perhatian penuh darinya
membuatku bingung dan tiba-tiba aku merasa tolol dengan
kekhawatiranku. “Aku yakin itu bukan apa-apa.”
“Lalu untuk apa mengungkitnya?”
“Bukan aku. Lindsey yang mengungkitnya.”
Aku tahu setiap gadis normal akan mengharapkan
perhatiannya. Jadi mengapa dia membuatku gugup? Kenapa
kemampuan bicaraku menurun begitu ada dia?
“Tenang, Lucas,” kata Connor. “Itu mungkin kami. Kamu
tahu, kan, ketika berusaha untuk tenang, biasanya kita malah
membuat kegaduhan.”
Namun Lucas menatap arah kedatangan kami tadi. Kalau
aku tidak begitu tahu, aku akan mengira dia sedang mengen-
dus udara. Cuping hidungnya melebar dan dadanya mengem-
bang seiring napas dalam yang ditariknya. “Mungkin aku
harus memeriksa sekeliling untuk memastikan.”
Aku tahu dia sembilan belas tahun, tetapi dia kelihatan
lebih tua dari umurnya, mungkin karena dia adalah sherpa
senior. Dialah yang bertanggung jawab atas kelompok kecil
kami. Jika seseorang punya masalah, mereka bisa mendatangi
Lucas. Walaupun mungkin aku lebih baik membiarkan

13
beruang liar memakanku daripada datang meminta bantuan
Lucas. Entah benar atau tidak, aku menduga dia hanya
menghormati orang-orang yang memecahkan masalahnya
sendiri. Aku punya keinginan yang tak masuk akal untuk
membuktikan diriku padanya.
“Sekarang kamu sama paranoidnya dengan Kayla,” kata
Lindsey. “Ayo, ambil cupcake-nya dan duduklah.”
Namun Lucas bergeming. Dia terus memandangi jalan
yang barusan kami lalui sebelum sampai di sini. Memang
aneh, tetapi aku tahu kalau ada yang mengikuti kami, apa
pun itu, Lucas akan melindungi kami. Dia baru saja mele-
paskan getaran itu. Mungkin itulah sebabnya, masih semuda
ini dia sudah diberi kekuasaan dan tanggung jawab. Dia begitu
gagah berdiri di sana sampai-sampai aku tidak ingin berpaling
ke arah lain. Tetapi aku juga tidak ingin memberi kesan bahwa
aku ini seorang anak kecil yang mabuk kepayang.
Balok-balok kayu telah ditempatkan di sekeliling api. Aku
duduk di atas salah satunya dan memandangi Lucas. Dia tinggi
dan bertubuh indah. Dia mengenakan kaus ketat yang
menempel ke kulit, dan memperlihatkan garis ototnya. Aku
menyimpan keinginan yang kuat untuk mengelus lengan dan
bahunya yang kekar itu. Menyedihkan. Sungguh
menyedihkan. Dia tak pernah memberiku alasan untuk ber-
pikir bahwa mungkin saja dia membalas ketertarikanku.
“Lalu, apa yang diberikan orangtuamu pada hari ulang
tahunmu?” tanya Brittany, yang mengembalikan perhatianku
pada yang lain.

14
Sepertinya tak seorang pun yang menyadari ke mana
perhatianku berkelana. Terutama Lucas. Dia terlihat selalu
siaga, aku kaget dia tidak menyadari perhatianku padanya.
Di sisi lain, itu sangat melegakan karena dia memberiku
sangat sedikit perhatian secara langsung. Tak ada yang lebih
memalukan daripada obsesi sepihak.
“Musim panas yang jauh dari mereka,” aku menyeringai.
“Mereka nggak terlihat seburuk itu waktu aku ketemu
mereka tahun lalu,” kata Lindsey.
“Memang enggak, sih,” aku mengakuinya, melepaskan
lilin dari cupcake, dan melemparkannya ke api. “Mereka
cukup menyenangkan.”
Tetapi mereka bukan orangtua kandungku. Aku mencaci
diriku segera setelah aku memikirkan kata-kata itu. Mereka
benar-benar orangtuaku; hanya saja mereka bukan orangtuaku
yang sebenarnya, sejak lahir. Mungkin yang kurasakan dalam
perjalanan kemari adalah arwah orangtua kandungku yang
memanggilku. Betapa tololnya penjelasan itu. Aku tidak
pernah dan tidak akan memercayai apa pun yang ber-
hubungan dengan hal gaib atau paranormal.
“Jadi apa yang mereka berikan padamu?” Brittany
ngotot.
“Semua peralatan yang kubutuhkan untuk melakukan
perjalanan menembus belantara selama musim panas.”
“Bukan mobil?” tanya Britanny.
“Bukan.”
“Kendaraan.”

15
“Apa bedanya itu?” tanya Connor. “Mobil nggak diijinkan
di kebun raya.”
Britanny meliriknya, lalu mengangkat bahu. “Memang,
sih.”
Ada sesuatu dalam ekspresinya yang tidak dapat kutebak,
tetapi itu membuatku bertanya-tanya apakah dia menyukai
Connor.
“Ada nggak yang mikir kalau kelompok yang kita pandu
besok sedikit aneh?” tanya Rafe.
Selama beberapa menit siang tadi, kami semua bertemu
Dr. Keane, anak lelakinya, dan beberapa mahasiswanya. Kami
akan menemani mereka ke dalam hutan. Lalu meninggalkan
mereka selama dua minggu sebelum menjemput mereka
kembali. Mereka menyatakan ingin melihat serigala.
“Aneh gimana?” tanyaku.
“Dr. Keane adalah ahli antropologi,” kata Rafe. “Kenapa
dia ingin mempelajari serigala?”
“Serigala sudah jelas lebih menarik daripada manusia,” kata
Lindsey. “Ingat anak-anak serigala yang kita temukan waktu
kamu pulang untuk liburan musim semi, Lucas?”
“Ya.”
Dia jelas orang yang sangat jarang bicara, yang membuat
dia semakin menarik—sekaligus menakutkan. Sulit untuk
mengetahui apa pendapatnya tentang sesuatu, apa
pendapatnya tentang aku.
“Mereka sangat lucu,” lanjut Lindsey, sama sekali tak ter-
ganggu oleh sambutan Lucas yang kurang bersemangat pada

16
topik ini. “Yatim piatu. Tiga ekor. Kami akan mengadopsi
mereka sampai mereka siap hidup mandiri.”
Sherpa lain telah bekerja di kebun raya ini sekurangnya
setahun. Seharusnya aku merasa seperti orang luar, tetapi
sesuatu tentang kelompok ini membuatku merasa menjadi
bagian dari mereka. Mereka tidak seperti klik-klik yang ada
di sekolah. Aku tak pernah mendapat tempat dalam klik
mana pun. Aku bukanlah tipe pemandu sorak yang populer.
Aku juga bukan kutu buku. Aku tidak yakin dapat men-
definisikan diriku. Mungkin itulah alasanku merasa nyaman
di luar sini. Semua orang sama: pencinta alam yang menyu-
kai alam bebas.
Lucas beringsut menjauh dari pohonnya. “ Sebaiknya kita
kembali.”
“Kamu ini benar-benar perusak pesta,” kata Lindsey.
“Kau akan berterima kasih padaku besok pagi ketika kamu
harus sudah siap berangkat pagi-pagi buta.”
Semua mengerang begitu diingatkan harus bangun pagi-
pagi sekali. Anak-anak lelaki memadamkan api dan
menyalakan senter.
Aku mengucapkan terima kasih pada semuanya. “Ini
kejutan ulang tahun yang hebat.”
“Yah, nggak setiap hari kamu berumur tujuh belas tahun,”
kata Lindsey. “Kami hanya ingin melakukan sesuatu yang
istimewa sebelum kita sibuk dengan kehidupan.”
Aku tertawa menanggapi gurauannya. “Nggak akan
seburuk itu.”

17
“Kelompok Keane ingin pergi jauh ke dalam hutan, ke
wilayah yang belum pernah kita jelajahi sebelumnya. Medan-
nya akan lebih berat dan kita akan didorong sampai pada
batasnya. Pasti menantang,” kata Brittany.
Pasti, pikirku.
“Jangan khawatir,” kata Lindsey kepadaku. “Kamu pasti
bisa.”
“Aku berencana melakukan yang terbaik.”
Kami kembali melewati jalan kecil menuju desa tempat
orang yang berkemah akan memulai perjalanannya. Rafe
berjalan paling depan, dan semua sherpa berjalan menyebar
di antara dia dan aku—kecuali satu. Lucas mengikuti dari
belakang kelompok kami, tepat di belakangku. Lagi-lagi aku
merasa diawasi. Rasa ngeri menjalariku.
“Ada apa?” tanya Lucas.
Bagaimana dia tahu ada yang tidak beres?
Aku menoleh sekilas ke balik bahuku, merasa tolol karena
mengatakannya keras-keras. “Hanya perasaan aneh bahwa kita
tidak sendirian.”
“Yah, aku juga merasakannya,” katanya, dengan suara
pelan.
“Mungkinkah itu serigala-serigala yang kauselamatkan?”
“Aku meragukannya. Pintu masuk kebun raya terlalu dekat
dengan pemukiman. Kebanyakan satwa liar hidup jauh di
dalam hutan.”
Sama seperti yang dikatakan Lindsey tentang puma, tetapi
tetap saja—binatang tidak selalu dapat ditebak.

18
Semua orang berjalan dalam diam, mendengarkan dengan
saksama sepanjang perjalanan. Cahaya senter menebarkan
sinar suram dalam kegelapan. Aku benar-benar sadar Lucas
mengikuti sangat dekat di belakangku. Bukan karena aku
bisa mendengarkan dia—langkah kakinya tanpa suara. Tetapi
aku merasakan kedekatannya seolah dia menyentuhku—
walau sebenarnya tidak. Aku merasa gugup sekaligus senang.
Aku ingin tahu apakah dia menganggapku lebih dari seorang
anak baru. Dia tak pernah memberiku petunjuk apa pun
bahwa dia menyukai aku dengan cara yang romantis. Atau
dia tertarik untuk mengenalku lebih jauh. Di sini kami punya
kesempatan untuk bicara, dan tetap saja kami berdua terdiam.
Jauh di ujung jalan kecil ini, lebih banyak cahaya mulai
menembus dari celah pepohonan. Cahaya dari desa,
pemberhentian pertama bagi perjalanan setiap orang yang
menuju hutan lindung.
Aku bersyukur karena semua orang mempercepat
langkahnya. Akhirnya, kami keluar dari hutan dan memasuki
desa.
Aku tertawa gugup. “Tolong katakan padaku kalau sherpa
tidak sering melakukan hiking malam-malam.”
“Hampir nggak pernah,” jawab Rafe, “tetapi aku juga
merasakan sesuatu.”
“Kalau itu berbahaya, dia pasti menyerang,” kata Connor.
“Mungkin itu hanya kelinci atau semacamnya.”
“Apa pun itu, dia sudah pergi sekarang,” kata Lucas. “Dan
sebaiknya kita pergi tidur.”

19
Connor dan Rafe berjalan ke pondok mereka. Namun
Lucas ragu-ragu. Akhirnya dia berkata, “Selamat ulang tahun,
Kayla.”
“Oh, terima kasih.” Kata-katanya hampir sama menge-
jutkannya dengan pesta tadi.
Kelihatannya dia hendak mengucapkan sesuatu yang lain.
Namun, yang dilakukannya hanyalah memasukkan tangan
ke saku jinsnya dan melangkah pergi. Aku tak yakin apa yang
membuatnya begitu.
Lindsey, Brittany, dan aku kembali ke pondok kami.
Waktu kami telah bersiap-siap untuk tidur, aku berkata, “aku
nggak percaya kalian mengadakan pesta kejutan untukku.”
“Harusnya tadi kaulihat tampangmu,” kata Lindsey. “Kau
benar-benar kaget.”
“Aku nggak percaya kalian bisa merahasiakannya.”
Lindsey tersenyum cerah. “Percayalah, itu nggak mudah.”
Setelah kami berbaring dan lampu dimatikan, Lindsey
berbisik, “Hei, Kayla? Apa permohonanmu tadi?”
Pipiku memerah. “Kalau kukatakan, nggak akan terkabul,
dong.”
Aku sendiri tak yakin apakah aku benar-benar berharap
permohonanku itu bisa terkabul. Aku tidak tahu apa yang
merasukiku untuk membuat permohonan seperti itu. Sekarang
permohonan itu menghantuiku begitu mengingat kata-kata
yang muncul dalam benakku dengan penuh keyakinan.
Aku ingin Lucas menciumku.

20
DUA

Aku meringkuk di tempat yang sempit dan gelap. Aku masih


kecil, masih kanak-kanak. Aku mendekapkan kedua tangan
ke mulutku agar tak bersuara. Aku tahu kalau sampai bersuara
sedikit saja, mereka akan menemukanku. Aku tidak ingin
mereka menemukanku. Air mata membasahi wajahku. Dan
aku menggigil.
Mereka ada di luar sana. Hal-hal yang buruk ada di luar
sana. Itulah sebabnya aku bersembunyi dalam kegelapan. Tak
akan ada yang bisa menemukanku dalam kegelapan. Tak ada
yang bisa menemukanku di sini.
Lalu aku melihat cahaya itu, semakin dekat dan dekat.
Lalu monster itu menarikku—

21
Aku terbangun sambil menjerit dan meronta-ronta. Aku
memukul sesuatu dan menjerit lagi.
“Hei, ini aku,” kata Lindsey.
Lampu yang berada di atas meja di samping tempat tidur-
ku menyala. Di luar masih gelap. Lindsey berdiri di antara
tempat tidurku dan tempat tidurnya, ketakutan terpancar
dari wajahnya. “Ada apa?” tanyanya.
Aku menghapus air mataku. “Sori, mimpi buruk.”
“Jangan bercanda, ah.”
Brittany terduduk di tempat tidurnya, memandangiku
seolah akulah monster yang keluar dari mimpi burukku itu.
“Suaramu kedengaran seperti kau mau dibunuh saja.”
Aku menggeleng. “Bukan aku. Orangtuaku. Ceritanya
panjang—” kataku dengan enggan.
“Nggak apa-apa. Itu masalah pribadi. Aku ngerti, kok,”
kata Brittany.
Aku lega karena dia mau mengerti kalau aku tidak ingin
menceritakannya.
Lindsey duduk di atas tempat tidur, merangkulku, dan
memelukku erat. Dia tahu kisahku. Aku telah menceritakan
semua padanya tahun lalu, seiring dengan semakin eratnya
persahabatan kami.
“Apakah kau akan baik-baik saja membawa para pengun-
jung ke hutan besok?” tanya Lindsey. “Kita bisa keluar dari
kelompok ini dan menunggu kelompok berikutnya.”
“Tidak.” Sambil menggeleng, aku menarik diri darinya.
“Aku harus menghadapi ketakutanku, dan masuk ke dalam

22
hutan adalah bagian dari itu. Aku akan baik-baik saja. Malam
ini ... aku nggak tahu, mungkin karena kita mengendap-endap
di hutan. Sudah lama sekali aku nggak mimpi buruk lagi.”
“Ingatlah selalu, kami ada di sini untukmu.” Dia melirik
balik ke arah Brittany.
Brittany mengangguk. “Ya, benar. Sherpa selalu bersatu.”
“Terima kasih,” aku menghela napas dalam.
Lindsey kembali ke tempat tidurnya. “Apakah kau mau
lampunya tetap menyala?”
“Nggak, aku sudah nggak apa-apa sekarang.” Atau nggak
apa-apa sebisaku, mengingat masalahku. Hal yang paling
aneh adalah rasa takut yang tidak dapat dijelaskan yang
kurasakan akhir-akhir ini. Seperti dibayang-bayangi atau
semacamnya—sebuah perasaan jauh dari lubuk hatiku yang
tak dapat kujelaskan akan terjadi.
Lindsey mematikan lampu dan aku meringkuk di balik
selimut. Aku berharap bisa memahami apa yang menggang-
guku. Orangtua angkatku tidak dapat menjelaskannya.
Psikiaterku tidak mampu memecahkannya. Tetapi sejak aku
kembali ke hutan lindung ini, apa pun itu, tampaknya sema-
kin kuat daripada sebelumnya. Sebagian diriku ingin tahu
apakah ini ada hubungannya dengan apa yang terjadi pada
orangtuaku.
Apakah sesuatu di alam bawah sadarku telah berada di
ambang kebebasan? Dan kalau benar, bagaimana hidupku
akan berubah?

23
Keesokan paginya ketika aku terbangun, sisa-sisa mimpiku
masih menghantuiku. Ketidaknyamanannya masih meng-
gantung seperti jaring laba-laba yang tak bisa dibersihkan.
Aku memaksa diriku untuk memusatkan perhatian pada hal-
hal lain.
Ulang tahunku.
Aku tidak merasa lebih tua. Untuk beberapa alasan kupikir
aku akan merasa lebih berpengalaman, lebih baik dalam hal
merayu cowok ketika aku berusia tujuh belas. Sebaliknya,
aku tetap merasa seperti diriku yang dulu.
Cahaya redup terlihat menembus tirai jendela. Fajar sedang
terbit di ufuk timur. Hari pertamaku sebagai sherpa dengan
tugas yang nyata. Aku akan memulai petualangan pertama
musim panasku. Aku sudah tak sabar menunggu.
Minggu lalu aku sudah melalui semua jenis persiapan dan
pelatihan. Perjalanan pertama ini akan menjadi ujianku. Aku
menjulurkan tangan dan menyalakan lampu. Lindsey menge-
rang dan membenamkan kepalanya di balik bantal, menggu-
mamkan sesuatu yang kedengarannya berbunyi pergi sana.
“Jangan pedulikan dia,” kata Brittany waktu dia bangun
dari tempat tidurnya lalu menjatuhkan diri di lantai dan mulai
push-up. “Dia akan terbaring di tempat tidur sepanjang hari
kalau dia bisa.”
“Kupikir dia menyukai hutan.”
“Pikiran yang salah.” Dia berdiri dan meregangkan badan.
“Dia cukup menyukai hutan, tetapi dia lebih memilih tidak
berada di sana.”

24
Aku melirik Lindsey. Dia tak pernah mengatakan padaku
soal itu. “Lalu kenapa dia?”
“Itu wajar, kalau kau dibesarkan di sekitar sini, kamu
ditakdirkan untuk menjadi sherpa selama musim panas.”
“Dan kalian semua besar di sini?”
“Di Tarrant, jalan sebelah sana itu.”
Jalan itu selalu dilewati jika menuju kebun raya ini. Tarrant
seperti kota kecil lainnya di Amerika. “Jadi dalam kelompok
kecil kita, kalian semua adalah teman?”
“Sebagian besar, ya. Connor, Rafe dan Lucas masuk ke
perguruan tinggi tahun lalu. Lindsey dan aku masih harus
menyelesaikan SMA kami setahun lagi. Nantinya kami juga
akan meninggalkan kota ini.”
“Kayaknya semua orang sudah tak sabar untuk segera
meninggalkan rumah, ya?”
“Bukankah itu sebabnya kau berada di sini?”
Aku mengangguk. Tetapi sebenarnya lebih dari itu. Aku
suka kemping, tetapi belakangan aku hanya ingin berada di
alam bebas. “Mestinya aku akan merasa seperti orang luar di
sini, tapi nyatanya tidak.”
Dia mengangkat bahu. “Kau sudah menjadi bagian dari
kami, bukan?”
Aku tersenyum mengingat semua pelatihan yang sudah
kulewati. “Yang pasti aku adalah sherpa.”
Dia menelengkan kepalanya dan memberiku tatapan lucu
yang tidak dapat kutafsirkan. Di manakah psikiaterku ketika

25
aku membutuhkannya? “Tepat sekali,” katanya, tetapi aku
merasa dia masih mau mengatakan sesuatu. “Mandi dulu.”
Aku mengawasinya berjalan ke kamar mandi. Tubuhnya
benar-benar terbentuk. Kurasa itu sedikit mengintimidasi.
Tinggiku hanya seratus enam puluh lima senti, dengan
tubuh lebih ramping. Semoga dengan membawa beban dan
hiking selama musim panas ini bisa membuat tubuhku lebih
berotot.
“Sudah siap menjalani hari pertamamu resmi sebagai
sherpa?” tanya Lindsey sambil duduk dan menyisirkan jemari
ke rambut pirangnya yang pucat.
Aku beringsut ke pinggiran tempat tidur. “Jujur saja. Aku
takut.”
Dia menatapku tak percaya. “Kenapa? Kamu hebat dalam
semua latihan.”
“Ya, tapi itu semua kan terjadi dalam lingkungan yang
terkendali. Aku tahu segalanya bisa berubah menjadi buruk
dalam dunia nyata.”
“Kamu akan melewatinya dengan baik.”
“Bolehkah aku jujur padamu?”
“Tentu saja.”
“Aku agak khawatir soalnya bertugas dalam kelompok
Lucas. Dia agak menakutkanku. Dia sangat tegas.”
“Jangan biarkan dia memengaruhimu. Semua laki-laki
merasa mereka harus membuktikan diri. Waktu mereka masih
muda, ayah mereka adalah sherpa. Jadi itu adalah tradisi yang
diturunkan dari ayah kepada anak laki-laki. Mereka baru

26
memperbolehkan para gadis menjadi sherpa beberapa tahun
belakangan ini.”
“Benarkah?”
“Ya, mereka pikir perempuan itu tidak cukup kuat.”
“Itukah alasan kenapa Brittany memulai harinya dengan
push-up?”
Lindsey memutar bola matanya. “Ya, mungkin dia juga
merasa punya sesuatu yang ingin dibuktikannya. Aku tak
terlalu serius menanggapi semua ini seperti yang lain.”
Brittany keluar dari kamar mandi. Rambut gelapnya yang
panjang terkepang dengan rapi ke belakang. Dia mengenakan
celana pendek kargo, sepatu bot dan tank top merah. Dia
melihat jam tangannya. “Kalian tahu kita harus melapor
dalam sepuluh menit lagi.”
“Ya ampun,” aku buru-buru ke kamar mandi.
Aku ingin mandi berlama-lama, membiarkan airnya
sepanas aku sanggup menahannya, karena aku tahu ini akan
menjadi yang terakhir untuk beberapa hari ke depan. Tetapi
aku tak punya waktu lagi. Walau tak perlu berdandan untuk
melakukan perjalanan ini, aku memakai tabir surya—agar
wajahku tak berbintik-bintik hitam—dan juga maskara. Bulu
mataku yang berwarna merah pucat itu nyaris tak terlihat
tanpa sentuhan maskara. Aku mengenakan celana kargoku,
sepatu bot, dan tank top tipis. Di atas tank top aku mengena-
kan atasan berkerudung. Aku mengikatkan bandana pada
rambut merahku.

27
Ritual pagiku kuselesaikan dengan menyentuh kalung
timah yang selalu kupakai. Kalung itu bentuknya simpul
bulat dengan untaian yang terpilin. Seseorang pernah
memberitahuku bahwa itu adalah simbol Celtic untuk
pelindung. Kedengarannya cocok. Tadinya kalung itu milik
ibuku, dan kadang-kadang benda itu membuatku merasa
seolah ibuku sedang mengawasi aku.
Ketika aku melangkah keluar dari kamar mandi, Brittany
sudah pergi dan Lindsey sudah memakai celana pendek kargo
dan tank top bertali. Rambut pirangnya sudah dikuncir ekor
kuda. Dia membantu membetulkan letak ransel di punggung
dan bahuku.
“Kalau terlalu berat, katakan saja pada Lucas,” Lindsey
memberitahuku. “Dia bisa memindahkan isinya kepada yang
lain.”
“Aku bukan anak yang lemah. Aku bisa membawa
barangku sendiri.” Aku merasa sedikit terhina karena dia pikir
aku butuh bantuan.
“Aku cuma mengingatkan. Musim panas lalu, barangmu
banyak yang dibawakan oleh para sherpa, jadi mungkin kamu
belum terbiasa dengan semua beban ini.”
“Tapi tahun ini, aku adalah sherpa.”
“Kayaknya kamu bakal jadi orang yang keras kepala juga,”
gerutunya.
Aku bukannya keras kepala, tapi bertekad bulat untuk
membawa bebanku sendiri. Dan tidak merindukan orangtua
angkatku. Itu akan sulit. Jangan salah sangka, aku mencintai

28
orangtua kandungku, tetapi mereka sudah lama tiada.
Orangtua angkatku selalu memperlakukan aku seperti anak
kandung mereka sendiri. Aku mencintai mereka dengan
sangat, sampai kadang-kadang kaget sendiri. Tetapi perasaan
yang kuat terhadap sesuatu itu sudah menjadi sifat dasarku,
setidaknya begitulah menurut psikiaterku. Itulah alasan
mengapa aku masih terus dibayang-bayangi kematian
orangtuaku.
Aku menggigil begitu keluar dari pondok dan disergap
udara fajar yang dingin. Para peserta kemping dan pemandu
berkumpul di tengah-tengah desa kecil itu. Desa itu terletak
di dalam kawasan hutan lindung. Di situ ada pangkalan
penjaga hutan, pos kecil pertolongan pertama, toko kado,
toko peralatan kemping, dan kafe kecil. Itu juga menjadi
tempat pemberhentian terakhir untuk melengkapi semua
kebutuhan sebelum memulai perjalanan.
Kegembiraan—dengan sedikit kegelisahan—berdenyut di
nadiku. Bagaimanapun, aku bertanggung jawab atas kese-
lamatan para peserta kemah ini.
Lindsey menutup pintu pondok lalu menyenggolkan
bahunya ke bahuku. “Inilah dia. Kau siap?”
Aku menarik napas dalam. “Kurasa begitu.”
“Kau akan mengalami lebih banyak kesenangan musim
panas ini daripada musim panas tahun lalu.”
Aku membetulkan letak ranselku, menarik napas dalam,
dan melangkah menuju kelompok yang sedang berkumpul.
Dr. Keane, anak lelakinya, dan beberapa mahasiswa akan

29
melakukan hiking ke hutan. Enam sherpa akan mengiringi
mereka. Jumlah yang terlalu banyak untuk kelompok sekecil
ini, namun Dr. Keane membawa banyak perlengkapan khusus
yang dia butuhkan untuk mengajar para muridnya, sehingga
dia mempekerjakan kami semua. Itu tak menjadi soal buatku,
karena aku masih belajar. Seseorang akan menutupi
kekuranganku, kedengarannya seperti ide yang bagus. Aku
tidak mau menjadi orang yang bertanggung jawab dalam
membuat keputusan yang akan membawa kami semua
menjadi bahan berita malam.
Seseorang dari kelompok itu mendekat. “Hai, Kayla,”
dia memanggil sambil tersenyum lebar ketika meng-
hampiriku.
Lindsey hanya mengangkat alisnya, memandangku penuh
tanda tanya dan terus melangkah, sementara aku berhenti
untuk bicara dengan Mason. Dia bukan hanya salah seorang
mahasiswa Dr. Keane, tetapi juga anaknya. Aku telah bertemu
dia kemarin. Dia sangat tampan. Rambutnya yang cokelat
gelap jatuh di atas alis dan menutupi mata kirinya.
“Hai juga,” balasku.
“Aku khawatir kamu nggak jadi ikut.”
Dia punya banyak energi yang menambah kegembiraanku
untuk menghadapi petualangan yang ada di depan mata.
“Nggak, kok, hanya agak telat.”
“Perjalanan ini akan sangat menyenangkan,” katanya.
“Apakah kau sering melakukan hiking ke pedalaman?”

30
“Oh, ya. Tidak di sini, tentunya. Tapi ayah dan aku pernah
mengunjungi hutan lindung lain. Kami juga sering hiking di
Eropa.”
“Jadi kau dekat dengan ayahmu, ya?”
Dia mengangkat bahu. “Kadang-kadang, maksudku dia
tetap orangtuaku, kau mengerti? Dan penasihat sekolahku.
Ditambah lagi dia memperlakukanku seperti anak kecil.”
Aku tersenyum bersimpati. “Ceritakan padaku soal itu.”
“Mungkin. Nanti malam saja.” Dia tertunduk, seolah tiba-
tiba merasa tidak nyaman. Sikapnya mengingatkanku pada
Rick—seseorang yang mengajakku ke pesta dansa junior—
tepat sebelum dia memintaku untuk pergi bersamanya. Seolah
dia sedang mengumpulkan segenap keberaniannya, takut akan
ditolak.
“Nanti kita bisa ngobrol,” aku meyakinkan Mason, tidak
tahu pasti kenapa harus membesarkan hatinya kalau aku hanya
bersamanya beberapa hari saja. Mungkin karena dia tampan
dan kelihatan bersahabat. Lagi pula tidak ada aturan yang
melarang untuk berhubungan dekat dengan para peserta
kemah. Ketika kita bersama-sama di dalam hutan selama
beberapa hari atau beberapa minggu, segala sesuatu pasti akan
berkembang.
Sambil memandang ke arahku, dia mengembangkan
senyum lebar. Dia memiliki mata dengan warna semanggi.
Dengan kulit cokelat dan rambut gelap, tampak serasi.
“Mungkin kita bisa jalan sama-sama.” Dia mengatakannya

31
seolah tak yakin apakah harus membuat saran yang jelas,
pernyataan, atau hanya sebuah permintaan.
“Aku akan senang –”
“Gadis Kota, kau bersamaku.”
Baik, aku nggak tahu kenapa bisa tahu kalau perintah itu
ditujukan padaku. Tak seorang pun yang memanggilku Gadis
Kota. Mungkin itu karena aku mengenal suaranya. Atau
mungkin karena terdengar begitu dekat. Hatiku dongkol dan
bergetar pada saat yang bersamaan. Aku berusaha mengen-
dalikan perasaan ketika perlahan berbalik untuk menghadapi
Lucas. “Maaf? Gadis Kota?”
“Kau berasal dari kota, kan?”
“Ya, kurasa Dallas bisa disebut kota. Dan kenapa aku harus
berjalan bersamamu?”
Dia mengangkat ransel ke bahunya. Ukurannya dua kali
punyaku. Aku pasti sudah membungkuk, namun dia berdiri
tegak seakan itu tidak ada apa-apanya. “Karena kamu anak
baru dan aku perlu mengetahui kemampuanmu. Kita akan
berada di depan.”
Dia memakai celana kargo dan kaus hitam. Rambutnya
lurus dan lemas, tetapi variasi warnanya membuat rambutnya
tak terlihat membosankan. Mata peraknya menantang. Yah,
aku memang anak baru, tapi aku tidak cukup bodoh untuk
membantah sebuah perintah sebelum kami berangkat. Dia
bisa dengan mudah mengatakan aku terlalu bermasalah dan
meninggalkanku di sini. Aku benci karena dia punya begitu

32
banyak kekuasaan dan tidak sungkan memanfaatkannya.
Jelas-jelas aku bermasalah dengan penguasa.
Aku memberinya hormat penuh sindiran. Yang mem-
buatku tercenung kaget, bibirnya berkedut seolah dia sedang
menahan senyum. Bukankah itu menarik?
“Kalungmu menarik. Itu simbol Celtic untuk pelindung,”
katanya pelan.
Aku akan lebih kaget lagi kalau dia tiba-tiba membicarakan
soal rancangan busana. Dia tidak mengejutkanku sebagai
seorang yang peduli tentang hal-hal berbau Celtic. Aku
menyentuh kalungku. “Ya, begitulah yang kudengar. Tadinya
ini milik ibuku.”
“Kedengarannya sangat istimewa.”
Dia menatapku lekat, seolah di situ hanya ada kami berdua.
Untuk sesaat, dia bukanlah bosku. Dia hanyalah seorang lelaki
yang kutemui musim panas lalu, seseorang yang sering hadir
dalam mimpiku sampai tak terhitung lagi. Aku tak tahu
kenapa dia menghantui mimpi dan pikiranku. Entah kenapa
aku ingin mengakui permohonan yang sudah kubuat kemarin
malam. Entah kenapa aku sangat ingin menciumnya.
Tatapannya jatuh ke bibirku, seolah dia sedang memikirkan
hal yang sama dengan yang kupikirkan.
Tiba-tiba dia kelihatan jengkel pada dirinya sendiri,
mungkin karena Mason bahkan tidak berusaha menyem-
bunyikan kenyataan bahwa dia sedang mengawasi kami
dengan penasaran.

33
“Temui aku di depan lima menit lagi,” bentak Lucas tiba-
tiba. Lalu sekilas dia melemparkan pandangan tak bersahabat
kepada Mason. “Pastikan kau tetap dekat dengan seorang
pemandu, Mason. Kalau kau tidak ingin tersesat.”
Mata hijau Mason menyipit ketika dia mengawasi Lucas
sampai menghilang. Gelombang rasa tak suka terpancar
darinya. Aku tidak biasa menyesuaikan diri dengan orang lain,
tapi kurasa dengan berada di hutan begini membuat naluri
utamaku muncul. Mungkin ini soal kembali ke alam. Tetapi
sangat jelas ada ketegangan di antara mereka berdua.
“Siapa yang menugaskan dia sebagai penanggung jawab?”
gerutu Mason.
“Para penjaga hutan, kurasa. Dia pastilah sangat hebat.
Kudengar dia yang menemukan satu keluarga yang tersesat
musim panas lalu. Ketika yang lain tak bisa menemukannya.”
“Benarkah? Gimana caranya?”
“Mengikuti jejaknya atau semacamnya. Kau harus
menanyakan padanya.”
“Ya, kalau dia mau mengatakan sesuatu padaku.”
“Kau bermasalah dengannya, ya?”
“Belum, sih, tapi aku nggak kaget kalau sampai itu terjadi.
Ada sesuatu yang aneh dengan orang itu.”
Mason tidak memberiku kesan sebagai seorang petarung.
Lucas dengan pasti akan menghajarnya, tetapi aku tidak
berpikir Mason akan menghargai penilaianku akan kemam-
puan bertarungnya. Rupanya aku bukanlah satu-satunya yang
merasakan naluri binatang hari ini.

34
“Nggak ada gunanya mengganggu dia,” kataku.
Mason menelengkan kepalanya dan tersenyum aneh
padaku. “Menurutmu aku nggak mampu ngalahin dia, ya?”
“Dia punya tugas untuk dikerjakan.”
“Jangan biarkan kecintaanku pada ilmu pengetahuan
mengelabuimu. Aku bisa mempertahankan diri dalam
perkelahian.”
“Aku tak meragukannya.” Itulah satu-satunya yang bisa
kuucapkan. Kurasa perkelahian bukanlah sasaran utama kami.
“Sebaiknya aku pergi sekarang.”
Dia menyentuh tanganku sesaat. “Hm, aku punya sesuatu
untukmu.” Dia merogoh sakunya, mengeluarkan sebuah
bingkisan kecil, dan mengulurkannya padaku. “Selamat ulang
tahun.”
Aku memandangnya kaget. “Bagaimana kamu bisa tahu?”
Pipinya memerah. “Semalam, aku tidak bisa tidur. Aku
berjalan-jalan keluar. Dan melihat pesta kalian.”
Diakah yang mengikuti kami? Apakah yang kudengar itu
adalah dia? “Kenapa kau tidak mengatakan sesuatu, dan
bergabung dengan kami?”
“Aku bukan perusak pesta. Bukalah.”
Aku membukanya. Sebuah jalinan gelang kulit. “Oh,
terima kasih. Aku menyukainya.” Aku memandangnya
dengan berseri-seri.
Dia semakin malu. “Tidak banyak pilihan yang tersedia
di toko sekitar sini. Kebanyakan peralatan kemping dan
cinderamata murahan.”

35
“Ini bagus banget, kok,” aku meyakinkannya, sebelum
menyelipkan gelang itu ke pergelangan tanganku.
“Jadi mungkin kita bisa bersama-sama nanti,” katanya.
Ini bukannya kita akan bersama-sama nanti lalu
berkencan. Kami cukup dibatasi untuk tidak meninggalkan
kelompok, tetapi kami masih bisa bersenang-senang. “Ya,
tentu saja.”
Lalu aku menyusul Lucas. Hari pertama dan aku telah
dibingungkan oleh banyak hal: ketertarikanku pada Lucas
dan perhatianku pada Mason. Mason sudah jelas lebih aman
dari antara keduanya. Pertanyaannya adalah: apakah aku mau
aman?

36
TIGA

Aku berhasil menyusul Lucas beberapa menit kemudian. Aku


tidak menunjukkan padanya hadiah dari Mason, dan sebagian
diriku berharap dia tidak akan menyadarinya. Tak tahu kenapa,
tapi kurasa dia tidak akan senang.
“Mason keluar ke hutan semalam,” aku memberitahunya.
“Kurasa dialah yang kudengar.”
“Aku tahu dia ada di hutan. Aku mencium baunya.”
“Maaf?”
“Sabun yang dipakainya—baunya tajam. Kurasa dia bukan
orang yang mengawasi kita.”
“Tapi dia bilang padaku dia melihat kita.”
“Ya, mungkin itu memang dia.”

37
Aku merasakan penolakan waktu mendengar jawabannya.
“Kedengarannya kau tak yakin.”
“Aku hanya berpikir kita harus tetap waspada.”
Aku menggangguk. “Oke.”
“Ayo berangkat!” dia memanggil kelompok kami.
Ketika Lucas bilang kami akan memimpin, ternyata
maksudnya dia yang akan memimpin dan aku berada tepat
di belakangnya. Aku meyakinkan diriku sendiri bahwa kami
tidak punya pilihan selain bergerak beriringan karena kondisi
jalannya yang sempit. Hari ini kami mengikuti jalan setapak
yang sudah cukup sering dilalui, sehingga cukup terbuka dan
semak belukarnya tidak mengganggu, tetapi aku tahu pada
titik tertentu kami akan menyimpang ke daerah yang belum
pernah dijelajahi siapa pun. Itulah bagian yang paling kusukai
dari perjalanan ke hutan—pergi ke tempat yang belum pernah
dirambah orang. Itu selalu menjadi petualangan, dengan
kejutan di setiap belokannya. Dan sekarang ini, kejutan yang
paling besar adalah Lucas dan betapa senangnya aku
memperhatikan setiap gerakannya. Dia penuh percaya diri
dan melangkah dengan pasti.
Aku tahu dia kuliah di sebuah universitas di suatu tempat
dan baru saja kembali untuk bekerja di musim panas ini,
tapi hanya itu. Apa yang kutahu tentangnya tidak cukup
membuatku mengenalnya.
Aku tahu dia dalam kondisi yang luar biasa. Napasnya
biasa saja, sementara napasku—melengkapi rasa maluku—
sudah ngos-ngosan. Jalan setapak itu mendaki dan medan

38
hutannya berbukit-bukit. Berjalan melintasinya butuh latihan.
Tadinya kupikir aku sanggup. Ha!
“Sedikit lagi,” kata Lucas pada akhirnya.
Aku malu karena dia bukan hanya mendengarku terengah-
engah, tapi juga merasa wajib membuat aku tahu bahwa
dia melihatku sedang berjuang. Sementara tak seorang pun
yang membuatku merasa aku adalah orang luar, aku tahu
kebenarannya: aku memang orang luar. “Aku baik-baik saja.”
Dia menoleh tanpa memperlambat langkahnya. “Tapi
profesor dan mahasiswanya menderita.”
Aku memikirkan rasa tak sukanya terhadap Mason yang
kentara itu—atau rasa tak suka Mason padanya. “Apakah kau
sedang berusaha membuktikan sesuatu pada mereka?”
“Kalau iya, aku sama sekali nggak akan berhenti.”
Yah, mungkin dia bisa terus berjalan sepanjang hari tanpa
istirahat. Aku merasakan perasaan aneh antara kagum dan
iri. Aku sama sekali tidak tahu mengapa aku peduli, tetapi
aku ingin sejajar dengannya, ingin dia terkesan oleh staminaku.
Ingin dia terkesan olehku.
Jalan setapak sedikit melebar. Dia memperlambat
langkahnya sampai kami berjalan berdampingan.
“Jadi sudah berapa lama kau menjadi sherpa?” tanyaku
Dia memindahkan tatapan peraknya padaku. “Empat
tahun.”
“Apakah itu alasannya mereka memasukkanku dalam
kelompokmu? Karena kau sangat berpengalaman?”

39
Dia sepertinya masih mengamatiku dengan caranya,
sebelum dia berkata, “Aku yang meminta.”
Mulutku ternganga, tapi kurasa dia tidak punya kesem-
patan untuk menyadarinya, karena pada saat yang bersamaan
aku tersandung kakiku sendiri. Lucas bergerak dengan kece-
patan yang mencengangkanku, menangkapku dan
menyeimbangkanku sebelum aku terjatuh karena beban ransel-
ku. Tangan besarnya yang hangat mencengkeram lenganku.
Seharusnya aku malu atas kecerobohanku, tapi aku tidak
benar-benar memikirkannya. Aku lebih tertarik dengan apa
yang dikatakannya.
“Kenapa?” tanyaku. “Kenapa meminta aku?”
“Karena aku merasa tidak seorang pun bisa melindungimu
sebaik aku.”
“Jadi kamu ini apa? Supersherpa? Dan kamu pikir aku
tidak sanggup menjaga diriku sendiri?”
“Aku bukan yang baru saja tersandung.”
Aku diam saja. Akan terdengar bodoh kalau aku
mengatakan bahwa aku tersandung karena kata-katanya,
bahwa kecerobohanku akibat dari kesalahannya.
“Apakah kita berhenti di sini?” tanya Lindsey, waktu dia
mendekat dan memandangku dengan tatapan aneh.
“Ya,” kata Lucas. Dia melepaskan pegangannya padaku,
melangkah pergi, dan melepaskan ranselnya segampang
seseorang menanggalkan jaket. Dia menyandarkannya pada
sebatang pohon. Aku melepaskan ranselku dan melakukan
hal yang sama.

40
“Kita istirahat lima belas menit. Jangan lupa minum,”
kata Lucas ketika semuanya telah menyusul kami. “Aku akan
memeriksa medan di depan.”
Sebelum ada yang menjawab, dia sudah menghilang di
balik pepohonan.
Baiklah, Tuan-aku-bisa-menyerahkan-segalanya-padamu,
pikirku. Berlakulah seperti itu. Tunjukkan kalau kamu bukan
manusia, bahwa kau tidak butuh istirahat.
“Apakah orang itu nggak pernah capek?” gerutu Mason
sambil menjatuhkan diri di atas tanah setelah melepaskan
ranselnya.
“Mereka bilang dialah yang terbaik,” kata Dr. Keane.
Rambutnya gelap beruban. Bahkan dalam pakaian hiking dia
tampak berbeda, seolah setiap saat dia akan memulai kuliah-
nya. Kelihatannya dia tidak bertipe seperti Indiana Jones. Dia
berjalan ke arah dua mahasiswanya—Tyler dan Ethan—yang
mengangkat sebuah peti kayu besar dengan tandu. Mereka
bernapas berat dan bermandi keringat. Dia membantu mereka
menurunkan peti ke tanah dengan aman.
“Apa isinya Profesor?” tanya Connor.
“Hanya beberapa peralatan yang akan kami gunakan untuk
mengumpulkan contoh kalau kita sudah lebih jauh ke dalam
hutan.”
“Anda pasti berencana untuk mengumpulkan banyak
contoh.”
Dr. Keane tersenyum, dan senyumnya itu mengingatkanku
pada terapisku ketika dia memberitahuku tentang sesuatu

41
yang tak pernah terlintas dalam pikiranku yang lemah ini.
“Aku berniat membuat uang yang kukeluarkan sebanding
dengan perjalanan ini. Dan aku hanya membawa mahasiswa-
mahasiswa yang punya rasa keingintahuan besar, jadi aku yakin
ada banyak yang ingin mereka pelajari di sini dari dekat.”
Jadi Mason bukan satu-satunya yang punya masalah. Aku
tak tahu berapa biaya yang dikenakan oleh kebun raya atas
panduan sherpa. Yang kutahu hanyalah aku dibayar dengan
upah paling rendah. Namun, sesungguhnya bukanlah upah
yang kami pikirkan, melainkan bisa menghabiskan musim
panas di alam bebas. Kami tidak akan berada di sini kalau
kami tidak mencintai apa yang sedang kami kerjakan.
Mahasiswa-mahasiswa lain—David, Jon, dan Monique—
duduk bersama, sementara para sherpa berbaur dengan yang
lain. David dan Jon kelihatan agak ketuaan sebagai mahasiswa.
Nggak tahu juga, apakah mereka telat memutuskan apa yang
ingin mereka lakukan. Kurasa umur mereka sudah mendekati
tiga puluhan. Monique seluwes supermodel dan cantik. Dia
semampai dengan kulit cokelat mulus.
Mengingat sikap Dr. Keane yang ingin pengeluarannya
tidak sia-sia, kurasa sebaiknya kami tidak memisahkan diri
dalam kemah yang berbeda: sherpa lawan mahasiswa. Aku
mengambil botol minum dari ranselku dan duduk di samping
Mason. Dia sedang mengorek-ngorek kuku jempolnya.
“Kenapa?” tanyaku.
“Oh, robek waktu mengepak perbekalan tadi pagi. Jadinya
selalu menyenggol sesuatu.”

42
“Aku bawa kikir kuku kalau kau mau.” Aku membuka
kantong ranselku.
“Kamu bawa kikir?” dia benar-benar kaget.
“Tentu saja. Tak ada gadis yang menghargai perawatan
tangan dan kuku yang pergi ke alam liar tanpa kikir kuku.”
Sambil tertawa, dia menerima tawaranku dan merapikan
kukunya sebelum mengembalikan kikir itu padaku. Aku
menyimpannya kembali ke dalam ransel.
“Kau harus minum,” aku mengingatkannya.
“Oh, iya, benar.” Dia mengambil sebuah botol dari
ranselnya, dan meneguk isinya. Lalu dia memandangku tajam.
“Apa yang kau tahu tentang orang itu?”
“Orang yang mana?”
“Itu, orang yang merasa dirinya bertanggung jawab.”
“Kalau yang kaumaksud itu Lucas, dia memang penang-
gung jawabnya. Dia punya surat-surat dan dokumen lainnya
yang membuktikan itu.” Aku nggak tahu kenapa aku mem-
bela tindak-tanduknya yang angkuh itu.
“Apa pun, deh. Dia berasal dari sekitar sini, ya?”
“Ya. Maksudku, kurasa dia masuk ke perguruan tinggi di
tempat lain, tapi dia besar di sekitar sini.”
“Rambut yang aneh. Maksudku, siapa yang punya rambut
dengan warna yang berbeda-beda gitu?”
Aku menyukainya, tetapi aku nggak mau membelanya,
soalnya nanti dikira aku ada sesuatu terhadap Lucas. Aku
nggak tahu bagaimana menjelaskan apa yang kurasakan
terhadapnya. Di satu sisi dia benar-benar hebat. Di sisi lain,

43
dia lebih tua dan telihat jauh lebih berpengalaman daripada
aku. Sebenarnya, dia agak membuatku takut.
“Terus, kalau kamu?” tanya Mason membuyarkan
lamunanku yang aneh. “Aku pernah secara nggak sengaja
denger kamu bilang berasal dari Dallas, ya. Tempat ini praktis
berada dekat Kanada. Apa, sih, yang bikin kamu mutusin
untuk kerja jauh dari rumah?”
Tadinya mau kujawab asal-asalan, tapi kunci keberhasilan
terapi adalah menghadapi masa laluku dan tidak bersembunyi
darinya. Selain itu, rasa ngeri dari mimpi buruk semalam
masih tertinggal. Mungkin aku perlu mencurahkannya, dan
kelihatannya Mason orangnya baik, yang juga tertarik padaku.
Aku menyentuh gelang kulit yang diberikannya padaku dan
bicara sepelan mungkin. “Psikiaterku yang menganjurkannya.”
“Kau punya psikiater?”
Entahlah, apakah dia terkesan atau kaget. Teman-teman
sekolahku cenderung berpikir jika seseorang pergi ke psikiater,
orang itu pasti sudah sampai pada tahap ingin membunuh,
itulah sebabnya aku tak pernah membicarakannya pada siapa
pun. Di rumah aku jauh lebih menutup diri daripada di sini,
di alam bebas. Di sini aku lebih merasa di rumah daripada di
Dallas. Kalau diberi pilihan mau tinggal di kota atau di hutan,
aku akan lebih memilih tinggal di hutan. Tiba-tiba saja aku
merasakan kebutuhan untuk terhubung dengan seseorang
pada tingkatan yang belum pernah kucapai sebelumnya. Aku
mengangguk kepada Mason dan mengakui, “Ya.”
“Kenapa—kamu berkepribadian ganda, begitu?”

44
Oke, ini dia—semua pandangan negatif yang dibungkus
rapi dan diberi pita kecil. “Katakan saja aku punya masalah.”
Dan karena dia mengungkit hal yang menyakitkan, aku
melanjutkan dengan enggan, “orangtuaku meninggal di hutan
ini. Terapisku bilang sebaiknya aku lebih mengenal hutan ini
supaya bisa menerima kenyataan bahwa mereka meninggal
di sini.”
“Wah, itu pasti berat.”
Kentara sekali dia punya kesulitan membahas soal emosi,
dan hubungan yang tadinya sempat kurasakan padanya
ternyata salah besar. Menyesal juga kenapa aku tadi terbuka
padanya. “Yah, biasanya aku nggak pernah cerita soal ini.
Lupakan saja ceritaku tadi. Nggak tahu kenapa kok aku cerita
ke kamu.”
“Tidak, hei, aku salah. Aku belum pernah berteman
dengan seseorang yang orangtuanya meninggal. Maksudku,
aku tidak mengharapkan itu. Mereka meninggal karena apa?
Binatang buas?”
Aku menggeleng. “Sori, deh, aku nggak mau ngomongin
itu lagi. Seharusnya aku nggak mengungkitnya.”
“Hei, nggak apa-apa, kok. Maksudku bukan soal kematian
mereka, kalau kamu nggak mau membahasnya. Sejak kita
bertemu kemarin, aku merasakan semacam hubungan
denganmu. Sungguh, kalau kau mau bicara, aku siap
mendengarkan.”
Aku tersenyum ragu. “Thanks.”

45
“Tentu. Lagian, aku bisa dipercaya, lho. Kau hanya akan
ketemu denganku beberapa minggu ini, lalu aku akan pergi.
Kecuali kalau ...” kata-katanya terhenti.
“Kecuali kalau apa?” desakku.
“Kecuali kalau kita menjadi sangat dekat dalam perjalanan
ini. Siapa yang tahu, kan? Dengan email dan SMS, hubungan
jarak jauh pun bisa berjalan.”
Sudah menyiapkan cincin tunangan. “Wah, kamu berpikir
terlalu jauh.”
“Ini hanya melontarkan kemungkinan, kok.” Dia
mendekatkan diri ke arahku. “Aku benar-benar tertarik pada
semua kemungkinan.”
Aku juga. Atau kupikir begitu. Lalu kenapa aku nggak
mengedipkan mata padanya dan mendorongnya ke arah yang
benar? Kenapa aku malah mendapati diriku memandang
berkeliling, seolah aku sedang melakukan kesalahan? Dan
kenapa aku hampir keluar dari kulitku ketika melihat Lucas
bersandar pada sebatang pohon dan memperhatikanku?
Ada apa dengan orang ini dan sikapnya yang terus-menerus
bersembunyi di luar kelompok? Dan kenapa aku terus-terusan
ingin tahu apa yang sedang disimpannya?
“Kita harus berangkat sekarang kalau ingin sampai sebelum
gelap,” tiba-tiba Lucas mengumumkan. “Gadis kota, kau
masih sama-sama aku.”
Sesuai peraturan, aku ini anggota regu—kecuali kalau
bukan. Aku masih cukup dekat dengan desa yang memung-
kinkan dia mengembalikanku kalau aku memberontak.

46
Setelah kesandung tadi, aku bahkan tak bisa membantahnya
dengan mengatakan aku tidak butuh pengawasan.
Aku mengambil ranselku, menyandangnya di bahu, lalu
berjalan ke arahnya. “Apakah memang aku perlu berjalan
dalam bayang-bayangmu?”
“Sekarang, iya.” Dia menggerakkan kepalanya ke
belakangku. ”Atau kau mau jalan bareng dia?”
Aku tahu yang dimaksudnya adalah Mason. “Mungkin.
Apakah kamu keberatan?”
“Kau akan mendapat kesulitan dan kau hanya akan me-
lihat pantatnya ketika dia lari untuk menyelamatkan dirinya
sendiri.”
“Kau nggak tahu itu.”
“Aku ini lumayan bisa menilai orang. Mason hanya
menyalak dan tidak menggigit.”
“Dan kutebak kamu sepenuhnya menggigit.”
Salah satu ujung bibirnya terangkat, mungkin itu sebuah
senyum. “Tergantung apakah orang itu perlu digigit atau
tidak.”
Sebelum aku sempat menanggapi dengan jawaban yang
cerdas, senyumnya menghilang dan dia berkata, “Mungkin
ada bahaya yang mengancam. Tetaplah bersamaku lebih lama
lagi.”
Dia sedang membicarakan bahaya denganku? Apakah dia
tidak tahu sejarahku? Tapi kenapa juga dia harus peduli? Karena
aku anak baru? Ataukah lebih dari itu? Dan kenapa aku ingin

47
lebih? Aku ingin membantahnya, tetapi semua sudah
berkumpul dan aku menghambat perjalanan.
Aku mengangkat bahu—semampu yang bisa kuangkat
dengan beban ransel seberat dua ton menggelayuti bahuku.
“Ayo, bos.”

48
E M PAT

“Manusia serigala? Anda percaya manusia serigala itu benar-


benar ada?” Nyaris saja aku tercekik menahan tawa ketika
menanyakan ini. Walaupun aku tahu dalam berdagang,
pelanggan selalu benar, aku tidak tahu apakah hukum ini
juga berlaku bagi para peserta kemah yang telah mem-
pekerjakanku sebagai pemandu. Dalam kasus ini, mereka pasti
salah, dan aku tak bisa membiarkannya.
Beberapa dari kami sedang duduk mengelilingi api unggun
bersama Dr. Keane. Sepanjang hari ini kami lalui seperti pagi
tadi: berjalan dengan susah payah menembus hutan, berhenti
untuk istirahat, lalu berjalan lagi. Lalu sampailah kami di
tempat terbuka yang luas ini dan Lucas mengumumkan
bahwa kami akan berkemah di sini. Waktu itu hari sudah

49
senja. Sekarang malam telah tiba dan kami membakar marsh-
mallow. Biasa, tapi oh benar-benar enak.
Dr. Keane menyuguhi kami dengan kisah-kisah kuno
tentang manusia serigala, yang sangat menarik—tidak masuk
akal tapi menarik—lalu dia mulai bicara tentang serigala-
serigala yang terlihat di hutan di sekitar sini. Serigala yang dia
yakini, sebenarnya, adalah manusia serigala. Dia percaya hutan
lindung ini merupakan tanah perburuan mereka, tempat
mereka bersembunyi dari dunia nyata.
“Kenapa sangat sulit dipercaya?” kini Dr. Keane bertanya,
sebagai jawaban atas pertanyaanku. Dia duduk di atas sebuah
kursi lipat, terlihat sangat guru besar. Hanya saja dia tidak
memakai dasi kupu-kupu merah. “Semua kebudayaan punya
legenda tentang manusia yang berubah menjadi binatang.
Legenda-legenda berakar pada kenyataan.”
“Aku berada dipihak Kayla kali ini,” kata Lindsey, yang
duduk di samping Connor. “Manusia serigala hanya ada dalam
fiksi. Lihatlah Big Foot dan monster Loch Ness. Mereka
semua sudah hilang dari prasangka.”
“Nggak tahu, ya,” kata Connor. “Mungkin Dr. Keane
sedang mengejar sesuatu di sini. Ada seseorang di asramaku
yang mungkin saja manusia serigala. Dia tidak pernah ber-
cukur, memotong rambut, atau mandi. Sulit dibilang dia
itu manusia.”
Aku tertawa lagi, lebih keras. Ternyata tak seorang pun
dari kami yang menanggapi teorinya dengan serius.

50
“Tapi bagaimana kalau benar? Kalau ternyata manusia
serigala itu ada dan mendiami hutan ini?” tanya Mason. Dia
duduk di batang kayu di sampingku. Dia sangat hati-hati
dengan marshmallownya, membakarnya pelan dan hati-hati
sampai berwarna kecokelatan. Pada hari yang baik, aku nggak
akan sesabar itu. Malam ini aku sangat lelah dan sama sekali
nggak sabaran. Aku memanggang marshmallowku begitu saja
dan memasukkannya ke mulut.
“Lalu kita semua akan mati,” kataku sambil menirukan
gaya seram dalan film-film horror. Hanya saja ada yang
kurang, kilatan cahaya dan bunyi petir sebagai latar bela-
kang.
Connor dan Lindsey menertawakan aku. Bahkan para
murid sang profesor pun ikut tersenyum.
“Atau kita semua berubah menjadi manusia serigala,” kata
Lucas sama sekali terdengar tak menyenangkan. Dia tidak
duduk dalam lingkaran seperti kami, melainkan bersandar
pada sebatang pohon. “Bukankah begitu seharusnya, Profesor?
Kalau manusia serigala sampai menggigit kita, kita akan
menjadi manusia serigala juga?”
“Itu salah satu kemungkinan. Kemungkinan lain adalah
keturunan. Manusia serigala terlahir dengan semacam mutasi
genetika—“
“Apa? Seperti dalam X-Men?” sela Lucas sambil menye-
ringai.
“Bahkan fiksi pun memiliki unsur kebenaran di
dalamnya,” Dr. Keane bersikeras.

51
“Tapi kenapa manusia serigala yang ‘bermutasi’?” Lucas
membuat tanda petik di udara. “Bagaimana kalau semua
orang adalah mutasi yang sebenarnya? Mungkin kita semua
berawal sebagai manusia serigala.”
“Teori yang menarik, tetapi jika kasusnya seperti itu,
mereka akan menjadi jenis yang dominan, tidakkah kau pikir
begitu? Mereka yang akan memburu kita, bukannya kita yang
memburu mereka.”
“Kita sedang memburu mereka?” tantang Rafe.
“Aku menimbulkan kesan yang salah,” kata Dr. Keane.
“Sebenarnya yang kumaksud adalah menemukan mereka.”
“Kalau mereka tidak ingin ditemukan, mungkin mereka
akan mendatangi kita,” kata Brittany. “Gimana kalau begitu?”
“Kurasa nggak ada yang perlu kita khawatirkan malam
ini,” kata Lucas, sambil mendongak ke langit. “Nggak ada
purnama.”
“Itu kalau perubahannya dikendalikan oleh bulan,” kata
Dr. Keane. “Bagaimana kalau mereka bisa berubah sesuai
keinginannya?”
“Kalau begitu, kita dalam kesulitan besar.” Dia meng-
ucapkannya dengan roman muka serius dan aku tidak yakin
apakah dia serius atau bercanda.
“Kamu nggak terpengaruh dengan ini semua, kan?”
tanyaku. Lucas adalah orang terakhir yang menurutku akan
termakan oleh gagasan konyol tentang manusia serigala ini.
Dia mengedipkan sebelah mata ke arahku, dan hatiku
tersentak. “Baru tahu nanti kalau sudah menutup ritsleting

52
tendaku malam ini, dan aku tidak akan keluar lagi sampai
pagi.”
“Tenda nggak bisa mencegah manusia serigala,” kata Ma-
son, lalu meniup marshmallownya yang sempurna.
“Belum pernah ada catatan yang menyatakan tentang
seekor serigala sehat yang menyerang manusia,” Lucas
menentangnya.
“Kita bukannya sedang ngomongin serigala, teman,” sahut
Mason pedas sembari berbalik dan menatap tajam pada Lucas.
Ketika melakukannya, tongkatnya terjatuh dan marshmallow-
nya yang liat dan lengket jatuh ke tanah. Entah kenapa itu
menggangguku. Karena usahanya menjadi sia-sia, barangkali.
“Kita sedang membicarakan manusia serigala. Seseorang yang
berubah menjadi binatang buas. Mereka ada di luar sana, dan
kami akan membuktikannya.”
Dan tadi kamu heran kenapa aku diterapi?
“Apakah itu tujuan perjalanan ini?” tanya Lucas dengan
suara tenang yang menekan dan mengirimkan getaran yang
membuat bulu kudukku meremang.
“Mason hanya agak terlalu bersemangat,” kata Dr. Keane.
“Kami berharap dapat melihat beberapa ekor serigala dan
mungkin mempelajari mereka. Kuakui bahwa aku sedang
tertarik oleh gagasan lycanthropy. Apakah aku benar-benar
percaya akan keberadaannya? Tidak, tentu saja tidak, tapi aku
berpikiran cukup luas untuk menyisakan ruang bagi kemung-
kinan.”

53
“Serigala sudah punah di daerah ini sampai kira-kira dua
puluh tahun yang lalu, ketika beberapa dilepas untuk
mendiami daerah ini. Serigala aslinya mungkin sekarang sudah
mati semua, tapi keturunannya sudah berkembang biak.
Mereka adalah jenis yang dilindungi,” kata Lucas.
“Kami tidak akan mengganggu mereka,” Dr. Keane
meyakinkan Lucas.
“Yah, kalau begitu, mungkin Anda akan beruntung dan
melihatnya.” Lucas beringsut dari pohonnya. “Kita akan
melanjutkan perjalanan pagi-pagi sekali besok. Aku mau
tidur. Rafe pastikan semuanya aman malam ini.”
“Siap,” kata Rafe, sebelum memasukkan marshmallow
hangus ke dalam mulutnya.
Setelah Lucas menghilang ke dalam tendanya, ketegangan
di sekitar api unggun mereda. Aku merasa, aku bukanlah
satu-satunya yang berpikiran bahwa Lucas dan Mason sedang
mengarah ke percekcokan.
“Kamu percaya pada semua itu?” tanyaku pada Mason.
Dia tertawa kecil dan menggeleng. “Tidak, tapi itu keren,
kan?”
“Dalam film-film itu selalu agak berlebihan,” aku meng-
ingatkannya.
“Aku pernah digigit serigala satu kali,” dia memberi tahu.
“Benarkah?”
“Ya.” Dia menunduk dan menggulung kaki celananya. Di
betisnya terdapat bekas luka yang mengerikan. “Digigit
dagingnya.”

54
“Sejak saat itu Mason rajin mempelajari serigala,” kata
Dr. Keane, suaranya menggemakan perasaan bangga.
“Tetapi kata Lucas tidak ada catatan yang membuktikan
serangan serigala.”
“Kurasa dia tidak tahu segalanya,” kata Mason pelan, dan
itu membuatku menggigil.
“Lalu, apakah kau berubah menjadi manusia serigala ketika
bulan sedang purnama?” tanya Lindsey.
Mason mendengus. “Penginnya.”
“Aku selalu berpihak pada manusia serigala,” kata Lindsey.
“Mereka mendapat peranan buruk dalam film. Iblis dari
neraka. Kupikir mereka hanyalah perumpamaan seberapa
buruknya kita memperlakukan orang yang berbeda.”
“Itu kan cuma fiksi, Lindsey,” kata Connor. “Nggak ada
pesan mulia atau kenyataan hebat yang terungkap. Dan
bagaimanapun, perempuan tidak akan menjerit dan mering-
kuk padamu kalau kita nonton film yang manusia serigalanya
manis dan penuh pengertian.”
“Tetapi selalu ada bias terhadap mereka. Mereka selalu
menjadi pihak yang jahat. Ingin sekali saja aku melihat
manusia serigala yang berperan sebagai pahlawan.”
“Kau benar-benar menanggapinya secara pribadi,” kata
Mason sambil mulai membakar marshmallow berikutnya.
“Apa yang bisa kukatakan? Aku suka anjing.”
“Vampir mendapatkan peran yang sama buruknya,” kata
Brittany. “Apakah kau juga akan membela mereka?”

55
“Banyak vampir yang digambarkan dalam film sedang
berusaha melawan kecanduan mereka akan darah, berusaha
menjadi mulia. Sungguh menyenangkan kalau sekali-sekali
bisa melihat manusia serigala yang mulia dalam film.”
“Mereka selalu kehilangan rasa kemanusiaan ketika
menjelma,” kata Mason tanpa terpengaruh. Dia mengangkat
marshmallownya yang telah terpanggang sempurna dari api
dan memandang berkeliling sekilas. “Setidaknya begitulah
di film.”
“Dalam semua legenda, manusia serigala melakukan hal-
hal yang mengerikan dan tak termaafkan,” kata Dr. Keane.
“Nggak heran kalau Hollywood memasukkan kengerian itu
dalam ceritanya.”
“Tetap saja,” gumam Lindsey, tetapi kelihatannya dia sudah
malas untuk berdebat mewakili manusia serigala. Itu memang
konyol. Bagaimanapun, itu kan cuma rekaan.
Mason menawariku marshmallownya yang kecokelatan.
“Nggak, ah,” kataku. “Kau udah susah payah untuk memang-
gangnya dengan benar.”
“Soalnya aku ingin membuat yang sempurna untukmu.”
Bagaimana aku bisa menolak? Aku memasukkannya ke
dalam mulutku. Enak banget. Aku tersenyum padanya. Dia
balas tersenyum. Ketika kami sedang tidak membicarakan
manusia serigala—dan Lucas tidak ada di dekat kami—aku
menikmati kebersamaanku dengan Mason. Dan dia aman.
Dia tidak membuatku ingin melakukan sesuatu yang tidak
seharusnya—hal yang jauh melebihi sebuah ciuman.

56
Setelah Brittany, Lindsey dan aku masuk ke tenda kami,
Brittany meregangkan tubuh di kantong tidurnya, berguling
dan terlelap tanpa berkata sepatah kata pun. Aku mengangkat
sebelah alisku ke arah Lindsey. Dia mengangkat bahu. “Ada
sesuatu yang mengganggunya. Nggak tahu apa.”
Kami masuk ke dalam kantong tidur kami. Lindsey
mematikan lentera dan menyalakan sebuah lampu pena kecil.
Benda itu memancarkan cahaya yang suram.
“Jadi, ada apa antara kamu dan Mason?” tanyanya pelan.
“Entahlah. Maksudku, aku suka sama dia.”
“Kau harus hati-hati. Ada orang yang berpikiran bahwa
sherpa hanya untuk dipacari—bahwa kita ini gampangan.”
“Aku nggak merasa Mason seperti itu. Dan aku sudah
pasti bukan cewek gampangan.”
“Hati-hati sajalah. Aku nggak mau melihatmu terluka
dalam ekspedisi pertamamu.”
“Mungkin aku akan jalan bareng sama dia, tapi aku nggak
akan serius dengan orang yang mungkin nggak bakalan
ketemu lagi.”
“Ya, itu yang selalu mereka katakan,” bisik Brittany.
“Kirain kamu udah tidur,” kata Lindsey.
“Gimana aku bisa tidur kalau kalian berisik?”
Lindsey meleletkan lidahnya di belakang Brittany. Aku
menahan tawa. Lindsey masuk ke kantong tidurnya. “Hati-
hati, deh,” bisiknya sebelum meringkuk dan berangkat tidur.
Aku memandangi langit-langit tenda. Lindsey menyalakan
cahaya pena itu sebagai penerangan. Aku sudah tahu sejak

57
musim panas lalu waktu kami berada di alam bebas bahwa
dia tidak menyukai suasana gelap gulita. Tengah malam,
setelah orangtuaku tertidur, aku menyelinap keluar dan masuk
ke tenda Lindsey. Kami bisa berjam-jam mengobrol soal
sekolah, baju, dan cowok. Dialah orang pertama di luar
keluargaku yang pernah kuberi tahu soal kematian
orangtuaku. Untuk alasan tertentu, kecuali tadi malam, aku
nggak pernah mimpi buruk ketika berada di dekat Lindsey—
mungkin karena dia tidak menilaiku berdasarkan masa laluku.
Dalam beberapa hal dia jauh lebih pengertian daripada
terapisku.
Aku juga bertemu Brittany musim panas yang lalu, tapi
aku tidak merasa dekat dengannya. Mungkin karena aku bisa
merasakan dia punya masalah sendiri. Sekarang dia sudah
mendengkur. Agak sengau, mirip suara yang dibuat anjing
lhasa milikku di rumah, Fargo.
Tapi bukan cahaya atau suara itu yang membuatku tak
bisa tidur. Tapi serigala. Mereka tidak melolong, tetapi aku
merasa mereka sedang mengintai di dekat sini. Kalau yang
dikatakan Lucas itu benar, mereka telah berada di hutan ini
selama dua puluh tahun. Sudah cukup lama berada di sini
ketika aku kemping bersama orangtuaku pada musim panas
waktu itu. Apakah para pemburu itu melihat mereka?
Apakah sekarang kami berada di dekat tempat itu, tempat
orangtuaku meninggal?
Musim panas lalu aku belum berkeinginan untuk
mengunjungi tempat itu. Aku belum siap. Selain itu,

58
sepertinya tak seorang pun yang ingat di mana tepatnya
kejadian itu. Atau begitulah kata mereka. Mungkin mereka
takut traumanya akan terlalu berat untukku. Tapi malam
ini, aku ingat suara geraman rendah dan suara gertakan yang
bukan berasal dari mimpi. Apakah kami sedang melarikan
diri dari serigala? Tetapi Lucas bilang, mereka tidak pernah
menyerang manusia, jadi pikiran anehku itu tentunya tak
beralasan.
Apa yang sebenarnya terjadi hari itu?
Aku membuka kantong tidurku dan duduk. Tiba-tiba
aku merasa seolah aku harus keluar dari tenda. Aku tak perlu
repot-repot berganti baju, jadi aku hanya memakai bot
hikingku. Setelah mengikat talinya, aku mengambil senter.
Tanpa menimbulkan suara, dengan hati-hati kubuka ritsleting
tenda lalu menyelinap keluar.
Hanya beberapa lentera yang masih menyala, namun tak
ada orang. Aku tak ingin ditemani. Aku hanya ingin …
Aku tak tahu apa yang kuinginkan.
Hadapi ketakutanmu, Dr. Brandon mendesakku. Akan
lebih mudah melakukannya kalau aku tahu apa tepatnya yang
kutakutkan itu. Jujur saja aku sama sekali nggak tahu. Aku
hanya merasa ada sesuatu yang penting akan terjadi, bahwa
aku sudah berada di ambang perubahan. Aku tak tahu apa
yang kutunggu, tapi kurasa semua ini ada hubungannya
dengan masa laluku dan akan memengaruhi masa depanku.
Aku punya pertanyaan, tetapi tanpa jawaban—ketakutan yang
tak berdasar.

59
Aku menyusuri pinggiran tenda dan menuju ke hutan.
Baru beberapa langkah saja aku berjalan, aku mendengar suara
pelan. Suara itu kedengarannya dekat, di dekat salah satu tenda.
Aku tahu itu bukan urusanku, tapi aku bergerak pelan
mendekat.
“Aku tahu, Ayah. Ya ampun, berapa kali harus kukatakan
aku minta maaf?” aku mengenali suara itu. Mason.
“Jangan sampai memancing kecurigaan.”
“Ayahlah yang memulai pembicaraan tentang manusia
serigala.”
“Sebagai legenda.”
“Tapi Ayah tadi seperti pendeta, berkhotbah tentang
manusia serigala. Itulah sebabnya Kayla sampai bertanya pada
Ayah apakah Ayah percaya soal itu. Ayah juga melakukan
kesalahan sama besarnya dengan yang kulakukan.”
“Kita harus waspada dan lebih berhati-hati dengan apa
yang kita bicarakan pada mereka.”
“Seperti yang sudah kubilang, bukan aku, kan, yang
memulai.”
“Sungguh, Mason, salah satu pemandu kita bisa jadi
adalah manusia serigala.”
Aku harus menutup mulut agar tidak tergelak.
“Berani bertaruh, itu pasti Lucas,” kata Mason, dan aku
semakin kaget. “Orang itu terlalu pendiam. Seram juga
gimana dia bisa sediam itu. Kenapa dia selalu menghilang
setiap kali kita berhenti untuk istirahat? Apa yang dilaku-
kannya ketika dia pergi?”

60
“Kita akan mencari tahu. Jangan khawatir, kita akan
mencari jawabannya.”
Aku berdiri di sana, terpaku, sementara suara mereka
semakin pelan ketika mereka berjalan menjauh ke arah tenda
mereka. Apa yang mereka bicarakan itu? Mereka menduga
para sherpa adalah manusia serigala? Bahwa Lucas adalah
manusia serigala?
Gagasan bahwa manusia bisa berubah menjadi binatang
saja sudah menggelikan, tapi ternyata ada juga orang yang
benar-benar memercayainya, dan itu mengerikan. Aku jadi
berpikir tentang perlengkapan yang mereka bawa. Apakah
ada kurungan dalam peti besar itu? Apakah mereka sedang
berusaha menangkap serigala? Dan ketika mereka menyadari
bahwa serigala itu hanyalah seekor serigala … lalu apa?
Aku tahu manusia percaya akan berbagai hal yang tidak
ada, tapi ini sedikit kebablasan.
Tanpa menimbulkan suara dan dengan hati-hati, aku
berjalan perlahan ke arah pepohonan. Aku tentu saja tidak
ingin mereka mendengarku, dan ketahuan kalau aku
menguping percakapan mereka. Aku nggak kepikiran mereka
akan membunuhku untuk membungkamku atau melakukan
hal-hal gila semacamnya, tapi aku agak ngeri, mereka
sepertinya sedang dalam ekspedisi perburuan manusia serigala.
Walaupun begitu, di mana letak bahayanya? Orang mencari
UFO di langit. Beberapa percaya mereka pernah diculik alien
atau pernah masuk ke pesawat luar angkasa. Orang lain

61
melakukan penyelidikan dengan peralatan canggih untuk
mengetahui keberadaan hantu. Kurasa tidaklah terlalu aneh
kalau ada orang yang memercayai keberadaan manusia
serigala. Kupikir ini gila, tapi selama mereka tidak menyakiti
siapa pun, punya hak yang sama dengan yang lain untuk
menjelajahi hutan ini.
Setelah kurasa cukup jauh untuk ditemukan, aku
menyalakan senter. Cahayanya menenangkan, tapi anehnya
aku merasa tenang dikelilingi pepohonan. Aku mendengar
gemerisik dedaunan dalam angin sepoi-sepoi seperti lagu
ninabobo. Untuk sesaat, aku seperti mendengar ibuku
bernyanyi. Aku tidak percaya pada hantu, tapi aku percaya
pada jiwa atau roh atau apa pun yang hidup di alam baka.
Jadi mungkin memercayai keberadaan manusia serigala sama
sekali tidak gila.
“Mau ke mana, Gadis Kota?”
Aku mengayunkan cahaya senter ke arah datangnya suara.
Lucas telah berdiri di sampingku. Aku tak mendengarnya
mendekat. Bagaimana dia bisa datang tanpa bersuara?
Aku menekan tanganku ke dada, karena jantungku ber-
detak kencang seolah bisa meretakkan rusukku. “Kau nyaris
membuatku jantungan.” Nada suaraku seolah menyalahkan-
nya—sudah sepantasnya.
“Apa yang kaulakukan di sini?” tanyanya.
“Aku nggak bisa tidur.”
“Jadi kaupikir baik keluyuran dari perkemahan?”

62
“Aku nggak keluyuran. Aku cuma—” kenapa aku harus
menjelaskannya? Aku menyipitkan mata ke arahnya. “Terus,
apa yang kaulakukan di sini?”
“Aku juga nggak bisa tidur. Apa yang membuatmu nggak
bisa tidur?”
Karena penyesalan telah terbuka kepada Mason tadi, aku
memutuskan untuk menyamarkannya. “Terlalu banyak
pikiran.”
“Orangtuamu terbunuh di hutan ini, ya?”
Suaranya penuh simpati dan pengertian.
“Kok kamu tahu?” tanyaku.
“Aku mendengar ceritanya musim panas yang lalu. Kami
diberi tahu kenapa kau berada di sini. Agar kami tidak akan
mengatakan sesuatu yang peka ketika memandu kalian
memasuki hutan. Pasti sangat sulit untuk kembali ke sini.”
Aku mengangguk, tenggorokanku tiba-tiba tersekat oleh
air mata yang tertahan. “Ya.”
“Kalau kamu masih ingin jalan-jalan, aku temani.”
“Makasih, tapi … aku sedang nggak ingin ditemani.”
“Nggak akan ngajak kamu ngobrol. Cuma jalan. Aku bisa
berjaga-jaga, memastikan keselamatanmu.”
“Kalau kita tersesat?”
“Aku kenal hutan ini seperti mengenal punggung
tanganku. Kalau kau tumbuh di Tarrant, hutan lindung ini
adalah tempat bermainmu.”
“Baiklah. Kalau kamu nggak keberatan. Aku cuma ingin
jalan-jalan sebentar.” Aku mulai berjalan dan dia melangkah

63
di sampingku. Sebenarnya aku tidak mau mengakuinya, tapi
dia jauh lebih menenangkan daripada pepohonan ataupun
cahaya lampu senterku. Sebenarnya senang sekali aku di-
temani olehnya, tanpa perlu mengobrol atau apa pun.
Terasa aneh, tapi ketika kami berjalan beriringan, aku bisa
mencium aroma unik dari kulitnya. Bau bumi seperti hutan
di sekeliling kami. Menyenangkan, kuat, dan seksi. Sulit
dipercaya, dia sangat pendiam. Aku mengarahkan cahaya
senterku ke belakang sesaat. Dia bertelanjang kaki.
“Bukannya itu terlalu berbahaya?” tanyaku ketika aku
kembali mengarahkan senterku ke depan.
“Kakiku kuat. Aku sering bertelanjang kaki sejak kecil.”
“Kau melangkah tanpa bersuara.”
“Harus belajar melakukannya. Connor, Rafe, dan aku
biasanya bermain perang-perangan dengan anak lain. Satu-
satunya cara biar menang adalah dengan menyelinap tanpa
ketahuan.”
“Dan kau sering menang.”
“Tentu saja. Nggak ada gunanya main kalau tujuannya
kalah.”
Aku berhenti dan bersandar pada sebatang pohon. Aku
mengarahkan senter ke bawah sehingga tetap terang tapi wajah
kami tak terlihat jelas. Namun aku masih merasa dia me-
mandangiku. “Kamu punya kenangan buruk?” tanyaku. Dia
sudah tahu tentang aku. Aku juga ingin tahu tentang dia,
biar seimbang.
“Setiap orang pasti punya kenangan buruk,” katanya.

64
“Itu bukan jawaban.”
“Ya, sih, aku punya kenangan buruk.”
Suaranya tanpa emosi, dan aku tahu dia nggak mau
membicarakannya, tapi tahu kalau dia punya kenangan buruk
saja sudah cukup. Aku menghela napas berat. “Aku sedang
bersama mereka ketika mereka tewas. Orangtuaku. Tapi aku
nggak ingat betul apa yang terjadi. Aku hanya ingat gema
suara tembakan. Keras sekali. Lalu orangtuaku meninggal.
Itu membuatku hampir gila akhir-akhir ini, sejak kembali
ke hutan tahun ini. Tahun lalu aku seperti berada dalam
sebuah gelembung, berusaha untuk mengisolasi diri dari masa
lalu. Aku tak ingin menghadapinya. Namun tahun ini
berbeda. Sesuatu dalam diriku seolah ingin bebas. Aku tak
bisa menjelaskannya, tapi aku merasa hampir dapat mengingat
sesuatu yang sangat penting.”
Dia bergerak mendekat dan mengusapkan buku jarinya
di pipiku. Tanpa sadar, ternyata aku menangis. Aku tertawa
malu. “Maaf, aku nggak bermaksud membebanimu.”
“Nggak apa-apa. Pasti sangat berat bagimu untuk kembali
ke sini lagi. Aku mencintai hutan ini. Kau pasti membenci-
nya.”
“Menurutmu begitu, tapi aku tidak membencinya. Di
satu sisi, ketika aku berada di sini, aku merasa terhubung
dengan orangtuaku.”
Dia terdiam. Dengan cara yang aneh, membuatku berpikir
lebih baik dia tidak berkata apa-apa, karena apa pun yang
dikatakannya akan terasa hambar. Aku merasa sebaiknya aku

65
menjauh saja, tapi itu tak kulakukan. Bahkan sekalipun dia
merasakan lukaku, dia tidak bisa mengalaminya.
“Menurut terapisku, aku harus menghadapi apa yang
terjadi, tapi aku hanya ingin melupakannya. Aku mengalami
mimpi-mimpi buruk … yang tak dapat kupahami.”
Buku jarinya menyentuh wajahku lagi, namun ibu jari-
nya mengusap lekuk pipiku. Apa yang dilakukannya benar-
benar menyejukkan. Dalam kegelapan, matanya menatap
mataku.
“Kejadiannya malam atau siang?” tanyanya pelan.
“Malam. Menjelang malam. Di penghujung senja. Masih
cukup terang untuk melihat, tapi tidak dapat melihat dengan
jelas. Namun belum terlalu gelap sehingga perlu menyalakan
senter.”
“Kalian bersama-sama?”
“Ya, mereka hendak menunjukkan sesuatu padaku. Kami
meninggalkan yang lain.” Aku berkedip dan mencoba
mengembalikan ingatanku. “Aku lupa kalau ada orang lain
waktu itu.” Siapakah mereka? Keluarga? Bukan, mereka pasti
sudah mengambilku. Teman? Aku menggeleng. “Aku nggak
tahu siapa mereka. Apakah menurutmu itu penting?”
“Aku bukan psikiater. Apa yang ingin ditunjukkan oleh
orangtuamu?”
“Aku nggak ingat. Aku takut pada sesuatu. Aku telah
melihat sesuatu. Entahlah.”
“Aku tak akan mengkhawatirkannya. Kalau kejadian itu
penting, pasti kamu mengingatnya.”

66
“Kupikir kau bukan psikiater.”
“Memang bukan, tapi aku tahu bahwa kadang berusaha
terlalu keras lebih buruk daripada sama sekali tak berusaha.”
“Nggak masuk akal.”
Giginya yang putih terlihat dalam kegelapan. Aku hampir
mengarahkan senterku ke atas, hanya untuk melihat apakah
dia benar-benar tersenyum. Di sini, jauh dari yang lainnya,
ketika dia bukan lagi seorang pemimpin, ketika dia hanya
orang biasa, dia sama sekali tidak menakutkan.
“Jadi kenapa kamu nggak bisa tidur?” tanyaku. Berang-
gapan jawabannya tadi tidak hanya menjiplak jawabanku
begitu saja.
“Semua percakapan tentang manusia serigala itu.
Membuatku bergetar dalam sepatu botku.”
Dia membuatku tersenyum. “Ya, benar. Kau takut pada
manusia serigala yang besar dan jahat.”
Dia nyengir. Cengirannya benar-benar seksi.
“Mereka pikir kau adalah manusia serigala,” kataku dan
meneruskan dengan penjelasanku. “Menurut Dr. Keane dan
Mason.”
“Benarkah?” aku mendengar kegelian dalam suaranya.
“Menurutmu itu lucu.”
“Asalkan mereka tidak membawa peluru perak.”
“Oh, bagus. Kau juga percaya pada semua itu?”
“Tidak, tapi aku tidak ingin mereka menembak seekor
serigala pun yang mungkin kita temui.”
“Kau sangat melindungi mereka.”

67
“Aku telah banyak menghabiskan waktu di hutan ini. Jadi
sudah kenal dengan binatangnya. Aku tak ingin melihat
mereka terluka. Sama seperti aku tak ingin melihatmu ter-
luka.”
Dia sedikit merendahkan kepalanya dan aku benar-benar
sadar kalau dia hendak menciumku. Tidak hanya itu—aku
ingin sekali dia melakukannya.
Suara lolongan di kejauhan tiba-tiba membuat kami
bergeming. Suara yang kesepian. Untuk beberapa alasan yang
aneh, membuatku berpikir tentang binatang yang sedang
meratap.
“Mungkin sebaiknya kita kembali,” kata Lucas pelan,
sambil membuat jarak di antara kami.
Aku mengangguk “Ya.”
Aku mengarahkan senter ke jalan setapak.
“Sebenarnya ke arah sini,” kata Lucas sambil memegang
tanganku dan membimbingku ke arah yang benar.
“Kamu yakin?”
“Positif.”
Aku nggak yakin bagaimana aku sudah berbalik arah, tetapi
aku mengikutinya, aku bisa melihat cahaya remang-remang
dari perkemahan kami.
“Terima kasih sudah menemaniku,” kataku sesampai di
tendaku.
“Kalau kamu mau jalan-jalan di malam hari, beri tahu
aku. Nggak aman, lho, keluar sendirian.”

68
Sebelum aku meringkuk dalam kantong tidurku, aku
menyadari dia sendirian di luar sana. Kenapa kalau buat dia
aman sementara buat aku tidak?
Lalu aku mendengar lolongan serigala lain. Yang ini jauh
lebih dekat, sangat dekat sampai-sampai aku berani
bersumpah binatang itu ada di luar tenda kami. Kupikir
seharusnya aku takut. Tetapi, sama seperti ketika aku berjalan
bersama Lucas, aku merasa tenang.
Setelah aku tertidur, untuk pertama kalinya, saat aku ber-
mimpi tentang serigala, aku tidak lagi terbangun dan men-
jerit.

69
LIMA

Keesokan harinya, masih sama dengan hari sebelumnya,


kecuali medannya yang menjadi semakin berat. Semua orang
berjalan dengan susah payah. Semuanya, kecuali para sherpa.
Pada satu kesempatan Lucas meminta Connor dan Rafe untuk
mengangkat peti, namun Tyler dan Ethan bersikeras bisa
mengurusnya.
“Penasaran, deh, apa isinya, ya, kok mereka sangat melin-
dunginya?” tanya Brittany
Setelah kami berhenti untuk makan siang, Lucas tidak
memaksaku untuk berjalan di depan, jadi aku mundur dan
berjalan bersama Brittany dan Lindsey.
“Berani bertaruh, aku bisa membuat mereka mengatakan-
nya padaku,” kata Lindsey.

70
“Kurasa mungkin itu kurungan,” bisikku.
“Kurungan? Untuk apa?” tanya Brittany.
Dalam terangnya siang, aku merasa tolol mengatakannya.
“Semalam, secara nggak sengaja aku mendengar percakapan
mereka setelah acara api unggun. Kurasa mereka benar-benar
percaya manusia serigala itu ada di sekitar sini.”
Lindsey mendengus. “Mereka bukan yang pertama. Kami
selalu mendapati beberapa peserta kemah yang mendengar
rumor itu dan berpikir mereka bisa mendapatkan bukti. Dan
itu sebagian kesalahan kami. Setiap Halloween, kami selalu
menyelenggarakan acara hutan angker untuk menggalang
dana perlindungan satwa. Beberapa kostum kami benar-benar
keren dan alamiah.”
“Juga menakuti,” tambah Brittany.
“Tapi itu kan hanya pura-pura. Kurasa Mason dan ayahnya
itu serius mau berburu manusia serigala,” aku bersikeras.
“Lalu? Mereka nggak akan menemukan apa-apa. Semen-
tara kita mendapat bayaran,” kata Lindsey.
“Kurasa begitu. Itu membuatku lebih mewaspadai mereka.”
“Orang memercayai berbagai hal. Selama mereka tidak
bermaksud jahat, siapa yang akan disakiti? Dan kabar burung
seperti ini membawa orang-orang ke kebun raya. Itu bagus
sekali.”
Kurasa yang dikatakannya itu masuk akal. Aku membetul-
kan letak ransel di punggungku. Aku bangga karena sanggup
mengimbangi semua orang. Rafe berjalan paling belakang,
memastikan tidak ada yang tertinggal.

71
“Jadi, eh, Lucas. Apakah dia ikut dalam acara hutan angker
itu?” tanyaku. Aku tak bisa membayangkannya. Dia begitu
serius, dan aku tak bisa membayangkan dia bersandiwara.
“Dia melakukannya sebelum dia masuk ke perguruan
tinggi,” kata Lindsey. “Sekarang dia hanya pulang waktu
liburan dan musim panas. Kamu tertarik padanya, ya?”
“Apa? Nggak, lah.” Aku tertawa sadar diri. “Cuma pengin
tahu. Kita kan mau menghabiskan musim panas sama-sama.
Setidaknya kita harus kenal, kan.”
“Mungkin dalam acara api unggun malam ini kita bisa
main Truth or Dare,” kata Brittany.
“Hei, kalian jauh tertinggal, tuh,” teriak Connor dari
ujung jalan, dan kami mempercepat langkah.
Aku berharap Brittany hanya bercanda soal Truth or Dare.
Banyak yang ingin kuketahui, tapi tidak banyak yang ingin
kubagi.
Sampai pada waktunya, kami tidak memainkan per-
mainan apa-apa di sekitar api unggun. Dr. Keane maupun
Mason juga tidak menyebut-nyebut soal manusia serigala.
Setelah itu, waktu Brittany dan aku berada dalam tenda
dan bersiap-siap tidur, Lindsey menyelinap masuk dengan
riang. “Oke, teman-teman, aku tadi mendekati Ethan dan
aku tahu apa yang ada dalam peti itu. Bir.”
“Ah, bercanda, ya,” kata Brittany. “Cuma itu?”
“Yah, ada peralatannya juga, sih, tapi mereka menyelun-
dupkan bir di tempat-tempat yang kosong dan mereka sudah
memutuskan itu terlalu berat untuk diangkut, jadi nanti

72
begitu Dr. Keane masuk ke tendanya malam ini”—dia
nyengir lebar—“waktunya pesta!”
Brittany dan aku segera mengurungkan persiapan untuk
tidur dan mulai bersiap keluar untuk berpesta bersama mereka.
Aku sama sekali tak berpikir kami akan berpesta di alam bebas,
tapi aku senang sekali. Aku menyikat rambutku dan
membiarkannya tergerai keriting di bahu. Lalu aku mulai
mencari-cari atasan halterku yang berwarna hijau zamrud
dalam ranselku.
Lindsey memandang keluar tenda yang terbuka. “Ada apa
dengan Dr. Keane malam ini? Kok belum tidur juga.”
“Kau mau pacaran sama Ethan lagi, ya?” tanya Brittany.
Rambut hitam mengilatnya tergerai melewati bahunya.
“Tidak. Dan sebelumnya aku juga nggak pacaran dengan-
nya. Aku hanya menggodanya.”
“Bagi seseorang yang terikat pada Connor, seharusnya
kamu nggak serius menanggapinya.”
“Apa?” tanyaku, akhirnya menemukan halterku. “Kamu
dan Connor? Kamu nggak pernah bilang apa-apa.” Memang
aku pernah beberapa kali melihat mereka bersama, tapi nggak
yakin kalau itu sesuatu yang romantis.
“Masalahnya rumit,” kata Lindsey, dan aku bisa men-
dengar nada frustrasi dalam suaranya. Dia telah selesai
menyikat rambut pirangnya, lalu menggulung ujung
kemejanya dan mengikatnya dalam simpul sehingga
memamerkan pusarnya. Kelihatannya kami semua ingin
menarik sedikit perhatian malam ini. “Orangtuaku adalah

73
teman lama orangtuanya, jadi mereka mendorong kami
untuk bersama.”
“Kalau nggak mau didorong, dorong balik, dong,” kata
Brittany.
“Itu kalau kamu, kan?”
“Aku hanya mikir dia pantas mendapatkan seseorang yang
ingin bersamanya.”
“Dan itu adalah kamu?”
“Hei, teman-teman, apakah kita akan bertengkar di sini?”
tanyaku.
Mereka saling memelototi. Lindsey menyerah duluan.
Mungkin karena Brittany bangun lebih awal setiap pagi dan
melalui latihan keras setiap harinya, sehingga Lindsey tak mau
cari perkara.
“Connor dan aku nggak yakin ke mana kami harus
melangkah. Jadi bisakah kita tidak membicarakannya sampai
perjalanan ini berakhir?”
Brittany mengangkat bahu. “Terserahlah.”
Aku selalu merasa ada ketegangan di antara mereka.
Kejadian ini menjelaskan banyak hal. Jangan-jangan Brittany
menyukai Connor.
Aku mengenakan halter hijauku dan celana pendek putih.
Di satu sisi, aku bersimpati pada Lindsey. Kadang sulit untuk
mengetahui apa sebenarnya yang kita rasakan terhadap
seseorang. Saat ini, aku tidak yakin apakah aku berusaha mem-
buat diriku menarik bagi Lucas atau Mason. Semalam, aku
merasakan dekat dengan Lucas, tapi dia masih membuatku

74
salah tingkah. Mason …yah, Mason kelihatannya tidak
serumit Lucas.
Pengin banget punya sandal yang seksi untuk dipakai, tapi
yang ada hanyalah sepatu bot. Itu juga lumayan. Ketika
memandang ke dalam cermin kecilku, aku senang dengan
perpaduan semuanya.
Lindsey memandang keluar. “Akhirnya! Dr. Keane sudah
pergi. Yuk.”
Semua orang mengendap keluar dari perkemahan seperti
sepasukan ninja. Setiap mahasiswa termasuk Monique,
membawa satu pak yang berisi enam kaleng bir. Bulan di
langit hanya bersinar samar, jadi Connor memimpin di depan
dengan senter. Ketika kami sudah cukup jauh dari perkemahan
dan yakin Dr. Keane tidak akan bisa mendengar, Ethan mulai
membagikan kaleng-kaleng birnya.
Hal yang membuatku sangat kaget, Lucas juga berada di
situ dan mengambil sekaleng bir. Tentu saja, dia lalu mencari
sebatang pohon untuk bersandar. Monique bergabung
dengannya. Cowok itu melontarkan senyum langkanya
kepada Monique. Kecemburuan merambatiku tapi aku
melengos, tak ingin menunjukkannya. Kami sudah berbagi
saat istimewa semalam, tapi jelas-jelas baginya itu tak lebih
dari seorang kakak yang mengawasi seseorang yang menjadi
tanggung jawabnya.
Lindsey menyentuhkan kalengnya ke kalengku. “Untuk
saat yang indah.”

75
“Kok, kamu nggak mau cerita soal kamu sama Connor?”
Oke, aku sedikit memaksa. Aku sudah bercerita banyak
tentang aku kepadanya sejak kami bertemu musim panas
yang lalu, termasuk mimpi-mimpi burukku. Tapi dia
menyembunyikan sesuatu yang penting di sini.
“Seperti yang sudah kubilang, aku nggak tahu gimana
kelanjutannya. Lagi pula siapa, sih, yang mau dijodohkan
oleh orangtua?”
“Kayaknya Brittany kesengsem berat sama Connor.”
“Kurasa begitu. Dia sedang menghadapi persoalan yang
tak pernah dibicarakannya. Kau lihat semua latihan dan
olahraga yang dilakukannya, sepertinya dia ingin menjadi
supersherpa atau apalah. Dan baiklah, yah, dia tadinya—
maksudku masih—menyukai Connor, tapi dia menyetujui
orangtua kami, yang menjodohkan kami. Aku dan Connor
selalu berteman ketika kami tumbuh dewasa. Aku nggak
mau menyakiti hatinya, tapi aku hanya nggak tahu, apakah
dia orangnya. Itulah sebabnya, aku nggak mau berurusan
dengan semua ini.” Dia menenggak birnya.
“Gimana perasaan Connor?”
“Kecewa karena aku tidak membalas. Seperti yang sudah
kubilang tadi, ini rumit.”
“Aku siap mendengarkan kalau kamu mau membicara-
kannya.”
Dia memandangku dan tersenyum. “Thanks.” Dia sekali
lagi menyentuhkan kalengnya ke kalengku. “Aku mau gabung
sama mahasiswa-mahasiswa keren itu, ah.”

76
Bagitu dia melangkah pergi, sebenarnya aku benci
mengakuinya, ada sedikit perasaan menenteramkan dan
menenangkan karena tahu kalau ternyata aku bukanlah satu-
satunya yang kacau.
“Ada apa?”
Aku menoleh ke arah Mason, yang tiba-tiba muncul, dan
tersenyum. “Nggak ada apa-apa, kok.” Aku mengangkat
kalengku. “Salut buat kalian yang mengangkut bir.”
“Jujur saja. Ethan dan Tyler nggak semangat menanggapi
gagasan ini.” Dia mendongak. “Kamu tahu apa yang kusukai
waktu kemping? Betapa luasnya langit terlihat pada malam
hari. Mau pergi melihat bintang? Aku tahu ada tempat yang
jauh dari pepohonan dan kita bisa berbaring di atas rerumputan
….” dia menelengkan kepala ke samping dengan sikap
bertanya.
Aku melirik ke tempat Lucas yang sedang mengobrol
dengan Monique. Aku pasti salah paham tadi malam.
Mungkin karena dia yang bertanggung jawab, dia pikir dia
harus menghindari segala bentuk emosi. Atau mungkin aku
tak lebih dari seseorang yang harus dijaga—anak baru, sese-
orang yang belum punya cukup bekal meyakinkan yang
dibutuhkan oleh seorang sherpa.
“Ayok aja,” kataku. “Kenapa tidak?”
Mason dan aku masing-masing mengambil sekaleng bir
lagi. Sesampai di tempat yang dimaksudnya, aku merasa
senang. Rumputnya sejuk dan agak basah oleh embun ketika
aku berbaring di atasnya.

77
“Itu Bintang Biduk,” kata Mason sambil menunjuk ke
atas.
Aku juga menunjuk. “Dan itu Cassiopeia.”
Mason mengerang. “Kau kenal rasi bintang rupanya.”
“Yah, emang. Itu hal pertama yang diajarkan oleh ayahku
ketika pertama kali mengajakku kemping.”
“Padahal tadinya aku ingin membuatmu terkesan, tapi
sekarang harus kuakui. Bintang Biduk adalah satu-satunya
rasi bintang yang bisa kukenali. Aku nggak pernah bisa
menghubungkan bintang-bintang untuk membentuk sesuatu
yang lain.”
Aku punya perasaan itu nggak akan jadi masalah bagi Lucas,
dia pasti bisa mengenali lebih banyak daripada aku. Kenapa,
sih, kok aku memikirkan Lucas sekarang?
Aku bergeser sedikit ke arah Mason. “Oke, mungkin sulit
mengenali Cassie, tapi kalau kau bisa menemukan Bintang
Biduk, seharusnya kau juga bisa menemukan Draco the
Dragon. Ekornya melengkung di antara Bintang Biduk
(Beruang Kecil) dan Beruang Besar.”
“Nggak.”
“Ikuti gerakan jariku. Tepat di sana.”
“Nggak bisa juga, maaf. Aku nggak pernah bisa melihat
pola-pola dalam gambar.”
Aku bergeser menjauhinya. “Nggak penting. Tapi bagian
yang terpenting sebenarnya adalah bintang jatuh.”
“Entahlah, aku juga selalu merindukannya.”

78
Aku tertawa. “Mason! Itu gila. Kita hanya perlu berada di
luar sini sampai kau melihatnya.”
“Itu bisa semalaman,” katanya pelan.
Aku menoleh ke arahnya. Aku bisa melihat bahwa dia
sedang memperhatikanku. “Terang aja kau nggak bisa lihat
karena kau tidak memandang ke langit.”
“Tapi kau lebih menarik.” Dia terdiam sejenak. “Apa yang
membuatmu ingin menjadi sherpa?”
“Aku senang berada di hutan, dengan cara ini aku dibayar
untuk berada di hutan. Sama-sama senang.”
“Karena kau berasal dari Dallas, kau mungkin nggak terlalu
kenal dengan sherpa-sherpa lain.”
Apakah dia sedang berusaha menarikku ke pihaknya?
Sepertinya bertentangan dengan tujuan kami untuk mem-
bawa Mason bersama kelompoknya dengan aman menuju
ke daerah yang mereka kenali sebagai tempat yang ingin
mereka jadikan tempat berkemah. Di lain pihak, mungkin
dia meragukan para pekerja kebun raya. Atau mungkin dia
hanya mencari bahan pembicaraan.
“Aku bertemu mereka musim panas yang lalu,” aku meya-
kinkannya. “Lindsey dan aku saling berkirim email dan saling
menelepon sejak saat itu. Kami berteman. Kurasa karena kami
punya banyak kesamaan.”
“Kesamaan seperti apa?”
“Terutama kecintaan kami pada alam. Tambah lagi, tahun
ini kami berdua sama-sama menjadi siswa tahun terakhir.
Nggak peduli di SMA mana kau bersekolah, semuanya sama

79
saja. Kelompok-kelompok. Para guru. PR. Cowok.” Aku
memikirkan lagi keadaan Lindsey. Kami banyak ngomongin
soal cowok secara umum, tapi dia nggak pernah menyebut-
nyebut soal dia dan Connor. Harus kuakui, aku agak sakit
hati karena dia tak menceritakan rahasianya padaku.
“Jadi kau bertemu semua pemandu pada musim panas
yang lalu?” tanya Mason.
“Ya.”
“Kurasa kita beruntung bersama mereka,” katanya. “Aku
nggak pernah memikirkan betapa bahayanya berada di hutan.
Mengingat apa yang menimpa orangtuamu, tidakkah kau
takut?”
“Nggak. Seaneh seperti kedengarannya, aku selalu merasa
aman di sini. Selama kita waspada, kita akan aman-aman
saja. Dan para sherpa dibayar untuk berjaga-jaga. Di samping
itu, aku memercayakan hidupku pada Lucas.” Aku kaget
sendiri begitu mengatakannya.
“Benarkah?”
“Oh, ya. Dia selalu tahu segala sesuatunya.”
“Dia kelihatannya juga sadar akan kehadiran Monique di
sana.”
Tidak sebelum cewek itu muncul di hadapannya, pikirku
tak senang.
“Kau menyukai Lucas?” tanyanya, mungkin menanggapi
diamku.
“Aku nggak membencinya.”
“Kau menyukaiku?”

80
Aku merasa dia mau bertanya lebih jauh lagi.
Sebelum aku bisa menjawab, bulu kuduk dan bulu roma-
ku meremang. Aku langsung bangun dan duduk.
“Ada apa?” tanya Mason.
“Kita sedang diawasi.”
Dia mencemooh. “Oh. Mungkin Lucas. Dia itu—”
“Bukan, bukan Lucas.” Aku juga nggak yakin bagaimana
aku tahu kalau itu bukan dia—atau mungkin lebih baik
mengatakan begitu kalaupun aku tahu kalau itu memang dia.
Caranya memandangku terasa sangat berbeda. Serasa ingin
melindungi. Yang ini rasanya … mengancam.
“Mungkin sebaiknya kita pergi.” Aku bangkit berdiri.
“Kupikir kita akan menunggu sampai aku melihat bintang
jatuh.”
“Kita bahkan tidak memperhatikan langit. Dan sungguh.
Perasaanku nggak enak. Kita harus balik.”
“Itu karena kita mulai membicarakan soal bahaya.”
Aku mulai menggosok lenganku. “Bukan itu. Ayolah
Mason. Lucas akan memaksa kita lagi besok. Aku butuh
tidur.”
Dia berdiri dengan enggan. “Baiklah.”
Aku memungut kaleng-kaleng bir itu dan mendorong ke
tangannya. “Mungkin memang lebih ringan, tapi kalian masih
harus membawanya. Kita nggak boleh mengotori hutan.”
“Ternyata membawa bir sama sekali bukan gagasan yang
cemerlang.” Aku bisa melihat cengirannya. “Kecuali mem-
beriku waktu berduaan denganmu.”

81
Ketika kami menuju perkemahan, aku tak mampu mene-
piskan perasaan ada sesuatu yang mengawasi kami, sesuatu
yang berbahaya. Lalu aku melihatnya, menghilang dalam
bayangan pepohonan yang agak jauh. Hanya mata kelabu
mengilatnya yang terlihat. Seekor serigala. Dia hanya
menampakkan kepalanya sedikit, tapi itu cukup bagiku untuk
melihat bahwa warnanya hitam. Hitam pekat.
Dia sedang mengawasi kami.
Lucas pernah bilang serigala tidak menyerang manusia,
tapi aku nggak terlalu yakin.
“Hei, aku melihat seekor serigala seperti itu pada malam
aku menguntit kalian ke pesta ulang tahunmu,” kata Mason.
“Benarkah?”
“Ya, hampir saja aku terkena serangan jantung. Binatang
itu keluar dari kegelapan waktu aku mau kembali ke pondok.”
Apa yang kurasakan malam ini sangat mirip dengan apa
yang kurasakan malam itu. Kenapa serigala itu mengikutiku?
“Menurutmu dia berbahaya?” tanya Mason.
Ya! Pikiranku menjerit.
“Nggak tahu, ya,” balasku. Tapi aku tahu, aku tidak
memercayai serigala ini. Sesuatu tentangnya mengirimkan
sinyal bahwa dia mencari masalah. Mungkin begitu, atau aku
hanya kebanyakan minum.

82
ENAM

Hari sudah hampir senja ketika kami sampai di sungai yang


bergolak. Airnya mengalir deras, menciptakan buih putih di
puncak ombaknya. Walaupun tidak terlalu dalam, tapi
nampaknya sungai itu sangat berbahaya.
Aku mengawasi dengan tegang ketika Lucas menyeberang
mengarungi derasnya air. Salah satu ujung tali diikat dengan
aman ke sebatang pohon di pinggir sungai, sementara ujung
yang lain diikatkan ke pinggangnya. Kalau dia sampai
terpeleset, tali itu akan menahannya agar tidak terseret arus.
Begitu sampai ke seberang, dia akan mengikatkan tali di
pinggangnya itu ke sebatang pohon lain, membuat tali itu
terbentang untuk kami jadikan pegangan. Dia hampir sampai

83
di tengah sungai dan air menerjang pinggulnya dengan deras,
yang berarti akan setinggi pinggangku, mungkin lebih.
Unsur bahayanya memompakan adrenalin dan kegem-
biraan yang meluap-luap dalam diriku. Pasti akan menye-
nangkan, termasuk tantangannya. Aku menyukai air seperti
aku menyukai hiking. Aku ingin menguji keterampilanku
dalam mengatasi derasnya arus.
“Hei, Kayla, maukah kau membantu kami di sini?” tanya
Brittany.
Aku menoleh. Mereka telah memompa sebuah perahu
karet kuning dan sedang memuat perbekalan ke perahu.
Mason dan kelompoknya juga sedang memuat perahu karet
lain dengan peti yang mereka angkut, peti yang sedikit lebih
ringan hari ini.
Aku berlutut di samping perahu karet kami dan mulai
mengikat barang-barang.
“Kau dan Mason kelihatannya cukup lengket semalam,”
kata Lindsey.
“Cuma mengamati bintang, kok.” Entahlah, kenapa tiba-
tiba aku malu sendiri telah menghabiskan waktu bersamanya.
“Dia belum pernah melihat bintang jatuh.”
“Ya, benar,” kata Brittany. “Para peserta kemping selalu
memakai alasan itu agar bisa berduaan dengan sherpa.”
“Nggak, ini serius, kok,” aku bersikeras.
Brittany tertawa pelan. “Nggak masalah, kok. Dia cakep
juga.”
Dia benar.

84
“Lucas mungkin akan meninggalkan salah satu dari kita
untuk mengawasi mereka,” kata Lindsey.
“Memangnya biasanya begitu?” tanyaku. Lindsey juga
bersama kami musim panas yang lalu, tapi waktu itu kami
hanya seminggu di kebun raya ini.
“Ya, terutama kalau mereka masuk terlalu dalam ke
belantara seperti yang sedang dilakukan kelompok ini.
Soalnya kebun raya ini terkenal bisa mendatangkan masalah
bagi para peserta kemah.”
“Lalu siapa yang akan tinggal?”
“Belum tahu, sih. Bisa jadi akan diundi,” kata Brittany.
“Karena kau suka Mason, bisa jadi kamu.”
Sorakan kemenangan bergema di sekitar kami. Suaranya
berasal dari Connor dan Rafe, yang berdiri di pinggir sungai,
menjadi pengamat. Mungkin kalau Lucas kehilangan
keseimbangan atau tenggelam, salah seorang dari mereka akan
terjun untuk menolongnya. Nggak tahu juga apa gunanya
melakukan itu ….
Tapi tak ada yang perlu diperdebatkan lagi. Lucas telah
sampai ke seberang dengan selamat. Entahlah, kenapa aku
merasa bangga padanya, seolah keberhasilannya adalah
milikku. Dia melepas ikatan talinya sebelum melepaskan baju
dan menjemurnya di atas semak-semak. Bahkan dari jarak
sejauh ini, aku bisa melihat bentuk tubuhnya yang indah.
Saat ini baru awal Juni dan dia sudah mendapat kulit cokelat
sempurna. Warna kulitnya tidaklah membuatku heran. Dia
menyukai alam bebas sepertiku, jadi warna kulitnya alamiah.

85
Ketika dia berbalik, aku juga melihat sesuatu di bahu
kirinya. Tanda lahir? Atau tato? Terlihat terlalu sempurna.
Itu pasti tato. Bukankah itu menarik? Aku ingin tahu apa
yang membuatnya berpikir itu cukup penting sampai-sampai
menginginkannya menjadi bagian tubuhnya yang permanen.
Aku juga tak bisa memungkiri kalau tato itu seksi—kalau
dibuat dengan baik. Tato miliknya itu, bahkan dari jarak sejauh
ini pun, benar-benar seksi.
“Kami sudah selesai,” kata Mason.
Aku kaget mendengar kata-katanya yang tiba-tiba itu dan
kedekatannya—seakan aku tertangkap basah sedang mela-
kukan sesuatu yang tidak seharusnya kulakukan. Untunglah,
dia tidak bisa membaca pikiran. Dia tidak akan menghargai
pikiranku tentang Lucas. Tapi apakah aku berhutang kesetiaan
pada Mason? Kami hanya melihat bintang bersama.
“Kayla, punya waktu sebentar saja?” tanyanya.
Aku memandang Lindsey dan Brittany. Mereka berdua
mengangkat bahu.
“Kami hampir selesai,” kata Lindsey ragu, seolah tidak
yakin apakah aku sedang mencari alasan untuk menolak.
Aku bangkit dan mengikuti Mason agak menjauhi yang
lain. “Ada apa?” tanyaku.
“Hampir nggak punya waktu untuk ngobrol sama kamu
hari ini. Semoga Lucas akan membebaskanmu.”
Aku tersenyum. “Dia bukan pengawal tahanan yang men-
jagaku.”

86
“Mungkin setelah kita berhasil menyeberangi sungai, kamu
bisa ngomong padanya kalau kau ingin berjalan bersamaku.
Atau mungkin sebaiknya aku saja yang ngomong.”
“Entahlah, apakah dia terbuka untuk saran seperti itu, tapi
akan kucoba bicara padanya.”
“Baguslah. Tahulah, kemping sebulan begini bisa merusak
kehidupan asmaramu. Maksudku, gimana kalau aku mau
mengajakmu kencan? Kita nggak mungkin pergi ke bioskop.”
Aku nyengir, berpikir aku mungkin bisa menebak arah
pembicaraannya—dan merasa benar-benar tersanjung.
“Benar.”
“Tapi candlelit dinner—“
“Sekaleng kacang ditemani cahaya lilin?”
“Hei, bukan soal makanannya, tapi orangnya, dan aku
bawa lilin, lho. Jadi mungkin malam ini ….”
Dia membiarkan kata-katanya menggantung di udara,
membentuk sebuah pertanyaan yang aman. Kalau aku tertarik
….
Apakah aku tertarik? Aku mengalihkan pandangan ke arah
sungai. Lucas sedang dalam perjalanan kembali. Aku tak bisa
melihat dirinya menjadi romantis. Walaupun dia sangat manis
pada malam ketika aku ingin berjalan-jalan.
Manis? Sebenarnya bukan kata-kata yang tepat untuk
ditujukan pada Lucas. Kenapa juga, setiap kali melakukan
sesuatu, aku teringat dia? Sangat nggak masuk akal, terutama
ketika ada orang yang jelas-jelas mengajakku kencan—di
dalam hutan begini.

87
“Makan candlelit dinner. Tentu saja.”
“Bagus. Kita akan menyelinap pergi.”
Gadis petualang dalam diriku merasa jahat. “Bagus. Aku
akan mencarimu nanti.”
Aku kembali kepada Lindsey dan Brittany yang masih
sibuk memuat beberapa barang ke perahu karet. Tujuannya
adalah semakin sedikit yang harus dibawa, semakin mudah
bagi kami untuk menyeberang. Ransel kami, sepatu bot, dan
semua yang akan membebani kami dimasukkan ke perahu.
Begitu tiga perahu telah terisi penuh, anak-anak cowok
mengangkutnya ke air. Lucas, Connor, dan Rafe berusaha
menyeberangkan perahu persediaan. Di belakang mereka, Dr.
Keane, Mason, dan Ethan berjuang melawan arus dan
mengendalikan perahu peralatan rahasia mereka. David, Jon,
dan Tyler mendorong perahu terakhir yang berisi ransel para
mahasiswa dan bermacam-macam barang.
Yang lain hanya menunggu di pinggir sungai.
“Ngomong soal gender—kayaknya kita ini nggak cukup
kuat, apa, untuk menyeberangkan perahu karet,” kata
Monique.
“Aku sih seneng-seneng aja,” kata Lindsey. “Biarkan saja
mereka yang mengerjakan semua pekerjaan berat.”
“Enak aja kamu ngomong. Kamu kan nggak perlu mem-
buat Dr. Keane terkesan. Aku nggak sabar sampai ke tempat
tujuan dan bisa langsung bekerja.”
“Bekerja seperti apa itu tepatnya?” tanyaku. Aku masih
agak bingung apa yang sebenarnya hendak mereka capai.

88
“Menemukan asal-usul legenda manusia serigala di hutan
ini. Itu merupakan bagian dari fokus akademis Dr. Keane.”
“Menurutmu, kalian akan menemukan sebuah buku
tergeletak begitu saja di suatu tempat?”
Dia tersenyum simpul padaku. “Semacam itulah. Mereka
tahu kami berada di sini. Serigala-serigala itu. Tidakkah kau
mendengar mereka di malam hari?”
Aku jadi teringat serigala yang kulihat semalam. Aku nggak
tahu, haruskah aku mengatakannya pada Lucas. Sesuatu yang
terkait dengan serigala terasa tak menyenangkan. Kalau
binatang itu berbahaya, bisa saja dia akan menyerang. Aku
mungkin hanya terlalu khawatir karena kami semakin jauh
dari pemukiman, jauh dari zona nyamanku.
“Serigala melolong,” kata Brittany. “Itulah yang mereka
lakukan.”
“Apa pun, deh.” Monique mengangguk ke arah sungai.
“Lucas sangat menarik. Aku nggak percaya dia belum punya
pacar.”
“Kurasa dia salah satu yang percaya untuk menunggu gadis
yang tepat,” kata Lindsey.
“Ya, benar. Tipe yang kuat dan pendiam? Selalu hidung
belang. Percayalah padaku. Aku sudah cukup banyak melihat
yang seperti itu di kampus, jadi tahu.”
“Kalian dari universitas yang sama?” tanyaku, kaget oleh
kata-katanya barusan.
“Bukan, kami dari Virginia. Lucas bilang dia kuliah di
Michigan.”

89
“Yap,” kata Lindsey. “Dengan beasiswa atletik.”
“Kurasa aku bisa pindah,” kata Monique tanpa melepaskan
pandangannya pada Lucas ketika cowok itu mengangkat
perahu karet ke tepi sungai bersama yang lain.
“Oke, kelihatannya sekarang giliran kita menyeberang,”
kata Brittany.
Lindsey dan aku masuk ke sungai. Airnya yang dingin
menerjang betisku dengan kuat. Lindsey dan aku meng-
ulurkan tangan agar Brittany dan Monique dapat berpegangan
dan membantu mereka menyeimbangkan diri melawan
derasnya air sungai. Ketika mereka sudah berjalan menye-
berang, Lindsey memberi hormat padaku dan mulai menye-
berangi sungai.
Lucas telah menunjukku sebagai orang terakhir. Aku tidak
membodohi diriku sendiri dengan berpikiran bahwa
menurutnya aku istimewa. Dia mungkin sudah membaca
surat lamaran sherpaku dan tahu bahwa aku adalah seorang
perenang yang andal. Aku bergabung dengan regu renang
SMA dan pernah mencoba bergabung dengan regu olim-
piade. Namun aku gagal hanya karena selisih sepersekian
detik. Jadi walaupun tidak ada yang mengawasi di belakangku,
aku tidak khawatir.
Karena kami akan meninggalkan kelompok Dr. Keane
dan kembali ke desa melalui rute ini, kami akan meninggal-
kan tali ini tetap terpasang, sehingga nanti kami tinggal
menyeberang begitu sampai di sini. Kebanyakan perbekalan
kami akan ditinggal bersama Dr. Keane, sehingga dalam

90
perjalanan pulang nanti kami bisa bergerak dengan lebih
leluasa.
Aku menunggu sampai Lindsey hampir mencapai tiga
perempat perjalanan sebelum aku mulai menyeberang. Aku
memegang tali erat-erat dan berjuang melawan derasnya arus.
Tanpa tali aku tidak akan bisa mempertahankan keseim-
bangan, tak bisa berdiri tegak. Arusnya sangat liar dan
bergolak. Airnya sudah setinggi pinggangku ketika kurasakan
sentakan sekilas pada talinya. Getarannya yang aneh meng-
ingatkanku pada benang pancing yang menegang waktu aku
pergi memancing bersama ayah angkatku dan ada ikan yang
memakan umpan kami.
Brittany dan Monique sudah sampai di seberang. Lindsey
masih berjalan—dia tidak merasakan entakan yang tidak
biasa itu, karena entakan itu berasal dari belakangku dan
hanya sampai ke tanganku. Tiba-tiba aku merasakan lagi
perasaan aneh seperti sedang diawasi, yang sering meng-
hinggapiku sejak malam ketika Lindsey menyelenggarakan
pesta kejutan untukku. Walau sudah mendapat peringatan
dari dalam kepalaku, aku berhenti dan menoleh ke belakang.
Karena hari sudah sangat sore, bayang-bayang sudah meman-
jang. Aku tak bisa melihat apa-apa. Kurasa mungkin itu seekor
burung—burung besar—yang hinggap lalu terbang lagi.
“Kayla!”
Bahkan di tengah deru air sungai, aku mengenali suara
Lucas dan ketidaksabaran dalam nadanya. Aku berbalik
menghadap ke seberang. Lindsey baru saja keluar dari air.

91
Aku tahu kenapa Lucas marah padaku. Aku adalah peng-
hambat. Lucas ingin berjalan lebih jauh lagi sebelum malam
tiba. Dia itu orang yang tidak bisa membedakan artinya
bersusah payah atau bersantai-santai. Dia selalu memaksamu
sampai batas kemampuanmu, batas kemampuannya, dan—
Tiba-tiba talinya putus. Air yang begitu deras menyapu
kakiku dan aku terempas ke bawah. Peganganku pada tali
yang longgar terlepas dan dengan panik menggapai-gapai tali
itu. Talinya sudah tak ada. Namun yang terburuk, aku tak
bisa bernapas. Aku tenggelam dan terperangkap arus. Paru-
paruku terasa panas, dadaku menegang.
Aku berjuang untuk mencari pijakan, tapi derasnya air
terus mendorongku. Aku tak bisa menemukan dasar sungai.
Aku pasti sudah terbawa arus ke tempat yang dalam—
Sial!
Aku menabrak sebuah batu besar atau batu karang atau
sesuatu yang sangat besar dan keras. Hal itu membuatku sesak
napas. Aku mulai berjuang untuk mencapai permukaan. Paru-
paruku terbakar; dadaku sakit. Aku tidak tahu apakah dadaku
akan kempes atau meledak. Rasanya seperti dua-duanya bisa
terjadi pada waktu bersamaan.
Aku berhasil mencapai permukaan, menarik napas, lalu
tenggelam lagi. Aku harus mampu mengendalikannya. Aku
berjuang melawan rasa panik dan rasa takut akan kematian.
Aku tidak akan tenggelam. Aku nggak mau tenggelam.
Susah payah aku mengangkat wajahku dari air yang ber-
golak dan memutar punggungku. Dari mana datangnya aliran

92
deras yang bergolak ini? Airnya bergerak semakin cepat di
sini, dan lebih kuat. Sudah seberapa jauh aku terbawa arus?
Rasanya sudah bermil-mil.
Dari sudut mataku, aku melihat sebuah cabang besar
terapung di dekatku. Aku meraihnya. Cabang itu membuatku
tetap terapung, memberiku kesempatan untuk menyatukan
pikiran dan napasku. Aku harus mencapai pinggiran sungai.
Aku menendang, mencoba memanfaatkan cabang itu sebagai
pelampung, tapi derasnya arus mempermainkannya seolah
memilikinya. Aku pun melepaskannya dan berusaha berenang
ke darat.
Tak begitu jauh lagi. Aku bisa. Aku bisa melakukannya.
Sesuatu menggores lututku. Terasa perih, tapi juga
membuatku sadar air tiba-tiba lebih dangkal. Arusnya masih
tetap kuat, mendorongku sepanjang dasarnya yang berbatu,
menahan kakiku untuk mendapat keseimbangan. Aku
memaksa diriku sampai aku hampir mencapai daratan. Lalu
aku bergerak maju dengan tiba-tiba dan melewati tepi air,
mencapai pinggiran sungai yang ditumbuhi rumput.
Perut dan dadaku terasa sakit ketika aku terbatuk menge-
luarkan air. Lalu aku roboh, dan napasku tersengal. Badanku
sakit semua. Lengan dan kakiku tergores-gores dan berdarah.
Aku mulai menggigil, bukan hanya karena kedinginan tapi
juga karena terguncang oleh kejadian barusan. Aku tak mau
memikirkan lagi bahwa sedikit lagi aku tenggelam. Aku
pernah mengikuti kelas pertolongan pertama pada kecelakaan
dalam air pada musim panas dua tahun lalu, ketika aku bekerja

93
sebagai penjaga kolam renang, namun sungai jauh lebih
berbahaya daripada kolam renang. Aku beruntung … sejauh
ini. Aku tahu dari kelas keselamatan yang kuikuti bahwa aku
tidak boleh enak-enakan istirahat. Sangat penting untuk segera
mendapatkan kehangatan.
Aku memaksakan diri untuk duduk. Aku memeras air
dari bajuku sekuat tenaga, tapi itu tidak langsung membuatku
lega.
Aku hanya ingin berbaring dan tidur, tapi aku tahu aku
harus mulai berjalan kembali kepada teman-teman lain.
Berlari akan membantu menghangatkan tubuhku. Aku butuh
kehangatan. Aku berusaha berdiri dan berjalan terhuyung-
huyung menembus pepohonan.
Geraman yang tak menyenangkan membuatku meng-
hentikan langkah.
Kupikir sungai tadi akan menjadi hal paling berbahaya
yang kuhadapi hari ini. Namun aku salah besar.
Seekor beruang yang sedang marah jauh lebih buruk lagi.

94
TUJUH

Beruang itu besar sekali! Berdiri di atas kaki belakangnya,


kelihatannya tingginya hampir tujuh kaki—walaupun per-
kiraanku akan tingginya sangat mungkin dipengaruhi oleh
kengerianku. Aku tak tahu apakah beruang bereaksi terhadap
bau darah atau rasa takut, dan aku masih berdarah—juga
benar-benar takut.
Dari yang pernah kubaca, jika berhadapan dengan beruang,
tindakan terbaik adalah menelungkup dan berbaring. Walau
aku juga pernah membaca bahwa posisi kita harus meringkuk
seperti janin. Putuskan, putuskan. Aku masih dalam proses
pemulihan dari cobaan di sungai tadi dan hampir tak bisa
berpikir, biar nanti saja kuputuskan sendiri strategi apa yang
harus kupakai. Aku cukup tahu untuk tidak panik atau lari.

95
Namun aku tak bisa membuat diriku tunduk. Kalau terjadi
sesuatu, aku ingin berada dalam posisi setidaknya berusaha
menyelamatkan diri.
Sambil menggoyang kepalanya, beruang itu membuka
mulut dan mengaum. Gigi-giginya besar dan cakarnya besar
sekali. Lalu dia menjatuhkan diri di atas empat kakinya dan
mulai menyerang.
Secara naluriah, aku berbalik dan lari. Dari sudut mataku,
aku melihat sebuah gerakan kabur. Sebuah geraman rendah
yang mengancam—berbeda dari geraman beruang itu—
menggema di wilayah itu. Aku berbalik, tepat ketika seekor
serigala menerjang ke arah beruang itu.
Aku bergerak mundur, dan tersandung sesuatu lalu jatuh
terduduk dengan keras. Seharusnya aku memanfaatkan
serangan serigala itu untuk melarikan diri, tapi bagaimanapun
aku tidak bisa mengalihkan pandangan dari kedua binatang
yang saling menggertak dan mengeram itu. Si beruang
memukul serigala. Serigala itu mendengking dan aku bisa
melihat darah mengucur dari kaki belakang yang robek
terkena cabikan cakar beruang.
Namun serigala itu tak gentar dan malah merunduk,
menempatkan diri di antara beruang dan aku. Aku nggak mau
serigala itu mati. Dia bukan serigala yang kulihat semalam.
Aku yakin sekali. Warna bulunya berbeda, perpaduan dari
beberapa warna. Dia memperlihatkan giginya.
Beruang itu menggeram sambil berdiri di atas kaki

96
belakangnya. Serigala itu menggertak, dengan mengeluarkan
suara rendah yang mengancam dari tenggorokannya.
Aku tahu, aku seharusnya lari, tapi aku tak bertenaga. Kini
aku terduduk di atas tanah, tak tahu apakah aku bisa berdiri.
Ingin aku menjerit. Aku ingin salah seorang sherpa mene-
mukanku, menolongku.
Beruang memukul serigala itu lagi, melontarkannya ke
udara seakan dia bukan apa-apa. Setelah terjatuh dengan keras,
serigala itu berusaha bangkit, merundukkan badan, dan mulai
mengitari beruang itu. Lalu dia menerjang, ke arah bawah,
dan menggigit kaki beruang itu. Sambil mendengking
kesakitan, beruang itu berbalik, dan melarikan diri.
Masih dengan badan merunduk, serigala itu berbalik ke
arahku. Apakah aku akan menjadi korban berikutnya? Aku
ingat perkataan Lucas: serigala yang sehat tidak akan pernah
menyerang manusia. Aku berusaha tenang. Aku tak mau dia
merasakan apa yang sebenarnya kusembunyikan, bahwa aku
mewaspadainya. Namun rasa lelah, ketakutan, dan semua
kejadian sejak tali yang terputus itu memenuhi diriku, dan
aku mulai gemetaran hebat.
Aku berusaha mengendalikan diri, dan lebih memusatkan
perhatian pada serigala itu daripada lukaku sendiri. Binatang
itu mengingatkanku pada seekor anjing besar. Dia adalah
makhluk paling cantik yang pernah kulihat. Bulunya
merupakan campuran yang aneh antara warna-warna gelap
yang berkilau. Dan mata peraknya cemerlang, bukan kelabu
pudar seperti serigala yang kulihat semalam. Aku merasakan

97
perasaan yang aneh ketika dia memandangku, mencoba
menentukan—apa? Kenapa binatang itu memandangiku?
Kenapa dia hanya berdiri saja di situ?
Semakin lama dia berdiri, semakin aku merasa tenang
bersamanya. Aku merasakan ikatan yang aneh yang tak
mampu kujelaskan. Serigala-serigala dalam mimpi burukku
selalu menakutkan, namun yang satu ini telah menyelamat-
kanku, telah menempatkan dirinya di antara aku dan beruang
itu. Selama ini apakah aku membiarkan apa yang telah
menimpa orangtuaku memengaruhi mimpiku? Aku takut
pada sesuatu, tapi bukan pada alam bebas di sekelilingku atau
serigala ini, melainkan sesuatu dalam diriku, sesuatu yang
tak kumengerti.
Aku mendengar hiruk-pikuk. Teman-temanku. Aku jadi
teringat pada Dr. Keane dan obsesinya pada serigala.
“Lari,” bisikku keras-keras. “Selamatkan dirimu.”
Dia menoleh dengan sudut yang aneh. Lalu dia berlari
cepat, menghilang di balik dedaunan yang lebat.
“Kayla!” teriak Lindsey.
“Aku di sini!” aku tetap di tempatku, berusaha menghim-
pun kekuatan.
“Oh Tuhan!” jerit Lindsey ketika dia, Brittany, Rafe,
Connor, dan Mason sampai di tempat terbuka itu. Aku
heran, Lucas tidak bersama mereka.
Lindsey menghambur ke arahku, berlutut, dan mulai
menggosok lenganku, berhati-hati menghindari bagian yang
lecet. Rasanya sangat nyaman.

98
“Kami khawatir kamu tenggelam,” kata Brittany ketika
dia ikut-ikutan Lindsey menggosok lengan yang satunya.
Tambahan kehangatan itu terasa sangat menyenangkan.
Aku tertawa pelan. “Tidak.”
Rafe melepaskan kemejanya. “Kau harus melepas bajumu
yang basah itu.”
Lindsey menyambar kemeja Rafe dan mengusir para laki-
laki. “Lucas punya tato seperti itu,” aku mendengar Mason
bicara ketika mereka melangkah pergi.
Di bahu belakang sebelah kiri Rafe ada sebuah tato, yang
kelihatannya seperti simbol Celtic. Sangat mirip dengan
kalung yang kukenakan. Aku merabanya, lega begitu tahu
kalung itu tidak hilang di sungai.
“Ya, inisiasi persaudaraan,” kata Rafe. “Keren, kan?”
Mengingat keadaan, pikiran pertamaku sangatlah tidak
masuk akal: aku tidak bisa membayangkan Lucas bergabung
dalam suatu persaudaraan. Pikiran setelahnya adalah bahwa
dia lebih memilih tinggal bersama yang lain menunggui
perbekalan dan bukannya datang untuk memastikan apakah
aku selamat. Aku tak kuasa membendung rasa kecewaku.
Lindsey menyentuh bahuku, membuyarkan lamunanku
yang kacau. “Ayo, kita harus melepaskan bajumu yang basah
itu.”
Aku melepas kemeja dan braku. Brittany melipatnya
sementara aku memakai kemeja Rafe. Baju itu masih
menyisakan kehangatan tubuhnya dan rasanya nyaman seperti
selimut yang hangat. Membuatku merasa jauh lebih baik.

99
Celana pendekku terbuat dari bahan yang cepat kering,
sehingga walaupun aku tidak berdiri dekat perapian, aku
sudah tidak merasa sedingin tadi.
Segera setelah aku memakai kemeja Rafe, cowok-cowok
itu kembali.
“Haruskah kita membuat perapian di sini atau mem-
bawanya kembali ke perkemahan saja?” tanya Connor.
“Kita bawa kembali ke perkemahan saja,” kata Rafe.
“Bisakah kau menggendongnya?”
“Ya,” jawab Connor.
“Aku bisa jalan,” paksaku. “Dengan bergerak akan
membuatku lebih hangat, tidakkah begitu?”
“Ya, mungkin,” kata Connor. “Kamu bisa berdiri? Mulai
berjalan?”
Aku mengangguk dan dia membantuku berdiri.
“Bagaimana dengan Lucas?” tanya Mason. “Dari caranya
berlari tadi, bukankah seharusnya dia sudah sampai di sini
duluan?”
Dia tidak di perkemahan? Dia mengejarku?
Aku merasakan percikan kebahagiaan yang membuat
mataku pedih. Betapa anehnya itu? Reaksi yang terlambat
pada trauma. Begitulah seharusnya. Aku tidak istimewa bagi
Lucas; dia juga tidak istimewa bagiku, kecuali pada jenis ikatan
“kami adalah sherpa.”
“Dia mungkin kehilangan jejak Kayla di air dan berlari
melewati begitu saja tempat Kayla sampai ke darat,” jelas
Rafe. “Orang itu masuk universitas dengan beasiswa atletik.

100
Larinya seperti angin. Aku akan mencarinya, mungkin aku
bisa menemukannya. Kalian kembali dulu. Kayla perlu
minum yang hangat—makin cepat, makin baik.”
Tanpa menunggu jawaban dari yang lain, dia mulai
berjalan ke arah serigala itu menghilang.
“Hati-hati!” teriakku. “Tadi ada serigala dan beruang.”
Rafe menghentikan langkah, seolah hendak mengatakan
sesuatu, tetapi Mason lebih cepat. “Di mana?”
“Di sini. Mereka bertarung. Dua-duanya kabur. Serigala
itu terluka. Kalau kau berlari ke arahnya—”
“Jangan khawatir. Aku tak akan mendekatinya. Binatang
liar dan aku tidak bersahabat.” Dia bergegas mencari Lucas
untuk memberitahunya bahwa aku selamat.
Sesampai di perkemahan, aku senang melihat bahwa tenda-
tenda telah didirikan. Aku menyelinap masuk ke tendaku.
Aku tidak bisa melepaskan celana pendekku dengan cepat.
Aku berganti baju, mengenakan celana flannel yang hangat
dan sweatshirt. Lukaku sudah tak berdarah lagi, tapi tetap
kuolesi antiseptik. Di hutan harus lebih berhati-hati. Aku
mengambil selimut, membungkus diriku, lalu keluar dan
duduk di dekat perapian. Aku butuh makanan enak.
Sebungkus besar Double Stuff Oreo akan menyenangkan.
Tapi aduh, makanan itu tidak termasuk dalam perbekalan
kami.
Lindsey mengulurkan semangkuk sup. “Minumlah. Biar
badanmu hangat.”
Dia duduk menjajariku. “Kami sangat khawatir.”

101
“Tidak sekhawatir aku.”
“Oke, jangan salah sangka, untungnya kamu yang
tenggelam, bukan aku. Aku bukan perenang yang andal
soalnya.”
“Kalau berenang di arus deras ada dalam olimpiade, aku
mungkin masih punya kesempatan untuk bergabung.”
Dia menertawakan leluconku yang garing itu, karena aku
telah menceritakan padanya bahwa aku hampir bergabung
dengan regu olimpiade. “Pastinya.”
Dia melingkarkan lengannya dan memelukku erat.
“Tuhan, seumur-umur belum pernah aku sedalam ini meng-
khawatirkan orang lain.”
Aku menyandarkan kepalaku ke bahunya. Kupikir aku
bisa langsung tertidur di situ. Satu-satunya yang bisa
membuatku lebih nyaman adalah bahu Lucas. Aku terharu
mengetahui dia sangat panik mencariku sampai berlari mele-
watiku. Mungkin dia marah pada dirinya sendiri ketika
menyadari apa yang terjadi. Dia tidaklah sempurna. Bukannya
aku berencana untuk menunjukkan itu padanya.
Lucas dan Rafe berjalan ke perkemahan dengan langkah
santai. Dengan kulit gelapnya, mereka kelihatan seperti
kakak-beradik.
“Benar, kan,” kata Rafe, “Dia berlari lebih cepat daripada
arus sungai yang menghanyutkanmu. Dia berlari melewati
tempat kamu mencapai daratan.”
“Itulah yang kau dapatkan karena memegang rekor uni-
versitas dalam lari jarak jauh,” kata Connor.

102
Lucas hampir-hampir tak mendengarkan kata-kata
Connor dan membungkuk di sampingku. “Kamu nggak apa-
apa?”
“Ya,” jawabku, malu pada semua perhatian ini. “Aku nggak
bermaksud menyebabkan begitu banyak kerepotan. Aku
nggak tahu kenapa talinya putus.”
“Mereka nggak bilang padamu?”
Aku memandangnya bingung. “Bilang apa?”
“Kalau talinya dipotong.”

103
DE L A PA N

“Apa yang sedang kaubicarakan?” tuntut Dr. Keane.


Beberapa saat dia memandang ke dalam mata Lucas. Aku
hampir saja lupa kalau kami tidak sendirian.
“Setelah Lucas pergi, Connor dan aku menarik talinya ke
tepi,” kata Rafe. “Kami kira tali itu tergesek kulit kayu dan
menjadi aus, tapi ujung talinya rata. Ada yang memotongnya
dengan pisau.”
“Siapa yang akan melakukan hal semacam itu?” tanya
Monique.
Lucas menegakkan tubuh dengan gaya mengancam seperti
biasa. “Apakah Anda punya musuh, Profesor?”
“Salah satu rekanku dan aku bersaing untuk mendapatkan
dana bantuan, tapi rasanya nggak mungkin dia tipe yang akan

104
menyabotase ekspedisi kita,” jawab Dr. Keane tenang, tapi
pandangannya berpindah-pindah dari satu sherpa ke sherpa
yang lain, seolah sedang mencari sesuatu yang mencurigakan.
“Rasanya tidak masuk akal ada orang yang merasa terancam
oleh apa yang sedang kita lakukan. Sebaiknya kita semua
beristirahat. Kita sudah kehilangan waktu hari ini akibat…
kecelakaan kecil ini. Aku ingin mengejar ketinggalan kita
besok.”
Aku hampir mati dan dia menganggapnya sebagai
kecelakaan kecil? Dan dia ingin mengabaikan kenyataan
bahwa talinya dipotong? Walaupun aku nggak tahu betul
apa itu artinya, tapi kurasa seharusnya dibicarakan.
Mason menatapku seolah mau mengatakan sesuatu.
Mungkin dia ingin minta maaf atas perkataan ayahnya.
Sambil mengerang dan menggerutu, para mahasiswa
menuju tenda mereka. Semua kecuali Mason. Kurasa, apa
pun yang ingin dikatakannya padaku, dia tidak ingin
mengatakannya di depan orang banyak. Aku kasihan ke-
padanya. Bukan salahnya kalau ayahnya adalah seorang yang
kasar.
Aku bangkit berdiri dan berjalan menghampirinya. Aku
memaksakan seulas senyum yang lelah. “Kurasa candlelit
dinnernya nggak jadi, deh.”
Pipinya menjadi gelap merona ketika dia tersipu. “Tidak
malam ini, tapi mungkin kita bisa jalan-jalan sebentar?”
Aku mengangguk dan kami mulai berjalan menjauh dari
perapian.

105
“Jangan pergi terlalu jauh dari perkemahan,” perintah Lucas
dengan keras.
Aku menoleh ke arahnya. Kelihatannya dia nggak senang.
Aku hampir saja mati dan suasana hati semua orang
memburuk. Aku tak tahu apakah harus tersanjung karena
sedemikian membawa pengaruh atau harus jengkel. “Kami
nggak akan jauh-jauh, kok.”
“Dia kelihatan banget sangat melindungi kamu,” kata
Mason waktu kami sudah meninggalkan perkemahan.
“Dia melindungi semuanya. Itu sudah tugasnya.”
“Seharusnya kau melihat dia berlari waktu kau terseret
arus. Aku belum pernah melihat ada orang yang bergerak
secepat itu, nyaris seperti bayangan.”
“Ternyata dia itu bintang atletik.”
“Ya, ternyata begitu.” Kami berhenti setelah berada sudah
agak jauh sehingga tak ada yang bisa mendengar kami. Dia
meraih tanganku, tangan yang sedang tidak memegangi
selimut. “Tadinya aku juga mau lari bersamanya, tapi Rafe
menahanku. Lagi pula aku nggak mungkin bisa menandingi
dia.”
“Nggak apa-apa. Kau ada di sana ketika aku membutuh-
kanmu.”
“Aku sudah berusaha, tapi semua sherpa sangat melin-
dungimu, membuatku merasa menjadi seperti orang luar.”
“Nggak apa-apa, sungguh.” Aku nggak suka melihat dia
begitu merasa tak enak hati akan semua itu—dan bahwa dia
ingin menolongku, tapi tak diijinkan oleh teman yang lain.

106
Aku tahu dia tidak sepenuhnya merasa nyaman di antara
mereka. Kurasa itu karena dia adalah seorang akademisi.
Sebenarnya dia masih terlalu muda untuk menjadi mahasiswa.
Mungkin dia memiliki IQ sangat tinggi.
“Jadi mana yang muncul duluan—serigala atau beruang?”
tanyanya.
“Apakah ini pertanyaan telur atau ayam?” aku tidak
berusaha untuk menyembunyikan kejengkelan dalam
suaraku. Kedengarannya seperti pertanyaan yang janggal.
“Serius, nih, aku cuma ingin tahu. Maksudku, beruang
tidak biasanya menyerang.”
“Katakan itu pada anak Pramuka yang diserang di Alaska
beberapa tahun yang lalu.” Tiba-tiba aku sadar bahwa kejeng-
kelanku padanya sama bodohnya dengan pertanyaannya.
Kenapa ini dipermasalahkan? Aku masih hidup. “Beruang.”
“Jadi ada seekor beruang, lalu seekor serigala datang untuk
menolongmu?”
“Aku nggak tahu apakah serigala itu datang untuk meno-
longku. Maksudku, ya, dia mengusir beruang itu, tapi
mungkin itu karena dia tidak suka beruang.” Aku mencoba
menertawakannya. “Mungkin nggak ada hubungannya
dengan aku. Aku bahkan nggak yakin kalau dia tahu aku
berada di situ sampai setelah kejadian.”
“Seperti apa serigalanya?”
Ini semakin menggelikan. Aku menarik tanganku dari
genggamannya. “Warnanya hitam.”
“Hanya hitam? Seperti yang kita lihat semalam?”

107
Tidak, pikirku. Tapi aku tak mau mengatakan padanya.
Entahlah. Aku merasa ingin melindungi serigala yang baru
kulihat itu. “Serigala seperti apa yang kau harapkan?”
Dia mengalihkan pandangan ke tempat para sherpa duduk
mengitari api unggun. Dr. Keane tidak memerintah kami
kapan harus tidur. Aku merasa malam ini, hanya untuk
memastikan, mereka akan tetap berjaga sampai larut—dan
mungkin tidak akan tinggal diam.
“Entahlah,” katanya pelan, “kupikir mungkin saja serigala
itu warnanya campuran.” Dia mendekatkan badan ke arahku
dan memelankan suaranya. “Ini antara kita berdua saja, ya,
aku merasa aneh Lucas tidak menemukanmu sebelum kami
sampai di sana.” Dia ngomong apa, sih?
Aku jadi teringat pembicaraannya dengan ayahnya malam
itu. Apakah dia pikir Lucas … adalah serigala itu? Gila!
Apakah percakapan ini benar-benar terjadi? Memang sih,
waktu tenggelam tadi aku sempat kekurangan oksigen.
“Kurasa kalau Lucas lari cepat sekali dan aku berada di
bawah permukaan air—sekalipun sebentar—bisa jadi dia tidak
melihatku.”
“Mungkin,” gumam Mason. “Hanya saja ada sesuatu yang
aneh pada kejadian ini.”
“Terserahlah, aku capek.”
“Maaf. Aku nggak bermaksud membawamu kemari
untuk memusingkanmu. Aku hanya ingin tahu. Banyak hal
yang tak bisa dijelaskan terjadi di hutan ini.”

108
“Orang selalu mempermainkan para peserta kemah,
berusaha menakut-nakuti. Seperti menceritakan cerita hantu
di sekitar api unggun.”
“Begitu kurasa.” Dia tersenyum padaku. “Aku senang
kamu nggak apa-apa. Sebenarnya aku agak cemburu memi-
kirkan Lucas datang menolongmu. Aku benar-benar senang
dia melakukan hal bodoh tadi dan pergi terlalu jauh. Artinya
dia tidaklah sempurna.”
Aku menyentuh lengannya. “Nggak perlu cemburu.”
“Mungkin kita akan mengganti kencannya besok malam.”
“Mungkin.”
Dia membungkukkan badan seperti hendak menciumku.
Lalu berhenti. Mungkin karena dia merasakan hal yang sama
denganku. Bahkan tanpa berbalik pun, aku tahu Lucas tengah
mengawasi.
Aku melihat kebulatan tekad di mata Mason, dan aku
tahu dia akan menciumku. Dia ingin melakukannya untuk
membalas dendam pada Lucas atas alasan tertentu. Tapi aku
tak mau terlibat di dalamnya. Sebelum dia kembali memper-
hatikanku, aku berucap, “Selamat malam”—dan melangkah
pergi.
Perkemahan sedang dipenuhi ketegangan.
Aku hampir sampai ke tenda ketika Lucas berkata, “Hei,
Kayla, bisakah kau bergabung dengan kami sebentar?”
Kata-katanya membentuk pertanyaan; tapi nada suaranya
tidak. Itu perintah. Secara fisik dan mental aku sangat lelah.
Tapi aku mengesampingkannya, dan berjalan menuju tempat

109
dia dan sherpa lainnya berkumpul. Aku penasaran dengan
ekspresi mereka yang penuh rahasia. Aku merasa, apa pun
yang sedang mereka bicarakan, mereka tidak mau kelompok
Dr. Keane sampai tahu.
“Bagaimana keadaanmu?” tanya Lucas. Suaranya menyi-
ratkan kekhawatiran. Aku mengerjap berusaha menahan air
mata yang akan menunjukkan kelemahanku. Aku berusaha
untuk membuktikan diri, tidak hanya kepada Lucas tapi
juga pada pemandu lainnya. Lindsey tersenyum menenteram-
kan.
“Aku nggak apa-apa. Aku berhutang nyawa pada serigala
itu. Kau sudah mendengarnya, kan? Dengan beruang itu?”
“Ya, Rafe memberitahuku. Maaf, aku nggak ada di sana
untuk lebih membantu.”
“Aku sama sekali nggak mengira kau akan panik dan terus
berlari tanpa menengok ke belakang.” Bahkan ketika
mengucapkan kata-kata itu, aku sadar, seharusnya aku tidak
mengatakannya di depan semua sherpa, aku tahu yang
kukatakan itu benar. Lucas tidak panik. Tidak pernah. Dia
tidak melakukan kesalahan konyol.
“Airnya bergerak sangat cepat jadi kupikir kau terseret jauh
ke hilir. Sama sekali tak terpikir untuk memperlambat lariku
dan memeriksa dulu.”
Aku mengangguk, walaupun kata-katanya itu tidak
mendekati kebenaran.
“Aku akan memberikan steak pada serigala itu kalau bisa,”
kataku.

110
“Aku yakin dia senang sekali. Sebenarnya, aku memang-
gilmu kemari karena kami ingin tahu apakah kau melihat
sesuatu—menyadari sesuatu yang aneh di pinggir sungai
sebelum kamu mulai menyeberang.”
Sambil memandangi wajah-wajah serius para sherpa di
sekelilingku, aku menggeleng. “Aku hanya punya waktu
beberapa detik untuk menoleh sebelum terbawa arus, tapi
yang terlihat hanyalah bayangan. Kenapa seseorang berusaha
menyabotase ekspedisi ini? Sama sekali nggak masuk akal.”
“Kami nggak yakin ini adalah ekspedisi,” kata Rafe. “Kami
menduga mungkin seseorang mendendam kepada para
sherpa, kepada kita.”
“Itu sama sekali nggak benar,” kata Lucas. “Tepatnya
mendendam padaku.”
“Kenapa seseorang harus mendendam padamu?” tanyaku.
“Bukannya kau itu Tuan Persahabatan.”
Senyumnya memperlihatkan sederet gigi putihnya.
“Lucu.”
Ya, pikirku, kau memang Tuan Persahabatan kalau kau
tersenyum begitu.
“Jadi—serius, nih. Siapa yang mendendam?” tanyaku.
“Devlin. Dia adalah seorang sherpa di sini musim panas
lalu. Dia melakukan sesuatu yang seharusnya tak dilaku-
kannya, mencuri kesempatan, dan membawa para peserta
kemah dalam bahaya,” jelas Brittany.
“Lucas menghajarnya,” kata Connor. Suaranya kedengaran
sangat kagum, tapi herannya dia tidak meninju Lucas.

111
“Setelah itu, Devlin pergi.” Nampaknya Rafe ingin menam-
bahi ceritanya.
“Tapi bukan berarti dia tak kembali lagi atau tidak
keluyuran di sekitar sini,” Lindsey mengingatkan.
Spontan semuanya memandang berkeliling. Kayaknya
aneh juga, mereka mencemaskan seorang sherpa tak
bertanggung jawab pada musim panas yang lalu. Kenapa
sekarang dia berada di sini? Aku ini anak baru. Seharusnya
aku yang gelisah. Bukannya mereka. Ini membuat perasaanku
nggak enak.
“Kita akan tahu kalau dia berada di sekitar sini,” kata
Connor.
“Tidak kalau dia berada cukup jauh,” jawab Lindsey.
“Lindsey benar,” kata Lucas.
“Bukannya bermaksud menambah-nambahi ketakutan
yang bergolak di sini, tapi aku selalu merasa bahwa aku sedang
diawasi,” kataku pada mereka.
“Benar,” bisik Lindsey. “Pada malam pertama, dia benar-
benar ketakutan—”
“Bukan ketakutan. Aku hanya merasa seseorang sedang
mengawasiku. Semalam juga.”
“Ada apa semalam?” tanya Lucas.
“Waktu kita sedang minum bir, aku merasa seseorang
sedang mengawasi. Maksudku, setelah itu aku melihat seekor
serigala—”
“Apa warnanya?”

112
“Mason baru saja menanyakan pertanyaan yang sama
tentang serigala yang menyerang beruang itu. Apakah ada yang
nggak beres dengan serigala di kebun raya ini yang perlu
kuketahui? Katamu mereka tidak menyerang manusia.”
“Mereka memang tidak menyerang manusia, tapi kami
mendapat beberapa laporan dan salah satunya memerintahkan
untuk berjaga-jaga. Jadi apa warna serigala yang kaulihat?”
“Semalam itu, sulit untuk mengatakannya. Kalau harus
menebak-nebak, aku akan bilang hitam, tapi itu bisa saja
hanya bayangan kegelapan. Masalahnya adalah, Mason
bersamaku semalam ketika melihat serigala itu. Dia bilang,
dia melihat serigala yang sama—atau setidaknya menurutnya
itu serigala yang sama—yang berkeliaran pada malam pesta
ulang tahunku.”
“Mason ada di dalam hutan selama pesta itu?” tanya
Lindsey. “Juga serigala itu?”
“Mason bilang dia nggak bisa tidur. Tapi kurasa bukan
dia yang sedang mengawasiku. Kurasa serigala itulah yang
melakukannya, karena aku merasakan kengerian yang sama
semalam.” Aku tertawa kecil. “Tentu saja, serigala nggak bisa
memotong tali, jadi aku nggak tahu apa artinya ini semua.”
Lucas saling berpandangan aneh dengan Rafe.
“Apa?” tanyaku.
“Devlin punya serigala piaraan,” kata Lucas. “Kalau serigala
itu berkeliaran di sekitar sini, kemungkinan besar Devlin juga.
Semuanya harus siaga. Kita akan mulai bergiliran jaga. Rafe
dan Brittany, kalian yang pertama.”

113
Beberapa menit kemudian, rasanya menyenangkan sekali
bisa masuk ke dalam kantong tidurku. Aku babak belur dan
memar-memar, tapi untungnya tidak ada luka robek atau
tergores. Aku benar-benar beruntung.
Setelah menyadari hal itu, pikiranku beralih pada serigala
tadi. Aku ingin tahu apakah dia berada di suatu tempat,
sedang merawat lukanya. Apakah ada serigala betina yang
menunggunya di suatu tempat? Bukankah serigala hidup
berpasangan? Apakah mereka lebih setia daripada manusia?
“Kayla?” bisik Lindsey.
Aku berguling tanpa berpikir, mengerang karena otot dan
memarku terasa sakit. Musim panas yang lalu kami sudah
berbagi tenda dan mengobrol sampai larut malam. Aku
menyukai Brittany, tapi aku tidak akrab dengannya seperti
aku dengan Lindsey, dan aku merasa Lindsey tidak terlalu
nyaman membicarakan sesuatu kalau ada Brittany di tenda.
“Ya?”
“Bagaimana pendapatmu tentang Rafe?”
Dari semua hal yang kupikir akan ditanyakan olehnya,
setelah kejadian hari ini, pertanyaan itu sama sekali tak
terlintas dalam benakku. “Kurasa dia baik. Kenapa?”
“Entahlah. Dia selalu ada kapan saja. Aku tumbuh besar
bersamanya. Hanya saja dia kelihatan—berbeda. Lebih sering
pegang kendali daripada sebelumnya. Maksudku, aku sering
memikirkan dia—dan itu aneh.”
“Maksudmu kau suka sama dia?”
“Ya, kurasa begitu.”

114
“Terus, gimana dengan Connor?”
“Aku tahu. Aku nggak mau menyakitinya. Sungguh, tapi
aku hanya nggak tahu, apakah dia orang yang tepat untukku.”
“Apakah kau harus memutuskannya musim panas ini?”
“Ini semacam tradisi dalam keluarga kami, kita harus
memutuskan ketika berumur tujuh belas tahun, siapa yang
seharusnya bersama kita. Ulang tahunku sebentar lagi.”
“Wah, itu abad pertengahan … banget.”
Tawanya tertahan. “Ya, aku tahu, tadinya aku berharap
Lucas memasangkan aku—bukannya Brittany—dengan Rafe
untuk bertugas jaga malam ini. Sama sekali nggak menye-
nangkan kalau harus berpasangan dengan Connor. Belakangan
ini kami jarang bersama lagi.”
Aku mengernyitkan alis. “Mungkin dia akan memasang-
kan aku dengan Connor dalam giliran berikutnya.”
“Ya, benar. Emangnya kamu nggak lihat cara Lucas me-
mandangmu? Jelas-jelas kau akan bergiliran jaga bareng dia.”
Tiba-tiba kantong tidurku terasa terlalu panas. Aku
mengeluarkan sebelah kakiku dan berputar menyamping,
setengah badan di dalam dan setengahnya lagi di luar kantong
tidur. “Aku tidak tahu apakah itu berarti sesuatu. Maksudku,
kadang-kadang aku mendapat kesan bahwa dia menganggap
aku banyak membuat masalah. Di samping itu, dia memang
keren. Mungkin dia sudah punya pacar.”
“Aku nggak pernah melihatnya bersama seseorang lebih
dari dua kali. Dia belum pernah serius dengan perempuan.
Setidaknya, itu yang aku tahu.”

115
“Aku bahkan nggak yakin kalau dia menyukaiku. Serius,
dia selalu menyalak padaku.”
Dia tertawa pelan. “Secara harfiah?”
“Apa? Bukan. Dia itu pemurung, tapi lalu kupikir mung-
kin dia punya banyak tanggung jawab.”
“Tidak hanya itu, aku yakin dia berusaha untuk
memenuhi harapan semua orang. Keluarganya cukup
berkuasa di daerah ini.”
“Aku nggak tahu soal itu.”
“Oh, ya. Keluarga Wilde punya cukup banyak kekuasaan.”
“Apakah mereka sudah lama tinggal di sini?”
“Sudah pasti. Turun-temurun. Mereka sudah ada di sini,
kira-kira sejak jaman perang saudara atau semacam itulah.”
“Aku ingin tahu, apakah mereka di sini ketika orangtuaku
tewas terbunuh. Terapisku bilang aku harus menghadapi masa
laluku, tapi itu agak sulit ketika aku tidak bisa mengingat
dengan jelas tentang peristiwa itu dan aku tak kenal siapa
pun yang ada di sana.”
“Itu pasti sulit. Melihat kematian orangtuamu. Aku
bahkan tak mampu membayangkannya….”
“Aku tidak benar-benar melihat mereka meninggal. Ibu
mendorongku ke dalam”—sebuah gambaran muncul di
benakku dan bersama itu terasa ada bunyi, lalu bau— “ke
dalam gua kecil atau semacamnya. Ada suara geraman.”
Apakah itu serigala? Apakah pemburu-pemburu itu menem-
baki mereka dan mengenai orangtuaku? Apakah ibuku
berusaha melindungiku?

116
“Apakah kau tahu di mana tepatnya kejadian itu di kebun
raya ini?”
Aku menggeleng. “Nggak, aku tidak bertanya pada siapa
pun tahun lalu. Aku tidak merasa aku benar-benar ingin
menghadapinya. Berada di sini saja sudah cukup. Tapi tahun
ini … aku tak bisa menjelaskannya, Lindsey, tapi aku merasa
berbeda. Aku merasa seharusnya berada di sini. Bahwa aku
berada di ambang menemukan sesuatu.”
“Seperti apa?”
“Aku nggak yakin. Tapi serigala hari ini … aku tidak takut
padanya. Rasanya seperti aku mengenalnya. Aneh, ya?”
“Apakah ada serigala di sana ketika orangtuamu terbunuh?”
“Kurasa tidak. Kupikir pemburu-pemburu itu yang gila.
Namun dalam sekelumit ingatanku, memang ada serigala,
tapi mereka tidak buas.”
“Mungkin kau perlu rileks dengan pikiran itu. Biarkan
pikiran itu menuntunmu.”
“Mungkin.” Aku menghela napas dalam. “Aku terlalu lelah
untuk memikirkannya dengan jelas malam ini. Kurasa aku
sudah akan roboh oleh pacuan adrenalin.”
Dia mengulurkan tangan dan menggenggam tanganku.
“Aku senang kamu nggak apa-apa.”
“Aku juga.” Aku tersenyum padanya. “Malam.”
Aku berguling kembali dan berusaha tidur, tapi aku memi-
kirkan serigala itu lagi. Kenapa dia kelihatan begitu tak asing?
Apakah orangtua kandungku dan aku dulu itu menemukan
sarang serigala? Mungkin beberapa anak serigala? Apakah

117
orangtuaku berusaha melindungi mereka dari para pemburu?
Ingin rasanya aku bisa mengingat lebih banyak tentang hari
itu. Seberapa panjangkah umur serigala itu? Kenapa aku
merasakan adanya hubungan dengan yang satu ini?
Lalu aku mendengar suara lolongan yang kesepian, dan
entah bagaimana aku tahu, tahu, itu adalah dia yang memang-
gilku. Aku merasakan debar keras jauh di lubuk hatiku. Aku
ingin duduk, mendongakkan kepala, dan balas melolong.
Aku ingin menjawab panggilannya. Reaksi anehku pada
lolongannya sangat menakutkan. Seakan-akan dia memanggil
keluar bagian utama dari diriku yang bahkan belum kusadari
keberadaannya.
Hadapi ketakutanmu, begitu yang pernah dikatakan Dr.
Brandon.
Itu sulit dilakukan ketika ketakutanmu terus-terusan
berubah. Sebenarnya, semuanya berpusat pada masa laluku dan
apa yang telah terjadi pada orangtuaku. Ketakutan-ketakutan
ini terbawa terus dalam mimpi-mimpi burukku. Namun akhir-
akhir ini ketakutanku lebih pada masa depanku, dengan apa
yang tak diketahui, dengan perasaan aneh yang bergejolak jauh
di lubuk diriku. Kadang aku hanya merasa seolah aku sedang
melalui perubahan yang tak bisa kupahami. Dan aku tak tahu
harus membicarakannya dengan siapa, karena aku tidak bisa
menunjukkan dengan tepat apa yang sedang terjadi.
Tapi satu hal yang kutahu pasti: aku tidak takut pada
serigala itu. Aku keluar dari kantong tidurku dan memakai
sepatu botku. Lindsey tidak bergerak. Aku menyambar

118
perlengkapan P3K-ku dan senter lalu mengendap keluar.
Brittany dan Rafe sedang berdiri di samping perkemahan yang
agak jauh, sedang mengobrol, tidak melihat. Dan kalaupun
melihatku, mereka pasti lebih mewaspadai bahaya yang
mungkin mengancam perkemahan. Jelas sekali aku bukan
ancaman, dan kami tidak dilarang untuk pergi.
Aku ragu sesaat dan berpikir untuk mengajak Lucas, tapi
aku tidak berencana berjalan terlalu jauh. Kurasa aku tak perlu
melakukannya. Aku bergegas memutar ke samping tenda dan
mulai berjalan menuju semak-semak, memakai senter untuk
memanduku sampai ke titik yang cukup jauh dari perke-
mahan dan suaraku tidak akan terdengar, namun masih cukup
dekat dan teriakanku bisa terdengar. Aku mematikan senter
dan menunggu. Dengan bodohnya aku berpikir dan berharap
serigala itu akan datang.
Bulan sabit bersinar menerangiku. Cahayanya cukup terang
untuk melihat sekitar. Di kota, aku tak pernah menyadari
kalau bulan bisa seterang ini—atau mungkin ini hanya karena
mataku semakin terbiasa dalam kegelapan—tapi penglihatan
malamku entah bagaimana menjadi semakin tajam.
Tiba-tiba aku mendengar suara langkah menapak pelan.
Sepertinya telingaku juga lebih awas. Aku melirik ke samping
dan dia ada di sana.
Aku berlutut pada sebelah kaki, sayangnya aku tak mem-
bawa sesuatu untuk dimakannya. Cahaya bulan menyinari
bulunya yang beraneka warna itu, seolah cahaya itulah yang
memberi warna. “Hei, sobat.”

119
Suaraku tersendat oleh rasa maluku sendiri. Aku selalu
bicara dengan Fargo, anjing Lhasaku di rumah. Tapi ini
berbeda. Ini seekor binatang liar, walau dia kelihatannya tidak
mengancam. Aku tak mau membuat gerakan tiba-tiba, tak
mau membuatnya takut. “Aku ingin berterima kasih pada-
mu.”
Herannya, dia pelan-pelan mendekat, cukup dekat untuk
kuelus. Aku ragu sejenak, lalu perlahan membenamkan
tanganku ke dalam bulunya yang tebal. Bagian atas bulunya
terasa kaku, tapi bagian dalamnya lembut dan menyenangkan.
Sambil berusaha menenangkan dan memantapkan suaraku,
aku berkata, “Jangan takut, aku tahu kau terluka. Aku mau
lihat separah apa lukamu.”
Sebenarnya aku tak terlalu yakin apa yang bisa kulakukan
untuk menolongnya. Mencoba untuk membersihkannya,
atau mengoleskan antiseptik pada lukanya? Kalau kuperban,
aku khawatir dia akan lebih terlihat oleh pemangsanya. Aku
tahu serigala punya warna berbeda-beda sehingga mereka bisa
bersembunyi di lingkungannya dengan lebih mudah. Aku
berbisik pelan ketika meraba bagian kaki belakangnya—di
tempat yang terluka. Belum pernah aku sedekat ini dengan
binatang liar. Rasanya menggetarkan dan melemahkan. Aku
tahu bisa saja dia tiba-tiba menyerangku, dan aku tidak akan
punya kesempatan untuk menyelamatkan diri, tapi secara
naluriah aku tahu dia tidak akan menyakitiku. Aku tidak
tahu kalau seekor binatang bisa setenang ini. Kuelus bulunya,
mencari bulu kusut atau bekas darah yang mengering. Namun

120
terasa sama dengan bulu di bahunya. Kuambil senter dan
mengarahkan cahayanya ke punggungnya.
Tak ada darah. Tak ada bekas luka. Nggak masuk akal.
Berani sumpah, dia terluka. Bisa saja dia pergi ke sungai
atau kolam dan darahnya telah terbasuh, tapi seharusnya
ada bekas luka menganga di tempat beruang itu men-
cakarnya. Dengan lembut aku menyibakkan bulunya ke
samping, tapi aku tak menemukan lukanya. Dengan
bingung, aku duduk dengan bertumpu pada tumitku.
“Mungkin itu darah beruang.”
Bukan berarti aku telah pulih sepenuhnya dari siksaan di
sungai—bisa saja aku salah memahami apa yang sebenarnya
terjadi.
Kupandangi serigala itu. Kepalanya sampai berputar ketika
dia mengawasiku. “Kau cantik sekali. Aku senang kamu nggak
apa-apa, tapi kamu nggak boleh berada di sini. Kamu bisa
terluka.” Terutama kalau Dr. Keane atau Mason melihatnya.
“Kembalilah pada kawananmu.”
Tiba-tiba dia menyentakkan kepalanya ke depan.
Menggeram pelan.
“Ada apa?” lalu aku menghakimi diriku sendiri. Apakah
aku benar-benar mengira dia bisa memahami apa yang ku-
tanyakan? Bahwa dia bisa menjawabku?
Dia menoleh ke arahku, sebelum melesat pergi seperti
peluru yang ditembakkan. Aku khawatir jangan-jangan aku
hanya tidak bisa menemukan lukanya, tapi sekarang aku tahu
pasti bahwa dia sama sekali tak terluka.

121
Aku duduk sejenak, memandang ke kegelapan tempat dia
menghilang. Aku pernah melihat acara TV khusus tentang
orang yang bisa bicara dengan binatang liar, tapi ini adalah
pengalaman pertamaku. Sebagian diriku berpikir seharusnya
ini terasa janggal, tapi pada saat yang sama, terasa alamiah—
seolah serigala itu dan aku entah bagaimana telah terhubung.
Aneh. Sejak aku kembali ke hutan ini, aku punya perasaan
aneh bahwa aku memang seharusnya berada di sini. Aku
merasakan keinginan untuk melindungi, terutama pada
serigala-serigala itu. Ini melebihi kenyataan bahwa mereka
itu indah. Ini seakan karena mereka memiliki sifat kemanusia-
an: mereka pintar, monogami, dan berpusat pada keluarga.
Mungkin karena perasaan kekeluargaan inilah yang men-
dekatkanku pada serigala itu. Karena telah kehilangan
orangtua, keluarga menjadi sangat penting bagiku.
“Kayla?”
Dikagetkan oleh suara Lucas yang tak terduga, aku
berbalik. “Hei.”
“Lagi ngapain di sini?”
Pertemuanku dengan serigala itu terasa sangat pribadi. Aku
tak ingin menceritakannya pada siapa-siapa. Selain itu, kupikir
bisa saja dia akan mengiraku agak gila.
“Seperti malam-malam sebelumnya, nggak bisa tidur.”
Aku bangkit berdiri.
“Aku pernah merasakannya—merasa begitu lelah, dan
berpikir akan segera terlelap, tapi nyatanya malah nggak bisa
tidur.”

122
“Agak menjengkelkan.” Walaupun seandainya aku kembali
ke dalam kantong tidurku, aku akan segera terlelap. Ketika
melihat perlengkapan P3K-ku, dia tidak berkata apa-apa.
Mungkin saja, dia sudah melihatku dengan serigala itu dan
hanya berusaha baik, pura-pura memercayai kebohonganku.
“Apakah kau pernah tidur?” tanyaku.
“Tidak banyak. Kebiasaan buruk yang mulai kulakukan
tahun ini di perguruan tinggi—menghabiskan terlalu banyak
waktu untuk belajar, kalau aku tidak sedang berpesta.”
“Jangan salah paham, ya, tapi aku nggak bisa membayang-
kanmu berpesta.”
“Pada semester pertamaku jauh dari rumah, aku menjadi
agak liar. Kami semua begitu. Aku, Connor, dan Rafe. Di
kampus kami dijuluki manusia liar. Tapi menjelang akhir
tahun, kami mulai tenang.” Dia memandang berkeliling.
“Kau bilang melihat serigala hitam semalam. Gimana dengan
serigala sore tadi? Apakah hitam juga?
“Tidak.” Kalau tadi aku ragu untuk mengatakan warna
sebenarnya kepada Mason, aku tahu Lucas seutuhnya ingin
melindungi satwa liar. “Bulunya berwarna-warni—hampir
seperti rambutmu. Hitam, cokelat, putih.”
“Kebanyakan serigala memiliki warna bulu berbeda-beda,
yang menyebabkan serigala hitam tampak menonjol.
Mungkin sebaiknya nggak keluar sendirian sampai kita
melihat serigala itu dan yakin kalau dia tidak berbahaya.”
“Kau mengatakan itu seolah sudah mengenal serigala-
serigala itu.”

123
“Bertahun-tahun, kami telah sering melihat serigala. Aku
tidak berpikir kami mengenal mereka semua, tapi beberapa
lebih bersahabat dari yang lainnya.”
Aku mengangguk. Serigala yang mulai kupikir sebagai
milikku itu jelas-jelas tidak akan pernah membahayakan aku.
“Kurasa sudah waktunya tidur,” kataku.
Tanpa berucap sepatah kata pun, Lucas mengantarku
kembali ke tenda. Dia menunggu sampai aku masuk.
Benar saja. Tak butuh waktu lama, aku pun segera terlelap.
Aku bermimpi tentang candlelit dinner yang dijanjikan Ma-
son kepadaku. Hanya saja dalam mimpiku itu, bukan Ma-
son yang bersamaku. Tapi Lucas.

124
SEMBILAN

Lindsey ternyata benar. Pasangan jaga malamku adalah


Lucas.
“Kalau kau merasa nggak sanggup, aku bisa berjaga
sendirian,” katanya ketika aku bergabung dengannya di
tengah-tengah perkemahan setelah Lindsey membangun-
kanku begitu menyelesaikan tugas jaganya.
“Nggak, kok, aku nggak apa-apa.”
Dia menatapku tajam.
“Ya, ya, keadaanku aku nggak begitu baik, tapi aku masih
mampu berjaga tanpa memaksakan diri.”
Dia sedikit menarik bibirnya menyerupai senyuman. “Kau
mau sedikit kafein sebelum kita mulai? Aku punya kopi.”
“Boleh juga.”

125
Kami duduk di atas batang kayu dan dia mengulurkan
secangkir kopi padaku. Malam ini dingin, dan kehangatan
api unggun terasa luar biasa. Lucas mencondongkan badan
ke depan, menumpukan siku di atas pahanya, kedua telapak
tangannya melingkari cangkirnya, dan matanya tertuju ke
kopinya. Dia berhadapan denganku. Dia benar-benar
tampan.
“Aku membuatmu takut, ya?” tanyanya pelan.
Kalau saja aku meminum kopiku, pasti aku akan me-
nyemburkannya atau tersedak.
“Kau agak terlalu serius,” aku mengaku.
Dia tertawa muram. “Ya. Aku menganggap serius jang-
kauan perlindungan hutan belantara ini, dan ketika orang-
orang seperti profesor dan kelompoknya datang kemari, aku
tidak yakin mereka menghargainya seperti seharusnya.” Dia
melirik ke arahku. “Aku tumbuh dewasa di sini. Aku
mencintai hutan ini. Tidakkah kau merasakan hal yang sama
tentang Dallas?”
“Aku tidak pernah benar-benar merasa itu tempatku,” aku
mengaku. “Aku selalu merasa lebih betah di hutan.”
“Jadi kita punya kesamaan.”
Aneh rasanya memikirkan kami mungkin punya ikatan.
“Lalu, jurusan apa yang kauambil?”
“Ilmu politik.”
Aku menaikkan sebelah alisku. “Apa? Kau akan masuk ke
bidang politik?”

126
Dia tersenyum masam. “Berusaha memperbaiki kemam-
puan komunikasiku.”
Aku mengakui bahwa dia bukanlah orang yang enak
diajak ngobrol, tapi begitu mulai bicara, aku sama sekali tidak
merasa dia memiliki masalah komunikasi. Pada kenyataannya,
aku mendapati diriku sangat terpesona ketika berbicara
dengannya. Sangat kentara ketika dia memedulikan sesuatu,
dia akan sangat memedulikannya.
“Lindsey bilang ayahmu orang penting di tengah masya-
rakat sini.”
“Ya, dulu ayahku walikota Tarrant dan juga dewan pengu-
rus sekolah. Jadi kurasa ketertarikanku pada politik muncul
secara alamiah. Ayahku punya pengharapan yang tinggi.”
“Apakah ayahmu tahu ketika kau menghajar Devlin?”
“Ya. Dia tidak senang.” Dia menggeleng. “Orangtua.
Terkadang, apa pun yang kita lakukan, kita tidak bisa menye-
nangkan mereka.”
“Ceritakan padaku soal itu.”
Dia duduk terdiam beberapa saat, kami berdua menghirup
kopi kami.
“Warna rambutmu mengingatkanku pada seekor rubah
yang pernah kulihat,” katanya pelan.
“Terima kasih. Kurasa itu pujian, kan?”
Dia tertawa. “Ya, begitulah kira-kira.”
“Aku belum pernah melihat rubah di alam bebas.”
“Mungkin bisa kutunjukkan padamu sebelum musim
panas berlalu.”

127
“Senang sekali kalau begitu.” Aku sungguh berpikir begitu.
Lebih baik daripada candlelit dinner yang sajian utamanya
adalah sekaleng kacang. Bahkan dengan membayangkannya
saja, aku sudah merasa bersalah telah menganggap enteng
usaha Mason untuk memikat hatiku. Lucunya, kalau diberi
pilihan antara bersusah-payah menjelajahi hutan untuk
mencari seekor rubah atau candlelit dinner di restoran terbaik—
aku akan lebih memilih untuk mencari rubah. Diam-diam
aku berpikir, “Lucas mendapatkanku, dialah orangnya.” Aku
menelan ludah dan berusaha mengalihkan pembicaraan,
karena aku merasa jika menyangkut hubungan, Lucas tidak
akan main-main. Dia akan serius dengan cinta seperti dia serius
dalam hal lainnya. Aku masih punya terlalu banyak masalah
untuk serius dengan seseorang. Mungkin kalau aku punya
kesempatan untuk melepaskan beberapa masalahku ….
“Jadi menurutmu Devlin yang memotong talinya?”
tanyaku.
Kalaupun pengalihan topik pembicaraan yang kulakukan
ini mengejutkannya, dia tidak menunjukkannya.
“Hanya itu satu-satunya yang masuk akal,” katanya.
“Tapi coba pikirkan, itu sama sekali nggak masuk akal
bagiku. Oke. Jadi dia dipecat. Lalu pergi.”
“Dia tidak akan pergi sebelum impas. Karena aku pergi
ke perguruan tinggi, dia harus menunggu. Tempat ini, hutan
ini—di sini dia akan balas dendam.”
“Balas dendam? Hanya karena kau menghajarnya?
Kedengarannya agak ekstrem.”

128
Dia tertawa keras. “Ekstrem? Begitulah Devlin. Dalam
beberapa hal, kurasa dia ada di batas kegilaan.”
“Tapi apa untungnya dengan memotong tali kecuali
menakuti semua orang?”
“Bagi dia, itu motif yang cukup. Menciptakan kekacauan.”
“Apakah menurutmu Dr. Keane dan mahasiswa-
mahasiswanya akan aman ketika kita tinggalkan?”
“Ya. Devlin ingin membuatku tak dipercaya lagi. Dia tidak
akan menyakiti mereka.”
“Kayaknya kau kenal betul dia.”
Dia mengarahkan pandangan peraknya kepadaku.
“Harusnya begitu. Dia kakakku.”
Dadaku serasa ditonjok. Kekagetan pasti tersirat di wajah-
ku, karena dia berdiri, menuang kopinya ke api, lalu
melangkah pergi. Kukira dia akan menghilang ke hutan, tapi
dia berhenti di tempat tadi aku melihat Rafe dan Brittany
berjaga.
Jadi dia berkelahi dengan kakaknya dan membuat
kakaknya itu dipecat—menyerahkannya karena berkelakuan
tidak pantas. Aku menaruh cangkirku, berdiri, dan berjalan
menghampirinya. Aku menyentuh lengannya. “Pasti berat,
tak punya pilihan lain.”
Dia menggeleng cepat. “Dia seperti kecanduan Anakin
Skywalker dan berpihak kepada yang jahat atau semacam
itulah. Dia melakukan segala jenis kegilaan. Dia mengenal
hutan ini sama seperti aku. Dia bisa bersembunyi dan bertahan

129
hidup di sini tanpa diketahui siapa pun dia berada di sini.”
“Perilaku buruknya bukan tanggung jawabmu.” Aku
terdengar seperti Dr. Phil.
“Aku melawannya. Mempermalukan dia.” Dia menyentuh
pipiku. Jari-jarinya terasa hangat menyentuh kulitku. Mata-
nya menjadi gelap berwarna timah. “Aku benar-benar ingin
menunjukkan rubah itu padamu, tapi tugasku saat ini adalah
memandu profesor sampai ke tujuannya, lalu aku harus
menemukan Devlin dan berurusan dengannya. Aku harus
memusatkan perhatian ke sana.” Dia menurunkan tangannya
ke samping. Kelihatan dia tidak tenang, seolah dia masih ingin
mengatakan lebih banyak lagi, hal yang mungkin terlalu cepat
untuk dikatakan.
“Mungkin sebaiknya kau berjaga di sebelah sana,” katanya
sambil menunjuk sudut yang berlawanan di perkemahan.
“Ya, tentu. Ide yang bagus.”
Kekecewaan atas penolakannya membuatku terpukul.
Ketika berjalan melintasi perkemahan, aku memutuskan apa
pun yang kurasakan terhadap Lucas akan segera berlalu. Aku
memiliki perhatian Mason. Aku selalu gadis dengan satu
cowok.
Masonlah orangnya. Mason aman. Lucas mempunyai iblis
untuk dilawan. Mungkin setelah berdamai dengan kakaknya,
dia akan punya waktu untukku.
Atau mungkin ketertarikan aneh yang kurasakan kepada-
nya akan terputus, seperti tali di sungai itu. Mungkin juga
akan semakin erat.

130
Ya, benar, Kayla Madison. Dr. Brandon salah. Kau tak
perlu menghadapi ketakutanmu. Kau hanya perlu meng-
hadapi kenyataan.
Sejak kematian orangtuamu, kau sudah menutup rapat-
rapat perasaanmu. Lucas membuatmu takut, karena bersama-
nya kau memiliki perasaan lagi.
Dan ketika kau bisa merasa, kau bisa terluka.
Aku nggak mau terluka lagi. Mason tidak akan menya-
kitiku.

131
SEPULUH

Hari berikutnya, karena aku masih memar dan luka, kami


berjalan dengan langkah pelan dan santai. Aku bisa merasakan
ketegangan semua sherpa. Kami sudah memutuskan tidak
mengungkit kecurigaan kami tentang Devlin kepada Dr.
Keane dan kelompoknya. Mereka hanya tahu kalau kami
curiga talinya dipotong. Lucas meyakinkan mereka bahwa
begitu kami pergi, mereka akan aman.
Dalam perhentian pertama kami untuk istirahat, dengan
hati-hati kuturunkan ranselku, menaruhnya di atas tanah, lalu
kududuki. Mason bergabung denganku, mengulurkan
segenggam bunga liar. Tidak banyak bunga liar di tempat
ini, jadinya dia harus meninggalkan jalan setapak setiap kali
melihatnya.

132
“Kurasa ini akan membuatmu merasa lebih baik,” katanya.
Aku mengambil buket bunga liar itu dan menciumnya.
“Thanks.”
“Jenisnya beda-beda, lho.”
“Ya, aku bisa melihatnya.”
“Beberapa nggak gampang terlihat, tapi aku mencarinya
dengan saksama.”
“Manis sekali.”
“Memetik bunga liar itu melanggar undang-undang kebun
raya,” kata Lucas tiba-tiba.
Seperti biasa, aku tidak mendengar dia mendekat, tapi
dia telah berdiri di hadapan kami.
“Kalau begitu, dendalah aku,” kata Mason. “Nggak ada
toko bunga di sini yang bisa kuhubungi.”
“Ini cuma sedikit, kok,” kataku. “Menurutku dia tidak
sampai merusak.”
Lucas menyipitkan matanya ke arah kami. Tanpa berkata-
kata lagi, dia berlalu.
“Cowok yang romantis,” kata Mason.
Sebenarnya Lucas itu romantis, hanya tidak dengan cara
yang umum. Dan dia benar. Bunga ini akan layu dan mati
waktu makan siang. Tapi, aku menghargai usaha Mason. Apa
yang tidak kuhargai adalah melihat Monique bergegas
menghampiri Lucas. Dia benar-benar cantik sekali. Ingin
rasanya aku menghapus bintik-bintik di wajahku.
“Jadi, bagaimana perasaanmu?” tanya Mason, mengalih-
kan perhatianku kembali padanya.

133
“Hanya sakit sedikit. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.”
“Kalau aku mengalami apa yang kaualami, mungkin aku
akan meminta perjalanan ini dihentikan.”
“Kemarin itu rasanya seperti arung jeram. Ada bagian
yang menyenangkan juga.” Kata-kataku itu mengecilkan
persoalan.
“Mungkin lebih baik kalau memakai perahu karet, bukan
begitu?”
Aku tertawa. “Ya.”
“Jadi, mungkin malam ini kita bisa candlelit dinner.”
Aku menggosok hidungku. “Kurasa Lucas menginginkan
semua orang berada di dekat perkemahan.”
“Dia bukan bos kita.”
“Dia bosku.”
“Kau harus mempertimbangkan untuk tetap tinggal ber-
sama kami, begitu kita sampai ke tempat tujuan. Kita bisa
bersenang-senang.”
“Aku tahu mereka akan meninggalkan seseorang—”
“Jadilah sukarelawan.”
“Mungkin.” Aku tidak tahu bagaimana Lucas menang-
gapinya, tapi ide itu sudah kupikirkan. Kalau aku tinggal,
mungkin aku akan punya kesempatan untuk menjelajahi
daerah ini, untuk menemukan tempat orangtuaku mening-
gal. Masalahnya adalah, ketika aku berumur lima tahun hutan
ini nampak sama saja di mataku, dan kalaupun tidak, hutan
ini pastilah sudah berubah dalam dua belas tahun sejak
kutinggalkan.

134
Selama dua hari berikutnya kami membuat kemajuan yang
luar biasa. Lucas selalu memimpin. Kami menuju ke tempat
yang belum pernah dijamah orang. Dia punya sebilah parang
tajam yang dipakai untuk membuka jalan. Dia memaksa kami
sampai batas kemampuan kami, dan ketika kami berhasil
melewatinya, dia memaksa kami lebih lagi. Setiap malam
kami roboh begitu kemah telah didirikan. Tak ada main-
main, tak ada kesenangan.
Dr. Keane kelihatannya puas dengan kemajuan ini. Begitu
dia sampai di tempat yang diinginkannya, kami akan
meninggalkan dia dengan pekerjaannya, dan kembali pada
akhir minggu kedua untuk membantu mereka mengangkat
barang-barang mereka kembali.
Sejauh ini belum ada kejadian aneh. Kami masih harus
berjaga malam secara bergiliran. Lucas selalu menjadi
pasanganku. Kami tidak saling bicara. Kami berjaga di sisi
perkemahan yang berlawanan. Aku memperhatikannya
sampai dia menoleh dan melihatku—lalu aku mengalihkan
perhatian dan berusaha bersikap tak acuh, berharap dia tidak
menyadari betapa banyaknya waktu yang kuhabiskan untuk
mengkhayal tentang dia.
Pikiran tentangnya mengisi otakku sama seperti ingatan
akan serigala itu. Aku mendengar serigala itu melolong setiap
malam sebelum aku tertidur. Aku terus berharap dia akan
muncul ketika aku sedang dalam tugas jaga. Untuk beberapa
alasan, aku tidak berpikir Lucas akan terkejut dengan
kemunculannya di perkemahan. Karena lolongannya tidak

135
pernah terdengar jauh, aku yakin dia mengikuti kami.
Pengetahuan itu memberiku rasa aman yang tak bisa
kujelaskan.
Hari itu sore keempat sejak peristiwa di sungai, kami
menembus semak belukar mencapai tempat terbuka yang
indah. Tempat itu lebih luas daripada yang pernah kami capai
sebelumnya. Di depan kami terdapat sebuah sungai kecil,
airnya gemericik ketika mengalir. Tidak sederas sungai yang
kami seberangi waktu itu. Agak jauh dari situ, tanahnya
melandai, dan aku tahu kami berada di kaki gunung.
Lembahnya terhampar luas di hadapan kami. Suasananya
begitu damai.
“Bagaimana menurut Anda, Profesor?” tanya Lucas.
Aku menoleh dan melihat Dr. Keane mengangguk. “Ini
sangat bagus, bagus sekali malah.”
Ketika kami mendirikan kemah, timbul perasaan berhasil
karena tahu bahwa besok kami tidak perlu mengepaknya lagi.
Dr. Keane dan mahasiswanya akan berada di sini sekitar
sepuluh hari.
Para sherpa lelaki pergi berburu dengan gaya khas kami–
Tarzan–kamu–Jane. Mereka berharap dapat memerangkap
kelinci. Aku sedang mengumpulkan kayu bakar di dekat
semak pepohonan ketika Mason mendekat.
“Kau sudah memikirkan usulku?” tanyanya. “Aku benar-
benar ingin kau tinggal di sini bersama kami.”
Dia meraih tanganku dan kelihatan bingung ketika melihat
kedua tanganku penuh dengan ranting. Lalu dia menggeser

136
tangannya ke lengan bawahku dan menggenggamkan sikuku.
“Aku menyukaimu, Kayla. Sangat. Maksudku lebih dari itu.
Aku akan senang sekali kalau punya waktu untuk … yah,
untuk menjelajahi apa yang kurasakan. Menemukan bintang
jatuh mungkin.”
Seumur hidupku—atau setidaknya sejak orangtuaku
meninggal—aku menyukai apa saja yang aman. Aku sudah
mencari yang aman. Lucas tidak aman. Dia mengaduk-aduk
semua yang ada dalam diriku yang tidak pernah kurasakan
sebelumnya. Hal-hal yang menakutkan. Perasaan yang hebat
berkecamuk dalam diriku setiap kali dia ada di dekatku.
Kadang-kadang aku merasa orang lain di dalam diriku akan
merangkak keluar dari kulitku, dan aku akan menjadi orang
yang sama sekali berbeda jika aku menghabiskan terlalu
banyak waktu bersama Lucas.
Lucas adalah si serigala besar yang jahat, dan Mason adalah
si pembangun rumah yang tidak bisa dimasuki serigala. Ma-
son adalah selimut hangat pada malam musim dingin. Lucas
adalah … aku tak tahu dia itu apa. Tapi dia benar-benar mem-
buatku takut.
“Aku nggak tahu bagaimana mereka memutuskan siapa
yang akan tinggal,” kataku jujur.
“Jadilah sukarelawan, kau bisa tidur satu tenda bersama
Monique.”
Dia bukan pilihan pertamaku, tapi karena dia adalah satu-
satunya perempuan, dialah pilihan satu-satunya. Aku
membayangkan akan mendengarkan dia tak hentinya bicara

137
setiap malam menjelang tidur tentang betapa kerennya Lucas.
Kurasa itu akan membuatku gila, tapi di lain pihak aku bisa
membicarakan Mason. Selain itu, aku tidak bisa memikirkan
cara yang lebih baik untuk menghadapi masa laluku daripada
menghabiskan beberapa hari di sini, hanya dengan tinggal di
sini, daripada aku terus berjalan sampai terlalu lelah pada
malam hari untuk memikirkan sesuatu.
“Aku akan nanya Lucas.”
“Bagus. Aku akan senang sekali kalau kau tinggal.”
“Aku akan berusaha untuk tetap tinggal. Kita lihat saja
apa yang akan dikatakan Lucas nanti.”

“Aku nggak begitu yakin itu ide yang bagus.” Lucas melipat
tangan di dada sambil cemberut dengan gaya aku-adalah-sang-
pemimpin-jadi-kamu-jangan-macam-macam-denganku,
merusak garis sempurna di wajahnya.
“Kenapa?”
“Kamu anak baru.”
“Aku suka berkemah sepanjang hidupku. Memang, sih,
aku tak semengenal hutan ini sepertimu, tapi tetap saja ini
hutan seperti hutan lainnya. Tendanya sudah didirikan.
Mereka akan melakukan sedikit perjalanan pada siang hari
dan melihat-lihat sekitar. Aku tidak merasa ini masalah yang
besar. Selain itu, kau harus membebaskanku suatu saat.”
“Kenapa kamu ingin tinggal?” dia meminta alasan.
“Untuk mencari pengalaman. Untuk menghadapi masa
laluku—”

138
“Kenapa?”
“Karena Dr. Keane tertarik dengan semua teori alam
bebasnya, dan itu mungkin menyenangkan—”
“Kenapa?”
Aku menggertakkan gigi. Kenapa dia begitu sulit?
“Karena aku menyukai Mason, oke? Aku ingin meng-
habiskan waktu bersamanya, lebih mengenalnya. Aku merasa
tenang bersamanya.” Dan aku tidak selalu merasa tenang
bersamamu.
“Baik. Kamu boleh tinggal.”
Kata-katanya ringkas. Kasar. Penuh kemarahan. Entah
kenapa aku merasa kecewa ketika dia berbalik dan melangkah
pergi. Aku sudah mendapatkan apa yang kuinginkan. Punya
waktu lebih banyak bersama Mason. Punya waktu lebih
banyak yang segala sesuatunya aman.
Mengapa aku merasa seolah telah kehilangan sesuatu yang
lebih penting?

Malam itu waktu aku pergi tidur, untuk pertama kalinya,


aku menanti-nantikan giliran jaga malamku. Mason sedikit
terlalu berlebihan senangnya karena aku yang akan tinggal
bersama kelompoknya. Dia bahkan memberiku sebuah kaos
hijau Keane’s Kampers untuk dikenakan—sungguh
kekanakan. Dia terus-terusan nempel padaku seperti kertas
pada lem. Jelas sekali kalau dia sangat senang karena aku akan
tinggal. Seharusnya aku juga merasa senang.

139
Namun Lucas cemberut yang sama berlebihannya
dengan kebahagiaan Mason. Dia menjaga jarak. Dia dan
Rafe berbicara pelan dan lama di sisi lain perkemahan.
Suatu waktu, kelihatannya mereka sedang berdebat. Raut
wajah Lucas nampak garang, dan akhirnya dia melangkah
pergi.
“Astaga, kupikir dia mau memukulnya,” bisik Mason di
sampingku, dan aku sadar kalau ternyata aku bukan satu-
satunya yang memperhatikan drama satu babak itu.
Timbul kecurigaanku bahwa mereka tengah membicara-
kan aku dan keinginanku untuk tinggal. Tapi kenapa Rafe
peduli? Ada apa dengan Lucas? Kami tidak pacaran atau sema-
camnya.
Ketika Lindsey akhirnya kembali ke tenda dan mem-
bangunkan aku dengan suara lelah “giliranmu,” aku telah siap
keluar dari tenda. Aku ingin bicara pada Lucas, mencoba
untuk menjelaskan—
Apa?
Aku nggak yakin. Aku hanya tidak mau besok pagi dia
pergi dalam keadaan masih marah padaku. Tapi dia sendiri
yang bilang dia punya hal yang lebih penting untuk dikha-
watirkan daripada aku. Mason membuatku merasa seperti
akulah satu-satunya yang penting.
Cewek butuh itu.
Tapi ketika aku melangkah keluar dari tenda, bukan Lucas
yang sedang menungguku. Tapi Connor.
“Mana Lucas?” tanyaku.

140
“Tidur, kurasa. Aku akan berjaga di sebelah sana.” Dia
mulai melangkah pergi.
“Connor?”
Dia berhenti dan menatapku. Dia tidak tersenyum nakal
seperti biasanya. Aku berharap alasannya adalah karena hari
sudah larut, tapi aku tahu dia juga marah padaku.
“Aku nggak ngerti kenapa kalau aku yang tinggal akan
jadi masalah besar.”
Dia mendengus. “Aku tahu. Dan itulah alasannya kenapa
menjadi masalah besar.”
“Lalu kenapa tidak seorang pun yang menjelaskannya
padaku?” aku menatapnya tajam.
“Bukan wewenangku untuk menjelaskan.”
Alasan yang sangat tidak memuaskan. “Terserahlah. Hanya
sepuluh hari. Astaga. Kalian ini bersikap seolah aku sedang
mengkhianati kalian atau apa.”
“Kami hanya tidak berharap kamu yang akan tinggal. Itu
saja.”
Karena aku anak baru? Kalau Lucas memang keberatan,
dia bisa bersikukuh aku harus pergi. Sungguh mem-
bingungkan. Aku bersyukur karena akan punya beberapa hari
sendirian tanpa Lucas memenuhi pikiranku.
Dengan gaya khas laki-laki, Connor melangkah pergi
seolah semua pertanyaanku telah terjawab. Hanya saja, aku
masih punya pertanyaan lain. Tapi dia tidak akan mau
menjawabnya. Terpikir olehku untuk membangunkan Lucas,

141
tapi aku tak mau mengganggunya. Terutama ketika dia kurang
tidur seperti biasanya.
Dan kalaupun dia bisa tidur, seberapa resahnya dia karena
aku akan tinggal? Tidak terlalu.
Aku berjalan ke pinggiran dan ketika sampai di sungai,
aku berdiri dan memandangi cahaya bulan menari-nari di
atas air.
Saat itu barulah aku sadar malam ini aku tidak mendengar
lolongan serigala. Apakah kami telah berjalan melewati batas
daerah kekuasaannya. Apakah dia jauh tertinggal di belakang.
Pikiran itu membuatku sedih, hampir saja membuatku
berubah pikiran untuk ikut kembali besok, hanya agar bisa
lebih dekat dengannya.
Namun itu pikiran yang bodoh. Barangkali lolongannya
setiap malam menjelang aku tidur itu hanya kebetulan saja.
Aku akan bersenang-senang di sini bersama Mason.

Para sherpa pergi pagi-pagi buta. Ketika aku berdiri di pinggir


perkemahan dan mengawasi kepergian mereka, aku melihat
Lindsey satu-satunya yang menoleh ke belakang. Perasaan
ditinggalkan ini sangat konyol. Bukan berarti kami tidak akan
bertemu lagi.
Dibandingkan suasana pengkhianatan, pikiran ini bahkan
lebih bodoh.
Sebenarnya aku tidak terlalu yakin kenapa aku mengira
akan lebih menyenangkan kalau tinggal. Dr. Keane adalah
seorang profesor, dan bukan bagi non akademisi, tapi kalau

142
dia mengajar di kelasnya seperti ketika dia merencanakan
kegiatan di alam bebas, aku tidak akan pernah mau mengikuti
kelasnya. Aku membayangkan semua orang tertidur dalam
kuliahnya.
Selama dua hari, kami berada di dekat-dekat perkemahan
dan aku ragu untuk mengusulkan untuk pergi jalan-jalan.
Kami dekat dengan pegunungan. Ada jalan setapak yang
belum pernah dijelajahi, dan keterampilan untuk diuji.
Namun Dr. Keane secara teratur memeriksa peralatannya—
agak terlambat untuk itu, karena tidak ada toko perlengkapan
pendakian di dekat-dekat sini—membuat catatan di dalam
buku tulisnya, dan menerawang jauh ke depan.
Setelah makan siang pada hari ketiga, aku mencari Ma-
son dan berkata, “Kita perlu sedikit bersantai.”
Dia tersenyum. “Ya, ayahku sedikit memaksa—dan dia
sedikit tidak bisa berimajinasi. Apa yang kaupikirkan?”
“Menjelajahi pegunungan.”
“Yuk.”
Walaupun sekarang masih sangat siang dan kami tidak
akan pergi terlalu jauh, aku mengambil ranselku.
Mendaki gunung bersama Mason jauh berbeda dengan
mendaki bersama Lucas. Aku meyakinkan diriku begitu,
karena kami tidak punya tujuan pasti untuk dicapai, sebalik-
nya Lucas selalu punya tujuan. Namun Mason tidak
memimpin. Kami hanya berjalan berdampingan.
“Jadi, apakah kau sudah tahu mau melanjutkan ke uni-
versitas mana?” tanya Mason.

143
“Mungkin aku akan memulai dengan perguruan tinggi
terdekat. Tidak ada ujian-ujian apa pun yang diperlukan untuk
masuk ke rumah sendiri.” Aku tersenyum sedih. “Aku ini
payah dalam ujian.”
Dia nyengir. “Aku juga. Walaupun aku sudah belajar mati-
matian. Secepat mereka bilang keluarkan pensil nomor dua
atau buku biru—game over, man. Tak perlu dijelaskan, itu
tidak membuatku kurang berharga di mata ayahku yang
terhormat.”
Hari ini adalah pertama kalinya aku mendengar dia
mengatakan sesuatu yang sedikit meremehkan ayahnya. “Kau
dan ayahmu kelihatannya dekat.” Yah, kecuali pada malam
ketika mereka membicarakan tentang manusia serigala itu.
“Ya, biasanya begitu, tapi waktu kau merasa seperti itu,
dia tetaplah orangtua. Dia tidak selalu ingat bagaimana rasanya
waktu muda.”
“Aku tahu itu.”
Bayangan sudah mulai memanjang. Aku kaget sendiri
betapa jauh kami telah berjalan. Kami telah jauh dari
semuanya, semua orang, yang ada hanyalah hutan belantara.
“Mungkin sebaiknya kita kembali,” saranku.
“Sebentar lagi.” Dia mencari sesuatu di salah satu saku
celananya dan mengeluarkan sebuah lilin putih tebal. “Aku
kan udah janji untuk makan malam dengan cahaya lilin.”
“Tapi kalau kita melakukannya di sini, hari keburu gelap
dan kita kehilangan jalan kembali ke perkemahan. Ini sungguh
tidak bijaksana—

144
“Bijaksana, berlebihan. Kalau begitu kita nggak usah
makan malam. Setidaknya kita makan makanan kecil dengan
cahaya lilin.”
Kedengarannya jauh lebih romantis daripada yang
kubayangkan, tapi ada apa ini? Ini jauh lebih romantis
daripada yang pernah dilakukan Lucas padaku. Tapi aku
jengkel setelah tiga hari ini, aku masih tetap memikirkan
Lucas. Tanpa peralatan yang harus diangkat dan tanpa pejalan
kaki yang tidak berpengalaman yang menghambat mereka,
dia dan teman-teman yang lain mungkin sudah sampai ke
desa, bersiap untuk memandu kelompok lain ke alam bebas
sebelum menjemput kami.
Mason dan aku melepaskan ransel. Rasanya menyenangkan
lepas dari beban yang menggelayuti bahuku. Aku mere-
gangkan badan beberapa saat. Mason menyeimbangkan
lilinnya di atas sebuah kaleng kosong. Dia berbalik ke ransel-
nya. “Duduklah dulu. Aku harus menyiapkan beberapa hal
lagi.”
Aku duduk bersila di atas tanah. “Kau tahu, aku nggak
tahu kalau menyalakan lilin adalah gagasan yang bagus.
Lilinnya tidak benar-benar seimbang, dan aku benci kalau
sampai menjadi berita nasional bahwa pasangan yang romantis
secara tak sengaja membakar lima juta ekar hutan.”
“Mungkin kau benar,” jawabnya, bimbang.
Aku berusaha mencondongkan badan mendekat ke arah-
nya. “Apa yang kaulakukan?”
Dia berputar balik dan duduk di sampingku. “Nggak ada.”

145
“Aku senang kau mengajakku jalan-jalan,” kataku.
“Sungguh sangat berarti bagiku kau mau tinggal.” Dia
menyentuh pipiku. “Aku tak akan pernah menyakitimu.”
“Itu hal yang aneh untuk dikatakan.”
“Aku jarang berkencan. Hanya kuliah terus, kau tahu? Yah,
aku pecundang dalam hal ini.”
“Jangan bodoh. Lalu aku ini apa kalau kau pecundang?”
“Iya, ya. Aku benar-benar menyukaimu, Kayla.” Lalu dia
mendekat dan menciumku.
Tapi ciuman itu tidak lembut ataupun manis. Sangat tidak
seperti Mason, kasar, hampir nekat, yang membuatku
mendorongnya.
Dia balas mendorong—keras. Aku terjatuh ke tanah. Dia
mengangkangiku. “Maaf,” bisiknya pelan. Dia mulai
menciumku lagi. Lebih kasar dari sebelumnya.
Kepanikan melandaku. Apa yang dilakukannya? Mengapa
dia melakukan ini? Sampai saat ini dia sangat baik. Aku mulai
menamparnya. Dia memegangi kedua pergelangan tanganku
dengan sebelah tangan dan menahannya di atas kepalaku. Dia
merendahkan mulutnya ke telingaku.
“Ikuti saja semua ini,” katanya dengan suara pelan.
“Tidak! Lepaskan aku.”
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, berusaha melepas-
kan diri, tapi dia memegangi rahangku dengan tangannya
yang bebas dan berusaha menciumku lagi. Aku berpikir untuk
melawannya.

146
Jantungku berdegup tak terkendali. Belum pernah aku
setakut ini, belum pernah aku merasa sedemikian tak berdaya.
Lalu aku mendengarnya. Suara geraman rendah yang
mengancam. Mason bergeming, bibirnya hanya satu inci dari
bibirku. Dengan aneh, aku melihat raut kepuasan di wajahnya.
Aku mengalihkan pandanganku ke samping.
Dan di sana ada serigalaku. Dia memamerkan giginya
dengan gertakan mengancam.
Mason bergeser menjauh dariku. Dia menggapai ke
belakang, dan aku berlari menjauh.
Tiba-tiba ada suara ledakan pelan. Serigala itu mendeng-
king dan terhuyung-huyung.
Aku menoleh ke belakang. Mason sedang memegang pis-
tol, membidikkannya ke arah serigala itu.
“Jangan!” jeritku. Aku menerjang—terlambat.
Serigala itu melompat. Mason menembak lagi dan serigala
itu terjatuh.

147
SEBELAS

“Kamu sudah gila, ya?” teriakku sembari berlari menghampiri


serigala itu. Sulit dipercaya apa yang baru saja terjadi—
semuanya.
Serigala itu tidak mati, tapi mata indah peraknya berkaca-
kaca. Dia terengah-engah. Sia-sia dia berusaha berdiri tapi
terjatuh kembali. Aku menyusupkan tanganku ke bulu-
bulunya, mencari lukanya. Aku hanya melihat setetes darah
dan baru sadar kalau Mason tidak menembakkan peluru
melainkan anak panah.
“Dapat,” aku mendengar kata-katanya.
Aku menoleh. Dia tengah memegang walkie-talkie. Dia
bergerak maju dan membungkuk di sampingku. “Dia tidak
terluka, hanya dibius.”

148
Aku meninju bahunya, lalu menonjok dadanya. “Bajingan
kamu!”
“Hei!” dia berteriak dan menangkap tanganku. “Tenang-
lah. Aku nggak benar-benar mau menyakitimu tadi. Aku
cuma ingin dia mengira begitu.”
Kusentakkan tanganku dari pegangannya dan menye-
rangnya lagi. Aku mau mencongkel matanya keluar karena
telah membuatku ketakutan.
“Hei, hentikan!” teriaknya sambil melawan. “Astaga, aku
tidak bermaksud melakukan apa-apa. Aku kan hanya pura-
pura. Aku ingin dia mengira kau dalam bahaya.”
“Ngomong apa kamu ini?”
“Aku tahu dia akan muncul kalau kau diserang.”
Apakah dia gila? Memangnya dia pikir serigala itu punya
misi pribadi dalam hidupnya untuk melindungiku? Maksud-
ku, mungkin saja kami punya sedikit ikatan sejak serangan
beruang itu, tapi dia adalah binatang liar, bukan anjing
piaraan. Dan dia terus mengikutiku, lalu dia akan datang
untuk menyelamatkanku lagi—tak ada yang bisa menduga-
nya. Ini hanya sebuah kebetulan belaka. Ketika aku terpana
oleh kehadiran serigala itu, aku sangat marah atas perbuatan
dan pengkhianatan Mason.
“Jadi semua keromantisan ini hanya sebuah permainan
untuk menarik perhatian serigala ini?” aku tidak berusaha
untuk menyembunyikan kemarahan dalam suaraku.
Perbuatannya tidak dapat diterima. Menakutiku, membuatku

149
berpikir dia akan menyakitiku … memanfaatkan aku sebagai
umpan. Itu sama sekali tak berperikemanusiaan.
“Jangan katakan seolah perasaanku padamu itu tidak
jujur,” bujuk Mason. “Aku benar-benar menyukaimu, Kayla.
Sangat. Tapi kami punya sesuatu yang lebih besar untuk
dicapai dan kami membutuhkan kamu untuk ambil bagian.”
Aku sangat marah sampai aku tidak bisa melihat dengan
jelas. Aku merasa Mason telah membodohiku. Tapi yang
lebih buruk, dia memperalatku, memperalat aku untuk
menangkap serigala itu. Suaraku bergetar waktu aku bertanya,
“Mason, apa yang sebenarnya terjadi?”
Tapi dia tidak memandangku. Dia terpesona oleh serigala
itu. “Lihat betapa besarnya dia. Betapa manusiawi matanya.
Seolah-olah bisa bicara.”
“Siapa? Apa yang sedang kamu bicarakan?”
Sebelum dia bisa menjawab, aku mendengar gemerisik
semak-semak yang terinjak. Muncul dari antara pepohonan,
Ethan dan Tyler membawa sebuah kandang dari jeruji besi.
Kandang itu agak lebih kecil daripada peti yang mereka
angkut. Apakah itu yang ada di dalamnya?
Dr. Keane ada di belakang mereka. Dia bergerak maju
dan menepuk punggung Mason. “Kerja yang bagus, Nak.”
“Terima kasih, Yah.”
Ketika mereka memasang berangus ke mulutnya, serigala
itu membuat usaha berani lain untuk bangkit.
“Aku memberinya dua dosis obat penenang. Dia seharus-
nya sudah tidak berdaya dengan dosis sebanyak itu,” kata

150
Mason, dengan jelas dia pamer. “Haruskah aku menembaknya
lagi?”
“Tidak, dia sudah cukup terbius dan kita bisa menangani-
nya. Perlawanannya keras. Itu bagus,” kata Dr. Keane. “Dia
membutuhkan semua kekuatan yang dimilikinya.”
Aku berada tepat di depan wajah Dr. Keane dan berjinjit
sehingga dia tahu betapa marahnya aku. “Apa yang sedang
Anda lakukan padanya?”
Dr. Keane memandangku seolah aku ini serangga kecil
yang mengganggu. “Kenapa, tentu saja menelitinya.”

Hatiku bergemuruh ketika aku berjalan kembali ke per-


kemahan. Aku merasa telah mengkhianati serigala itu. Aku
teringat betapa Lucas melindungi hutan belantara ini, satwa-
satwanya, dan terutama serigala-serigalanya. Semoga dia tidak
akan pernah tahu semua kejadian ini. Hanya satu cara yang
bisa kupikirkan untuk memperbaikinya. Aku harus mencari
cara untuk membebaskan serigala ini.
Ethan dan Tyler menaruh kandang itu di ujung perke-
mahan, dekat pepohonan. Kegembiraan yang tak masuk akal
menyebar memenuhi perkemahan ketika semuanya datang
berkumpul untuk melihat serigala itu. Aku tidak suka
melihatnya dipajang seperti ini. Binatang pun bisa merasakan
penghinaan. Kalaupun tidak, aku yang merasa malu untuk
dia. Dia terlihat seperti makhluk yang agung. Dia pantas
mendapatkan perlakuan lebih baik daripada ini. Hatiku terasa
sakit untuknya.

151
Setelah beberapa waktu, semua orang beranjak pergi.
Semuanya kecuali Mason dan aku. Mason luar biasa kagum
pada serigala itu. Tapi mengapa dia tega melakukan ini kepada
makhluk yang begitu cantik? Ini tidak benar. Kukira aku
mengenal Mason, tapi kini aku sadar ternyata aku sama sekali
tidak mengenalnya. Mengapa aku tidak pergi bersama Lucas
dan yang lainnya? Dan apa yang akan kulakukan sekarang?
Mereka menggembok pintu kandangnya dengan sebuah
gembok sederhana. Tapi kurasa mereka tidak akan
meninggalkan serigala itu tanpa penjagaan.
“Dia itu indah sekali, kan?” kata Mason tanpa melepaskan
pandangannya dari serigala itu.
Terapisku pernah menghipnotisku sekali untuk mencoba
menemukan akar ketakutanku. Aku merasa waktu itu aku
mirip sekali dengan Mason saat ini—seperti sedang merokok
sesuatu yang ilegal.
Aku marah sekali pada Mason dan diriku sendiri. Kenapa
aku tidak tahu akan begini jadinya? Tidak banyak serigala
dengan corak bulu yang unik seperti ini. Aku tahu serigala
inilah yang telah menyelamatkan aku dari serangan beruang
itu. Aku berhutang nyawa pada binatang ini. Dan karena
akulah, dia dikurung di dalam kandang.
Serigala itu bergerak. Aku memperhatikan saat dia ber-
juang untuk berdiri. Kandangnya kecil. Dia tidak bisa berdiri
tegak. Dia tidak bisa melangkah. Dia akan terjepit kalau
berputar. Mereka telah melepaskan berangusnya begitu
berhasil memasukkannya ke kandang. Aku memandang ke

152
dalam mata peraknya dan aku merasakan ikatan yang sama
seperti yang kurasakan setelah serangan beruang itu. Apa yang
bisa diteliti Dr. Keane? Dia mungkin keturunan serigala yang
dilepaskan ke alam bebas. Aku punya perasaan bahwa
kecenderungan serigala untuk tidak menyerang manusia telah
berubah. Dr. Keane dan mahasiswa-mahasiswanya sedang
menyatakan perang pada spesies ini. Kenapa mereka
melakukan ini?
Mason menunduk, menyodokkan ranting melalui jeruji,
dan menusuk serigala itu di pinggangnya. Binatang itu
mengeluarkan suara geraman rendah yang mengancam,
mengangkat bibirnya dan memamerkan giginya.
Aku merebut ranting itu dan membuangnya ke samping.
Kemarahanku bergejolak. “Jangan lakukan itu.”
Mason berdiri. “Kau benar. Kalau dia marah, dia tidak
akan berubah kembali.”
“Berubah? Kamu ini ngomong apa? Dia itu seekor serigala
dan menangkapnya adalah perbuatan melanggar hukum.”
Dia tersenyum padaku seolah berkata, Dunia mana yang
kau tinggali?
“Ini bukan seekor serigala,” katanya. “Yah, memang
sekarang dia jelas-jelas seekor serigala, tapi sebelum dia
berubah, dia adalah manusia. Dengan warna bulu seperti ini,
aku cukup yakin dia itu Lucas. Masuk akal. Dari caranya
memandangmu, aku tahu dia tidak akan meninggalkanmu.”
Oke, seseorang harus kembali dirawat secara medis. Aku
tertawa. “Apakah kau sakit jiwa?”

153
Dia menyipitkan matanya ke arahku. “Lycanthrope itu
ada, Kayla. Di sini, di hutan sini. Ada sekampung—“
“Tidak, mereka tidak ada,” aku menyela. “Dan nggak ada
perkampungannya. Kalaupun ada, itu hanya ada dalam
legenda, cerita gila yang diceritakan di sekeliling api unggun.”
Dengan senyum jahat, dia mencondongkan badan ke
arahku. “Aku bisa membuktikan kalau ini benar.”
Dia membungkuk, membuka ranselnya, dan mengeluar-
kan senapan. Bukan seperti yang dia pakai sebelumnya. Yang
ini terlihat seperti Glock milik ayahku.
“Apa yang—“
Sebelum aku menyelesaikan kata-kataku, dengan tenang
dia membidiknya ke arah serigala itu—
“Tidak!” aku menjerit, menerjang Mason. Namun sekali
lagi terlambat.
Dia menarik pelatuknya. Serigala itu mendengking dan
jatuh menyamping. Darah bercucuran dari pinggulnya.
Para mahasiswa bergegas datang.
“Nggak apa-apa, kok. Cuma kecelakaan. Senapannya
macet. Bukan masalah besar,” kata Mason sambil menggerak-
kan tangan menyuruh mereka pergi.
Bukan masalah besar? Dengan sengaja dia menembak
serigala itu!
Aku mendorongnya dengan keras dan dia melawan. “Ada
apa dengan kamu?” aku minta penjelasan.
“Aku sedang membuktikan kata-kataku.”

154
“Kamu sinting.” Kalau saja aku bisa merebut senapan itu,
aku akan menembaknya. Aku merenggut gemboknya dan
menyentakkannya. Serigala itu terengah-engah. Aku bisa
melihat matanya menyiratkan kesakitan. “Buka ini biar aku
bisa melakukan sesuatu untuknya, sebelum dia mati keha-
bisan darah.”
“Tenang. Dia tidak akan mati kehabisan darah.”
“Jangan menyuruhku tenang. Aku tidak akan mem-
biarkanmu menyakitinya lagi. Aku mau memeriksa lukanya.”
Dia tersenyum tenang padaku, senyum yang mulai
kubenci. “Baiklah,” katanya, dia merunduk. “Lihat.”
Aku berlutut dan menggenggam tanganku pada dua buah
jeruji.
“Lihat kaki belakangnya yang kutembak,” kata Mason.
Hampir secepat darahnya mengucur, kucurannya mulai
mengecil. Lalu berhenti sama sekali. Dengan ranting lain,
Mason menyibakkan bulunya. Lukanya menutup, seperti
video time-lapse (perubahan seiring berlalunya waktu) yang
kulihat di kelas biologi. Aku tidak akan percaya kalau tidak
melihatnya dengan mata kepala sendiri.
”Ketika dalam wujud serigala, mereka sembuh lebih cepat
daripada kita,” kata Mason. “Bayangkan perkembangan
medisnya. Kalau kami bisa memisahkan gennya, kami bisa
membuat serum yang akan mempercepat replika peremajaan
sel. Seseorang dalam kecelakaan mobil yang parah, hampir
kehabisan darah. Setelah kami beri suntikan, dia akan sembuh
sebelum ambulans membawanya ke rumah sakit terdekat.

155
Lalu, tentu saja, ada manfaat militernya. Sepasukan tentara
yang bisa berubah wujud, yang memiliki ketajaman indra
penciuman, pendengaran,dan penglihatan. Itu pasti tak
terkalahkan.”
Dia membuatnya terdengar seolah apa yang dilakukannya
ini semua demi kebaikan umat manusia. Apakah hal ini
membuatku menjadi manusia yang menakutkan karena aku
merasa mengeksploitasi spesies seperti itu adalah suatu kesa-
lahan? Sedikit pun aku tak percaya kalau dia ini manusia
serigala—kalau ini Lucas. Untuk beberapa alasan, serigala yang
satu ini memang memiliki kemampuan penyembuhan yang
luar biasa—tapi itu pasti karena mutasi genetika, sebuah nasib
baik. Bukannya jenis manusia istimewa yang bisa berubah
menjadi serigala, atau serigala yang berubah menjadi manusia.
Mason memandangku. “Tentu saja, uang akan menjadi
hiburan. Kalau kami bisa menciptakan obat yang dapat
mengubahmu hanya dalam beberapa jam—tidakkah kau akan
meminumnya? Hanya untuk mengetahui bagaimana rasanya?
Kelompok lycanthrope akan digemari. Dan kami akan
memegang hak patennya. Dan kalaupun FDA 1 tidak
menyetujuinya—siapa yang peduli? Kita akan menghasilkan
uang lebih banyak di pasar gelap.”
Jadi ini bukan berkaitan tentang kebaikan umat manusia.
Ini soal uang.
“Kamu sangat egois karena bersembunyi, Lucas.
Seharusnya dengan sukarela kau menyerahkan dirimu untuk
1
Food and Drug Administration

156
penelitian kami. Malahan kami yang harus datang ke sini
dan memancingmu ke dalam jebakan kami. Menjadi mudah
sekali begitu kami menyadari betapa protektifnya kamu
terhadap Kayla.” Mason menyodoknya lagi, dan serigala itu
menggeram.
“Itu bukan Lucas. Kamu kayak orang gila,” aku bersi-
keras.
“Tentu saja ini Lucas. Kau akan melihatnya. Dia akan
menjadi lemah untuk mempertahankan wujudnya yang ini,
dan dia akan kembali ke wujud manusia. Lalu kau akan tahu.”
“Mereka tidak akan membiarkanmu keluar dari sini dengan
seekor serigala.”
Dia tersenyum angkuh. “Kami tidak akan berjalan. Ada
helikopter yang akan mendarat besok pagi. Kenapa menu-
rutmu kami menginginkan tempat di pinggir sebuah lembah
yang luas? Kami akan membawamu serta, dan begitu kau
melihat semuanya, kau akan mengerti betapa pentingnya
pekerjaan kami. Aku mau kau ikut ambil bagian. Kita akan
candlelit dinner untuk merayakannya.”
Di dalam benakku, aku menjerit, “Nggak akan!”
Tapi aku tahu aku harus tetap tenang. Sampai aku mene-
mukan strategi untuk melarikan diri dan membebaskan
serigala itu, aku harus mulai berpura-pura bahwa ini semua
menakjubkan. Aku harus berbohong. Dan aku butuh lebih
banyak informasi.
“Lalu gimana? Kau akan membawanya kembali ke uni-
versitas?”

157
“Astaga, Kayla, betapa naifnya kamu? Ikuti program. Ini
semua hanya tipuan. Ayahku bukanlah seorang profesor. Dia
itu kepala dari penelitian Bio-Chrome. Pernah dengar tentang
kami? ‘Mempelajari kromosom untuk hari esok yang lebih
baik’?”
Samar-samar aku mengingat beberapa iklan bodoh yang
kulihat di TV.
“Tapi mahasiswanya—”
“Kami semua adalah tim penelitinya. Kami ini genius.”
Dia tertawa. “Aku lulus dari perguruan tinggi pada umur tujuh
belas. Teman sekamarku dulu tinggal di sekitar sini. Dia
memberitahuku tentang desas-desus bahwa kaum yang bisa
berubah wujud itu bersembunyi di hutan ini. Bahkan dia
juga memberitahuku untuk memberi perhatian lebih pada
Lucas. Aku mulai melakukan penelitian. Terlalu banyak
pengamatan yang menunjukkan itu tidak benar. Dan sekarang
kami tidak hanya akan membuktikannya, tapi juga akan
mengambil keuntungan darinya.” Dia memandang serigala
itu. “Kau akan membuat sejarah, Lucas.”
Mason mengalihkan perhatiannya kembali padaku.
“Bisakah kau bayangkan? Bisakah kau melihat apa yang akan
kami capai? Aku ingin kau menjadi bagian dari ini, Kayla.
Kami ingin kau menjadi bagian dari tim.”
“Aku masih SMU, Mason,” kataku, mengikuti permain-
annya. Tak mungkin aku akan bergabung dengan timnya.
Dia memutar bola matanya. “Ini kesempatan sekali seumur
hidup, Kayla. Ayahku bisa memberimu ijazah yang setara

158
dengan lulusan SMU. Kau bisa mulai mengambil mata kuliah
online sambil bekerja pada penelitian kami. Ini semua akan
menghemat waktu. Kita semua akan menjadi jutawan. Kami
sedang menawarimu untuk ambil bagian.”
Aku menelan ludah. “Kedengarannya hebat,” aku ber-
bohong. “Aku akan bergabung.”
“Aku tahu kau akan langsung paham. Dan jangan khawatir
dengan Lucas. Dia juga akan memahami semuanya.”
Mason berdiri dan melangkah pergi, meninggalkan aku
sendirian. Jari-jariku menggenggam jeruji itu erat-erat sampai
terasa sakit. Aku mengamati serigala itu dan menangkap
pandangannya. Kami saling bertatapan.
Ada hubungan yang aneh. Mungkin aku juga sudah gila.
Aku tahu manusia serigala—yang bisa berubah wujud, ly-
canthrope, apa pun orang menyebutnya—hanya ada dalam
film dan acara TV. Tapi, aku mencondongkan badan ke depan
dan berbisik, “Lucas?”
Dengan usaha keras dia mengangkat kepala dan menjilat
jari-jariku.
Aku melepaskan peganganku pada jeruji kandangnya dan
merangkak mundur. Tidak mungkin. Ini tidak masuk akal.
Manusia serigala itu tidak ada.
Dan ini bukanlah Lucas.
Aku mengangkat kepala begitu mendengar seseorang
mendekat. Ethan datang dengan menggenggam senapan. Aku
tak tahu apakah isinya obat bius atau peluru. Dia tersenyum
canggung padaku.

159
“Cukup keren, ya?” tanyanya. Dia duduk di atas tanah,
menyandarkan diri ke sebatang pohon dan menaruh senapan
di pangkuannya.
“Apakah kau takut dia akan merusak kandangnya?”
tanyaku ringan, berusaha agar tidak kedengaran mengancam
sedapat mungkin.
Dia mengangkat bahu. “Kalau kami sudah menelitinya,
kami baru akan tahu apa yang bisa dilakukannya. Di samping
itu, dia bukanlah satu-satunya. Yang lain mungkin akan
melakukan sesuatu.”
Ini sudah menjadi semakin aneh dan aneh.

Aku marah sekali kepada Mason dan ayahnya, dan aku keta-
kutan karena serigala itu. Aku sedang merencanakan sebuah
pelarian. Tapi aku tahu tak ada yang tercermin di wajahku
ketika aku duduk di dekat api unggun untuk makan malam.
Mason membakar marshmallow lagi, yang terasa sangat ganjil.
Dr. Keane sedang duduk di atas sebuah bangku. Aku
membayangkan menendang kursi yang didudukinya dan
menertawakannya ketika dia terjungkal ke tanah. Tapi kurasa
usahaku itu tak ada gunanya.
Aku harus bertingkah normal. Aku harus memberi mereka
kesan bahwa aku menerima rencana mereka yang tak masuk
akal itu dan bahwa aku bisa dipercaya.
Mason menawariku marshmallownya yang terpanggang
sempurna. Aku tersenyum sebelum memasukkan makanan
itu ke mulutku.

160
“Ayah lihat?” kata Mason. “Sudah kubilang begitu dia
mengerti, dia akan melihat nilai dari pekerjaan kita.”
Dr. Keane memandangku curiga, maka aku tersenyum
dan berkata, “Kurasa Anda ini benar-benar genius.”
Dada Dr. Keane agak membusung dan dia menjabarkan
tentang uang yang akan mereka peroleh begitu mereka
menemukan rahasia perubahan manusia serigala.
“Jadi menurut Anda masih banyak lagi makhluk seperti
yang satu ini?” tanyaku pura-pura tertarik dengan ide gilanya.
“Oh, tentu saja,” kata Dr. Keane.
Aku melirik kandang itu. Sekarang Tyler yang menjaganya.
“Tidakkah seharusnya Anda memberinya makan? Atau
setidaknya memberinya minum? Anda tentu tidak ingin dia
mati di tangan Anda.”
“Oh, kurasa dia masih jauh dari kematian. Sekarang yang
terpenting adalah membuatnya lemah, sehingga dia akan
kembali ke wujud manusia. Butuh banyak energi untuk tetap
dalam wujud serigala,” kata Ilmuwan Jahat—julukan baruku
untuk Dr. Keane.
“Bagaimana Anda bisa tahu itu?” tanyaku.
“Karena itu masuk akal.”
“Bagaimana kalau ternyata serigala itu adalah wujud aslinya
dan butuh tenaga lebih untuk tetap berada dalam wujud
manusia?” tanyaku. Aku mencoba untuk melakukan
percakapan, tapi kata-kata itu membuatku tak berperasaan.
Aku tak memercayai satu pun teori gila mereka, tetapi
bagaimana kalau itu benar? Bukankah itu keren bisa berubah

161
wujud menjadi makhluk lain? Atau akankah ini menjadi
mimpi buruk? Ini pasti sebuah mimpi buruk, pikirku. Sejak
orangtuaku tewas, aku menghabiskan seluruh hidupku
dengan berusaha agar bisa diterima. Aku tidak bisa
membayangkan apa pun yang lebih mengerikan daripada
menjadi begitu berbeda dari semua orang.
Ilmuwan Jahat itu merenungkan pertanyaanku sejenak,
lalu tersenyum dengan cengiran licik ilmuwan-jahatnya.
“Kurasa kita akan melakukan beberapa percobaan dan
mencari jawabannya. Yang mana muncul lebih dahulu?
Wujud serigala atau manusia?”
Aku berusaha menutup mulutku. Aku tidak mau mereka
melakukan percobaan pada serigala itu. Aku merasa berke-
wajiban untuk melindunginya.
Mason memegang tanganku. “Jangan terlalu khawatir
begitu. Nggak ada untungnya kok kita menyakitinya.”
Benar. Dan menembak dia adalah caramu untuk mem-
buatnya merasa lebih baik.
Aku tidak berkata apa-apa lagi. Aku hanya menutupinya
dengan tersenyum penuh makna, “Kurasa kau sungguh luar
biasa. Akan menjadi pacar yang hebat. Aku adalah gadis yang
paling beruntung.”
“Helikopternya akan sampai dini hari besok,” kata Dr.
Keane. “Kita harus membongkar perkemahan sebelumnya.
Mungkin sebaiknya kita semua tidur lebih awal.”
Ketika semuanya berdiri dan berjalan menuju tenda,
Mason meraih tanganku sekali lagi dan menarikku ke tempat

162
gelap. “Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku ingin kau tinggal
karena aku sungguh menyukaimu. Aku tidak ingin
memperalatmu untuk menangkap serigala itu.”
“Seharusnya kau mengatakannya padaku. Jadi aku bisa
membantu.”
“Kami perlu reaksimu yang jujur.” Dia menyentuh pipiku.
“Aku benar-benar menyukaimu, Kayla.”
Aku tersenyum. “Aku juga.” Kebohongan itu terlontar
dengan mudah, mungkin karena dia sudah mengatakan
padaku sedemikan banyak kebohongan, sehingga aku tak
mendapatkan kesulitan untuk sedikit mengembalikan
padanya.
Dia menunduk untuk menciumku. Aku menaruh tangan-
ku ke dadanya. Aku tak tahan membayangkan dia mencium-
ku. “Maaf, setelah kejadian siang tadi, aku agak terluka—
secara fisik dan emosi. Sekalipun aku memahami kenapa kau
melakukan apa yang telah kaulakukan tadi, dan aku pasti
akan melakukan hal yang sama kalau ada dalam posisimu.
Aku ingin kita tidak terburu-buru sekarang.”
“Tentu, kau benar. Ini sudah menjadi pengungkapan dalam
sehari.”
Sehari pengkhianatan, begitulah yang sedang kupikirkan.
Dia mengantarku ke tenda dan mengucapkan selamat
malam. Aku merangkak masuk ke tenda yang kutempati
bersama Monique. Gadis itu sudah meringkuk dalam kan-
tong tidurnya dan sedang membaca buku.
“Jadi semua rayuan yang kaulakukan untuk Lucas itu…?”

163
Dia tersenyum. “Hanya bagian dari umpan. Walaupun
dia keren. Dan kalau dia ternyata benar-benar serigala ini, itu
membuatnya semakin keren.”
Dia sudah gila. Sungguh.
Waktu aku bersiap untuk tidur, aku menyelipkan kikir
kuku logamku dari ransel dan memasukkannya ke saku celana
pendekku. Aku akan memerlukannya untuk mencungkil
gembok.
Mungkin kelihatannya aneh, tapi bagaimanapun, ayah
angkatku adalah polisi. Aku wajib mempelajari beberapa
petunjuk dalam kegiatan kriminal, seperti menghidupkan
mesin mobil tanpa kunci dan membongkar sesuatu lalu
masuk tanpa ketahuan.
Aku masuk ke kantong tidurku. “Selamat malam.”
Beberapa menit kemudian Monique mamatikan lampu.
Aku berbaring, tak bergerak, menyusun rencana.
Akhirnya aku mendengar napas Monique mulai pelan dan
teratur, yang berarti dia sudah tertidur. Aku belum menarik
ritsleting kantong tidurku karena aku tidak mau bunyinya
akan membangunkan dia. Aku segera keluar dari kantong
tidurku. Sambil menoleh memandangnya, aku memakai
sepatu botku. Sinar bulan menyediakan cukup cahaya bagiku
untuk melihat siluetnya. Dia sama sekali tak bergerak. Aku
kembali menyelipkan tanganku ke dalam kantong tidurku
dan mengambil senter. Aku selalu menaruhnya di tempat
yang mudah diraih, berjaga-jaga kalau aku harus bangun
tengah malam. Jelas aku membutuhkannya malam ini.

164
Aku menyelinap keluar dari tenda. Aku tidak membawa
ranselku. Aku tidak berencana untuk pergi—kupikir aku tak
akan bisa kembali ke desa sendirian. Aku hanya ingin
membebaskan serigala itu. Kalau Mason dan ayahnya tahu
aku yang membebaskan serigala itu, mereka pasti akan marah
sekali, tapi mereka tidak akan menembakku. Bukankah
begitu? Tentu saja. Aku memang berpikir mereka sudah
bertindak jahat, tapi mereka adalah ilmuwan, bukan
pembunuh.
Perkemahan hening mencekam. Aku menegakkan badan
dan menyelinap mengitari belakang tenda. Aku bergerak
mengendap-endap sampai mencapai batas luar perkemahan
tempat Ethan sedang mengawasi kandang itu. Dia duduk
bersila. Sesekali, dia menusuk serigala itu dengan ranting yang
runcing. Kurasa, mungkin dia berpikir kalau dia tidak tidur,
serigala itu juga tidak boleh tidur. Atau mungkin itu bagian
dari rencana mereka untuk membuat serigala lelah sampai
dia kembali ke wujud manusianya. Secara pribadi, menurutku
menusuk binatang liar itu adalah perbuatan yang buruk.
Aku mempererat genggaman pada senterku. Ini adalah
peralatan yang bagus, berat, dan padat. Kalau diperlukan,
benda ini bisa menjadi pentungan yang hebat. Dan saat ini
aku butuh pentungan.
Jantungku berdebar keras dan herannya orang itu tidak
mendengarnya. Sebenarnya, aku heran juga bunyinya tidak
membangunkan seisi perkemahan. Aku maju selangkah—
Krak!

165
Aku menginjak ranting kering dan meringis. Ethan
berbalik—
Aku mengayunkan tanganku sekuat tenaga. Senter itu
mengenai batok kepalanya. Aku merasakan getaran pan-
tulannya pada lenganku. Ethan jatuh pingsan dengan posisi
telentang. Dia bahkan tak melihatku. Aku berlutut di
sampingnya dan memeriksa nadinya. Masih stabil. Mungkin
dia akan pingsan tak terlalu lama. Aku harus bergerak cepat.
Aku memandang berkeliling dengan cepat. Tak percaya
rasanya mereka hanya menugaskan seorang penjaga untuk
menjaga hasil tangkapan mereka yang sangat berharga ini,
tapi kurasa mereka berpikir dia terkurung dengan aman. Dan
hanya si Ilmuwan Jahat yang memegang kuncinya.
Aku berjalan menghampiri pintu kandang itu, menyalakan
senterku, dan mengarahkan cahayanya untuk menerangi
gemboknya. Tak ada yang istimewa. Ini mudah. Aku menge-
luarkan kikir dari saku dan mulai bekerja.
“Aku akan membebaskanmu dari sini sebentar lagi,”
bisikku.
Aku terpesona oleh begitu waspadanya serigala ini. Terlebih
karena mereka telah membiarkannya tanpa kenyamanan
ataupun terpenuhi kebutuhan dasarnya—seperti makanan
dan air—karena berusaha untuk membuatnya lemah. Sadis.
Dia menggeram rendah, hampir seperti suara dengkur.
Suara yang parau. Aku mengabaikannya. Aku tidak ingin dia
mencoba berkomunikasi denganku. Aku hanya ingin dia
pergi dari sini.

166
Terdengar bunyi klik pada gembok. Aku menarik gembok
itu dan menyentakkan pintu sampai terbuka. Sambil menelan
ludah, aku berlari kembali.
Dengan gerakan luwes, serigala itu melenggang keluar dari
kandangnya dan menghampiri penjaganya. Dia mengendus-
endusnya. Aku bertanya-tanya, apakah dia akan memakannya.
Aku bergerak ke arahnya. “Jangan!” desisku. “Kau harus
pergi! Ssssh! Sana pergi!”
Tapi dia tidak pergi. Dia sangat, sangat tenang, sungguh
tidak alamiah, dan aku bisa merasakan sengatan listrik di
udara. Aku berdiri dan memandang berkeliling. Kami masih
beruntung. Tak ada orang yang terlihat. Mungkin kalau aku
memukul serigala itu dengan senter, dia akan lari ketakutan.
Aku membungkuk, mengambil senterku di tanah tempat
aku meninggalkannya dan berbalik—
Serigala itu sudah tidak ada. Tapi bukannya merasa lega.
Sebaliknya, aku merasa panik sekali. Serigala itu memang
sudah tidak ada lagi, tapi Lucas ada di situ.
Lucas yang telanjang bulat itu sedang merunduk di dekat
Ethan. Aku tak bisa mencernanya. Dia adalah manusia
serigala? Dr. Keane dan Mason benar? Tidak, tidak, tidak.
Ada penjelasan lain. Pasti ada. Duniaku jungkir balik dan
aku terdorong untuk menjerit histeris.
Aku menatap punggungnya yang telanjang sementara dia
melepaskan celana kargo Ethan. Kulitnya sama sekali tidak
berbekas belang akibat terbakar matahari. Dia seperti dewa
perunggu yang sempurna. Aku mungkin akan langsung

167
bergairah kalau tidak tahu dia tadi datang dalam wujud
berbulu dan semanis anjing.
“Semoga berhasil,” kataku. Suaraku bergetar, dan aku tahu
suaraku terdengar seperti linglung. Aku merasa hampir
kehilangan kesadaran. Barangkali sekarang ini aku masih
berada di dalam tenda dan sedang bermimpi. Aku melangkah
kembali menuju ke tempat yang gelap.
“Tunggu!” cegah Lucas dengan suara rendah.
Aku berpaling. Dia sudah memakai celana dan sedang
menarik ritsletingnya.
“Aku harus pergi,” kataku.
Sebelum aku sempat lari, dia telah berada di sampingku,
memegangi lenganku.
Aku menepiskannya. “Tinggalkan aku. Kamu bebas. Pergi
sajalah.”
“Aku tidak akan meninggalkanmu di sini bersama Mason.
Tidak setelah apa yang hendak dilakukannya padamu—”
“Semua itu hanya pura-pura. Dia tidak akan menyakiti-
ku.” Aku menggeleng. “Aku tidak tahu bagaimana atau
kenapa, tapi dia tahu kamu ada di sekitar sini dan dia berusaha
memancingmu keluar. Dan itu berhasil.”
Dia menggertakkan rahangnya. “Aku masuk perangkapnya.
Aku melupakan segalanya waktu dia menyerangmu. Waktu
itu aku hanya ingin merobek lehernya. Bisa jadi dia akan
melakukannya lagi—”
“Tidak, sekarang aku sudah mengenalnya. Aku tak akan
membiarkan dia menempatkan aku pada posisi yang sama

168
lagi.” Sebenarnya, aku sedang memikirkan untuk pergi begitu
mengetahui Lucas sudah pergi dengan selamat.
“Kau harus ikut denganku,” kata Lucas.
“Aku akan baik-baik saja.”
“Tidak, kau tidak akan,” katanya serius sekali. Dia
memang selalu serius. Orang ini tidak pernah tertawa, dan
dia jarang tersenyum. Tapi, oh, waktu dia tersenyum, ada
apa dengan hatiku.
“Mereka tidak tahu kalau aku yang melepaskanmu,” aku
bersikeras.
“Bukan itu masalahnya. Kurang dari empat puluh delapan
jam lagi bulan akan purnama, bulan purnama pertama sejak
ulang tahunmu.”
“Lalu?”
“Perubahan pertama akan terjadi selama bulan purnama
pertama setelah ulang tahun ke tujuh belasmu.”
“Oke, hebat, senang mengetahuinya, tapi kita nggak punya
waktu untuk pelajaran Manusia Serigala untuk Pemula. Kau
harus pergi dari sini.”
Seharusnya aku lari ketika Lucas melangkah mengham-
piriku, tapi itu tak kulakukan. Aku hanya berdiri terpaku,
menatap ke dalam mata peraknya. Mata itu menawanku.
Membuatu tak sanggup berpaling. Aku merasakan daya tarik
yang aneh. Aku ingin bersandar padanya. Aku ingin jatuh ke
dalam pelukannya. Berada di dekat Lucas, selalu membuatku
serasa ingin merangkak keluar dari kulitku. Ada kesungguhan

169
dalam matanya. Tapi, juga ada sesuatu yang lain, sesuatu yang
menguasai.
Aku ingin ini menjadi saat yang romantis, seperti dalam
film-film picisan. Aku ingin dia memelukku dan menciumku
seakan hidupnya bergantung pada hal itu. Lalu aku ingin dia
berlari ke hutan dan menghilang selamanya. Dengan aman.
Kenapa ini tiba-tiba sangat penting buatku, bahwa dia
aman?
Dia memegangi lenganku. Kupikir dia akan merenggutku
ke dalam pelukannya dan memberikan ciuman yang sangat
kudambakan.
Namun dia hanya berkata dengan sepenuh hati, “Kayla,
kau adalah salah satu dari kami.”

170
D UA BELAS

Dari kalimat yang sedemikian singkat, kata kami bisa


bermakna luas. Kami bisa berarti ras manusia. Yah, kecuali
kalau dia bukan manusia seutuhnya. Atau setidaknya, aku
tidak merasa kalau dia itu manusia.
Tapi juga bisa berarti bahwa karena aku telah menyelamat-
kannya, sekarang aku ditakdirkan untuk terus mengikuti dia.
Dalam beberapa kebudayaan, ketika seseorang menyelamat-
kan nyawa orang lain, mereka akan terikat untuk selamanya.
Aku pernah membaca itu. Otakku berputar untuk mencari
penjelasan lain tentang kata kami itu. Mungkin artinya ….
Astaga, siapa yang kupermainkan di sini? Hanya ada satu
makna yang mungkin, dan itu bukanlah yang kuinginkan.
Kami. Apa pun Lucas itu, dia telah melibatkan aku ke dalam

171
lingkaran kecil keanehan ini. Ini tidak wajar. Manusia tidak
berubah menjadi serigala. Telah cukup banyak kejadian ganjil
yang harus kuhadapi. Aku tidak akan menambahkan
ketaknormalan fisik ini ke dalam daftarku.
Ethan mengerang.
Lucas meraih tanganku. “Ayo, kita harus pergi sebelum
dia membunyikan tanda bahaya.”
Aku menggeleng. “Aku tidak seperti kamu.”
“Nanti saja kita bicarakan. Kita harus pergi sekarang.”
“Aku nggak mau pergi.”
“Kayla, kurang dari empat puluh delapan jam mereka akan
tahu siapa sebenarnya kamu, lalu kau yang akan dikurung.
Itu pun kalau kau berhasil menjalani perubahan wujud. Kau
membutuhkan aku untuk membantumu melewatinya …
kalau kau ingin selamat.”
Ini semakin tak masuk akal. Tidak hanya karena dia
mengatakan bahwa aku akan menjadi penuh bulu, tapi …
aku mungkin saja bisa mati dalam proses itu kalau dia tidak
ada? Otakku sedang berusaha mencernanya, namun tak bisa.
Aku ini manusia. Aku tidak seperti dia. Dan kami? Berapa
banyak kami yang berada di sini? Itu semua tidak masuk ke
akalku. Aku tak bisa memahaminya. Ini terlalu besar untuk
dipahami. Otakku ingin berhenti berpikir.
Benarkah ada manusia yang bisa berubah menjadi serigala?
Dan aku adalah satu dari antara mereka?
Semua ini benar-benar sudah di luar kendali.

172
Ethan mengerang lebih keras dan berusaha untuk bangun.
Lucas dan aku berada di tempat gelap, tapi tak lama lagi Ethan
pasti akan menyadari bahwa kami telah menghilang.
Agaknya Lucas telah sampai di batas kesabarannya, karena
dia menunduk, mengangkatku, dan memanggulku di bahu-
nya. Sebelum aku sempat mengatur napas hendak protes,
dia berlari. Cepat. Langkahnya, seperti biasa, tak bersuara.
Bagaimana bisa dia begitu kuat, begitu cepat, dan tak ber-
suara ketika aku berada di atas bahunya? Dia ini apa? Serigala
super?
Aku masih menggenggam senterku. Aku sempat berpikir
untuk mengayunkannya di antara kedua kakinya. Itu akan
membuatnya berhenti dan menjatuhkanku ke tanah dalam
waktu bersamaan. Tetapi itu tak kulakukan. Aku hanya ber-
gantungan dan pepohonan nampak berkelebatan tak jelas.
Kau salah satu dari kami.
Aku bukan salah satu dari mereka.
Aku memikirkan ketakutan yang aneh ini yang telah
berputar-putar dalam benakku—ketakutan yang tak kutahu
dari mana asalnya. Aku memikirkan kembali semua perasaan
aneh dalam diriku, perasaan bahwa aku sedang berubah
dengan cara yang tak bisa kupahami.
Aku berkata pada diriku sendiri bahwa ini ketakutan
remaja yang wajar, perubahan dalam diri remaja yang wajar.
Aku bukanlah salah satu dari mereka. Lucas salah. Mungkin
dia ingin aku menjadi seperti dia.

173
Tapi dia telah membuat kesalahan. Aku tidak seperti dia.
Aku manusia normal. Aku adalah Kayla Madison, gadis
remaja yang kebingungan.
Aku tidak akan berubah menjadi manusia serigala.

***

Aku tak tahu berapa lama atau berapa jauh Lucas berlari
sampai akhirnya aku berteriak, “Oke, cukup, berhenti!”
Dia tidak mendengarkan. Dia terus berlari.
Aku memukul pantatnya dengan senter. “Hentikan! Aku
serius! Berhenti! Atau aku akan—”
Aku akan apa? Dia lebih besar, lebih kuat, lebih perkasa.
Mungkin dia mendengar sesuatu dalam suaraku, atau
mungkin dia hanya kelelahan, tapi lalu dia berhenti dan me-
nurunkan aku. Kakiku telah menyentuh tanah, tapi pijakan-
ku goyah, dan aku jatuh tersungkur.
Dia berjongkok di sampingku. Napasnya berat, seperti
aku ketika berlari menaiki tangga. Namun setelah berlari
sambil mengangkatku di bahunya, seharusnya napasnya sudah
terengah-engah dan kembang-kempis. Walau dalam sejuta
tahun, aku tak akan pernah menjadi sekuat itu.
Cahaya bulan menembus pepohonan, tapi aku meng-
inginkan lebih banyak cahaya. Aku menginginkan sinar mata-
hari, tapi matahari belum akan muncul dalam beberapa jam
ini. Aku menyalakan senterku. Aku tak mengarahkan cahaya-

174
nya langsung ke wajahnya. Tidak perlu. Dengan mendapatkan
cahayanya saja sudah cukup.
“Kamu tidak menabrak apa pun,” kataku. Kata-kata tak
berguna yang sebenarnya tak perlu dikatakan. Kurasa dia juga
berpikiran sama, karena dia kelihatan agak kaget.
“Aku punya penglihatan malam yang bagus,” akhirnya dia
menjawab.
“Apakah itu karena kau adalah—”
“Ya. Penglihatan, pendengaran, penciuman—semuanya
menjadi semakin baik setelah perubahan pertama.”
Aku mengangguk dan menelan ludah. “Jadi sebenarnya
… kamu ini apa?”
“Istilah teknisnya lycanthrope. Tapi kami menyebutnya
Shifter. Manusia yang tidak mengenal kami dengan baik
menyebut kami manusia serigala.” Dia memandang ber-
keliling. “Kita harus mulai berjalan, agar jarak kita semakin
jauh dengan kaum Static itu.”
“Static?” tanyaku.
“Mereka yang tidak pernah berubah.” Dia mengatakannya
dengan sebersit nada sedih. Entahlah, apakah dia sedih atas
orang-orang yang tidak punya kemampuan berubah atau
sebaliknya.
Dia meraih tanganku dan menarikku berdiri. Aku lim-
bung. Kalau tidak menubruknya, mungkin aku sudah ter-
jatuh lagi. Dia memapahku dan memandang mataku.
“Aku tahu semua yang kauketahui malam ini membuatmu
syok.”

175
Menurutmu? Aku menggeleng, lalu mengangguk. Aku
masih bingung sekali. Otakku tidak bekerja penuh. “Apa
maksudmu waktu mengatakan ‘kalau aku ingin selamat’?”
Dengan lembut dia menyentuh pipiku dengan ujung
jarinya. Jari-jarinya terasa kasar dan keras. Aku tidak mau
memikirkan bahwa tadi jari-jarinya itu berbentuk cakar yang
bisa saja merobek wajahku. “Perubahan pertamamu akan
menyakitkan, seperti melahirkan. Di satu sisi, kurasa itu
masuk akal. Kau melahirkan serigala dari dalam dirimu. Maka
kau membutuhkan pasanganmu di sana untuk membim-
bingmu melewatinya.”
“Pasanganku?” Apakah dia pasanganku?
“Tidakkah kau merasakannya?” tanyanya. “Ketertarikan
di antara kita?”
Apakah dia tengah membicarakan hal yang membuatku
takut itu?
Aku melangkah menjauh darinya. “Aku nggak mengingin-
kan ini!” Aku melangkah pelan di tempat sempit antara
pepohonan itu. “Aku nggak minta ini!” aku tiba-tiba berhenti.
“Lalu apa? Pada suatu ketika dalam hidupku aku digigit?”
“Ini genetika, persis seperti yang dikatakan Keane.”
“Kau mengatakan aku mewarisi kemampuan untuk ber-
ubah? Apa? Dari orangtuaku, begitu? Bahwa mereka ada-
lah”—aku tergagap dan menghentikan kata-kataku, berusaha
untuk menyatukan pikiranku yang bercabang-cabang ini—
“bahwa mereka adalah serigala?”
Dia hanya memandangku.

176
“Itu nggak masuk akal! Mereka pasti memberitahuku.”
Ada serigala dalam kilasan ingatanku. Aku mengabaikannya.
“Dan kamu salah. Aku bukan salah satu dari kalian.”
Dia mengangkat bahunya yang lebar. “Oke, kau bukan
salah satu dari kami. Tapi sebaiknya kamu tetap bersamaku—
hanya berjaga-jaga kalau aku benar. Di samping itu, si Ilmuwan
Jahat akan tahu kalau kamu telah membantuku melarikan
diri dan dia bukan orang yang pemaaf.”
Aku mengernyitkan alis dalam-dalam, sampai terasa sakit.
“Bagaimana kau bisa tahu aku menjulukinya begitu?” Aku
undur selangkah. “Ya, Tuhan! Kau bisa membaca pikiran?”
suaraku bergetar oleh kemarahan dan tuduhan. Dia tidak
berusaha menyangkal. Apakah dia tahu semua yang kupi-
kirkan?
“Hanya ketika aku berwujud serigala,” katanya. Dia
meraih senterku, mematikannya, lalu mengembalikannya
padaku. “Cahayanya bisa memberi petunjuk ke arah mana
kita pergi.”
Dia menggandeng tanganku dan menarikku masuk lebih
dalam ke hutan. Aku nggak mau pergi, tapi dia benar.
Sayangnya. Aku harus bersamanya sampai aku menemukan
alternatif lain.

Mataku mulai terbiasa dengan hutan belantara yang


bermandikan cahaya bulan. Aku terus mengikuti Lucas dekat-
dekat dan aku melangkah di atas jejak kakinya. Tangannya
menggenggam tanganku erat-erat. Dia sangat tinggi dan besar,

177
dan jari-jarinya terasa sangat kuat membungkus jari-jariku,
membuatku penasaran apakah secara alamiah dia memang
sudah begitu atau dia menjadi begitu sejak perubahan per-
tamanya dalam wujud serigala. Tentu saja, kurasa kata alamiah
itu salah. Di sisi lain, bagi Lucas perubahan wujud itu alamiah.
Dan tidak berubah adalah kejanggalan.
Ini menjadi kebalikannya, dunia tak masuk akal yang tiba-
tiba membuatku menjadi bagian darinya.
Aku menyimpan banyak sekali pertanyaan, tapi karena
kami berusaha untuk diam sampai ke tempat tujuan kami
yang entah di mana—aku belum menanyakannya dan dia
tidak mengatakan apa-apa tapi langkahnya jelas menuju ke
mana—aku menyimpan dulu semua pertanyaanku itu. Selain
itu, dia berjalan cepat dan aku kesulitan untuk mengimbangi-
nya. Padahal tadinya kupikir aku ini lumayan kuat, tapi
napasku sudah seperti anjing yang habis mengejar Frisbee.
Anjing, serigala—aku harus berhenti memikirkan tentang
binatang.
Aku tak punya banyak waktu untuk memikirkan bagai-
mana caranya agar tidak usah berubah menjadi binatang liar—
kalau aku memang benar-benar akan berubah. Aku masih
meragukannya. Bukankah nantinya kau akan tahu, jauh di
lubuk hatimu, kalau kau ini separuh serigala atau ada sedikit
keturunan serigala dalam dirimu? Agaknya ini semua sulit
dibayangkan. Tapi kalau ini akan terjadi, pasti ada cara untuk
mencegahnya. Kalau aku melawannya … kemauan dapat
mengatasi masalah apa pun. Atau dalam dalam kasus ini,

178
kemauanku dapat mengatasi serigala. Aku akan tetap
menolaknya.
Kalau aku menerimanya, itu berarti aku harus menerima
Lucas sebagai pasanganku? Bukankah seharusnya aku punya
pilihan dalam hal ini?
Dia sudah bertanya apakah aku merasakan daya tarik itu.
Tak bisa kupungkiri, aku memang merasakannya. Dan itu
membuatku takut.
Daya tarik itu bukan seperti jatuh hati. Bukan seperti
melihat seorang lelaki dan berkeinginan diajak ke pesta
dansa olehnya. Ini ikatan jiwa, seakan dia adalah segalanya,
satu-satunya, selamanya. Aku harus mengingatkan diriku
bahwa aku hampir-hampir tak mengenal dia. Namun, aku
tetap tak mampu mengusir perasaan bahwa dia sangat berarti
bagiku dan aku bagi dirinya—sangat picisan seperti ke-
dengarannya.
Kami memasuki suatu bagian dari belantara yang belum
pernah kusambangi. Semaknya rimbun, pepohonannya
tumbuh rapat. Dedaunannya yang lebat di atas kepala hampir-
hampir menghalangi sinar bulan. Lucas menarikku mendaki
sebuah lereng, lalu menahanku agar tidak tergelincir ke sisi
lainnya.
Aku teringat bahwa dia bertelanjang kaki. Tentu kakinya
akan berdarah dan penuh oleh goresan dan luka. Tak sekali
pun dia mengeluh. Tak sekali pun dia mengomel. Dia terus
berjalan seperti dikejar oleh anjing pemburu dari neraka.
Atau dia-lah anjing pemburu dari neraka itu.

179
Aku benar-benar tak mengerti. Gerakanku seperti robot,
bergerak tanpa berpikir.
Akhirnya kami harus mendaki lereng yang terjal berbatu.
Aku tahu secara naluriah bahwa Lucas bisa saja berubah wujud
dan kini telah berjalan cukup jauh. Dia bisa berjalan dengan
mudah di jalan mendaki yang terjal. Tapi, sebaliknya dia
malah terus membantuku berjalan.
“Kamu jalan terus saja,” aku memaksa setelah tergelincir
beberapa meter ke bawah yang membuat sikuku lecet.
“Aku tidak akan meninggalkanmu.”
“Tapi kaulah yang berada dalam posisi paling berbahaya.
Mereka tidak akan menyakitiku.”
Dia menghentikan langkah dan menatapku tajam dari balik
bahunya. “Aku tidak akan meninggalkanmu, Kayla.”
Keras kepala. Bagaimana kalau Mason dan “teman-teman”
nya menemukanku? Mereka akan terus mengikuti Lucas dan
aku bisa melenggang pergi. Tapi jelas-jelas Lucas tidak akan
mau mendengarkan aku. Aku berusaha lebih keras lagi.
Ketika akhirnya aku bisa menyusulnya, dia berkata, “Oke,
teruslah mendaki. Aku akan kembali untuk menghapus jejak
kita. Tak akan lama.”
Dalam kepanikan, aku meraih lengannya. “Kau akan
kehilangan aku.”
“Aku bisa mengikuti baumu.”
“Benarkah? Apakah kau perlu sepotong pakaianku atau
sesuatu untuk mengingatkanmu?”

180
“Tidak, tapi—“ dia menunduk ke arah leherku. Aku
mendengarnya menarik napas. “Kamu wangi. Aku akan
menemukan kamu di mana pun.”
Apakah itu cara romantisnya? Tak bisa disangkal, itu
membuatku merona. Sebelum aku sempat menjawab, dia
telah pergi.
Aku ingin duduk dan memikirkan semua ini. Aku ber-
usaha untuk menjadikan semuanya masuk di akal. Segalanya
menjadi aneh setelah kejadian di sungai itu. Mungkin sebe-
narnya aku sudah tenggelam. Mungkin sekarang ini aku ada
di neraka. Tapi itu juga tidak masuk akal. Satu hal yang benar-
benar kutahu adalah Lucas ada dalam bahaya dan kalau aku
tidak segera bergerak, Keane dan kelompoknya mungkin
akan menyusul kami. Aku tidak mengkhawatirkan diriku.
Bukan aku yang ingin mereka pelajari. Tapi aku tidak ingin
terjadi apa-apa pada Lucas.
Kekhawatiranku padanya mendorongku untuk terus
bergerak. Aku memutuskan untuk tidak menjadi alasan yang
membuatnya berakhir di kurungan lagi. Dipelajari, seperti
binatang di laboratorium. Seekor binatang. Kata itu ter-
ngiang-ngiang di kepalaku. Ketika melihat Lucas sekarang,
aku melihat manusia yang berubah menjadi serigala. Ma-
son dan ayahnya melihat seekor serigala. Mereka sudah tidak
lagi melihat manusia, seseorang. Mereka hanya melihat
makhluk aneh yang keberadaannya tak bisa diterima
logika.

181
Cara pandang itu membuat mereka membenarkan tin-
dakan mereka untuk memasukkannya ke kurungan. Cara
pandangku yang memaksaku untuk membebaskannya.
Aku terpeleset, meraih sebatang pohon muda dan berpe-
gangan padanya, berusaha mengatur napas sambil mencari
jalan supaya bisa berjalan lebih jauh lagi. Semuanya tiba-tiba
terlihat dijejalkan bersamaan. Celah-celah kecil dan bebatuan.
Jalan mana yang membuatnya tetap aman?
“Kau membuat kemajuan yang lebih baik daripada yang
kuduga,” katanya seraya berjalan mendekat.
Hampir saja aku menjerit karena tiba-tiba saja dia sudah
sampai. Sepertinya dia harus memakai kalung lonceng atau
sejenisnya sehingga aku bisa mendengarnya datang.
Dia duduk di sampingku. “Kamu nggak apa-apa?”
Aku mengangguk. “Hanya istirahat sebentar untuk
mengatur napas.”
“Mulai dari sini jalanan akan semakin sulit,” katanya.
“Oh, bagus.”
“Tapi aku punya rencana.” Dia bangkit, melangkah pergi
dan merunduk di balik semak-semak.
“Apa yang kau—“ Sesuatu menimpa wajahku. Aku
menariknya. Celananya. “Eh, Lucas?”
“Nggak apa-apa. Aku akan berubah wujud. Aku lebih gesit
dalam wujud serigala. Kau bisa duduk di punggungku, dan
kita akan menghemat waktu.”
“Kamu bukan kuda.”

182
“Percayalah padaku. Ini jalan satu-satunya untuk mencapai
tujuan.”
Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas. “Aku percaya—”
Dia telah pergi dan serigala itu melangkah keluar.
“Seharusnya kita membawa pertunjukan ini ke Vegas,”
bisikku.
Dia menggeram kecil yang kedengaran lebih mirip suara
tawa. Bisakah serigala tertawa?
Dia menyentuh kakiku.
“Kurasa aku nggak bisa.”
Dia menjilat tanganku.
“Oh, baiklah, kalau kau memaksa.” Aku mengikat
celananya di pinggangku. Aku menunggangi Lucas dan men-
cengkeramkan tanganku ke dalam bulunya untuk
berpegangan. Aku melipat tungkaiku ke belakang dan
menumpukan kakiku ke tubuh belakangnya sehingga kedua
kakiku tidak terseret di tanah. Aku berpegangan padanya
ketika dia mulai bergerak. Aku bisa merasakan ototnya tertarik
dan meregang. Dia sangat kuat. Aku penasaran, apakah
nasibku akan sebaik itu. Apakah dia bekerja keras untuk
mendapatkannya atau fisiknya itu ada hubungannya dengan
gen? Dia memiliki tubuh yang—
Aku menyingkirkan pikiran itu, mengingat dalam wujud
ini dia bisa membaca pikiranku. Aku berusaha mengosongkan
pikiranku. Kemampuan yang dimilikinya ini pelanggaran
privasi, dan kami akan menyusun kriteria, tapi sebelum
melakukannya, secara mental aku mulai menyusun kembali

183
sepatu dalam lemari di rumah. Ibuku adalah penggemar
sepatu, jadi aku punya paling tidak lima puluh pasang yang
bisa kupikirkan ketika Lucas merangkak naik di tanjakan yang
tidak rata. Kami melewati celah sempit. Akhirnya dia berhenti
dan agak menggoyangkan badannya. Aku turun dari pung-
gungnya. Dia berjalan menuju semak-semak dan berjalan ke
baliknya.
“Lemparkan celanaku,” katanya sambil berdiri, sehingga
kepala dan bahunya nampak.
“Kau melakukannya dengan cepat.” Aku melemparkan
celananya.
“Kau juga akan seperti ini, begitu kau sudah terbiasa dan
telah mempelajari triknya.”
Nomor satu: aku tidak akan pernah terbiasa. Nomor dua:
aku belum yakin aku akan menjadi berbulu. Nomor tiga:
aku tidak mau mempelajari trik apa pun.
Lucas keluar dari balik semak. “Sepatu? Kamu benar-benar
punya sepatu sebanyak itu?”
Aku tertawa malu sendiri. “Bisakah kau menghentikannya?
Masuk ke dalam kepalaku?”
“Ada caranya untuk menutup pikiranmu. Nanti kuajari.”
“Bagus, soalnya nggak adil kalau kau tahu semua yang
kupikirkan sementara kau menutupi pikiranmu dariku.”
“Kurasa nggak ada yang ingin kau ketahui.” Dia meraih
tanganku lagi. “Yuk, udah nggak jauh lagi.”
Kami melewati jalan yang agak menurun dan berbelok.
Di kejauhan terdengar suara deru air.

184
Aku tersandung, hilang keseimbangan—
Lucas menangkapku sebelum aku wajahku terjerembap
ke tanah. Bagaimana dia bisa bergerak secepat itu? Jika yang
dikatakannya tentang aku itu benar, akankah aku memiliki
refleks secepat itu? Apakah aku menginginkannya?
“Hampir sampai,” katanya sambil membantu aku
menyeimbangkan diri.
“Sampai di mana?”
“Sebuah tempat persembunyian.”
Mendengar kata persembunyian, yang terpikir olehku
adalah suatu tempat yang sempit dan gelap. Sebuah tempat
kita bisa meringkuk sambil gemetaran. Aku tidak ingin
melihatnya. Apalagi kalau aku harus meringkuk dan ber-
desakan dengan Lucas di dalamnya. Akankah aku bisa
menahan keinginanku?
Kami melangkah keluar dari hutan menuju tempat
terbuka yang kecil. Cahaya bulan menyinari kami. Deru air
yang kudengar tadi rupanya air terjun yang mengalir ke
bawah lereng gunung. Lucas melepaskan tanganku. Aku
tertegun begitu menyadari kalau tiba-tiba aku merasa
kehilangan. Hampir saja kuraih tangannya. Bukan karena
ketakutan, tapi karena aku tidak mau merusak hubungan
di antara kami.
“Wow, ini menakjubkan.” Sesaat aku lupa bahwa kami
tengah diburu oleh si Ilmuwan Jahat dan anak buahnya. “Aku
sama sekali nggak tahu kalau ada yang seperti ini di sekitar
sini.”

185
“Kami punya banyak tempat yang mirip di hutan ini.”
“Kami? Kau berkata seolah kau yang memiliki hutan ini.”
“Secara teknis ini tanah pemerintah, tapi ya, ini milik
kami.”
“Apa? Jadi memang benar ada desa yang tersembunyi di
sini, seperti yang dikatakan Mason? Apakah benar-benar ada
yang lain seperti kamu?”
Dia terdiam menyeramkan, seakan mencoba memutuskan
seberapa besar aku bisa dipercaya. Kurasa sikapku yang tidak
ingin menjadi seperti dia membuatnya ragu akan
kesungguhanku. Jadi, seandainya aku akan kembali bergabung
dengan kelompok Mason, semakin sedikit yang kuketahui
akan semakin baik.
“Jalan terus dan nyalakan sentermu,” katanya, mengabai-
kan pertanyaanku. “Kau mungkin memerlukannya di tempat
yang akan kita tuju.”
“Dan di mana itu?”
“Ke air terjun.”

186
TIGA BELAS

Air terjun itu jatuh ke sebuah kolam. Lucas mengatakan


padaku ada sungai bawah tanah yang mengalir ke sungai jauh
di bawahnya lagi. Tentu saja, juga ada sungai di atas sana yang
menjadi asal dari air terjun ini. Kurasa mungkin kami akan
melihatnya besok saja.
Sekarang, Lucas memegang tanganku lagi dan menun-
tunku ke tepi kolam yang beriak itu. Rerumputan telah
digantikan oleh bebatuan, kerikil, dan batu-batu kecil yang
licin seperti kaca. Tiba-tiba aku terpeleset. Kalau Lucas tidak
sedang memegangi tanganku, aku pasti telah terjatuh ke
kolam. Dengan sebuah entakan di lenganku, aku malah
terjatuh ke arahnya, pada kulitnya yang hangat. Kejadian yang
tiba-tiba itu seharusnya membuatku menarik diri, tetapi aku

187
merasa diriku meleleh. Dia terasa menyenangkan, kulitnya
halus, otot-ototnya kuat.
Dia melingkarkan lengannya, merengkuhku ke dalam
dekapannya.
Semakin kami mendekati air terjun, serasa melangkah
mendekati guntur. Deru airnya menggema di sekitar kami
dan menghalangi suara-suara lain. Ini membingungkan dan
hampir menakutkan. Berlawanan dengan kabut tipis yang
menggelitik wajahku. Tapi aku tahu itu hanyalah ilusi.
Terperangkap dalam air terjun itu bisa membuat seseorang
tewas.
Lucas menarikku ke belakang air terjun. Aku hanya punya
waktu sedetik untuk mengarahkan senterku ke dalam tirai
air yang menderu sebelum Lucas menarikku ke dalam ngarai
yang gelap.
Dia melepaskan pegangannya. Aku mengumpulkan
segenap keberanianku dan tidak mengeluarkan lengkingan
memohon padanya agar tidak meninggalkan aku. Di sini
lebih tenang, air terjun terdengar lebih tenang tapi tetap
terdengar. Aku menyapukan cahaya senterku ke sekeliling gua.
Rupanya ada orang yang pernah berada di sini sebelum kami.
“Ini salah satu sarang kami,” Lucas menjelaskan sambil
menunduk untuk menyalakan lentera baterai. Benda itu
bersinar lebih terang daripada senterku, jadi kumatikan
senterku untuk menghemat baterai. Aku berencana untuk
menyimpannya. Aku merasa aman dengannya. Mungkin
karena itu barang pemberian ayah angkatku. Rasanya dia

188
seperti hadir di sini bersamaku. Tiba-tiba aku sungguh
berharap dia itu ayah kandungku. Lalu semua ini tidak
mungkin benar. Apa yang kupikirkan? Tapi walau bagaimana,
ini tidaklah nyata.
Kalau ini genetik, berarti aku harus mewarisinya dari
orangtuaku. Dan mereka sudah pasti bukan serigala. Mereka
tidak sembuh seperti halnya Lucas ketika Mason menem-
baknya. Mereka meninggal.
“Lapar?” tanya Lucas, mengembalikan aku dari lamunanku
yang muram.
“Tidak, tapi haus.”
Dia melemparkan sebotol air padaku. Gua ini dingin. Air
itu pun dingin. Peti plastik bening yang berisi perbekalan
ditumpuk sepanjang dindingnya. Lucas mengambil sebatang
granola dan mulai mengunyahnya sambil membuka peti lain
dan mengeluarkan selembar selimut. Dia berjalan ke arahku
dan menyampirkannya ke bahuku.
“Kamu lebih membutuhkannya daripada aku,” kataku.
“Paling tidak aku kan pakai baju.”
“Masih banyak, kok. Di samping itu, aku selalu bisa
berbulu lebat.” Dia memberiku seulas senyuman yang benar-
benar seksi dan seluruh badanku bereaksi dengan sebuah
sentakan yang menyadarkanku.
Seakan tiba-tiba malu, dia berbalik lalu berjalan kembali
ke peti itu. Dia mengambil selimut satu lagi dan dua buah
kantong tidur. Dia membuka ritsleting kantong tidur itu dan
menghamparkannya. “Kurasa kita bisa berbaring bersama,

189
berbagi kehangatan tubuh kita,” katanya, menunjukkan
bahwa aku harus berbaring di atas tempat tidur yang telah
disiapkannya. Dia masih memegang kantong tidur yang satu
lagi. Kurasa dia akan memakainya untuk menyelimuti kami.
Aku belum pernah tidur dengan laki-laki—dan walaupun
yang kami lakukan hanyalah tidur, tapi kami akan berada
dalam tempat tidur yang sama. Tubuh kami akan bersentuhan,
mungkin saling berdempetan. Entahlah, apakah aku siap
untuk keintiman itu. Di lain pihak, menyerap kehangatan
tubuhnya dalam gua bawah tanah yang dingin ini kelihatannya
menyenangkan. Tapi tidur bersama, tanpa pikir panjang,
agaknya terlalu cepat.
“Eh, setelah semua yang baru saja terjadi, bagaimana kau
bisa memikirkan tidur?” tanyaku.
“Jujur saja, aku sudah mau roboh.”
Entah bagaimana aku tiba-tiba terdorong kembali oleh
pikiran bahwa dia telah melalui siksaan berat. Ditembak. Atau
barangkali karena dia pintar menutup-nutupi perasaannya.
Atau mungkin dia adalah serigala super. Namun aku sudah
bersandar padanya sejak pelariannya, padahal seharusnya aku
yang membiarkan dia bersandar padaku.
“Apa yang kaubutuhkan dariku untuk membantumu?”
tanyaku.
“Tidur saja.”
Aku memandang tempat tidur darurat itu lagi.
“Aku tidak akan menyerangmu seperti yang dilakukan
Mason,” kata Lucas.

190
Aku memandangnya. “Aku tahu. Masalahnya—aku belum
pernah tidur dengan laki-laki.”
Salah satu ujung bibirnya terangkat. “Gampang saja. Tutup
matamu dan bermimpilah.”
Dan aku bisa membayangkan semua yang akan kumim-
pikan ketika terbaring begitu dekat dengan Lucas. Tapi aku
mengangguk dan berbaring di atas kantong tidur itu. Lucas
berbaring di sampingku. Dengan hati-hati. Aku tak tahu
apakah itu karena dia sangat kelelahan atau dia pikir aku
akan lari. Atau mungkin dia merasakan betapa kaku dan
diamnya aku. Aku sudah banyak menghabiskan waktu
untuk membayangkan bagaimana rasanya pertama kali tidur
bersama seorang lelaki. Aku tak pernah membayangkan hal
itu akan terjadi dalam gua bersama seseorang yang segelap
dan sebahaya Lucas. Walau aku tahu dia tidak akan menya-
kitiku, untuk beberapa alasan malam ini tubuhku serasa
bukan milikku. Ingin rasanya bergeser mendekat dan mera-
pat padanya.
“Apakah kau bisa tidur dalam gelap atau kau mau lampu-
nya tetap menyala?” tanyanya.
“Gelap tidak apa-apa.” Sebenarnya bukan gelap yang
kutakutkan, tapi tak ada cara lain untuk mengakui kalau aku
takut pada apa yang kurasakan terhadapnya. Agaknya
kegelapan hanya akan memperparah keadaan.
Aku mendengar bunyi klik dan lampunya mati. Mataku
dengan cepat menyesuaikan diri dan aku bisa melihat air terjun
itu. Cahaya bulan membuatnya nampak seperti kaca yang

191
berjatuhan. Entah kenapa rasanya menenangkan. Perlahan aku
merasakan sarafku mengendur.
“Ini tempat favoritku dari semua sarang,” kata Lucas pelan.
Aku tak tahu apakah dia berbohong soal kemampuannya
membaca pikiranku hanya ketika dia berwujud serigala. Bisa
saja dia membaca pikiranku kapan saja.
“Kelihatannya kau membangun tempat ini seolah untuk
mengantisipasi masalah,” kataku.
“Kami selalu mengantisipasi masalah.”
Dia bergeser mendekat. Aku bisa merasakan getaran kecil
pada dirinya. “Kamu kedinginan.” Bukannya bermaksud
menuduh, tapi suaraku terdengar begitu.
“Tidak, ini hanya pengaruh dari pacuan adrenalin dan
perubahan wujud. Kehangatan akan menolong.”
Dia mengambil semua risiko untuk menyelamatkan aku
dari Mason. Bagaimana mungkin aku tak mau ambil risiko
dengan emosiku dan bergeser lebih dekat padanya?
Aku berguling sampai sebagian tubuhku menimpanya.
Aku tahu tentang pacuan adrenalin. Sewaktu orangtuaku
terbunuh, kupikir aku tidak akan pernah berhenti menggigil.
Dia melingkarkan lengannya padaku, memelukku, dan aku
meringkuk semakin rapat dengan kepala bersandar pada lekuk
bahunya. Dia menyelimuti kami dengan kantong tidur yang
satu lagi. Kami hangat dan nyaman dalam kepompong kecil
kami. Sungguh menyenangkan berdekatan dengannya seperti
ini. Badanku terasa ringan. Aku bisa mencium kehangatan
kulitnya, merasakan kehangatannya di pipi dan jemariku.

192
“Apakah itu sebuah dorongan?” tanyaku pelan, tak ingin
merusak kedamaian di antara kami, tapi ingin memperdalam
hubungan kami. “Menjadi serigala, maksudku.”
“Tidak seperti yang kubayangkan. Itulah diriku.”
“Bagaimana itu terjadi? Maksudku, aku tahu kau bilang
itu faktor genetika, tapi bagaimana? Apakah orang yang
pertama digigit oleh serigala atau semacamnya?”
Suara tawanya yang dalam bergemuruh memenuhi gua
bawah tanah itu. “Itu bodoh sekali waktu mereka memasuk-
kannya ke dalam film. Mengapa ada orang berpikir digigit
oleh sesuatu akan mengubahmu menjadi makhluk itu? Sama
halnya dengan vampir. Sangat bodoh. Tapi tidak. Lycanthropy
tidaklah dimulai dengan gigitan.”
“Lalu bagaimana?”
“Kami sudah berada di sini sejak permulaan jaman. Tapi
perlindungan diri membuat kami merahasiakan keberadaan
kami. Berabad-abad yang lalu, kami hidup di tengah masya-
rakat umum, tapi selalu ada kesadaran ketika kami bertemu
dengan jenis kami. Kau mungkin merasakan itu waktu ber-
temu dengan orang-orang, tapi karena kau tidak tahu kalau
kami ada, kau mungkin tidak mengenal perasaan itu: seperti
panggilan untuk menyukai.”
Aku mengingat kembali pertemuanku dengan Lindsey
untuk pertama kalinya pada musim panas lalu. Rasanya seolah
kami ini langsung menjadi teman akrab. Aku merasakan
sebuah hubungan, sebuah asal-usul. Aku leluasa menceritakan

193
apa saja kepadanya. “Apakah Lindsey…?” Aku tak sanggup
mengatakannya. Ini sangat tidak masuk akal.
“Ya,” katanya pelan. “Tapi dia belum mendapatkan
perubahannya. Dia baru akan berumur tujuh belas bulan
depan.”
“Kami ini akrab. Tapi kenapa dia tidak mengatakan apa-
apa?”
“Apakah kau akan percaya padanya? Kalau dia tidak bisa
menunjukkannya padamu?”
“Entahlah. Aku nggak yakin memercayaimu—aku percaya
kau bisa berubah wujud, benar. Bahwa aku akan—aku nggak
yakin. Tapi kau bilang ada yang lain sepertimu yang hidup di
tengah masyarakat?”
“Tentu saja. Di sekolah, kampus. Kami hidup dalam
masyarakat. Kami adalah dokter, pengacara, polisi. Kami sama
seperti orang lain kecuali kami bisa berubah.”
“Maaf, ya, tapi itu membuatmu tidak sama dengan orang
lain.”
“Oke, kau boleh berpendapat begitu. Dan ya, memang
berisiko bagi kami untuk hidup di antara kaum Static, tapi
lebih mudah bagi kami untuk menyesuaikan diri daripada
memiliki negara sendiri. Ya, kadang-kadang kami tidak
diterima. Kaum kami sudah dibakar di tiang pancang seperti
penyihir, dan diburu seperti setan. Jadi berabad-abad yang
lalu, para tetua menggalang persaudaraan … kurasa kau bisa
menganggap mereka sebagai ksatria. Mereka adalah prajurit

194
muda. Kami menyebutnya Dark Guardian. Mereka bertang-
gung jawab melindungi Shifter lainnya.”
Aku mencemooh. “Kurasa teknik perlindungan mereka
tidak banyak. Di mana mereka semalam ketika kau
membutuhkan bantuan mereka?”
Dia berdehem. “Yah, kodenya adalah—jika seorang Dark
Guardian cukup bodoh sampai dia ketahuan, dia harus
menyelamatkan dirinya sendiri. Kami mempertaruhkan
nyawa kami demi melindungi yang lain. Kami tidak minta
yang lain untuk mempertaruhkan nyawanya demi kami.”
Aku mendongak sampai bisa melihat wajahnya. “Tunggu
sebentar. Apakah kau sedang mengatakan padaku kalau kau
ini seorang Dark Guardian? Bahwa kau adalah seorang ksatria
atau semacamnya?”
“Ya, benar. Tugasku adalah melindungimu. Itulah sebab-
nya aku meminta yang lain untuk melanjutkan perjalanan
dan aku kembali, untuk memastikan tak ada yang menya-
kitimu dan untuk mendampingimu pada malam purnama.”
Dia ini pelindungku? Itukah sebabnya dia selalu meng-
awasiku. Aku belum siap menghadapi purnama dan semua
kemungkinan yang akan terjadi. Masih banyak pertanyaan
yang memenuhi benakku tentang Lucas. “Jadi kau bisa mati.”
“Tentu. Api. Peluru.”
“Tapi aku melihatmu sembuh.”
“Cukup menakjubkan, ya?” suaranya mengandung
kebanggaan. “Aku hanya beruntung karena Mason pandir itu
tidak tahu kalau perak adalah tumit Achilles kami. Sebagian

195
sampah dari film Hollywood itu benar. Untuk beberapa
alasan, luka yang disebabkan oleh perak tidak dapat sembuh
seperti luka normal. Pisau, pedang, peluru—kalau semuanya
terbuat dari perak, kami dalam masalah besar.”
Aku sadar dia telah memercayakan rahasia untuk
menghancurkan mereka padaku. Mungkin itu bukanlah
kepercayaan. Mungkin itu adalah perlindungan diri. Perak
dengan tiba-tiba sudah berubah dari perhiasan menjadi
sumber dari potensi kematianku.
“Apakah ada cara untuk tidak menjadi…” Pikiranku
meneriakkan kata orang aneh, tapi aku tidak sanggup
mengatakannya. Tentu dia akan menganggapnya sebagai
penghinaan.
“Tidak,” katanya pelan. Tangannya melingkari leherku dan
dia menyandarkanku pelan ke bahunya, lengannya
memelukku erat seolah dia bisa melindungiku dari perasaan
terpukul oleh jawabannya itu. “Tapi, nggak akan apa-apa,
kok. Percayalah padaku. Aku tahu kau menyimpan banyak
pertanyaan, tapi aku lelah, Kayla. Biarkan aku tidur dulu dan
aku akan menjawab semuanya besok.”
“Baiklah.” Aku mendengar napasnya menjadi teratur dan
merasakan dadanya naik turun di pipiku.
Aku memandangi air terjun yang tercurah. Aku berpikir
untuk bangun dan berjalan ke arah sana. Membiarkannya
mendorongku ke dalam air dan membenamkanku di sana.
Aku tak mau menjadi serigala. Mungkin Mason berpikir itu
benar-benar keren dan bahwa orang akan membeli obat

196
supaya menjadi makhluk berbulu selama beberapa jam, tapi
aku tak akan meminumnya walau gratis.
Semoga Lucas salah. Bahwa hubungan yang dirasakannya
adalah sesuatu yang berbeda. Mungkin anggapannya salah dan
dia salah menilaiku. Aku nggak mungkin menjadi Shifter.
Dan sejauh yang kurisaukan, kalau aku ini Shifter, hidupku
tiba-tiba akan menjadi payah. Menjadi masalah besar.

Aku sedang berjongkok di bibir gua, mendengarkan gemuruh


air terjun sambil memandangi kukuku. Aku sudah merayap
keluar dari tempat tidur ketika Lucas masih pulas. Banyak
hal yang kupikirkan. Sebagian diriku ingin mulai lari dari
Lucas, dari semua ini, dan tak akan berhenti.
Lucas sangat tenang sementara jantungku hampir meledak
dari dadaku ketika dia duduk di sampingku. Aku bangga
akan diriku karena tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa
dia mengagetkanku.
“Kau bangun pagi-pagi sekali. Kamu baik-baik saja?”
tanyanya.
Apakah itu pertanyaan serius? Duniaku, hidupku,
mungkin tidak seperti yang kupikirkan. Tentu saja aku tidak
baik-baik saja. Tapi aku memutuskan untuk melakukan lebih
dari sekadar mengeluh. “Hanya berpikir. Aku tidak pernah
memiliki banyak keberuntungan memanjangkan kuku.
Kurasa itu akan segera berubah.”
Dia tertawa kecil. Atau paling tidak kupikir dia tertawa.
Dengan adanya air terjun, kami harus berbicara keras, jadi

197
tawa kecil sulit didengar, tapi dia tersenyum. Lalu, seakan
dia berpikir kami sedang mengambil risiko merusak teng-
gorokan kami jika kami terus berusaha untuk berbicara di
tempat kami berada, dia menyentak kepalanya ke samping.
Aku mengikutinya ke dalam gua bawah tanah.
“Apakah kau tahu jika orangtua angkatku tahu … tentang
aku, maksudku, aku ini apa? Atau akan menjadi apa?”
“Kurasa tidak. Ketika orangtuamu terbunuh, kamu terlalu
jauh sebelum seorang Dark Guardian dikirim. Begitu
pemerintah ikut campur, agak sulit untuk mendapatkan
kembali milik kami.” Dia membuka sebuah peti dan
melemparkan sekaleng V8 padaku.
“Kupikir serigala adalah karnivora,” kataku datar sambil
membuka tutup kalengku.
“Serigala adalah karnivora. Shifter bukan.” Nada suaranya
menyatakan kalau aku telah menghinanya. Dia menyerahkan
satu batangan protein. “Makanlah. Jaga kekuatanmu.”
Aku merobek bungkusnya dan memandangnya ragu. “Kau
tidak berpikir bahwa dirimu adalah serigala.”
“Aku bukan serigala. Itu wujudku yang berubah, hanya
itu.”
“Hanya itu? Kebanyakan orang tidak menjadi berbulu dan
menggeram. Belum lagi orang-orang gila yang berusaha
menangkapmu untuk penelitian mereka.”
“Apa yang kamu—apa mereka—lihat sebagai hal yang
tidak biasa itu normal bagiku. Aku tahu itu ada dalam DNA-

198
ku. Aku tak sabar menunggu sampai aku berumur delapan
belas.”
Jantungku sedikit tersentak. “Kupikir kau bilang tujuh
belas.”
“Tujuh belas untuk perempuan, delapan belas untuk laki-
laki. Ini berkaitan dengan perempuan-lebih-cepat-dewasa-
dari-laki-laki.”
“Oh, kirain aku bisa mendapat penangguhan.” Batangan
protein itu terasa seperti serbuk gergaji di mulutku.
Dia membuka sebuah kantong makanan kecil seukuran
Double Stuf Oreo dan mengulurkan sepotong biskuit
padaku. Air mataku merebak. Aku sangat menyukai ini. Aku
memandangnya. Dia tengah memperhatikanku dengan
sungguh-sungguh.
“Kutebak kau sedang membaca pikiranku yang ini juga.
Apakah nanti aku bisa melakukan itu? Membaca pikiran?”
“Ya, tapi pertama kali hanya akan terdengar seperti ocehan
yang membingungkan. Kau harus belajar untuk memilah-
milah suara yang masuk.”
“Apakah ada sekolah manusia serigala atau semacamnya
tempat aku bisa mempelajari semuanya?”
“Kami memilih untuk tidak memakai istilah manusia
serigala. Itu terkesan negatif. Coba kau sebutkan satu judul
film yang manusia serigalanya menjadi tokoh baik. Kami ini
Shifter. Dan kami tidak memiliki sekolah, tapi kami memi-
liki pelatihan. Tempatnya di hutan ini.”

199
Aku menghabiskan biskuitku, merapatkan lututku ke dada
dan memeluknya dengan lenganku. “Apakah itu sakit?”
Dia tahu maksud pertanyaanku, dan itu bukan soal pela-
tihannya. Dia berlutut di hadapanku. Dia masih bertelanjang
kaki dan bertelanjang dada. Tidakkah ada peti yang berisi
pakaian? Aku sungguh tergoda untuk mengulurkan tangan
dan menggerakkan jari-jariku di dadanya dan ke atas bahunya.
Tapi, aku memusatkan perhatian pada tatapan peraknya.
“Tidak kalau kau percaya padaku,” katanya tenang.
Aku tertawa lemah. “Apakah kamu yakin kamu tidak salah
tentang aku?”
Tiba-tiba saja dia berdiri dan mengulurkan tangan. “Ayo.
Aku ingin memeriksa keadaan di luar. Lalu kita bisa bersantai-
santai menikmati hari yang indah ini. Lagian, kita ini bukan
vampir.”

Lucas menemukan sebuah kaus. Sepertinya itu bukan milik-


nya atau mungkin miliknya sebelum dia membesarkan otot-
ototnya, sebab kaus itu ketat sekali seolah dia melelehkan
badannya ke dalam kaus itu. Aku benar-benar mulai curiga
dia bisa membaca pikiranku waktu tidak sedang berwujud
serigala.
Aku membuntutinya ketika dia berjalan agak jauh ke
dalam hutan yang mengelilingi tempat kami berlindung. Dia
sangat anggun—seperti pemain Cirque du Soleil yang badan-
nya berotot tapi bergerak dengan kekuatan yang anggun di

200
atas pentas. Aku selalu melihat betapa kuatnya dia, tapi
sekarang aku bisa melihat predator dalam gerakannya.
Aku tidak berpikir mereka akan menangkapnya dengan
tiba-tiba lagi. Dan kalaupun mereka bisa menyusul kami,
kurasa dia akan mengejar mereka dengan penuh dendam.
Seperti manusia serigala Hollywood. Dia mungkin tidak
seperti jenisnya yang diperankan dalam film, tapi aku merasa
di dalam dirinya ada tekad untuk melindungiku. Itu hampir
menakutkan—tapi itu juga menggetarkan.
Akankah dia rela mati demi aku? Apakah aku mau dia
begitu?
Tentu saja tidak. Tapi masih ada hasrat untuk mengetahui
alasannya melindungiku dengan sungguh-sungguh begitu.
Aku tak begitu yakin bagaimana perasaanku dari sudut
pandang “pasangan”. Tak bisa kusangkal bahwa aku memang
tertarik padanya sejak awal—dengan keganasan yang sangat
menakutkan, aku telah menyingkirkan ketertarikan itu dan
memusatkan diri pada Mason. Apa yang kurasakan pada
Mason bisa kuatasi. Apa yang kurasakan pada Lucas ada di
luar kendali.
Bahkan yang lebih menakutkan adalah memikirkan
mungkin Lucas sedang memikirkan hal yang sama
denganku—tapi dia cukup kuat untuk mengendalikannya.
Ketika kami berjalan, tiba-tiba saja dia terdiam untuk
mendengarkan dan mengendus udara. Terlalu buru-buru
untuk memikirkan bahwa sebentar lagi kemampuan indraku

201
akan meningkat—kalau benar aku ini Shifter. Tapi keli-
hatannya tidak mungkin.
Mungkin seharusnya aku memperhatikan bagaimana dia
memeriksa segala sesuatunya. Seharusnya aku berusaha
mempelajari apa saja yang seharusnya kupelajari. Tapi sebalik-
nya, yang kupikirkan malah pakaian. Kalau berubah wujud
menjadi serigala akan membuat lemari bajuku terkena ben-
cana. Lalu apa yang seharusnya kulakukan? Mempunyai tempat
untuk menyembunyikan pakaian di seluruh tempat ini?
“Ya,” katanya pelan, lalu tegang.
Tapi dia tidak sekaku diriku.
“Kau bisa membaca pikiranku bahkan ketika kau tidak
sedang berwujud serigala, ya,” tuduhku.
Dia menyisirkan jemarinya yang kekar ke dalam rambut-
nya yang indah itu. “Hanya kalau aku memusatkan pikiran
padamu.”
“Dan kau sedang memusatkan pikiran padaku sekarang?”
“Bagaimana tidak? Kau wangi sekali—”
“Apakah kau memperolokku? Aku dekil.”
“Tapi di dalamnya adalah wangi alami kulitmu. Itu yang
kucium.” Dia mulai berjalan lagi menuju tempat yang ter-
buka. “Yuk. Kita berenang.”
Hampir saja aku tersandung ketika berusaha menyusulnya.
Aku masih agak tergetar mengetahui bahwa dia sangat penuh
perhatian padaku, mencium bau kulitku. “Terus? Memang-
nya kau menyimpan baju renang yang kausembunyikan
dalam peti di gua?”

202
Dia menoleh dan memberiku cengiran yang sangat licik.
“Siapa yang butuh baju renang? Belum pernah dengar tentang
berenang telanjang, ya?”

Oke, kemungkinan besok malam dia akan melihatku telan-


jang sebelum melihatku berbulu, tapi aku memerintahkannya
untuk berbalik membelakangiku ketika aku membuka baju
dan menyelam ke air. Airnya dingin, menyegarkan, dan jernih
sekali. Ketika aku muncul ke permukaan, dia sudah berada
di air, beberapa meter jauhnya. Jadi mungkin dia juga agak
malu, untuk telanjang di depanku. Walaupun aku sudah
pernah melihat bagian belakangnya.
Sambil menjejak air, aku bertanya, “Jadi tato yang ada di
bahumu itu, apa artinya?”
“Setiap laki-laki mendapat sebuah tato waktu dia siap
mengumumkan gadis yang dipilihnya sebagai pasangan. Ini
melambangkan namanya, tertulis dalam bahasa kuno dari
kumpulan kami.”
“Siapa yang kaupilih?”
Dia memandangku seolah bertanya apakah aku sedemikan
bodohnya.
“Oh.” Aku menelan ludah dengan susah payah. Aku benar-
benar kagum bahwa dia bisa merasakan sesuatu yang kuat
dan tidak mengatakannya. Bagaimana bisa dia menyatakan
perasaannya kepada seniman tato itu tanpa tahu apakah aku
akan membalas perasaan atau tidak? “Aku bahkan mengira
kau tak menaruh perhatian padaku musim panas lalu.”

203
“Oh, aku memperhatikanmu, kok. Rasanya seperti bam,
tepat ke sasaran.”
“Kau tak mengatakan apa-apa.”
“Kau baru enam belas tahun dan masih anak SMU, dan
aku sudah akan masuk perguruan tinggi.”
“Aku masih di SMU dan kau masih di perguruan tinggi.”
“Tapi kau sudah lebih dewasa. Dan setahun lagi kau akan
tamat SMU. Begitu lulus, kau bisa masuk ke universitas yang
sama denganku.”
“Jadi aku akan bertemu dengan orangtua angkatku lagi?”
“Tentu saja. Kau akan pulang ke rumah akhir musim panas
ini—agak berbeda daripada dirimu yang dulu ketika baru
sampai di sini.”
Itu adalah keterangan yang mengecilkan permasalahan.
Bahkan kalaupun tidak berubah wujud, aku tak akan pernah
melupakan semua yang telah kupelajari—dan aku akan men-
cari Shifter di mana-mana.
“Kami hidup di dunia luar, di tengah kaum Static,” lanjut-
nya. “Sangat normal. Atau senormal yang kami bisa ketika
kami bertanggung jawab melindungi rahasia keberadaan
kami.”
Aku masih tak habis pikir dengan apa yang telah diputus-
kannya musim panas lalu ketika dia bertemu denganku. “Tapi
keputusan yang kau buat musim panas yang lalu tentang
kita—bagaimana kalau kau tidak pernah bertemu denganku
lagi?”

204
Aku tahu di mana kau tinggal, Kayla. Aku akan men-
datangimu, kalau Lindsey tak bisa meyakinkanmu untuk
bergabung dengan kami di sini musim panas ini. Aku tidak
akan membiarkanmu menemukan kenyataan tentang dirimu
sendirian.”
“Jadi Lindsey tahu apa yang kaurasakan.”
“Ya, tapi ada aturannya. Kau tidak akan memberi tahu
orang lain tentang siapa yang dipilih oleh seorang lelaki.”
Aku tersanjung—dan terkesima.
Mungkin dia adalah tipe laki-laki yang tidak nyaman
membicarakan perasaannya, dan dia pun mulai berenang
menyeberangi kolam. Gerakan yang kuat dan bertenaga.
Otot-otot di punggungnya tertarik dan meregang. Tatonya—
namaku dalam huruf-huruf kuno—nampak seperti ber-
denyut.
Dia sudah berkomitmen kepadaku tanpa tahu apakah aku
akan membalasnya. Aku sangat tersanjung, tapi aku juga
merasa luar biasa kewalahan. Perasaan mendalam yang dirasa-
kannya terhadapku melebihi semua yang pernah kurasakan
kepada seorang lelaki. Dan lagi, aku tak bisa menyangkal
bahwa ada sesuatu di antara kami berdua.
Aku mulai berenang dengan gaya punggung ke arah
berlawanan, menyadari aku meluncur sedikit terlalu cepat
dari yang kuinginkan, lalu kembali dengan gaya anjing. Atau
dalam kasusku kurasa ini adalah gaya serigala.
Dia berenang kembali ke arahku dan berhenti sekitar
setengah meter jauhnya.

205
“Tatomu itu. Rafe juga punya tato yang mirip dengan itu.”
“Ya.”
Mataku melebar. “Dia juga manu—” aku menghentikan
kata-kataku tepat pada waktunya. “Dia juga Shifter?”
“Ya.”
“Nama siapa yang ada di bahunya?”
“Aku tak bisa memberitahumu. Aku telah mengangkat
sumpah kerahasiaan.”
Menyebalkan sekali. Aku kan bukan tukang gosip, tapi
aku penasaran sekali.
“Bagaimana kalau kau salah tebak?” tanyaku. “Bagaimana
kalau kau salah mengartikan perasaan itu? Bagaimana kalau
gadis itu tidak merasakan hal yang sama seperti yang kau-
rasakan terhadapnya?” aku punya begitu banyak pertanyaan.
Aku tidak benar-benar memahami cara kerja terkait masalah
pasangan ini, tapi agaknya lebih besar daripada salah satu dari
kami.
“Itu taruhan. Kau menjalani hidupmu dengan nama
seorang gadis di bahumu, dan tidak ada gadis lain yang meng-
inginkanmu karena kau sudah memberikan kesetiaanmu
kepada orang lain terlebih dahulu.”
“Itu berat.”
“Itulah yang membuat kami tidak memilih dengan
sembarangan.”
Perasaanku benar-benar campur aduk memikirkan dia
sudah memilihku—atau sudah takdir. Aku tak begitu yakin
bagaimana keseluruhan takdir pasangan ini bekerja. “Tapi kau
hampir-hampir tak mengenalku musim panas yang lalu.”

206
“Aku sudah cukup tahu, Kayla. Untuk kita, waktu kau
bertemu belahan jiwamu … kau akan tahu begitu saja. Aku
nggak tahu bagaimana menjelaskannya. Tidakkah kau
merasakan sesuatu ketika bertemu denganku?”
“Takut,” aku mengakui. “Bingung. Memang aku mem-
perhatikanmu, tapi aku sama sekali tak berpikir tentang kau
dan aku. Maksudku, lihat dirimu! Kau lebih tua, keren, kuat
… dan aku hanyalah si rambut merah yang penuh bintik-bintik.
Dia tersenyum. “Aku suka rambut merah dan bintik-
bintikmu. Dan aku suka karena kau memiliki kekuatan di
dalam dirimu yang kupikir tidak kausadari. Kau mengambil
risiko besar untuk membebaskanku dari kandang itu.”
“Apa yang mereka lakukan itu salah.”
“Tapi tidak semua orang akan melakukan hal yang sama.
Dan waktu kau memukul Mason—aku suka itu.”
Aku merasakan kehangatan rasa malu yang merambati
wajahku. “Heran, ya, kenapa aku bisa termakan kata-kata
gombalnya.”
“Dia telah membohongi banyak orang.”
“Tapi kamu tidak.”
“Aku punya kecurigaan, tapi hanya itu. Aku berasal dari
masyarakat yang selama berabad-abad dianiaya karena dituduh
mencemarkan nama orang lain. Aku tidak akan menjatuhkan
tuduhan tanpa bukti.”
Bahkan jika menunggu untuk mendapatkan bukti itu
sampai harus mengorbankan kebebasannya, atau bahkan
nyawanya.

207
“Bagaimana dengan Connor? Dan Brittany? Apakah
mereka—” otakku tiba-tiba berputar.
“Sebagian besar sherpa iya. Itu cara kami mengendalikan
bagian mana dari belantara ini yang boleh dikunjungi oleh
kaum Static. Kalau kami melarang mereka masuk, mereka
pasti akan curiga. Itulah sebabnya, kami memandu mereka
ke tempat yang kami ijinkan untuk mereka kunjungi dan
menjauhkan mereka dari tempat yang tidak ingin kami
tunjukkan.”
“Mason percaya ada sebuah desa di suatu tempat di sini.”
Wajahnya mengeras, matanya seperti batu yang telah di-
poles licin. “Ya, aku masih berusaha mencari tahu bagaimana
dia bisa mendapat petunjuk itu. Maksudku, legendanya
memang ada, tapi dia kelihatannya agak kelewat yakin.”
Dalam kekagetanku, aku lupa untuk menggerakkan kaki.
Aku tenggelam, menutup mulut tepat pada waktunya untuk
menghindari keharusan muncul sambil menyemburkan air.
Sepertinya aku harus berusaha mengurangi betapa bodohnya
aku terlihat. Aku mendorong diriku ke atas.
Aku melihat tampang Lucas yang jenaka yang meng-
ingatkanku pada anjing yang sedang menelengkan kepala
karena kebingungan. Aku pasti akan tertawa kalau saja aku
tidak sedang mencerna apa yang baru saja dikatakannya. “Jadi
desa itu benar-benar ada?”
“Wolford. Para tetua tinggal di sana. Kami semua ber-
kumpul di atas sana untuk menyaksikan titik balik matahari
musim panas. Desa itu cukup tersembunyi. Nggak mungkin

208
Keane aneh dan para pengikut bodohnya itu bisa menemu-
kannya.”
Aku tidak begitu yakin, tapi aku memikirkan sesuatu yang
lain, yang dikatakannya. “Kenapa kau berusaha mencari
jawaban bagaimana mereka mendapatkan petunjuk itu?
Kamu suka teka-teki, ya? Kau seorang ahli strategi?”
“Kupikir kau sudah memahaminya. Aku adalah pemim-
pin perkumpulan. Lelaki alfa dalam kelompok.”
Entah kenapa aku tak menyadari sebelumnya. Dari cara
Rafe tunduk padanya. Aku selalu berpikir bahwa Lucas adalah
orang yang bertanggung jawab atas para sherpa.
“Jadi bagaimana cara kerjanya? Apakah para tetua yang
kau sebutkan tadi yang memilih?”
“Tidak. Melalui pertarungan. Ketika kita berwujud
serigala. Kita menantang dan mengalahkan pemimpin yang
sekarang.”
Seperti binatang liar? Dia ini apa? Manusia atau binatang
buas?
“Dan itu yang kau lakukan? Mengalahkannya?”
Dia balas menatapku seolah dia hendak menilai reaksiku
atas kata-katanya. “Itu pertarungan sampai mati.”
Kali ini, ketika aku berhenti menggerakkan kaki dan
tenggelam, aku nggak yakin ingin muncul ke permukaan lagi.
Ada sesuatu dalam masyarakatnya yang membuatku tak yakin
apakah ingin menjadi bagian darinya.

209
E M PAT BELAS

“Devlin adalah pemimpin perkumpulan sebelum aku.”


Lucas dan aku sudah tidak berada di air lagi. Kami sudah
berpakaian dan berbaring di atas selimut dekat kolam tapi
cukup jauh dari air terjun sehingga suara air terjun tidak
menelan kata-kata kami. Tempat ini terlihat begitu damai
untuk semua yang sedang kupelajari tentang Lucas. Langit
sangat biru dengan awan putih lembut yang melintas. Ketika
kegelapan mulai datang, aku menjadi semakin dekat pada
purnama. Badanku serasa digelitik oleh pikiran itu—seolah
aku sudah tak sabar menunggu. Tapi secara psikologis, aku
tak bisa menerima bahwa aku akan menjadi berbulu. Lengan-
ku pernah patah saat aku berumur delapan tahun. Mereka
pernah memotretnya dengan sinar-X. Sudah pasti tulang-

210
tulang Shifter berbeda, bersendi banyak. Bagaimana mereka
bisa berubah dari manusia menjadi makhluk yang begitu
berbeda? Itu sangat sulit kupahami.
“Aku tak sempat membunuhnya,” kata Lucas, dan aku
mendengar kekecewaan dalam suaranya. “Dia melarikan diri,
seperti pengecut. Jadi kenaikanku sebagai pemimpin
perkumpulan sedikit ternoda.”
Aku memutar kepalaku ke samping dan mengamati raut
wajahnya yang tampan. Dia memusatkan pandangannya ke
langit. Barangkali menceritakan rahasia masa lalunya yang
gelap padaku sama beratnya untuk dia, sama halnya seperti
aku. Aku tak bisa membayangkan membunuh seseorang—
tapi melakukannya demi kekuasaan … aku ingin memahami
Lucas, tapi dunianya sangat mengerikan.
“Kenapa kau ingin menjadi yang berkuasa?” tanyaku.
Dia menoleh dan menatapku. “Devlin adalah pemimpin
yang sangat tidak becus. Dia terus menempatkan yang lain
dalam bahaya. Mengambil risiko. Menyingkap keberadaan
masyarakat kami. Dia harus dihentikan. Tapi pada akhirnya
aku tidak menghentikan dia. Aku sangat yakin serigala hitam
yang kau lihat—itu adalah dia.”
“Jadi waktu kaubilang dia punya serigala piaraan itu….?”
“Aku memutarbalikkan kebenaran. Kadang-kadang kita
harus melakukannya. Sama seperti malam ketika Keane mem-
bicarakan tentang manusia serigala, dan kami semua
menertawakannya seolah itu menggelikan.”

211
Aku tahu, harus berpikir cepat agar tidak membocorkan
rahasia.
“Jadi kau berpikir mungkin karena dialah Keane
mengetahui tentang kalian … para Shifter?”
Dia tersenyum sedih. “Tentang kamu, juga. Kau adalah
salah satu dari kami.”
“Ya.” Dia benar-benar yakin. Tapi aku tidak. Pertaruhan
baginya kalau dia telah memilih seseorang yang bukan Shifter.
Aku duduk bersimpuh. “Aku tahu seharusnya aku senang
sekali tentang itu—”
“Itu sudah cukup untuk membungkus kepalamu,”
katanya sambil bertumpu pada sikunya.
“Apakah aku harus melakukan sesuatu untuk memper-
siapkan diri?” Kelihatannya aku harus melakukan sesuatu.
Jelas sekali aku tak punya alasan lagi untuk mencukur kakiku.
Aku menyentuh kakiku yang telanjang, dan mencoba
menemukan apa yang benar-benar tak bisa kuterima. “Sebagai
serigala, apakah kakiku akan botak kalau kucukur?”
“Apakah wajah serigalaku botak?”
Aku tertawa malu. “Tidak. Sebenarnya kau sama indahnya
sebagai serigala atau sebagai dirimu….” Aku membiarkan
kata-kataku mengambang. Apakah aku benar-benar ingin
mengakuinya?
Dia tersenyum nakal padaku. “Menurutmu aku tampan,
ya.”
“Tampan sih, tidak! Dengan pasti tidak. Cantik … iya.”

212
Dia bangun dan duduk, lalu mencondongkan badan ke
arahku. “Menurutku kamu juga cantik. Itulah yang kupikirkan
sejak pertama kali melihatmu.”
Aku merasa semakin senang. “Itukah yang membuatmu
terus-terusan memandangi aku?”
“Ya. Kupikir kau akan tahu perasaanku. Mungkin sedikit
menakutkan juga, ada seseorang yang terus memandangimu
dan tidak pernah bicara padamu.”
“Kamu nggak kelihatan seperti tipe yang pemalu.”
“Pertama kali aku melihatmu seperti ada sesuatu yang
berdentam di dadaku. Sungguh. Kupikir aku tidak akan
bernapas dengan benar lagi. Aku nggak tahu apa yang harus
kukatakan padamu.”
Dia menyentuhkan jari-jarinya ke pipiku. Kalau melihat
dia yang sekarang, dia terlihat seperti laki-laki remaja pada
umumnya.
“Pada malam sebelum para sherpa pergi, kau dan Rafe
bertengkar, ya.”
“Ya. Dia tahu kau adalah salah satu dari kami, dan berpikir
aku ini tidak bertanggung jawab dengan meninggalkanmu.
Tapi aku tidak mau memaksamu pergi, membuatmu marah
padaku, dan aku belum tahu bagaimana harus memberi-
tahumu tentang kemampuan kita. Dan oke, jujur saja, aku
cemburu karena kau sangat tertarik pada Mason.”
“Aku tak tahu apakah aku benar-benar tertarik padanya.
Aku menyukainya dia karena dia tidak rumit, karena dia tidak
membuatku merasakan semua kegilaan seperti yang kaulaku-

213
kan. Daya tarik yang kaubicarakan—aku tak pernah merasa-
kan yang seperti itu sebelumnya. Jadi apa itu? Seperti ikatan
binatang atau apa?”
“Ikatan itu mungkin kuat, tapi itu tidak bisa membuatmu
merasakan apa yang tidak benar-benar kaurasakan. Kalau itu
bisa diterima akal. Kita merasakan dorongan-dorongan ini
karena kita berjalan di antara manusia dan binatang buas,
namun pada intinya kita ini adalah manusia. Kita hanya mem-
punyai kemampuan untuk berubah ke dalam wujud yang
lain.”
“Kau berkata begitu seolah ini bukan apa-apa.”
“Aku tumbuh dengan melihat orang berubah-ubah wujud
semudah orang menekan remote untuk memindahkan saluran
TV.”
“Lalu siapa yang membimbingmu?” tanyaku.
“Lelaki melewati ini sendirian.”
“Tidakkah itu membuatnya semakin sakit?”
“Kelihatannya tidak adil, kan? Tapi inilah bentuk seleksi
alam. Laki-laki yang lebih lemah tidak akan bertahan hidup.”
“Apakah kau takut?”
“Aku tak sabar menunggu, tapi aku tahu apa yang akan
terjadi. Waktu aku masih kanak-kanak, orangtuaku meng-
ajakku masuk ke hutan, menjelaskan banyak hal, menun-
jukkan padaku—”
“Astaga!” aku memandang berkeliling dengan cepat karena
lebih aman daripada memandang langsung kepadanya atau
ke dalam diriku.

214
Dia terduduk tegak. “Apa? Ada apa?”
“Orangtuaku … para pemburu rusa itu bilang mereka
melihat serigala.” Aku membenamkan wajah ke dalam
tanganku. “Bagaimana kalau itu ternyata orangtuaku? Mereka
sedang menunjukkannya padaku? Kami berlari. Ibu men-
dorongku ke dalam semak-semak. Ada suara menggeram.”
Aku menahan gambaran itu. “Ada serigala,” aku mengata-
kannya dengan penuh kepastian yang tak pernah kurasakan
sebelumnya.
Aku menurunkan tanganku dan bersitatap dengan Lucas,
mungkin dia melihat kehancuran di mataku. “Serigala-serigala
itu. Mungkinkah mereka orangtuaku?”
“Masuk akal kalau itu mereka.”
Hanya saja kalau aku menerima gagasan bahwa aku ini
juga manusia serigala. Aku masih sulit untuk menerima-
nya.
“Kalau aku mati dalam wujud serigala, apa yang terjadi?”
tanyaku.
“Spesies kami selalu berubah kembali ke wujud manusia
tepat sebelum mati.”
“Jadi para pemburu itu mungkin saja benar ketika mereka
mengatakan mereka menembak serigala?”
Lucas mengangguk.
Aku menggeleng. “Tidak, orangtuaku tidak telanjang. Dan
kalau mereka benar ditembak, bukankah mereka akan
sembuh?”
“Tidak kalau mereka tertembak di jantung atau kepala.”

215
“Tapi mereka akan telanjang,” renungku. Dan mereka
tidak telanjang. Setidaknya aku tak mengingat mereka seperti
itu.
Musim panas yang lalu aku tidak berkeinginan untuk pergi
ke bagian hutan tempat mereka meninggal. Tiba-tiba aku
sadar, untuk menghadapi masa lalu dan ketakutanku sekarang,
aku harus kembali ke tempat itu. Aku bahkan tidak tahu
bagaimana caranya menemukan tempat itu.

Malam harinya aku berjalan mondar-mandir di gua bawah


tanah itu dengan kegelisahan yang tak mampu kujelaskan.
Atau mungkin ini karena aku tidak mau menerima kenyataan.
Aku menghabiskan sepanjang sore bersama Lucas di dalam
dunia kami yang terisolasi ini, membuatku semakin menge-
nalnya. Kupikir aku bisa mencium bau kulitnya. Akan
semakin sulit untuk berbaring bersamanya malam ini dan
hanya memeluk dan dipeluk olehnya.
Aku berjalan ke bibir gua bawah tanah, menutup mataku,
dan mendengarkan deru air yang meluncur ke bawah. Aku
ingin mengosongkan otakku dari semua pikiran. Tapi ada
satu yang tersisa: kalau aku tidak berubah wujud besok malam,
akankah aku kehilangan dia?
Walaupun deru air terjun sangat keras dan mataku tertutup,
aku tahu ketika dia melangkah di belakangku.
“Kayla?”
Aku menyukai bunyi suaranya yang dalam dan caranya
memanggil namaku. Aku berbalik menghadapnya.

216
“Tidak ada yang berubah di antara kita,” katanya.
“Segalanya telah berubah. Sekarang aku sudah mengenal-
mu dengan lebih baik. Seperti aku telah mengikuti kursus
kilat tentang Lucas Wilde. Aku merasakan hal-hal yang belum
pernah kurasakan sebelumnya.”
“Hal-hal yang baik?”
“Hal-hal yang menakutkan. Kuat. Bagaimana kalau aku
tidak seperti yang kaupikirkan?”
“Maksudmu kamu tidak berani?”
Aku tertawa malu dan menggeleng. “Bukan itu yang—”
“Kau tidak memiliki kekuatan di dalam dirimu? Kau
bukan pemberani? Kau akan berubah, Kayla, tapi apa yang
kurasakan padamu bukan karena kau akan berubah—itu
karena segala sesuatu yang tidak akan berubah.”
“Oh.” Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Kupikir
itu mungkin sangat mendekati pernyataan cinta yang mungkin
kudapatkan.
“Ayo.” Dia meraih tanganku dan membimbingku ke
kantong tidur.
Aku merasa nyaman dalam pelukan Lucas. Aku bisa men-
dengar detak jantungnya, merasakan kehangatan tubuhnya.
Terasa berbeda malam ini. Kedekatan kami sudah berubah,
berkembang. Dia bukan lagi Lucas, bosku. Dia adalah Lucas,
Dark Guardianku.
Sekalipun jika aku berpikir tidak membutuhkan pelin-
dung, aku tahu dia akan selalu ada.

217
“Akankah itu terjadi”—jika itu terjadi, pikirku— “begitu
bulannya muncul?”
“Tidak, sampai bulan mencapai puncaknya.”
“Bagaimana aku bisa tahu?”
“Kau akan mulai merasa … berbeda. Jangan membiarkan
itu menakutimu. Aku tahu kau mengetahui ini belum terlalu
lama, tapi bagi kami perubahan adalah bagian yang alami
dalam hidup kami—seperti halnya pubertas.”
“Ya, aku mengalami rasa sakit yang tidak menyenangkan
selama pubertas.”
Dia menempelkan bibirnya di keningku. “Jadi sekarang
kau akan sering merasa sakit, tapi sakitnya akan datang dan
pergi dengan cepat.”
Aku masih punya seribu pertanyaan seiring waktuku yang
semakin dekat. “Waktu kau berwujud serigala, apakah kau
berpikir seperti serigala?”
“Entahlah. Aku tak tahu cara berpikir serigala.”
Aku tertawa, lalu terdiam. “Kau tahu apa yang kutanya-
kan.”
“Kau masih dirimu, Kayla. Di dalamnya. Kau hanya terlihat
sedikit berbeda. Waktu aku berwujud serigala, aku lebih agresif,
bisa bertarung dengan lebih baik—itu alasannya aku berubah
waktu beruang itu akan menyerangmu. Aku bisa berlari lebih
cepat sebagai serigala, jadi kalau aku ingin sampai di suatu tempat
dengan cepat, aku biasanya akan berubah.”
“Kupikir kau cukup cepat semalam—waktu kau tidak
dalam wujud serigala.”

218
“Kebanyakan Shifter cepat dan kuat. Badan kami terlatih
secara terus-menerus.” Dia menyapukan bibirnya ke pelipis-
ku. “Kau akan baik-baik saja, Kayla.”
Sebuah getaran menembusku ketika suaranya berbisik di
dekat telingaku. Kulitnya hangat menempel pada jari-jariku
yang menyentuh dadanya.
“Kau bilang aku adalah pasanganmu,” kataku, suaraku
rendah dan ragu-ragu. “Apakah itu berarti kita akan me-
nikah?”
“Tidak perlu. Biasanya pasangan itu akan menikah, tapi
tidak selalu. Kita akan melalui masa pacaran kalau kau mau
pergi denganku. Tapi kau tidak dipaksa untuk bersamaku—
jika itu bukan kemauanmu.”
Suaranya menjadi sangat tenang.
“Kalau aku tidak mau menjadi pasanganmu, akankah kau
mencari yang lain?”
“Tidak, aku akan sendirian.”
Jantungku tersentak. Aku menopang kepalaku dengan
siku dan memandangnya. Bulan—sedikit lagi akan pur-
nama—besar dan terang, bersinar menembus air terjun seakan
airnya hanyalah tirai yang tipis. “Itu tidak adil.”
“Aku tahu. Shifter laki-laki mendapat hasil mentah dari
perjanjian ini. Mereka merasakan yang mereka rasakan, dan
perempuan yang memilih.”
“Apakah mereka pernah bertarung memperebutkan se-
orang perempuan?”

219
“Tentu. Kadang-kadang seorang gadis ingin tahu siapa
yang lebih kuat, siapa yang lebih menginginkannya. Kami
adalah manusia tapi sekaligus juga binatang.”
“Aku tidak tahu apakah aku akan mampu memahami ini
semua.”
Dia membelai pipiku dengan tangannya dan menyu-
supkan jari-jarinya ke dalam rambutku. “Apakah kau takut
akan apa aku sebenarnya?”
Anehnya, aku tidak ketakutan olehnya. Oleh diriku
sendiri, iya. Aku benar-benar punya masalah untuk
mengatasinya, tapi Lucas tetaplah Lucas. Berbaring di sini
bersamanya, aku bisa melupakan bahwa kadang-kadang dia
berbulu lebat.
“Tidak,” jawabku jujur.
“Baguslah.” Dia berguling sampai aku terbaring dan dia
di atasku. Dia membelai pipiku dengan tangannya yang besar
dan hangat. “Bagus,” ulangnya.
Lalu dia menciumku. Bukan seperti ciuman yang pernah
kualami sebelumnya, dan aku tak menduganya. Tapi itu
sangat Lucas. Dan dia tidak seperti kebanyakan lelaki yang
pernah kukenal. Bibirnya halus dan lembut, seakan dia tidak
yakin apakah aku menginginkannya. Tapi bagaimana
mungkin aku tak menginginkannya?
Aku memohon hal itu pada hari ulang tahunku.
Dia menarik diri dan melihatku dengan pandangan aneh.
“Kau tersenyum waktu dicium?”

220
Senyumku semakin lebar. “Permohonan ulang tahunku
baru saja terkabul. Waktu aku meniup lilin, aku memohon
kau akan menciumku.”
“Benarkah?”
“Aku tahu itu aneh. Aku bahkan nggak yakin apakah
menyukaimu. Kamu selalu begitu intens.” Aku mengangkat
tanganku dan menyisir rambutnya dengan jari-jariku.
“Sekarang aku tahu kenapa.”
Aku ingin memercayai apa yang dipercayainya, bahwa aku
akan berubah, bahwa aku adalah takdirnya—tapi semua itu
kelihatannya terlalu mengherankan.
Dia menarikku ke dalam lingkaran lengannya. Aku
menempelkan ciuman lembut ke bahunya.
“Lebih baik kita tidur saja sekarang,” katanya. “Kau akan
membutuhkan segenap kekuatanmu besok malam.”
Lucas yang praktis. Aku ingin menjadi manja dan menga-
takan sesuatu seperti, “Kekuatan? Siapa yang butuh kekuatan
kalau ada kamu?”
Tapi dia benar. Besok segalanya akan berubah. Dan itu
menurutnya, yang melibatkan diriku.

***

“Kayla, bangun.”
Suaranya mengandung desakan yang belum pernah
kudengar sebelumnya. Aku tidur terbungkus dalam

221
kepompong pelukannya. Aku tak tahu kapan dia mening-
galkanku, tapi sekarang dia berjongkok di sampingku, meng-
goyang bahuku. Aku menyipitkan mata ke arahnya. Aku tak
menyangka bisa tertidur senyenyak ini, dan aku kesal karena
dia membangunkanku. “Ada apa?”
“Entahlah. Mungkin hanya perasaanku saja.”
Kata-katanya menyentakku seperti kafein. Dan aku bisa
merasakannya juga. Sama seperti malam itu, perasaan meng-
gelitik yang kurasakan, perasaan seperti sedang diawasi.
“Mason. Mereka menemukan kita,” kataku.
“Tidak mungkin. Mereka tidak punya pelacak dalam
kelompoknya. Dan daerah ini terlalu tersembunyi.”
“Kita juga tidak tahu apakah mereka punya ilmuwan
dalam kelompok mereka—dan nyatanya mereka memang
punya.”
“Poin yang bagus.” Dia menyandangkan ransel ke
lenganku. “Sini, kau pakai ini. Aku mungkin harus berubah.”
Aku mulai memakai sepatuku. “Apa yang akan kita
lakukan?”
“Memeriksa sekeliling, dan kalau perlu, lari.”
Dia berdiri dengan keanggunan dan keluwesan gerakan
yang dimilikinya. Lalu dia meraih ke bawah, memegang
tanganku, dan menarikku berdiri. Sambil tetap memegangi
tanganku, dia membimbingku menuju air terjun. “Kau
tunggu saja di mulut gua sampai aku selesai memeriksa—”
Terlihat bayangan sesosok tubuh melangkah masuk ke
mulut gua, dan sama seperti dalam film picisan, dia meno-

222
dongkan senapan. Dia bukan seseorang yang kukenal, tapi
Lucas menjadi tegang dan mendorongku ke belakangnya. Dia
bergeser sedikit lebih dekat ke air terjun, lalu berusaha
mendorongku ke belakang. “Keluar dari sini.”
“Oh, Lucas, apakah kau sungguh menginginkan dia
ketinggalan pesta ini? Dan di mana sopan santunmu? Tidak-
kah seharusnya kau mengenalkan kakakmu pada pacarmu?”
Devlin? Inikah Devlin? Aku mengintip di belakang Lucas
agar bisa melihat lebih jelas. Menurutku, kalau bukan karena
semua kebencian dalam matanya, Devlin mungkin terlihat
tampan. Tadinya mungkin dia memang tampan. Apa yang
mengubahnya?
Lucas menggeram rendah dan bergeming.
“Jangan pernah berpikir untuk berubah,” kata Devlin.
“Aku mengisi senapan ini dengan peluru perak. Kalau aku
menembakmu ketika kau berwujud serigala, tidak akan
tertolong—kau akan mati. Mungkin tidak seketika, tapi
pasti.”
“Aku tahu bagaimana pengaruh perak. Apa yang kau-
inginkan?”
“Kembalinya hakku sebagai pemimpin perkumpulan pasti
menyenangkan.”
“Pemimpin perkumpulan mengabdi sebagai pemimpin
Dark Guardian. Dia melindungi keberadaan kaum kita. Tapi
kau membawa Keane pada kami.”
“Itu kan hanya terkaan dari pihakmu, tapi pada kenya-
taannya kau memang benar.”

223
“Apakah kau membawa mereka kemari?”
“Tidak. Orang-orang bodoh itu, aku sudah cuci tangan
dari mereka waktu mereka tidak membunuhmu. Mereka
sudah pergi dengan helikopter. Kubayangkan mereka akan
kembali. Tapi aku tak peduli lagi. Mereka seharusnya
mengautopsimu, meneliti kamu. Tapi mereka hanya beren-
cana untuk mengambil darahmu dan menyeka mulutmu.
Di mana kesenangannya?”
“Kau sudah menempatkan seluruh keberadaan kita dalam
bahaya.”
Devlin menghela napas panjang. Aku masih berusaha
menemukan sedikit kemiripan dirinya dengan Lucas, tapi
aku tak bisa. Rambutnya hanya sewarna: hitam. Matanya
kelabu tanpa tanda-tanda kehidupan. Apa yang terjadi sampai
dia menjadi seperti ini?
“Keberadaan kita sudah dalam bahaya. Tinggal sedikit dari
kita yang tersisa. Apakah kau pikir ada perempuan Static yang
akan menikah dengan kita? Astaga, aku benci apa sebenarnya
kita ini.”
“Hanya karena seorang gadis—”
“Seorang gadis? Dia segalanya bagiku. Keluargaku sendiri
tidak akan menerimanya. Dia tidak akan menerimaku. Suatu
malam aku berubah wujud untuk menyelamatkan nyawanya
ketika beberapa bajingan menyerangnya di sebuah gang, dan
semua yang kulakukan itu membuatnya ketakutan. Apakah
kau tahu apa artinya menamai pasanganmu lalu mengetahui
kau tidak bisa memilikinya? Mengetahui kalau kau ditak-

224
dirkan untuk menghabiskan sisa hidupmu sendirian dan
kesepian? Selalu hampa dan tidak memiliki cinta untuk
mengisi kehampaan itu?”
“Aku tahu itu berat—”
“Kamu nggak tahu apa-apa! Tapi kau akan tahu. Sebelum
purnama besok, kau akan tahu. Kau akan tahu apa artinya
membenci apa sebenarnya dirimu itu. Aku pergi kepada
Keane karena aku ingin menemukan penyembuh bagi
diriku ini. Aku ingin dia membuatku normal. Namun
sebaliknya, dia malah ingin membuat semua orang sama
seperti kita.”
“Jadi kau tidak bekerja sama dengan mereka?” tanyaku.
Aku merasa Lucas menjadi tegang lagi. Aku tahu dia ingin
aku pergi diam-diam, tapi kakaknya itu berbahaya.
Devlin tak menjawab pertanyaanku. Sebaliknya, dia
berkata, “Kalau kau tidak mendampinginya ketika dia
berubah untuk pertama kalinya, kau bisa kehilangan dia.
Hatimu akan hancur dan kau akan memahami luka hati-
ku.”
“Aku akan di sana untuknya.”
“Kita lihat saja.” Devlin mulai bergerak perlahan ke dalam
gua. Lucas berbalik untuk menghadapinya sambil men-
dorongku menjauh.
Aku tak tahu apa yang kuharapkan. Mungkin mereka
berdua akan berubah dan bertarung. Maksudku, kalau Devlin
menginginkan Lucas menderita, dia akan membuatnya tetap
hidup.

225
Lalu suara ledakan bergema di gua bawah tanah itu dan
Lucas terempas ke belakang dan jatuh ke dalam air terjun,
mengagetkanku, lalu naluriku yang mengambil alih.
Jeritan ketakutanku hilang tertelan deru air ketika aku
terjun ke dalam air untuk menolongnya.

Menjadi perenang yang andal adalah sebuah keuntungan


ketika berton-ton air mendorongmu ke bawah. Semua
pelajaran penyelamatan yang pernah kuambil waktu aku
bekerja sebagai penjaga kolam renang juga tidak merugikan.
Kalau bukan dalam keadaan seperti ini, mungkin aku
sangat mengagumi betapa berkilaunya kolam ini dengan
cahaya bulan bersinar menembus jernihnya air, tapi semua
usahaku terpusat untuk menyelamatkan Lucas. Aku meling-
karkan lenganku ke punggung dan dadanya sebelum
meluncur kembali ke permukaan. Aku berenang ke tepi
kolam, jauh dari air terjun.
“Bantu aku, Lucas,” perintahku.
Aku mendengar dia mengerang, merasakan dia menggigil,
dan sadar akan darahnya yang hangat mengucur di sekitarku.
Aku berusaha mendorongnya keluar dari air. “Lucas, ku-
mohon.”
Dengan erangan lain dan usaha yang sangat besar, dia
menyentak naik dan menelungkup terkulai ke atas rumput.
Aku mendorongnya sampai seluruh badannya keluar dari air.
Lalu aku menyeret diriku keluar dan berlutut di sampingnya.

226
“Separah apa lukanya?” tanyaku.
“Parah,” jawabnya melalui giginya yang terkatup.
Aku mengangkat kausnya. Dalam sinar bulan dan cahaya
redup menjelang fajar, aku bisa melihat lubang gelap di
pinggangnya dan darah mengalir dari luka itu. Aku merobek
kemejaku, hanya meninggalkan tank top yang kupakai di
dalamnya. Aku akan merobeknya juga, kalau perlu. Aku
menekankan kemejaku ke pinggangnya, berusaha meng-
hentikan aliran darahnya.
“Apakah kau yakin kau tidak bisa berubah?” tanyaku.
“Hanya untuk beberapa detik?”
“Jika dia melakukannya, dia akan mati.”
Aku dikagetkan oleh suara Devlin. Aku tak tahu kapan
dia berada di situ, tapi seharusnya aku tahu dia pasti ingin
melihat hasil pekerjaan tangannya.
“Dia bisa merasakan panasnya perak itu. Dia tahu aku
tidak berbohong soal peluru itu,” kata Devlin dengan nada
puas dalam suaranya. “Aku tidak menginginkan kematiannya.
Aku hanya ingin mencegah dia agar tidak menghentikanku.”
“Menghentikanmu dari apa?”
Dia menarikku berdiri dan sebelum aku bisa protes, dan
dia sudah menyimpul dan mengikatkan tali ke pergelangan
tanganku, mengikatnya kuat-kuat, lalu menarikku ke
arahnya. “Membawamu pergi.”
Dia mulai menarikku dan aku menyeret tumitku. “Kamu
sudah gila, ya.”
“Menurut Nietzsche, ‘selalu ada kegilaan dalam cinta.’”

227
Dia melirik ke arahku dan tersenyum kejam. “Aku meng-
ambil jurusan filosofi.”
“Lucas melakukan apa yang bisa dilakukannya untuk
melindungi perkumpulan. Kau tidak bisa menghukumnya
karena itu.”
“Tentu saja aku bisa. Apa yang kulakukan harus masuk
akal bagiku. Itulah indahnya kegilaan. Sekarang, kamu jangan
melawanku, karena aku punya banyak peluru dalam senjata
ini. Membunuhmu akan membuatmu meninggalkan dia
selamanya.”
“Bagaimanapun aku akan mati. Lucas bilang aku tidak
akan bertahan kalau dia tidak bersamaku.”
“Kurasa kita akan mengetahuinya nanti.”
Dia menyentak talinya, menarikku di belakangnya. Aku
tidak takut mati. Oke, aku takut. Aku ketakutan oleh pikiran
itu. Aku tak ingin meninggalkan Lucas, tapi aku tidak punya
pilihan. Aku tidak pergi dengan mudah, tapi aku juga tidak
melawan dengan mengerahkan semua yang ada padaku.
Aku menoleh ke belakang. Lucas berjuang untuk berlutut.
Kumohon jangan ikut, pikirku. Selamatkan dirimu.
Tunggulah aku.
Aku yakin dengan berbagai cara aku bisa melarikan diri
dan mencari pertolongan untuk Lucas.
Sulit sekali mendaki lereng terjal yang membentuk
cekungan di sekitar air terjun dan kolam—terlebih ketika kedua
tanganku terikat. Lucas dan aku sudah pernah melewati dasar
lembah sungai itu. Devlin ingin pergi melewati puncaknya.

228
Aku kelelahan ketika akhirnya kami sampai ke tujuan.
Langit diliputi oleh cahaya jingga kemerahan yang menyata-
kan datangnya hari baru. Dari atas sini, aku bisa melihat sungai
yang menciptakan air terjun yang deras. Aku tak punya waktu
dan keinginan untuk mengagumi kemegahannya.
Sambil terengah-engah, aku jatuh di atas lututku. “Beri
aku waktu semenit untuk istirahat, kumohon.”
“Aku lupa betapa sedikitnya stamina yang dimiliki
manusia sebelum perubahan pertamanya.” Dia masih meme-
gang tali yang mengikat tanganku. Aku penasaran seandainya
kutarik talinya, apakah aku bisa menyentaknya ke pinggir
tebing dan menjatuhkannya ke lembah yang kami panjat tadi.
“Lucas adalah adikmu,” kataku sambil terengah-engah.
“Maksudmu?”
“Bagaimana kau tega melakukan ini padanya?”
Dia berjongkok di hadapanku. “Dia menantangku! Dia
mengambil tempatku sebagai pemimpin. Oke, mungkin aku
bermain-main dengan tanggung jawab—tapi aku sudah
kehilangan Jenny. Mereka seharusnya memberiku sedikit
kelonggaran.”
“Mason memberitahuku bahwa teman sekamarnya di
perguruan tinggi—”
“Ya, itu aku. Dia benar-benar kutu buku, mengagumi
ayahnya. Waktu dia mulai membicarakan Bio-Chrome, ku-
pikir itu adalah takdir.”
“Jika kau sangat menginginkan obatnya, kenapa tidak
membiarkan mereka meneliti dirimu?”

229
“Karena aku tidak percaya kalau Keane tidak akan melukis-
kan aku sebagai diriku: orang aneh.” Dia angkat bahu. “Di
samping itu, aku sedang dalam suasana hati untuk sedikit balas
dendam.” Dia berdiri dan menyentakku berdiri. “Ayo jalan.”
Aku mendengar geraman rendah yang mengancam.
Mungkin ada seribu ekor serigala di hutan ini, dan aku tidak
tahu berapa banyak Shifter yang ada. Tapi aku tahu tanpa
harus berbalik dan melihat bulu beraneka warna yang tak
asing bahwa itu adalah Lucas dalam wujud serigala. Dia
memperlihatkan taringnya yang tajam.
“Kurang ajar, Lucas, apa yang kaulakukan—mengeluarkan
pelurunya? Kau berusaha membuktikan diri, kan? Sayang
sekali aku sudah tidak punya peluru perak lagi. Apakah kau
tahu betapa mahalnya itu?” Devlin mendorongku sampai
jatuh. Aku terjatuh dengan bunyi gedebuk. “Jadi kurasa kita
akan membereskan ini dengan cara kita.”
Dari posisiku, aku bisa melihat pinggang Lucas. Dia masih
berdarah. Bahkan setelah pelurunya tidak ada, kurasa dia tidak
bisa sembuh sepenuhnya. Dia akan semakin lemah—
Sebuah kemeja terbang ke arahku dan mendarat di atas
wajahku. Tepat pada saat aku bisa menangkapnya, Devlin
telah berubah dan seekor serigala hitam merunduk di dekatku.
Serigala hitam yang kulihat di malam pesta bir itu. Dia lebih
besar daripada Lucas. Giginya kelihatan lebih panjang dan
lebih tajam.
Mason pernah membicarakan sesuatu tentang matanya
yang tidak berubah. Aku mengerti apa yang dimaksudnya

230
sekarang. Shifter mempertahankan mata manusiawi mereka.
Aku bisa melihat Lucas dalam mata peraknya dan kegilaan
Devlin dalam mata kelabunya.
Aku tahu ini akan menjadi sebuah pertarungan sampai
mati, yang seharusnya terjadi ketika Lucas pertama kali
menantang kedudukan Devlin sebagai pemimpin perkum-
pulan. Aku tahu Lucas lemah dan terluka. Aku tahu Devlin
kuat dan gila—dan ada kekuatan tertentu yang datang ber-
sama kegilaannya. Lucas sedang mengambil risiko kehilangan
segalanya. Devlin telah kehilangan semuanya. Dia tidak
mempertaruhkan apa pun, dan itu membuatnya lebih ber-
bahaya dari antara mereka berdua.
Aku tahu bahwa Devlin memiliki semua keuntungan.
Bahwa aku mungkin kehilangan Lucas, kehilangan apa yang
baru saja kutemukan.
Aku mencintaimu.
Kata-kata itu hanya sebuah bisikan dalam pikiranku. Tapi
itu cukup. Lucas mendengarnya. Kepalanya tersentak ke
arahku.
Itu adalah kesalahan taktik. Seketika Devlin melancarkan
serangan ke arah Lucas, aku sadar dengan kata-kataku, aku
telah menjatuhkan hukuman mati kepada Lucas.

231
LIMA BELAS

Sambil menggeram menantang, Lucas menerjang ke arah


Devlin.
Dengan memamerkan giginya, dua bersaudara itu ber-
tubrukan di udara, sambil menggertak. Rahang mereka yang
kuat saling menggigit, dan cakar mereka saling merobek ke
balik bulu untuk mencapai bagian yang mudah diserang. Aku
bisa mencium bau tanah yang bercampur darah di udara, dan
lubang hidungku mengembang sebagai responsnya. Apakah
itu karena sudah mendekati purnama dan aku akan segera
menjadi seperti mereka?
Mereka terempas ke tanah, memisahkan diri untuk me-
nyusun kekuatan. Mereka berputar pelan, sama-sama mencari
kelemahan lawan—bagian yang mudah diserang. Lucas

232
menunggu, dan aku tahu dia menghimpun sedikit kekuatan
yang dimilikinya. Devlin menyerang.
Lucas menerkam pinggangnya. Devlin mendarat. Lucas
menyambar punggungnya, menggigit bahu Devlin. Devlin
mendengking kesakitan dan mungkin juga karena kaget. Dia
sama sekali tak menduga kalau Lucas menjadi sangat agresif.
Devlin melawan, berusaha melontarkan Lucas. Lucas meng-
gigitnya lagi.
Mereka berguling-guling. Mereka saling menggigit.
Mereka terpisah dan kembali saling menyerang. Begitu
terus. Aku bisa melihat kekuatan Lucas mulai melemah.
Aku terus memperhatikannya, kalau-kalau ada yang bisa
kulakukan untuk membantu, tapi tahu dengan perasaan
tidak berdayaku bahwa tak ada yang bisa kulakukan. Besok
mungkin ceritanya akan berbeda; besok aku mungkin bisa
lebih banyak membantu, setelah aku berubah wujud untuk
pertama kalinya. Tapi untuk saat ini, Lucas harus bertarung
sendiri.
Aku tahu Devlin tidak akan memberi ampun. Devlin akan
menyerang leher Lucas kalau ada kesempatan.
Mereka terus bertarung. Jatuh berguling-guling, yang satu
di atas yang lain, mereka semakin dekat dan dekat ke bibir
tebing yang curam. Mereka memisahkan diri seakan menya-
dari bahwa hanya itulah satu-satunya cara untuk mem-
perlambat gerakan mereka. Aku berusaha mengosongkan
pikiranku. Aku tidak mau Lucas tahu betapa aku meng-
khawatirkan dia. Aku tidak mau mengulangi kesalahan yang

233
sama dengan membuat perhatiannya terpecah. Napasnya
sudah memburu, pinggangnya berlumuran darah.
Aku menggenggam kemeja Devlin karena hanya itu benda
yang bisa kupegang. Aku memandang celana yang
ditinggalkan olehnya dan melihat senapannya. Buru-buru aku
mengambilnya. Sangat sulit untuk memegang dengan kedua
tangan yang masih terikat, tapi aku berusaha keras. Ayah
angkatku sering mengajakku ke arena menembak. Aku cukup
mahir menggunakan senapan, menurutku. Walaupun sampai
pada saat ini, sasaranku barulah garis-garis pada kertas.
Aku membidikkannya, namun posisi Lucas menghalangi.
Apakah ini pertarungannya dan pertarungan yang harus
dihadapinya sendiri? Akankah dia membenciku karena
membunuh saudaranya? Pelurunya bukan perak.
Kemungkinan tidak akan membunuhnya, tapi itu mungkin
memberikan kesempatan kepada Lucas. Aku bergeser ke
samping, berharap mendapat sudut yang lebih baik.
Devlin melontarkan diri. Lucas menerkam dan
menghantam Devlin, membuat mereka berdua terbanting
melewati bibir jurang.
Jeritanku mengikuti kejatuhan mereka.

Sambil tetap memegang senapan dengan sia-sia, aku mener-


jang ke bibir jurang dan memandang ke bawah. Aku bisa
melihat Devlin, setengah jalan ke bawah, tertancap oleh ran-
ting pohon yang patah. Dia tidak bergerak dan dalam wujud
manusia. Aku menyimpulkan dia sudah mati.

234
Jantungku berdebar-debar menyakitkan di dadaku. Di
mana Lucas?
Lalu aku melihatnya, masih dalam wujud serigala, sedang
berjalan dengan kesakitan kembali ke atas tebing.
“Jangan!” teriakku. “Turunlah, aku akan menemuimu di
bawah.”
Tapi dia terus berjuang mendaki sampai mencapai tanah
yang datar. Dia berlari ke arahku. Dia menjilat daguku. Aku
melingkarkan lenganku memeluknya, menyusupkan wajahku
ke dalam bulunya, dan menangis.
Setelah semua kejadian itu, otakku kosong. Aku tak tahu
apa yang harus kupikirkan, kecuali mungkin dia memerlukan
ketenangan.
Setelah aku menghentikan kelakuanku yang memalukan
itu, aku menarik badanku dan memandang ke dalam mata
peraknya yang tetap sama ketika dia berwujud serigala atau
manusia. “Aku takut sekali. Aku tahu dia itu kakakmu dan
kamu tidak ingin melawannya, tapi dia memaksamu. Bukan
salahmu dia mati.”
Dia mengangkat kepalanya dan melolong. Lolongan itu
adalah suara paling kesepian yang pernah kudengar. Ketika
gema lolongannya yang berduka dan terluka itu hilang ditelan
kesunyian, dia roboh menimpaku.
Aku tak tahu apa yang harus kuperbuat, yang kutahu
hanyalah jika aku tidak segera menghentikan pendarahan di
pinggangnya, dia akan mati.

235
Lolongannya itu bukan hanya gambaran penderitaannya,
tetapi juga panggilan kepada yang lain. Dalam satu jam, selusin
serigala telah sampai di tempat kami. Seekor serigala hitam
yang bermata cokelat mendekat dengan hati-hati.
Dengan memakai kemeja Devlin, aku berhasil meng-
hentikan perdarahannya, tapi Lucas terlalu berat untuk
kuangkat sendirian ke tempat lain dan dia juga terlalu lelah
untuk pindah sendiri.
Lucas mengangkat kepalanya sedikit dan aku tahu dia
sedang berkomunikasi dengan serigala itu. Aku bisa menduga
siapa itu: Rafe, orang yang selalu menjadi tangan kanan Lucas
ketika kami memandu rombongan Keane ke hutan. Dia
menghilang ke bawah tebing dan masuk ke dalam gua bawah
tanah selama beberapa menit, lalu ketika kembali, dia sudah
berwujud manusia dan berpakaian. Dia mengambil alih.
Serigala-serigala yang lain kelihatannya enggan meng-
ungkapkan identitas asli mereka, tapi ketika melihat bahwa
Rafe tidak bisa membawa Lucas ke dalam sarang di belakang
air terjun sendirian, serigala lain mulai maju. Bulunya hampir
bercorak keemasan, matanya biru. Connor, aku menyadari-
nya. Dia juga pergi ke belakang air terjun dan kembali dengan
berpakaian dan berwujud manusia.
Begitu kami memindahkannya ke dalam gua bawah tanah
dan membungkusnya dengan selimut, Lucas berubah wujud.
Aku tidak pernah menduga kalau Shifter begitu sopan.
Mungkin itu hanya karena aku belum menjadi salah satu dari
mereka.

236
Rafe memeriksa lukanya. “Kelihatannya lambat pulih-
nya.”
“Ya, kalau aku kembali ke dalam wujud serigala dalam
beberapa jam, kurasa bisa sembuh sampai tidak mengganggu.”
“Jadi kenapa kau berubah?” tanyaku sambil meremas
tangannya.
Dia tersenyum lemah. “Karena aku mau bicara padamu,
menemanimu.” Dia menyentuh pipiku. “Aku tahu apa yang
kaupikirkan, tapi kau tidak tahu apa yang sedang ku-
pikirkan—belum.”
Aku berharap Rafe dan Connor menyingkir, sehingga aku
bisa meringkuk pada Lucas. Aku hanya ingin berduaan
dengannya.
Rafe berkata, “Aku akan membalutkan perban ke lukamu
untuk mengurangi pendarahan.” Dia menatap Lucas tajam.
“Seharusnya kau memanggil kami begitu kau mendapat
masalah. Kau tidak perlu menghadapi semua masalah kita
sendirian.”
“Tidak bisakah kau mengomelinya nanti?” tanyaku. “Dia
sudah cukup menderita hari ini.”
“Apakah kau mau Devlin dibawa kembali ke desa?” tanya
Connor.
Lucas mengangguk. “Ya, orangtuaku harus tahu.”
“Kami akan membawanya,” kata Rafe. Dia dan Connor
pergi.
Aku memegang pinggang di dekat lukanya. “Aku tak
percaya kau mengeluarkan pelurunya.”

237
“Nggak seburuk itu. Tembakannya tidak mengenai bagian
yang vital. Herannya, peluru itu nggak sampai tembus.”
“Jadi, sekarang bisa sembuh?”
“Akan memakan waktu seharian, dan sangat sakit, tapi
pasti akan sudah membaik menjelang malam ini.”
Pada waktu aku seharusnya berubah.
“Sebaiknya kita tidur,” katanya. “Ini hari yang sulit dan
malam ini akan menantang.”
“Baiklah.” Aku mulai bergeser sedikit, lalu berubah pikiran.
Aku membungkuk dan menciumnya pelan. Berubah atau
tidak malam ini, aku sedang jatuh cinta pada Lucas … dengan
sangat.
Aku bergeser dan tersenyum lembut. Aku berputar dan
melepas botku. Ketika aku berbalik kembali, dia sudah men-
jadi serigala.
Aku meringkuk di sampingnya. Rasanya tidak mungkin
tidur kalau tahu apa yang sedang menungguku malam ini.
Dan aku pun kaget ketika kegelapan datang begitu cepat.

238
ENAM BELAS

Ketika aku terbangun, malam sudah menjelang. Lucas masih


pulas ketika aku mengendap keluar dari gua dan bergerak
pelan keluar dari air terjun. Ini adalah salah satu malam dari
malam-malam yang aneh ketika bulan muncul pada saat
matahari masih bersinar. Aku selalu merasakan bulan bersinar
penuh kedamaian, tapi tidak untuk kali ini. Malam ini bulan
terlihat tidak menyenangkan, sebuah pertanda perubahan yang
tidak kuyakini ingin kuhadapi.
Aku memandang sekeliling. Tak ada tanda-tanda kehadiran
serigala-serigala yang tadi berada di sini, tapi aku punya
perasaan mereka masih di sekitar sini, menjaga kami. Mereka
tahu apa yang seharusnya terjadi malam ini. Seharusnya aku
merasa berbeda. Tapi aku malah memikirkan bagaimana

239
jadinya tahun terakhirku di SMA kalau aku punya pacar di
universitas yang berada di negara bagian lain. Aku memikirkan
baju-baju, sepatu, dan kelulusanku. Hal-hal yang khas remaja.
Aku hanya tidak tahu apakah aku akan tetap seperti itu.
Aku merasakan kehadiran Lucas sebelum aku mendengar
atau melihatnya. Dia datang dan berdiri di sampingku. Dia
sudah berubah kembali ke wujud manusia. Walaupun dia
masih memulihkan diri dari lukanya, aku merasakan kekuatan
terpancar dari dirinya.
“Yang lain masih di sini, kan?” tanyaku.
“Ya, Devlin bilang Keane dan kelompoknya sudah pergi.
Malam ini tidak akan baik bagi mereka untuk kembali.
Perubahan pertama menjadi lebih mudah kalau tidak ada
gangguan, kalau perhatian kita tidak terpecah ke hal-hal lain.”
Aku memandangi pinggangnya. Dia telah memakai kaus
dan aku tidak bisa melihat perbannya, tapi aku tahu perbannya
masih ada. “Bagaimana perasaanmu?”
“Tidaklah buruk bagi seorang yang tertembak. Aku sudah
sangat terbiasa berubah untuk menyembuhkan luka, dan yang
membuatku agak tidak sabar lukaku ini belum benar-benar
pulih, tapi aku akan baik-baik saja.”
“Dia bisa saja membunuhmu.”
“Tapi dia tidak membunuhku. Dan sekarang kita harus
memusatkan diri pada keselamatanmu.”
Mulutku menjadi kering. Sekarang aku sama takutnya
dengan tadi siang. “Kalau kau benar tentang apa yang akan

240
terjadi, kurasa setelah malam ini aku bukan hanya seorang
gadis biasa.”
Dia tersenyum sedih. “Kau memang bukan gadis biasa,
Kayla.”
Aku mengangguk. “Aku tahu ini mungkin terdengar
sangat tidak masuk akal—aku tahu ini tidak seperti kita akan
menikah—tapi aku benar-benar merasa aneh. Aku ingin
mempercantik diriku.”
“Banyak cowok yang membawa ceweknya kemari pada
perubahan pertama. Di sana ada sebuah kotak yang berisi
barang-barang cewek. Akan kutunjukkan padamu. Terus, aku
juga harus menyiapkan sesuatu.”
Aku menemukan semua yang kuperlukan di dalam gua.
Kurasa itu dipakai para gadis untuk mempersiapkan diri,
seolah mereka harus tampil sempurna pada malam perubahan
pertama mereka. Ada beberapa sampel keperluan sehari-hari,
seperti yang biasa kita temukan di hotel. Di bagian paling
pinggir air terjun yang airnya tidak terlalu deras, aku
membersihkan rambutku dengan shampo dan membilasnya.
Aku mengoleskan lotion ke kulitku. Aku menyisir rambutku
dan mengibas-ngibasnya hingga kering. Aku membiarkannya
tergerai, terurai ke bahu. Aku termenung sesaat, bertanya-
tanya seperti apakah gerangan buluku nanti, sebelum aku
berhasil menghentikan pikiran itu. Sebenarnya aku tidak
benar-benar ingin memikirkan seberapa besar peristiwa yang
akan terjadi beberapa jam lagi itu.

241
Aku membundel pakaianku, lalu menjatuhkannya di dekat
kantong tidur kami. Dalam beberapa kontainer telah tersusun
kain selubung yang disarankan Lucas agar kupakai. Kain itu
akan menutupi tubuhku tanpa merintangi gerakanku sampai
aku berubah. Lalu kain itu akan terlepas begitu saja.
Warnanya putih seperti sutra dan kelihatannya cocok
untuk perubahan pertama Shifter. Aku menyampirkannya
ke bahuku. Ukuran dan lipatannya pas, sehingga aku tak
perlu memegangi bagiannya yang terbuka supaya tetap ter-
tutup. Kurasa setelah ribuan tahun para Shifter telah mene-
mukan apa yang mereka butuhkan untuk peristiwa ini.
Aku melangkah kembali ke air terjun dan memandang
derunya air. Aku tidak memiliki kepastian seperti halnya Lucas
kalau aku akan berubah. Sementara aku takut akan seperti apa
perubahan itu terjadi, aku lebih ketakutan lagi kalau itu tidak
terjadi, walaupun Lucas telah berusaha menenangkan aku, aku
akan kehilangan Lucas.

Lucas dan aku makan di bawah sinar bulan. Kami duduk di


atas sebuah jubah hitam yang mirip dengan punyaku yang
berwarna putih. Aku menyimpulkan itu adalah miliknya dan
heran kenapa dia belum memakainya. Ternyata ada ritual yang
dilibatkan di sini yang belum kuketahui.
Makan malam itu sangat sederhana: hanya sandwich
kemasan dan batangan protein. Lucas menyuruhku makan
banyak-banyak karena aku butuh tenaga. Sambil meneguk
air dari botolku, aku melihat bulan semakin meninggi.

242
“Jadi setelah perubahan pertama, aku bisa berubah sesuai
kemauanku?” tanyaku, ingin tahu sebanyak mungkin kalau-
kalau ini benar terjadi.
Lucas menjejalkan sampah kami ke dalam kantong depan
ranselnya. Dia tak mau mengotori lingkungan kami. Dia
melirikku. “Ya.”
“Lalu, bagaimana aku melakukannya?”
“Pada perubahan pertama, kamu tidak pegang kendali.
Tubuhmu akan melakukan apa yang diperlukan untuk
mengajari dirinya berubah. Ketika kau sudah siap untuk
berubah kembali ke wujud manusia, tutup saja matamu dan
bayangkan dirimu sebagai manusia. Tubuhmu akan
mengambil kendali.”
“Bagaimana kalau tidak? Bagaimana kalau aku ter-
perangkap?”
Dia nyengir. “Belum pernah aku mendengar ada yang
terperangkap dalam satu wujud. Kalau kau mengalami kesu-
litan, beri tahu aku.” Dia bergeser seolah tiba-tiba menjadi
tidak nyaman. “Ingatlah kalau aku bisa membaca pikiranmu
… dan kau akan bisa membaca pikiranku.”
“Itukah cara kita berkomunikasi?”
“Ya.”
“Ini menjadi sangat aneh. Apakah kau yakin kau tidak
membuatku bingung dengan suara orang lain?”
“Aku yakin.”
“Jadi jam berapa semua ini akan terjadi? Kapan bulan akan
mencapai titik puncak?”

243
“Sekitar tengah malam.”
Aku mengangguk. “Dan apa yang akan kaulakukan?”
“Kalau kau menerimaku—”
“Tunggu, apa maksudmu kalau aku menerimamu?”
“Kau harus menerimaku sebagai pasanganmu.”
“Bagaimana caranya?”
Dia nyengir lagi. “Dengan ciuman.”
Aku membalas senyumnya, lalu kegelisahku muncul dan
aku menjadi serius. “Jadi ini upacara perubahan dan perka-
winan?”
Kupikir wajahnya memerah lagi. “Tidak akan lebih jauh
dari sebuah ciuman … kecuali kedua belah pihak meng-
inginkannya.”
“Apakah kau pernah melakukannya? Maksudku sebagai
serigala?”
Dia tertawa. Suaranya dalam dan merdu, pertama kalinya
aku mendengar dia benar-benar tertawa. Itu membuatku me-
rasa senang, membuat ketegangan dalam diriku mengendur.
“Aku nggak percaya kau menanyakan itu padaku,” katanya.
“Apa? Kau bahkan tak pernah memikirkannya?”
Dia tersenyum masam padaku. “Tidak, aku belum pernah
melakukannya sebagai serigala.”
“Bagaimana dengan … kau tahu. Dalam wujud manusia.”
Dia meraih tanganku dan menggeleng. “Serigala
berpasangan untuk hidup.”
Aku menelan ludah. “Jadi, kau sudah seperti, sedang me-
nungguku?”

244
“Dalam seluruh hidupku.”
Tak heran Devlin telah kehilangan dirinya. Tapi aku tak
mau memikirkan tentang dia atau semua hal berat yang
mungkin sedang dihadapi Lucas. Aku ingin melewati malam
ini sehingga aku bisa menolongnya melalui masalah yang
sedang dihadapinya. Terapisku akan butuh waktu berhari-
hari untuk menganalisaku ketika aku kembali dari liburan
musim panas ini.
“Jadi benda seperti sutra yang sedang kita duduki ini, akan
kaupakai?”
Dia mengangguk.
“Dan kau akan bertahan dalam wujud manusia sampai…?”
“Kita berubah bersama—atau bersamaan sebisa mungkin.”
“Dan kau akan memberi tahu aku apa yang harus kula-
kukan?”
Dia mengangguk lagi.
Aku meremas tangannya. “Dengar. Aku tahu ini akan
terjadi, tapi … aku tidak bisa hanya duduk di sini dan
menunggu. Jangan salah sangka, tapi aku ingin jalan-jalan.
Dan aku ingin sendirian sebentar untuk menenangkan diri.”
“Oke.”
“Oke.” Seharusnya aku merasa lega karena dia tidak
memperdebatkannya. Dia juga butuh istirahat. Masih dua
jam lagi sebelum waktu perubahanku. Aku bangkit dan mulai
berjalan menyusuri tepian tanah yang terbuka.
Hal yang membuatku kagum adalah bahwa malam ini
sangat tenang. Rasanya seharusnya ada badai, petir, dan kilat.

245
Seharusnya dunia ikut merasakan kekacauan yang berge-
muruh dalam diriku. Pagi ini aku memikirkan kata yang
berapi-api aku mencintaimu ketika Lucas menghadapi
kematian. Tapi dia belum mengulangi kata-kata itu padaku.
Pasangan seumur hidup. Tidakkah seharusnya kata-kata itu
bisa diucapkan dengan mudah?
Jadi mungkin setelah malam ini, kami akan mulai ber-
kencan—membiarkan sisi manusia kami menyusul sisi
serigala kami. Ini kelihatannya bergerak mundur, tapi kurasa
dia tidak punya pilihan karena aku belum mengetahui
kebenaran tentang keadaanku. Ketidaktahuan sangatlah besar
dan menakutkan.
Entah sudah berapa jauh aku berjalan. Aku terus berjalan
sampai kakiku terlalu letih untuk berlari atau mendaki lereng
yang mengelilingi kami.
Hadapi ketakutanmu, Dr. Brandon pernah berkata.
Tapi rasanya tidak mungkin dia bisa tahu ketakutan yang
tercurah dalam diriku. Di pinggiran hutan aku berhenti
melangkah—dan menunggu. Bulan naik semakin tinggi. Aku
selalu merasa bulan sangatlah damai. Bulan memiliki ke-
kuatan untuk mengubah pasang air laut, dan malam ini
mungkin mengubah hidupku.
Akhirnya Lucas berdiri dan berjalan menghampiriku.
Lututku menjadi lemas dan aku bersyukur karena ada seba-
tang pohon yang kokoh untuk bersandar. Dia mengangkat
lengannya dan menekankan tangannya ke batang pohon di
belakang kepalaku, seolah dia juga membutuhkan tempat

246
untuk bersandar. Apa yang dilakukannya membuatnya
semakin dekat. Dan aku bisa merasakan kehangatan tubuh-
nya. Aku tidur mendekap tubuh itu. Aku tahu itu, baik
dalam wujud manusia dan serigala. Dia tidak membuatku
takut.
Dia merendahkan kepalanya. Bibirnya hampir menyentuh
bibirku. Hampir.
“Kayla,” bisiknya, dan napasnya yang hangat mengusap
pipiku. “Sudah waktunya.”
Air mataku merebak. Aku menggeleng. Nyatanya adalah
aku tak ingin berubah menjadi serigala. Itu terdengar
menyakitkan. Tidak seperti apa yang pernah kubayangkan
tentang diriku. Ini langkah besar yang membuatku takut.
“Aku belum siap.”
Aku mendengar sebuah geraman parau yang tak menye-
nangkan di kejauhan. Dia bergeming. Aku tahu dia juga
mendengarnya. Dia menjauh dariku dan menengok ke balik
bahunya. Saat itulah aku melihat mereka. Serigala-serigala
itu telah kembali dan bergerak mengelilingi tanah terbuka.
Lucas menoleh kembali padaku, kekecewaan tercermin
dalam mata peraknya. “Pilihlah yang lain. Tapi kau tidak bisa
melalui ini sendirian.”
Dia berbalik dan mulai berjalan menuju serigala-serigala
itu.
“Tunggu!” teriakku di belakangnya.
Tapi terlambat.

247
Dia mulai melepaskan pakaiannya dalam setiap langkahnya
yang semakin cepat. Lalu dia berlari. Dia melompat ke
udara—
Ketika mendarat, dia sudah menjadi serigala. Seperti yang
sudah-sudah, aku tak melihat perubahannya. Dia selalu
berubah ketika aku sedang tidak melihat atau dia menyem-
bunyikan diri. Aku menduga pasti itu jelek. Seperti dalam
film-film. Tubuhnya melawan metamorfosis. Sebaliknya, ada
cahaya terang, rasa syukur, dan kekuatan dalam intensitasnya.
Itu sudah … benar.
Dia mengangkat kepala dan melolong ke arah bulan. Suara
kesedihan yang mendalam bergema dalam diriku, memang-
gilku. Aku mengalami pergulatan untuk tidak usah men-
jawabnya, namun keliaran yang bersemayam jauh di lubuk
diriku terlalu kuat, bertekad untuk menerobos keluar.
Aku mulai berlari ke arahnya. Rumput terasa lembut dan
sejuk terinjak oleh kakiku yang telanjang. Dia sudah hampir
mati untukku. Aku bisa hidup tanpa dia harus mengucapkan
cinta padaku. Tapi aku tak bisa hidup tanpa dirinya. Ketika
aku menyeberangi tanah terbuka itu, aku menunduk dan
memungut jubah hitam itu. Aku terus berlari sampai menyu-
sulnya. Aku memakaikan jubah itu padanya dan berlutut.
“Aku memilihmu.”
Dalam kilau sesaat, dia telah berdiri di hadapanku, dalam
wujud manusia lagi, dan tubuhnya terbalut jubah hitam. Aku
bangkit dan tersenyum padanya. Dia adalah seorang prajurit,
seorang pelindung. Dalam wujud manusia atau serigala, dia

248
tetaplah Lucas. Dia pemberani. Dan setahun yang lalu, dia
melihatku dan tahu—tahu akan ketakutan yang kuhadapi.
Bahwa kami ditakdirkan untuk bersama. Dia menorehkan
namaku di kulitnya untuk selamanya.
Dia meraih tanganku dan membimbingku ke tengah tanah
terbuka itu. Ketika aku menoleh kembali, serigala-serigala
lain sudah menghilang dengan diam-diam. Jadi mereka hanya
hadir di situ untuk menawarkan pilihan padaku, memaksaku
untuk memilih. Sekali lagi privasi menjadi milik Lucas dan
aku. Aku lega mereka sudah pergi. Aku tidak mau berbagi
momen ini dengan penonton.
Lucas berhenti melangkah dan menarikku ke dalam pe-
lukannya. Dan menunggu. Menungguku untuk menerima-
nya. Menciumnya. Dalam beberapa hal, saat ini lebih penting
daripada apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku berjinjit pada
kakiku yang telanjang. Yang dibutuhkannya hanyalah
dorongan. Dia menurunkan bibirnya ke bibirku.
Dalam satu hal, ini seperti semua ciuman yang pernah
kurasakan sebelumnya. Lembut dan hangat. Dalam satu hal,
ini tidak seperti ciuman yang pernah kurasakan sebelumnya.
Lapar dan liar.
Dalam sekejap mata—atau aku mungkin mengerjap kalau
mataku terbuka, tapi aku menutup kedua mataku pada
sentuhan lembut pertama—semua telah berubah dari kami
adalah teman yang berenang bersama menjadi kami adalah
pasangan, hidup kami berada di tangan kami berdua, nasib
kami sudah terjalin.

249
Hadapi ketakutanmu, Dr. Brandon pernah berkata padaku.
Tapi bagaimana aku menghadapi ini? Bagaimana aku meng-
hadapi perasaanku yang begitu mendalam padanya, kalau
sesuatu terjadi padanya, hidupku akan berakhir?
Pasangan. Takdir. Selamanya.
Kata-kata itu terus berulang-ulang lembut dalam pikiran-
ku. Tentu, aku punya pilihan. Aku bisa berjalan pergi, tapi
bahkan jika kulakukan, kurasa hati dan jiwaku akan tetap
tertinggal bersama Lucas.
Dia menarik diri dari ciuman itu, tapi lengannya semakin
erat memelukku. Dia menundukkan kepalanya ke leherku
dan aku mendengar dia menghirup aromaku. Aku mencium
aroma maskulinnya.
Dan menunggu.
Aku menunggu bulan mencapai titik puncaknya. Aku
menunggu tubuhku bereaksi. Aku menunggu datangnya rasa
sakit yang tak tertahankan. Aku menunggu, penasaran apakah
aku akan kecewa atau lega jika tidak terjadi apa-apa.
Aku merasa usapan pertama cahaya bulan, dan kulitku
mulai tergelitik. Aku tegang oleh kesadaran dan kegugupan.
Cahaya bulan tidak bisa dirasakan tapi sekarang aku merasa-
kannya.
Lucas berkata dengan suara pelan. “Tenang, jangan
melawannya, tapi tetaplah bersamaku.”
Aku merasakan seperti ditusuk jarum. Seribu tusukan kecil
di dalam dan di luar. Aku bisa mendengar darahku berdesir
di telingaku. Aku bisa mencium bau tanah dari hutan dan

250
aroma seksi dari orang yang berdiri bersamaku. Aku men-
dengar detakan cepat dari jantungku. Jari-jari kakiku menge-
jang. Pergelangan kakiku meletup.
“Aku mencintaimu, Kayla.”
Aku tersentak dan memandang tatapan perak Lucas.
Setelah gangguan pergi, dia sangat hebat.
“Aku tidak bisa mengatakan itu sebelumnya, sampai kau
memilihku. Aku mencintaimu.”
Dia menciumku lagi. Menakjubkan dan menakutkan.
Posesif dan membebaskan.
Aku merasa tulang belakangku terbakar.
“Belum,” desak Lucas. “Tetaplah bersamaku. Berpeganglah
padaku. Pusatkan perhatian pada suaraku.” Dia mencium
leherku.
Aku pernah kejang sebelumnya, tapi rasanya tidak seperti
ini. Ini melibatkan semua anggota tubuhku, dari kepala
sampai ke ujung jari. Dan itu semakin berkembang dan
berkembang—
“Lepaskan,” suaranya serak. “Lepaskan, sekarang.”
Ada semburan cahaya putih, kilasan warna, sebuah gelegar
yang tak bersuara, tapi memekakkan—
Lalu aku memandang ke dalam mata perak Lucas dan
memandang wajahnya yang dipenuhi bulu. Aku memandangi
cakarku, kakiku. Pada bulu merah yang disinari cahaya bulan.
Kamu baik-baik saja?
Itu pertanyaannya, bertanya tanpa kata-kata.
Ya.

251
Dia menyentuhkan hidungnya ke hidungku, menciumi
leherku, lalu bahuku. Walaupun dia adalah serigala, aku bisa
membaui Lucas, bisa mencium bau dirinya dalam wujud
manusia.
Kamu cantik, pikirnya.
Hanya waktu aku menjadi serigala? Aku sedikit besar
kepala.
Selalu. Lebih mudah berpikir daripada mengatakannya.
Aku tidak merasa berbeda.
Hanya bentuknya saja.
Aku ingin tertawa. Aku sudah begitu ketakutan. Ternyata
ini begitu mudah. Dengan dia di sampingku, ini seperti
melangkah ke dalam sutra.
Apakah aku akan kesakitan besok?
Sedikit.
Apa yang kita lakukan sekarang?
Kita bermain.
Bagaimana dengan lukamu?
Sudah hampir sembuh.
Dia menerkamku, menggoda, pelan. Kami berguling.
Kami saling mendorong.
Tangkap aku, pikirku sebelum aku mulai berlari menye-
berangi tempat terbuka.
Dia membiarkanku mulai duluan. Aku menyukai terpaan
angin pada buluku. Aku menyukai kecepatan gerakanku. Aku
berlari lebih cepat daripada lariku sebelumnya.

252
Tapi aku tidak bisa membuat jarak dengannya. Dengan
mudah dia menyusulku. Lalu kami berlari bersama sementara
cahaya bulan menyinari kami.

253
TUJUH BELAS

Malam itu aku tidur dalam kehangatan pelukan Lucas, dalam


balutan jubah putih. Aku telah berubah kembali ke wujud
manusia tanpa masalah sama sekali.
“Kamu alamiah,” Lucas mengatakannya dengan nada
bangga dalam suaranya.
Kami sudah menghabiskan banyak waktu berciuman dan
mengobrol sebelum akhirnya jatuh tertidur.
Aku bangun lebih dulu. Cahaya dalam gua bawah tanah
temaram, tapi cukup terang sehingga aku bisa memandangi
Lucas yang masih terlelap. Berada di sini bersamanya, tidur
di sampingnya—aku tahu di sinilah tempatku.
Semalam waktu aku berubah menjadi serigala, semua yang
sudah kulalui, semua yang kupikir akan kulalui, juga telah

254
berubah. Aku bukanlah seperti yang kupikirkan, tapi anehnya,
aku sekarang lebih mengenal diriku daripada sebelumnya.
Rasa takut yang telah bersemayam dalam diriku—sekarang
aku tahu kalau itu binatang buas dalam diriku yang terbangun.
Jauh di dalam diriku, aku tahu sebuah perubahan sedang
menunggu, tapi aku belum menyadari apa itu, aku belum
tahu apa yang harus kulakukan.
Pagi ini tidak ada rasa takut. Baik terhadap masa laluku
maupun masa depanku. Aku sudah menemukan diriku yang
sesungguhnya semalam, dan dalam penemuan itu ketakutan-
ku menghilang.
Dan sekarang aku punya Lucas. Akulah yang ditunggunya,
diinginkannya. Dan dialah yang kuinginkan.
Pelan-pelan, aku bangun dan berjalan ke arah air terjun.
Aku ingin tahu apakah ibuku mengalami perubahan
pertamanya di sini. Apakah ayahku membantunya melalui
itu? Aku mencoba mengingat apakah aku pernah melihat
tanda di bahu ayahku. Aku masih kecil ketika mereka mening-
gal. Banyak hal yang luput dari perhatianku.
Namun aku sudah dapat mengingat kembali hari ketika
mereka meninggal. Perubahan itu telah membuka masa
laluku. Sekarang aku bisa melihat dengan jelas hari terakhir
ketika kami bersama. Mereka sedang berusaha menjelaskan
apa sebenarnya diriku ini, apa sebenarnya kami semua. Aku
melihat mereka memandangku dan saling berpandangan
dengan penuh cinta. Sama sekali tanpa ketakutan. Bagi me-
reka perubahan adalah perayaan akan apa sebenarnya

255
mereka—kami—semua. Mereka sangat memusatkan per-
hatian agar aku tak perlu takut sampai-sampai mereka tidak
mendengar kedatangan para pemburu itu.
Sudah lama sekali aku tak merindukan mereka. Namun
sekarang aku merindukan mereka. Sangat merindukan
mereka.
Walaupun aku tidak mendengarnya, aku tahu Lucas berada
di dekatku sebelum dia memelukku dan menarikku untuk
bersandar padanya. Seperti yang telah dikatakannya, indraku
menjadi lebih peka sejak perubahan itu.
“Kamu baik-baik saja?” tanyanya.
“Aku sedang memikirkan orangtuaku. Musim panas yang
lalu aku tidak siap untuk mengunjungi tempat meninggalnya
mereka.” Aku berputar dalam pelukannya dan memandang
ke dalam matanya. “Kurasa aku harus melakukannya, tapi
aku tak tahu di mana mereka meninggal.”
Dia menyelipkan rambutku yang tergerai ke belakang
telingaku. “Seseorang di Wolford akan tahu. Orangtuamu
adalah bagian dari kita.”
Wolford. Tempat yang dilindunginya, tempat orang-orang
yang dilindunginya mencari tempat perlindungan setahun
sekali.
Aku mengangguk. Tadinya aku meragukannya, tapi kini
aku percaya. Anehnya, perasaan melilit di perutku dan
kegugupan yang selalu menemani pikiran akan kematian
orangtuaku sudah menghilang. Pada akhirnya aku siap meng-
hadapi masa laluku.

256
“Haruskah kita berjalan sebagai serigala?” tanyaku.
“Iya, tapi aku bisa membawa ransel sehingga ketika sampai
kita bisa berpakaian.”
“Oh, ide yang bagus.” Aku mengernyitkan alis. “Bagai-
mana kau menanganinya—selalu menemukan pakaian?”
“Kami memiliki tempat persembunyian di mana-mana.
Kita akan membuat beberapa untukmu. Dan kapan saja, kau
bisa meninggalkan pakaianmu di tempat yang bisa
kautemukan lagi. Kau akan mempelajari semua itu.”

Kami menempuh perjalanan satu setengah hari menuju


Wolford. Tempat itu tak dapat kutemukan tanpa pemandu.
Hari sudah menjelang senja ketika kami tiba. Menurutku
desa bukanlah kata yang tepat untuk menyebutnya.
Tempat itu adalah sebuah benteng, dikelilingi pagar besi
tempa yang tinggi, dengan kawat berduri yang tampak
berbahaya. Serigala-serigala berkeliaran di dalamnya. Namun
dari semua penampilannya yang unik, bangunan itu diatur
entah bagaimana sehingga menyatu dengan lingkungan
sekitarnya, jadi aku benar-benar tidak melihatnya sebelum
benar-benar berada di depannya.
Di pintu gerbang, Lucas menekan beberapa nomor pada
tombol dan gerbang yang berat itu terbuka perlahan. Agaknya
tempat ini merupakan perpaduan antara kuno dan modern.
Sambil memegang tanganku, Lucas menuntunku melalui
jalan tanah menuju bangunan bata yang besar dan terkesan
angker. Dua ekor anjing Westies yang mungil datang meng-

257
gonggong dari sudutnya. Lucas berjongkok dan membelai
mereka.
“Apakah mereka benar-benar anjing?” tanyaku.
Dia tertawa. “Tentu saja.”
“Bisakah kita berkomunikasi dengan anjing?”
“Tentu. Bilang saja, ‘duduk, ambil, sini.’ Aku bisa meng-
ajarimu.”
Sambil tertawa aku memukul lengannya. “Lucu banget.”
“Kau tidak bisa membaca pikiran mereka,” katanya sambil
berdiri. Anjing-anjing kecil itu berlari pergi. “Aku bahkan
tidak tahu apakah mereka punya pikiran.”
“Kurasa aku harus belajar untuk menerima kekurangan
kita dan berpikir dari sudut pandang kita, bukan sebaliknya.”
“Seperti itulah.”
Aku memandang berkeliling. “Jadi, di mana tepatnya desa
itu?”
“Ada beberapa bangunan di sekitar sini, tapi kebanyakan
sudah hancur kecuali yang satu ini.”
“Kelihatannya seperti rumah yang besar atau sebuah hotel
mewah atau semacamnya.”
“Ini cukup besar untuk menampung orang-orang yang
datang ketika mereka datang saat titik balik matahari,” jelas
Lucas. “Hanya para tetua yang menetap di sini. Yang lainnya
berkumpul saat titik balik matahari musim panas. Dan itu
masih beberapa minggu lagi, jadi sekarang nggak banyak
orang di sini.”
“Nggak masalah. Aku akan baik-baik saja.”

258
Kami menaiki tangga besar menuju pintu depan. Lucas
mendorong pintunya hingga terbuka. Aku terpesona waktu
kami melangkah masuk.
Tempat ini sangat besar. Tangga utama yang besar
menjulang dari salah satu serambinya. Potret-potret berjejer
di dinding dan kilauan cahaya memantul dari tempat lilin
kristal yang besar. Kelihatannya seperti rumah orang
terpandang yang kaya raya.
“Ini sebenarnya bukan pondok hutan belantara, kan?”
tanyaku.
Lucas tertawa. “Bukan.”
“Apakah kau tinggal di tempat seperti ini?”
“Aku tinggal di asrama.”
Aku tersenyum. “Kautahulah maksudku. Apakah kau
dibesarkan di tempat seperti ini?”
“Tidak. Aku dibesarkan di rumah biasa.”
Aku masih memiliki kesulitan untuk berpikir bahwa
Shifter itu normal dalam segala hal.
“Lucas!” sebuah suara yang besar dan nyaring terdengar
saat seorang pria dengan rambut berwarna keperakan keluar
dari salah satu ruangan terdekat—sebuah ruangan yang bisa
kuintip sedikit dan kurasa mungkin sebuah kamar tamu.
Lucas menjadi sangat muram. “Ayah.”
Ini ayah Lucas? Dia terlihat seperti—yah, jujur saja, dia
terlihat seperti seorang politikus. Dia memeluk Lucas erat-
erat. Aku bisa melihat matanya berkaca-kaca, mata yang sama
peraknya dengan mata Lucas.

259
Dia melepaskan pelukannya, tapi tangannya masih
memegang lengan Lucas.
“Maafkan aku soal Devlin,” kata Lucas. “Aku tidak punya
pilihan.”
“Itu berat, tapi itu sudah berlalu. Kita sudah lama kehi-
langan dia. Dukanya dalam, tapi ada juga langkah per-
damaiannya.”
“Ibu—”
“Dia bisa memahami. Itulah yang seharusnya terjadi.
Devlin mengkhianati kita dan dirinya sendiri.” Dia menepuk
pundak Lucas dengan tangannya yang besar dan kuat. “Kau
tidak bisa menyalahkan dirimu.”
Walaupun suara ayahnya menenteramkan, aku tahu Lucas
menanggung beban rasa bersalah akan apa yang terjadi.
Bagaimana tidak? Dia tidak akan menjadi orang yang kucintai
kalau tidak merasakan penyesalan yang dalam.
Ayahnya mengalihkan perhatiannya padaku. “Ini pasti
Kayla.”
“Ya, Pak.”
Mr. Wilde tersenyum kecil. “Kau mengingatkanku pada
ibumu.”
Aku menahan napas. “Anda kenal ibuku?”
“Tentu saja. Ayahmu juga. Orang-orang yang baik.”
“Mungkin kapan-kapan Anda bisa menceritakan padaku
tentang mereka. Aku hanya bisa mengingat sedikit sekali
tentang mereka.”
“Nanti saja kita mengobrol.”

260
“Oh, Lucas!” seorang wanita tua yang masih kelihatan
menarik menghambur keluar dari kamar tamu dan memeluk
Lucas. Dia mundur dan menangkup wajah Lucas dengan
tangannya. Air matanya berlinang. “Aku tahu kau adalah
seorang pelindung, tapi kau tetap anak kecilku dan aku sangat
mengkhawatirkanmu.”
“Bu, maafkan aku.”
“Sst,” desisnya. “Tidak ada yang perlu dimaafkan. Kau
mengangkat sumpah untuk melindungi kami apa pun yang
terjadi. Kadang memang harus dibayar mahal. Kami tahu
itu.” Dia memeluknya lagi, dan aku bisa merasakan kete-
gangan lepas dari Lucas.
Ketika ibunya melepaskan pelukannya, Lucas melangkah
mundur, meraih tanganku dan menarikku mendekat. “Bu,
ini Kayla.”
Mrs. Wilde tersenyum padaku. “Oh, tentu saja. Selamat
datang kembali, Sayang.”
“Senang bisa kembali … kupikir.”
“Ini selalu menjadi tempatmu.” Dia memelukku. “Kita
akan bicara nanti. Sekarang, para tetua sedang menunggumu.”

Lucas dan aku berjalan di rumah besar itu dan langkah kaki
kami bergema. Akhirnya kami sampai di sebuah ruangan
dengan patung-patung serigala seukuran aslinya pada setiap
sisi pintu yang tertutup. Lucas berhenti dan memandangku.
“Ini adalah ruang rapat,” katanya pelan. “Hanya para tetua
dan Dark Guardian yang diijinkan masuk.”

261
“Jadi aku harus menunggumu di luar sini?”
“Itu pilihanmu, Kayla. Kau tidak harus memilih kehi-
dupan seorang pelindung, tapi aku akan berbicara mewa-
kilimu kalau kau mau. Aku memercayakan hidupku pada-
mu.”
“Apakah aku harus bertarung untuk mendapatkan
tempat?”
“Kau harus mengangkat sumpah untuk melayani, melin-
dungi, dan menjaga.”
Aku tertawa malu.
“Apa?” tanyanya.
“Ayah angkatku adalah polisi. Aku sedang berpikir untuk
mengambil jurusan penegak hukum. Kurasa ini tidak jauh
berbeda. Tapi masih banyak yang belum kuketahui.”
“Aku akan mengajarimu.”
Dia tanpa keraguan, dan karena dia tidak ragu, aku pun
demikian. “Aku mau melakukannya Lucas.”
Dia meraih tanganku, membuka pintu, lalu melangkah
masuk ke ruangan yang berisi meja bundar yang besar. “Jangan
katakan padaku kalau Raja Arthur—”
“Mungkin. Bagaimanapun, dia punya Merlin.”
Aku mendengar suara pekikan dan menengok.
“Lindsey!” teriakku.
Dia melingkarkan lengannya padaku dan memelukku erat.
“Aku senang sekali kau kembali.”
Di balik bahunya, aku melihat Brittany.

262
“Harusnya kau memberitahuku, Lindsey,” kataku. “Semua
email itu, pesan tertulis, IMs, dan kau sama sekali tak me-
nyinggungnya?”
“Kau pasti akan ketakutan. Kau mungkin pergi lalu apa?”
“Jadi kau dan Brittany adalah Dark Guardian?”
“Magang. Kami belum berubah, baru pada purnama
berikutnya ….” Dia menghela napas. “Aku sudah tak sabar
lagi.”
Sebuah ketukan di meja mengalihkan perhatian kami.
Lucas membimbingku berjalan ke arah dua kursi kosong di
meja. Kurasa mereka sudah tahu aku akan datang.
Sangat mudah mengenali mana saja para tetua dan mana
saja para Dark Guardian. Para tetua adalah, yah, orang-orang
yang sudah tua, dan para pelindung adalah semua yang muda
dan bertampang pejuang.
Seorang tetua berdiri. Wajahnya keriput dengan rambut
kelabu yang panjangnya sebahu. “Apakah dia salah satu dari
kita?”
“Ya, Kakek,” jawab Lucas. Aku agak kaget ternyata orang
ini kakek Lucas, tapi itu masuk akal. Peranan pemimpin
diturunkan dari kakek kepada cucunya. “Dia juga pasangan-
ku. Ke mana dia pergi, aku akan ikut.”
Kakek Lucas mengangguk yang menurutku adalah per-
setujuan darinya. Matanya yang perak pucat tertuju padaku.
“Apakah kau bersedia mengangkat sumpah?”
“Ya.”
Dia berjalan menuju ke depanku. “Berlutut.”

263
Ini kelihataanya sebuah ritual kuno, tapi tetap saja aku
berlutut dengan salah satu kakiku. Lucas berlutut di samping-
ku dan meraih tanganku.
“Apakah kau yakin kita tidak menikah di sini?” bisikku.
“Aku yakin.”
“Apakah kau, Kayla Madison, bersumpah untuk meme-
gang rahasia kami dan menjaga kami dari semua kejahatan
dan bahaya yang mungkin menghadang?”
“Aku sungguh bersumpah.”
Aku tidak yakin bagaimana aku tahu itu adalah kata-kata
yang harus kuucapkan, tapi mata orangtua itu berbinar dan
Lucas meremas tanganku.
“Jadi kau diterima ke dalam barisan Dark Guardian,”
katanya muram.
Aku mendengar tepuk tangan ketika Lucas bangkit dan
menarikku berdiri. Lalu, satu per satu, para tetua memper-
kenalkan diri. Setelah itu, setiap Dark Guardian mendekat dan
Lucas menangani perkenalan itu. Rafe ada di sana, tentu saja,
dan Connor. Ada enam lagi yang tidak kukenal: empat laki-
laki dan dua perempuan. Ketika Lindsey dan Brittany selesai
dengan magangnya, akan ada dua belas Dark Guardian. Kurasa
pada waktu itu aku sudah lebih mengenal yang lain.
Ketika semua sudah diperkenalkan, kami duduk kembali,
begitu juga para tetua.
Kakek Lucas, Tetua Wilde, kemudian berbicara pada
kelompok kami. “Dengan kesedihan yang mendalam kami
harus melaporkan bahwa Devlin sudah melakukan banyak

264
kerusakan dengan kejahatannya. Para ilmuwan tidak akan
menyerah dengan mudah. Kita harus bersiap-siap untuk
menghadapi apa yang akan terjadi di masa mendatang.”
Lucas berdiri. “Banyaknya bahaya yang sekarang kita
hadapi adalah kesalahanku, karena aku ragu untuk membunuh
kakakku ketika aku punya kesempatan—ketika seharusnya
aku membunuhnya. Aku tahu ada beberapa keraguan akan
kemampuanku untuk menjadi pemimpin yang efektif. Jika
ada yang mau menantang hakku untuk memimpin, aku siap
menghadapi tantangan.”
“Apa? Tidak!” aku berdiri dengan cepat, sampai aku
hampir menjatuhkan kursiku. “Jika ada yang menentangmu,
mereka harus menghadapi aku dulu.”
“Kayla—”
“Itu tidak adil. Sampai lukamu sembuh benar. Dan aku
tidak melihat kesalahanmu kalau Devlin menjadi jahat.”
Beberapa orang berdehem, dan aku sadar bahwa aku
mungkin sudah mengacaukan beberapa protokol.”
“Dia punya alasan,” kata Tetua Wilde. “Tapi aku tidak
berpikir kau akan mendapati orang yang bersedia menen-
tangmu.”
Tetua itu benar. Tidak ada yang menentangnya. Itu bagus,
karena aku serius akan menghajar kalau ada yang menentang-
nya. Aku baru saja menemukan Lucas. Aku tidak akan
membiarkan siapa pun mengambilnya dariku.
Pembicaraan berlanjut sebentar, tapi kebanyakan ingin
mengambil langkah tunggu-dan-lihat. Mungkin para

265
ilmuwan tidak akan kembali. Tapi kupikir itu hanyalah
pikiran yang penuh harapan. Setelah itu kami bubar.
Malam harinya, setelah makan malam, Lucas dan aku
duduk di tempat duduk berbentuk hati di ruangan utama
dengan perapian yang besar. Orangtuanya duduk di depan
kami.
“Kau tidak akan percaya betapa leganya kami ketika
orangtua angkatmu mengajakmu kemari musim panas yang
lalu,” kata Mrs. Wilde. “Waktu kau dan Lindsey menjadi
teman akrab, kami tahu dia bisa meyakinkanmu untuk
kembali musim panas ini.”
“Kenapa tidak ada yang mengatakan semuanya padaku
pada musim panas yang lalu?” tanyaku.
“Jujur saja,” kata Mr. Wilde, “kami tidak yakin harus
melakukan apa. Kamu adalah kasus yang unik, Kayla. Belum
pernah seorang pun dari kami yang dibesarkan oleh orang
luar. Ada beberapa orang di hutan pada hari kematian
orangtuamu. Mereka segera memanggil polisi, dan pihak yang
berwenang mendatangimu sebelum kami datang. Kami
belum pernah menghadapi situasi seperti ini. Kami sangat
kehilangan. Kami melakukan apa yang kami bisa untuk
menemukanmu, tapi semua catatan disegel. Kami tidak
memiliki cukup banyak pengaruh.”
Aku benci memikirkan kemungkinan apa yang bisa terjadi
kalau aku tidak kembali ke hutan ini musim panas yang lalu.
Harus melalui perubahan pertama dengan mengetahui segala

266
kemungkinan yang terjadi saja sudah cukup mengerikan.
Apalagi harus melaluinya tanpa tahu apa-apa?
Dan orangtua angkatku yang malang….
“Jadi, orangtua angkatku—aku akan kembali kepada
mereka pada akhir musim panas ini dan bersikap seolah tak
terjadi apa-apa?”
“Bisakah kau melakukan itu?” tanya Mrs. Wilde. “Atau
kami harus bicara pada mereka, mengatakan bahwa kami
kehilangan anggota keluarga, dan mengatur supaya kau pindah
kemari.”
Aku menggeleng. “Mereka mencintaiku. Aku tidak mau
meninggalkan mereka sampai waktunya masuk perguruan
tinggi.” Aku meremas tangan Lucas. “Ini tidak akan adil buat
mereka. Aku mau membiarkan mereka bersamaku pada tahun
terakhir ini seperti harapan mereka.” Ibu angkatku telah
mempersiapkan segala rencana kelulusan. Bagaimanapun aku
ini putri mereka.
“Mereka akan mengerti aku jatuh cinta pada musim panas
dan ingin masuk perguruan tinggi yang sama denganmu
tahun depan. Di samping itu, kau membutuhkan persetujuan
dari ayahku.”
Dia meringis.
“Tidak akan seburuk itu,” aku meyakinkannya. “Kalian
sama-sama melayani dan melindungi, jadi kalian punya
kesamaan.”
“Kecuali aku tidak bisa mengatakan hal itu padanya,” kata
Lucas.

267
“Tapi dia akan merasakannya.” Ayahku pandai menilai
orang.
Aku mengalihkan perhatianku kepada orangtua Lucas.
“Apakah Anda berdua tahu tempat orangtuaku mening-
gal?”
Mr. Wilde memgangguk. “Aku akan memberi tahu
arahnya pada Lucas.”
Sebelum tidur, Lucas dan aku berjalan-jalan di luar. Berada
di dalam rumah, bahkan yang sebesar ini, membuatku merasa
gelisah. Aku selalu suka berada di luar, tapi sekarang artinya
jauh lebih besar bagiku. Itu tempat yang selalu ingin ku-
kunjungi.
“Apakah kau kewalahan?” tanya Lucas pelan.
“Tidak, orangtuamu menyenangkan. Bagaimana kalau
Lindsey tidak meyakinkanku untuk datang?”
“Aku pasti akan mencarimu, Kayla.”
Aku melingkarkan lenganku padanya dan merapat manja.
“Kupikir segalanya akan berubah ketika aku berumur tujuh
belas tahun. Tapi aku tak menyangka kalau perubahannya
akan sebesar ini.” Aku menatapnya. “Aku nggak menyangka
akan punya pacar.”
“Kau, mendapat lebih dari itu.” Dia berhenti berjalan dan
memutarku sampai berhadapan dengannya. Dia menaruh
tangannya di dada. “Hatiku, jiwaku, hidupku … semuanya
milikmu.”
Aku merasa air mataku merebak. “Aku mencintaimu,
Lucas.”

268
Dia menarikku ke dalam pelukannya dan menciumku.
Seperti biasa, menakjubkan dan hangat, dan sangat Lucas.
Ketika kami berjalan kembali ke rumah, dia bertanya,
“Apakah kamu gugup tentang besok?”
Dia sudah mendapat pengarahan dari ayahnya, dan kami
akan pergi ke tempat meninggalnya orangtuaku.
“Agak,” aku mengakuinya. “Aku ingin kau bisa tidur ber-
samaku malam ini.”
Sudah diatur bagiku untuk sekamar dengan Lindsey dan
Brittany. Lagi pula kami sudah melalui perubahan bersama-
sama, kelihatannya aneh kalau kami tidak akan bersama
malam ini—tapi kami bersama para orangtua dan rupanya
orangtua Shifter tidak ada bedanya dengan orangtua Static
terkait pendapat tentang perempuan dan laki-laki yang tidur
sekamar.
“Para pelindung semuanya berada di sini karena kejadian
yang menimpa Mason dan kelompoknya. Mereka semua
akan pergi besok dan kembali ke pintu masuk kebun raya.
Masih ada kelompok lain yang akan dipandu. Jadi besok,
kau dan aku tidak akan kembali ke sini. Kita akan tidur di
bawah bintang-bintang.”
“Nggak sabar lagi. Tapi kita akan kembali pada titik balik
matahari musim panas.”
“Ya. Beberapa minggu lagi.”
Aku memandang berkeliling. “Bagaimana kalau Mason
dan kelompoknya menemukan tempat ini?”
“Kita akan menanganinya.”

269
Kami kembali ke rumah. Aku punya harapan yang tinggi
bahwa besok masa laluku akan benar-benar terkuak.

Keesokan harinya, Lucas dan aku berangkat menjelang subuh.


Kami berubah wujud sehingga bisa berjalan lebih cepat.
Harus kuakui bahwa aku menikmati beberapa aspek dari
wujud serigalaku. Indraku lebih tajam, dan setelah setiap
perubahan ketajaman itu semakin peka, sedikit lebih peka
daripada ketika aku berwujud manusia. Aku tak menyangka,
betapa alaminya semua perubahan dari manusia menjadi
serigala dan sebaliknya—sedikit lebih alamiah daripada hanya
membayangkannya.
Aku kehilangan petunjuk waktu, tapi entah bagaimana
aku bisa tahu kapan kami sudah mendekati tujuan. Aku tak
bisa menjelaskannya. Aku memperlambat lariku dan
berjalan—lalu aku berhenti. Aku bernapas dengan berat tidak
seperti biasanya dan aku tahu itu karena kegugupanku.
Bukannya aku takut akan apa yang akan kutemukan.
Aku tahu semua rahasia itu sekarang. Tapi semuanya akan
terlihat lebih jelas. Orangtuaku sudah meninggal di sini.
Lucas menyadari aku sudah tidak melangkah bersamanya.
Masih dalam wujud serigala, dia kembali ke sampingku dan
menjatuhkan ransel di kakiku. Setelah itu dengan santai dia
melangkah ke balik semak yang rimbun, aku berubah dan
memakai celana pendek dan tank top. Aku melemparkan
ransel ke arahnya.

270
Beberapa saat kemudian dia bergabung denganku, dalam
wujud manusia yang berpakaian jins dan kaos.
“Ke sini,” katanya sambil meraih tanganku.
“Aku tahu.”
Dia memandangku kaget. “Kau mengenali tempatnya?”
“Tidak, tidak ingat benar, tapi rasanya aku kenal.”
“Ayah menggambar peta kecil untukku. Katanya laporan
polisi menyatakan peristiwa itu terjadi di sini.”
Aku mulai menggigil ketika kami semakin mendekati
semak-semak yang rimbun. Aku tahu bahwa selama bertahun-
tahun ini, semuanya mungkin telah berubah. Pepohonannya
mungkin sudah mati. Pohon yang lain mungkin tumbuh.
Tapi ada dinding batu dan semak belukar yang rimbun di
sepanjang pangkalnya.
Sambil berlutut, aku menyibakkan semak untuk mencari
sebuah gua kecil. Gambaran-gambaran menyerangku.
Sembunyi.
“Diam, Kayla.”
Orangtuaku—
Sambil bernapas berat, aku cepat-cepat berdiri dan
memandang berkeliling.
“Ada apa?” tanya Lucas.
“Aku ingat. Mereka membawaku kemari. Mereka
ingin—” Aku terjatuh ke atas tanah dan menutup wajah
dengan tanganku. “Mereka berubah. Mereka sangat indah.
Lalu kami mendengar para pemburu berteriak karena melihat
serigala … ada suara tembakan. Sangat keras.”

271
Aku berjuang untuk mengingat semuanya. Lucas berlutut
di sampingku dan menaruh tangannya di lututku.
“Jangan dipaksa,” katanya.
Aku menggeleng. “Tidak, aku … Ibu mendorongku ke
dalam gua kecil itu. Lalu dia berubah ke wujud manusia
dan berpakaian. Para pemburu itu mabuk. Mereka terus
menembak ke tempat mereka melihat serigala. Semuanya
kacau balau.” Aku menggeleng. Aku tidak bisa melihat
dengan jelas. Semua yang kutahu adalah orangtuaku sudah
dalam wujud manusia ketika mereka meninggal—karena
mereka berpakaian. Mereka terkena peluru yang menembus
jantungnya.
“Aku ingat menunggu, ketakutan, dan diam.” Aku me-
mandang gua kecil itu, yang sekarang tersembunyi. “Aku
mendengar langkah kaki. Itu adalah salah satu dari para
pemburu. Dia menemukanku dan membawaku pergi. Kurasa
aku tidak akan pernah mendapatkan semua jawabannya.” Aku
berputar dan berhadapan dengan Lucas. “Kurasa mereka ingin
menunjukkan padaku sebenarnya apa kami ini sehingga aku
tidak akan takut. Tapi karena apa yang telah terjadi, aku selalu
ketakutan—karena aku tidak memahami apa sebenarnya yang
mereka ingin agar tak kutakutkan.”
“Apakah kau masih takut?” tanyanya.
“Tidak.” Aku menyentuh pipinya. “Aku memilikimu.”
“Selalu,” katanya.
Malam itu kami mendirikan kemah di dekat serangkaian
air terjun kecil.

272
Berdiri di bawah langit yang gelap, aku menyandarkan
punggungku di dadanya. Dia melingkarkan lengannya padaku
dan menurunkan kepalanya untuk mengusap leherku. Dia
adalah pasanganku. Selamanya.
Atau setidaknya selama kami berdua masih bernapas.
Aku menatap bulan di atas sana. Warnanya pucat dalam
kegelapan. Pada saat titik balik matahari tiba, dia akan men-
jadi cahaya perak yang mungil.
Masih ada bahaya di luar sana. Aku bisa merasakan
ancamannya. Ketika bahaya itu tiba, aku akan menghadapinya
bersama para Dark Guardian, karena sekarang aku adalah satu
dari mereka.
Tapi untuk malam ini, kami aman.
Aku berputar dalam pelukan Lucas. Dia menurunkan
bibirnya ke bibirku dan menciumku dengan penuh gairah.
Sentuhannya, aromanya, menegaskan bahwa kami ini hidup.
Untuk saat ini, itu sudah cukup. Untuk saat ini, itu adalah
segalanya.

273
DAPATKAN JUGA
JUDUL LAINNYA

275
vi

Anda mungkin juga menyukai