Anda di halaman 1dari 143

LELAKI JAHANAM

Penulis:

Novie Purwanti

Layout:

Mang Dana

Desain Cover:

Mang Dana

GGKEY:
H77F0218Q1K

Terbit pertama kali di Google Play Book pada:


13 September 202o
DAFTAR ISI

SATU — 1
DUA — 16
TIGA — 35
EMPAT — 51
LIMA — 67
ENAM — 84
TUJUH — 102
DELAPAN — 119
SEMBILAN — 136
SEPULUH — 154
SEBELAS — 172

Lelaki Jahanam iii


DUA BELAS — 191
TIGA BELAS — 207
EMPAT BELAS — 225
LIMA BELAS — 242
ENAM BELAS — 260
TUJUH BELAS — 279
DELAPAN BELAS — 299
SEMBILAN BELAS — 316
TENTANG PENULIS — 324

iv Novie Purwanti
SATU

Tia memandang putra semata


wayangnya yang tertidur pulas
beralaskan karpet plastik tipis.
Wajah bocah sepuluh tahun itu
menunjukkan kedamaian. Jemari
kasar Tia membelai kepala Aza,
anak yang dilahirkannya tanpa
kehadiran seorang bapak. Lelaki itu
melarikan diri ketika kandungan Tia

Lelaki Jahanam 1
berusia enam bulan.
Satu bulan lalu, Tia nekad
merantau ke kota. Emak dan
bapaknya sudah melarang. Namun,
wanita berkulit sawo matang
itu bersikeras hendak mengadu
nasib. Dengan menumpang bis,
Tia berangkat menuju kota yang
konon bisa mewujudkan mimpinya,
Surabaya. Mimpi Tia tak banyak. Dia
hanya ingin memberikan kehidupan
yang layak bagi Aza.
Upah ketika menjadi buruh
tani di desa hanya cukup untuk
bertahan dua minggu. Perempuan
itu menetap di sebuah indekos
sangat sederhana. Kamar kecil
beratap asbes dan berlantai semen

2 Novie Purwanti
menjadi saksi kerasnya perjuangan
Tia mencari pekerjaan.
Semula, Tia melamar menjadi
buruh pabrik, tetapi tak
membuahkan hasil. Akhirnya, dia
menerima tawaran menjadi buruh
cuci di sebuah penatu sekitar
indekos. Sedari kecil, Aza sudah
terbiasa mandiri. Tia hanya perlu
memasak untuk putranya. Anak itu
akan makan teratur dan bermain
bersama temannya hingga Tia
pulang bekerja.
“Sabar, Nak. Kalau Ibu sudah
gajian, kamu akan Ibu belikan kasur
baru,” bisiknya lembut di telinga
Aza.
Aza menggeliat, lalu terlelap

Lelaki Jahanam 3
lagi. Tia masih belum mampu
menyekolahkannya. Dia pernah
melihat beberapa sekolah, tetapi
biaya pendaftaran di awal membuat
nyalinya seketika ciut. Padahal di
desa dulu, Aza bisa bersekolah
dengan gratis. Dia juga termasuk
murid yang berprestasi. Namun di
kota, semuanya begitu berbeda.
Meskipun biaya bulanan gratis, Tia
harus membayar uang sekira satu
juta agar Aza bisa bersekolah. Tentu
saja, Tia tak punya uang sebanyak
itu.
Wanita itu beranjak, mengambil
Alquran yang sudah renyuk
dari dalam tas dan mulai
membacanya. Di kota ini, Tia hanya

4 Novie Purwanti
menggantungkan harapan kepada
Sang Maha Penyayang. Ketika
sedang beribadah, dia merasakan
ketenangan luar biasa disela hari-
hari yang terasa berat. Dia bebas
menumpahkan air mata dan
pengharapan tanpa dihakimi.
Bahu wanita berusia awal 30-an itu
terguncang hebat. Sebenarnya Tia
ingin kembali ke desa, tetapi malu.
Dia tak sanggup menghadapi kedua
orang tuanya yang selama ini sudah
banyak membantu. Tia bertekad
akan kembali ke kampung halaman
membawa kesuksesan agar orang
tuanya bangga. Kenyataannya, bisa
bertahan hidup sehari saja sudah
merupakan keajaiban.

Lelaki Jahanam 5
Tia tak patah arang. Apakah
salah jika menggantungkan mimpi
setinggi langit? Tia yakin, bila ada
kemauan, pasti ada jalan. Securam
apa pun, dia rela melaluinya.

“Mbak, tolong antarkan baju


ini ke perumahan belakang,
ya. Orangnya nggak sempat
mengambil karena sedang repot.”
Bu Mini, bos penatu bergincu tebal,
menyerahkan kantong plastik putih
berisi baju yang sudah disetrika rapi
padanya.
“Iya, Bu.”
Cepat-cepat Tia menerimanya
dan berjalan menuju rumah
pelanggan penatu. Memasuki
6 Novie Purwanti
kompleks perumahan, tak henti-
hentinya Tia mengagumi keindahan
rumah megah seperti istana. Dia
membayangkan entah kapan punya
rumah semegah itu.
“Jangan mimpi kamu, Tia!”
Wanita berkerudung hijau kumal
itu menepuk pipinya sendiri.
Tia berdiri di hadapan rumah
berlantai dua bercat nuansa
kecokelatan. Halaman rumah
tampak asri karena ditumbuhi
berbagai tanaman hias dan pohon
mangga manalagi yang sedang
berbuah ranum. Beberapa buah
mangga agak matang tergeletak
di tanah. Tia berencana ingin
mengambilnya nanti setelah selesai

Lelaki Jahanam 7
mengantar barang.
Jemarinya memencet bel.
Senyum terbaik melengkung di
bibirnya. Biasanya para pembantu
yang keluar untuk membukakan
pintu. Ia sudah hafal dengan
kebiasaan itu.
Seorang wanita beralis tebal
keluar. Dia mengenakan hot pants
yang memperlihatkan gumpalan
lemak pada pahanya. Tia heran.
Apakah pembantu zaman sekarang
memang berani berpenampilan
demikian?
“Saya mengantar baju atas nama
Nyonya Dini.”
“Iya, betul. Aku Nyonya Dini.
Masuk saja Mbak. Letakkan bajunya
8 Novie Purwanti
di atas meja. Pembantuku pulang
kampung dan nggak balik-balik. Aku
jadi kerepotan mengurusi rumah
sebesar ini.”
Dini membuka pintu pagar. Tia
mengikutinya dari belakang. Lalu
meletakkan bungkusan plastik
pada meja kaca ruang tamu.
“Saya pamit dulu. Terima kasih
telah memakai jasa penatu kami.”
“Iya, sama-sama.”
“Maaf, Nyonya. Di depan ada
buah mangga yang jatuh. Boleh
saya ambil?” Tia memberanikan
diri meminta mangga yang
bergeletakan di tanah. Ia
berkeyakinan, meskipun sudah
jatuh dari pohon, harus tetap minta
Lelaki Jahanam 9
izin pada pemiliknya.
Dini mengangkat sebelah
alisnya. Toh, tanpa perlu diminta,
mangga itu bisa diambil diam-diam.
Dia merasa agak heran. Jarang ada
orang yang jujur seperti Tia.
“Ambil saja, Mbak. Aku kemarin
memetik beberapa buah mangga
yang matang. Tunggu sebentar,
akan kuambilkan.”
“Nggak usah, Nyonya.
Merepotkan.”
“Nggak apa-apa, tunggu
sebentar saja.”
Wanita bertubuh sintal itu masuk
ke rumah dan kembali membawa
mangga yang diletakkan di dalam

10 Novie Purwanti
wadah plastik. Tia mengucapkan
terima kasih dan segera pamit
kembali bekerja.
Dini memandang sosok Tia dari
kejauhan. Wanita berkulit putih itu
mengembuskan napas panjang.
Lalu kembali ke dalam rumah. Entah
apa yang dipikirkannya.

“Nak, ini Ibu bawakan mangga


buatmu.” Mata Aza berbinar.
Bocah berkulit bersih itu segera
menerimanya. Lalu mengambil
pisau dan dengan cekatan
mengupas mangga.
Bulir bening berserakan di kedua
mata Tia. Dia bahagia sekaligus sedih
melihat Aza lebih dewasa daripada
Lelaki Jahanam 11
teman-teman sebayanya. Di saat
yang lain masih asyik bermain,
Aza sudah pandai mencuci baju,
melipat, dan memasak ala kadarnya.
Air matanya menetes. Buru-buru
jemari kasar itu menghapusnya.
Seandainya Wahyu masih
bersama mereka, pasti keadaan
akan lebih baik. Sampai sekarang,
Tia belum tahu alasan suaminya
melarikan diri. Lelaki berkulit putih
itu seakan lenyap ditelan bumi.
Tia melihat perwujudan sosok
suaminya dalam diri Aza.
“Aaaw!” Jeritan Aza
membuyarkan lamunan Tia. Tepat
di depannya, darah menetes dari
telunjuk bocah berhidung bangir

12 Novie Purwanti
itu.
“Aza!” Wajah Tia pias. Tanpa
berpikir panjang, wanita itu
membalut jemari yang berdarah
dengan ujung kausnya. “Hati-hati,
Nak.”
Air matanya tak terbendung.
Tangis Tia pecah saat itu juga.
Kesedihan yang bertahun-tahun
ditahan akhirnya runtuh. Aza
bingung melihat ibunya terisak-
isak. Bocah itu merengkuh Tia
dalam pelukan. Tangan kurusnya
menepuk punggung Tia.
“Aku nggak apa-apa, Ibu. Maaf
telah membuat Ibu menangis.”
“Aza, kamu anak yang baik.
Maafkan Ibu yang belum bisa
Lelaki Jahanam 13
membahagiakanmu, Nak.”
“Aku ingin cepat besar, Bu.
Agar bisa bekerja dan membelikan
rumah buat Ibu.”
“Aza ....”
Tia merengkuh Aza dalam
pelukannya. Mencium ujung kepala
bocah itu bertubi-tubi. Membasahi
rambut kemerahan dengan air mata
dan doa. Berharap segala kebaikan
untuk putra tersayangnya. Dia akan
berusaha keras, sangat keras dari
siapa pun untuk membahagiakan
buah hatinya.
Tanpa sadar, hati perempuan
itu mengutuk perbuatan Wahyu
yang pengecut. Dia berharap bisa
bertemu kembali dengan suaminya
14 Novie Purwanti
untuk mencari tahu alasan dia dan
Aza ditinggalkan.

Lelaki Jahanam 15
DUA

11 tahun lalu
Tepat di depan warkop
sederhana, motor sport merah
berhenti. Pengendaranya turun lalu
masuk ke warung. Lelaki bertudung
itu melemparkan ransel hitam merk
terkenal di kursi kayu. Ia memutar
pinggang rampingnya ke kanan-
kiri. Melemaskan otot.

16 Novie Purwanti
“Bu, pesan kopi susu satu.”
Dia berkata pada seorang wanita
berkaus putih yang berdiri
memunggunginya. Sepertinya
sedang mengambil sesuatu dari
dalam kotak uang. Wahyu duduk,
deritan kursi kayu mengiringi.
Wanita itu belum juga berbalik
badan saat menjawab,”Iya, Pak.
Tunggu sebentar.”
Wahyu mengernyit, sepertinya
tak suka dengan jawaban penjaga
warkop.
‘Siapa berani memanggil cowok
ganteng dengan sebutan Pak?’
“Saya belum punya anak, Bu.”
“Saya juga belum menikah, Pak.”

Lelaki Jahanam 17
Gadis berkucir kuda itu
membalikkan badan. Mata bulatnya
bertemu dengan sepasang netra
yang agak sipit beralis tebal
dibalik tudung. Tia yang siap
menyemprotkan kemarahan
mendadak terdiam. Bibir mungilnya
terbuka, kaget dengan sosok
berjaket hitam yang tak jelas
wajahnya.
Lelaki itu perlahan membuka
tudungnya.
Tak pernah melihat cowok
setampan ini di dunia nyata. Alis
hitam bertaut menaungi sepasang
mata berwarna coklat, hidung
tanpa cela, rahang kokoh, bibir
penuh kemerahan. Sedikit cambang

18 Novie Purwanti
pada dagu membuatnya sempurna!
Bumi berhenti berputar. Lima kata
berputar-putar dalam otaknya.
Cinta. Cinta.
Tia jatuh cinta pada pandangan
pertama.
“Mas ... kopi susu?”
“Yeah, satu ya, adek manis.”
Wajah eksotik Tia memerah,
dia salah tingkah dipuji lelaki tak
dikenal. Tangannya bergetar, gelas
yang diambilnya sampai hampir
jatuh. Wahyu tersenyum simpul
melihat gadis muda yang kikuk.
“Hati-hati menuang air panasnya,
Dek.”
Tia menghirup udara yang tiba-

Lelaki Jahanam 19
tiba terasa panas. Sepoi sejuk
area gunung Welirang tak mampu
mendinginkan detakan jantung
yang menggila. Dia mencoba
mengambil teko air mendidih di
atas kompor.
Gagal. Tulangnya mendadak
lemas seperti jelly. Bergetar hebat
seperti orang kedinginan.
“Mau kubantu?”
Tia mengangguk pelan.
Lelaki jangkung itu berdiri,
berjalan gagah masuk ke dalam
ruang sempit tempat Tia mematung.
Aroma mint menguar dari tubuh
Wahyu. Membuat fantasi gadis
berusia 19 tahun itu melayang.

20 Novie Purwanti
“Bisa minggir sebentar? Aku
nggak bisa menuang airnya kalau
kamu berdiri di situ.”
“Iya, Mas.” Tia beranjak dari
tempatnya, tak sengaja tubuh
mereka bersentuhan. Kejutan
listrik membuat Tia hampir pingsan.
Bukannya menemani pembeli, Tia
lari masuk ke dalam rumahnya yang
berada di belakang warkop.
Wahyu terbahak.
Lelaki berambut gondrong itu
menuangkan air mendidih ke dalam
gelasnya. Ia kembali ke tempat
duduk dan menyeruput minuman
berkafein yang bisa menenangkan
jiwa. Jiwanya yang sedang
bergejolak.

Lelaki Jahanam 21
“Kenapa berlari, Nduk? Ada apa?”
Bu Kanti bingung melihat putrinya
berderap masuk ke dalam rumah.
“Mak, ada pembeli. Emak saja
yang menunggu warkop. Perutku
tiba-tiba mulas.” Tia berbohong.
Bu Kanti berdecak. Heran
dengan kelakuan Tia. “Bukannya
tadi barusan dari WC, Nduk?”
“Mules lagi, Mak.”
Tanpa menunggu jawaban,
Tia langsung berlari ke sumur.
Ia menimba air dan langsung
mengguyurkan ke atas kepala.
Mencoba menghilangkan pesona
aneh pria tak dikenal. Gadis yang

22 Novie Purwanti
baru lulus SMU itu mendesah.
Heran dengan reaksi tubuhnya.

Wajah rupawan yang tempo


hari menerjang hatinya terus
terbayang. Melekat erat dalam
pikiran. Tia mengambil buku di
dalam laci, menggambar sosok
yang membuat hatinya melonjak
ingin lepas dari otot penyangga.
Gadis itu terbahak melihat hasil
coretannya. Mengerikan! Jauh dari
sempurna.
Dia membiarkan buku tulis yang
berisi catatan uutang pelanggan
terbuka. Kedua tangannya
menyangga dagu di atas meja. Ia baru
saja membantu Emaknya membuka

Lelaki Jahanam 23
warkop. Sambil menunggu surat
lamaran pekerjaannya di balas, Tia
membantu orangtuanya jualan.
Musim liburan seperti ini, banyak
wisatawan yang berkunjung di
desanya. Di kanan-kiri rumah Tia
banyak berdiri motel dan vila.
Lokasi kolam pemandian air panas
yang tak begitu jauh menjadi daya
tarik. Warkop Tia pun kecipratan
rejeki. Meskipun tidak terlalu ramai,
namun cukup untuk menyambung
hidup sampai datang akhir pekan
berikutnya. Begitu pula dengan Tia
dan kebanyakan remaja desa itu,
mereka biasanya mengantarkan
wisatawan yang menginap untuk
mengunjungi area pemandian.

24 Novie Purwanti
“Ngelamun apa,?” Suara bariton
membuat Tia terlonjak. Ia menoleh
ke arah Wahyu yang sedang
tersenyum. Menunjukkan deretan
gigi seputih susu.
“Ah! Bikin kaget saja.” Tia
memegang dadanya, menenangkan
gemuruh di dalamnya.
“Pesen kopi seperti kemarin, ya.
Sekalian mie goreng spesial.”
“Iya, Mas. Tunggu sebentar.”
Tia heran, kenapa Wahyu
masih ada di sana. Dia mengira
lelaki tampan itu sudah pergi
meninggalkan desanya.
“Mas mau ke pemandian air
panas?” Tia memberanikan diri

Lelaki Jahanam 25
bertanya. Menebak lebih tepatnya.
Wahyu mengangguk. “Iya,
sebenarnya aku janjian sama teman.
Tapi sayang dia tiba-tiba mencret
jadi nggak bisa datang.”
Tia hampir tersedak liur
mendengar Wahyu bercerita
tentang sakit perut yang membuat
orang susah jauh dari toilet.
“Lokasinya gampang, Mas.
Tinggal ikuti jalan ini nanti ada
tulisan besar di arah kiri. Mas belok
saja. Tempatnya nggak jauh dari
situ.”
“Oke. Namamu siapa, Adek
manis? Aku Wahyu.”
“Panggil aku Tia. Bukan adek

26 Novie Purwanti
manis.”
“Apa kamu mau mengantarkan
aku ke kolam air panas?”
Tia berhenti mengaduk mie. Ekor
matanya melirik ke arah pemuda
tampan yang sudah merebut hati.
Akal sehatnya menyuruh menolak
ajakan dari pria asing tak dikenal.
Tapi, kebodohan yang menang. Toh,
biasanya dia juga sering mengantar
tamu ke lokasi wisata.
“Nggak apa-apa, Mas. Nanti jam
10 aku longgar.”
“Baiklah, nanti kujemput. Aku
menginap di motel samping rumah
ini.”
Bila cinta sudah menyapa,

Lelaki Jahanam 27
kejernihan hati tertutupi bahagia.
Sedikit benteng praduga tak
mampu membendung kekonyolan
atas nama cinta.
Tia tersenyum penuh
kebahagiaan. Membayangkan akan
berkencan dengan pria setampan
dewa. Gadis desa sepertinya tak
akan mendapatkan kesempatan
kedua, jadi dia harus benar-benar
memanfaatkannya. Tak peduli
orang mau bilang apa.

“Mau ke mana kamu, Nduk?”


Bu Kanti heran melihat putrinya
berdandan. Tak biasanya anak
gadisnya memakai baju bagus. Dia
juga jarang keluar bersama teman-

28 Novie Purwanti
temannya sejak lulus sekolah
beberapa waktu lalu.
“Mau ke pemandian, Mak.
Tamu penginapan Pak Karso ingin
ditemani jalan-jalan.”
“Siapa, Nduk?”
“Itu lho, Mak. Mas ganteng yang
beli kopi kemarin sore.”
Bu Kanti mengangguk-angguk.
“Itu dia sudah datang, Mak.” Tia
melesat meninggalkan Ibunya yang
segera mengikuti.
Wahyu membuka helm
teropong. Dia turun dari motor dan
mendekati Tia beserta ibunya. Mata
Tia berbinar, sosok sempurna itu
tersenyum mengalahkan pesona

Lelaki Jahanam 29
malaikat.
“Bu, saya mau mengajak Tia ke
pemandian.” Wahyu mengulurkan
tangan ke Bu Kanti. Ibu Tia
menyambut uluran tangan Wahyu.
Wahyu mengecup punggung
tangan yang mulai keriput.
“I-iya, Le.” Bu Kanti tergagap.
“Kami berangkat, Mak.”
“Hati-hati. Pulangnya jangan
sore-sore, ya.”
Tia mengerlingkan matanya. Dia
segera naik ke atas motor sport
yang sudah dinyalakan. Gadis
itu menggigit bibir. Dengan doa
terpanjat, ia memegangi ujung jaket
Wahyu. Sebenarnya Tia ingin sekali

30 Novie Purwanti
memeluk punggung lebar itu. Ingin
merasakan kehangatan manusia
dewa yang menjelma. Namun, akal
sehat masih berfungsi. Ia merasa
puas hanya dengan menyentuh
kain halus itu.
Perjalanan menuju kolam air
panas menjadi kebahagiaan yang
sempurna. Sawah membentang
luas, berpadu dengan penginapan
dan rumah penduduk yang asri. Di
sepanjang jalan, banyak pemilik
motel yang berdiri di depan
penginapannya. Menawarkan
kamar kosong bagi pengendara.
Motor terus melaju hingga
melewati area hutan yang jarang
dilalui kendaraan.

Lelaki Jahanam 31
“Dek Tia, katanya dekat? Kok
belum sampai?” Teriak Wahyu dari
balik helm teropong.
“Sebentar lagi sampai, ke atas
sedikit!” Tia ikut berteriak.
Selama 19 tahun hidupnya,
saat inilah puncak kebahagiaan.
Sekejap, Tia ingin Wahyu menjadi
pacarnya. Bukan, tapi menjadi
suaminya. Ia mulai membayangkan
hidup bahagia selamanya bersama
lelaki idaman. Mempunyai banyak
anak dan bersama mengelola
usaha penginapan di tanah jatah
warusannya.
Jalan menanjak membuat gadis
itu kaget. Ia hampir saja terjatuh. 
Wahyu memelankan laju kuda besi,

32 Novie Purwanti
dengan cepat menarik tangan
Tia. Melingkarkan ke pinggang
rampingnya.
Tia terkesiap. Sensasi aneh
menjalari dasar perutnya. Gadis itu
merapatkan pelukannya. Hangat.
Pesona Wahyu benar-benar tak
bisa ditolak. Iblis mulai menari,
membisikkan imaji tentang surga
dunia. Tia semakin terperosok,
ia memejamkan mata menikmati
setiap detakan dan denyutan.
Wahyu tersenyum tipis.
Kendaraan terus melaju, jalan
menanjak dan berkelok bukan
halangan. Angin dingin yang
berembus menjadi saksi penyerahan
sebuah hati. Cinta polos seorang

Lelaki Jahanam 33
gadis desa yang menitipkan seluruh
hatinya kepada pemuda serupa
dewa.

34 Novie Purwanti
TIGA

“Maukah kamu jadi istriku, Dek


Tia?”
Tia memandang lelaki yang
duduk di sampingnya. Netra
mereka bertemu, tatapan Wahyu
menunjukkan keinginan kuat.
Menghunjam dalam relung hati.
Tia mengerjab, tak percaya dengan
pendengarannya.

Lelaki Jahanam 35
“Mas Wahyu jangan bercanda.
Kita baru saja kenal. Kenapa tiba-tiba
ingin menikah?” Suara Tia bergetar,
gadis berambut sepinggang itu
menggerakkan kaki di dalam kolam
air panas.
Wahyu mendongak menatap
langit, “Aku yakin kamu gadis
baik, Tia. Kapan lagi bisa bertemu
dengan calon istri yang sempurna
sepertimu. Kesempatan ini nggak
akan aku sia-siakan.”
“Tapi, Mas, aku belum siap.”
“Yakin kamu belum siap?”
Tia mengangguk.
Tanpa diduga, jemari wahyu
membingkai wajah Tia. Ia mencium

36 Novie Purwanti
bibir gadis itu dengan lembut.
“Menikahlah denganku, Dek
Tia.” Suara serak Wahyu kembali
memenuhi gendang telinga.
Tia menggigit bibirnya yang masih
terasa panas, lalu mengangguk
pelan tanpa suara.
Wahyu tersenyum, “Minggu
depan aku akan melamarmu.”
Bunga-bunga mekar di dalam hati
Tia. Dia sama sekali tidak pernah
menduga akan mendapatkan jodoh
secepat ini. Seorang lelaki rupawan
tiba-tiba datang tanpa diundang.
Memasuki kehidupannya yang
nyaris tanpa cinta lawan jenis.

Lelaki Jahanam 37
“Bapak, Emak, aku akan dilamar
Mas Wahyu minggu depan!”
Orangtua Tia memandang anak
gadisnya heran. Mereka sedang
melayani beberapa pelanggan saat
Tia menerobos masuk sepulang
dari pemandian air panas.
“Jangan berkhayal, Nduk. Mana
mungkin pemuda kota itu mau sama
kamu.” Bu Kanti menyahut gemas.
“Sana mandi dulu. Bau asemnya
sampai ke sini.”
Bibir gadis itu mengerucut. Ia
berjalan gontai menuju rumah.
Memang peristiwa barusan tidak
bisa dipercaya. Tia juga belum
mempercayainya. Malam harinya,
Tia nekat pergi ke penginapan Pak

38 Novie Purwanti
Karso. Rasa rindu membuatnya
melupakan akal sehat.
Tapi yang dicari sudah pergi.
Wahyu meninggalkan penginapan
beberapa jam lalu. Tanpa pamit,
tanpa pesan.
Tia terhenyak.
Untuk pertama kalinya, gadis itu
membasahi bantal dengan derai
air mata karena cinta. Dunianya
yang seindah surga dengan cepat
menjadi neraka. Ia merasa bodoh
karena mempercayai kata-kata
lelaki tak dikenal. Tia mengusap
bibirnya dengan punggung tangan
hingga bengkak. Seolah noda
hitam bercokol di sana. Ia Ingin
menghapus kenangan yang begitu

Lelaki Jahanam 39
menyakitkan. Membuatnya merasa
berkubang dosa.

Kehidupan Tia berubah total.


Senyum yang biasanya menghiasi
bibir mungil itu sirna. Ia mengurung
diri dalam kamarnya. Bergelung
dengan kesedihan. Ternyata,
dicampakkan begitu menyakitkan.
Lelaki itu tak pernah datang.
Hampir dua minggu, Wahyu tak
menampakkan batang hidungnya.
“Sudahlah, Nduk. Buat apa
ditangisi lagi. Kalau Wahyu
jodohmu, dia akan kembali. Jodoh
itu tak bisa diterka. Hanya Gusti
Allah yang mengetahuinya.”
Bu Kanti membelai rambut Tia
40 Novie Purwanti
yang meriap tak beraturan. Ia
mengambil segelas teh hangat,
menyodorkan kepada putrinya
yang duduk lemas di ruang tamu.
Tia menolaknya. Mendorong gelas
sambil menggelengkan kepala.
“Kalau kamu seperti ini terus
akan kukawinkan sama Pak Sutris,
duda tua bekas RT, lho.”
“Emak! Siapa yang mau sama
orang tua itu. Meskipun kaya,
dia penyakitan.” Tia segera
mengambil teh dari tangan Ibunya.
Ia meminumnya sampai habis.
Kehangatan menjalari tubuh gadis
itu.
“Aku capek sedih terus, Mak. Buat
apa menangisi lelaki pembohong.

Lelaki Jahanam 41
Betul kata Emak, jodoh itu sudah
ada yang mengatur.”
“Nah, itu baru anak Emak.”
“Hehe.”
“Berapa hari kamu nggak
keramas, Nduk?”
“Seminggu.”
“Pantas saja bau.”
“Ya sudah, Mak. Aku mau mandi
dulu lalu ke warkop.”
Tia hendak beranjak ketika
terdengar ketukan dari arah pintu
yang terbuka. Gadis itu mendelik. Tak
percaya dengan penglihatannya.
“Mas Wahyu?”

42 Novie Purwanti
Pak Nyoto menutup warkop.
Tamu dari kota yang membuat
putrinya berduka telah datang.
Lelaki itu menatap tajam pemuda
yang duduk di depannya. Wahyu
menunduk, jemarinya tergenggam
erat. Tia hanya sempat menyisir
rambut, gadis itu duduk di samping
bapaknya yang gelisah.
“Sebelumnya saya minta maaf
karena tidak sempat mengabari.
Perkenalkan, saya Wahyu.” Wahyu
mengulurkan tangan kepada Pak
Nyoto.
Lelaki tua itu bergeming.
Wahyu menarik tangannya
dengan kikuk. Pria di sebelahnya
menepuk pundak Wahyu.

Lelaki Jahanam 43
“Maafkan keponakan saya, Pak.
Dia sebenarnya mau sowan ke sini
minggu kemarin. Tapi ada musibah.
Rumah yang kami tempati terbakar
habis. Jadi kami harus mencari
kontrakan baru untuk ditempati.”
Raut wajah Pak Nyoto mulai
tenang. Kemarahan perlahan sirna
dan digantikan dengan ekspresi
keprihatinan.
“Saya Gito, pamannya Wahyu.
Sejak orang tua Wahyu meninggal
ketika dia masih SD, saya yang
mengasuh dan membesarkannya.”
Tia terkesiap. Dia tidak
menyangka hidup Wahyu setragis
itu. Dia menatap sosok yang
sangat dirindukan. Semua luka

44 Novie Purwanti
hati mendadak sirna. Harapan
kembali seperti gelombang besar.
Membuatnya takut terhempas lagi.
“Setiap orang pasti membawa
takdirnya masing-masing,” Pak
Nyoto menimpali. “Saya ikut
prihatin dengan cobaan yang
menerpamu, Nak.”
“Sebenarnya tujuan kami datang
kemari untuk melamar anak
Bapak.” Ucapan Pak Gito membuat
suasana hening. Keluarga Tia saling
memandang. Terkejut.
“Maaf? Bisa diulangi?” Suara Bu
Kanti memecah keheningan.
Pak Nyoto menarik napas.
Pandangannya menyapu wajah-
wajah yang masih diliputi keraguan.
Lelaki Jahanam 45
“Sebagai satu-satunya
keluarga yang Wahyu miliki, saya
ingin menunaikan kewajiban.
Melamarkan gadis pilihan Wahyu.
Diterima atau ditolak itu terserah
keputusan Bapak dan keluarga.
Saya hanya menjalankan kewajiban
sebagai paman.”
Pak Nyoto berdehem. “Biarkan
kami berembuk dulu. Ini urusan
yang harus dipikirkan matang-
matang. Pernikahan itu bukan hal
main-main. Tanggung jawabnya
amatlah besar. Selain itu, kami
juga belum tahu banyak mengenai
Wahyu.”
“Kami mengerti. Kapan kami
harus ke sini lagi untuk mengetahui

46 Novie Purwanti
jawabannya?” tandas Pak Pak Gito.
“Seminggu saya rasa cukup.” Pak
Nyoto mengalihkan pandangan. Ia
menatap Wahyu.
“Nak Wahyu, sebagai bahan
pertimbangan, ceritakanlah
tentang dirimu sekarang. Jujurlah,
jangan ada yang ditutup-tutupi.”
Semua mata memandang ke
arah pemuda yang duduk dengan
gelisah. Wahyu mengaitkan kedua
tangan, meletakkan di atas lutut.
Pandangannya menyapu lantai
semen.
“Saya tahun ini genap berusia
27 tahun. Bekerja di sebuah cafe di
Jalan Ahmad Yani Surabaya. Karena
kebakaran tempo hari, tidak ada
Lelaki Jahanam 47
yang bisa diselamatkan. Termasuk
surat-surat penting. Saya hanya
punya KTP sebagai identitas.”
Wahyu terdiam. Ia membasahi
bibir dengan sapuan lidahnya.
“Kenapa kamu tidak memilih
gadis kota? Bukankah di sana banyak
wanita cantik?” Bu Kanti bertanya,
Tia mencubit paha ibunya. Merasa
pertanyaan itu tak pantas terlontar.
“Tia gadis yang baik. Saya
berharap bisa menjadikannya istri.”
Setelah basa-basi sebentar,
Wahyu dan pamannya pamit pulang.
Tia dan keluarganya mengantarkan
mereka sampai halaman. Tia
memandang motor sport sampai
hilang ditikungan. Gadis itu
48 Novie Purwanti
melompat-lompat kegirangan.
“Mak, Pak, anakmu ini sudah
dilamar. Aku mau nikah sama Mas
Wahyu.”
“Biar Bapak pikirkan dulu, Nduk.
Ditimbang baik buruknya.”
“Ayolah, Pak. Aku sudah cocok
sama Mas Wahyu.” Tia menatap
kedua orangtuanya memohon.
“Bapak akan mencaritahu dulu
kebenaran cerita Wahyu.” Pak
Nyoto mengambil kertas dari
kantung bajunya. Catatan sebuah
alamat kontrakan yang diberikan
paman Wahyu.
“Besok bapak akan ke kota.”
“Ikut, Pak.”

Lelaki Jahanam 49
Pak Nyoto memelototi putrinya.
Tia menunduk dalam. Ia menggaruk-
garuk rambutnya yang berminyak.
Lalu meninggalkan orangtuanya
yang masih termenung.

50 Novie Purwanti
EMPAT

Kabut tipis mulai turun,


menyelinap masuk ke dalam rumah
melalui celah-celah. Awal musim
kemarau membawa gigil menusuk
kulit. Para penduduk banyak yang
melindungi tubuh dengan baju
hangat. Mencoba melepaskan diri
dari rasa dingin. Menjelang dini hari,
kebekuan mengamuk. Menyerbu

Lelaki Jahanam 51
hingga lelap terganggu.
Sore itu, Pak Nyoto baru kembali.
Setelah seharian ke kota untuk
menyelidiki calon menantunya.
Tia dan Ibunya sudah tidak sabar
menanti cerita. Setelah Pak Nyoto
makan, mereka langsung mengitari
lelaki berkumis lebat itu.
Lelaki berjaket coklat yang mulai
memudar menatap anak dan istrinya
bergantian. Guratan wajahnya
menunjukkan rasa enggan. Hanya
kepulan asap membumbung keluar
dari bibir sehitam malam. Pada
hisapan kelima, ia mematikan
puntung.
“Bagaimana, Pak?” Bu Kanti

52 Novie Purwanti
menyentuh lengan suaminya.
Pak Nyoto menarik napas
panjang. “Mereka memang
mengontrak, Bu. Ternyata, Paman
Wahyu tidak menikah. Mereka
hanya hidup berdua.”
“Apa Bapak menemui Mas
Wahyu?” Tia menyela pembicaraan.
“Ya tidak, Nduk. Namanya
penyelidikan itu diam-diam. Bapak
tanya tetangga sekitarnya.”
“Apa benar rumahnya terbakar,
Pak?” tanya Bu Kanti
“Kalau itu aku tidak tahu, tapi
yang jelas, Wahyu dan pamannya
baru seminggu mengontrak di
sana.”

Lelaki Jahanam 53
Harapan menguasai hati Tia.
Gadis berlesung pipi itu percaya
bahwa Wahyu adalah laki-laki
yang ditakdirkan menjadi miliknya.
Tugasnya meyakinkan Pak Nyoto
agar mau menerima.
“Berarti, Bapak menerima
lamaran Mas Wahyu, kan?” Tia
memandang wajah Pak Nyoto
penuh harap.
“Entahlah, Nduk. Bapak akan
meminta petunjuk Gusti Allah
dulu. Kamu juga, Tia. Sebesar ini
masih bolong-bolong Salatnya.
Bagaimana kamu mau jadi istri yang
baik kalau masih malas?”
Tia nyengir kuda, “Iya, iya. Nanti

54 Novie Purwanti
setelah jadi istri aku akan rajin salat,
Pak.”
“Dasar.”
Pak Nyoto menyeruput kopi hitam
kesukaannya. Pahit manis menyatu
menciptakan ketenangan. Mata
tua itu menerawang, memikirkan
keputusan yang akan diambil. Demi
kebaikan putrinya yang masih naif.
Ia tahu, sifat Tia yang keras kepala
menurun darinya. Putrinya itu tak
akan menyerah begitu saja.
Tia beringsut. Ia menyandarkan
punggung pada tembok
bercat putih kusam. Angannya
mengembara. Tak pernah gadis itu
menginginkan seseorang sampai

Lelaki Jahanam 55
hampir gila. Bagaimanapun, Wahyu
harus menjadi suaminya. Ia akan
menerjang badai, asalkan tujuannya
tercapai.
Bila cinta menyapa, semua
indra mendadak tak berfungsi.
Banyak manusia terjebak, tak bisa
melepaskan diri. Ketika cinta yang
disangka suci ternyata penuh duri,
terlambat! Hanya sesal menghantui.

Gigih Tia merayu Bapaknya.


Segala macam cara ia gunakan.
Gadis itu mendadak rajin membantu
di warung. Memijiti tubuh Emak
Bapaknya ketika warkop sepi. Ia juga
membersihkan area rumah sampai

56 Novie Purwanti
kinclong. Nyaris tak membantah
apapun yang diperintah orang
tuanya.
Demi memuluskan keinginannya.
Berharap semoga Pak Nyoto
menerima Wahyu. Setiap malam Tia
tidak bisa tidur. Tubuh rampingnya
hanya berguling ke kanan-kiri.
Matanya terpejam, tetapi tak bisa
lelap. Selimut motif bunga yang
membungkus diri, tak mampu
menghadirkan kantuk. Hingga
lingkaran hitam menyapa netra.
Saat yang ditunggu tiba, Wahyu
datang dengan pamannya. Waktu
Dhuha hangat dengan pancaran
cahaya, menjadi saksi pertemuan

Lelaki Jahanam 57
yang akan menentukan masa depan
Tia.
“Bagaimana, Pak Nyoto? Apakah
pinangan kami diterima?” Pak Gito
bertanya dengan suara bergetar.
“Sebelum menjawab, saya ingin
bertanya kepada Wahyu.”
“Silakan, Pak.” Wahyu menimpali.
“Tia adalah anak kami satu-
satunya. Dia yang akan merawat
kami di hari tua. Jadi, meskipun
setelah menikah, Tia akan tetap
tinggal di sini. Mungkin terdengar
egois, tapi itulah syarat meminang
Tia. Kalau kamu setuju, maka saya
akan menerima lamaranmu.”
“Saya setuju, Pak,” ucap Wahyu

58 Novie Purwanti
tanpa ragu.
Tia yang sedari tadi tegang, kini
bisa bernapas dengan gembira.
Ia begitu gembira, tak menyadari
gelombang besar menanti.
Dua bulan kemudian,
mereka menikah. Pak Nyoto
menggadaikan surat tanah dan
rumah untuk menanggap orkes
pantura. Pernikahan putri satu-
satunya sangat meriah namun
meninggalkan tupukan hutang.
Hasil kotak amplop tidak cukup
untuk melunasi semuanya.
Seminggu setelah menikah,
Wahyu dipecat dari cafe tempatnya
bekerja. Tia tidak memperbolehkan

Lelaki Jahanam 59
Wahyu mencari kerja di kota.
Wanita itu menginginkan Wahyu
tetap bersamanya.
“Bekerja di sini saja, Mas. Aku
nggak mau berpisah denganmu.”
Tia menyusupkan kepalanya pada
dada bidang suaminya. Degup
jantung Wahyu membuatnya
tenang. Masih tak percaya ia sudah
menjadi istri.
“Apa kamu nggak malu punya
suami pengangguran?”
Wanita berambut terurai
basah menyentuh rahang Wahyu,
membelainya lembut. “Besok akan
kuantar Mas melamar pekerjaan.”
Bola mata Wahyu menerawang

60 Novie Purwanti
jauh. Sebenarnya ada rahasia
yang ingin dia ungkapkan.
Tetapi, beberapa hal sebaiknya
disembunyikan sampai ajal
menjemput. Bila dunia tahu,
semuanya akan hancur. Wahyu
tidak sanggup untuk kehilangan
keluarga. Saat ini. Ia memilih
bungkam. Biarlah waktu yang akan
mengungkapkannya.

Wajah Wahyu memerah,


setengah berlari ia menghidupkan
motor matik putih dan meluncur
turun. Meninggalkan tatapan heran
Bu Kanti yang sedang menyapu
halaman. Sementara di dalam

Lelaki Jahanam 61
rumah, raungan Tia terdengar.
Wanita itu menjerit-jerit seperti
kesurupan. Ia memanggil nama
Wahyu berulang kali.
Matahari baru saja menyembul,
menepis lapisan kabut tipis di
wilayah gunung Welirang. Desa
Pacet sudah terbangun, terlihat
rombongan bercaping berjalan
menuju area persawahan. Pegawai
penginapan mulai membersihkan
halaman, merawat tanaman hias
dan menyiapkan makanan untuk
para tamu.
Wahyu tak peduli. Ia sudah tidak
tahan lagi dengan sikap Tia. Dari
awal, seharusnya ia tidak memilih

62 Novie Purwanti
gadis desa itu menjadi istrinya.
Semua kekhawatirannya terjadi. Tia
tak jauh beda dengan para wanita
laknat itu.
Awalnya, Tia memang polos
dan manis. Namun seiring waktu,
wanita itu berubah total. Ia selalu
mencurigai Wahyu. Cemburu
bila Wahyu berbincang dengan
wanita lain. Marah-marah bila
Wahyu pulang terlambat. Pernah
sekali Tia datang ke kolam air
panas tempatnya bekerja, melihat
suaminya bercanda dengan gadis
pengunjung, Tia kehilangan akal.
Dia menangis meraung membuat
heboh. Terpaksa Wahyu minta ijin
atasannya untuk pulang.
Lelaki Jahanam 63
Belum lagi sikap mertuanya
yang selalu mendukung Tia dengan
dalih bawaan bayi. Mereka juga
menekannya untuk membayar
utang yang menggunung. Wahyu
terpaksa menjual motor sport
kesayangannya untuk menutupi
kekurangan. Gaji kecil sebagai
penjaga loket karcis habis dalam
kedipan mata.
Kendaraan itu terus menurun
dengan cepat. Kelokan demi kelokan
dilalui tanpa hambatan. Dalam
kemarahan, Wahyu bersumpah
tidak akan kembali lagi ke dalam
kungkungan. Ia merindukan
kebebasan yang dulu mengelilingi.
Wanita-wanita yang siap membuka
64 Novie Purwanti
celana bila Wahyu menginginkan.
Berkeluarga ternyata tidak cocok
untuknya. Apalagi sekarang, saat
perut Tia mulai membesar, layanan
ranjang menjadi tak memuaskan.
Dulu ia begitu bodoh ingin menjadi
pria baik dan bertanggungjawab.
Sekarang, lelaki itu muak dengan
segala kecemburuan sialan. Sikap
posesif yang membuatnya sesak!
Lebih laknat dari kejaran dosa indah
yang pernah diselami.
Keputusan sudah bulat. Bosan
menjadi tahanan, bosan dengan
kemiskinan, muak dengan segala
kecurigaan Tia dan marah terhadap
dunia. Ia ingin kembali, memulai

Lelaki Jahanam 65
kebebasan yang dulu menjadi nadi
hidupnya. Toh, pada dasarnya ia juga
tak mencintai wanita yang sekarang
menjadi istrinya. Ia hanyalah
pelarian yang menyakitkan.
Seringai miring menghiasi wajah
pucat. Tamparan angin tak bisa
menggoyahkan. Pun dengan anak
dikandung badan. Motor terus
melaju, hilang bersama serapah
dan kekecewaan.

66 Novie Purwanti
LIMA

Manusia hidup mengikuti


takdirnya masing-masing. Tak ada
yang bisa memilih. Cobaan, ujian
sudah ditetapkan, tak ada yang
mampu mengubahnya. Kecuali
satu ; kebahagiaan. Rasa itu akan
melingkup ketika hati penuh syukur
dengan keadaan. Berdamai dengan
kekurangan.

Lelaki Jahanam 67
Dalam gelombang kepedihan,
seulas senyum mampu menjadi
penawar.
Bulan-bulan pertama Wahyu
kabur, Tia seperti kehilangan cahaya.
Berat badannya turun drastis,
membuat bayi lahir prematur.
Orang tua Tia terpaksa menjual
hampir seluruh aset warisan leluhur
demi menyelamatkan nyawa tak
berdosa yang berbobot tak sampai
2 Kg. Biaya rumah sakit benar-benar
mencekik leher.
Cahaya kehidupan Tia semakin
pudar. Setelah melahirkan dengan
operasi caesar, ia terus menangis.
Sakit hati pada Wahyu dan denyutan
tak tertahan pada luka robekan

68 Novie Purwanti
membuatnya hampir melakukan
tindakan gila. Tia bahkan menolak
menjenguk bayi di ruangan
inkubator.
Saat bisikan iblis menguasai,
wanita berbadan lemah itu hendak
menerjunkan diri di lantai paling
atas bangunan. Ia ingin berpamitan
kepada anak lelaki terkutuk yang
tega meninggalkan. Terseok
sendirian, Tia berjalan menuju
ruangan khusus perawatan intensif
bagi bayi yang bermasalah. Seorang
perawat membantunya memakai
pakaian steril dan masker.
Dengan perut berdenyut, Tia
menuju makhluk mungil yang
selama delapan bulan hidup dalam

Lelaki Jahanam 69
rahimnya. Mual melanda, melihat
bayi bertubuh merah penuh selang
melintang menembus kulit. Dada
kecil dengan tulang menonjol
bernapas susah payah. Mungkin
sang bayi merasakan kehadiran
ibunya, tiba-tiba saja, tangisan
serak menyayat ditingkahi kaki dan
tangan kurus berbalut kulit keriput
menendang-nendang lemah seolah
menjeritkan pesan.
“Ibu, aku takut ....”
Mata Tia berkaca-kaca.
Pandangannya tersapu kabut,
lelehan sebening embun
berhamburan. Membasahi penutup
wajah. Menembus ke dalam kain,
masuk melalui celah bibir yang

70 Novie Purwanti
terisak.
Kesadaran menghantam, Tia
merasa sangat berdosa kepada
buah hatinya. Jemarinya bergetar
saat menyentuh pembatas
kaca yang memisahkan. Ia ingin
merengkuh bayi telanjang itu dalam
pelukan, memberikan kehangatan,
membisikkan harapan.
“Nak, Ibu di sini. Tenanglah,
Sayang, Ibu akan selalu
bersamamu.”
Tangis ibu dan anak itu pecah,
beribu doa teruntai melayang ke
langit. Meluncur secepat kilat,
berkilauan bersama cahaya doa
yang lain, menunggu terkabul.

Lelaki Jahanam 71
Perjalanan spiritual dimulai.
Sepulang dari rumah sakit, Tia
memutuskan untuk berhijab. Ia
bahkan memaksa orang tuanya
untuk memanggil Kyai Hasan.
Tia bersyahadat lagi di hadapan
sesepuh desa yang paling disegani.
Memohon restu dan meminta doa
agar bisa merawat anaknya sebagai
wanita terhormat.
Lebih dari sepuluh tahun
mengenyam pahit, membuat Tia
dewasa. Ia sadar bahwa keinginan
tak harus terpenuhi. Kerasnya
hidup mengajarinya bersikap bijak,
berani mengambil keputusan dan
hanya menggantungkan harapan
pada Sang Pencipta.

72 Novie Purwanti
“Tia, Nyonya Dini mencarimu.”
Bu Mini menepuk pundak Tia
yang tengah menyetrika baju.
“Tinggalkan saja, biar aku yang
meneruskan.”
“Baik, Bu.”
Tergopoh wanita itu menemui
Dini. Dia berdiri di bawah jemuran
baju berbau harum. Baru tiga hari
yang lalu mereka bertemu, mungkin
baju kotor orang kaya memang
cepat menumpuk.
“Mau memcuci baju, Nyonya?”
“Iya, tadi sudah ditimbang sama
bosmu.”
“Kata Bu Mini, anda mencari

Lelaki Jahanam 73
saya? Maaf ada keperluan apa,
nggih?”
Embusan angin tengah hari
membuat rambut kecoklatan
sepunggung itu meriap. Dini
merapikannya perlahan, menjepit
dengan jemarinya yang lentik.
“Aku ingin melamarmu, Tia.”
“Maksudnya?”
“Jadilah asisten rumah tanggaku.
Aku sangat membutuhkan
pembantu.”
Tia menggigit bibir bawahnya,
“maaf, Nyonya, saya nggak enak
sama Bu Mini.”
“Pekerjaannya nggak berat, kok.
Hanya membersihkan rumah dan

74 Novie Purwanti
cuci setrika.”
“Tapi, Nyonya ...”
“Gajinya lumayan,” Dini
menyebutkan nominal yang
membuat pupil mata Tia melebar.
“Kutunggu jawabanmu besok sama
ngantar bajuku, Oke.”
Tanpa menoleh lagi, wanita
berusia awal 40-an itu pergi
mengendarai motornya. Tia
mengembuskan napas. Bingung
dengan situasi yang tak disangka.
Ia tak ingin mengecewakan
Bu Mini yang telah mengulurkan
tangannya. Gaji harian yang tak
terlalu banyak bisa membuat Tia
bertahan hidup. Meskipun masih
belum cukup untuk menyekolahkan
Lelaki Jahanam 75
Aza. Ia ingin bertahan di penatu
itu sampai ada pabrik yang mau
menerimanya.
Selepas Magrib, Tia pamit undur
diri tanpa menceritakan maksud Dini
kepada bosnya. Toh dia juga tahu
diri, tak akan semudah itu berpaling
karena uang. Walaupun, sejujurnya
Tia sangat membutuhkannya.
Pikiran berkecamuk sepanjang
jalan pulang. Tak terasa, langkahnya
sudah sampai pada kamar kecil
tempat melepas penat. Ada yang
aneh, biasanya saat mengucap
salam, Aza pasti menyambut
dengan riang. Pelukan dan kecupan
akan dihadiahkan kepada putra
yang ditinggal seharian.

76 Novie Purwanti
Pintu tak terkunci. Dengan
mudah Tia mendorong kayu lapuk
penuh poster bonek dan mendapati
Aza duduk meringkuk di sudut
indekos. Rupanya, bocah kurus itu
tak mendengar pintu dibuka. Bahu
kecil memunggunginya, bergetar
naik turun tak bersuara.
Lelah yang mendera setelah
seharian bekerja sirna. Bayangan
kesedihan menjelma, takut buah
hatinya terluka.
“Aza? Sayang? Kamu kenapa,
Le?” Tia melepas sandal japit kuning
pudar, berlari mendekap bocahnya
yang mendadak kaku.
“Aku nggak apa-apa, Ibu.” Jemari
kurus menyeka air mata dan ingus

Lelaki Jahanam 77
dari wajah tirus, “hanya kelilipan
debu.”
“Apa kamu dipukul lagi sama
Resa?”
Aza menggeleng.
“Dicubit sama Kevin anak ibu
kost?”
Bocah itu tetep menggeleng.
“Apa mungkin diejek Satria?”
Kali ini Aza diam saja.
“Dia berkata apa, Nak? Ceritakan
pada Ibu.”
“Kata Satria, aku anak miskin
nggak bisa sekolah, Bu.” Kristal
bening kembali meleleh dari sudut
mata, bercampur dengan ingus.
Aza segera menghapusnya.

78 Novie Purwanti
Tia menatap mata anaknya
lembut, mencoba menenangkannya
dengan tepukan di bahu dan belaian
lembut pada puncak kepalanya.
“Dengarkan kata-kata Ibu, Nak.
Orang miskin itu nggak punya
rumah untuk tinggal, nggak
punya makanan untuk di makan.
Sementara Aza memiliki itu semua.
Sabar sebentar lagi, Sayang. Ibu
akan mendapatkan uang supaya Aza
bisa sekolah lagi. Aza mengerti?”
Bocah itu mengangguk. Tia
membuka tas kumalnya. Mengambil
dua bungkus wafer warna kuning. Ia
membuka dan memberikan kepada
anaknya. Aza menerima dengan
senyum berbinar. Mulutnya terbuka

Lelaki Jahanam 79
lebar, memasukkan jajan kesukaan
yang selalu dibawakan saat ibunya
pulang kerja. Mendung pada wajah
polos itu lenyap, digantikan binar
bahagia. Ah, semudah itu seorang
anak melupakan kesedihan. Tia
banyak belajar dari Aza.
Meskipun bibir tersenyum,
sebenarnya hati Tia riuh dengan
berbagai pertanyaan. Haruskah
menerima tawaran Dini? Apakah
sopan meninggalkan penatu hanya
gara-gara gaji? Di usianya sekarang,
pabrik mana yang mau menerima,
sementara banyak lulusan SMU
yang antri mengular.
Melihat anaknya, Tia
sudah mengambil keputusan.

80 Novie Purwanti
Bukankah tujuannya hidup untuk
membahagiakan Aza? Kebahagiaan
bocah itu adalah pergi sekolah. Tia
akan berusaha semampunya untuk
menyekolahkan Aza. Meskipun
harus mengecewakan Bu Mini.
Bukankah hidup itu pilihan?
Manusia bebas memilih dan
menjalani sesuai dengan tuntunan
yang sudah tertulis di dalam buku
putih masing-masing. Apapun
hasilnya.

Dalam gigil, Tia melangkah


menuju rumah Dini. Gemetar
wanita itu bercerita kepada bos
penatu. Takut dengan reaksi yang
bisa membuat hatinya berdenyut.

Lelaki Jahanam 81
Kekhawatiran tak terbukti. Bu
Mini melepaskan Tia dengan titik
air mata. Ia bahkan mendoakan
Tia mendapatkan kebahagiaan di
tempat kerja baru.
Bersyukur, hanya itu yang bisa
dilakukan. Bertemu orang-orang
baik, menolong tanpa pamrih dan
saling mendoakan dalam kebaikan.
Rumah megah berlantai dua itu
tertutup rapat. Tia membayangkan
membersihkan tempat sebesar itu
sendirian. Sesuai dengan gaji yang
dijanjikan. Wanita itu menekan bel
pintu.
Ting tong. Ting tong.
Lama tak ada jawaban. Kembali
bel bergema. Tia menanti dengan
82 Novie Purwanti
jantung bertalu.
Perlahan pintu kayu berukir
terbuka. Seorang lelaki membuka.
Tia memicingkan mata, mencoba
melihat lebih jelas sosok yang
datang dengan langkah tegap. Saat
pandangan mereka bersatu, Tia
merasa terkejut.
Sangat terkejut.

Lelaki Jahanam 83
ENAM

Napas gadis kecil tersengal.


Rambut kucir duanya basah oleh
keringat. Dia hanya memakai kaus
tanpa lengan dan celana dalam
putih. Sekarang warnanya berubah
kecoklatan pada bagian pantat.
Baru saja Tia terpeleset di pematang
sawah. Hujan siang tadi membuat
jalan tanah berlumpur menjadi licin.

84 Novie Purwanti
Suara Emaknya yang berteriak
menyuruh berangkat ngaji masih
terngiang. Tia paling malas kalau
mengaji, gurunya galak. Suka
memukul meja menggunakan
antena televisi. Tia pernah kena
sabet di telapak tangan. Dia
ramai bercanda bersama teman-
temannya. Kapok tak mau berangkat
ke surau sampai sekarang.
Nyaris setiap sore dia melarikan
diri kalau disuruh mengaji.
Mata bening itu terpejam
menahan denyutan pada
pergelangan kaki. Tia mencoba
berdiri dari posisinya, gagal! Tubuh
kurusnya limbung dan terduduk di

Lelaki Jahanam 85
genangan lumpur.
Tia tidak bisa berjalan!
Jemari kecilnya menyentuh
bagian yang sakit. Bengkak kebiruan
mulai menyembul di sekitar tulang
tungkai kaki yang menonjol.
Pandanganya mengabur, isakan
tersendat mengiringi sebelum
ledakan histeris menggema. Sayang
sekali keadaan sawah lengang.
Semua orang sepertinya memilih
beristirahat di rumah ketika hujan
mengguyur.
Tia ketakutan. Suaranya sampai
serak, tenggorokan sakit karena
menangis hampir lima belas
menit. Akhirnya gadis itu mencoba

86 Novie Purwanti
menggerakkan tubuhnya. Ia
merangkak menuju rumah di ujung
jalan. Menahan denyutan yang
semakin menggila.
Sampai akhirnya sosok itu datang.
Pemuda yang baru saja lulus SMU
berderap ke arah Tia. Dia langsung
menggendong tubuh kotor penuh
tanah. Tak memedulikan baju
harum yang ikut ternoda.
“Tia, kamu dari mana? Emakmu
mencari dari tadi.” Suara penuh
kekhawatiran menyapa. Tia
menyembunyikan wajah ke dalam
dada penolongnya.
“Mas Zain, kakiku sakit.”
Tangisan meledak, ingus dan air

Lelaki Jahanam 87
mata membasahi kaus biru yang
dipakai Zain.
“Stt ... Tenang, aku akan
mengantarkanmu pulang.”
Sepanjang jalan, Tia terisak.
Ketakukan perlahan memudar,
digantikan ketenangan. Zain, anak
sulung Pak Karso pemilik motel
dekat rumah Tia. Sayangnya,
itulah terakhir Tia melihat pemuda
idaman kampung. Kabarnya, Zain
pergi merantau ke kota dan jarang
pulang. Meskipun pulang, Tia tidak
pernah beruntung melihatnya.
Sekarang, sosok yang sama
berdiri tepat di depannya. Zain
membuka pintu pagar. Terdengar

88 Novie Purwanti
suara besi beradu, lelaki bermata
sendu itu mengambil kresek merah
berisi baju.
“Terimakasih, Bu. Ini uang
laundrynya.” Zain mengeluarkan
beberapa lembar uang dari kantung
celana. “Kembaliannya diambil
saja.”
Zain tak mengenalinya! Tia masih
terpana.
“Ma-maaf, apa nyonya Dini ada?”
“Ada perlu apa?”
“Kata nyonya butuh pembantu.
Saya menerima tawarannya.”
Zain mengerjab, nampak
memikirkan sesuatu. Bola matanya
berputar pelan. Lalu wajahnya
Lelaki Jahanam 89
mengendur dan tersenyum.
“O, iya. Kalau begitu silakan
masuk dulu. Istri saya sedang
mandi.”
Langkah itu tetap sama, panjang-
panjang dan penuh percaya diri
seperti berpuluh tahun lalu. Tia
duduk di kursi plastik dekat pintu
masuk. Bersyukur karena Zain tidak
mengenalnya.
Terkadang, takdir memang tak
pernah bisa diduga. Manusia tinggal
menjalani dengan kejutan manis
dan pahit yang sudah disiapkan.
Sepuluh menit kemudian, Dini
keluar. Aroma sabun menguar dari
kulit putihnya. Tanktop gelap dan

90 Novie Purwanti
celana jeans selutut membalut
tubuh padat berisi.
“Gimana, Tia? Apa kamu
menerima tawaranku?” Wajah Dini
condong mendekat, Tia kagum
dengan kulit yang masih kencang
tanpa sedikitpun keriput. Hanya
garis tawa yang tercetak jelas pada
sudut bibirnya.
“I-iya, Nyonya. Saya sudah pamit
dengan Bu Mini.”
Dini tertawa, ia mengibaskan
rambut kecoklatan yang
menguarkan wangi.
“Semoga kamu betah. Mulai
besok kamu bisa mulai bekerja.”
“Terimakasih, Nyonya.”

Lelaki Jahanam 91
“Ayo ikut aku sebentar.”
Dini berdiri, tangannya melambai
kepada Tia yang masih mencerna
kata-kata.
“Iya, Nyonya.”
Tia berjalan di belakang Dini,
menyusuri sisi kanan rumah. Tepat
di depan air mancur buatan, Dini
membuka pintu sebuah kamar.
Mereka masuk, terlihat sebuah
kasur lipat teronggok di sudut
ruangan, kipas angin dinding pada
sisi kanan. Sebuah kamar mandi
mungil berpintu plastik berada
di ujung kamar. Porselen putih
mengkilap membuat kamar itu
terlihat luas.

92 Novie Purwanti
“Dulunya ini kamar pembantu.
Suamiku yang merancangnya. Dia
tak suka ada orang asing yang
berkeliaran di dalam rumah. Kamu
bisa menempatinya, Tia. Daripada
kosong.”
Tia menatap kasur lipat yang
masih utuh dengan plastiknya.
Sepertinya itu kasur yang bagus.
Dia teringat putranya yang selalu
tidur beralaskan karpet tipis. Pasti
Aza akan senang tinggal di sini.
“Saya punya anak satu, Nyonya.”
“Nggak apa-apa, Tia. Bawa saja
anakmu ke sini. Oiya, tugasmu
membersihkan seluruh ruangan
dua kali sehari dan mengurusi baju-

Lelaki Jahanam 93
baju kotor sekalian cuci piring.
Kalau semua sudah selesai kamu
bisa beristirahat. Kerja jam 8 setelah
suamiku berangkat ke kantor dan
selesai jam 4 sore. Setelah itu bebas,
kecuali kalau kupanggil.”
“Iya, Nyonya. Saya akan berusaha
sebaik-baiknya. Besok saya akan
mulai kerja.”
“Oiya, untuk keperluan makan
dan kebersihan semua kamu
tanggung sendiri.”
“Baik, Nyonya.”
Setelah dirasa cukup, Tia undur
diri. Wajahnya berseri, ia merasa
mendapatkan pertolongan yang
sangat berarti. Bila hanya makan

94 Novie Purwanti
nasi dan tempe saja, ia yakin uang
tabungan yang disisihkan akan
cukup bertahan sebulan. Bulan
berikutnya ketika menerima gaji
pertama dari majikan baru, wanita
itu akan mendaftarkan sekolah dan
mengajak Aza makan ayam goreng
terkenal. Seperti teman-temannya.
Harapan membuat langkah
wanita itu semakin cepat. Bibirnya
melengkung indah. Doanya selama
ini akhirnya terkabul. Doa sederhana
yang setiap hari digantungkan ke
langit : membahagiakan Aza.

Tia membawa semua barang-


barangnya. Satu tas pakaian

Lelaki Jahanam 95
digendong Aza. Satu tabung
gas hijau kecil dan satu kardus
berisi kompor kecil, beberapa
piring plastik, sendok, wajan dan
panci berjejalan di dalamnya. Dia
membuang karpet yang sudah tak
layak pakai.
Cicitan burung menemani
langkah ibu dan anak itu menuju
perumahan Pondok Nirwana
Indah. Mereka disambut Dini dan
suaminya dengan hangat.
Majikan perempuan Tia itu
bahkan mencubit gemas hidung
Aza.
“Ganteng banget anakmu, Tia.
Dia pasti mirip bapaknya.” Dini

96 Novie Purwanti
tertawa lebar. Aza tersipu. Bocah
itu menunduk.
Dini berganti menatap suaminya,
“ah, jadi kangen Abella. Kapan kita
mengunjungi Abella, Mas? Putri kita
satu-satunya yang memilih sekolah
Boardingschool di daerah Malang.”
“Bulan depan, Dik,” jawab Zain
singkat. “Ayo kubantu mengangkat
ini ke dalam.”
Tanpa ragu, Zain mengangkat
kardus bawaan Tia dan
meletakannya di dalam kamar.
Setelah itu ia masuk, bersiap
berangkat kerja. Dini mengikuti
suaminya, meninggalkan Tia dan
Aza yang masih mengatur napas.

Lelaki Jahanam 97
Tia mengambil ransel dari
punggung anaknya. Jemarinya
meraih tangan hangat,
membimbingnya masuk kamar.
Mata Aza terbelalak melihat
ruangan yang bersih. Cahaya
matahari menerobos melalui
jendela kaca dan pintu yang
terbuka. Dia melepaskan sandal,
berlari sambil merentangkan kedua
tangan.
Menjatuhkan diri di atas kasur
yang masih terlipat rapi. Beberapa
menit berikutnya, bocah itu masih
diam tak bergerak. Lalu dia menarik
tali pengikat, membentangkan
kasur selebar satu meter dan
berbaring di atasnya.
98 Novie Purwanti
“Ibu, ini nyaman sekali.” Aza
bergulung mengelingi kasur.
Suara plastik beradu membuatnya
semakin semangat. “Ibu, Sini.”
Aza berhenti bergerak. Ia tidur
terlentang, bocah itu menepuk
kasur. Tia yang masih menata
kompor bergegas mendatangi Aza.
Ia tahu maksud anaknya. Perlahan,
wanita itu membaringkan tubuh di
samping Aza.
Bocah itu meringkuk, memeluk
pinggang ramping ibunya. “Nanti
malam pasti Ibu akan tidur
nyenyak.”
“Tentu saja, Sayang. Asalkan
bersamamu, Ibu akan tidur

Lelaki Jahanam 99
nyenyak.”
Aza merapatkan pelukannya.
“Aza, Insya Allah bulan depan ibu
akan mendaftarkan kamu sekolah.
Kita sekarang menumpang di rumah
orang, Ibu harap Aza menjaga sikap.
Nggak boleh nakal, mengerti?”
“Benarkah, Ibu? Yeey! Aku akan
jadi anak baik, Bu.”
“Alhamdulillah. Ini baru anak ibu.
Selama ibu bekerja, Aza baik-baik di
sini, ya. Jangan buat keributan.”
“Siap!”
Kecupan lama mendarat
di kepala Aza. Tia bersyukur
mempunyai anak yang bisa
membuat semangat hidupnya
100 Novie Purwanti
berpendar. Ia akan mencarin nafkah
halal untuk menghidupi buah
hatinya. Berpegang teguh pada
nasihat Kyai Hasan yang selama ini
membimbingnya.
Suara jeritan mengagetkan Tia.
Tepat dari sebelah ruangan. Bunyi
sesuatu dibanting terdengar jelas.
Napas Tia memburu. Ia menepuk
dada Aza yang berdegup kencang,
menenangkannya.
Sebenarnya, apa yang terjadi?

Lelaki Jahanam 101


TUJUH

Terkadang, pertengkaran
dalam sebuah hubungan bisa
membuat jalinan hati semakin
lekat. Mengalah, itulah kuncinya.
Ketegangan akan berbuah manis
bila mau mengakui kesalahan dan
berjanji tak akan mengulanginya
lagi. Kenyataannya, sebuah
pertengkaran bisa membuat luka

102 Novie Purwanti


mendalam yang menembus hati
terdalam. Mengakar, membusuk,
menunggu meledak bersama
serapah.
Sosok tegap berkemeja biru
langit berjalan tergesa. Wajah
yang dihiasi kumis tipis di atas bibir
mengeras. Pintu mobil warna silver
yang parkir di depan pagar dibuka,
lalu ditutup dengan kasar. Deru
mesin kendaraan roda empat itu
menjauh, meninggalkan sumber
api yang membuat hati pemiliknya
terbakar.
Sepasang mata mengintip dari
balik jendela. Jantung Tia bertalu, dia
selalu gugup bila ada perseteruan.

Lelaki Jahanam 103


Suasana berubah hening, wanita itu
penasaran dengan apa yang terjadi.
Baru hari pertama kerja, sudah
dihadapkan dengan masalah.
“Aza, baik-baik di sini, Le. Ibu mau
kerja dulu. Ingat, jangan keluar dari
sini.” Aza mengangguk ragu.
“Jangan khawatir, kalau sudah
selesai, Ibu akan segera ke sini.”
“Iya, Ibu.”
Tia mengecup kening anaknya,
ia memperbaiki kerudung instan
hitam yang melorot sampai mata.
Dalam hati, ia berdoa agar bisa
melalui semua ini dengan lancar.
Ia tidak akan ikut campur dengan
urusan majikannya.

104 Novie Purwanti


Dengan perasaan campur aduk,
Tia masuk ke dalam rumah. Pintunya
dibiarkan terbuka. Mungkin Zain tak
ingat untuk menutupnya. Ucapan
salam lirih keluar dari bibirnya.
Sepi, tak ada jawaban. Terdengar
suara terisak dari arah dapur yang
berada tepat di belakang kamar
yang ditempatinya. Tia mendekat,
ia melihat Dini sedang terduduk.
Punggungnya bersandar di dinding,
kedua tangannya menutupi wajah.
Tia terpaku. Bingung akan
melakukan apa.
Suasana dapur benar-benar
kacau. Pecahan kaca tersebar di
atas porselen putih. Rupanya suara

Lelaki Jahanam 105


mengejutkan tadi adalah piring
pecah.
“Maaf, Nyonya. Ada yang bisa
saya bantu?”
Dini menegakkan kepalanya.
Menatap Tia dengan mata merah.
Bibirnya bergerak menahan isakan.
“Bantu aku ke kamar, Tia.”
Berjingkat menghindari pecahan
kaca, Tia membimbing Dini masuk
ke dalam kamarnya yang berada di
tengah ruangan.
“Laki-laki memang brengsek!
Mereka hanya memikirkan diri
sendiri. Aku sudah tidak tahan lagi!”
Tia hanya mematung melihat
Dini mengomel. Wanita berambut
106 Novie Purwanti
panjang itu memencet sebuah
nomer pada layar ponselnya.
“Kevin, temui aku di tempat
biasanya sekarang.”
Dini mengambil kunci mobil,
menatap tajam Tia yanf masih
terpaku. “Tia, bersihkan pecahan
kaca. Semua peralatan kebersihan
ada di samping kamar mandi
belakang. Aku mau pergi sebentar
“Iya, Nyonya.”
“Aku percaya padamu, Tia.
Tolong jaga rumahku.”
“Baik, Nyonya.”
Pintu lemari kaca dibuka, Dini
mengambil sebuah jaket rajut.
Memakainya dengan cepat. Tia
Lelaki Jahanam 107
berlari ke depan membuka gerbang.
Mobil silver segera meluncur, hilang
dibalik tikungan. Setelah mengunci
pagar, Tia melakukan tugasnya.
Membuat rumah megah itu tetap
bersih.

Tepat ketika adzan Duhur


berkumandang, semua pekerjaan
telah selesai. Tia mengembalikan
semua peralatan kebersihan di
gudang belakang. Lantai berkilap,
harum. Hasilnya memuaskan.
Tia berpikir alangkah capeknya
pembantu terdahulu harus
mengepel sehari dua kali. Tapi
memang setara dengan gaji yang

108 Novie Purwanti


diberikan.
Rasa letih menyergap. Ia
kembali ke kamarnya. Aza sedang
asyik bermain dengan tobot
yang dibelikan Bu Mini tempo
hari. Melihat ibunya datang, Aza
menyambut dengan pelukan
hangat. Bocah itu mengambil
sesuatu dari dalam ransel.
Sebungkus nasi campur yang dibeli
tadi pagi cukup mengenyangkan.
Ditambah minum air putih banyak-
banyak, bisa menyimpan tenaga
sampai matahari terbit keesokan
harinya.
Mereka berbaring di atas kasur
lipat setelah salat Dhuhur. Tia

Lelaki Jahanam 109


memandang wajah anaknya yang
sangat mirip dengan Wahyu. Hidung
mancung, bibir merona, alis bertaut,
dagu yang runcing, membuat
wanita itu begitu merindukan
suaminya. Tia membelai pipi Aza,
menatap netra bening penuh cinta.
“Kamu mirip sekali dengan
Ayahmu, Le.”
“Sebenarnya Ayah kerja di mana,
Bu? Kenapa nggak pernah pulang?”
“Ayah kerja di tempat yang
sangat jauh. Aza selalu berdoa, ya,
semoga Ayah segera pulang dan
kembali bersama kita.”
“Apa ibu kangen Ayah?”
Anggukan pelan berpadu

110 Novie Purwanti


dengan senyum getir, meskipun
dicampakkan begitu saja, Tia tak
mampu membeci Wahyu. Ia masih
berharap bisa bertemu kembali
dengan orang yang telah merenggut
seluruh kehidupannya. Waktu
sepuluh tahun tak bisa menghapus
kenangan. Tia sadar, Wahyu
melarikan diri karena kesalahannya.
Cinta yang sakit, egois dan
serakah. Sayang, kesadaran datang
terlambat. Setelah suaminya pergi,
tak ada seorangpun yang bisa
menggetarkan hati.
“Kalau sudah besar, aku akan
mencari Ayah. Ibu jangan sedih,
ya.”

Lelaki Jahanam 111


“Aza memang anak Ayah. Ayah
pasti bangga kalau melihatmu
tumbuh baik. Terimakasih, Nak.”

Bocah berambut kemerahan itu


beringsut memeluk Ibunya. Belaian
angin elektronik membuat kantuk
menyerang. Perlahan, kelopak mata
mereka terpejam. Meninggalkan
dunia yang keras ini beberapa
saat. Lelap bisa menghapuskan
luka, memperbaiki kerusakan jiwa
dan menyiapkannya mengarungi
tantangan selanjutnya.

Gemercik suara miniatur air


terjun memanjakan pendengaran.

112 Novie Purwanti


Di dasarnya, ikan berwarna-warni
berkejaran memainkan gelembung.
Tia memandang binatang itu
dengan tatapan teduh. Benar
kata orang, mendengar melodi air
dan ikan berenang bisa membuat
pikiran tenang.
Baru saja ia mengantarkan Aza
hingga depan gerbang. Bocah itu
meneruskan mengaji di Musholla
An-Nur dekat indekost dulu. Mentari
senja membuat bayang-bayang
memanjang saat Dini pulang.
Kembali Tia membuka pagar lebar-
lebar. Majikannya itu memasukkan
mobil ke dalam garasi. Tubuhnya
agak limbung ketika keluar dari
pintu depan.
Lelaki Jahanam 113
Tia membantu menuju kamar.
Aroma alkohol menembus
hidungnya.
“Tia, apapun yang kamu lihat
dan dengar, jangan pernah
membicarakannya kepada orang
lain. Mengerti?”
Entah apa maksudnya Dini bicara
seperti itu, Tia hanya mengangguk
segan. Dia tak pernah berhadapan
dengan orang mabuk. Tia khawatir
Dini akan melakukan hal yang bisa
mengancam keselamatannya.
Bukankah di bawah pengaruh
alkohol, pikiran bisa menjadi kurang
waras?
“Nanti malam ada temanku yang

114 Novie Purwanti


akan menginap di sini. Kamu nggak
usah membukakan gerbangnya,
biar aku saja.”
“Baik, Nyonya.”
“Aku mau istirahat dulu, rasanya
capek sekali.”
“Saya akan meneruskan
pekerjaan, Nyonya.”
Dini mengempaskan tubuhnya
ke atas ranjang nuansa lavender.
Melemparkan jaketnya
sembarangan dan bergelung. Tia
mengambil jaket itu dari lantai,
meletakkan di atas sandaran kursi
rias dan keluar kamar setelah
menutup pintu.
Tak terasa, matahari sudah

Lelaki Jahanam 115


lelap dalam peraduan. Digantikan
kegelapan yang tenang. Suasana
perumahan itu begitu hening.
Hanya suara beberapa kendaraan
bermotor yang melintas. Aza sudah
tertidur dari tadi, bibirnya mengukir
senyum. Tak bosan-bosan Tia
menatap mukjizat dalam hidupnya.
Saat netranya hampir terpejam,
terdengar suara mesin kendaraan
dimatikan tepat di depan rumah.
Disusul besi beradu dan gesekan
pagar. Mungkin teman Zain sudah
pulang kerja, atau bisa saja itu
teman yang mau menginap, pikir
Tia.
Hatinya penuh dengan harapan,
ia hanya perlu menutup mulut
116 Novie Purwanti
dan tidak ikut campur dalam
permasalahan keluarga majikannya.
Bukankah sejatinya hidup itu adalah
masalah? Tia akan memposisikan
diri dalam bayangan, seperti yang
diharapkan Dini. Tidak begitu
susah, toh dari dulu Tia memang
bukan tipe yang suka mencampuri
urusan orang. Begitulah caranya
dia bertahan selama ini.
Semua prinsip yang dibangun
semalaman seolah runtuh begitu
saja. Ketika menyirami tanaman
pada keesokan harinya, Tia
mendapati mobil hitam yang bukan
milik Zain terparkir di luar. Apalagi
saat matanya menyapu sebuah
mobil yang lewat, berputar balik di
Lelaki Jahanam 117
ujung jalan lalu pergi menghilang.
Zain duduk di belakang kemudi,
melirik kendaraan hitam yang
berhenti di depan rumahnya.
Lebih baik berpura-pura tidak
tahu daripada membuat rumah
tangganya karam. Matanya seolah
berkabut, ia benar-benar payah!

118 Novie Purwanti


DELAPAN

Terkadang, pertengkaran
dalam sebuah hubungan bisa
membuat jalinan hati semakin
lekat. Mengalah, itulah kuncinya.
Ketegangan akan berbuah manis
bila mau mengakui kesalahan dan
berjanji tak akan mengulanginya
lagi. Kenyataannya, sebuah
pertengkaran bisa membuat luka

Lelaki Jahanam 119


mendalam yang menembus hati
terdalam. Mengakar, membusuk,
menunggu meledak bersama
serapah.
Sosok tegap berkemeja biru
langit berjalan tergesa. Wajah
yang dihiasi kumis tipis di atas bibir
mengeras. Pintu mobil warna silver
yang parkir di depan pagar dibuka,
lalu ditutup dengan kasar. Deru
mesin kendaraan roda empat itu
menjauh, meninggalkan sumber
api yang membuat hati pemiliknya
terbakar.
Sepasang mata mengintip dari
balik jendela. Jantung Tia bertalu, dia
selalu gugup bila ada perseteruan.

120 Novie Purwanti


Suasana berubah hening, wanita itu
penasaran dengan apa yang terjadi.
Baru hari pertama kerja, sudah
dihadapkan dengan masalah.
“Aza, baik-baik di sini, Le. Ibu mau
kerja dulu. Ingat, jangan keluar dari
sini.” Aza mengangguk ragu.
“Jangan khawatir, kalau sudah
selesai, Ibu akan segera ke sini.”
“Iya, Ibu.”
Tia mengecup kening anaknya,
ia memperbaiki kerudung instan
hitam yang melorot sampai mata.
Dalam hati, ia berdoa agar bisa
melalui semua ini dengan lancar.
Ia tidak akan ikut campur dengan
urusan majikannya.

Lelaki Jahanam 121


Dengan perasaan campur aduk,
Tia masuk ke dalam rumah. Pintunya
dibiarkan terbuka. Mungkin Zain tak
ingat untuk menutupnya. Ucapan
salam lirih keluar dari bibirnya.
Sepi, tak ada jawaban. Terdengar
suara terisak dari arah dapur yang
berada tepat di belakang kamar
yang ditempatinya. Tia mendekat,
ia melihat Dini sedang terduduk.
Punggungnya bersandar di dinding,
kedua tangannya menutupi wajah.
Tia terpaku. Bingung akan
melakukan apa.
Suasana dapur benar-benar
kacau. Pecahan kaca tersebar di
atas porselen putih. Rupanya suara

122 Novie Purwanti


mengejutkan tadi adalah piring
pecah.
“Maaf, Nyonya. Ada yang bisa
saya bantu?”
Dini menegakkan kepalanya.
Menatap Tia dengan mata merah.
Bibirnya bergerak menahan isakan.
“Bantu aku ke kamar, Tia.”
Berjingkat menghindari pecahan
kaca, Tia membimbing Dini masuk
ke dalam kamarnya yang berada di
tengah ruangan.
“Laki-laki memang brengsek!
Mereka hanya memikirkan diri
sendiri. Aku sudah tidak tahan lagi!”
Tia hanya mematung melihat
Dini mengomel. Wanita berambut
Lelaki Jahanam 123
panjang itu memencet sebuah
nomer pada layar ponselnya.
“Kevin, temui aku di tempat
biasanya sekarang.”
Dini mengambil kunci mobil,
menatap tajam Tia yanf masih
terpaku. “Tia, bersihkan pecahan
kaca. Semua peralatan kebersihan
ada di samping kamar mandi
belakang. Aku mau pergi sebentar
“Iya, Nyonya.”
“Aku percaya padamu, Tia.
Tolong jaga rumahku.”
“Baik, Nyonya.”
Pintu lemari kaca dibuka, Dini
mengambil sebuah jaket rajut.
Memakainya dengan cepat. Tia
124 Novie Purwanti
berlari ke depan membuka gerbang.
Mobil silver segera meluncur, hilang
dibalik tikungan. Setelah mengunci
pagar, Tia melakukan tugasnya.
Membuat rumah megah itu tetap
bersih.

Tepat ketika adzan Duhur


berkumandang, semua pekerjaan
telah selesai. Tia mengembalikan
semua peralatan kebersihan di
gudang belakang. Lantai berkilap,
harum. Hasilnya memuaskan.
Tia berpikir alangkah capeknya
pembantu terdahulu harus
mengepel sehari dua kali. Tapi
memang setara dengan gaji yang

Lelaki Jahanam 125


diberikan.
Rasa letih menyergap. Ia
kembali ke kamarnya. Aza sedang
asyik bermain dengan tobot
yang dibelikan Bu Mini tempo
hari. Melihat ibunya datang, Aza
menyambut dengan pelukan
hangat. Bocah itu mengambil
sesuatu dari dalam ransel.
Sebungkus nasi campur yang dibeli
tadi pagi cukup mengenyangkan.
Ditambah minum air putih banyak-
banyak, bisa menyimpan tenaga
sampai matahari terbit keesokan
harinya.
Mereka berbaring di atas kasur
lipat setelah salat Dhuhur. Tia

126 Novie Purwanti


memandang wajah anaknya yang
sangat mirip dengan Wahyu. Hidung
mancung, bibir merona, alis bertaut,
dagu yang runcing, membuat
wanita itu begitu merindukan
suaminya. Tia membelai pipi Aza,
menatap netra bening penuh cinta.
“Kamu mirip sekali dengan
Ayahmu, Le.”
“Sebenarnya Ayah kerja di mana,
Bu? Kenapa nggak pernah pulang?”
“Ayah kerja di tempat yang
sangat jauh. Aza selalu berdoa, ya,
semoga Ayah segera pulang dan
kembali bersama kita.”
“Apa ibu kangen Ayah?”
Anggukan pelan berpadu

Lelaki Jahanam 127


dengan senyum getir, meskipun
dicampakkan begitu saja, Tia tak
mampu membeci Wahyu. Ia masih
berharap bisa bertemu kembali
dengan orang yang telah merenggut
seluruh kehidupannya. Waktu
sepuluh tahun tak bisa menghapus
kenangan. Tia sadar, Wahyu
melarikan diri karena kesalahannya.
Cinta yang sakit, egois dan
serakah. Sayang, kesadaran datang
terlambat. Setelah suaminya pergi,
tak ada seorangpun yang bisa
menggetarkan hati.
“Kalau sudah besar, aku akan
mencari Ayah. Ibu jangan sedih,
ya.”

128 Novie Purwanti


“Aza memang anak Ayah. Ayah
pasti bangga kalau melihatmu
tumbuh baik. Terimakasih, Nak.”
Bocah berambut kemerahan itu
beringsut memeluk Ibunya. Belaian
angin elektronik membuat kantuk
menyerang. Perlahan, kelopak mata
mereka terpejam. Meninggalkan
dunia yang keras ini beberapa
saat. Lelap bisa menghapuskan
luka, memperbaiki kerusakan jiwa
dan menyiapkannya mengarungi
tantangan selanjutnya.

Gemercik suara miniatur air


terjun memanjakan pendengaran.
Di dasarnya, ikan berwarna-warni

Lelaki Jahanam 129


berkejaran memainkan gelembung.
Tia memandang binatang itu
dengan tatapan teduh. Benar
kata orang, mendengar melodi air
dan ikan berenang bisa membuat
pikiran tenang.
Baru saja ia mengantarkan Aza
hingga depan gerbang. Bocah itu
meneruskan mengaji di Musholla
An-Nur dekat indekost dulu. Mentari
senja membuat bayang-bayang
memanjang saat Dini pulang.
Kembali Tia membuka pagar lebar-
lebar. Majikannya itu memasukkan
mobil ke dalam garasi. Tubuhnya
agak limbung ketika keluar dari
pintu depan.

130 Novie Purwanti


Tia membantu menuju kamar.
Aroma alkohol menembus
hidungnya.
“Tia, apapun yang kamu lihat
dan dengar, jangan pernah
membicarakannya kepada orang
lain. Mengerti?”
Entah apa maksudnya Dini bicara
seperti itu, Tia hanya mengangguk
segan. Dia tak pernah berhadapan
dengan orang mabuk. Tia khawatir
Dini akan melakukan hal yang bisa
mengancam keselamatannya.
Bukankah di bawah pengaruh
alkohol, pikiran bisa menjadi kurang
waras?
“Nanti malam ada temanku yang

Lelaki Jahanam 131


akan menginap di sini. Kamu nggak
usah membukakan gerbangnya,
biar aku saja.”
“Baik, Nyonya.”
“Aku mau istirahat dulu, rasanya
capek sekali.”
“Saya akan meneruskan
pekerjaan, Nyonya.”
Dini mengempaskan tubuhnya
ke atas ranjang nuansa lavender.
Melemparkan jaketnya
sembarangan dan bergelung. Tia
mengambil jaket itu dari lantai,
meletakkan di atas sandaran kursi
rias dan keluar kamar setelah
menutup pintu.
Tak terasa, matahari sudah

132 Novie Purwanti


lelap dalam peraduan. Digantikan
kegelapan yang tenang. Suasana
perumahan itu begitu hening.
Hanya suara beberapa kendaraan
bermotor yang melintas. Aza sudah
tertidur dari tadi, bibirnya mengukir
senyum. Tak bosan-bosan Tia
menatap mukjizat dalam hidupnya.
Saat netranya hampir terpejam,
terdengar suara mesin kendaraan
dimatikan tepat di depan rumah.
Disusul besi beradu dan gesekan
pagar. Mungkin teman Zain sudah
pulang kerja, atau bisa saja itu
teman yang mau menginap, pikir
Tia.
Hatinya penuh dengan harapan,
ia hanya perlu menutup mulut
Lelaki Jahanam 133
dan tidak ikut campur dalam
permasalahan keluarga majikannya.
Bukankah sejatinya hidup itu adalah
masalah? Tia akan memposisikan
diri dalam bayangan, seperti yang
diharapkan Dini. Tidak begitu
susah, toh dari dulu Tia memang
bukan tipe yang suka mencampuri
urusan orang. Begitulah caranya
dia bertahan selama ini.
Semua prinsip yang dibangun
semalaman seolah runtuh begitu
saja. Ketika menyirami tanaman
pada keesokan harinya, Tia
mendapati mobil hitam yang bukan
milik Zain terparkir di luar. Apalagi
saat matanya menyapu sebuah
mobil yang lewat, berputar balik di
134 Novie Purwanti
ujung jalan lalu pergi menghilang.
Zain duduk di belakang kemudi,
melirik kendaraan hitam yang
berhenti di depan rumahnya.
Lebih baik berpura-pura tidak
tahu daripada membuat rumah
tangganya karam. Matanya seolah
berkabut, ia benar-benar payah!

Lelaki Jahanam 135


TEMAN-TEMAN YANG BUDIMAN,
KELANJUTAN CERITA INI BISA
KAMU BACA DI GOOGLE PLAY
BOOK

BUKA AJA PLAY STORE, TERUS


KLIK TAB “BUKU” ATAU
“BOOK” LALU KETIK NAMA
“NOVIE PURWANTI” DI KOLOM
PENCARIAN, DAN BUKU INI PUN
AKAN MUNCUL.

SELAMAT MENCOBA

136 Novie Purwanti


TENTANG PENULIS

Novie Purwanti adalah ibu


muda yang suka sekali travelling
dan makan enak. Ia punya cita-
cita langsing terus walau banyak
makan, ATM gendut terus walau
suka bepergian.
Wanita yang berdomisili di
Surabaya ini sudah menerbitkan
beberapa buku best seller dan

Lelaki Jahanam 137


puluhan antologi. Selain sebagai
editor lepas, penyuka warna marun
ini mulai merambah dunia paltform
digital.
Sapa dia di medsos FB, IG,
Wattpad, Joylada dan Twitter
dengan akun Novie Purwanti.

138 Novie Purwanti


Karya Lainnya dari:
NOVIE PURWANTI

MINTA KAWIN
ISTRI GESREK
Bisa dibaca di:
GOOGLE PLAY STORE

Lelaki Jahanam 139

Anda mungkin juga menyukai