Anda di halaman 1dari 7

NASKAH DRAMA

BUAYA PEROMPAK

Written by
DIVANY PANGESTIKA
HAFIZ M. YUSUF

X MIPA 7
SINOPSIS
Buaya Perompak adalah seekor buaya jadi-jadian yang menghuni Sungai Tulang Bawang,
Provinsi Lampung, Indonesia. Masyarakat setempat menyebutnya Way Tulang Bawang. Buaya
ini terkenal sangat ganas. Konon, sudah banyak manusia yang menjadi korban keganasan
buaya itu. Suatu hari, seorang gadis rupawan yang bernama Aminah tiba-tiba hilang saat
sedang mencuci pakaian di tepi Way Tulang Bawang. Apakah buaya itu yang menculik
Aminah? Lalu bagaimana nasib Aminah selanjutnya?

Babak I
Suatu pagi yang cerah, terlihat seorang ibu dan anaknya yang sedang berbincang di
teras rumah.
Aminah : (sambil memabawa keranjang berisi pakaian) Ibu aku akan berangkat ke sungai
untuk mencuci pakaian.
Ibu : Kamu harus hati-hati ya, Nak. Ingat di sungai itu ada buaya yang ganas, jadi
kamu harus selalu waspada. (sambil mengusap lengan anaknya)
Aminah : Iya, Bu. Aku pasti selalu hati-hati kok. Kan sudah biasa aku mencuci baju
disana, dan buktinya sampai sekarang aku baik-baik saja. Tidak usah khawatir.
Ya sudah, aku aku berangkat. Assalamualaikum…(mencium tangan ibunya)
Ibu : Waalaikumussalam.
Aminah pun segera berangkat ke sungai. Sore hari pun tiba, namun Aminah tak juga
kembali ke rumahnya.
Ibu : Aduh, hari sudah sore tetapi kenapa Aminah belum juga pulang? Bagaimana
jika hal buruk terjadi kepadanya? (sambil berjalan mondar-mandir dengan raut
muka yang cemas)
Kemudian datanglah ayah Aminah yang pulang dari sawah.
Ayah : Assalamualaikum…(membawa cangkul dan memakai caping)
Ibu : Waalaikumussalam. Ayah, anak kita Aminah, Yah. (menggoyangkan badan
suaminya dengan raut muka yang panik)
Ayah : Anak kita kenapa Bu? Ada apa? (ikutan panik)
Ibu : Dari tadi pagi sampai sekarang, Aminah belum pulang, Yah. Dia mencuci
pakaian di sungai. Tapi biasanya tidak sampai sore, dia sudah pulang. Kenapa
dia belum juga kembali, Ya Allah? Lindungi anakku Ya Allah.
Ayah : Ibu yang tenang ya… mendingan kita lapor kepada kepala pekon, lalu kita pergi
mencari Aminah.
Kebetulan pada saat itu Pak Agung‒selaku kepala pekon datang ke rumah Aminah.
Pak Agung : Assalamualaikum… (sambil menjabat tangan kedua orangtua Aminah)
Ayah : Waalaikumussalam, Pak Agung silahkan duduk Pak.
Ibu : Mau minum apa Pak?
Pak Agung : Tidak usah repot-repot, Bu. Saya kesini mau terus terang saja.
Ayah : Ada apa ya Pak? Kebetulan sekali Bapak kesini, sebenarnya kami mau ke rumah
Anda.
Pak Agung : Begini, Pak, Bu. Saya ingin bertanya apakah benar ini pakaian Aminah?
(menunjukkan pakaian yang dibawanya).
Ibu : Iya benar. Itu pakaian yang Aminah bawa untuk dicuci di sungai tadi pagi.
Bagaimana bisa itu ada di Bapak?
Pak Agung : Jadi, tadi ada salah satu warga yang melapor kalau dia mencuci pakaian bersama
Aminah, tapi setelah dia tinggal sebentar ke rumahnya dan kembali lagi ke
sungai, dia tidak melihat Aminah, dan hanya menemukan pakaiannya.
Ibu : Ya Allah… Dimana kamu, Nak? Selamatkan anakku, Ya Allah….
Pak Agung : Tapi Bapak dan Ibu tidak usah terlalu khawatir, karena saya sudah memerintah
beberapa warga untuk mencari Aminah di sekitar sungai.
Ayah : Terimakasih banyak, Pak. Terimakasih…
Pak Agung pamit, lalu Ayah dan Ibu Aminah ikut mencari Aminah bersama warga.
Para warga beramai-ramai mencari Aminah di malam hari. Mereka membawa obor dan
senjata untuk melindungi diri dari buaya ganas. Mereka meneriaki nama Aminah, namun
setelah berjam-jam mereka tidak menemukan Aminah. Kepala pekon pun memutuskan untuk
memulangkan mereka. Orangtua Aminah sangat sedih.
Babak II
Nan jauh di dalam sebuah gua besar, tampak Aminah yang tergolek lemas. Ia baru saja
tersadar dari pingsannya, lalu bangkit dari tidurnya. Di dalam gua tersebut dipenuhi oleh
harta benda yang tak ternilai hartanya. Ada emas, berlian, intan, permata, maupun pakaian-
pakaian indah yang memancarkan sinar dan berkilau.
Aminah : Ayah, Ibu, aku ada di mana? Tempat apakah ini? (berjalan dan melihat sekitar
gua) Mengapa banyak sekali perhiasan disini? Tapi milik siapakah semua ini?
Masih dengan rasa terkagumnya, tiba-tiba terdengar suara besar yang menggema,
Aminah pun terkejut. Tak jauh dari tempatnya berdiri, terlihat seekor buaya besar yang
merangkak dari sudut gua.
Buaya : Hai, Gadis Cantik! Tak usah takut denganku. Semua harta benda ini adalah
milikku. Ha ha ha ha….
Aminah : Siapa kamu? Wujudmu ‘kan buaya, tetapi mengapa kamu bisa berbicara
layaknya manusia?
Buaya : Wujudku memang buaya, tapi aku sebenarnya manusia seperti kamu. Aku bisa
berubah menjadi manusia ketika malam purnama tiba.
Aminah : Bagaimana bisa kamu berubah menjadi seekor buaya?
Buaya : Namaku Somad. Dulu, aku adalah perompak ulung di Way Tulang Bawang.
Aku merampas harta benda saudagar kaya yang berlayar di sungai ini. Karena
perbuatan jahatku itu, aku terkena kutukan menjadi seekor buaya. Semua harta
benda itu aku simpan di tempat ini.
Aminah : Lalu, bagaimana kalau kamu merasa lapar? Dari mana kamu mendapat
makanan? Apakah kamu akan memangsa setiap penduduk?
Buaya : Setiap aku berubah menjadi manusia ketika bulan purnama, aku keluar dan
menjual sedikit harta ini, lalu aku membeli makanan. Tak ada seorang pun yang
tahu kalau aku adalah buaya perompak yang terkenal ganas itu. Tapi terkadang
aku kurang puas dengan makanan itu, sehingga aku memangsa manusia. Ha ha
ha…
Aminah : Tapi bagaimana caranya kamu membawa makanan itu ke dalam gua ini?
Buaya : Aku membangun sebuah terowongan di balik gua ini. Terowongan itu
mengarah ke tepian Way Tulang Bawang. Itulah satu-satunya jalan untukku
keluar dari sini. Ha ha ha…. (sambil menunjukkan terowongan itu)
Tanpa Buaya itu sadari, ia telah membocorkan rahasia jalan keluar dari gua tersebut.
Aminah secara seksama menyimak dan mengingat keterangan berharga itu, agar kelak ia bisa
melarikan diri dari Buaya dan tempat itu.
Buaya : Omong-omong, siapa namamu, wahai Gadis Cantik?
Aminah : Namaku adalah Aminah. Aku tinggal di desa dekat tepi Way Tulang Bawang.
Hm… apakah aku boleh bertanya padamu?
Buaya : Tentu saja boleh, Gadis Cantik! Ha ha ha… Katakanlah!
Aminah : Mengapa kamu menculikku dan tidak memangsaku sekalian?
Buaya : Ketahuilah, Aminah! Aku membawamu kemari bukan karena ingin
memangsamu, tapi karena aku tertarik padamu. Kamu adalah gadis cantik dan
lemah lembut. Maukah kau tinggal bersamaku di gua ini?
Aminah : (agak gugup dan termenung sejenak) Ma…maaf, Buaya. Aku tidak bisa,
orangtuaku pasti akan khawatir dan mencariku.
Buaya : Baiklah! Jika kamu bersedia tinggal di sini bersamaku, aku akan memberimu
semua harta bendaku ini. Akan tetapi, jika kamu menolak, aku tidak segan-
segan memangsamu! HA HA HA….
Mendengar ancaman tersebut, Aminah pun terkejut. Ia berpikir sejenak, mencari cara
agar terhindar dari ancaman Buaya. Akhirnya Aminah memutuskan untuk menerima
permintaan Buaya, di samping menunggu waktu yang tepat agar ia bisa melarikan diri dari
gua itu.
Aminah : Baiklah, aku bersedia tinggal bersamamu.
Aminah pun akhirnya tinggal bersama Buaya Perompak itu. Ia diberi berbagai
perhiasan mewah dan juga pakaian yang begitu indah. Setiap harinya Aminah pura-pura
bahagia dan mencoba bersikap baik kepada buaya itu.
Suatu hari Buaya Perompak sedikit lengah dan tertidur pulas, sehingga pintu
terowongan gua bebas dari pengawasannya. Tidak mau menyianyiakan kesempatan itu, ia pun
mencoba melarikan diri.
Aminah : Wah ini saat yang tepat untuk aku kabur dari tempat ini (berjalan mengendap-
ngendap ke arah terowongan).
Babak III
Akhirnya Aminah bisa menyusuri terowongan gua hingga mencapai ujung. Ternyata
benar apa yang dikatakan oleh Buaya benar, bahwa terowongan itu berujung di tepian Way
Tulang Bawang.
Aminah pun berjalan menuju ke rumahnya. Di perjalanannya, ia bertemu dua orang
penduduk desa.
Warga 1 : Hei Aminah, darimana saja kamu? Orangtuamu sangat khawatir, kamu tidak
pulang-pulang.
Warga 2 : Penduduk desa sudah mencarimu kemana-mana berhari-hari, tapi tak juga kami
menemukanmu.
Aminah pun menceritakan kejadian yang dialaminya kepada penduduk desa dan juga
orangtuanya.
Babak IV
Malam harinya, setelah penduduk desa mendengar kejadian yang menimpa Aminah,
langsung berkumpul membawa senjata. Mereka hendak menuju tempat Buaya Perompak untuk
menyerbunya.
Mereka pun melewati terowongan gua dengan mengendap-ngendap dan sangat hati-
hati.
Warga 3 : Pokoknya jangan biarkan Buaya itu lolos, kita harus membunuhnya mala mini
juga.
Warga 4 : Lihatlah! Buaya itu sedang tertidur pulas. Inilah saat yang tepat untuk
menyerang!
Penduduk desa yang sudah marah dengan ulah Buaya Perompak pun langsung
menyergap dengan beramai-ramai tanpa ampun.
Buaya : Ampun… ampunilah aku! (sambil menangis dan meringis kesakitan) aku
berjanji akan menjadi baik hati dan takkan merompak lagi, ampunilah aku!
Warga 5 : Mana ada buaya yang baik hati! (terus memukuli Buaya)
Akhirnya, Buaya Perompak yang terkenal ganas itu mati di tangan penduduk desa.
Mereka gembira atas kematian buaya itu.
Setelah berhasil membunuh buaya itu, semua harta benda hasil rompakan Buaya
diambil oleh penduduk desa. Kemudian dibagikan secara adil kepada seluruh warga pekon

Anda mungkin juga menyukai