Anda di halaman 1dari 4

Fenomena Adaptasi Novel ke Film

Oleh Muhammad Najib

Seni dan sastra adalah dua hal berbeda, namun memiliki fungsi yang sama yakni usefull dan sweetfull
(Teeuw), fungsi tersebut membuat sastra dan seni tidak dapat dipisahkan. Pengalaman fantasi setiap
manusia terhadap seni juga tidaklah sama, banyak cara dan perspektif untuk menikmati seni tersebut. Seni
merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia, seni mengubah pandangan seseorang, seni
memberikan keseimbangan pada dinamika kehidupan manusia, tak ayal hingga saat ini seni masih
diproduksi demi kelangsungan hidup manusia.

Sebuah bukti yang menunjukkan seni dan sastra tidak dapat berpisah dan menyebabkan terjadinya
koherensi yang kuat antara keduanya adalah penalaran aktif dari otak kiri dan kanan. Teori tersebut bukan
tanpa validitas, terbukti saat kita mampu mencitrakan sastra menjadi hal baru yang tentu saja lebih
menarik atau bahkan menyadur imajinasi yang sudah kita dapatkan sebelumnya melalui sastra. Map mind
manusia terbagi dalam dua kategori, kanan dan kiri, sistematis dan kebebasan, bahkan keduanya sering
bersinggungan karena disebabkan sastra dam seni. Otak kiri berfungsi berfungsi menganalisis dan
mencerna makna dari sastra, sedangkan otak kanan bertugas mencitrakan sastra melalui seni yang bersifat
imajinatif secara perspektif. Peristiwa tersebut membuat sastra dan seni berhasil berkolaborasi dengan
baik.

Pengantar di atas sepertinya cukup untuk memberikan pemahaman awal mengenai fenomena yang
akan dibahas. Perkembangan teknolgi saat ini begitu tidak terkendali, kemajuannya membuat gaya hidup
manusia berubah, tak dapat dipungkiri bahwa kemajuan tersebut merupakan mobilitas dunia yang akan
selalu terjadi terus-menerus. Kemajuan tersebut juga mampu memberikan citra baru pada pikiran manusia
untuk membuat atau membantu dirinya dalam berimajinasi. Imajinasi manusia yang dulunya hanya benda
abstrak dalam benak manusia kini dapat berubah menjadi sesuatu yang nyata. Indikator seperti di atas
menyebabkan adanya hasrat dalam mengembangkan penyajian sebuah karya sastra, sebuah adaptasi karya
sastra yang akan membantu penikmat sastra dalam menghadirkan citra baru. Adaptasi karya sastra atau
perubahan penyajian karya sastra tersebut disebut alih wahana.

Alih wahana adalah perubahan dari satu jenis kesenian ke jenis kesenian lain. Karya sastra tidak
hanya bisa diterjemahkan, yakni dialihkan dari satu bahasa ke bahasa lain, tetapi juga dialihwahanakan,
yakni diubah menjadi jenis kesenian lain. Cerita rekaan bisa diubah menjadi tari, drama, atau film,
sedangkan puisi bisa diubah menjadi lagu atau lukisan. Hal yang sebaliknya bisa juga terjadi, yakni novel
ditulis berdasarkan film atau drama, sedangkan puisi bisa lahir dari lukisan atau lagu (Damono, 2005: 96).

Alih wahana karya sastra tulis menjadi bentuk perekaan berbentuk empat dimensi menunjukkan
hasrat masyarakat yang masih membutuhkan pencitraan dalam menangkap sastra. Pelayarputihan karya
sastra, fenomena yang saat ini hangat diperbincangkan urgensinya bagi karya sastra itu sendiri atau
bahkan nasib para penikmatnya. Pelayarputihan karya sastra disebut ekranisasi. Ekranisasi menurut
Eneste (1991: 60) adalah pelayarputihan atau pemindahan sebuah novel ke dalam film. Ekranisasi adalah
suatu proses pelayarputihan atau pemindahan atau pengangkatan sebuah novel ke dalam film.
Pemindahan dari novel ke layar putih mau tidak mau mengakibatkan timbulnya berbagai perubahan. Oleh
karena itu, ekranisasi juga bisa disebut sebagai proses perubahan yang bisa mengalami penciutan,
penambahan (perluasan), dan perubahan dengan sejumlah variasi.
Pengubahan wujud sastra tersebut tentu menyebabkan respon beragam dari masyarakat Indoesia.
Bervariasi dalam menyimpulkan peristiwa tersebut, terlebih masyarakat yang kritis dalam menilai sebuah
produk sastra. Respon baik atau buruk terhadap hal tersebut tidaklah salah atau benar, karena hal tersebut
pasti terjadi. Tetapi hal tersebut akan menjadi berkepanjangan saat terjadi perdebatan atas perubahan
tersebut, plus minus, baik buruk, dan esensi perubahan tersebut sering diperdebatkan masyarakat
Indonesia. Debat kusir tidak terhindarkan karena fenomena ini, baru baru ini rilis film adaptasi novel
karya Pramoedya berjudul Bumi Manusia, munculnya film tersebut digadang-gadang akan mencoreng
orisinalitas novel tersebut, belum lagi perspektif masyarakat yang paranoid mengenai nasib alur yang
akan dimunculkan dalam film. perlu diketahui bagi kita semua, peristiwa tersebut bukanlah sesuatu yang
harus diperbincangkan secara kusir, meskipun penilaian pasti akan muncul terhadap ekranisasi ini.

Kasus lain seperti konversi novel Surga yang Tak dirindukan karya Asma Nadia, Harry Potter karya
J.K. Rowling, Twilight, Divergent, Salah Asuhan, Surat Kecil untuk Tuhan, dan banyak lagi karya-karya
yang diubah berdasarkan adaptasi novel. Wajar memang jika muncul tanggapan bervariasi dari penikmat
sastra. Teori di atas mengenai alih wahana maupun ekranasi setidaknya mampu memberikan pencerahan
untuk kita semua tentang sikap penilaian terhadap sebuah karya sastra dan seni, karena dalam kasus ini
memang menyebabkan perubahan atas penambahan dan penciutan karya sastra itu sendiri. Menjadi cerdas
dalam memaknai sebuah karya bukanlah hal mudah, dibutuhkan pengetahuan mengenai fenomena
tersebut.

Ekranisasi seperti yang disebutkan di atas, proses yang timbul karena adanya apresiasi aktif dari
penikmat dan pegiat sastra. Dorongan akan sebuah citra baru dalam penyajiannya berkembang melalui
karya baru yang dihasilkan. Kejadian seperti ini sering ditanggapi secara negatif oleh masyarakat, kritik
masyarakat tehadap fenomena ini juga tidak seharusnya kita salahkan, kejadian seperti ini akan menjadi
dinamika dunia sastra di tanah air.

Pada dasaranya adaptasi seperti ini sudah sering dilakukan dalam dunia perfilman, khususnya industri
Hollywood yang mengemas film Lord Of The Rings karya Tolkien 1954, Harry Potter, dan masih banyak
lagi. Menilik fenomena ini di Indonesia, fenomena alih wahana dan ekranisasi baru bisa diterima dengan
baik masyarakat Indonesia saat dimunculkannya film Ayat-ayat Cinta pada Tahun 2008, meskipun sudah
banyak karya adaptasi sebelumnya. Mengapa pada masa itu disebutkan sebagai masa yang bagus dalam
adaptasi novel menjadi film, karena terhitung sat itu Ayat-ayat Cinta memecahkan rekor sebagai film
yang banyak ditonton di bioskop, mengalahkan film Ada Apa dengan Cinta? Tahun 2002.1

Selain mengamati dan memahami fenomena ini, perlu juga kita memahami unsur-unsur pembagun
film dalam membuat dan mengadaptasi film berdasarkan novel. Seorang sutradara tidak akan membuat
karya baru tanpa menganalisis terlebih dahulu karya yang akan ia ciptakan atau adaptasi. Perlunya
analisis mendalam dari novel yang akan ia jadikan sebagai karya sastra, sungguh pekerjaan yang rumit.
Tuntutan suksesnya membawa pesan umum yang sama dari novel akan cukup membatasi kreatifitas
seorang penulis skenario atau sutradara. Kegiatan menyadur ide pokok dalam novel dilakukan tidak
cukup dalam waktu satu hingga dua Minggu saja, proyek yang menekan saraf dan memakan waktu.

Peristiwa ekranisasi dan alih wahana tentu akan sedikit mengubah kemasan karya, karena tujuannya
adalah memunculkan citra baru dalam menikmati karya tersebut. bukan tidak mungkin jika ada bagian
yang hilang dan muncul bagian baru dalam karya tersebut. seperti yang disebutkan di awal, fenomena
kritik masyarakat terhadap karya sastra seharusnya saling ditanggapi secara bijak oleh semua pihak dalam

1
Jurnal Dr. Istadiyantha, M.S. dan Rianna Wati, S.S., M.A. FIB UNS EKRANISASI SEBAGAI WAHANA ADAPTASI DARI
KARYA SASTRA KE FILM.
dunia sastra. Adanya pemahaman yang luas terhadap sebuah fenomena dengan observasi mendalam dan
tak terburu-buru dalam menyimpulkan akan mempermudah kondisi tersebut.

Adaptasi film Bumi Manusia misalnya, banyak kalangan masyarakat yang menyayangkan film
karena tidak tepat dalam memilih karakter yang kita ketahui, sosok Minke yang diperankan Iqbal cukup
menarik urat saraf penikmat novel Bumi Manusia yang bisa dibilang sangat mengenal sosok Minke.
Minke digambarkan sebagai sosok sakral dalam novel tersebut, novel yang bergelar historis juga
memengaruhi kelayakan film. Film Bumi Manusia dipertanyakan kelayakannya oleh masyarakat sastra
saat ini. Perlu diketahui, apa alasan Hanung dalam memilih Iqbal sebagai pemeran Minke dalam novel,
itu yang seharusnya kita perdebatkan, meskipun stigma kritik tidak mungkin terhindarkan.

Adanya komunikasi yang harus dibangun lewat film tentu yang membuat sutradara melakukan
perombakan. Komunikasi yang disampaikan haruslah mengena pada setiap penikmat sastra, bagaiaman
ide utama, dan ide-ide pemanis lainnya dihadirkan sebagai pertimbangan daya tarik film nantinya.
Keseusaian kebiasaan, budaya, dan gaya hidup masyarakat saat inilah yang dilihat oleh seorang penulis
skenario atau sutradara, dikatakan oleh Segers (2000: 41), sebagai sebuah proses komunikasi, hubungan
antara teks dan pembaca memerankan dua buah fungsi. Pertama, menandai hubungan skema tekstual.
Merupakan tugas pembaca untuk menyusun ikatan yang hilang tidak sekehendak hati berdasarkan
pengalaman dan harapan miliknya, tetapi berdasarkan kesesuaiannya dengan struktur tekstual. Kedua,
dunia teks literer diciptakan untuk pembaca dari perspektif yang berubah-ubah. Juga adalah tugas
pembaca untuk menghubungkan perspektif itu agar cocok dengan struktur tekstual.

Asumsi selanjutnya adalah perbedaan yang muncul antara novel dan film tidak jarang menimbulkan
kekecewaan karena hal tersebut dapat dilepaskan dari proses pembacaan para pekerja film terhadap novel
yang akan diadaptasinya. Menurut Iser (1987: 169), teks merupakan keseluruhan sistem yang di dalamnya
terdapat blank. Blank tersebut tidak dapat diisi oleh sistem dalam teks itu sendiri. Blank dalam teks
tersebut diisi oleh pembaca yang menginterpretasinya. Sementara itu, interpretasi pembaca sebagai
bentuk pengisian blank tersebut terpenuhi melalui storage pembaca. Oleh karena itu, interpretasi karya
sastra antara pembaca satu dengan pembaca lainnya berbeda-beda tergantung storage masing-masing
pembaca tersebut.

Teori di atas cukup menjawab pertanyaan kita, mengapa terjadi fenomena tersebut, mengapa harus
ada penambahan, mengapa harus ada pengurangan, mengapa harus ada penurunan pesan, mengapa harus
ada keunggulan dari masing-masing karya, dan mengapa harus ada kritik pada karya sastra. Bijaknya
seorang penikmat satsra dan pegiat sastra sangatlah penting, relasi keduanya haruslah saling
memabangun, terciptanya karya sastra adalah fenomena wajar.

Meskipun begitu, teori yang disajikan begitu hati-hati dalam memihak, adanya komentar baik dan
buruk juga merupakan fenomena sastra yang tidak bisa kita hindari. Mencerahkan memang ketika kita
memahami fenomena seperti di atas, tidak ada salahnya kembali membuka buku di setiap pekerjaan kita,
mengamati setiap kejadian berdasarkan penelitian, membangun masyarakat yang bijak juga akan
menaikkan taraf kemajuan bangsa. Bukan sebuah esensi jika karya sastra menjadi alasan hancurnya
bangsa, namun sebagai penikmat dan pegiat sastra, seharusnya kita memahami mengapa karya sastra
dibuat, diadaptasi, dan disadur akan sangat membantu pola pikir kita.
AUTOBIOGRAFI PENGARANG

Saya adalah mahasiswa tingkat akhir yang saat ini masih berjibaku
menyusun skripsi. Saya berkuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
dengan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Saya
dilahirkan dengan nama lengkap Muhammad Najib, 24 tahun lalu saya
dilahirkan ke dunia. Tepatnya pada 9 Agustus 1997, Tuhan memberikan
kehidupan dan menakdirkan saya untuk lahir di Kota kedua orang tua
Saya, yakni Kota Serang, Provinsi Banten.
Saat ini saya tinggal di Banten Lama, Kec. Kasemen, Kota Serang.
Pandemik ini membuat saya lebih baik memutuskan untuk berdomisili
di kampung halaman saat ini. Motivasi saya berpartisipasi adalah agar
ilmu yang saya dapat dapat teraplikasikan dan membagikannya kepada
khalayak. Saya aktif di jejaring sosial Instagram @najib_muh_, dan
berkirim surel melalui najibsrg@gmail.com atau 0831-2715-1351.

Anda mungkin juga menyukai