Anda di halaman 1dari 8

Nama : Dhiva Elza Khairunissa

Kelas : 2 SI-2/L

NIM : 1210620041

RESUME PERTEMUAN KE-11 : KETERKAITAN ANTARA PROSA FIKSI DENGAN


FILM SEBAGAI SEBUAH KARYA ADAPTASI

PENDAHULUAN

Perkembangan pada bidang sastra terutama karya sastra yang berbentuk prosa semakin
bertambah pesat. Seperti novel dan cerpen yang saat ini tampaknya menjamur di kalangan
masyarakat pembaca. Perlu diketahui bahwa dalam kehidupan sastra terdapat lembaga
kepengarangan yang memiliki kepentingannya masing-masing dan kemudian berpengaruh pada
suatu karya sastra dan pengarang karya sastra tersebut. Seperti pada suatu karya sastra yang di
adaptasi menjadi sebuah film. Hal tersebut biasanya dipengaruhi oleh adanya tren pasar lalu
menjadi kepentingan media massa. Karya-karya prosa terutama novel dan cerpen yang di
adaptasi biasanya adalah yang memiliki tingkat kepopuleran yang tinggi di pasar pembaca atau
tren pasar. Dari kepopuleran tersebutlah yang kemudian membuat sutradara atau bagian dari
dunia perfilman yang tertarik untuk mengadaptasinya menjadi sebuah film. Dan adaptasi ke
dalam film juga membantu para pembaca untuk dapat memvisualisasikan atau merealisasikan
imajinasinya melalui bentuk visual/film.

Memahami film berarti kita juga memahami bahasa ekspresi dan sastra, begitu pula
sebaliknya bahasa ekspresi dari sastra juga banyak yang dipengaruhi oleh film. Maka jangan
heran jika kedua karya seni ini sering ditemukan saling mempengaruhi. Ditemukannya film hasil
adaptasi pertama di Indonesia yang berjudul Loetoeng Kasaroeng (1926) film ini merupakan
film pertama yang diproduksi di Indonesi oleh NV. Java Film Company yang disutradarai oleh
dua orang berkebangsaan belanda dan dibintangi oleh aktor dan aktris pribumi. Setelah itu pada
tahun 1931 disusul oleh film adaptasi dari novel Bunga Ros dari Tjikembang karya Kwee Tek
Hoay dan sutradai The Teng Chun. Dilanjutkan pada tahun 1941 film adaptasi novel yang
berjudul Siti Noerbaja karya Marah Roesli dan disutradarai oleh Lie Tek Swie, sedangkan di
tahun 1967 sutradara Nico Pelamonia memproduksi film berjudul Senja di Jakarta adaptasi dari
novel karya Mochtar Lubis. Kemudian disusul oleh film adaptasi-adaptasi lainnya mulai pada
dekade 1970-an dan terus berkembang sampai pada tahun 2000-an. Pada tahun 2000-an
Indonesia semakin dibanjiri oleh karya - karya adaptasi, baik adaptasi dari novel maupun cerpen.
PEMBAHASAN

Seorang pelopor studio mengenai film adaptasi yaitu George Bluestone dalam bukunya
Novels into Film (1957) berasumsi dan memperlihatkan bahwa adanya ciri-ciri dasar yang
membedakan antara novel dengan film. Novel merupakan suatu medium linguistik, sedangkan
film merupakan medium dengan menggunakan pendekatan visual. Secara fundamental novel dan
film memiliki perbedaan jika dilihat dari asal usul, baik konvensi, maupun penontonya.
Bluestone mengatakan yang menarik ketika melihat dua medium ini adalah ‘terang-terangan
kompatibel, namun diam-diam bermusuhan’, sehingga muncul tantangan dan potensi besar
ketika menyatukan kedua medium tersebut. karena adanya perbedaan, justru kesenjangan antara
yang diadaptasi memiliki kemungkinan untuk dapat diterjemahkan dengan lebih kreatif dan
konstruktif. Karena seorang adaptor bukanlah hanya menerjemahkan melainkan seseorang yang
menjadi penulis baru. Deborah Cartmell dan Imelda Whelehan dalam Adaptations: From Text to
Screen, Screen to Text, memperlihatkan bahwa masalah yang paling penting dalam adaptasi
karya sastra menjadi film adalah kesetiaan pada sumber aslinya yakni novel.

Seorang kritikus film, Gabriel Miller, memandang film adaptasi sebagai suatu‘proses
penyederhanaan’ dari novel. Ia yakin film tidak dapat menangani kompleksitas (seperti pikiran,
memori, mimpi, atau psikologis) seperti di dalam novel. Di sisi lain Seger (1992: 2)
menyebutkan bukan lagi mengenai perbedaan dua medium, tetapi juga teks dan film, sejak awal
keduanya memiliki karakter yang berbeda. Sehingga jika disatukan atau dipadukan pastilah
menghasilkan sesuatu yang beda, adanya suatu perubahan. Seger juga menambahkan bahwa di
dalam adaptasi terdapat tiga proses yang perlu diperhatikan, di antaranya; rethinking (berpikir
ulang), reconceptualizing (mengkonsep ulang), dan understanding (pengertian) atas teks sumber
adaptasi.

Susan Hayward dalam Cinema Studies: The Key Concepts menjelaskan bahwa karya film
adaptasi yang idenya berasal dari karya sastra (baik novel, cerpen, dan sebagainya) sangat
memungkinkan munculnya cerita baru yang tidak harus sama persis dengan karya aslinya.
Sehingga sebuah karya film adaptasi memberikan ruang interpretasi bagi pembuat naskah film
ataupun sutradara yang menerjemahkan karya aslinya. Sebuah karya film yang berasal dari karya
sastra tidak hanya berfokus pada teks saja, melainkan juga fokus terhadap gambar dan suara.
Susan menegaskan meski adanya kebebasan dalam menginterpretasi, namun inti atau ide asli
dari naskah asli haruslah tetap terjaga dalam pembaruan cerita tersebut.

Terdapat rumusan adaptasi menurut Susan Hayward Teks asli (T 1), teks adaptasi (T2),
teks film (T3), teks sutradara (T4n), teks bintang (actor-aktris) (T5n), (kon)teks produksi (T6n), dan
dari beberapa teks menjadi interteks diri (T 7n). terdapat juga tiga kategori adaptasi film dari karya
sastra menurut Susan Hayward, yaitu pertama, adaptasi atas karya klasik atau tradisional, kedua,
adaptasi drama panggung atau teater ke film, dan adaptasi karya sastra kontemporer termasuk
juga karya-karya fiksi populer. Pada umumnya ketiga kategori ini saling berintegrasi antara satu
dengan yang lain. mengingat bahwa pada masa kini sebagian creator ingin memperlihatkan
sesuatu yang kekinian meskipun berasal dari cerita klasik atau tradisional.

Pendapat Hutcheon mengenai adaptasi dalam bukunya A Theory of Adaptation bahwa


adaptasi adalah mendekor ulang dengan variasi tanpa meniru, menjiplak, mengadaptasi berarti
mengatur, mengubah dan membuat untuk menjadi lebih sesuai (Hutcheon, 2006: 7). Hutcheon
membagi adaptasi menjadi sebagai sebuah produk yakni transposisi dari satu medium ke medium
lainnya, seperti adaptasi dari novel ke film (tanpa variasi), sebagai sebuah proses kreasi yakni
proses adaptasi yang didalamnya terdapat proses interpretasi ulang dan kreasi ulang yang
bertujuan sebagai bentuk usaha penyelamatan atau penyalinan dari sumber asli, seperti cerita
rakyat (oral) ke dalam bentuk buku atau film , dan yang terakhir sebagai proses resepsi, karena
adaptasi merupakan bentuk dari intertektualitas karya sastra. Dalam hal ini adaptasi merupakan
teks yang melekat pada ingatan kita yang secara tidak langsung berasal dari sumber aslinya,
melainkan dari karya-karya dalam bentuk lain, melalui pengulangan yang bervariasi, seperti Film
Resident Evil (2002) karya Paul Anderson akan memberikan sensasi yang berbeda bagi orang
yang menonton dan memainkan game dengan judul yang sama, dibanding dengan orang yang
hanya memainkan game tanpa menonton filmnya. Keduanya sama-sama dapat menikmati karya
tersebut, namun dalam medium yang berbeda.

Selain itu Linda Hutcheon juga menjelaskan mengenai bentuk hubungan medium dengan
para penikmatnya, terbagi menjadi tiga bagian yakni;

1. To tell (menceritakan) berhubungan dengan narasi dalam bentuk teks atau literatur, di mana
imajinasi diatur oleh teks dan tidak ada gambar ataupun suara. Namun, terdapat kebebasan bagi
para pembaca mengenai pengimajinasian dan memilih urutan cerita yang hendak dibaca, bisa
dipegang dan dirasakan oleh tangan.

2. to show (mempertontonkan) merupakan bagian dari film dan pertunjukan panggung/pentas.


Penonton terjebak dalam ketidakberdayaan karena dipaksa untuk mengikuti alur cerita yang
dipertunjukkan. Mengubah imajinasi ke dalam realitas langsung melalui resepsi penonton.
Visual, musik, dialog, dan emosi yang dibangun oleh karakter memprovokasi penonton untuk
terlibat secara emosional.

3. interact with stories (interaksi dengan cerita) pembangunan relasi medium dengan target
sasaran yang berasal dari penggabungan dari kedua medium. Contohnya adalah game interaktif
atau machinima, sebuah bentuk pembuatan film menggunakan virtual reality berbasis digital
teknologi.

Pamusuk Eneste dalam bukunya yang berjudul Novel dan Film (1991), memperkenalkan
suatu istilah yakni ekranisasi untuk menyebut proses adaptasi film dari karya sastra. Sebenarnya,
istilah ini berasal dari Prancis Ecran yang berarti layar. Eneste mengistilahkan bahwa ekranisasi
adalah suatu proses pelayar-putihan atau pemindahan/pengangkatan sebuah novel ke dalam film
(Eneste, 1992: 60). Ia juga mengatakan bahwa perpindahan novel ke film memunculkan banyak
perubahan, di antaranya perubahan dalam bentuk pengurangan, penambahan, dan berbagai
perubahan variasi sebagai akibat dari pemadatan peristiwa/alur dan durasi. Peralihan dari satu
jenis kesenian ke satu jenis kesenian lainnya dapat disebut dengan alihwahana. Penyebutan ini
sejalan dengan yang dikemukakan oleh Sapardi Djoko Damono.

Damono mengatakan bahwa alih wahana merupakan suatu proses perubahan dari satu
jenis ke dalam jenis lain. wahana dapat berarti kendaraan, jadi alih wahana adalah proses
pengalihan dri satu jenis ‘kendaraan’ ke satu jenis ‘kendaraan’ lain. Lebih jauh Damono juga
menjelaskan bahwa sebagai ‘kendaraan’, suatu karya seni merupakan alat yang dapat digunakan
untuk mengalihkan sesuatu dari satu tempat ke tempat lainnya. wahana dapat berarti sebagai
medium yang digunakan untuk mengungkapkan, mencapai, atau memperlihatkan gagasan dan
perasaan. Inti dari wahana adalah pengubahan atau pemindahan. Pengubahan dan pemindahan
dapat berupa karya seni apapun, baik yang berupa gagasan atau bentuknya. Seperti cerita fiksi
diubah menjadi tarian, drama, atau film. Dapat juga alih wahana dari film ke novel, atau puisi
yang berangkat dari lagu atau lukisan dan sebaliknya. Pada akhirnya akan tampak perubahan
pada karya satu dengan karya hasil dari alih wahana tersebut. Perubahan dalam alih wahana
harus disesuaikan dengan keperluan jenis keseniannya.
PENUTUP

Dari beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli mengenai adaptasi ditemukan
adanya dua jenis adaptasi, yakni adaptasi yang menitikberatkan pada kesetiaan sumber asli dan
yang kedua kontektualitas dan intertektualitas sumber adaptasi yang menganggap sumber asli
hanya digunakan sebagai tolak ukur atau referensi untuk penciptaan produk yang baru.

Pendapat mengenai adaptasi yang dikemukakan oleh Linda Hutcheon dan alihwana
menurut Sapardi Djoko Damono tampaknya memberi kebebasan pada wilayah medium.
Originalitas pada suatu karya tidak hanya dinilai dari kesesuaian karya yang baru dengan sumber
karya tersebut. karena jika suatu proses karya adaptasi selesai, maka karya tersebut akan berdiri
membangun kisahnya sendiri.

Dari proses adaptasi kita menjadi tahu bahwa suatu karya tidak benar-benar baru dan
berdiri dengan sendirinya. Setiap karya pastilah tercipta dari karya-karya yang sudah ada
sebelumnya. Semua karya yang ada di dunia ini tercipta dari proses adaptasi, yakni sebuah
pengulangan dengan adanya variasi.
DAFTAR PUSTAKA

Ardianto, D. (2014). Dari Novel ke Film: Kajian Teori Adaptasi sebagai Pendekatan dalam
Penciptaan Film. Panggung, 17-24.

Anda mungkin juga menyukai