Anda di halaman 1dari 29

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Kajian Pustaka
1. Hakikat Gaya Bahasa.
a. Pengertian Gaya Bahasa
Gaya bahasa menjadi sesuatu yang unik dalam sebuah tulisan yang
dihasilkan oleh penulis. Gaya atau khususnya gaya bahasa menurut Keraf
(2007: 112 – 113) dikenal dalam retorika dengan istilah style. Gaya atau
style menjadi masalah atau bagian dari diksi atau pilihan kata yang
mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata, frase atau klausa tertentu
untuk menghadapi hierarki kebahasaan; pilihan kata secara individual, frase,
klausa, dan kalimat bahkan mencakup pula sebuah wacana secara
keseluruhan. Style atau gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara
mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan
jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Sejalan dengan Keraf,
Sudjiman (1990: 33) menyatakan bahwa yang disebut gaya adalah cara
menyampaikan pikiran dan perasaan dengan kata-kata dalam bentuk tulisan
maupun lisan.
Bertolak dari Kamus Linguistik karangan Kridalaksana (2008: 71),
dapat diperoleh penjelasan gaya bahasa yang lebih luas, yaitu pemakaian
ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu dan keseluruhan
ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra. Lebih lanjut, Widyamartaya
(1991: 53) menjelaskan bahwa pembicaraan tentang gaya bahasa bukanlah
soal menggaya, melainkan daya guna bahasa. Gaya bahasa merupakan
kesanggupan menyampaikan pengalaman batin dengan hasil yang
sebesar-besarnya. Selain itu, Zhang (2010: 155) juga memberikan satu
parameter mengenai gaya bahasa bahwa :
”Literary stylistics is a discipline mediating between linguistics and
literary criticism. Its concern can be simply and broadly defined as
thematically and artistically motivated verbal choices”

7
library.uns.ac.id 8
digilib.uns.ac.id

“Gaya Bahasa adalah disiplin mediasi antara linguistik dan kritik sastra.
Hal yang bersangkutan dapat secara sederhana dan luas didefinisikan
sebagai pilihan yang tematis dan artistik yang didukung oleh pilihan
verbal”

Jadi, gaya bahasa merupakan antardisiplin ilmu linguistik dan kritik sastra.
Gaya Bahasa adalah ilmu yang menyelidiki estetika dan nilai-nilai yang
dihasilkan oleh bentuk-bentuk linguistik. Dari beberapa pendapat para ahli
di atas dapat disintesiskan bahwa gaya bahasa adalah keunikan atau
kekhasan seorang penulis dalam mengungkapkan apa yang ada dalam
benak, pikiran, dan perasaan sehingga menghasilkan suatu tulisan yang
mengandung nilai estetis yang jelas dan bermakna pas.
Peneliti melakukan penelitian dengan judul Analisis Gaya Bahasa dan
Nilai Pendidikan Sepuluh Lirik Lagu Campursari Karya Didi Kempot dan
Relevansinya sebagai Materi Ajar Memahami Isi Teks Geguritan di SMP.
Penelitian ini hampir sama dengan penelitian yang berjudul Gaya bahasa
pada teks sandiwara Jawa Becik Nitik, Ala Pilara karya M. Ahmad Jalidu
nilai pendidikan dan relevansinya dengan pembelajaran bahasa Jawa di
SMP Negeri 4 Surakarta Karya Pipit Nopitasari, hanya saja yang
membedakan adalah penelitian ini menggunakan objek teks sandiwara
sedangkan penulis menggunakan objek campursari.
b. Jenis-jenis Gaya Bahasa
Setiap orang selalu memiliki gaya yang berbeda-beda, misalnya gaya
dalam berbusana, gaya dalam berbicara, ataupun gaya dalam berbahasa.
Gaya yang biasa digunakan seseorang merupakan salah satu cara agar
menarik perhatian orang lain. Keraf (2007: 116 – 145) membedakan gaya
bahasa berdasarkan empat macam, yaitu: (1) gaya bahasa berdasarkan
pilihan kata; (2) gaya bahasa berdasarkan nada yang terkandung dalam
wacana; (3) gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat yang meliputi:
klimaks, antiklimaks, paralelisme, antitesis, dan repetisi (epizeuksiz,
tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, dan
anadiplosis); dan (4) gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna
library.uns.ac.id 9
digilib.uns.ac.id

dibedakan menjadi dua kelompok yakni gaya bahasa retoris dan gaya
bahasa kiasan. Gaya bahasa retoris meliputi: aliterasi, asonansi, anastrof,
apofasis, apostrof, asindenton, polisidenton, kiasmus, elipsis, eufemismus,
litotes, histeron proteron, pleonasme dan tautologi, perifrasis, prolepsis
antisipasi, erotesis (pertanyaan retoris), silepsis dan zeugma, koreksio
(epanortosis), hiperbola, paradoks, dan oksimoron. Sementara itu gaya
bahasa kiasan meliputi: persamaan atau simile, metafora, alegori, parable,
fable, personifikasi (prosopopoeia), alusi, eponim, epitet, sinekdoke,
metonimia, antonomasia, hipalase, ironi, sinisme, sarkasme, satire,
innuendo, dan antifrasis, paronomasia (pun).
Jenis-jenis gaya bahasa Nurdin, Maryani, dan Mumu (2004: 21 – 30)
mereka berpendapat bahwa gaya bahasa dibagi menjadi lima golongan,
yaitu: (1) gaya bahasa penegasan, yang meliputi repetisi, paralelisme;
(2) gaya bahasa perbandingan, yang meliputi hiperbola, metonomia,
personifikasi, perumpamaan, metafora, sinekdoke, alusio, simile, asosiasi,
eufemisme, pars pro toto, epitet, eponym, dan hipalase; (3) gaya bahasa
pertentangan mencakup paradoks, antithesis, litotes, oksimoron, hysteron,
prosteron, dan okupasi; (4) gaya bahasa sidiran meliputi ironi, sinisme,
innuendo, melosis, sarkasme, satire, dan antifarsis; (5) gaya bahasa
perulangan meliputi aliterasi, antanaklasis, anaphora, anadiplosis, asonansi,
simploke, nisodiplosis, epanalipsis, dan epuzeukis.
Dari penjelasan beberapa para ahli di atas dapat disintesiskan bahwa
gaya bahasa dapat dibedakan menjadi lima kelompok, yaitu: (1) gaya bahasa
penegasan, meliputi: repetisi dan paralelisme; (2) gaya bahasa
perbandingan, meliputi: hiperbola, metonimia, personifikasi, metafora,
sinekdok, alusi, simile, asosiasi, eufemisme, pars pro toto, epitet, eponim,
dan hipalase; (3) gaya bahasa pertentangan, meliputi: paradoks, antitesis,
litotes, oksimoron, dan histeron prosteron; (4) gaya bahasa sindiran,
meliputi: ironi, sinisme, innuendo, sarkasme, satire, dan antifrasis; dan
(5) gaya bahasa perulangan, meliputi: aliterasi, anafora, anadiplosis,
library.uns.ac.id 10
digilib.uns.ac.id

mesodiplosis, epanolipsis, dan epizeuksis. Adapun penjelasan masing-


masing gaya bahasa di atas sebagai berikut:
1) Gaya Bahasa Penegasan
a) Repetisi
Repetisi adalah sebuah perulangan dalam bunyi, suku kata, kata
atau bagian kalimat yang dianggap penulis hal tersebut penting, hal
tersebut bertujuan untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang
sesuai. Nurgiyantoro (2012: 301) berpendapat bahwa repetisi
merupakan bentuk gaya pengulangan dengan menampilkan
pengulangan kata atau kelompok kata yang sama. Kata atau kelompok
kata yang diulang dalam repetisi dapat terdapat dalam satu kalimat
atau lebih, dan berada pada posisi awal, tengah, atau di tempat yang
lain.
Contoh:
Apa gelem kowe lunga bareng cacing-cacing, lunga bareng coro-
coro, lunga bareng dekne seng gupak lemah?
„Apa mau kamu pergi bersama cacing-cacing, pergi bersama kecoa-
kecoa, pergi bersama dia yang terkena tanah‟
b) Paralelisme
Paralelisme adalah semacam gaya bahasa yang berusaha mencapai
kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang
menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama.
Kesejajaran tersebut dapat berbentuk anak kalimat yang bergantung
pada sebuah induk kalimat yang sama (Keraf, 2007: 126).
Penggunaan bentuk paralelisme dimaksudkan untuk menekankan
adanya kesejajaran bangunan struktur yang menduduki posisi yang
sama dan mendukung gagasan yang sederajat. Bentuk-bentuk
gramatikal yang paralel dapat berupa struktur kata, frase, ataupun
kalimat, bahkan alinea.
library.uns.ac.id 11
digilib.uns.ac.id

Contoh:
Mas mas mas aja dipleroki, mas mas mas aja dipoyoki, karepku
njaluk diesemi.
„Mas mas mas jangan diliriki, mas mas mas jangan disindiri,
keinginanku minta disenyumi‟

2) Gaya Bahasa Perbandingan


a) Hiperbola
Hiperbola adalah tuturan yang memiliki tujuan menekankan
maksud dengan cara sengaja melebih-lebihkannya. Keraf (2007: 135)
menyatakan bahwa hiperbola adalah semacam gaya bahasa yang
mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-
besarkan sesuatu hal.
Contoh:
Sirahku ngelu ngrasakne kelakuane cah kuwi, nganti arep pecah.
„kepalaku pusing merasakan kelakuannya anak itu, hingga mau
pecah‟
b) Metonimia
Metonimia mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu
hal lain yang ingin disapaikan, karena kedua kata tersebut mempunyai
pertalian yang sangat dekat. Nurgiyantoro (2012: 299 – 300)
berpendapat bahwa Metonimia adalah sebuah gaya yang menunjukkan
adanya pertautan atau pertalian yang dekat.
Contoh:
Aku maca koran karo nyruput kapal api. (kopi)
„Aku membaca koran sambil menyeruput kapal api.‟ (kopi)
c) Personifikasi
Personifikasi adalah bahasa kiasan yang mempersamakan benda
dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir, dan
sebagainya seperti manusia (Pradopo, 2012: 75). Personifikasi
semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati
library.uns.ac.id 12
digilib.uns.ac.id

atau barang- barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-


sifat kemanusiaan yang dapat bergerak dan beraktifitas.
Contoh:
Rembulane kang awe-awe.
„Bulannya yang melambai-lambai.‟
d) Metafora
Becker,1978 (dalam Pradopo, 2012: 66) menjelaskan bahwa,
metafora adalah bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak
mempergunakan kata-kata pembanding, seperti: bagai, laksana,
seperti, dan sebagainya. Metafora itu melihat sesuatu dengan perantara
benda yang lain. Metafora sendiri membandingkan dua hal secara
langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat.
Contoh:
Dheweke iku dadi cagak uripe keluwargane.
„Dia itu jadi tulang punggung keluarganya.‟
e) Sinekdoke
Keraf (2007: 142) berpendapat bahwa sinekdoke adalah semacam
bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk
menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau mempergunakan
keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totum pro parte). Sinekdoke
berasal dari bahasa Yunani synekdechsthai yang artinya „menerima
bersama-sama. Sinekdoke masuk dalam gaya bahasa pertautan yang
dibagi menjadi dua yaitu mempergunakan sebagian untuk menyatakan
keseluruhannya (pars pro toto) dan mempergunakan keseluruhan
untuk sebagian (totum pro parte).
Contoh:
Mlebu musim udan, warga RT 01 kerja bakti ngresiki kali.
„Masuk musim hujan, warga RT 01 kerja bakti membersihkan
sungai.‟
library.uns.ac.id 13
digilib.uns.ac.id

f) Alusi
Nurdin, Maryani, dan Mumu (2004: 24) berpendapat bahwa alusi
adalah gaya bahasa yang merujuk secara tidak langsung pada
suatu tokoh atau peristiwa yang sudah diketahui. Alusi semacam
acuan yang berusaha mensugestikan kesamaan antara orang, tempat,
atau peristiwa kepada orang lain.
Contoh:
Bandung kuwi Paris Van Java.
„Bandung itu Paris Van Java.‟
g) Simile
Pradopo (2012: 62) yang menyebutkan simile adalah bahasa
kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain dengan
mempergunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, sebagai, bak,
seperti, semisal, seumpama, laksana, sepantun, penaka, se, dan kata-
kata pembanding yang lain. Simile memperbandingkan secara
langsung dengan menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain.
Kata-kata yang biasanya digunakan antara lain: seperti, bagaikan,
laksana, sama, dan sebagainya. Dalam bahasa Jawa ditandai dengan
kata lir, kaya, pindha, umpama, kadya, dan kacandra.
Contoh :
Bebasan kaya ngenteni udane mangsa ketiga.
„Ibarat pepatah seperti menunggu hujan di musim kemarau.‟
h) Asosiasi
Yandianto (2004: 142) berpendapat asosiasi adalah
memperbandingkan suatu benda terhadap benda lain
sehingga membawa asosiasi benda yang diperbandingkan, dengan
demikian sifat benda pertama lebih jelas. Asosiasi merupakan gaya
bahasa perbandingan yang bersifat memperbandingkan sesuatu
dengan keadaan lain yang sesuai dengan keadaan yang dilukiskan.
Kata pembandin bersifat menegaskan apa yang ingin disampaikan.
library.uns.ac.id 14
digilib.uns.ac.id

Contoh:
Atine atos kaya watu.
„Hatinya keras seperti batu.‟
i) Eufemisme
Keraf (2007: 132) menyatakan bahwa eufemisme yakni semacam
acuan berupa ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung perasaan
orang, atau ungkapan-ungkapan yang halus untuk menggantikan
acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung
perasaan, atau mensugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan.
Eufemismus adalah perbandingan yang memiliki sfat menggantikan
satu pengertian dengan kata lain yang hampir sama untuk
menghaluskan maksud. Gaya bahasa ini bertujuan untuk
menghilangkan kata-kata kasar agar lebih enak diterima orang lain.
Contoh:
Pikiran warase tambah ilang ae akhir-akhir iki. (=gila)
‘Pikiran sehatnya tambah menghilang saja akhir-akhir ini.‟
j) Pars pro toto
Nurgiyantoro (2012: 300) menyebutkan bahwa pars pro toto
adalah gaya pertautan yang mempergunakan sebagian untuk
menyatakan keseluruhan. Pars pro toto semacam bahasa figuratif yang
hanya mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan
keseluruhan.
Contoh:
Wis suwi Ani ora ketok irunge.
„Sudah lama Ani tidak terlihat hidungnya.‟
k) Epitet
Epitet menggunakan suatu bahasa sebagai acuan yang menyatakan
suatu sifat atau ciri yang khusus dari seseorang atau sesuatu hal.
Nurdin, Maryani, dan Mumu (2004: 25) berpendapat bahwa epitet
adalah gaya bahasa berwujud seseorang atau sesuatu benda
tertentu sehingga namanya dipakai untuk menyatakan sifat itu.
library.uns.ac.id 15
digilib.uns.ac.id

Contoh:
Maling kuwi dawa tangane.
„Maling itu panjang tangannya.‟
l) Eponim
Eponim merupakan sebuah gaya bahasa yang dipergunakan untuk
menyebutkan nama seseorang dengan menghubungkannya dengan
sesuatu berdasarkan sifat yang dimilikinya. Nama yang disebutkan
juga bukan sembarang nama, tetapi nama yang dipakai harus
berdasarkan sifat yang dipahami dan dikenali oleh banyak orang.
Keraf (2007: 141) menyatakan bahwa eponim adalah suatu gaya
bahasa di mana seseorang yang namanya begitu sering dihubungkan
dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan
sifat itu.
Contoh:
Aku ngarep-arep pejabat nduweni irung kaya pinokio.
„Aku berharap pejabat punya hidung seperti pinokio.‟
m) Hipalase
Hipalase merupakan semacam gaya bahasa yang menggunakan
kata tertentu untuk menerangkan sebuah kata yang seharusnya
dikenakan pada sebuah kata yang lain. Nurdin, Maryani, dan Mumu
(2004: 25) hipalase adalah gaya bahasa yang menggunakan kata
tertentu untuk menerangkan sesuatu, namun kata tersebut tidak
tepat bagi kata yang diterangkannya.
Contoh:
Dheweke mlumah neng dhuwure bantal seng klisikan.
„Ia berbaring di atas sebuah bantal yang gelisah.‟ (yang gelisah
adalah manusianya, bukan bantalnya).
library.uns.ac.id 16
digilib.uns.ac.id

3) Gaya Bahasa Pertentangan


a) Paradoks
Keraf (2007: 136) menyatakan bahwa paradoks adalah semacam
gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-
fakta yang ada. Paradoks adalah sarana retorika yang menyatakan
maksud dari sesuatu secara berlawanan, tetapi sebetulnya apabila
diteliti lebih mendalam, sungguh-sungguh dipikir, dan dirasakan
sebenarnya tidak benar-benar berlawanan.
Contoh:
Wis tak lali-lali, malah sangsaya kelingan.
„Sudah saya lupakan, tetapi makin teringat.‟
b) Antitesis
Nurgiyantoro (2012: 302) menyebutkan bahwa antitesis
dimaksudkan untuk menyampaikan gagasan-gagasan bertentangan
yang dapat diwujudkan ke dalam kata atau kelompok kata yang
berlawanan. Antitesis semacam gaya bahasa yang menggunakan
paduan kata yang artinya bertentangan. Perpaduan kata terletk dalam
satu kalimat.
Contoh:
Susah seneng mlaku bareng.
„Sedih bahagia jalan bersama.‟
c) Litotes
Litotes merupakan gaya bahasa yang biasanya dipakai untuk
menyatakan sesuatu dengan tujuan menyatakan dengan merendahkan
diri dari keadaan yang sebenarnya. Merendahkan diri dimaksudkan
untuk menghindari sebuah kesombongan kepada orang lain. Nurdin,
Maryani, dan Mumu (2004: 26) berpendapat bahwa litotes adalah
gaya bahasa yang ditujukan untuk mengurangi atau mengecilkan
kenyataan yang sebenarnya, tujuan litotes sendiri untuk merendahkan
diri.
library.uns.ac.id 17
digilib.uns.ac.id

Contoh:
Mangga katuran pinarak wonten gubug kula.
„Saya persilahkan berkunjung di gubug saya.‟
d) Oksimoron
Nurdin, Maryani, dan Mumu (2004: 26) menjelaskan bahwa
oksimoron adalah gaya bahasa yang antara bagian-bagiannya
menyatakan sesuatu yang bertentangan. Bagian kata yang
bertentangan masih dalam satu kalimat. Oksimoron mengandung
pertentangan dengan cara mempergunakan kata-kata yang
berlawanan, oleh sebab itu sifatnya lebih padat dan tajam dari
paradoks.
Contoh:
Ketoke meneng ning asline ngglendem.
„Kelihatannya diam tetapi aslinya nakal.‟
e) histeron prosteron
Keraf (2007: 133) berpendapat bahwa histeron prosteron yakni
semacam gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari sesuatu yang
logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar, misalnya menempatkan
sesuatu yang terjadi kemudian pada awal peristiwa. Histeron
prosteron adalah gaya bahasa yang memiliki wujud kebalikan dari
sesuatu hal yang logis menurut orang-orang. Sesuatu yang logis dan
wajar dalam kehidupan sehari-hari dibenturkan dengan kebalikan dari
hal-hal yang logis dan wajar, sehingga diperoleh pemahaman yang
berkebalikan.
Contoh:
Mlakumu cepet kayak siput.
„Jalanmu cepat seperti bekicot.‟
library.uns.ac.id 18
digilib.uns.ac.id

4) Gaya Bahasa Sindiran


a) Ironi
Keraf (2007: 143) menyatakan bahwasanya ironi merupakan
suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau
maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian
kata-kata. Hal ini sebenarnya menyindir seseorang dengan
menyatakan maksud yang berlainan agar orang itu tersadar.
Contoh:
Piye rasane, rak kepenak to nalika kowe ndhisik ana hotel bintang?
„Gimana rasanya, Enak kan ketika kamu dulu ada di hotel bintang?‟
b) Sinisme
Yandianto (2004: 148) mendefinisikan sinisme sebagai gaya
bahasa yang hampir sama dengan ironi, hanya dalam sinisme nada
suara atau ungkapannya agak lebih kasar, tujuannya untuk menyindir.
Sinisme adalah gaya bahasa sebagai suatu sindiran yang memiliki
bentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan
ketulusan hati seseorang. Dengan kata lain, sinisme adalah roni yang
lebih kasar sifatnya.
Contoh:
Kowe medhit banget, lagekne aku mesti nyilihi kowe duit.
„Kamu pelit banget, padahal aku selalu minjami kamu uang.‟
c) Innuendo
Innuendo adalah semacam sindiran dengan mengecilkan
kenyataan yang sebenarnya. Kenyataan tersebut dibuat seolah-oleh
lebih ringan. Nurdin, Maryani, dan Mumu (2004: 27) innuendo
adalah gaya bahasa sindiran yang mengecilkan maksud yang
sebenarnya.
Contoh:
Aja wedi le, disunat kuwi rasane mung kaya dicokot semut.
„Jangan takut nak, disunat itu rasanya hanya kaya digigit semut.‟
library.uns.ac.id 19
digilib.uns.ac.id

d) Sarkasme
Yandianto (2004: 148) menyatakan sarkasme adalah gaya
bahasa yang tidak lagi merupakan sindiran, tetapi lebih
berbentuk luapan emosi orang yang sedang marah, oleh karena itu
kata yang dipergunakan biasanya kasar dan tak terdengar tidak
sopan. Sarkasme merupakan suatu acuan yang sifatnya lebih kasar
dari ironi dan sinisme. Ia suatu acuan yang mengandung kepahitan
dan celaan yang getir. Kata-kata yang disampaikan lebih menyakitkan
hati.
Contoh:
Kelakuanmu garai aku muntap.
„Kelakuanmu membuat aku marah memuncak.‟
e) Satire
Nurdin, Maryani, dan Mumu (2004: 28) berpendapat bahwa
satire adalah gaya bahasa yang berbentuk penolakan dan
mengandung kritikan dengan maksud agar sesuatu yang salah itu
dicari ke benarannya. Satire menertawakan sesuatu dengan melalui
ungkapan yang disengaja.
Contoh:
Lek disawang-sawang bocah kuwi urakan, nanging aja langsung
nuduh, aja nyawang saka klambine tok.
„Kalo dilihat-lihat anak itu gak beraturan, tetapi jangan langsung
menuduh, jangan lihat dari bajunya saja.‟
f) Antifrasis
Keraf (2007: 144) menjelaskan bahwa antifrasis adalah semacam
ironi yang berwujud penggunaan sebuah kata dengan makna
kebalikannya, yang dapat saja dianggap ironi sendiri, atau kata-kata
yang dipakai menangkal kejahatan, roh jahat, dan sebagainya.
Antifrasis mempergunakan kata-kata yang sebenarnya memiliki
makna kebalikan dan bernada ironis.
library.uns.ac.id 20
digilib.uns.ac.id

Contoh:
Delengen kae buto ijo teka. (maksude cebol).
„Lihatlah itu raksasa hijau datang.‟ (maksudnya cebol)

5) Gaya Bahasa Perulangan


a) Aliterasi
Nurgiyantoro (2012: 303) yang menyebutkan aliterasi adalah
penggunaan kata-kata yang sengaja dipilih karena memiliki kesamaan
fonem-konsonan, baik yang berada di awal maupun di tengah kata.
Alitrerasi berwujud perulangan konsonan yang sama. Konsonan
diulang-ulang dalam setiap kata.
Contoh:
Tatag, tekan, tutug.
„Tiada gentar, sampai, tuntas.‟
b) Anafora
Keraf (2007: 127) menyatakan bahwa anafora adalah perulangan
kata pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya. Pengulangan
kata-kata pada awal ditampilkan dalam beberapa kalimat yang
berurutan. Perulangan bisa berupa sebuah kata maupun beberapa
kelompok kata.
Contoh:
Wong yen lagi gandrung, ra peduli mbledhose gunung
Wong yen lagi naksir, ra peduli yen perang nuklir
Wong yen lagi kepikat, ra peduli ndonya kiamat
Wong yen lagi nyenengi, ra peduli lagi inflasi.
„Orang kalo lagi jatuh cinta, tidak peduli meletusnya gunung
Orang kalo lagi suka, tidak peduli kalo perang nuklir
Orang kalo lagi terpikat, tidak peduli dunia kiamat
Orang kalo lagi menyukai, tidak peduli terjadi inflasi.‟
library.uns.ac.id 21
digilib.uns.ac.id

c) Anadiplosis
Anadiplosis dalam kalimat dapat dijumpai dengan mengulang kata
atau frasa terakhir dari suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau
frasa pertama dari klausa atau kalimat berikutnya. Nurdin, Maryani,
dan Mumu (2004: 28) berpendapat bahwa anadiplosis adalah gaya
bahasa yang selalu mengulang kata terakhir atau frasa terakhir
dalam suatu kalimat atau frasa pertama dari klausa dalam kalimat
berikutnya.
Contoh:
Wong bodho kalah karo wong pinter
Wong pinter kalah karo wong begja
Wong begja kalah karo wong ubed
‘Orang bodoh kalah dengan orang pintar
Orang pintar kalah dengan orang beruntung
Orang beruntung kalah dengan orang kerja keras.‟
d) Mesodiplosis
Mesodiplosis menggunakan pengulangan kata-kata di bagian
tengah-tengah baris atau kalimat secara berurutan. Keraf
(2007: 128) berpendapat bahwa mesodiplosis adalah perulangan di
tengah- tengah baris atau beberapa kalimat berurutan.
Contoh:
Sugih tanpa bandha
Digdaya tanpa aji
Nglurug tanpa bala
Menang tanpa ngasorake.
„Kaya tanpa harta
Sakti tanpa ilmu kesaktian
Maju perang tanpa pasukan
menang tanpa merendahkan orang lain.‟
library.uns.ac.id 22
digilib.uns.ac.id

e) Epanolipsis
Epanolepsis adalah pengulangan pada kata terakhir dari baris,
klausa atau kalimat dengan mengulang kalimat pertama. Nurdin,
Maryani, dan Mumu (2004: 30) berpendapat bahwa epanolepsis
adalah gaya bahasa repetisi kata terakhir pada akhir kalimat atau
klausa.
Contoh:
Awake dhewe gunakne ati lan pikiran awake dhewe.
„Kita gunakan hati dan pikiran kita.‟
f) Epizeuksis
Keraf (2007: 127) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan
epizeuksis adalah repetisi yang bersifat langsung, artinya kata-kata
yang dipentingkan diulang beberapa kali berturut-turut. Epizeuksis
merupakan repetisi yang bersifat langsung dari sebuah kata yang
dipentingkan dan diulang dalam sebuah kalimat beberapa kali
sebagai penegasan.
Contoh:
Dheweke ngono senenge kerja, kerja piye-piye pokoke kerja,
ananging ya kudu ngono wong urip kudu kerja, kerja kang tumemen,
kanthi kerja dapat ngasilake untung kang mumpangati mring sasami.
„dia begitu senangnya kerja, kerja bagaimana-bagaimana pokoknya
kerja, tetapi ya harus begitu orang hidup harus kerja, kerja yang
beneran, sampai kerja dapat ngasilake untung yang menang kepada
sesama.‟

2. Hakikat Nilai Pendidikan


a. Pengertian Nilai Pendidikan
Menilai bukan hal yang sulit dilakukan, banyak orang yang dengan
gampang menilai segala sesuatu menurut pandangannya sendiri . Banyak
orang dengan mudah menilai orang lain tetapi sulit menilai diri sendiri.
Menilai oleh Setiadi (2006: 120) dikatakan sebagai kegiatan
library.uns.ac.id 23
digilib.uns.ac.id

menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain sehingga diperoleh


menjadi suatu keputusan yang menyatakan sesuatu itu berguna atau tidak
berguna, benar atau tidak benar, baik, atau buruk, manusiawi atau tidak
manusiawi, religius atau tidak religius. Masih dengan pemahaman yang
sama, Soekanto (1983: 161) menyatakan nilai-nilai merupakan:
(1) abstraksi daripada pengalaman-pengalaman pribadi seseorang dengan
sesamanya; (2) Senantiasa harus diisi dan bersifat dinamis; (3) Bukan tujuan
konkrit daripada pelaku, akan tetapi merupakan kriteria untuk memilih
tujuan; (4) Hal yang sangat penting dan bukan hal yang seara sambil lalu
saja diperhatikan di dalam kehidupan. Dari beberapa pendapat di atas
pengertian nilai dapat disintesiskan sebagai sesuatu bernilai, berharga,
bermutu, akan menunjukkan suatu kualitas dan akan berguna bagi
kehidupan manusia.
Pendidikan ada berbagai macam, salah satunya adalah pendidikan
formal. Pendidikan formal dapat dilaksanakan apabila ada interaksi antara
guru dan murid yang dilaksanakan secara sistematis. Hamalik (1989: 8)
memberikan lima pengertian terkait tentang hakikat pendidikan, antara lain:
(1) pendidikan merupakan proses interaksi manusiawi yang ditandai
keseimbangan antara kedaulatan subyek didik dengan kewibawaan
pendidik, (2) pendidikan merupakan usaha penyiapan subyek didik
menghadapi lingkungan hidup yang mengalami perubahan yang semakin
pesat, (3) pendidikan meningkatkan kualitas kehidupan pribadi dan
masyarakat, (4) pendidikan berlangsung seumur hidup, dan (5) pendidikan
merupakan kiat dalam menerapkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan
teknologi bagi pembentukan manusia seutuhnya.
Tilaar (2002: 435) mengatakan hakikat pendidikan adalah
memanusiakan manusia. Selanjutnya dikatakan pula bahwa, memanusiakan
manusia atau proses humanisasi melihat manusia sebagai suatu keseluruhan
di dalam eksistensinya. Hal tersebut senada dengan pandangan hakikat
pendidikan menurut Shobha dan Kala dalam jurnal internasional berjudul
library.uns.ac.id 24
digilib.uns.ac.id

Value Education Towards Empowerment Of Youth-A Holistic (2014: 193)


sebagai berikut:
“Education is meant not only to provide knowledge and information, but
also to build character of human beings. Having a set of values and
ideals, learners must be guided for self-development, so that values
become a part of their character”
“Pendidikan dimaksudkan tidak hanya untuk memberikan pengetahuan
dan informasi, tapi juga untuk membangun karakter manusia. Memiliki
seperangkat nilai dan cita-cita, peserta didik harus dibimbing untuk
pengembangan diri, sehingga nilai menjadi bagian dari karakter mereka.”
Jadi pendidikan bukan hanya sebatas mentransferkan nilai pengetahuan saja
tetapi juga karakter pada peserta didik. Pendidik perlu membimbing agar
cita-cita peserta didik dapat terwujud dengan karakter yang bagus.
Nilai dan Pendidikan tidak dapat dipisahkan karena dua hal tersebut
saling berkaitan. Nilai pendidikan menurut Akbar, Winarni, dan Andayani
(2013: 60) merupakan segala hal yang berguna yang diberikan oleh
seseorang secara sadar dan tanggung Jawab dalam usaha memberikan
perubahan terhadap sikap dan tingkah laku yang lebih baik. Berdasarkan
dari beberapa pendapat di atas dapat dirumuskan bahwa nilai pendidikan
merupakan proses pentransferan ilmu oleh pendidik kepada peserta didik.
Menjadikan peserta didik dari tidak tau menjadi tau membutuhkan proses.
Dalam proses berbagi ilmu atau informasi harus memanusiakan manusia,
pendidik harus mampu memposisikan diri bahwa daya serap antarindividu
terhadap suatu hal berbeda-beda. Dalam upaya pengajaran membangun
karakter juga perlu diperhatikan, pendidikan tidak hanya melulu mengenai
transfer ilmu tetapi juga mendewasakan peserta didik agar mampu
mempunyai budi pekerti luhur.
b. Macam-macam Nilai Pendidikan
Karya sastra diciptakan untuk dipahami dan diambil manfaatnya, bukan
sekedar untuk dinikmati. Adapun nilai-nilai pendidikan dibagi menjadi
empat yaitu sebagai berikut.
1) Nilai Pendidikan Religius / Agama
Sejak lahir orang tua selalu menanamkan nilai-nilai religi dalam diri
anaknya untuk dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Religi tidak
library.uns.ac.id 25
digilib.uns.ac.id

hanya menyangkut masalah lahiriah tetapi juga menyangkut semua yang ada
dalam diri secara utuh. Nilai religi dapat didapatkan lewat banyak media,
salah satunya melalui sastra. Semi (1993: 22) mengemukakan bahwa agama
merupakan dorongan penciptaan sebuah karya sastra, sebagai sumber ilham
dan sekaligus sering membuat sastra atau karya sastra bermuara kepada
agama. Lebih lanjut, agama merupakan kunci sejarah, kita baru memahami
jiwa suatu masyarakat bila kita memahami agamanya. Kita tidak mengerti
hasil-hasil kebudayaannya, kecuali bila kita paham akan kepercayaan atau
agama yang mengilhaminya (1993: 21).
Senada dengan Semi, Nurgiyantoro menyatakan bahwa unsur religi
dalam sastra adalah sebuah keberadaan sastra itu sendiri. Bahkan, sastra
tumbuh dari suatu yang bersifat religius (2012: 326). Dapat disimpulkan
bahwa nilai-nilai religius yang terdapat dalam karya sastra bertujuan agar
penikmat karya sastra mendapatkan renungan-renungan lahir dan batin yang
diserap dari nilai-nilai agama. Nilai religi bersifat mutlak atas keyakinan
manusia kepada Tuhannya, Pusat kontrol terletak dalam hati, nurani, dan
pribadi manusia itu sendiri.
2) Nilai Pendidikan Moral / Kesusilaan
Pengarang menyampaikan nilai-nilai kebenaran menurut pandangan
mereka kepada pembaca dengan membuat karya sastra. Menurut
Hasbullah (2005: 194) menyatakan bahwa, moral merupakan kemampuan
seseorang membedakan antara yang baik dan yang buruk. Senada dengan
Hasbullah, pengertian moral (Kemdikbud, 2016) dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia online adalah ajaran tentang baik buruk yang diterima
umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak; budi
pekerti; susila.
Berbeda pendapat dengan para ahli di atas Kenny menjelaskan bahwa
moral seperti halnya tema, merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh
pengarang kepada pembaca, merupakan makna yang terkandung di dalam
sebuah karya sastra, atau makna yang disarankan lewat sebuah cerita. Moral
dapat dipandang sebagai salah satu wujud tema dalam bentuk yang
library.uns.ac.id 26
digilib.uns.ac.id

sederhana, namun tidak semua tema dapat dikatakan sebagai sebuah moral
(dalam Nurgiyantoro, 2012: 320).
Lebih lanjut, menurut Nurgiyantoro moral dalam karya sastra biasanya
mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan,
pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran dan hal itulah yang ingin
disampaikannya kepada pembaca yang bertujuan untuk mendidik manusia
agar menjadi pribadi yang berkarakter dan berbudi pekerti luhur
(2012: 321).
Nilai moral yang terkandung dalam karya sastra bertujuan untuk
mendidik manusia agar menerapkan nilai-nilai budi pekerti yang sudah
disepakati masyarakat. Moral berhubungan erat dengan kelakuan atau
tindakan manusia. Baik buruk suatu perbuatan harus digenggam dalam
setiap langkah kehidupan. Diharapkan mampu menilai apa yang harus
dihindar dan apa yang harus dikerjakan. Sehingga tercipta suatu tatanan
hubungan manusia dalam masyarakat yang dianggap baik, serasi, dan
bermanfaat bagi orang itu , masyarakat, lingkungan, dan alam sekitar.
3) Nilai Pendidikan Sosial
Kata “sosial” berarti hal-hal yang berkenaan dengan masyarakat atau
kepentingan umum. Nilai sosial dapat diambil dari perilaku sosial dan tata
cara hidup sosial masyarakat. Hamalik (1989: 8) mengatakan, Masyarakat
merupakan sumber nilai-nilai yang dapat memberikan arah normatif kepada
pendidikan dan kehidupan bermasyarakat ditingkatkan kualitasnya oleh
insan-insan yang berhasil mengembangkan dirinya melalui proses
pendidikan.
Selaras dengan Hamalik, menurut Semi (1993: 22) dorongan sosial
berkenaan dengan pembentukan dan pemeliharaan jenis-jenis tingkah laku,
hubungan antarindividu, dan hubungan individu dan masyarakat yang
dengan bersama-sama memperjuangkan kesejahteraan semua yang
berkepentingan. Selaras dengan pendapat Semi, karya sastra pada dasarnya
adalah bagian dari struktur sosial. Karya sastra lahir melalui interaksi
kelompok tertentu, dengan memanfaatkan peranan medium bahasa
library.uns.ac.id 27
digilib.uns.ac.id

(Ratna, 2007: 250). Struktur interaksi, baik interaksi antarindividu maupun


antar individu dengan masyarakat keseluruhan.
Dari pendapat beberapa ahli di atas dapat diambil benang merah bahwa
nilai pendidikan sosial dapat dilihat dari cerminan sikap kehidupan antar
individu maupun individu dengan masyarakat yang diwujudkan dalam
karya sastra. Nilai pendidikan sosial dapat menyadarkan manusia akan
pentingnya hidup berkelompok. Satu sama lain dalam bermasyarakat saling
membutuhkan. Membuang semua rasa egois yang ada dalam diri, tidak
selamanya seseorang dapat melakukan suatu pekerjaan sendirian. Aktivitas
yang dilakukan bersama dengan ikatan kekeluargaan akan mempermudah
dan memperingan beban yang ada.
4) Nilai Pendidikan Kultural / Budaya
Budaya dalam satu daerah dengan daerah lain selalu berbeda. Suatu
daerah selalu mempunyai budaya khas sendiri. Rosyadi, Mintosih, dan
Soeloso (1995: 176) berpendapat, sastra dan kebudayaan mempunyai kaitan
yang sangat erat. Sastra sendiri adalah bagian dari kebudayaan; ia adalah
produk dari kebudayaan. Pada sisi lain sastra dapat menjadi sarana atau
media untuk mentransformasikan nilai-nilai budaya masyarakat. Lebih
lanjut Damono (dalam Rosyadi, Mintosih, dan Soeloso, 1995: 176)
menjelaskan bahwa dalam budaya maskyarakat sesungguhnya dihadapkan
norma dan nilai. Sastra mencerminkan norma, yakni ukuran perilaku, yang
oleh anggota masyarakat diterima sebagai cara yang benar untuk bertindak
dan menyimpulkan sesuatu. Sastra juga mencerminkan nilai-nilai yang
secara sadar diinformasikan dan diusahakan oleh warganya dalam
masyarakat.
Dengan karya sastra, masyarakat dapat mengintrpretasi bagaimana
keadaan budaya dalam masyarakat. Norma yang dianut di daerah A
misalnya akan berbeda dengan norma yang disepakati di daerah B. Apa
yang kita anggap baik dilingkungan sekitar, belum tentu baik dilingkungan
yang lain. Seperti halnya kata “Jancuk”, bagi orang Jawa Timur terkhusus
Surabaya itu adalah kata kemesraan atau keakraban yang sehari-hari
library.uns.ac.id 28
digilib.uns.ac.id

digunakan dalam berbicara, akan sangat tidak sopan apabila kata “Jancuk”
diucapkan di Jawa Tengah.

3. Hakikat Campursari
a. Pengertian Campursari
Setiap negara selalu memiliki lagu nasional sendiri-sendiri, sama halnya
dengan pulau Jawa yang memiliki lagu campursari. Murniarsih (2013: 48)
menyebutkan bahwa campursari adalah jenis lelagon Jawa yang merupakan
gabungan berbagai ragam seni. Campursari berarti lelagon Jawa yang
memuat aspek seni komplit, baik nada diatonis maupun pentatonis. tembang
campursari tergolong jenis tembang Jawa yang renyah, semangat, dan
penuh kegembiraan. Pemaduan unsur gamelan dan musik nasional (modern)
yang memberi aroma khusus pada campursari. Sejalan dengan Munarsih,
campursari menurut Safitri (2017: 1 – 2) adalah produk akulturasi yang
terbentuk dari sebuah proses perpaduan musik tradisional Jawa, yaitu
gamelan atau karawitan dan dan musik Barat modern. Instrumen musik
yang digunakan dalam campursari bertangga nada pentatonis (gamelan) dan
diatonis (musik Barat). Sama halnya dengan Wiyoso (2007: 4) menyebutkan
bahwa wujud musik campursari baik secara fisik (instrumentasi ) maupun
secara musikalnya, dapat dikatakan bahwa musik campursari lahir atau
tercipta dari suatu proses penggabungan atau perpaduan dari beberapa jenis
musik yang berbeda. Berpadunya beberapa unsur kebudayan dalam hal ini
musik ke dalam satu bentuk musik baru semacam itu, di dalam ilmu
antropolgi dikenal dengan istilah akulturasi budaya. Dengan demikian dapat
pula dikatakan, bahwa musik campursari adalah suatu bentuk akulturasi
budaya yang terjadi di dalam bidang musik.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa
campursari merupakan penggabungan beberapa jenis musik yang berbeda
yang berasal dari Jawa. Pemaduan musik ini merupakan akulturasi antara
musik tradisional Jawa dan musik barat modern. Instrumen yang digunakan
dalam campursari menggunakan tangga nada pentatonis dan diatonis.
library.uns.ac.id 29
digilib.uns.ac.id

b. Alat Musik Campursari


Perpaduan antara musik tradisional dan modern memang selalu menjadi
ciri khas dari campursari. Murniarsih (2013: 49) mengatakan bahwa alat
yang digunakan dalam campursari berupa gamelan tradisional Jawa dan
instrumen musik nasional, menandai bahwa campursari memang tembang
yang seperti gudeg. Semakin kental dan masak campuran musik dan
lagunya, semakin menarik pula garapan tembang campursari. Ciri khas
campursari yaitu gabungan antara gamelan saron panjang dan alat musik
modern. Improvisasi campursari, tampak menjadi sebuah hiburan seperti
dhangdhut. Ketika musik dhangdhut semakin tergeser, kawula muda mulai
melirik tembang campursari. Tembang campursari dapat memenuhi selera
segala umur. Instrumen campursari yang sering digunakan antara lain
kendhang, demung, gong, rebab, saron, piano, dan gitar. Berbeda dengan
Safitri (2017: 2) menyebutkan beberapa Alat musik yang digunakan dalam
campursari, yaitu kendhang, gender, saron, siter, celempung, gong,
cukulele, keyboard, bass, tamborin, dan sendok. Adapun peran dari masing-
masing alat adalah sebagai berikut:
1) Kendhang bertugas sebagai pamurba irama, teknik permainannya sama
seperti tabuhan pada karawitan.
2) Gender, siter, dan celempung bertugas sebagai penghias lagu, teknik
permainannnya sama seperti tabuhan pada karawitan. Siter dimainkan
saat menyajikan langgam, sedangkan celempung dimainkan saat
menyajikan gending.
3) Saron berperan sebagai pemangku lagu, tugasnya membuat melodi
pokok dan mengisi bagian interlude lagu, setelah masuk lagu,
memainkan pola tabuhan imbal dan kinthilan.
4) Gong berperan sebagai pemangku irama, bertugas sebagai finalis atau
penanda akhir lagu.
5) Keyboard berfungsi sebagai pengatur alur nada dan penguat harmoni,
keyboard juga mengisi suara pengganti ricikan gamelan atau suara alat
library.uns.ac.id 30
digilib.uns.ac.id

musik lain seperti suling, gambang, viola dan pada saat tertentu
menyuarakan senggakan.
6) Bass bertugas sebagai pengganti suara slenthem dan kempul, kadang
pada saat tertentu juga menyuarakan senggakan.
7) Cukulele, tamborin dan sendok merupakan alat musik pemegang ritme
dan menjaga ritme. Cukulele terkadang berperan sebagai bonang imbal,
selain itu juga sebagai pengganti kethuk dan kenong. Tamborin
dimainkan untuk lagu rancak sejenis dangdut, sedangkan alat musik
semacam tamborin (sendok) dimainkan pada sajian langgam.
Alat musik yang dipakai dalam campursari sangat beragam. Mulai dari
yang tradisional sampai yang modern dipakai dalam permainan musik
campursari. Alat musik dipadu-padankan menjadi sebuah irama yang
menarik dan indah apabila didengarkan.
4. Hakikat Materi Ajar
a. Materi Ajar
Materi ajar merupakan hal yang pokok dipersiapkan dalam
pembelajaran. Materi ajar menurut Winkel (1996: 261) adalah suatu alat
yang dipergunakan dalam pembelajaran untuk mencapai tujuan
instruksional. Materi ajar juga dapat membantu membangkitkan motivasi
belajar siswa. Hal tersebut sejalan dengan Hamdani (2011: 48) yang
menyatakan bahwa materi pembelajaran adalah materi yang pokok atau
menjadi dasar dalam pembelajaran sesuai dengan Kurikulum yang ada.
Berkaitan dengan materi ajar, Zuriah, Sunaryo, dan Yusuf (2016: 43) juga
mengungkapkan bahwa meteri ajar yang digunakan oleh guru juga harus
memiliki mutu yang baik untuk disesuaikan dengan tujuan pembelajaran
dan kompetensi yang harus dicapai oleh siswa. Selain itu, kedalaman materi
harus diseimbangkan dengan waktu yang digunakan dalam pembelajaran
secara kontektual dan sistematis.
Dari beberapa pendapat para ahli mengenai materi ajar dapat
disintesiskan bahwa materi ajar merupakan materi pokok yang digunakan
dalam pembelajaran. Materi pokok harus harus sesuai dengan Kurikulum
library.uns.ac.id 31
digilib.uns.ac.id

yang dipakai sekolah umtuk mencapai tujuan dan kompetensi pendidikan.


Dalam pemilihan materi pokok harus disesuaikan dengan waktu yang
tersedia dengan menyesuaikan kontektual dan bersifat sistematis.
b. Dasar Pemilihan Materi Ajar
Setelah masuk ke dalam pembelajaran sastra yang sebenarnya, tidak
mudah bagi seorang guru/pendidik untuk memilih dan memilah
bahan/materi ajar yang sesuai untuk siswanya. Dalam memilih materi
diperlukan pemilihan materi ajar yang sesuai. Penyesuaian materi ajar
diharapkan agar mampu membuat pembelajaran hidup sehingga apa yang
disampaikan pendidik dapat diterima dengan baik oleh peserta didik.
Menurut Winkel (1996: 297), dasar pemilihan bahan atau materi ajar itu
antara lain:
1) Materi atau bahan ajar harus relevan terhadap tujuan instruksional yang
harus dicapai, yaitu dari segi isi maupun jenis perilaku yang dituntut
siswa yang mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.
2) Materi atau bahan pelajaran harus sesuai dalam taraf kesulitannya dengan
kemampuan siswa untuk menerima dan mengolah bahan itu.
3) Materi atau bahan pelajaran harus dapat menunjang motivasi siswa,
antara lain karena relevan dengan pengalaman hidup sehari-hari siswa,
sejauh hal itu mungkin.
4) Materi atau bahan pelajaran harus membantu untuk melibatkan diri
secara aktif, baik dengan berpikir sendiri maupun dengan melakukan
berbagai kegiatan.
5) Materi atau bahan pelajaran harus sesuai dengan prosedur didaktis yang
diikuti. Misalnya, materi pelajaran akan lain bila guru menggunakan
bentuk ceramah, dibandingkan dengan pelajaran bentuk diskusi
kelompok.
6) Materi atau bahan pelajaran harus sesuai dengan media pelajaran yang
tersedia.
library.uns.ac.id 32
digilib.uns.ac.id

Sepemahaman dengan Winkel, dasar pemilihan bahan atau materi


pelajaran menurut Semi (dalam Sarumpaet, 2002: 138 – 139) mengatakan
bahwa yang berkaitan dengan pengajaran sastra adalah sebagai berikut:
1) Bahan atau materi tersebut valid untuk mencapai tujuan pengajaran
sastra. Dalam hal ini guru harus menyadari dan memahami konsepsi
pengajaran dan tujuan pengajaran sastra, yaitu membina kemampuan
mengapresiasi sastra secara kreatif sehingga para peserta didik
memperoleh nilai-nilai manusia dan kemanusiaan, dapat
mengembangkan imajinasi, ekspresi seni, kreativitas, dan kepekaan
sosial.
2) Bahan atau materi tersebut bermakna dan bermanfaat jika ditinjau dari
kebutuhan peserta didik (kebutuhan pengembangan insting etis dan
estetis, imajinasi, dan daya kritis).
3) Bahan arau materi tersebut harus menarik supaya dapat merangsang
minat peserta didik. Bahan harus sesuai dengan minat, perhatian, dan
gelora batiniah mereka sehingga dapat memancing timbulnya daya
tanggap, daya ba yang, daya rasa, dan daya pikir.
4) Bahan atau materi tersebut berada dalam batas keterbacaan dan
intelektual peserta didik. Artinya, bahan tersebut dapat dipahami,
ditanggapi, dan diproses peserta didik sehingga mereka merasa
pengajaran sastra merupakan pengajaran yang menarik, bukan
pengajaran yang berat.
5) Bahan atau materi berupa bacaan haruslah berupa karya sastra yang utuh,
bukan karya sinopsisnya saja. Karya sinopsis hanya berupa problem
kehidupan tanpa diboboti nilai-nilai estetika yang menjadi tulang
punggung (pokok atau inti) karya sastra.
Berbeda lagi dengan Hamalik (1989: 87) yang menyebutkan dasar
pertimbangan pemilihan bahan atau materi pelajaran adalah sebagai berikut:
1) Sesuai dengan Kurikulum atau bersifat pengayaan terhadap materi yang
telah ditentukan.
library.uns.ac.id 33
digilib.uns.ac.id

2) Sesuai dengan tujuan yang telah digariskan dalam disain instruksional


guru.
3) Sesuai dengan kemampuan, minat, dan kebutuhan siswa calon guru, baik
untuk menyerapnya maupun untuk menerapkannya.
4) Berada dalam jangkauan guru dan siswa untuk memperolehnya.
5) Bahan itu otentik, realistik, objektif, dan rasional.
6) Bahan itu tidak bertentangan dengan sistem nilai/norma, dan konsisi
masyarakat dalam segi-segi Ipoleksosbudmil pada tiap jenjang
kehidupan.
7) Bahan itu memberikan makna tertentu bagi perilaku siswa dalam rangka
proses profesionalisasi kependidikan.
Pemilihan maateri ajar yang disampaikan guru sangat berpengaruh
terhadap pemahaman kepada siswa. Dalam memilih materi ajar tidak boleh
sembarangan, harus disesuaikan dengan apa yang dibutuhkan siswa.
Kebutuhan siswa bukan berdasarkan pada apa yang dikehendaki siswa saja
tetapi juga perlu penyesuaian kd, tujuan dari pembelajaan, dicarikan yang
menarik agar memudahkan siswa dalam memahami, materi yang dapat
menumbuhkan motivasi belajar, dan terdapat sebuah nilai yang bisa dipakai
untuk bekal siswa hidup ke depannya.

B. Kerangka Berpikir
Setiap lirik lagu campursari pasti memiliki unsur keindahan. Strukturnya yang
lebih singkat dan padat dibandingkan dengan karya sastra prosa (cerita pendek,
novel), unsur keindahan dalam lirik lagu campursari lebih mudah ditemukan.
Unsur keindahan dalam lirik lagu campursari merupakan bentuk style atau gaya
pengarang yang menunjukkan kekhasan pengarang tersebut. Style antara
pengarang yang satu dengan pengarang lainnya tentu berbeda. Semua tentang
pemikiran pengarang yang dicurahkan dalam karyanya. Dalam sebuah lirik lagu
pasti akan terdapat maksud ataupun nilai-nilai yang ingin disampaikan. Pada
dasarnya karya sastra merupakan buah pemikiran dari pengarangnya Di dalam
library.uns.ac.id 34
digilib.uns.ac.id

lirik lagu campursari banyak mengandung nilai-nilai yang sering diabaikan


padahal cocok diberikan kepada generasi muda.
Mata pelajaran bahasa Jawa yang terdapat pada Kurikulum 2013 kelas IX
semester II terdapat salah satu materi ajar geguritan. Materi Ajar tersebut
termasuk pada Kompetensi Dasar 3.1. memahami isi teks geguritan. Hal ini
terdapat dalam Kurikulum 2013 Mata Pelajaran Muatan Lokal (Bahasa Jawa)
untuk SMP Negeri dan Swasta Provinsi Jawa Tengah.
Bahasa yang digunakan dalam geguritan memiliki gaya yang hampir sama
dengan puisi. Ada beberapa lirik lagu yang pada mulanya berasal dari puisi, dalam
karya sastra Jawa puisi biasa disebut dengan geguritan. Berkaitan dengan
kompetensi dasar diparagraf sebelumnya, maka akan dilakukan analisis gaya
bahasa dan nilai pendidikan dalam lirik lagu campursari. Nantinya lirik lagu dapat
digunakan untuk materi ajar memahami isi teks geguritan.
library.uns.ac.id 35
digilib.uns.ac.id

Untuk lebih jelasnya, wujud kerangka berpikir penelitian ini dapat dilihat pada
gambar 1 berikut ini:

10 lirik lagu
campursari karya Didi
Kempot

Analisis Gaya Bahasa :


Analisis Nilai Pendidikan :
1. gaya bahasa penegasan.
1 nilai keagamaan
2. gaya bahasa perbandingan
2 nilai kesusilaan
3. gaya bahasa pertentangan
3 nilai kesosialan
4. gaya bahasa sindiran
4 nilai kultural
5. gaya bahasa perulangan

Relevansi sebagai materi ajar memahami isi teks geguritan pada


siswa SMP Kelas IX Semseter II.

Gambar 1. Kerangka Berpikir

Anda mungkin juga menyukai