id
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Kajian Pustaka
1. Hakikat Gaya Bahasa.
a. Pengertian Gaya Bahasa
Gaya bahasa menjadi sesuatu yang unik dalam sebuah tulisan yang
dihasilkan oleh penulis. Gaya atau khususnya gaya bahasa menurut Keraf
(2007: 112 – 113) dikenal dalam retorika dengan istilah style. Gaya atau
style menjadi masalah atau bagian dari diksi atau pilihan kata yang
mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata, frase atau klausa tertentu
untuk menghadapi hierarki kebahasaan; pilihan kata secara individual, frase,
klausa, dan kalimat bahkan mencakup pula sebuah wacana secara
keseluruhan. Style atau gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara
mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan
jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Sejalan dengan Keraf,
Sudjiman (1990: 33) menyatakan bahwa yang disebut gaya adalah cara
menyampaikan pikiran dan perasaan dengan kata-kata dalam bentuk tulisan
maupun lisan.
Bertolak dari Kamus Linguistik karangan Kridalaksana (2008: 71),
dapat diperoleh penjelasan gaya bahasa yang lebih luas, yaitu pemakaian
ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu dan keseluruhan
ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra. Lebih lanjut, Widyamartaya
(1991: 53) menjelaskan bahwa pembicaraan tentang gaya bahasa bukanlah
soal menggaya, melainkan daya guna bahasa. Gaya bahasa merupakan
kesanggupan menyampaikan pengalaman batin dengan hasil yang
sebesar-besarnya. Selain itu, Zhang (2010: 155) juga memberikan satu
parameter mengenai gaya bahasa bahwa :
”Literary stylistics is a discipline mediating between linguistics and
literary criticism. Its concern can be simply and broadly defined as
thematically and artistically motivated verbal choices”
7
library.uns.ac.id 8
digilib.uns.ac.id
“Gaya Bahasa adalah disiplin mediasi antara linguistik dan kritik sastra.
Hal yang bersangkutan dapat secara sederhana dan luas didefinisikan
sebagai pilihan yang tematis dan artistik yang didukung oleh pilihan
verbal”
Jadi, gaya bahasa merupakan antardisiplin ilmu linguistik dan kritik sastra.
Gaya Bahasa adalah ilmu yang menyelidiki estetika dan nilai-nilai yang
dihasilkan oleh bentuk-bentuk linguistik. Dari beberapa pendapat para ahli
di atas dapat disintesiskan bahwa gaya bahasa adalah keunikan atau
kekhasan seorang penulis dalam mengungkapkan apa yang ada dalam
benak, pikiran, dan perasaan sehingga menghasilkan suatu tulisan yang
mengandung nilai estetis yang jelas dan bermakna pas.
Peneliti melakukan penelitian dengan judul Analisis Gaya Bahasa dan
Nilai Pendidikan Sepuluh Lirik Lagu Campursari Karya Didi Kempot dan
Relevansinya sebagai Materi Ajar Memahami Isi Teks Geguritan di SMP.
Penelitian ini hampir sama dengan penelitian yang berjudul Gaya bahasa
pada teks sandiwara Jawa Becik Nitik, Ala Pilara karya M. Ahmad Jalidu
nilai pendidikan dan relevansinya dengan pembelajaran bahasa Jawa di
SMP Negeri 4 Surakarta Karya Pipit Nopitasari, hanya saja yang
membedakan adalah penelitian ini menggunakan objek teks sandiwara
sedangkan penulis menggunakan objek campursari.
b. Jenis-jenis Gaya Bahasa
Setiap orang selalu memiliki gaya yang berbeda-beda, misalnya gaya
dalam berbusana, gaya dalam berbicara, ataupun gaya dalam berbahasa.
Gaya yang biasa digunakan seseorang merupakan salah satu cara agar
menarik perhatian orang lain. Keraf (2007: 116 – 145) membedakan gaya
bahasa berdasarkan empat macam, yaitu: (1) gaya bahasa berdasarkan
pilihan kata; (2) gaya bahasa berdasarkan nada yang terkandung dalam
wacana; (3) gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat yang meliputi:
klimaks, antiklimaks, paralelisme, antitesis, dan repetisi (epizeuksiz,
tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, dan
anadiplosis); dan (4) gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna
library.uns.ac.id 9
digilib.uns.ac.id
dibedakan menjadi dua kelompok yakni gaya bahasa retoris dan gaya
bahasa kiasan. Gaya bahasa retoris meliputi: aliterasi, asonansi, anastrof,
apofasis, apostrof, asindenton, polisidenton, kiasmus, elipsis, eufemismus,
litotes, histeron proteron, pleonasme dan tautologi, perifrasis, prolepsis
antisipasi, erotesis (pertanyaan retoris), silepsis dan zeugma, koreksio
(epanortosis), hiperbola, paradoks, dan oksimoron. Sementara itu gaya
bahasa kiasan meliputi: persamaan atau simile, metafora, alegori, parable,
fable, personifikasi (prosopopoeia), alusi, eponim, epitet, sinekdoke,
metonimia, antonomasia, hipalase, ironi, sinisme, sarkasme, satire,
innuendo, dan antifrasis, paronomasia (pun).
Jenis-jenis gaya bahasa Nurdin, Maryani, dan Mumu (2004: 21 – 30)
mereka berpendapat bahwa gaya bahasa dibagi menjadi lima golongan,
yaitu: (1) gaya bahasa penegasan, yang meliputi repetisi, paralelisme;
(2) gaya bahasa perbandingan, yang meliputi hiperbola, metonomia,
personifikasi, perumpamaan, metafora, sinekdoke, alusio, simile, asosiasi,
eufemisme, pars pro toto, epitet, eponym, dan hipalase; (3) gaya bahasa
pertentangan mencakup paradoks, antithesis, litotes, oksimoron, hysteron,
prosteron, dan okupasi; (4) gaya bahasa sidiran meliputi ironi, sinisme,
innuendo, melosis, sarkasme, satire, dan antifarsis; (5) gaya bahasa
perulangan meliputi aliterasi, antanaklasis, anaphora, anadiplosis, asonansi,
simploke, nisodiplosis, epanalipsis, dan epuzeukis.
Dari penjelasan beberapa para ahli di atas dapat disintesiskan bahwa
gaya bahasa dapat dibedakan menjadi lima kelompok, yaitu: (1) gaya bahasa
penegasan, meliputi: repetisi dan paralelisme; (2) gaya bahasa
perbandingan, meliputi: hiperbola, metonimia, personifikasi, metafora,
sinekdok, alusi, simile, asosiasi, eufemisme, pars pro toto, epitet, eponim,
dan hipalase; (3) gaya bahasa pertentangan, meliputi: paradoks, antitesis,
litotes, oksimoron, dan histeron prosteron; (4) gaya bahasa sindiran,
meliputi: ironi, sinisme, innuendo, sarkasme, satire, dan antifrasis; dan
(5) gaya bahasa perulangan, meliputi: aliterasi, anafora, anadiplosis,
library.uns.ac.id 10
digilib.uns.ac.id
Contoh:
Mas mas mas aja dipleroki, mas mas mas aja dipoyoki, karepku
njaluk diesemi.
„Mas mas mas jangan diliriki, mas mas mas jangan disindiri,
keinginanku minta disenyumi‟
f) Alusi
Nurdin, Maryani, dan Mumu (2004: 24) berpendapat bahwa alusi
adalah gaya bahasa yang merujuk secara tidak langsung pada
suatu tokoh atau peristiwa yang sudah diketahui. Alusi semacam
acuan yang berusaha mensugestikan kesamaan antara orang, tempat,
atau peristiwa kepada orang lain.
Contoh:
Bandung kuwi Paris Van Java.
„Bandung itu Paris Van Java.‟
g) Simile
Pradopo (2012: 62) yang menyebutkan simile adalah bahasa
kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain dengan
mempergunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, sebagai, bak,
seperti, semisal, seumpama, laksana, sepantun, penaka, se, dan kata-
kata pembanding yang lain. Simile memperbandingkan secara
langsung dengan menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain.
Kata-kata yang biasanya digunakan antara lain: seperti, bagaikan,
laksana, sama, dan sebagainya. Dalam bahasa Jawa ditandai dengan
kata lir, kaya, pindha, umpama, kadya, dan kacandra.
Contoh :
Bebasan kaya ngenteni udane mangsa ketiga.
„Ibarat pepatah seperti menunggu hujan di musim kemarau.‟
h) Asosiasi
Yandianto (2004: 142) berpendapat asosiasi adalah
memperbandingkan suatu benda terhadap benda lain
sehingga membawa asosiasi benda yang diperbandingkan, dengan
demikian sifat benda pertama lebih jelas. Asosiasi merupakan gaya
bahasa perbandingan yang bersifat memperbandingkan sesuatu
dengan keadaan lain yang sesuai dengan keadaan yang dilukiskan.
Kata pembandin bersifat menegaskan apa yang ingin disampaikan.
library.uns.ac.id 14
digilib.uns.ac.id
Contoh:
Atine atos kaya watu.
„Hatinya keras seperti batu.‟
i) Eufemisme
Keraf (2007: 132) menyatakan bahwa eufemisme yakni semacam
acuan berupa ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung perasaan
orang, atau ungkapan-ungkapan yang halus untuk menggantikan
acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung
perasaan, atau mensugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan.
Eufemismus adalah perbandingan yang memiliki sfat menggantikan
satu pengertian dengan kata lain yang hampir sama untuk
menghaluskan maksud. Gaya bahasa ini bertujuan untuk
menghilangkan kata-kata kasar agar lebih enak diterima orang lain.
Contoh:
Pikiran warase tambah ilang ae akhir-akhir iki. (=gila)
‘Pikiran sehatnya tambah menghilang saja akhir-akhir ini.‟
j) Pars pro toto
Nurgiyantoro (2012: 300) menyebutkan bahwa pars pro toto
adalah gaya pertautan yang mempergunakan sebagian untuk
menyatakan keseluruhan. Pars pro toto semacam bahasa figuratif yang
hanya mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan
keseluruhan.
Contoh:
Wis suwi Ani ora ketok irunge.
„Sudah lama Ani tidak terlihat hidungnya.‟
k) Epitet
Epitet menggunakan suatu bahasa sebagai acuan yang menyatakan
suatu sifat atau ciri yang khusus dari seseorang atau sesuatu hal.
Nurdin, Maryani, dan Mumu (2004: 25) berpendapat bahwa epitet
adalah gaya bahasa berwujud seseorang atau sesuatu benda
tertentu sehingga namanya dipakai untuk menyatakan sifat itu.
library.uns.ac.id 15
digilib.uns.ac.id
Contoh:
Maling kuwi dawa tangane.
„Maling itu panjang tangannya.‟
l) Eponim
Eponim merupakan sebuah gaya bahasa yang dipergunakan untuk
menyebutkan nama seseorang dengan menghubungkannya dengan
sesuatu berdasarkan sifat yang dimilikinya. Nama yang disebutkan
juga bukan sembarang nama, tetapi nama yang dipakai harus
berdasarkan sifat yang dipahami dan dikenali oleh banyak orang.
Keraf (2007: 141) menyatakan bahwa eponim adalah suatu gaya
bahasa di mana seseorang yang namanya begitu sering dihubungkan
dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan
sifat itu.
Contoh:
Aku ngarep-arep pejabat nduweni irung kaya pinokio.
„Aku berharap pejabat punya hidung seperti pinokio.‟
m) Hipalase
Hipalase merupakan semacam gaya bahasa yang menggunakan
kata tertentu untuk menerangkan sebuah kata yang seharusnya
dikenakan pada sebuah kata yang lain. Nurdin, Maryani, dan Mumu
(2004: 25) hipalase adalah gaya bahasa yang menggunakan kata
tertentu untuk menerangkan sesuatu, namun kata tersebut tidak
tepat bagi kata yang diterangkannya.
Contoh:
Dheweke mlumah neng dhuwure bantal seng klisikan.
„Ia berbaring di atas sebuah bantal yang gelisah.‟ (yang gelisah
adalah manusianya, bukan bantalnya).
library.uns.ac.id 16
digilib.uns.ac.id
Contoh:
Mangga katuran pinarak wonten gubug kula.
„Saya persilahkan berkunjung di gubug saya.‟
d) Oksimoron
Nurdin, Maryani, dan Mumu (2004: 26) menjelaskan bahwa
oksimoron adalah gaya bahasa yang antara bagian-bagiannya
menyatakan sesuatu yang bertentangan. Bagian kata yang
bertentangan masih dalam satu kalimat. Oksimoron mengandung
pertentangan dengan cara mempergunakan kata-kata yang
berlawanan, oleh sebab itu sifatnya lebih padat dan tajam dari
paradoks.
Contoh:
Ketoke meneng ning asline ngglendem.
„Kelihatannya diam tetapi aslinya nakal.‟
e) histeron prosteron
Keraf (2007: 133) berpendapat bahwa histeron prosteron yakni
semacam gaya bahasa yang merupakan kebalikan dari sesuatu yang
logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar, misalnya menempatkan
sesuatu yang terjadi kemudian pada awal peristiwa. Histeron
prosteron adalah gaya bahasa yang memiliki wujud kebalikan dari
sesuatu hal yang logis menurut orang-orang. Sesuatu yang logis dan
wajar dalam kehidupan sehari-hari dibenturkan dengan kebalikan dari
hal-hal yang logis dan wajar, sehingga diperoleh pemahaman yang
berkebalikan.
Contoh:
Mlakumu cepet kayak siput.
„Jalanmu cepat seperti bekicot.‟
library.uns.ac.id 18
digilib.uns.ac.id
d) Sarkasme
Yandianto (2004: 148) menyatakan sarkasme adalah gaya
bahasa yang tidak lagi merupakan sindiran, tetapi lebih
berbentuk luapan emosi orang yang sedang marah, oleh karena itu
kata yang dipergunakan biasanya kasar dan tak terdengar tidak
sopan. Sarkasme merupakan suatu acuan yang sifatnya lebih kasar
dari ironi dan sinisme. Ia suatu acuan yang mengandung kepahitan
dan celaan yang getir. Kata-kata yang disampaikan lebih menyakitkan
hati.
Contoh:
Kelakuanmu garai aku muntap.
„Kelakuanmu membuat aku marah memuncak.‟
e) Satire
Nurdin, Maryani, dan Mumu (2004: 28) berpendapat bahwa
satire adalah gaya bahasa yang berbentuk penolakan dan
mengandung kritikan dengan maksud agar sesuatu yang salah itu
dicari ke benarannya. Satire menertawakan sesuatu dengan melalui
ungkapan yang disengaja.
Contoh:
Lek disawang-sawang bocah kuwi urakan, nanging aja langsung
nuduh, aja nyawang saka klambine tok.
„Kalo dilihat-lihat anak itu gak beraturan, tetapi jangan langsung
menuduh, jangan lihat dari bajunya saja.‟
f) Antifrasis
Keraf (2007: 144) menjelaskan bahwa antifrasis adalah semacam
ironi yang berwujud penggunaan sebuah kata dengan makna
kebalikannya, yang dapat saja dianggap ironi sendiri, atau kata-kata
yang dipakai menangkal kejahatan, roh jahat, dan sebagainya.
Antifrasis mempergunakan kata-kata yang sebenarnya memiliki
makna kebalikan dan bernada ironis.
library.uns.ac.id 20
digilib.uns.ac.id
Contoh:
Delengen kae buto ijo teka. (maksude cebol).
„Lihatlah itu raksasa hijau datang.‟ (maksudnya cebol)
c) Anadiplosis
Anadiplosis dalam kalimat dapat dijumpai dengan mengulang kata
atau frasa terakhir dari suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau
frasa pertama dari klausa atau kalimat berikutnya. Nurdin, Maryani,
dan Mumu (2004: 28) berpendapat bahwa anadiplosis adalah gaya
bahasa yang selalu mengulang kata terakhir atau frasa terakhir
dalam suatu kalimat atau frasa pertama dari klausa dalam kalimat
berikutnya.
Contoh:
Wong bodho kalah karo wong pinter
Wong pinter kalah karo wong begja
Wong begja kalah karo wong ubed
‘Orang bodoh kalah dengan orang pintar
Orang pintar kalah dengan orang beruntung
Orang beruntung kalah dengan orang kerja keras.‟
d) Mesodiplosis
Mesodiplosis menggunakan pengulangan kata-kata di bagian
tengah-tengah baris atau kalimat secara berurutan. Keraf
(2007: 128) berpendapat bahwa mesodiplosis adalah perulangan di
tengah- tengah baris atau beberapa kalimat berurutan.
Contoh:
Sugih tanpa bandha
Digdaya tanpa aji
Nglurug tanpa bala
Menang tanpa ngasorake.
„Kaya tanpa harta
Sakti tanpa ilmu kesaktian
Maju perang tanpa pasukan
menang tanpa merendahkan orang lain.‟
library.uns.ac.id 22
digilib.uns.ac.id
e) Epanolipsis
Epanolepsis adalah pengulangan pada kata terakhir dari baris,
klausa atau kalimat dengan mengulang kalimat pertama. Nurdin,
Maryani, dan Mumu (2004: 30) berpendapat bahwa epanolepsis
adalah gaya bahasa repetisi kata terakhir pada akhir kalimat atau
klausa.
Contoh:
Awake dhewe gunakne ati lan pikiran awake dhewe.
„Kita gunakan hati dan pikiran kita.‟
f) Epizeuksis
Keraf (2007: 127) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan
epizeuksis adalah repetisi yang bersifat langsung, artinya kata-kata
yang dipentingkan diulang beberapa kali berturut-turut. Epizeuksis
merupakan repetisi yang bersifat langsung dari sebuah kata yang
dipentingkan dan diulang dalam sebuah kalimat beberapa kali
sebagai penegasan.
Contoh:
Dheweke ngono senenge kerja, kerja piye-piye pokoke kerja,
ananging ya kudu ngono wong urip kudu kerja, kerja kang tumemen,
kanthi kerja dapat ngasilake untung kang mumpangati mring sasami.
„dia begitu senangnya kerja, kerja bagaimana-bagaimana pokoknya
kerja, tetapi ya harus begitu orang hidup harus kerja, kerja yang
beneran, sampai kerja dapat ngasilake untung yang menang kepada
sesama.‟
hanya menyangkut masalah lahiriah tetapi juga menyangkut semua yang ada
dalam diri secara utuh. Nilai religi dapat didapatkan lewat banyak media,
salah satunya melalui sastra. Semi (1993: 22) mengemukakan bahwa agama
merupakan dorongan penciptaan sebuah karya sastra, sebagai sumber ilham
dan sekaligus sering membuat sastra atau karya sastra bermuara kepada
agama. Lebih lanjut, agama merupakan kunci sejarah, kita baru memahami
jiwa suatu masyarakat bila kita memahami agamanya. Kita tidak mengerti
hasil-hasil kebudayaannya, kecuali bila kita paham akan kepercayaan atau
agama yang mengilhaminya (1993: 21).
Senada dengan Semi, Nurgiyantoro menyatakan bahwa unsur religi
dalam sastra adalah sebuah keberadaan sastra itu sendiri. Bahkan, sastra
tumbuh dari suatu yang bersifat religius (2012: 326). Dapat disimpulkan
bahwa nilai-nilai religius yang terdapat dalam karya sastra bertujuan agar
penikmat karya sastra mendapatkan renungan-renungan lahir dan batin yang
diserap dari nilai-nilai agama. Nilai religi bersifat mutlak atas keyakinan
manusia kepada Tuhannya, Pusat kontrol terletak dalam hati, nurani, dan
pribadi manusia itu sendiri.
2) Nilai Pendidikan Moral / Kesusilaan
Pengarang menyampaikan nilai-nilai kebenaran menurut pandangan
mereka kepada pembaca dengan membuat karya sastra. Menurut
Hasbullah (2005: 194) menyatakan bahwa, moral merupakan kemampuan
seseorang membedakan antara yang baik dan yang buruk. Senada dengan
Hasbullah, pengertian moral (Kemdikbud, 2016) dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia online adalah ajaran tentang baik buruk yang diterima
umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak; budi
pekerti; susila.
Berbeda pendapat dengan para ahli di atas Kenny menjelaskan bahwa
moral seperti halnya tema, merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh
pengarang kepada pembaca, merupakan makna yang terkandung di dalam
sebuah karya sastra, atau makna yang disarankan lewat sebuah cerita. Moral
dapat dipandang sebagai salah satu wujud tema dalam bentuk yang
library.uns.ac.id 26
digilib.uns.ac.id
sederhana, namun tidak semua tema dapat dikatakan sebagai sebuah moral
(dalam Nurgiyantoro, 2012: 320).
Lebih lanjut, menurut Nurgiyantoro moral dalam karya sastra biasanya
mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan,
pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran dan hal itulah yang ingin
disampaikannya kepada pembaca yang bertujuan untuk mendidik manusia
agar menjadi pribadi yang berkarakter dan berbudi pekerti luhur
(2012: 321).
Nilai moral yang terkandung dalam karya sastra bertujuan untuk
mendidik manusia agar menerapkan nilai-nilai budi pekerti yang sudah
disepakati masyarakat. Moral berhubungan erat dengan kelakuan atau
tindakan manusia. Baik buruk suatu perbuatan harus digenggam dalam
setiap langkah kehidupan. Diharapkan mampu menilai apa yang harus
dihindar dan apa yang harus dikerjakan. Sehingga tercipta suatu tatanan
hubungan manusia dalam masyarakat yang dianggap baik, serasi, dan
bermanfaat bagi orang itu , masyarakat, lingkungan, dan alam sekitar.
3) Nilai Pendidikan Sosial
Kata “sosial” berarti hal-hal yang berkenaan dengan masyarakat atau
kepentingan umum. Nilai sosial dapat diambil dari perilaku sosial dan tata
cara hidup sosial masyarakat. Hamalik (1989: 8) mengatakan, Masyarakat
merupakan sumber nilai-nilai yang dapat memberikan arah normatif kepada
pendidikan dan kehidupan bermasyarakat ditingkatkan kualitasnya oleh
insan-insan yang berhasil mengembangkan dirinya melalui proses
pendidikan.
Selaras dengan Hamalik, menurut Semi (1993: 22) dorongan sosial
berkenaan dengan pembentukan dan pemeliharaan jenis-jenis tingkah laku,
hubungan antarindividu, dan hubungan individu dan masyarakat yang
dengan bersama-sama memperjuangkan kesejahteraan semua yang
berkepentingan. Selaras dengan pendapat Semi, karya sastra pada dasarnya
adalah bagian dari struktur sosial. Karya sastra lahir melalui interaksi
kelompok tertentu, dengan memanfaatkan peranan medium bahasa
library.uns.ac.id 27
digilib.uns.ac.id
digunakan dalam berbicara, akan sangat tidak sopan apabila kata “Jancuk”
diucapkan di Jawa Tengah.
3. Hakikat Campursari
a. Pengertian Campursari
Setiap negara selalu memiliki lagu nasional sendiri-sendiri, sama halnya
dengan pulau Jawa yang memiliki lagu campursari. Murniarsih (2013: 48)
menyebutkan bahwa campursari adalah jenis lelagon Jawa yang merupakan
gabungan berbagai ragam seni. Campursari berarti lelagon Jawa yang
memuat aspek seni komplit, baik nada diatonis maupun pentatonis. tembang
campursari tergolong jenis tembang Jawa yang renyah, semangat, dan
penuh kegembiraan. Pemaduan unsur gamelan dan musik nasional (modern)
yang memberi aroma khusus pada campursari. Sejalan dengan Munarsih,
campursari menurut Safitri (2017: 1 – 2) adalah produk akulturasi yang
terbentuk dari sebuah proses perpaduan musik tradisional Jawa, yaitu
gamelan atau karawitan dan dan musik Barat modern. Instrumen musik
yang digunakan dalam campursari bertangga nada pentatonis (gamelan) dan
diatonis (musik Barat). Sama halnya dengan Wiyoso (2007: 4) menyebutkan
bahwa wujud musik campursari baik secara fisik (instrumentasi ) maupun
secara musikalnya, dapat dikatakan bahwa musik campursari lahir atau
tercipta dari suatu proses penggabungan atau perpaduan dari beberapa jenis
musik yang berbeda. Berpadunya beberapa unsur kebudayan dalam hal ini
musik ke dalam satu bentuk musik baru semacam itu, di dalam ilmu
antropolgi dikenal dengan istilah akulturasi budaya. Dengan demikian dapat
pula dikatakan, bahwa musik campursari adalah suatu bentuk akulturasi
budaya yang terjadi di dalam bidang musik.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa
campursari merupakan penggabungan beberapa jenis musik yang berbeda
yang berasal dari Jawa. Pemaduan musik ini merupakan akulturasi antara
musik tradisional Jawa dan musik barat modern. Instrumen yang digunakan
dalam campursari menggunakan tangga nada pentatonis dan diatonis.
library.uns.ac.id 29
digilib.uns.ac.id
musik lain seperti suling, gambang, viola dan pada saat tertentu
menyuarakan senggakan.
6) Bass bertugas sebagai pengganti suara slenthem dan kempul, kadang
pada saat tertentu juga menyuarakan senggakan.
7) Cukulele, tamborin dan sendok merupakan alat musik pemegang ritme
dan menjaga ritme. Cukulele terkadang berperan sebagai bonang imbal,
selain itu juga sebagai pengganti kethuk dan kenong. Tamborin
dimainkan untuk lagu rancak sejenis dangdut, sedangkan alat musik
semacam tamborin (sendok) dimainkan pada sajian langgam.
Alat musik yang dipakai dalam campursari sangat beragam. Mulai dari
yang tradisional sampai yang modern dipakai dalam permainan musik
campursari. Alat musik dipadu-padankan menjadi sebuah irama yang
menarik dan indah apabila didengarkan.
4. Hakikat Materi Ajar
a. Materi Ajar
Materi ajar merupakan hal yang pokok dipersiapkan dalam
pembelajaran. Materi ajar menurut Winkel (1996: 261) adalah suatu alat
yang dipergunakan dalam pembelajaran untuk mencapai tujuan
instruksional. Materi ajar juga dapat membantu membangkitkan motivasi
belajar siswa. Hal tersebut sejalan dengan Hamdani (2011: 48) yang
menyatakan bahwa materi pembelajaran adalah materi yang pokok atau
menjadi dasar dalam pembelajaran sesuai dengan Kurikulum yang ada.
Berkaitan dengan materi ajar, Zuriah, Sunaryo, dan Yusuf (2016: 43) juga
mengungkapkan bahwa meteri ajar yang digunakan oleh guru juga harus
memiliki mutu yang baik untuk disesuaikan dengan tujuan pembelajaran
dan kompetensi yang harus dicapai oleh siswa. Selain itu, kedalaman materi
harus diseimbangkan dengan waktu yang digunakan dalam pembelajaran
secara kontektual dan sistematis.
Dari beberapa pendapat para ahli mengenai materi ajar dapat
disintesiskan bahwa materi ajar merupakan materi pokok yang digunakan
dalam pembelajaran. Materi pokok harus harus sesuai dengan Kurikulum
library.uns.ac.id 31
digilib.uns.ac.id
B. Kerangka Berpikir
Setiap lirik lagu campursari pasti memiliki unsur keindahan. Strukturnya yang
lebih singkat dan padat dibandingkan dengan karya sastra prosa (cerita pendek,
novel), unsur keindahan dalam lirik lagu campursari lebih mudah ditemukan.
Unsur keindahan dalam lirik lagu campursari merupakan bentuk style atau gaya
pengarang yang menunjukkan kekhasan pengarang tersebut. Style antara
pengarang yang satu dengan pengarang lainnya tentu berbeda. Semua tentang
pemikiran pengarang yang dicurahkan dalam karyanya. Dalam sebuah lirik lagu
pasti akan terdapat maksud ataupun nilai-nilai yang ingin disampaikan. Pada
dasarnya karya sastra merupakan buah pemikiran dari pengarangnya Di dalam
library.uns.ac.id 34
digilib.uns.ac.id
Untuk lebih jelasnya, wujud kerangka berpikir penelitian ini dapat dilihat pada
gambar 1 berikut ini:
10 lirik lagu
campursari karya Didi
Kempot