Anda di halaman 1dari 85

RESUME SKENARIO 4

BLOK 16
KELOMPOK TUTORIAL E

Anggota :

Nur Aqmarina K. 142010101094


Puput Sagita Mey Sandra 152010101008
Wasilatus Sholehah 152010101021
Ahmad Syaikudin 152010101031
Muhammad Fikri Udin 152010101035
Virgi Rachma Dwi Suryowati 152010101043
Alvien Zahrotun Nadhiva 152010101051
Nurin Kamila Suwandi Putri 152010101056
Sixma Rizky Kurnia Putri 152010101073
Ika Rizki Muhinda Putri 152010101078
Mutiara Aprilina Muttaqien 152010101079
Eko Dakholal Firdaus 152010101128
Emda Zein Cik Fitria 152010101119
Prima Dhika Ayu Woro A. 152010101136

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
SKENARIO 4

Nyeri Sendi

1. Skenario

Wanita berusia 60 tahun datang ke dokter karena nyeri di lutut sejak 3 tahun terakhir.
Pasien sudah sering ke dokter tetapi bila obat habis nyerinya kambuh lagi. Saat
kambuh parah, pasien bahkan sampai tidak bisa menggerakkan persendiannya.
Kadang bila obat habis dan belum sempat ke dokter pasien membeli sendiri obat di
warung yang biasanya ada 3 jenis dalam kemasan plastik yang diminum bersamaan.
Meurut pasien bila minum obat di warung keluhan segera menghilang, tetapi pasien
merasa takut efek samping obatnya.

Riwayat sebelumnya, pasien mempuna hobi bermain basket dimasa mudanya. pasien
pernah operasi karena patah tulang betis, dan menjalani perawatan yang lama karena
terjadi infeksi pada tulang saat pasien menjadi mahasiswa. Pasien dulu bekerja di
PTPN sebagai tenaga administrasi di gudang, lebih banyak aktivitas duduk.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan TB 162 cm, BB 80 kg, kedua lutut bengkak,
kemerahan dan sulit digerakkan. Pasien tampak kesakitan bila sendi digerakkan atau
ditekan.
LEARNING OBJECTIVES

1. Farmakologi NSAID, Kortikosteroid dan Opioid


2. Patologi
a. Infeksi
 Osteomielitis
 Spondilitis
 Spondilodisitis
 Tenositis Supuratif
 Ulkus Tungkai
b. Penyakit Degeneratif
 Artritis
 Osteoartritis
c. Penyakit Metabolik
 Osteomalasia
 Osteoporosis
 Ricketsia
1. Farmakologi NSAID, Kortikosteroid dan Opioid
a. NSAID (Wasilatus Sholehah-152010101021)
Pengertian

NSAID (Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs) atau obat anti inflamasi non
steroid (AINS) adalah suatu kelompok obat yang berfungsi sebagai anti inflamasi,
analgetik dan antipiretik. Obat golongan NSAID dinyatakan sebagai obat anti
inflamasi non steroid, karena ada obat golongan steroid yang juga berfungsi sebagai
anti inflamasi. Obat golongan steroid bekerja di sistem yang lebih tinggi dibanding
NSAID.

Prototip obat golongan ini adalah aspirin, karena itu obat golongan ini sering
disebut juga sebagai obat mirip aspirin (aspirin like drugs). Contoh obatnya antara
lain: aspirin, parasetamol, ibuprofen, ketoprofen, naproksen, asam mefenamat,
piroksikam, diklofenak, indometasin.

Efek NSAID
Efek Farmakodinamik
Semua obat mirip aspirin bersifat antipiretik, analgesic dan
antiinflamasi.Ada perbedaan aktivitas di antara obat-obat tersebut,
misalnya parasetamol (asetaminofen) bersifat antipiretik dan analgesic
tetapi efek anti inflamsinya lemah sekali.
Efek Analgesik
1. Sebagai analgesic NSAID hanya efektif terhadap nyeri dengan
intensitas rendah sampai sedang seperti nyeri kepala, mialgia, athralgia,
dan nyeri lain yang berasal dari integument, juga efektif terhadap nyeri
yang berkaitan dengan inflamasi..
2. Nyeri akibat terpotongnya saraf aferen tidak dapat diatasi dng obat
golongan ini, sedangkan nyeri pascabedah dapat diatasi
3. Efek analgesic NSAID lebih rendah daripada golongan opioid, namun
NSAID tidak menimbulakn ketagihan
4. NSAID hanya mengubah persepsi modalitas sensorik nyeri, tidak
mempengaruhi sensorik lain
Efek Antipiretik
1. NSAID akan menurunkan suhu badan hanya pada keadaan demam.
Walaupun obat ini menunjukkan efek invitro, tidak semuanya berguna
sebagai antipiretik karena bersifat toksik bila digunakan secara rutin
atau terlalu lama
2. Tidak semua NSAID berguna sebagai antipiretik karena ada yang
bersifat toksik jika digunakan secara rutin atau terlalu lama
3. Contoh NSAID yang sering digunakan sebagai antipiretik adalah
paracetamol
Efek Antiinflamasi
NSAID lebih dimanfaatkan sebagai anti inflamasi pada pengobatan
kelianan musculoskeletal seperti arthritis rheumatoid, osteoarthritis,
spondilitis ankilosa.Tetapi harus diingat bahwa obat mirip aspirin ini
hanya meringankan gejala nyeri dan inflamasi yang berkaitan dengan
penyakitnya secara simtomatik, tidak menghentkan, memperbaiki atau
mencegah kerusakan jaringan pada kelainan musculoskeletal ini.
1. Kebanyakan NSAID digunakan sebagai antiinflamasi pada pengobatan
musculoskeletal
2. NSAID hanya meringankan gejala nyeri dan inflamasi yang berkaitan
dengan penyakit secara simtomatik, tidak menghentikan, memperbaiki
atau mencegah kerusakan pada kelainan musculoskeletal ini
Efek Samping
Selain efek farmakodinamik, NSAID juga memiliki efek samping.Efek
samping ini didasari oleh adanya hambatan pada sistem biosintesis
prostaglandin.Efek samping yang paling sering terjadi antara lain :
 Induksi tukak lambung atau tukak peptik yang kadang juga disertai
anemia sekunder akibat adanya perdarahan saluran cerna
 Gangguan fungsi trombosit akibat penghambatan biosintesis
tromboksan dengan akibat adanya perpanjangan waktu perdarahan
 Penghambatan biosintesis prostaglandin di ginjal menyebabkan
gangguan homeostasis ginjal
 Pada beberapa orang bisa juga terjadi reaksi hipersensitivitas terhadap
orang ini. Reaksi ini bisa berupa rinitis nasomotor, udem
angioneuretik, urtikaria luas, asam bronkial, hipotensi sampai keadaan
presyok dan syok.
Farmakologi NSAID

Obat analgesic antipiretik serta anti imflamasi nonsteroid merupakan suatu


kelompok obat yang heterogen, secara kimia. Obat-obat ini ternyata memiliki banyak
persamaan dalam efek terapimaupun efek samping. Sebagian besar efek terapi dan
efek sampingnya berdasarkan atas penghambatan biosistesis prostaglandin (PG).
Prototip obat golongan ini adalah aspirin
Klasifikasi kimiawi NSAID, ada NSAID dari subgolongan yang sama memiliki
sifagt yang berbeda, sebaliknya ada obat NSAID yang berbeda subgolongan tetapi
memiliki sifat yang serupa. Klasifikasi yang lebih bermanfaat untuk diterapkan di
klinik ialah berdasarkan selektifitasnya terhadap siklooksigenase (COX). Berdasarkan
sifak selektifnya terhadap enzim siklooksigenase, NSAID dibagi menjadi:

NSAID

COX 1- non selektif COX 2 Preferensial COX 3

- Aspirin - Nimesulid parasetamol

- Indometasin - Meloksikam

- Piroksikam - Nabumeton

- Ibuprofen - Diklofenak

- Naproksen - Etodolak

- Asam mefenamat
COX 2 selektif
*Generasi 1
- selekoksib
- rofekoksib
- valdekoksib
- parekoksib
- eterikoksib

*Generasi 2

lamirakoksib
Mekanisme Kerja NSAID

Berdasarkan
sifat
selektifnya
terhadap
enzim

siklooksigenase, NSAID dibagi menjadi COX-1, COX-2, COX-3.Enzim


siklooksigenase terdapat dalam 2 isoform disebut COX-1 dan COX-2. Keduanya
dikode oleh gen yang berbeda Berdasarkan sifat selektifnya terhadap enzim
siklooksigenase,
a) Enzim COX-1
Secara garis besar COX-1 esensial dalam pemeliharaan berbagai fungsi dalam
kondisi normal di berbagai jaringan khususnya ginjal., saluran cerna dan
trombosit. Di mukosa lambung aktivasi COX-1 menghasilkan prostasiklin yang
bersifat sitoprotektif. Tromboksan A2 yang disintesis trombosit oleh COX-1,
menyebabkan agregasi trombosit, vasokontriksi dan proliferasi otot polos. Contoh
Inhibitor COX-1 adalah :
Aspirin, Indometasin, Piroksikam, Ibuprofen, Naproksen, Asam mefenamat, dsb

b) Enzim COX-2
COX-2 mempunyai fungsi fisiologis yaitu pada ginjal, jaringan vaskuler, dan
pada proses perbaikan jaringan. Prostasiklin yang disintesis oleh COX-2 di
endotel makrovaskuler melawan efek dari tromboksan A2 yang disintesis
trombosit oleh COX-1 sehingga menyebabkan penghambatan agregasi trombosit,
vasodilatasi, dan efek anti proliferatif.
Contoh inhibitor COX-2 adalah :
1. COX-2 preferensial
Example : Nimesulide, Meloksikam, Diklofenak, Nabumeton, Etodolak
2. COX-2 Selektif
2.1.Generasi 1
Celecoxib, Rofecoxib, Valdecoxib, Parecoxib, Etericoxib
2.2.Generasi 2
Lamiracoxib

c) Enzim COX-3
Salah satu contohnya adalah paracetamol dengan hambatan biosintesis PG hanya
terjadi bila lingkungan rendah kadar peroksid yaitu di hipotalamus.merupakan
NSAID tradisional yang relatif aman dibanding inhibitor COX-1 dan COX-2.

 COX 1 DOMINAN
o Menghambat PG dan Tromboksan A2
o Fungsi fisiologis, PG dikeluarkan, tidak timbul nyeri:
- Memelihara perfusi ginjal
- Homeostatis vaskuler
- Melindungi lambung (pakai prostasiklin yg merupakan hasil
prostaglandin) dengan enurunkan sekresi asam lambung dan
memicu sekresi zat di usus halus
untuk keluar dan berfungsi sitoprotektif
o Fungsi patologis, terjadi inflamasi, PG dikeluarkan, menimbulkan
nyeri. Efek antiinflamasi lemah, lebih sering dipakai untuk analgesik
dan antipiretik
o Fungsi Tromboksan A2: pembekuan darah.
Jika COX 1 dihambat, maka Tromboksan A2 tidak membentuk
trombus, sehingga darah tidak bisa membeku
o Obat:
 Aspirin/ asam salisilat = prototipe/ standar obat lain NSAID
untuk tahu efek terapinya
 Indometasin
 Piroksikam
 Ibuprofen
 Naproksen
 Asam Mefenamat
o Efek samping:
 mual dan muntah
 asam lambung meningkat
 luka semakin dalam jadi tukak lambung
 inflamasi, sebabkan perdarahan

 COX 2 DOMINAN
o Untuk fungsi patologis saja, yakni bekerja di daerah inflamasi dan
bertanggungjawab terhadap proses inflamasi
o Efek antiinflamasi lebih besar
o Efek samping di fungsi fisiologis (lambung) tetap ada karena andil COX
1, tetapi berkurang
o Penggunaan jangka panjang akan menyebabkan tukak lambung
o Obat:
 Nimesulid
 Meloksikam
 Nabumeton
 Diklofenak
 Etodolak

 COX 2 SELEKTIF
o Hanya menghambat COX 2 saja
o Untuk mengurangi efek samping COX 2 dominan yang dikonsumsi
jangka panjang oleh penderita penyakit kambuhan (contoh Osteoarthritis)
o Pada dosis biasa, COX 1 tidak dihambat sehingga Prostasiklin (PGI2)
tetap bersifat sitoprotektif terhadap lambung dan usus aman
o Obat:
 Selekoksib
 Rofekoksib
 Valdekoksib
 Parekoksib
 Eterokoksib
 Lumirakoksib
o Efek samping:
 Menyebabkan mudah terjadinya trombus (penyumbatan darah)
 Infark cardia
 Stroke
 Meningkatkan penyakit kardiovaskular

 COX 3
o Punya fungsi antipiretik dan analgesik
o Tidak punya fungsi antiinflamasi
o Hanya bekerja di Central Nervus System (otak)
o Relatif aman untuk digunakan
o Tidak punya fungsi antiinflamasi karena tidak bisa bekerja pada daerah
yang kadar perokside-nya rendah (otak)
o Obat
o Paracetamol

Tabel 1 berikut menunjukkan rasio COX-2/ COX-1 pada beberapa NSAID

Tabel 1. Rasio COX-2/COX-1 pada NSAID


NSAID COX-2 COX-1 COX-2/COX-1
Tolmetin 7 0.04 175
Aspirin 50 0.3 166
Ibuprofen 15 1 15
Asetaminofen 20 2.7 7.4
Diklofenak 0.35 0.5 0.7
Naproksen 1.3 2.2 0.6
Celecoxib 0.34 1.2 0.3
Refecoxib 084 63 0.013
Jenis NSAID
NSAID dibagi lagi menjadi beberapa golongan, yaitu :

1. golongan salisilat (diantaranya aspirin/asam asetilsalisilat, metil salisilat, magnesium


salisilat, salisil salisilat, dan salisilamid),
2. golongan asam arilalkanoat (diantaranya diklofenak, indometasin, proglumetasin, dan
oksametasin),
3. golongan profen/asam 2-arilpropionat (diantaranya ibuprofen, alminoprofen, fenbufen,
indoprofen, naproxen, dan ketorolac),
4. golongan asam fenamat/asam N-arilantranilat (diantaranya asam mefenamat, asam
flufenamat, dan asam tolfenamat),
5. golongan turunan pirazolidin (diantaranya fenilbutazon, ampiron, metamizol, dan
fenazon),
6. golongan oksikam (diantaranya piroksikam, dan meloksikam),
7. golongan penghambat COX-2 (celecoxib, lumiracoxib),
8. golongan sulfonanilida (nimesulide), serta
9. golongan lain (licofelone dan asam lemak omega 3).
b. Kortikosteroid (Virgi Rachma Dwi Suryowati – 152010101043)

A. PENGERTIAN
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian
korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang
dilepaskan oleh kelenjar hipofisis, atau atas angiotensin II. Hormon ini berperan pada banyak
sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem kekebalan
tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan protein, kadar
elektrolit darah, serta tingkah laku.
Kortikosteroid dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan atas aktivitas biologis yang
menonjol darinya, yakni:
1. Glukokortikoid (contohnya kortisol) yang berperan mengendalikan metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein, juga bersifat anti inflamasi dengan cara menghambat
pelepasan fosfolipid, serta dapat pula menurunkan kinerja eosinofil.
2. Mineralokortikoid (contohnya aldosteron), yang berfungsi mengatur kadar elektrolit
dan air, dengan cara penahanan garam di ginjal.

B. FARMAKOKINETIK
Kortisol dan analog sintetiknya pada pemberian oral diabsorpsi cukup baik. Untuk
mencapai kadar tinggi dengan cepat dalam cairan tubuh, ester kortisol dan derivate
sintetiknya diberikan secara IV. Untuk mendapatkan efek yang lama kortisol dan ester
diberikan secara IM. Perubhan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mula
kerja dan lama kerja karena juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan ikatan protein.
Glukokortikoid dapat diabsorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang synovial.
Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas dapat menyebabkan efek
sistemik, antara lain supresi korteks adrenal.
Pada kejadian normal, 90% kortisol terikat pada dua jenis protein plasma yaitu
globulin pengikat kortikosteroid dan albumin. Afinitas globulin tinggi tetapi kapasitas ikatnya
rendah, sebaliknya afinitas albumin rendah tetapi kafasitas ikatnya relative tinggi. Karena itu
pada kadar rendah atau normal, sebagian besar kortikosteroid terikat globulin. Bila kadar
kortikosteroid meningkat jumlah hormone yang terikat albumin dan bebas juga meningkat ,
sedangkan yang terikat globulin sedikit mengalami perubahan. Kortikosteroid berkompetisi
sesamanya untuk berikatan denga globulin pengikat kortikosteroi; kortisol mempunyai
afinitas tinggi sedangkan metabolit yang terkonyugasi dengan asam glukuronad dan
aldosteron afinitasnya rendah.
Kehamilan atau penggunaan estrogen dapat meningkatkan kadar globulin pengikat
kortikosteroid, kortisol plasma total dan kortisol bebas sampai beberapa kali. Telah diketahui
bahwa hal ini tidak terlalu bermakna terhadap fungsi tubuh.
Biotransformasi steroid terjadi didalam dan diluar hati. Metabolitnya merupakan
senyawa inaktif atau berpotensi rendah. Semua kortikosteroid yang aktif memiliki ikatan
rangkap pada atom C4,5 dan gugus keton pada atom C3. Reduksi ikatan rangkap C4,5 terjadi di
dalam hati dan jaringa ekstrahepatik serta menghasilkan senyawa inaktif. Perubahan gugus
keton menjadi gugus hidroksil hanya terjadi di hati. Sebagian besar hasil reduksi gugus keton
pada atom C3 melalui gugus hidroksinya secara enzimatik bergabung denga asam sulfat atau
asam glukuronad membentuk ester yang mudah larut dan kemudian diekskresi. Reaksi ini
terutama terjadi di hepar dan sebagian kecil di ginjal.
Oksidasi gugus 11- hidroksil yang reversible terjadi secara cepat di hepar dan secar
lambat di jaringan ekstrahepetik. Untuk aktifitas biologiknya kortikosteroid dengan gugus
keton pada atom C11 harus direduksi menjadi senyawa 11-hidroksil; sedangkan reduksi gugus
keton pada atom C20 hanya memberikan senyawa dengan aktifitas biologic yang lemah.
Kortikosteroid dengan gugus hidroksil pada atom C17 akan dioksidasi menjadi 17-
ketosteroid yang tidak mempunyai aktifitas kortikosteroid tetapi bersifat androgenik. Adanya
sekresi 17-ketosteroid dalam urin dapat dipakai sebagai ukuran aktifitas hormone
kortikosteroid dalam tubuh.
Setelah penyuntikan IV steroid radioaktif sebagian besar dalam waktu 72 jam di
ekskresi dalam urin, sedangkan di feses dan empedu hamper tidak ada. Diperkirakan paling
sedikit 70% kortisol yang di ekskresi mengalami metabolism di hepar. Masa paruh eliminasi
kortisol sekitsr 1,5 jam. Adanya ikatan rangkap dan atom C1-2 atau subtitusi atom flour
memperlambat proses metabolism dan karenanya dapat memperpanjang masa paruh
eliminasi.

C. FARMAKODINAMIK
Pada waktu memasuki jaringan, glukokortikoid berdifusi atau ditranspor menembus sel
membran dan terikat pada kompleks reseptor sitoplasmik glukokortikoid heat-shock protein
kompleks. Heat shock protein dilepaskan dan kemudian kompleks hormon reseptor
ditranspor ke dalam inti, dimana akan berinteraksi dengan respon unsur respon
glukokortikoid pada berbagai gen dan protein pengatur yang lain dan merangsang atau
menghambat ekspresinya. Pada keadaan tanpa adanya hormon, protein reseptor dihambat dari
ikatannya dengan DNA; jadi hormon ini tidak menghambat kerja reseptor pada DNA.
Perbedaan kerja glukokortikoid pada berbagai jaringan dianggap dipengaruhi oleh protein
spesifik jaringan lain yang juga harus terikat pada gen untuk menimbulkan ekspresi unsur
respons glukokortikoid utama.
Selain itu, glukokortikoid mempunyai beberapa efek penghambatan umpan balik yang
terjadi terlalu cepat untuk dijelaskan oleh ekspresi gen. Efek ini mungkin diperantarai oleh
mekanisme nontranskripsi.

D. KLASIFIKASI OBAT
1. Hidrokortison.
2. Prednison: prednison, metilprednisolon, budesonida.
3. Derivat 9-alfa-flour: triamsinolon, deksametason, betametason, halsinonida.
4. Derivat 6-alfa-flour: fluokortolon, flunisolida
5. Derivat diflour: fluosinonida, flumetason, diflukortolon, flutikason.
6. Derivat klor: beklometason, mometason.
7. Derivat klor-flour: klobetasol, klobetason, fluklorolon, halometason.

E. INDIKASI
1. Terapi Substitusi
Pemberian kortikosteroid disini bertujuan memperbaiki kekurangan akibat insufisiensi
sekresi korteks adrenal akibat gangguan fungsi atau struktur adrenal sendiri (insufisiensi
primer) atau hipofisis (insufisiensi sekunder).
a. Insufisiensi adrenal akut
Keadaan ini umunya disebabkan oleh kelainan pada adrenal atau oleh penghentian
pengobatan kortikosteroid dosis besar secara tiba-tiba.
b. Insufisiensi adrenal kronik
Kelaunan akibat operasi atau lesi korteks adrenal ini dapat diatasai dengan pemberian
20-30 mg perhari dalam dosis terbagi (20 mg pada pagi hari dan 10 mg pada sore hari).
Banyak pasien memerlukan juga mineralokortikoid fluorokortison asetat denga dosis 0,1 -0,2
mg perhari; atau cukup dengan kortison dan diet tinggi gara. Terapi tergantung dari keadaan
pasien dalam rasa kesegaran badannya ( well being), nafsu makan, berat badan, kekuatan
otot, timbulnya pigmentasi, tekanan darah dan tidak adanya hipotensi ortostatik.
c. Hiperplasia adrenal kongenital
Pada penyakit turunan ini terjadi defisiensi aktifitas salah satu atau lebih enzim yang
diperlukan untuk biosintesis kortikosteroid. Karena produksi kortisol dan atau aldosteron
berkurang dan tidak terjadi reaksi umpan balik negative, maka produksi hormon steroid lain
bertambah. Dalam hal ini gejala klinik yang timbul, hasil pemeriksaan laboratorium dan
terapinya, tergantung dari jenis enzim yang terganggu.
d. Insufisiensi adrenal sekunder akibat insufisiensi adenohipofisis
gejala utama insufisiensi adrenal ini adalah hipoglikemia, sedangkan keseimbangan
air dan elektrolit normal karena sekresi aldosteron tetap normal. Terapi subsitusi dengan
kortisol, pagi hari 20mg dan sore 10 mg, disesuaikan dengan siklus diumal sekresi adrenal.
Sesudah insufisiensi adrenal terkendali, dapat ditambahkan tiroid. Sebab bila langsung
diberikan tiroid tanpa kortisol mungkin terjadi insufisiensi adrenal akut.
2. Terapi Non-Endokrin
Di bawah ini dibahas beberapa penyakit yang bukan merupakan kelainan adrenal atau
hipofisis, tetapi diobati dengan glukokortikoid. Dasar pemakaian kortikosteroid disisni adalah
efek anti-inflamsinya dan kemampuannya menekan reaksi imun. Pada penyakit yang
dasarnya respon imun, obat ini bermanfaat. Pada keadaan yang perlu penanganan reaksi
radang atau reaksi imun untuk mencegah kerusakn jaringan yang parah dan menimbulakn
kecacatan, pengguanaan kortikosteroid mungkin berbahaa sehingga perlu disertai dengan
penanganan tepat bagi penyebabnya. Yang dipakai adalah preparat kerja singkat dan kerja
sedang misalnya prednisone atau prednisolone dengan dosis serendah mungkin.
Kemungkinan efek samping harus terus dimonitor.
a. Fungsi paru pada Fetus
penyempurnaan fungsi paru fetus dipengaruhi sekresi kortisol pada fetus. Pemberian
kortikosteroid dosis tinggi kepada ibu hamil akan membantu pematangan fungsi paru pada
fetus yang akan dilahirkan premature sehingga resiko terjadi respiratory distress syndrome,
perdarahan intraventrikular dan kematian berkurang. Betamethasone atau Dexamethasone
selama 2 hari diberiakan pada minggu ke 27 sampai 34 kehamilan. Dosis telalu banyak akan
menganggu berat badan dan perkembangan kelenjar adrenal fetus.
b. Artritis
Kortikosteroid hanya diberikan pada pasien atritis rheumatoid yang sifatnya progresif,
dengan pembengkakan dan nyeri sendi yang hebat sehingga pasien tidak dapat bekerja,
meskipun telah diberikan istirahat, terapi fisik dan obat golongan anti inflamasi nonsteroid.
c. Karditis reumatik
Karena belum ada bukti kortikosteroid lebih baik salisilat, sedangakan resiko
penggunaan kortikosteroid lebih besar, maka pengobatan karditis reumatik dimulai dengan
salisilat. Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan akut, pada pasien yang tidak
menunjukkan perbaikan dengan salisilat saja, atau sebagai terapi permulaan pada pasien
dalam keadaan sakit keras dengan demam, payah jantung akut, aritmia dan perikardithis.
d. Penyakit ginjal
Kortikosteroid dapat bermanfaat pada sindrom nefrotik yang disebabkan lupus
eritematosus sistemik atau penyakit ginjal primer, kecuali amiloidosis.
e. Penyakit Kalogen
Pemberian dosis besar (prednisone 1-2 mg/kg atau sediaan lain yang ekuivalen )
bermanfaat untuk eksaserbasi akut; sedangakn terapi jangka panjang hasilnya bervariasi.
Glukokortikoid dapat menurunkan mordibitas dan memperpanjang masa hidup pasien
poliartritis nodosa dan granulomatosis Wegener.
f. Asma Bronkial dan penyakit saluran napas lainnya
Respon asama terhadap farmakoterapi bervariasi antar individu, sehingga dapat
ditemuka pasien yang resisten terhadap steroi meskipun jarang dan tidak menunjukkan hasil
baik dengan inhalasi steroid. Kortikosteroid saat ini diberikan segera pada serangan akut
pasien asam bronchial akut maupun kronik untuk mengatasi secara cepat radang yang
ternyata selalul terjadi pada saat serangan asma.
g. Penyakit Alergi
Gejala penyakit alergi yang hanya berlangsung dalam waktu tertentu, dapat diatasi
dengan glukokortikoidsebagai obat tambahan disamping obat primernya; misalnya pada
penyakit serum, urtikaria, dermatitis kontak, reaksi obat, edema angioneurotik. Pada reaksi
yang gawat, misalnya anafilaksis dan edema angioneurotikglotis, diperlukan pemberian
adrenalin dengan segera. Pada keadaan yang mengancam jiwa pasien, kortikosteroid dapat
diberikan IV.
h. penyakit mata
Kortikosteroid dapat mengatasi gejala inflamasi mata bagian luar maupun pada
segmen anterior.
i. Penyakit kulit
Bermacam-macam kelainan kulit dapat diobati dengan sediaan steroid topical. Yang
harus diperhatikan ialah kadar kandungan steroidnya.
j. Penyakit Hepar
Uji klinis menunjukkan bahwa glukokortikoid dapat memperpanjang masa hidup
pasien nekrosis hepar subakut dan hepatitis kronik aktif, hepatitis alkoholik dan sirosis non
alkoholik pada wanita.
k. Keganasan
Leukemia limfositik akut dan limfoma dapat diatasi dengan glukokortikoid karena
efek antilimfositiknya. Prednisone biasanya digunakan bersama alkilator, antimetbolit dan
alkaloid vinka. Selam pengobatan selain evaluasi klinik perlu dilakukan pemeriksaan darah
dan sumsum tulang.
l. Gangguan Hematologik lain
Anemia hemolitik autoimun yang idiopatik maupun yang acquired member respon
yang baik terhadap terapi steroid. Obat ini tidak akn mengurangi hemolisis pada reaksi
transfuse, meski mungkin dapat mengurangi hemolisis yang diinduksi oleh obat (drug-
induced hemolisis).
m. Syok
aortikosteroid sering digunakan untuk mengatasi syok. Pada syok anafilaktik mungkin
manfaat nya adalah melalui efek permisif yaitu membuat adrenalin bekerja lebih baik
mengatasi syok tersebut, adrenalin tetap meripakn obat utama yang harus diberikan. Untuk
syok septic, sampai sekarang masih banyak pertentangan pendapat.
n. Edema Serebral
Glukokortikoid sangat efektif untuk mencegah atau mengobati edema serebral Karena
parsit atau tumor otak, terutama pada kasus metastasis.
o. Trauma Sumsum tulang Belakang
Uji klinik multisentra membuktikan manfaat metilprednisolone dosis besar (30
mg/kgBB dilanjutkan infuse 5,4 mg/kgBB perjam selama 23 jam), sebelum 8 jam setelah
trauma akan mengurangi gejala neurologis.

F. KONTRAINDIKASI
Sebenarnya sampai sekarang tidak ada kontraindikasi absolute kortikosteroid.
Pemberian dosis tunggal besar bila diperlukan selalu dapat dibenarkan, keadaan yang
mungkin dapat merupakan kontraindikasi relative dapat dilupakan, terutama pada keadaan
yang mengancam jiwa pasien. Bila obat akan diberiakn untuk beberapa hari atau beberap
minggu, kontraindikasi relative yaitu diabetes mellitus, tukak peptik/duodenum, infeksi berat,
hipertensi atau gangguan sistem kardiovaskular lain patut diperhatikan. Dalam hal yang
terakhir ini dibutuhkan pertimbangan matang antara resiko dan keuntunga sebelum obat
diberiakan.

G. DOSIS
Kecuali untuk terapi subtitusi pada defisiensi , penggunaan kortikosteroid pada
awalnya lebih banyak bersifat empiris. Dari pengalaman klinis dapat diajukan minimal 6
prinsip terapi yang perlu diperhatikan sebelum obat ini digunakan: (1) Untuk tiap penyakit
pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan dengan trial and error, dan harus dievaluasi
dari waktu kewaktu sesuai dengan perubahan penyakit; (2) Suatu dosi tunggal besar
kortikosteroid umunya tidak berbahaya; (3) Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari
tanpa adanya kontraindikasi spesifik, tidak membahayakan kecuali dengan dosis sangat
besar; (4) Bila pengobata diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih hingga dosis melabihi
dosis subsitusi, insidens efek samping dan efek letal potensial akan bertambah ; dosis
ekivalen hidrokortisol 100 mg / hari lebih dari 2 minggu hampir selalu menimbulkan
iatrogenic cushing syndrome. Bila terpaksa pasien harus juga diberi diet tinggi protein dan
kalium. Awasi dan sadri resiko pengaruhnya terhadap metabolism, terutam bila gejala terkait
telah muncul misalnya diabetes yang resisten insulin, osteoporosis, lambatanya penyembuhan
luka; (5) Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid bukan merupakan
terapi kausal ataupun kuratif tetapi hanya bersifat paliatif karena efek anti inflamasinya; (6)
Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan dosis besar, mempunyai
resiko insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat mengancam jiwa pasien.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa bila kortikosteroid akan digunakan untuk
jangka panjang, harus diberikan dalam dosis minimal yang masih efektif. Dosis ini ditentukan
secara rial and error. Pada keadaan yang tidak mengancam jiwa pasien, misalnya untuk
mengurangi nyeri pada arthritis rheumatoid, dosis awal harus kecil kemudian secara bertahap
ditingkatkan sampai keadaan tersebut mereda dan dapat ditoleransi pasien. Kemudian dalam
periode singkat dosis harus diturunkan bertahap sampai tercapai dosis minimal dimana gejala
semula timbul kembali. Bila terpai bertujuan mengatasi keadaan yang dapat mengancam
pasien, misalnya pemfigus maka dosis awal haruslah cukup besar. Bila dalam beberapa hari
belum terlihat efeknya, dosis dapat dilipatgandakn. Dalam hal ini, sebelum mengambil
keputusan, dokter harus dapat mempertimbangkan antara bahatya pengobatan dan bahaya
akibat penyakit sendiri.
Untuk keadaan yang tidak mengancam jiwa pasien, kortikosteroid dosis besar dapat
diberikan untuk waktu singkat selam tidak ada kontraindikasi spesifik.
Besarnya dosis glukokortikoid yang dapat menyebabkan supresi hipofisis dan korteks
adrenal ternyata sangat bervariasi dan belum dapat dipastikan dengan tepat. Umumnya,
makin besar dosis dan maikn lama waktu pengobatan, makin besar kemungkinan terjadinya
supresi tersebut. Untuk mengurangi resiko supresi hipofisis adrenal ini, dapat dilakukan
modifikasi cara pemberian obat, misalnya dosis tunggal selang 1 atau 2 hari tetapicara ini
tidak dapat diterapkan untuk semua penyakit. Sediaan yang masa kerjanya panjang juga tidak
dapat diberikan menurut cara ini.

H. EFEK SAMPING
Sampai saat ini ratusan produk kortikosteroid tersedia di pasaran. Layaknya obat
lainnya, kortikosteroid juga beresiko menimbulkan efek samping yang tidak diharapkan,
bahkan beberapa efek sampingnya dapat menimbulkan masalah kesehatan yang cukup serius.
Berikut efek samping kortikosteroid, yaitu:
1. Efek samping jangka pendek
 Peningkatan tekanan cairan di mata (glaukoma)
 Retensi cairan, menyebabkan pembengkakan di tungkai.
 Peningkatan tekanan darah
 Peningkatan deposit lemak di perut, wajah dan leher bagian belakang.
2. Efek samping jangka panjang.
 Katarak
 Penurunan kalsium tulang yang menyebabkan osteoporosis dan tulang rapuh sehingga
mudah patah.
 Menurunkan produksi hormon oleh kelenjar adrenal
 Menstruasi tidak teratur
 Mudah terinfeksi
 Penyembuhan luka yang lama

Sumber : Gunawan, Sulistia Gan. 1972. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta:
Departemen Farmakologi dan Terapeutik, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia.
c. Opioid (Ahmad Syaikudin -152010101031)

Pengertian Analgesik Opioid

Analgesik Opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat


seperti opium. Opium yang berasal dari getah Papaver somniferum mengandung
sekitar 20 jenis alkaloid diantaranya morfin, kodein, tebain, dan paparevin.
Analgesik opioid terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa
nyeri, meskipun juga memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain.
Istilah analgesik narkotik dahulu seringkali digunakan untuk kelompok obat
ini, akan tetapi karena golongan obat ini dapat menimbulkan analgesia tanpa
menyebabkan tidur atau menurunnya kesadaran maka istilah analgesik narkotik
menjadi kurang tepat (Dewoto, 1971).

Opioid didefinisikan sebagai senyawa dengan efek yang diantagonis


oleh nalokson. Terdapat tiga famili peptida opioid, yang berasal dari molekul
prekusor besar dan dikode oleh gen yang terpisah. Pro-opiomelanokortin
(POMC) menyebabkan peningkatan peptida opioid endorfin β dan sejumlah
peptida nonopioid lainnya, termasuk hormon adrenokortikotropik (ACTH).
Proenkefalin menyebabkan peningkatan leu-enkefalin dan met-enkefalin.
Prodinorfin menyebabkan peningkatan sejumlah peptida opioid, yang
mengandung leu-enkefalin pada terminal aminonya. Peptida yang berasal dari
setiap tiga molekul prekursor ini mempunyai distribusi anatomis tertentu pad
sistem saraf pusat dan mempunyai bermacam-macam afinitas untuk tipe
reseptor opioid yang berbeda. Fungsi yang tepat dari peptida opioid ini dalam
otak dan daerah manapun tetap tidak jelas (Neal, 2005).

II.2 Klasifikasi Obat Golongan Opioid

Berdasarkan kerjanya pada reseptor, obat golongan opioid dibagi


menjadi :

1. Agonis penuh (kuat)


2. Agonis parsial (agonis lemah sampai sedang)
3. Campuran agonis dan antagonis
4. Antagonis

Opioid golongan agonis kuat hanya mempunyai efek agonis, sedangkan


agonis parsial dapat menimbulkan efek agonis, atau sebagai antagonis dengan
menggeser agonis kuat dari ikatannya pada reseptor opioid dan mengurangi
efeknya. Opioid yang merupakan campuran agonis dan antagonis adalah opioid
yang memiliki efek agonis pada satu subtipe reseptor opioid dan sebagai
suatu parsial agonis atau antagonis pada subtipe reseptor opioid lainnya.

Berdasarkan rumus bangunnya obat golongan opioid dibagi menjadi


derivat fenantren, fenilheptilamin, fenilpiperidin, morfinan, dan benzomorfan.

Agonis
Campuran
STRUKTUR Agonis Lemah
agonis- Antagonis
DASAR Kuat sampai
antagonis
sedang
Morfin
Kodein Nalorfin
Hidromorfo Nalbufin
Fenantren Oksikodon Nalokson
n Buprenorfin
Hidrokodon Naltrekson
Oksimorfon
Fenilheptilamin Metadon Propoksifen
Meperidin Difenoksila
Fenilpiperidin
Fentanil t
Morfinan Levorfanol Butorfanol
Benzomorfan Pentazosin

II.3 Obat-obatan Golongan Analgesik Opioid

1. Morfin dan Alkaloid Opium


Opium atau candu adalah getah Papaver somniferum L yang telah
dikeringkan. Alkaloid asal opium secara kimia dibagi dalam dua golongan:
Golongan fenantren (mis: Morfin dan Kodein) dan Golongan benizilisonkinolin
(mis: Noskapin dan Papaverin).
a. Farmakodinamik
Efek morfin terhadap SSP berupa analgesia dan narkosis. Morfin
dosis kecil (5-10 mg) menimbulkan euforia pada pasien yang sedang
menderita nyeri, sedih dan gelisah dan pada orang normal seringkali
menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir atau takut disertai mual dan
muntah. Opioid menimbulkan analgesia dengan cara berikatan dengan
reseptor opioid yang terutama didapatkan di SSP dan medula spinalis
yang berperan pada transmisi dan modulasi nyeri. Beberapa individu,
terutama wanita dapat mengalami eksitasi oleh morfin, misalnya mual
dan muntah yang mendahului depresi, tetapi delirium dan konvulsi jarang
timbul. Kodein tidak menyebabkan depresi progresif bila dosisnya
dibesarkan, tetapi justru menyebabkan eksitasi. Morfin dan kebanyakan
agonis opioid yang bekerja pada reseptor µ dan κ menyebabkan miosis.
Miosis ditimbulkan oleh perangsangan pada segmen otonom inti saraf
okulmotor. Miosis ini dapat dilawan oleh atropin dan skopolamin. Pada
dosis kecil morfin sudah menimbulkan depresi napas tanpa menyebabkan
tidur atau kehilangan kesadaran. Dosis toksik dapat menyebabkan
frekuensi napas 3-4 kali/menit dan kematian pada keracunan morfin
hampir selalu disebabkan oleh depresi napas.
Morfin juga berefek di beberapa organ saluran cerna. Di lambung,
morfin menghambat sekresi HCl, menyebabkan pergerakan lambung
berkurang, tonus bagian antrum meninggi dan motilitasnya berkurang
sedangkan sfingter pilorus berkontraksi, akibatnya pergerakan isi lambung
ke duodenum diperlambat. Di usus halus, morfin mengurangi sekresi
empedu dan pankreas, dan memperlambat pencernaan makanan di usus
halus. Di usus besar, morfin mengurangi atau menghilangkan gerakan
propulsi usus besar, meninggikan tonus dan menyebabkan spasme usus
besar, akibatnya penerusan isi kolon diperlambat dan tinja menjadi lebih
keras.
Pada sistem kardiovaskular, pemberian morfin dosis terapi tidak
mempengaruhi tekanan darah, frekuensi maupun irama denyut jantung.
Perubahan baru akan terjadi pada pemberian toksik. Tekanan darah turun
akibat hipoksia pada stadium akhir intoksikasi morfin. Morfin dan opioid
lain menurunkan kemampuan sistem kardiovaskular untuk bereaksi terhadap
perubahan sikap.
Pada otot olos, morfin menimbulkan peninggian tonus, amplitudo serta
kontraksi ureter dan kandung kemih. Morfin merendahkan tonus uterus
pada masa haid dan menyebabkan uterus lebih tahan terhadap regangan.
Mungkin atas dasar ini morfin mengurangi nyeri dismenore.
Pada kulit, dosis terapi morfin menyebabkan vasodilatasi kulit,
sehingga kulit tampak merah dan terasa panas.
Dalam proses metabolisme, morfin menyebabkan suhu badan turun
akibat aktivitas otot yang menurun, vasodilatasi perifer dan penghambatan
mekanisme neural di SSP. Kecepatan metabolisme dikurangi,
hiperglikemia timbul tidak tetap akibat pelepasan adrenalin yang
menyebabkan glikogenolisis. Morfin membuat volume urin berkurang
akibat merendahnya laju filtrasi glomerulus, alir darah ginjal, dan
pelepasan ADH.

b. Farmakokinetik
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat diabsorpsi
melalui kulit luka. Morfin juga dapat menembus mukosa, dan juga dapat
diabsorpsi usus, tetapi efek analgetik setelah pemberian oral jauh lebih
rendah dibanding secara parenteral.
Setelah pemberian dosis tunggal, sebagian morfin mengalami
konyugasi dengan asam glukoronat di hepar, sebagian dikeluarkan dalam
bentuk bebas dan 10% tidak diketahui nasibnya.
Ekskresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin
bebas ditemukan dalam tinja dan keringat. Morfin yang terkonyugasi
ditemukan dalam empedu, sebagian yang sangat kecil dikeluarkan
bersama cairan lambung.
Kodein mengalami demetilasi menjadi morfin dan CO2, yang
kemudian dikeluarkan oleh paru-paru. Sebagian kodein mengalami N-
demetilasi. Urin mengandung bentuk bebas dan bentuk konyugasi dari
kodein, norkodein dan morfin.

c. Indikasi
Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk meredakan atau
menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik
non-opioid. Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai infark
miokard, neoplasma, kolik renal, oklusio akut vaskular perifer, pulmonal,
perikarditis akut, dan nyeri akibat trauma misalnya luka bakar dan
pascabedah.
Penggunaan analgesik opioid dewasa ini telah banyak digunakan
untuk menghambat refleks batuk yang tidak produktif dan hanya iritatif
sehingga menyebabkan pasien tidak dapat beristirahat dan mungkin sekali
disertai dengan nyeri.
Terhadap edema paru akut, morfin IV dapat dengan jelas
mengurangi atau menghilangkan sesak napas akibat edema pulmonal
yang menyertai gagal jantung kiri.
Alkaloid morfin berguna untuk menghentikan diare berdasarkan
efek langsung terhadap otot polos usus. Pada pengobatan diare yang
disebabkan oleh intoksikasi makanan atau intoksikasi akut obat,
pemberian morfin harus didahului oleh pemberian garam katartik untuk
mengeluarkan penyebab.

d. Efek Samping
Morfin dapat menyebabkan mual dan muntah terutama pada wanita
berdasarkan idiosinkrasi. Berdasarkan reaksi alergik dapat timbul gejala
seperti urtikaria, eksantem, dermatitis kontak, pruritus dan bersin.
Intoksikasi akut morfin atau opioid lain biasanya terjadi akibat
percobaan bunuh diri atau pada takar lajak. Pasien akan tidur, sopor
atau koma jika intoksikasi cukup berat.

e. Toleransi
Toleransi ini timbul terhadap efek depresi, tetapi tidak timbul
terhadap efek eksitasi, miosis dan efek pada usus. Toleransi silang dapat
timbul antara morfin, dihidromorfinon, metopon, kodein dan heroin. Toleransi
timbul setelah 2-3 minggu.
Timbul toleransi terhadap efek analgesik, tetapi tidak terhadap efek
konstipasi. Potensi penyalahgunaan tinggi. Penghentian menyebabkan
insomnia, nyeri, peningkatan aktivitas saluran cerna, kegelisahan.
f. Interaksi Obat
Interaksi morfin dapat meningkatkan kerja depresan SSP lain.
Selain itu, meningkatkan depresi pernapasan yang diinduksi oleh loker
neuromuskular. Dan morfin bersifat aditif dengan obat yang
menyebabkan hipotensi.

2. Meperidin dan Derivat Fenilpiperidin lain


a. Farmakodinamik
Pada SSP, meperidin menimbulkan analgesia, sedasi, euforia, depresi
napas dan efek sentral lain. Efek analgetik meperidin mulai timbul 15
menit setelah PO dan mencapai puncak dalam 2 jam. Pemberian
meperidin kepada pasien yang menderita nyeri atau cemas, akan
menimbulkan euforia. Di saluran napas, meperidin dalam dosis
ekuianalgetik menimbulkan depresi napas sama kuat dengan morfin.
Pemberian meperidin secara sistemik menimbulkan anestesia kornea,
dengan akibat menghilangnya refleks kornea.
Pemberian dosis terapi meperidin pada pasien yang berbaring tidak
mempengaruhi sistem kardiovaskular, tidak menghambat kontraksi miokard
dan tidak mengubah gambaran EKG.
Efek spasmogenik meperidin terhadap lambung dan usus kecil lebih
lemah daripada morfin. Meperidin menimbulkan spasme saluran empedu.
Meperidin dapat menghilangkan bronkospasme oleh histamin dan
metakolin, dapat menyebabkan peristaltik ureter berkurang, dan sedikit
merangsang uterus dewasa yang tidak hamil.

b. Farmakokinetik
Absorpsi meperidin setelah cara pemberian apapun berlangsung aik,
akan tetapi kecepatan absorpsi mungkin tidak teratur setelah suntikan
IM. Setelah PO, sekitar 50% obat mengalami metabolisme lintas pertama
dan kadar maks dalam plasma tercapai dalam 1-2 jam.
Metabolisme meperidin terutama berlangsung di hati. Pada manusia,
meperidin mengalami hidrolisis menjadi asam meperidinat yang kemudian
sebagian mengalami konyugasi.
Meperidin bentuk utuh sangat sedikit ditemukan dalam urin.
Seanyak 1/3 dari satu dosis meperidin ditemukan dalam urin dalam
bentuk derivat N-demetilasi.

c. Indikasi
Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada
beberapa keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa
kerjanya yang lebih pendek daripada morfin. Misalnya untuk tindakan
diagnostik.
Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetrik
dan sebagai obat praanestetik. Untuk menimbulkan analgesia obstetrik
dibandingkan dengan morfin, meperidin kurang menyebabkan depresi
napas pada janin.

d. Efek Samping
Efek Samping meperidin dan derivat fenilpiperidin yang ringan
berupa pusing, berkeringat, euforia, mulut kering, mual, muntah, perasaan
lemah, gangguan penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi.

e. Kontraindikasi
Pada pasien penyakit hati dan orang tua dosis obat harus dikurangi
karena terjadinya perubahan pada disposisi obat. Selain itu dosis
meperidin perlu dikurangi bila diberikan bersama antipsikosis, hipnotik
sedatif dan obat-obat lain penekan SSP. Pada pasien yang sedang
mendapat MAO inhibitor pemberian meperidin dapat menimbulkan
kegelisahan, gejala eksitasi dan demam.

f. Toleransi
Toleransi terhadap efek depresi meperidin timbul lebih lambat
dibanding dengan morfin. Timbulnya toleransi lambat bila interval
pemberian lebih dari 3-4 jam. Toleransi tidak terjadi terhadap efek
stimulasi dan efek mirip atropin.
g. Interaksi Obat
Pada pasien yang sedang mendapat MAO inhibitor, pemberian
meperidin dapat menyebabkan eksitasi SSP berat (delirium, hiperpireksia,
kejang), depresi pernapasan, atau hipotensi.

3. Metadon dan Opioid Lainnya


3.1 Metadon
a. Farmakodinamik
Di SSP, efek analgetik 7,5-10 mg metadon sama kuat dengan
efek 10 mg morfin. Setelah pemerian metadon beulang kali timbul
efek sedasi yang jelas, mungkin karena adanya akumulasi. Dosis
ekuianalgetik menimbulkan depresi napas yang sama kuat seperti
morfin dan dapat bertahan lebih dari 24 jam setelah dosis tunggal.
Metadon juga berefek antitusif, menimbulkan hiperglikemia,
hipotemia, dan pelepasan ADH.
Di otot polos, metadon menimbulkan relaksasi sediaan usus
dan menghambat efek spasmogenik asetilkolin atau histamin.
Metadon juga menimbulkan spasme saluran empedu pada manusia
dan hewan coba. Ureter mengalami relaksasi, mungkin karena telah
terjadi antidiuresis. Pecandu metadon timbul toleransi efek miosis
yang cukup kuat.
Pada sistem kardiovaskular, metadon menyebabkan vasodilatasi
perifer sehingga dapat menimbulkan hipotensi ortostatik. Pemberian
metadon tidak mengubah gambaran EKG tetapi kadang-kadang
timbul sinus bradikardia. Obat ini merendahkan kepekaan tubuh
terhadap CO2 sehingga timbul retensi CO2 yang dapat menimbulkan
vasodilatasi serebral dan kenaikan tekanan cairan serebrospinal.

b. Farmakokinetik
Setelah suntikan metadon SC ditemukan kadar dalam plasma
yang tinggi selama 10 menit pertama. Sekitar 90% metadon terikat
protein plasma.
Metadon diabsorbsi baik oleh usus dan dapat ditemukan
dalam plasma darah setelah 30 menit PO; kadar puncak dicapai
setelah 4 jam.
Metadon cepat keluar dari darah dan menumpuk dalam paru,
hati, ginjal, dan limpa; hanya sebagian kecil yang masuk otak.
Kadar maksimal metadon dalam otak dicapai dalam 1-2 jam setelah
pemberian parenteral.
Biotransformasi metadon terutama berlangsung di hati. Salah
satu reaksi penting ialah dengan cara N-demetilasi. Sebagian besar
metadon yang diberikan akan ditemukan dalam urin dan tinja
sebagai hasil biotransformasi yaitu pirolidin dan pirolin. Kurang dari
10% mengalami ekskresi bersama empedu.

c. Indikasi
Jenis nyeri yang dapat dipengaruhi metadon sama dengan
jenis nyeri yang dapat dipengaruhi morfin, tetapi ada yang
berpendapat bahwa metadon sedikit lebih kuat daripada morfin. Efek
analgetik mulai timbul 10-20 menit setelah pemberian parenteral atau
30-60 menit setelah PO. Obat ini menyebabkan depresi napas pada
janin sehingga tidak dianjurkan sebagai analgesik pada persalinan.
Metadon merupakan antitusif yang baik. Efek antitusif 1,5-2
mg/oral sesuai dengan 15-20 mg kodein, tetapi kemungkinan timbulkan
adiksi pada metadon jauh lebih besar daripada kodein.

d. Efek Samping
Metadon menyebabkan efek samping erupa perasaan ringan,
pusing, kantuk, fingsi mental terganggu, berkeringat, pruritus, mual,
dan muntah. Efek samping ini lebih sering timbulpada pemberian oral
daripada pemberian parenteral dan lebih sering timbul pada pasien berobat
jalan. Efek samping yang jarang timbul ialah delirium, halusinasi selintas
dan urtikaria hemoragik. Bahaya utama pada takar lajak metadon ialah
berkurangnya ventilasi pulmonal. Terapi intoksikasi akut metadon sama
dengan terapi intoksikasi akut morfin.
e. Toleransi
Toleransi metadon dapat timbul terhadap efek analgetik, mual,
anoreksia, miotik, sedasi, depresi napas dan efek kardiovaskular, tetapi
tidak timbul terhadap konstipasi. Toleransi ini lebih lambat daripada
toleransi terhadap morfin.
Timbulnya ketergantungan fisik setelah pemberian metadon secara
kronik dapat dibuktikan dengan cara menghentikan obat atau dengan
memberikan nalorfin. Kemungkinan timbulnya adiksi ini lebih kecil
daripada bahaya adiksi morfin.

3.2 Propoksifen
a. Farmakodinamik
Propoksifen berefek analgesik karena kerja sentralnya.
Propoksifen terutama terikat pada reseptor µ meskipun kurang selektif
dibandingkan morfin. Propoksifen 65-100 mg secara oral memberikan
efek yang sama kuat dengan 65 mg kodein, sedangkan 130 mg
propoksifen parenteral menimbulkan analgesia yang sama kuat dengan
50 mg meperidin parenteral. Tetapi propoksifen menimbulkan perasaan
panas dan iritasi di tempat suntikan. Kombinasi propoksifen dengan
asetosal berefek analgesik yang jauh lebih baik daripada jika masing-
masing obat diberikan tersendiri. Obat ini tidak berefek antitusif.

b. Farmakokinetik
Propoksifen diabsorpsi setelah pemberian oral maupun
parenteral. Efektivitas jauh berkurang jika propoksifen diberikan PO.
Biotransformasi propoksifen dengan cara N-demetilasi yang terjadi
dalam hati. Dimetabolisme separuh pada lintasan pertama. Waktu
paruh 15 jam.

c. Indikasi
Propoksifen hanya digunakan untuk mengobati nyeri ringan
hingga sedang, yang tidak cukup baik diredakan oleh asetosal.
Kombinasi propoksifen bersama asetosal berefek sama kuat seperti
kombinasi kodein bersama asetosal. Dosis propoksifen untuk orang
dewasa biasanya 4 kali 65 mg sehari, dengan atau tanpa asetosal.
d. Efek Samping
Pada dosis terapi propoksifen tidak banyak mempengaruhi
sistem kardiovaskular. Pemberian 130 mg propoksifen PO pada
orang dewasa sehat tidak banyak mengubah reaksi terhadap CO2.
Dengan dosis ekuianalgetik insiden efek samping propoksifen seperti
mual, anoreksia, sembelit, nyeri perut dan kantuk kurang lebih sama
dengan kodein. Dosis toksik biasanya menimbulkan depresi SSP dan
depresi napas, tetapi jika dosis lebih besar lagi timbul konvulsi.

e. Adiksi
Timbulnya adiksi terhadap propoksifen lebih kecil
kemungkinannya daripada terhadap kodein. Penghentian tiba-tiba pada
terapi dengan propoksifen akan menimbulkan gejala putus obat
ringan. Dosis oral propoksifen yang besar (300-600 mg)
menimbulkan efek subyektif yang menyenangkan, tetapi tidak serupa
dengan efek morfin. Obat ini cukup iritatif pada pemberian SC,
sehingga tidak digunakan secara parenteral.

II.4 Antagonis Opioid dan Agonis Parsial

1. Antagonis Opioid
Obat-obat yang tergolong antagonis opioid umumnya tidak
menimbulkan banyak efek kecuali bila sebelumnya telah ada efek agonis
opioid atau bila opioid endogen sedang aktif misalnya pada keadaan stress
atau syok. Nalokson merupakan prototip antagonis opioid yang relatif murni,
demikian pula naltrekson yang dapat diberikan PO dan memperlihatkan masa kerja
yang lebih lama daripada nalokson. Dalam dosis besar keduanya memperlihatkan
beberapa efek agonis, tetapi efek ini tidak berarti secara klinis.
Nalorfin, levalorfan, siklazosin dan sejenisnya di samping
memperlihatkan efek antagonis, menimbulkan efek otomik, endokrin, analgetik
dan depresi napas mirip efek yang ditimbulkan oleh morfin. Obat-obat ini
merupakan antagonis kompetitif reseptor µ, tetapi juga memperlihatkan efek
agonis pada reseptor-reseptor lain.
a. Farmakodinamik
Pada berbagai eksperimen diperlihatkan bahwa Nalokson menurunkan
ambang nyeri pada mereka yang biasanya ambang nyerinya tinggi;
mengantagonis efek analgetik plasebo; mengantagonis analgesia yang terjadi
akibat perangsangan lewat jarum akupuntur. Namun, masih perlu pembuktian
lebih lanjut efek nalokson ini sebab banyak faktor fisiologi yang berperan
dalam analgesia di atas. Dugaan yang sama juga timul tentang efek nalokson
terhadap hipotensi pada hewan dalam keadaan syok, dan efeknya dalam
mencegah overating dan obesitas pada tikus-tikus yang diberi stres berat.
Pemberian 10-15 mg nalorfin atau 10 mg morfin menimbulkan analgesia
sama kuat pada pasien dengan nyeri pascabedah. Pada beberapa pasien timbul
reaksi yang tidak menyenangkan, misalnya rasa cemas, perasaan yang aneh,
sampai timbulnya day dreams yang mengganggu, atau lebih berat lagi timbul
halusinasi, paling sering halusinasi visual.
Nalorfin dan levalorfan juga menimbulkan depresi napas yang diduga
karena kerjanya pada reseptor κ. Berbeda dengan morfin, depresi napas tidak
bertambah dengan bertambahnya dosis. Kedua obat ini, terutama levalorfan
memperberat depresi napas oleh morfin dosis kecil, tetapi mengantagonis
depresi napas akibat morfin dosis besar.
Frekuensi napas meningkat dalam 1-2 menit setelah pemberian nalokso
pada pasien dengan depresi napas akibat agonis opioid; efek sedatif dan efek
terhadap tekanan darah juga segera dihilangkan. Pada dosis besar, nalokson
juga menyebabkan kebalikan efek dari efek psikotomimetik dan disforia akibat
agonis-antagonis.
Terhadap individu yang memperlihatkan ketergantungan fisik terhadap
morfin, dosis kecil nalokson SC akan menyebabkan gejala putus obat yang
dapat berat. Gejala ini mirip dengan gejala akibat penghentian tiba-tiba
pemberian morfin, hanya timbulnya beberapa menit setelah penyuntikan
terakhir setelah 2 jam. Berat dan lama berlangsungnya sindrom ini tergantung
dari dosis antagonis dan beratnya ketergantungan. Hal yang sama terjadi pada
orang dengan ketergantungan fisik terhadap agonis parsial, tetapi diperlukan
dosis lebih besar.

b. Farmakokinetik
Nalokson hanya dapat diberikan parenteral dan efeknya segera terlihat
setelah penyuntikan IV. Secara oral nalokson juga diserap, tetapi karena
hampir seluruhnya mengalami metabolisme lintas pertama maka harus
diberikan parenteral.
Obat ini dimetabolisme di hati, terutama dengan glukoronidasi. Waktu
paruhnya kira-kira 1 jam dengan masa kerja 1-4 jam. Naltrekson efektif
setelah pemberian PO, kadar puncaknya dalam plasma dicapai dalam waktu 1-
2 jam, waktu paruhnya sekitar 3 jam dan masa kerjanya mendekati 24 jam.
Metabolitnya, 6-naltreksol, merupakan antagonis opioid yang lemah dan masa
kerjanya panjang.

c. Indikasi
Antagonis opioid diindikasikan untuk mengatasi depresi napas akiat
takar lajak opioid, pada bayi yang baru dilahirkan oleh ibu yang mendapat
opioid sewaktu persalinan; atau akibat tentamen suicide dengan suatu opioid;
dalam hal ini nalokson merupakan obat terpilih. Obat ini juga digunakan untuk
mendiagnosis dan mengobati ketergantungan fisik terhadap opioid.

d. Toleransi
Toleransi hanya terjadi terhadap efek yang ditimbulkan oleh sifat agonis,
jadi hanya timbul pada efek subyektif, sedatif dan psikotomimetik dari
nalorfin. Penghentian tiba-tiba pemberian nalorfin kronis dosis tinggi
menyebabkan gejala putus obat yang khas tetapi lebih ringan daripada gejala
putus obat morfin.
Nalokson, nalorfin, dan levalorfan kecil kemungkinannya untuk
disalahgunakan sebab tidak menyebabkan ketergantungan fisik; tidak
menyokong ketergantungan fisik morfin; dan dari segi subyektif dianggap
sebagai obat yang kurang menyenangkan bagi para pecandu.

2. Agonis Parsial
2.1 Pentazosin
a. Farmakodinamik
Efeknya terhadap SSP mirip dengan efek opioid yaitu
menyebabkan analgesia, sedasi dan depresi napas. Analgesia yang
timbul agaknya karena efeknya pada reseptor κ, karena sifatnya
berbeda dengan analgesia akibat morfin. Analgesia timbul lebih dini
dan hilang lebih cepat daripada morfin. Pada dosis 60-90 mg obat ini
menyebabkan disforia dan efek psikotomimetik mirip nalorfin yang hanya
dapat di antagonis oleh nalokson. Diduga timbulnya disforia dan efek
psikotomimetik karena kerjanya pada reseptor δ.
Efeknya pada saluran cerna mirip efek opioid, sedangkan pada
uterus efeknya mirip efek meperidin. Respons kardiovaskular terhadap
pentazosin berbeda dengan respons terhadap opioid morfin, yaitu dalam
dosis tinggi menyebabkan peningkatan tekanan darah dan frekuensi
denyut jantung.
Gejala putus obat yang terjadi diantaranya mirip gejala putus obat
morfin. Penyuntikan berulang pada tempat yang sama dapat menyebabkan
abses steril, ulserasi dan jaringan perut.

b. Farmakokinetik
Pentazosin diserap baik melalui cara pemberian apa saja, tetapi
karena mengalami metabolisme lintas pertama, bioavailabilitas PO cukup
bervariasi. Obat ini dimetabolisme secara intensif di hati untuk kemudian
diekskresi sebagai metabolit melalui urin. Pada pasien sirosis hepatis
klirensnya sangat berkurang.

c. Indikasi
Pentazosin diindikasikan untuk mengatasi nyeri sedang, tetapi
kurang efektif dibandingkan morfin untuk nyeri berat. Obat ini juga
digunakan untuk medikasi praanestesik. Bila digunakan untuk analgesia
obstetrik, pentazosin dapat mengakibatkan depresi napas yang sebanding
meperidin.

d. Toleransi
Toleransi dapat timbul terhadap efek analgetik dan efek subyektif
pada pemberian berulang. Ketergantungan fisik dan psikis dapat pula
terjadi, tetapi kemungkinannya jauh lebih kecil.

2.2 Butorfanol
a. Farmakodinamik
Pada pasien pascabedah, suntikan 2-3 mg butorfanol
menimbulkan analgesia dan depresi napas menyerupai efek suntikan 10
mg morfin atau 80 mg meperidin.
Dosis analgetik butorfanol juga meningkatkan tekanan arteri
pulmonal dan kerja jantung.

b. Farmakokinetik
Butorfanol mirip dengan morfin dalam hal mula kerja, waktu
tercapainya kadar puncak dan masa kerja, sedangkan waktu paruhnya
kira-kira 3 jam.

c. Indikasi
Butorfanol efektif untuk mengatasi nyeri akut pascabedah
sebanding dengan morfin, meperidin atau pentazosin. Butorfanol
efektif untuk medikasi praanestetik.
Obat ini tidak dianjurkan digunakan untuk nyeri yang
menyertai infark miokard akut. Dosis butorfanol yang dianjurkan
untuk dewasa adalah dosis 1-4 mg IM atau 0,5-2 mg IV dan dapat
diulang 3-4 jam.

d. Efek Samping
Efek samping utama butorfanol adalah kantuk, rasa lemah,
berkeringat, rasa mengambang dan mual. Sedangkan efek
psikotomimetik lebih kecil dibanding pentazosin pada dosis
ekuianalgetik. Kadang-kadang terjadi gangguan kardiovaskular yaitu
palpitasi dan gangguan kulit rash.

2.3 Buprenorfin
a. Farmakodinamik
Buprenorfin menimbulkan analgesia dan efek lain pada SSP
seperti morfin. Buprenorfin dapat mengantagonis depresi pernapasan
yang ditimbulkan oleh dosis anestesik fentanil sama baiknya dengan
nalokson.
Depresi pernapasan dan efek lain yang ditimbulkan buprenorfin
dapat dicegah oleh penggunaan nalokson sebelumnya, akan tetapi
nalokson dosis tinggipun sulit untuk mengatasi efek yang sudah
ditimbulkan oleh buprenorfin.
Buprenorfin dapat menimbulkan ketergantungan fisik dengan
gejala dan tanda-tanda putus obat seperti morfin, tetapi tidak terlalu berat.

b. Farmakokinetik
Buprenorfin diabsorpsi relatif baik. Buprenorfin 0,4-0,8 mg
sublingual menimbulkan analgesia yang baik pada pasien pascabedah.
Kadar puncak alam darah dicapai dalam 5 menit setelah suntikan
IM dan dalam 1-2 jam setelah penggunaan secara oral atau
sublingual. Masa paruh dalam plasma sekitar 3 jam.

c. Indikasi
Selain sebagai analgesik, buprenorfin juga bermanfaat untuk
terapi penunjang pasien ketergantungan opioid, dan pengobatan adiksi
heroin.

2.4 Tramadol
a. Farmakodinamik
Tramadol efektif untuk nyeri ringan sampai sedang, tetapi
untuk nyeri berat atau kronik lebih lemah. Untuk nyeri persalinan,
tramadol sama efektif dengan meperidin dan kurang menyebabkan
depresi pernapasan pada neonatus.
b. Farmakokinetik
Bioavailabilitas tramadol setelah dosis tunggal secara oral 68%
dan 100% bila digunakan secara IM. Tramadol mengalami
metabolisme di hati dan diekskresi oleh ginjal, dengan masa paruh
eliminasi 6 jam untuk tramadol dan 7,5 jam untuk metabolit aktifnya.
Analgesia timbul dalam 1 jam setelah penggunaan secara oral, dan
mencapai puncak dalam 2-3 jam. Lama analgesia sekitar 6 jam. DM
per hari yang dianjurkan 400 mg.

c. Efek Samping
Efek samping yang umum mual, muntah, pusing, mulut kering,
sedasi, dan sakit kepala. Depresi pernapasan nampaknya kurang
dibandingkan dengan dosis ekuianalgetik morfin, dan derajat
konstipasinya kurang daripada dosis ekuivalen kodein.
2. Patologi
a. Infeksi
 Osteomielitis (Puput Sagita Mey Sandra-152010101008)

Definisi

Osteomielitis adalah infeksi tulang yang disebabkan oleh organisme piogenik, walaupun
berbagai organ infeksi lain juga dapat menyebabkannya. Ini sering kali terjadi pada
trabekular yang dapat mempengaruhi sebagian besar tulang dan sumsum tulang (Apley et al,
2017). Osteomielitis masih menjadi masalah di negara berkembang karena tingkat higiene
dan nutrisi kurang, fasilitas diagnostik yang belum memadai hingga pelayanan kesehatan
primer, dan masih tingginya kejadian Tuberculosis yang juga dapat menyerang sendi dan
tulang dan pengobatan osteomielitis membutuhkan waktu yang lama (Sjamsuhidajat et al,
2010).

Etiologi

Sebanyak 90 % disebabkan oleh stafilokokus aureus hemolitikus ( koagulasi positif )


dan jarang oleh streptokokus hemolitikus. Pada anak umur 1-4 tahun sebanyak 50 %
disebabkan oleh Hemofilus influenza. Adapun organisme lain seperti E. Coli, B. Aerogenus
kapsulata, Pneumokokus, Salmonella tifosa, Pseudomonas aerogenus, Proteus mirabilis,
Brucella, dan bakteri anaerobik yaitu Bakteroides fragilis juga dapat menyebabkan
osteomielitis hematogen akut (Apley et al, 2017).

Osteomielitis primer terjadi akibat kuman penyebab infeksi masuk ke tubuh secara
langsung dari infeksi lokal di daerah orofaring, telinga, gigi, atau kulit secara hematogen.
Sedangkan osteomielitis sekunder berasaldari infeksi kronis jaringan yang lebih superfisial
seperti ulkus diabetikum, ulkus Morbus Hansen, ulkus tropikum, akibat fraktur terbuka yang
mengalami infeksi berkepanjangan atau dari infeksi akibat pemasangan protesis sendi
(Sjamsuhidajat et al, 2010).

Faktor predisposisi osteomielitis akut adalah :


1. Umur, terutama mengenai bayi dan anak – anak
2. Jenis kelamin, lebih sering pada laki – laki daripada wanita dengan perbandingan 4:1
3. Trauma, hematogen akibat trauma pada daerah metafisis, merupakan salah satu faktor
predisposisi terjadinya osteomielitis hematogen akut
4. Lokasi, osteomielitis hematogen akut sering terjadi pada daerah metafisis karena daerah
ini merupakan daerah aktif tempat terjadinya pertumbuhan tulang
5. Nutrisi, lingkungan dan imunitas yang buruk serta adanya fokus infeksi sebelumnya (
seperti bisul, tonsilitis ) merupakan faktor predisposisi osteomielitis hematogen akut

Patofisiologi
Patologi yang terjadi pada osteomielitis hematogen akut tergantung pada umur, daya tahan
penderita, lokasi infeksi serta virulensi kuman. Infeksi terjadi melalui aliran darah dari fokus
tempat lain dalam tubuh pada fase bakterimia dan dapat menimbulkan septikemia. Terjadi
infeksi yang masuk di dalam juksta epifisis pada daerah metafisis tulang panjang. Pada
awalnya terjadi fokus inflamasi kecil di daerah metafisis tulang panjang. Jaringan tulang
tidak dapat meregang, maka proses inflamasi berlanjut. Proses selanjutnya terjadi hiperemi
dan edema didaerah metafisis disertai pembentukan pus. Terbentuknya pus menyebabkan
tekanan dalam tulang bertambah. Peninggian tekanan dalam tulang mengakibatkan
terganggunya sirkulasi dan timbul trombosis pada pembuluh darah tulang yang akhirnya
menyebabkan nekrosis tulang. Bila terapi tidak memadai, osteolisis akan terus berlangsung
sehingga kuman dapat menyebar ke luar sendi dan sistemik menyebabkan sepsis. Bagian
tulang yang mati akan terlepas dari tulang yang hidup disebut sekuester. Sekuester
meninggalkan rongga yang secara perlahan membentuk dinding tulang baru. Rongga di
tengah tulang inni disebut involucrum. Proses ini terlihat jelas pada akhir minggu kedua.
Apabila pus menembus tulang, maka terjadi pengaliran pus ( discharge ) dari involucrum
keluar melalui lubang yang disebut kloaka atau melalui sinus pada jaringan lunak dan kulit
(Sjamsuhidajat et al, 2010).
Gambaran Klinis

Osteomielitis hematogen akut berkembang secara progresif atau cepat. Pada keadaan
ini mungkin dapat ditemukan adanya infeksi bakterial pada kulit dan saluran napas atas.
Gejala lain dapat berupa nyeri lokal hebat yang terasa berdenyut. Dalam 24 jam muncul
gejala sistemik berupa panas tinggi, malaise serta nafsu makan yang berkurang. Setelah
beberapa hari, infeksi keluar dari tulang mencapai subkutan akan menimbulkan selulitis
sehingga kulit menjadi kemerahan. Oleh karenanya, setiap selulitis pada bayi sebaiknya
dicurigai dan diterapi sebagai osteomielitis. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya:
- Nyeri tekan
- Gangguan pergerakan sendi oleh karena pembengkakan sendi dan gangguan akan
bertambah berat bila terjadi spasme lokal.
Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium darah, dijumpai leukositosis dengan predominasi sel-sel
PMN, peningkatan LED dan protein reaktif-C (CRP)

Pemeriksaan Radiologis

 Pemeriksaan rontgen dalam sepuluh hari pertama, tidak ditemukan kelainan


radiologik yang berarti dan mungkin hanya ditemukan pembengkakan jaringan lunak.
 Gambaran destruksi tulang dapat terlihat setelah sepuluh hari ( 2 minggu ) berupa
refraksi tulang yang bersifat difus pada daerah metafisis dan tampak radiolusen ( yang
akan tampak setelah tulang kehilangan 40-50% massa tulang
 Bedanya dengan tuberkulosis ialah destruksi tulang berlangsung lebih cepat.

 Pemeriksaan Ultrasonografi dapat memperlihatkan adanya penumpukan cairan


subsperiosteal pada early stages tapi tidak dapat membedakan hematom atau pus.
 Penmeriksaan MRI cukup efektif dalam mendeteksi dini osteomielitis dini dan
mengetahui inflamasi pada sumsum tulang

Pengobatan
1. Pemberian antibiotik broad spectrum. Antibiotik diberikan selama 3-6 minggu dengan
melihat keadaan umum dan laju endap darah penderita. Antibiotik tetap diberikan hingga
2 minggu setelah laju endap darah normal.
2. Istirahat dan pemberian analgesik juga diperlukan untuk menghilangkan nyeri.
3. Apabila setelah 24 jam pengobatan lokal dan sistemik antibiotik gagal ( tidak ada
perbaikan keadaan umum ), maka dapat dipertimbangkan drainase bedah. Pada drainase
bedah, pus subperiosteal dievakuasi untuk mengurangi tekanan intra-oseus kemudian
dilakukan pemerikasaan biakan kuman. Drainase dilakukan selama beberapa hari dengan
menggunakan cairan Nacl 0,9% dan dengan antibiotik.

Blom, Ashley. Apley’s System of Orthopedic and Trauma; 10thed. Boca Raton : CRC Press,

2017. 32-37.
Sjamsuhidajat R, Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 3. Jakarta: EGC, 2013. 988-990.
 Spondilitis (Prima dhika ayu w.a-152010101136)
A. Definisi
Spondilitis tuberculosa adalah infeksi yang sifatnya kronis berupa infeksi
granulomatosis disebabkan oleh kuman spesifik yaitu mycubacterium tuberculosa

yang mengenai tulang vertebra.


B. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus). Bakteri yang
paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis, walaupun spesies
Mycobacterium yang lainpun dapat juga bertanggung jawab sebagai penyebabnya, seperti
Mycobacterium africanum (penyebab paling sering tuberkulosa di Afrika Barat), bovine
tubercle baccilus, ataupun non-tuberculous mycobacteria (banyak ditemukan pada penderita
HIV).

C. Patogenesa
Patogenesa penyakit ini sangat tergantung dari kemampuan bakteri menahan cernaan
enzim lisosomal dan kemampuan host untuk memobilisasi immunitas seluler. Jika bakteri
tidak dapat diinaktivasi, maka bakteri akan bermultiplikasi dalam sel dan membunuh sel itu.
Komponen lipid, protein serta polisakarida sel basil tuberkulosa bersifat immunogenik,
sehingga akan merangsang pembentukan granuloma dan mengaktivasi makrofag. Beberapa
antigen yang dihasilkannya juga dapat juga bersifat immunosupresif.

Virulensi basil tuberkulosa dan kemampuan mekanisme pertahanan host akan


menentukan perjalanan penyakit. Pasien dengan infeksi berat mempunyai progresi yang cepat
; demam, retensi urine dan paralisis arefleksi dapat terjadi dalam hitungan hari. Respon
seluler dan kandungan protein dalam cairan serebrospinal akan tampak meningkat, tetapi
basil tuberkulosa sendiri jarang dapat diisolasi. Pasien dengan infeksi bakteri yang kurang
virulen akan menunjukkan perjalanan penyakit yang lebih lambat progresifitasnya, jarang
menimbulkan meningitis serebral dan infeksinya bersifat terlokalisasi dan terorganisasi.
Patofisiologi Spondilitis TB

D. Patologi
Tuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena penyebaran hematogen atau
penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta atau melalui jalur limfatik ke tulang dari
fokus tuberkulosa yang sudah ada sebelumnya di luar tulang belakang. Pada penampakannya,
fokus infeksi primer tuberkulosa dapat bersifat tenang. Sumber infeksi yang paling sering
adalah berasal dari sistem pulmoner dan genitourinarius.
Pada anak-anak biasanya infeksi tuberkulosa tulang belakang berasal dari fokus
primer di paru-paru sementara pada orang dewasa penyebaran terjadi dari fokus
ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil). Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri intercostal
atau lumbar yang memberikan suplai darah ke dua vertebrae yang berdekatan, yaitu setengah
bagian bawah vertebra diatasnya dan bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui pleksus
Batson’s yang mengelilingi columna vertebralis yang menyebabkan banyak vertebra yang
terkena. Hal inilah yang menyebabkan pada kurang lebih 70% kasus, penyakit ini diawali
dengan terkenanya dua vertebra yang berdekatan, sementara pada 20% kasus melibatkan tiga
atau lebih vertebra.

Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra dikenal tiga bentuk spondilitis:

1. Peridiskal / paradiskal
Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di bawah
ligamentum longitudinal anterior / area subkondral). Banyak ditemukan pada orang
dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus. Terbanyak
ditemukan di regio lumbal.

2. Sentral
Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga disalahartikan
sebagai tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini sering menimbulkan kolaps
vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain sehingga menghasilkan deformitas
spinal yang lebih hebat. Dapat terjadi kompresi yang bersifat spontan atau akibat trauma.
Terbanyak di temukan di regio torakal.

3. Anterior
Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas dan
dibawahnya. Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped karena erosi di bagian
anterior dari sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini diduga disebabkan karena adanya
pulsasi aortik yang ditransmisikan melalui abses prevertebral dibawah ligamentum
longitudinal anterior atau karena adanya perubahan lokal dari suplai darah vertebral.

4. Bentuk atipikal
Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak dapat
diidentifikasikan. Termasuk didalamnya adalah tuberkulosa spinal dengan keterlibatan
lengkung syaraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis spinalis tanpa keterlibatan
tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina, prosesus transversus dan spinosus, serta lesi
artikuler yang berada di sendi intervertebral posterior. Insidensi tuberkulosa yang
melibatkan elemen posterior tidak diketahui tetapi diperkirakan berkisar antara 2%-10%.

Infeksi tuberkulosa pada awalnya mengenai tulang cancellous dari vertebra. Area
infeksi secara bertahap bertambah besar dan meluas, berpenetrasi ke dalam korteks tipis
korpus vertebra sepanjang ligamen longitudinal anterior, melibatkan dua atau lebih vertebrae
yang berdekatan melalui perluasan di bawah ligamentum longitudinal anterior atau secara
langsung melewati diskus intervertebralis. Terkadang dapat ditemukan fokus yang multipel
yang dipisahkan oleh vertebra yang normal, atau infeksi dapat juga berdiseminasi ke vertebra
yang jauh melalui abses paravertebral. Terjadinya nekrosis perkijuan yang meluas mencegah
pembentukan tulang baru dan pada saat yang bersamaan menyebabkan tulang menjadi
avascular sehingga menimbulkan tuberculous sequestra, terutama di regio torakal. Discus
intervertebralis, yang avaskular, relatif lebih resisten terhadap infeksi tuberkulosa.

Penyempitan rongga diskus terjadi karena perluasan infeksi paradiskal ke dalam


ruang diskus, hilangnya tulang subchondral disertai dengan kolapsnya corpus vertebra karena
nekrosis dan lisis ataupun karena dehidrasi diskus, sekunder karena perubahan kapasitas
fungsional dari end plate. Suplai darah juga akan semakin terganggu dengan timbulnya
endarteritis yang menyebabkan tulang menjadi nekrosis.

Destruksi progresif tulang di bagian anterior dan kolapsnya bagian tersebut akan
menyebabkan hilangnya kekuatan mekanis tulang untuk menahan berat badan sehingga
kemudian akan terjadi kolaps vertebra dengan sendi intervertebral dan lengkung syaraf
posterior tetap intak, jadi akan timbul deformitas berbentuk kifosis yang progresifitasnya
(angulasi posterior) tergantung dari derajat kerusakan, level lesi dan jumlah vertebra yang
terlibat. Bila sudah timbul deformitas ini, maka hal tersebut merupakan tanda bahwa penyakit
ini sudah meluas. Di regio torakal kifosis tampak nyata karena adanya kurvatura dorsal yang
normal; di area lumbar hanya tampak sedikit karena adanya normal lumbar lordosis dimana
sebagian besar dari berat badan ditransmisikan ke posterior sehingga akan terjadi parsial
kolaps; sedangkan di bagian servikal, kolaps hanya bersifat minimal, kalaupun tampak hal itu
disebabkan karena sebagian besar berat badan disalurkan melalui prosesus artikular. Dengan
adanya peningkatan sudut kifosis di regio torakal, tulang-tulang iga akan menumpuk
menimbulkan bentuk deformitas rongga dada berupa barrel chest.
Proses penyembuhan kemudian terjadi secara bertahap dengan timbulnya fibrosis
dan kalsifikasi jaringan granulomatosa tuberkulosa. Terkadang jaringan fibrosa itu
mengalami osifikasi, sehingga mengakibatkan ankilosis tulang vertebra yang kolaps.

Pembentukan abses paravertebral terjadi hampir pada setiap kasus. Dengan


kolapsnya korpus vertebra maka jaringan granulasi tuberkulosa, bahan perkijuan, dan tulang
nekrotik serta sumsum tulang akan menonjol keluar melalui korteks dan berakumulasi di
bawah ligamentum longitudinal anterior. Cold abcesss ini kemudian berjalan sesuai dengan
pengaruh gaya gravitasi sepanjang bidang fasial dan akan tampak secara eksternal pada jarak
tertentu dari tempat lesi

Aslinya.

Di regio lumbal abses berjalan sepanjang otot psoas dan biasanya berjalan menuju
lipat paha dibawah ligamen inguinal. Di regio torakal, ligamentum longitudinal menghambat
jalannya abses, tampak pada radiogram sebagai gambaran bayangan berbentuk fusiform
radioopak pada atau sedikit dibawah level vertebra yang terkena, jika terdapat tegangan yang
besar dapat terjadi ruptur ke dalam mediastinum, membentuk gambaran abses paravertebral
yang menyerupai ‘sarang burung’. Terkadang, abses torakal dapat mencapai dinding dada
anterior di area parasternal, memasuki area retrofaringeal atau berjalan sesuai gravitasi ke
lateral menuju bagian tepi leher(3).

Sejumlah mekanisme yang menimbulkan defisit neurologis dapat timbul pada pasien
dengan spondilitis tuberkulosa. Kompresi syaraf sendiri dapat terjadi karena kelainan pada
tulang (kifosis) atau dalam canalis spinalis (karena perluasan langsung dari infeksi
granulomatosa) tanpa keterlibatan dari tulang (seperti epidural granuloma, intradural
granuloma, tuberculous arachnoiditis). Salah satu defisit neurologis yang paling sering terjadi
adalah paraplegia yang dikenal dengan nama Pott’s paraplegia. Paraplegia ini dapat timbul
secara akut ataupun kronis (setelah hilangnya penyakit) tergantung dari kecepatan
peningkatan tekanan mekanik kompresi medula spinalis. Pada penelitian yang dilakukan
Hodgson di Cleveland, paraplegia ini biasanya terjadi pada pasien berusia kurang dari 10
tahun (kurang lebih 2/3 kasus) dan tidak ada predileksi berdasarkan jenis kelamin untuk
kejadian ini.

E. Pott’s Paraplegia
Sorrel-Dejerine mengklasifikasikan Pott’s paraplegia menjadi:
1. Early onset paresis
Terjadi kurang dari dua tahun sejak onset penyakit

2. Late onset paresis


Terjadi setelah lebih dari dua tahun sejak onset penyakit

Sementara itu Seddon dan Butler memodifikasi klasifikasi Sorrel menjadi tiga tipe:

1. Type I (paraplegia of active disease) / berjalan akut


Onset dini, terjadi dalam dua tahun pertama sejak onset penyakit, dan dihubungkan
dengan penyakit yang aktif. Dapat membaik (tidak permanen).

2. Type II
Onsetnya juga dini, dihubungkan dengan penyakit yang aktif, bersifat permanen
bahkan walaupun infeksi tuberkulosa menjadi tenang. Penyebab timbulnya paraplegia
pada tipe I dan II dapat disebabkan oleh karena :

a. Tekanan eksternal pada korda spinalis dan duramater


Dapat disebabkan oleh karena adanya granuloma di kanalis spinalis, adanya
abses, material perkijuan, sekuestra tulang dan diskus atau karena subluksasi atau
dislokasi patologis vertebra. Secara klinis pasien akan menampakkan kelemahan alat
gerak bawah dengan spastisitas yang bervariasi, tetapi tidak tampak adanya spasme
otot involunter dan reflek withdrawal.

b. Invasi duramater oleh tuberkulosa


Tampak gambaran meningomielitis tuberkulosa atau araknoiditis
tuberkulosa.Secara klinis pasien tampak mempunyai spastisitas yang berat dengan
spasme otot involunter dan reflek withdrawal. Prognosis tipe ini buruk dan bervariasi
sesuai dengan luasnya kerusakan korda spinalis. Secara umum dapat terjadi
inkontinensia urin dan feses, gangguan sensoris dan paraplegia.

3. Type III / yang berjalan kronis


Onset paraplegi terjadi pada fase lanjut. Tidak dapat ditentukan apakah dapat
membaik. Bisa terjadi karena tekanan corda spinalis oleh granuloma epidural, fibrosis
meningen dan adanya jaringan granulasi serta adanya tekanan pada corda spinalis,
peningkatan deformitas kifotik ke anterior, reaktivasi penyakit atau insufisiensi vaskuler
(trombosis pembuluh darah yang mensuplai corda spinalis).

Klasifikasi untuk penyebab Pott’s paraplegia ini sendiri dijabarkan oleh Hodgson
menjadi :

I. Penyebab ekstrinsik :
a. Pada penyakit yang aktif
1. abses (cairan atau perkijuan)
2. jaringan granulasi
3. sekuester tulang dan diskus
4. subluksasi patologis
5. dislokasi vertebra
b. Pada penyakit yang sedang dalam proses penyembuhan
1. transverse ridge dari tulang anterior ke corda spinalis
2. fibrosis duramater
II. Penyebab intrinsik :
Menyebarnya peradangan tuberkulosa melalui duramater melibatkan meningen dan
corda spinalis.

III. Penyebab yang jarang :


a. Trombosis corda spinalis yang infektif
b. Spinal tumor syndrome
F. Penegakkan Diagnosa
Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa bervariasi dan tergantung pada banyak
faktor. Biasanya onset Pott's disease berjalan secara mendadak dan berevolusi lambat. Durasi
gejala-gejala sebelum dapat ditegakkannya suatu diagnosa pasti bervariasi dari bulan hingga
tahun; sebagian besar kasus didiagnosa sekurangnya dua tahun setelah infeksi tuberkulosa.

1. Anamnesa
a. Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan, keringat malam,
demam yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan malam hari serta
cachexia. Pada pasien anak-anak, dapat juga terlihat berkurangnya keinginan bermain
di luar rumah. Sering tidak tampak jelas pada pasien yang cukup gizi sementara pada
pasien dengan kondisi kurang gizi, maka demam (terkadang demam tinggi), hilangnya
berat badan dan berkurangnya nafsu makan akan terlihat dengan jelas.
b. Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah disertai
nyeri dada. Pada beberapa kasus di Afrika terjadi pembesaran dari nodus limfatikus,
tuberkel di subkutan, dan pembesaran hati dan limpa.
c. Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang menjalar.
Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak sebagai nyeri di daerah telingan
atau nyeri yang menjalar ke tangan. Lesi di torakal atas akan menampakkan nyeri
yang terasa di dada dan intercostal. Pada lesi di bagian torakal bawah maka nyeri
dapat berupa nyeri menjalar ke bagian perut. Rasa nyeri ini hanya menghilang dengan
beristirahat. Untuk mengurangi nyeri pasien akan menahan punggungnya menjadi
kaku.
d. Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah kaki
pendek, karena mencoba menghindari nyeri di punggung.
e. Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan kepalanya,
mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk dalam posisi dagu disangga
oleh satu tangannya, sementara tangan lainnya di oksipital. Rigiditas pada leher dapat
bersifat asimetris sehingga menyebabkan timbulnya gejala klinis torticollis. Pasien
juga mungkin mengeluhkan rasa nyeri di leher atau bahunya. Jika terdapat abses,
maka tampak pembengkakan di kedua sisi leher. Abses yang besar, terutama pada
anak, akan mendorong trakhea ke sternal notch sehingga akan menyebabkan kesulitan
menelan dan adanya stridor respiratoar, sementara kompresi medulla spinalis pada
orang dewasa akan menyebabkan tetraparesis (Hsu dan Leong 1984). Dislokasi
atlantoaksial karena tuberkulosa jarang terjadi dan merupakan salah satu penyebab
kompresi cervicomedullary di negara yang sedang berkembang. Hal ini perlu
diperhatikan karena gambaran klinisnya serupa dengan tuberkulosa di regio servikal
(Lal et al. 1992).
f. Infeksi di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku. Bila
berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi panggulnya. Saat
mengambil sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya sementara tetap mempertahankan
punggungnya tetap kaku (coin test). Jika terdapat abses, maka abses dapat berjalan di
bagian kiri atau kanan mengelilingi rongga dada dan tampak sebagai pembengkakan
lunak dinding dada. Jika menekan abses ini berjalan ke bagian belakang maka dapat
menekan korda spinalis dan menyebabkan paralisis.
g. Di regio lumbar : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak yang terjadi
di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui fistel dalam
pelvis dan mencapai permukaan di belakang sendi panggul. Pasien tampak berjalan
dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi dan menyokong tulang belakangnya dengan
meletakkan tangannya diatas paha. Adanya kontraktur otot psoas akan menimbulkan
deformitas fleksi sendi panggul.
h. Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit neurologis). Terjadi
pada kurang lebih 10-47% kasus. Insidensi paraplegia pada spondilitis lebih banyak di
temukan pada infeksi di area torakal dan servikal. Jika timbul paraplegia akan tampak
spastisitas dari alat gerak bawah dengan refleks tendon dalam yang hiperaktif, pola
jalan yang spastik dengan kelemahan otorik yang bervariasi. Dapat pula terjadi
gangguan fungsi kandung kemih dan anorektal.
i. Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai panas dan nyeri akut
seperti pada infeksi septik. Onset yang lambat dari pembengkakan tulang ataupun
sendi mendukung bahwa hal tersebut disebabkan karena tuberkulosa.

2. Pemeriksaan Fisik
a. Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi tulang belakang),
skoliosis, bayonet deformity, subluksasi, spondilolistesis, dan dislokasi.
b. Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit diatasnya
terasa sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan dengan abses piogenik
yang teraba panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat paha, fossa iliaka, retropharynx,
atau di sisi leher (di belakang otot sternokleidomastoideus), tergantung dari level lesi.
Dapat juga teraba di sekitar dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak ada hubungan
antara ukuran lesi destruktif dan kuantitas pus dalam cold abscess.
c. Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang terkena.
d. Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan diatas prosesus spinosusvertebrae
yang terkena, sering tampak tenderness. Pemeriksaan
3. Penunjang :
1. Laboratorium :
a. Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari
100mm/jam.
b. Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein Derivative
(PPD) positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisi pemaparan dahulu
maupun yang baru terjadi oleh mycobacterium. Tuberculin skin test ini dikatakan
positif jika tampak area berindurasi, kemerahan dengan diameter ³ 10mm di
sekitar tempat suntikan 48-72 jam setelah suntikan. Hasil yang negatif tampak
pada ± 20% kasus dengan tuberkulosis berat (tuberkulosis milier) dan pada pasien
yang immunitas selulernya tertekan (seperti baru saja terinfeksi, malnutrisi atau
disertai penyakit lain)
c. Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal), sputum dan
bilas lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan paru-paru yang aktif)
d. Apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang bersifat
relatif. Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-streptolysin
haemolysins, typhoid, paratyphoid dan brucellosis (pada kasus-kasus yang sulit
dan pada pusat kesehatan dengan peralatan yang cukup canggih) untuk
menyingkirkan diagnosa banding.
e. Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis tuberkulosa).
Normalnya cairan serebrospinal tidak mengeksklusikan kemungkinan infeksi
TBC. Pemeriksaan cairan serebrospinal secara serial akan memberikan hasil yang
lebih baik.
2. Radiologis
Gambarannya bervariasi tergantung tipe patologi dan kronisitas infeksi.

- Foto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari bukti adanya
tuberkulosa di paru (2/3 kasus mempunyai foto rontgen yang abnormal).
- Foto polos seluruh tulang belakang juga diperlukan untuk mencari bukti adanya
tuberkulosa di tulang belakang. Tanda radiologis baru dapat terlihat setelah 3-8
minggu onset penyakit.
- Jika mungkin lakukan rontgen dari arah antero-posterior dan lateral.
- Tahap awal tampak lesi osteolitik di bagian anterior superior atau sudut inferior
corpus vertebrae, osteoporosis regional yang kemudian berlanjut sehingga tampak
penyempitan diskus intervertebralis yang berdekatan, serta erosi corpus vertebrae
anterior yang berbentuk scalloping karena penyebaran infeksi dari area
subligamentous.
- Infeksi tuberkulosa jarang melibatkan pedikel, lamina, prosesus transversus atau
prosesus spinosus.
- Keterlibatan bagian lateral corpus vertebra akan menyebabkan timbulnya
deformita scoliosis (jarang)
- Pada pasien dengan deformitas gibbus karena infeksi sekunder tuberkulosa yang
sudah lama akan tampak tulang vertebra yang mempunyai rasio tinggi lebih besar
dari lebarnya (vertebra yang normal mempunyai rasio lebar lebih besar terhadap
tingginya). Bentuk ini dikenal dengan nama long vertebra atau tall vertebra,
terjadi karena adanya stress biomekanik yang lama di bagian kaudal gibbus
sehingga vertebra menjadi lebih tinggi. Kondisi ini banyak terlihat pada kasus
tuberkulosa dengan pusat pertumbuhan korpus vertebra yang belum menutup saat
terkena penyakit tuberkulosa yang melibatkan vertebra torakal.
- Dapat terlihat keterlibatan jaringan lunak, seperti abses paravertebral dan psoas.
Tampak bentuk fusiform atau pembengkakan berbentuk globular dengan
kalsifikasi. Abses psoas akan tampak sebagai bayangan jaringan lunak yang
mengalami peningkatan densitas dengan atau tanpa kalsifikasi pada saat
penyembuhan. Deteksi (evaluasi) adanya abses epidural sangatlah penting, oleh
karena merupakan salah satu indikasi tindakan operasi (tergantung ukuran abses).
3. Computed Tomography (CT Scan)
Terutama bermanfaat untuk memvisualisasi regio torakal dan keterlibatan iga yang
sulit dilihat pada foto polos. Keterlibatan lengkung syaraf posterior seperti pedikel
tampak lebih baik dengan CT Scan.

4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


- Mempunyai manfaat besar untuk membedakan komplikasi yang bersifat
kompresif dengan yang bersifat non kompresif pada tuberkulosa tulang belakang.
Bermanfaat untuk :
- Membantu memutuskan pilihan manajemen apakah akan bersifat konservatif atau
operatif.
- Membantu menilai respon terapi.
- Kerugiannya adalah dapat terlewatinya fragmen tulang kecil dan kalsifikasi di
abses.
Gambar 2.3. MRI Spondilitis TB
5. Neddle biopsi / operasi eksplorasi (costotransversectomi) dari lesi spinal mungkin
diperlukan pada kasus yang sulit tetapi membutuhkan pengalaman dan pembacaan
histologi yang baik (untuk menegakkan diagnosa yang absolut)(berhasil pada 50%
kasus).
6. Diagnosis juga dapat dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi pus paravertebral yang
diperiksa secara mikroskopis untuk mencari basil tuberkulosa dan granuloma, lalu
kemudian dapat diinokulasi di dalam guinea babi.
G. Manajemen terapi
Tujuan terapi pada kasus spondilitis tuberkulosa adalah :

1. Mengeradikasi infeksi atau setidaknya menahan progresifitas penyakit


2. Mencegah atau mengkoreksi deformitas atau defisit neurologis. Untuk mencapai tujuan
itu maka terapi untuk spondilitis tuberkulosa terbagi menjadi
A. TERAPI KONSERVATIF
1. Pemberian nutrisi yang bergizi
2. Pemberian kemoterapi atau terapi anti tuberkulosa
Pemberian kemoterapi anti tuberkulosa merupakan prinsip utama terapi pada
seluruh kasus termasuk tuberkulosa tulang belakang. Pemberian dini obat
antituberkulosa dapat secara signifikan mengurangi morbiditas dan
mortalitas.Hasil penelitian Tuli dan Kumar dengan 100 pasien di India yang
menjalani terapi dengan tiga obat untuk tuberkulosa tulang belakang
menunjukkan hasil yang memuaskan. Mereka menyimpulkan bahwa untuk
kondisi negara yang belum berkembang secara ekonomi manajemen terapi ini
merupakan suatu pilihan yang baik dan kesulitan dalam mengisolasi bakteri
tidak harus menunda pemberian terapi. Adanya pola resistensi obat yang
bervariasi memerlukan adanya suatu pemantauan yang ketat selama pemberian
terapi, karena kultur dan uji sensitivitas terhadap obat anti tuberculosa memakan
waktu lama (kurang lebih 6-8 minggu) dan perlu biaya yang cukup besar
sehingga situasi klinis membuat dilakukannya terapi terlebih dahulu lebih
penting walaupun tanpa bukti konfirmasi tentang adanya tuberkulosa. Adanya
respon yang baik terhadap obat antituberculosa juga merupakan suatu bentuk
penegakkan diagnostik.
Resistensi terhadap obat antituberkulosa dapat dikelompokkan menjadi
- Resistensi primer : Infeksi dengan organisme yang resisten terhadap obat
pada pasien yang sebelumnya belum pernah diterapi. Resistensi primer
terjadi selalu terhadap satu obat baik itu SM ataupun INH. Jarang terjadi
resistensi terhadap RMP atau EMB(Glassroth et al. 1980). Regimen dengan
dua obat yang biasa diberikan tidak dapat dijalankan pada kasus ini.
- Resistensi sekunder Resistensi yang timbul selama pemberian terapi pasien
dengan infeks yang awalnya masih bersifat sensitif terhadap obat tersebut.
The Medical Research Council telah menyimpulkan bahwa terapi pilihan
untuk tuberkulosa spinal di negara yang sedang berkembang adalah
kemoterapi ambulatori dengan regimen isoniazid dan rifamipicin selama 6 –
9 bulan. Pemberian kemoterapi saja dilakukan pada penyakit yang sifatnya
dini atau terbatas tanpa disertai dengan pembentukan abses. Terapi dapat
diberikan selama 6-12 bulan atau hingga foto rontgen menunjukkan adanya
resolusi tulang. Masalah yang timbul dari pemberian kemoterapi ini adalah
masalah kepatuhan pasien. Durasi terapi pada tuberkulosa ekstrapulmoner
masih merupakan hal yang kontroversial. Terapi yang lama, 12-18 bulan,
dapat menimbulkan ketidakpatuhan dan biaya yang cukup tinggi, sementara
bila terlalu singkat akan menyebabkan timbulnya relaps. Pasien yang tidak
patuh akan dapat mengalami resistensi sekunder. Obat anti tuberkulosa yang
utama adalah isoniazid (INH), rifamipicin, (RMP), pyrazinamide (PZA),
streptomycin (SM) dan ethambutol (EMB). Obat antituberkulosa sekuder
adalah para-aminosalicylic acid (PAS), ethionamide, cycloserine, kanamycin
dan capreomycin.
3. Istirahat tirah baring (resting)
Terapi pasien spondilitis tuberkulosa dapat pula berupa local rest pada
turning frame / plaster bed atau continous bed rest disertai dengan pemberian
kemoterapi. Tindakan ini biasanya dilakukan pada penyakit yang telah lanjut
dan bila tidak tersedia keterampilan dan fasilitas yang cukup untuk melakukan
operasi radikal spinal anterior, atau bila terdapat masalah teknik yang terlalu
membahayakan.

Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips untuk melindungi tulang


belakangnya dalam posisi ekstensi terutama pada keadaan yang akut atau fase
aktif. Pemberian gips ini ditujukan untuk mencegah pergerakan dan mengurangi
kompresi dan deformitas lebih lanjut. Istirahat di tempat tidur dapat berlangsung
3-4 minggu, sehingga dicapai keadaan yang tenang dengan melihat tanda-tanda
klinis, radiologis dan laboratorium. Secara klinis ditemukan berkurangnya rasa
nyeri, hilangnya spasme otot paravertebral, nafsu makan dan berat badan
meningkat, suhu badan normal. Secara laboratoris menunjukkan penurunan laju
endap darah, Mantoux test umumnya < 10 mm. Pada pemeriksaan radiologis
tidak dijumpai bertambahnya destruksi tulang, kavitasi ataupun sekuester.

Pemasangan gips bergantung pada level lesi. Pada daerah servikal dapat
diimobilisasi dengan jaket Minerva; pada daerah vertebra torakal, torakolumbal
dan lumbal atas diimobilisasi dengan body cast jacket; sedangkan pada daerah
lumbal bawah, lumbosakral dan sakral dilakukan immobilisasi dengan body
jacket atau korset dari gips yang disertai dengan fiksasi salah satu sisi panggul.
Lama immobilisasi berlangsung kurang lebih 6 bulan, dimulai sejak penderita
diperbolehkan berobat jalan.

Terapi untuk Pott’s paraplegia pada dasarnya juga sama yaitu


immobilisasi di plaster shell dan pemberian kemoterapi. Pada kondisi ini
perawatan selama tirah baring untuk mencegah timbulnya kontraktur pada kaki
yang mengalami paralisa sangatlah penting. Alat gerak bawah harus dalam
posisi lutut sedikit fleksi dan kaki dalam posisi netral. Dengan regimen seperti
ini maka lebih dari 60% kasus paraplegia akan membaik dalam beberapa bulan.
Hal ini disebabkan oleh karena terjadinya resorpsi cold abscess intraspinal yang
menyebabkan dekompresi.

Seperti telah disebutkan diatas bahwa selama pengobatan penderita harus


menjalani kontrol secara berkala, dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis dan
laboratoris. Bila tidak didapatkan kemajuan, maka perlu dipertimbangkan hal-
hal seperti adanya resistensi obat tuberkulostatika, jaringan kaseonekrotik dan
sekuester yang banyak, keadaan umum penderita yang jelek, gizi kurang serta
kontrol yang tidak teratur serta disiplin yang kurang.

B. TERAPI OPERATIF
Sebenarnya sebagian besar pasien dengan tuberkulosa tulang belakang
mengalami perbaikan dengan pemberian kemoterapi saja (Medical Research
Council). Intervensi operasi banyak bermanfaat untuk pasien yang mempunyai lesi
kompresif secara radiologis dan menyebabkan timbulnya kelainan neurologis.
Setelah tindakan operasi pasien biasanya beristirahat di tempat tidur selama 3-6
minggu.

Tindakan operasi juga dilakukan bila setelah 3-4 minggu pemberian terapi
obat antituberkulosa dan tirah baring (terapi konservatif) dilakukan tetapi tidak
memberikan respon yang baik sehingga lesi spinal paling efektif diterapi dengan
operasi secara langsung dan tumpul untuk mengevakuasi “pus” tuberkulosa,
mengambil sekuester tuberkulosa serta tulang yang terinfeksi dan memfusikan
segmen tulang belakang yang terlibat.

Selain indikasi diatas, operasi debridement dengan fusi dan dekompresi juga
diindikasikan bila :

1. Diagnosa yang meragukan hingga diperlukan untuk melakukan biopsi.


2. Terdapat instabilitas setelah proses penyembuhan
3. Terdapat abses yang dapat dengan mudah didrainase
4. Untuk penyakit yang lanjut dengan kerusakan tulang yang nyata dan mengancam
atau kifosis berat saat ini
5. Penyakit yang rekuren

1. Tachdjian, M.O. Tuberculosis of the spine. In : Pediatric Orthopedics.2nd ed.


Philadelphia : W.B. Saunders, 2000 : 1449-54
2. Graham JM, Kozak J. Spinal Tuberculosis. In : Hochschuler SH, Cotler HB, Guyer RD.,
editor. Rehabilitation Of The Spine : Science and Practice. St. Louis : Mosby-Year Book,
Inc., 2003 : 387-90.
 Spondilodisitis (Nurin Kamila – 152010101056)

Definisi
Spondylodiscitis adalah infeksi pada diskus intervertebralis dan corpus vertebra yang
berdekatan karena masuknya piogen, yang bisaanya melalui jalur hematogen.
Patogenesis
a. Melewari aliran darah ( hematogenic)
Bakeri dapat masuk kedalam tubuh secara langsung dengan adanya trauma tembus atau
dengan penyebaran secara hematogen dari infeksi yang berada jauh dari tulang belakang
kemudian menyebarkan patogen menuju tulang belakang.
b. Melewati aliran getah bening ( lymphogeneric)
c. Melalui sebuah infeksi pada luka sesudah operasi (iatrogenic)
Ketika masuk dalam tubuh manusia, bakteri tersebut bisa menyerang ke organ mana
pun. Sepanjang ada aliran darah, bakteri bisa menyerang persendian, tulang, atau bahkan
otak..Jenis tulang yang biasanya diserang mikrobakterium tuberkulosis umumnya merupakan
tulang-tulang besar yang menjadi penopang tubuh, seperti tulang belakang, tulang pinggul,
tulang bokong, tulang bahu, termasuk persendian serta kaki.

Mikroorganisme Penyebab
Staphylococci, 39%
 Staphylococcus aureus, 36%
 Staphylococcus epidermis, 3%
Gram-negative bacteria, 39%
 Escherichia coli, 23%
 Pseudomonas aeruginosa, 5%
 Eikenella corrodens, 3%
 Proteus mirabilis, 3%
Streptococci, 19%
 Streptococcus sanguis, 8%
 Streptococcus agalactiae, 5%
Manifestasi Klinis
a. Sakit punggung akibat pergerakan dan tekanan
b. Kebisaaan saat duduk perlu diamati, lebih nyaman pada sisi yang sehat
c. Nekrosis pada diskus invertebralis dan korpus vertebra.
d. Pembengkakan setempat (abscess); abses psoas, jaringan lunak sekitar tulang
belakang.
Pemeriksaan Penunjang
Pencitraan:
1. X-ray
2. CT-scan
3. MRI
Peran Pencitraan yaitu:
 Untuk membantu diagnosis dini dan menentukan area yang terkena spondylodiscitis
serta apakah infeksi telah menyebar ke bagian tulang belakang, diskus, ruang
epidural maupun jaringan lunak.
 Untuk mendeteksi komplikasi neurologis (kompresi) atau komplikasi infeksi (abses)
yang bermanfaat untuk intervensi bedah atau perkutaneous.
Tata Laksana
Pengobatan konservatif termasuk antibiotik, NSAID, istirahat, fisioterapi, dan penggunaan
korset.Memakai korset dalam jangka waktu 6-10 minggu. Peran fisioterapi meliputi terapi
pemulihan fungsi (kekuatan, stabilitas koordinasi, mobilitas) jika perlu. Latihan yang dapat
meningkatkan kekuatan otot dan koordinasi penting dilakukan, dan stabilitas punggung.
Terapi konservatif ini dapat dipertimbangkan jika gejala klinis dan kerusakan yang relatif
ringan atau risiko operasi terlalu besar.

Sumber:
Sobottke, R. et all. 2008. Current Diagnosis and Treatment of Spondylodiscitis. Dtsch Arztebl
Int. doi: 10.3238/arztebl.2008.0181 [https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2696793/]
 Tenositis Supuratif (Mutiara Aprilina M - 152010101079)
1. Pengertian
Tenosinovitis merupakan inflamasi yang terjadi pada tendon dan seludang yang
membungkusnya yg disebut tendon sheath. tendon sheath ini terdir atas 2 lapisan yaitu
lapisan sinovial sheath dan fibrous tendon sheath. Tenosinovitis umumnya tejadi pada otot-
otot flexor pada legan bawah, tepatnya pada kompartemen tertutup yang menyebar dari
distal palmar hingga distal interphalangeal joint (DIP). Dari jari 1 hingga jari ke-5, meluas
bursa ulna dan radial yang membungkus tendon fleksor pada telapak tangan dan
pergelangan.

2. Etiologi
Mayoritas tenosinovitis diakibatkan oleh infeksi benda tajam memalui luka tusuk,
hampir tidak ada laporan yang menunjukan insidensi tenosinovitis akibat penularan secama
hematogen. Mayoritas organisme yang menyebabkan tenosinovitis yaitu Staphylococcus
aureus dan Streptococcus sp. Berikut adalah organisme yang dapat ditemukan pasca gigitan
atau kontak dari organisme tersebut:
a. Pasteurella multocida ditemukan pada luka pasca 24 jam gigitan kucing
b. Eikenella corrodens ditemukan pada luka akibat gigitan manusia (setelah
Staphylococcus aureus dan Streptococcus sp.)
c. Capnocytophaga canimorsus ditemukan pasca gigitan anjing
d. Vibrio vulnificus ditemukan pasca sengatan binatan laut
3. Patofisiologi
Trauma tajam yang terjadi akan menyebabkan aktifnya sistem imun tubuh
sehingga terjadi migrasi sel mediator inflamasi di tempat trauma. Infeksi bakteri juga akan
memperparah proses inflamasi dan menyebabkan proses swelling menjadi parah. Proses
swelling tersebut menyebabkan oklusi pada arteri sekitar sehingga terjadi nekrosis jaringan.
4. Diagnosis
Diagnosis dapat dilakukan dengan menggunakan USG. Pada pemeriksaan USG
tampak efusi pada tendo dan abses pada daerah sekitar trauma tajam.
5. Gejala

Gejala tenosinovitis tampak seperti inflamasi biasa, yaitu calor, dolor, rubor, tumor,
dan functio laesa. Namun, ada tanda khusus yang disebut sebagai KANAVEL’S SIGN:
a. Jari tampak fleksi
b. Tampak sakit dan rapuh pada bagian tendon sheath yang terinfeksi
c. Sakit apabila jari diekstensikan secara pasif
d. Sakit apabila difleksikan secara aktif
6. Tatalaksana
a. Awal
Tatalaksana awal dengan cara mengelevasi dan membebat daerah yang mengalami
trauma. Dilakukan pemberian antibiotik penicillin secara intavena atau sefalosporin
secara oral lalu dievaluasi selama 24 jam.
b. Tindakan Bedah
Pembedahan atau insisi dilakukan apabila tidak ada perbaikan selama 24 jam pasca
tatalaksana awal. Luka diinsisi pada bagian distal dan proksimal lalu diirigasi
menggunakan ringer laktat. Setelah pembedahan, luka dibebat kembali dan untuk
perawatan dilakukan irigasi menggunakan 20 ml saline 3-4 kali perhari selama 2
minggu.
7. Komplikasi
Komplikasi apabila diabaikan yaitu terjadi perluasan infeksi hingga ke bagian
proksimal tangan (pergelangan tangan) dan dapat menekan dari N. Medianus.

Referensi : Apley's System of Orthopaedics and Fractures 9th ed


 Ulkus Tungkai (Muhammad Fikri Udin -152010101035 dan Sixma Rizky Kurnia
Putri-152010101073)
a. Pengertian

Ulkus kaki ialah keruakan di kulit kaki, yang memungkinkan udara dan bakteri
masuk ke jaringan di bawahnya. Hal ini biasanya disebabkan oleh luka, seringkali yang
kecil yang merusak kulit. Pada kebanyakan orang cedera seperti itu akan sembuh tanpa
kesulitan dalam satu atau dua minggu. Namun, bila ada masalah, mendasar kulit tidak
sembuh dan area kerusakan bisa bertambah dalam ukuran. Luka jenis ini disebut ulkus
kaki kronis

b. Pembagian
Pembagian ulkus kruris dibagi ke dalam 4 golongan, yaitu :

 Ulkus tropikum
Ulkus yang cepat berkembang dan nyeri, biasanya pada tungkai bawah, lebih sering
ditemukan pada anak-anak kurang gizi di daerah tropik. Penyebab pasti belum
diketahui secara pasti. Ada tiga faktor yang memegang peranan penting dalam
menimbulkan penyakit ini, yaitu trauma, hygiene dan gizi serta infeksi oleh kuman
Bacillus fusiformis yang biasanya bersama dengan Borrelia vincentii.
Manifestasi klinis :
Biasanya mulai dengan luka kecil, kemudian terbentuk papula yang dengan cepat
meluas menjadi vesikel. Vesikel kemudian pecah dan terbentuklah ulkus kecil.
Setelah ulkus diinfeksi oleh kuman, ulkus meluas ke samping dan ke dalam dan
memberi bentuk khas ulkus tropikum.

 Ulkus Varikosum
Ulkus pada tungkai bawah yang disebabkan oleh gangguan aliran darah vena.
Penyebabnya secara garis besar dapat dibagi menjadi dua yaitu, berasal dari pembuluh
darah seperti thrombosis atau kelainan katup vena dan yang berasal dari luar
pembuluh darah seperti bendungan di daerah proksimal tungkai bawah oleh karena
tumor di abdomen, kehamilan, dan pekerjaan yang lebih banyak berdiri.
Manifestasi klinis :
Tanda yang khas adalah edema. Keluhan lain adalah kaki terasa pegal, gatal, rasa
terbakar, tidak nyeri dan berdenyut.

 Ulkus Arteriosum
Ulkus yang terjadi akibat gangguan peredaran darah arteri. Penyebab yang paling
sering adalah atheroma yang terjadi pada pembuluh darah abdominal dan tungkai,
disamping penyebab lain yang belum diketahui secara pasti.
Manidestasi klinis :
Ulkus yang timbul biasanya dalam, berbentuk plong (punched out), kotor tepi ulkus
jelas. Rasa nyeri merupakan gejala penting pada penyakit arteri, rasa nyeri ini terasa
lebih hebat pada malam hari, dapat timbul mendadak atau perlahan-lahan, terus
menerus atau hilang timbul. Bila tungkai diangkat atau keadaan dingin, rasa nyeri
bertambah hebat, sehingga bila tidur penderita lebih suka menggantung kakinya.

 Ulkus Neutrofik
Ulkus yang terjadi karena tekanan atau trauma pada kulit yang anestetik.
Penyebabnya karena kerusakan saraf terjadi neuropati perifer yang berakibat
hilangnya rasa nyeri (anestesi).
Manifestasi klinis :
Ulkus paling sering terjadi pada kaki, di daerah yang paling kuat terkena tekanan,
yaitu tumit dan metatarsal, umumnya tunggal atau multiple. Bentuk ulkus bulat, tidak
nyeri, berisi jaringan nekrotik, biasanya kering, kulit di sekeliling ulkus hiperkeratotik
(kalus). Ulkus dapat sampai di subkutis membentuk sinus, bahkan mengenai tulang,
dan dapat mengalami infeksi sekunder.

c. Penyebab

Masalah mendasar yang paling umum menyebabkan ulkus kaki kronis adalah
penyakit vena pada kaki. Penyakit vena adalah alasan utama untuk lebih dari dua
pertiga dari semua ulkus kaki.

 Penyakit Vena (yang disebabkan oleh pembuluh darah tidak bekerja) - sekitar 80%
 ulkus kaki Penyakit arteri (disebabkan oleh arteri tidak bekerja) - sekitar 15% ulkus
tungkai
 Penyebab lainnya (termasuk diabetes dan rheumatoid arthritis serta beberapa
kondisi langka) - sekitar 5% ulkus tungkai

Dalam beberapa kasus, dua atau lebih kondisi dapat menyebabkan kerusakan pada saat
bersamaan. Dokter Anda akan memeriksa Anda dan melakukan beberapa tes untuk
melihat jenis maag Anda. Saran berikut ini berlaku untuk bisul vena dan mungkin tidak
sesuai untuk jenis ulkus lainnya.

d. Patofisiologi

Vena di kaki Anda adalah tabung yang membawa darah kembali dari kaki ke
jantung Anda. Vena di kaki Anda memiliki katup satu arah yang memastikan darah
mengalir ke atas kaki dan tidak turun kembali. Pada beberapa orang, katup ini tidak
terlalu efektif atau bisa rusak akibat trombosis (gumpalan) di pembuluh darah. Jika
katupnya rusak, darah bisa mengalir dengan cara yang salah ke pembuluh darah, yang
berakibat pada tekanan yang sangat tinggi pada pembuluh darah saat berdiri. Tekanan
vena yang tidak normal ini menyebabkan kerusakan pada kulit dan menyebabkan ulkus.

e. Faktor Resiko
 Usia di atas 65 tahun
 Punya riwayat beberapa penyakit metabolik
 Obesitas

f. Temuan Klinis
 Ulkus Arteri
Biasanya berlokai pada bagian distal dan dorsal kaki atau jari. Dasar ulus
tampak adanya warna keabu-abuan, jaringan granulasi yang tidak normal.
Ketika dilakukan tindakan invasif sedikit perdarahan. Pasien biasanya akan
mengalami nyeri pada malam hari. Pada bagian luka tidak ditumbuhi rambut,
tidak adanya pulsasi dan kulit berbentuk pale skin.

 Ulkus Vena
Ulkus vena biasanya sering terjadi pada bagian “gaiter” (di atas maleolus
sampai bawah lutut) baik lateral ataupun medial. Ukuran ulkus paling besar
namun berdasar dangkal. Ketika dilakukan tindakan invasif akan banyak
perdarahan. Pasien akan merasakan nyeri dan mereda ketika kakinya di-
elevasi.

g. Terapi
 Elevasikan kaki untuk mengontol tekanan dari vena.
 Berikan antibiotik sistemik untuk mencegah infeksi sekuder
b. Penyakit Degeneratif
 Artritis (Eko Dakholal Firdaus-152010101128)

Definisi: merupakan peradangan yang terjadi pada sendi. Paling sering adalah osteoarthritis
dan rheumatoid arthritis

Epidemiologi: sering terjadi. Biasanya terjadi lebih banyak pada wanita daripada pria.
Arthritis bisa mempengaruhi usia berapapun, bahkan pada anak-anak juga bisa terserang
juvenile idiophatic arthritis

Gejala:

- Nyeri sendi
- Kekakuan dan pembengkakan pada sendi
- Peradangan pada daerah sekitar sendi

Etiologi: karena terjadi peradangan pada tulang rawan

- Osteoarthritis: terjadi karena rusaknya atau robeknya tulang rawan sendi yang
mengakibatkan tulang saling bergesekan langsung dan menyebabkan rasa sakit
- Rheumatoid arthritis: terjadi karena autoimun. Sistem kekebalan tubuh menyerang
lapisan synovial pada sendi sehingga terjadi proses inflamasi

Faktor Resiko:

- Trauma/terjadi cedera sebelumnya


- Obesitas (tubuh menjadi lebih banyak menahan tekanan pada sendi)
- Faktor stressor (beban) yang berat

Diagnosis:
- X-ray: untuk mengetahui kerusakan yang terjadi pada tulang rawan
- Ct-Scan: memvisualisasikan jaringan lunak di sekitar tulang
- MRI: memberi gambaran lebih rinci pada tulang

Tata Laksana:

- Non Farmako: diet dan olahraga teratur untuk menjaga fleksibilitas sendi. Berenang
adalah olahraga yang paling disarankan karena tidak memberi tekanan pada sendi
- Farmako: digunakan analgesic bisa berupa NSAID maupun kortikosteroid
- Bedah: dalam kasus parah bisa dilakukan bedah diantaranya adalah Arthoplasti
(pergantian sendi dengan sendi buatan), Arthodosis (penggabungan sendi sampai
sembuh dan tidak terjadi keluhan), serta osteotomi

Sumber: emedicine.medscape.com
 Osteoartritis (Ika Rizki Muhinda Putri – 152010101078)
a. Definisi
Osteoartritis merupakan penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan kerusakan
kartilago. Penyakit ini berjalan kronis dan progresif. Sendi yang paling sering terkena
diantaranya yaitu sendi vertebra, panggul, lutut, dan pergelangan kaki. Sendi-sendi
tersebut merupakan sendi penahan berat tubuh.
b. Faktor Risiko
Beberapa keadaan yang dapat meningkatkan terjadinya osteoartritis antara lain
1. Umur
Osteoartritis lebih banyak mengenai pada usia lebih dari 60 tahun. Kasus pada usia 40
tahun sangat jarang dijumpai.
2. Jenis kelamin
Sebelum usia menopause angka kejadian osteoartritis antara laki-laki dan perempuan
hampir sama. Namun, setelah usia menopause penderita perempuan lebih banyak
dibandingkan laki-laki.
3. Genetik
4. Kegemukan dan penyakit metabolik seperti diabetes melitus, hipertensi, dll
5. Cedera sendi yang berakhir pada inflamasi.
Mediator inflamasi yang berperan dalam proses osteoartritis ini antara lain IL-1, IL-6,
dan TNF. Mediator tersebut memiliki sifat meningkatkan proteolisis dan menghambat
pembentukan kartilago.
c. Patofisiologi
Gambar 1. Fungsi kondrosit
Kartilago terdiri dari sel kondrosit yang dikelilingi oleh membran ekstraseluler.
Membran ekstraseluler ini terdiri dari kolagen tipe 2 dan proteoglikan yang memberikan
elastisitas pada kartilago tersebut. Kartilago memiliki dua enzim yang bekerja secara
berlawanan yaitu enzim untuk degradasi (aktivitas katabolik) dan enzim untuk sintesis
kartilago (aktivitas anabolik).
Osteoartritis terjadi ketika faktor-faktor risiko yang telah disebutkan di atas,
memengaruhi enzim degradatif. Enzim ini akan melakukan degradasi pada kartilago
melalui kehilangan proteoglikan dan kolagen. Kehilangan proteoglikan dan kolagen ini
nantinya akan menyebabkan rusaknya kartilago artikular pada sendi.

Gambar 2. Mekanisme apoptosis pada kondrosit


Adanya kerusakan pada kartilago artikular akan memberikan sinyal pada kondrosit
tersebut untuk melakukan perbaikan pada kartilago. Kondrosit akan melakukan sintesis
kartilago dengan sedikit proteoglikan dan banyak kolagen tipe 2. Namun, kolagen tipe 2
ini lama kelamaan akan digantikan oleh kolagen tipe 1. Ikatan antara kolagen tipe 1 dan
proteoglikan ini akan mengurangi elastisitas dari kartilago. Kemudian setelah bertahun-
tahun, kondrosit akan mengalami apoptosis sehingga kartilago semakin melemah,
elastisitasnya semakun berkurang, dan akhirnya akan ada beberapa bagian yang terlepas
ke ruang sinovial. Kartilago yang terlepas ke ruang sinovial ini disebut dengan joint mice.
Gambar 3. Mekanisme inflamasi pada sinovium
Joint mice nantinya akan ditangkap oleh sel tipe A yang ada di permukaan membran
sinovial. Penangkapan ini nantinya akan merekruit limfosit dan makrofag untuk datang ke
membran sinovial. Limfosit dan makrofag akan menginduksi produksi pro-inflammatory
cytokines yang nantinya menyebabkan inflamasi pada sinovium atau disebut dengan
sinovitis.

Gambar 4. Bone eburnation dan osteophytes


Lama kelamaan kartilago akan mengalami fibrilasi, semakin menipis, dan lama-lama
bisa menghilang. Ketika kartilago semakin menipis maka gesekan antar tulang akan terjadi
karena bantalan kartilago yang sebelumnya mencegah gesekan antar tulang semakin
menipis dan hilang. Gesekan ini akan menyebabkan bone eburnation. Tulang nantinya
akan tumbuh ke bagian luar yang disebut dengan osteophytes. Osteophytes ini biasanya
dapat dilihat jelas pada sendi distal jari-jari tangan (Heberden nodes) dan proximal jari-jari
tangan (Bouchard nodes).
d. Manifestasi klinis
1. Nyeri sendi yang biasanya bertambah ketika beraktivitas dan berkurang ketika istirahat
2. Kekakuan sendi, yang biasanya terjadi pagi hari setelah imobilisasi ketika tidur.
Biasanya kaku sendi ini terjadi kurang dari 30 menit. Jika terjadi lebih lama bahkan
lebih dari 1 jam maka dapat dikategorikan sebagai kaku sendi akibat reumatoid artritis.
3. Krepitasi. Hal ini terjadi karena adanya gesekan langsung antara tulang dan tulang.
4. Pembesaran sendi.
e. Diagnosis
- Pemeriksaan fisik didapatkan adanya hambatan gerak sendi, krepitasi, dan
pembengkakan sendi asimetris
- Pemeriksaan radiologi.
Pemeriksaan radiologi dilakukan dengan posisi ketika sendi tengah menyangga berat
tubuh, contohnya saat berdiri. Dari pemeriksaan radiologi biasanya ditemukan
gambaran berupa
 Penyempitan celah sendi
 Peningkatan densitas tulang subkondral
 Osteofit pada pinggir sendi
 Perubahan struktur anatomi sendi
Gambar 5. Perbandingan gambaran radiologis pada sendi normal dan sendi yang terkena
osteoartritis
f. Tatalaksana
Tatalaksana osteoartritis terdiri dari terapi non-farmakologis, farmakologis, dan
bedah. Terapi non-farmakologis dan farmakologis dilakukan secara berkesinambungan.
- Terapi non-farmakologi
1. Edukasi
2. Fisioterapi, untuk melatih pasien agar sendi tetap dapat digerakkan dengan latihan
range of motion (ROM), terapi okupasi, dan lain-lain.
3. Penurunan berat badan untuk mengurangi tekanan akibat berat badan pada sendi.
- Terapi farmakologi dan bedah
Berikut ini merupakan algoritma tatalaksana osteoartritis menurut European Society for
Clinical and Economic Aspects of Osteoporosis and Osteoarthritis (ESCEO).
Sumber :
Soeroso, J., Isbagio, H., Kalim, H., Broto, R., dan Pramudiyo, R. 2015. Osteoartritis. Dalam:
Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A. W., Simadibrata K, M., Setiyohadi, B., dan Syam, A. F.
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, Edisi Keenam. Jakarta: InternaPublishing
Bruyere, O., Cooper, C., Pelletier, J, et al. 2014. An algorithm recommendation for the
management of knee osteoarthritis in Europe and internationally: A report from a task
force of the European Society for Clinical and Economic Aspects of Osteoporosis and
Osteoarthritis (ESCEO). Elsevier, 44(3), hal. 253-263
Osmosis. 2016. Osteoarthritis – causes, symptoms, diagnosis, treatment, & pathology.
Youtube. 7 menit.
c. Penyakit Metabolik
 Osteomalasia (Emda Zein Cik Fitria -152010101119)

Osteomalasia merupakan kelainan akibat tidak sempurnanya mineralisasi tulang baru


yang masih dalam bentuk osteoid pada tempat turnover tulang. Sebagian besar osteomalasia
terjadi melalui mekanisme akibat hipokalsemia, hipofosfatemia atau hamatan langsung proses
mineralisasi.
Osteomalasia ditandai oleh gangguan mineralisasi di matriks tulang. Kalsium, fosfat
dan vitamni D dibutuhkan dalam mineralisasi tulang. Normalnya kadar kalsium dan hormon
paratiroid (PTH) berbanding terbalik. Sedikit penurunan kadar kalsium serum akan
meningkatkan pelepasan PTH yang akan meningkatkan reabsorbsi kalsium di ginjal, ekskresi
fosfat di tubulus ginjal dan resorpsi kalsium dari tulang. Vitamin D diproduksi di kulit
dengan bantuan cahaya UV atau diabsorbsi dari diet di usus halus. Aktivasi vitamn D
menjadi 25-hydroxy vitamin D (25-OHD) terjadi pada hati dan menjadi 1,25-dihydroxy
vitamin D (1,25 (OH)2D) di tubulus proksimal ginjal. Kadar PTH yang tinggi dan
hipokalsemia menstimulasi enzim 1-hidroksilase ginjal untuk mengubah 25-OHD menjadi
1,25 (OH)2D yang meningkatkan absorbsi kalsium di usus halus.
Patogenesis
Proses mineralisasi tulang dan tulang rawan sangat kompleks, dimana kalsium dan
fosfat inorganik disimpan dalam matriks organik. Proses ini tergantung pada
 Ketersediaan kalsium dan fosfat di dalam cairan ekstra selular
 Fungsi metabolik dan transport yang adekuat di dalam kondrosit dan osteoblas dalam
meregulasi kadar kalsium, fosfat dan ion lainnya pada tempat mineralisasi.
 Tersedianya kolagen dalamjenis,jumlah dan distribusi tertentu.
 pH yang optimal untuk deposit kalsium-fosfat kompleks
 Rendahnya kadar inhibitor kalsifikasi pada matrik tulang.
Regulasi mineralisasi tulang yang memadai diperlukan dalam turnover tulang.
Osteomalasia bisa terjadi jika regulasi mineralisasi tulang tidak memadai meskipun kadar
kalsium dan fosfat normal. Pada beberapa penyakit, pengaruh perubahan pH , matrik kolagen
yang abnormal atau kosentrasi inhibitor kalsifikasi yang tinggi melatarbelakangi mineralisasi
tulang yang abnormal. Osteomalasia juga bisa terjadi pada keadaan hipofosfatemia yang lama
yang mungkin merupakan akibat dari ekskresi fosfat lewat ginjal yang berlebihan,
penggunaan etidronat atau antasida pengikat fosfat dalam jangka lama.
Gejala dan Tanda
Osteomalasia kadang asimtomatik dan tampak secara radiologis sebagai osteopenia,
namun juga dapat muncul dengan gejala khas, termasuk nyeri tulang difus, poliartralgia,
kelemahan otot dan kesulitan berjalan. Dalam sebuah laporan dari 17 pasien dengan
osteomalasia pada biopsi tulang, temuan berikut dapat diamati:
 Nyeri tulang dan kelemahan otot pada 84% pasien
 Tulang yang rapuh pada 84% pasien
 Patah tulang pada 76% pasien
 Kesulitan berjalan dan tertatih-tatih pada 24% pasien
 Kaku otot, kram, tanda Chvostek's positif, kesemutan/ mati rasa pada 6-12% pasien
Aktivitas mineralisasi matrik pada osteomalasia secara biokimia lebih rendah
dibanding tulang normal, sehingga pasien dengan defisiensi vitamin D cenderung mengalami
tulang bengkok dan patah akibat menahan beban.
Etiologi
Penyebab dari osteomalasia adalah sebagai berikut:
1. Defisiensi atau disfungsi vitamin D
 Kurangnya persediaan
- Defisit nutrisi
- Kurangnya terpapar sinar ultraviolet
- Malabsorpsi (gastrointestinal atau penyakit empedu, operasi reseksi usus)
 Perubahan metabolisme
- Menurunnya 25-hydroxy vitamin D dari liver atau akibat penyakit di saluran
cerna, sindrom nefrotik dan obat anti kejang.
- Menurunnya 1,25-dihydroxyvitamin D karena penyakit ginjal.
- Gangguan metabolism Vitamin D terkait rickets tipe I
 Perubahan aksi pada jaringan target
- Gangguan metabolism Vitamin D-terkait rickets tipe II
2. Defisiensi fosfat
 Menurunnya ketersediaan terkait penurunan diit fosfat atau diikat antasid
 Penurunan reabsorpsi fosfat di tubulus ginjal.
 Osteomalasia onset dewasa akibat resistensi vitamin D
 Osteomalasia didapat akibat hipofosfatemia, misalnya fosfat diabetes dan onkogenik
osteomalasia
 Kelainan tubulus ginjal secara umum.
3. Asidosis
 Asidosis akibat kelainan tubulus ginjal
 Ureterosigmoidostomi
 Asidosis akibat acetazolamide
4. Kelainan mineralisasi lainnya
 Hambatan mineralisasi fluoride, penggunaan bifosfonat, gagal ginjal kronik
 Hipofosfatasia
Diagnosis
Manifestasi klinis osteomalasia pada orang dewasa relatif tidak spesifik. Meskipun
perubahan radiografik khas seperti zona Looser dapat dilihat, namun osteomalasia paling
sering didiagnosis secara biokimia berdasarkan konsentrasi fosfat menurun dan alkali fosfat
meningkat. Pengukuran 25-0H-D memberikan konfirmasi bermanfaat tentang kekurangan
vitamin D, tetapi hal ini kadang normal (misalnya pada gagal ginjal kronik). Biopsi tulang di
krista iliaka harus dilakukan jika ada kesulitan diagnosis.
Gambaran Laboratorium yang biasa didapat:
 Alkali fosfatase serum meningkat pada 95 hingga 100 persen kasus
 Kalsium dan fosfor serum menurun pada 27 hingga 38 persen kasus
 Kalsium urin rendah pada 87 persen kasus
 25-hydroxy vitamin D kurang dari 15 ng/ml pada 100 persen kasus
 Peningkatan kadar PTH pada 100 persen kasus
Pada gambaran radiologi bisa didapatkan:
 Fraktur inkomplit (looser zone) adalah tanda klasik osteomalasia. Looser zone pada
radiografi tampak sebagai garis lusen yang menggambarkan unmineralisasi osteoid, pada
posisi tegak lurus dengan kortek tulang.
 Gambaran densitas yang rendah karena gangguan mineralisasi dan bisa mirip dengan
osteoporosis.
 Deformitas tulang dan epifise yang melebar.
Penatalaksanaan
Osteomalasia dapat diobati dengan cara sebagai berikut:
1. Kalsitriol atau alfacalcidol memberikan efek yang signifikan. Diit dan pemberian
vitamin D yang adekuat (1000 hingga 2000 IU/hari) diharapkan bisa mempercepat
penyembuhan tulang.
2. Pada kondisi malabsorpsi vitamin D
Pada penderita malabsorbsi vitamin D, sambil memperbaiki penyebab malabsorpsi,
dosis yang vitamin D sangat besar (50.000 IU sekali hingga tiga kali atau lebih tiap
minggu) mungkin dibutuhkan.
3. Pada kondisi hipofosfatemia dan kelainan absorpsi fosfat renotubular
Mineralisasi tulang terjadi dengan terapi fosfat dan 1,25 (OH)p dosis tinggi. Hal ini
dibutuhkan untuk mencegah hiperparatiroidisme terkait terapi fosfat. Pada penderita
insuffisiensi ataupun gagal ginjal, pengikat fosfat harus diminum sesudah makan
untuk menurunkan absorpsi fosfat di usus halus.
Pencegahan
Untuk mendapatkan sinar ultraviolet yang cukup maka muka, lengan, tangan dan
punggung harus terpapar sinar matahari tanpa tabir surya selama 15 menit setidaknya 2 kali
seminggu. Makanan alami sumber vitamin D seperti ikan, khususnya salmon, makerel,
minyak ikan dan sarden atau tuna kaleng sebaiknya dicukupi. Banyak susu sapi di pasaran
mengandung 400 IU vitamin D tiap liter, namun susu skim dan produk susu olahan lainnya
mengandung vitamin D lebih rendah. Pada orang-orang yang kurang terkena paparan sinar
matahari, direkomendasikan mengkonsumsi vitamin D 1000 IU perhari. Pasien yang
menerima terapi penitoin jangka lama harus diberikan vitamin D 50.000 IU tiap 2 hingga 4
minggu untuk profilaktif.
Prognosis
Kekurangan vitamin D akibat kurangnya asupan atau malabsorpsi biasanya berespon
dengan baik dengan terapi pengganti vitamin D. Osteomalasia yang terkait dengan gagal
ginjal kronik sulit untuk dikelola dan memerlukan terapi jangka panjang. Sebagian kasus
hipokalsemia terkait gagal ginjal kronik, kadang sulit untuk diperbaiki.

Referensi : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisis VI


 Osteoporosis (Nur Aqmarina K-142010101094)

Osteoporosis adalah suatu kondisi di mana kepadatan tulang berkurang sehingga tulang
menjadi rentan dan rapuh. Osteoporosis terdiri dari 3 tipe, yaitu tipe 1 (osteoporosis pada
wanita post-menopause), tipe 2 (osteoporosis pada orang tua), dan tipe 3 (osteoporosis
sekunder akibat sebab lain). Penderita osteoporosis menjadi sangat rentan terhadap patah
tulang.

Faktor Resiko

1. Memiliki riwayat fraktur

2. Merokok

3. Mengkonsumsi alkohol

4. Menggunakan kortikosteroid jangka panjang

5. Efek hormonal seperti amenore selama 6 bulan, menarche telat, dan menopouse dini.

6. Kurangnya aktifitas fisik

7. Gizi buruk

8. Mengidap inflamatory disease

Gejala Klinis

Osteoporosis sering disebut silent disease karena kehilangan tulang nyeri punggung,
kehilangan tinggi badan, atau kelainan bentuk tulang belakang, dan postur membungkuk.
Penderita osteoporosis dapat mengalami patah tulang hanya dengan benturan ringan, jatuh,
menaiki tangga, mengangkat benda, atau membungkuk. Meskipun osteoporosis sendiri tidak
menimbulkan nyeri, namun jika terjadi patah tulang penderita dapat merasa nyeri hebat.

Penyebab

Osteoporosis adalah penyakit yang tidak banyak menimbulkan gejala sehingga dapat
berlangsung tanpa disadari sampai terjadi patah tuang. Osteoporosis tipe 1 disebabkan oleh
berkurangnya hormon estrogen pada wanita post – menopause. Berkurangnya estrogen
menyebabkan sel perusak tulang menjadi lebih aktif dan pembentukan tulang baru menurun.
Umumnya gejala timbul pada wanita usia 51 – 75 tahun. Osteoporosis tipe 2 disebabkan
kurangnya kalsium yang berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan diantara
kecepatan hancurnya tulang dan pembentukan tulang yang baru, dapat terjadi pada wanita
atau pria di atas 70 tahun. Osteoporosis tipe 3 disebabkan oleh faktor – faktor lain seperti
hipertiroidisme, multiple myeloma, dan obat-obatan yang bersifat toksik untuk tulang.

Pemeriksaan

1. Bone mineral density

2. Dual energy x-ray absorbtiometry scan (DXA)

3. Pemeriksaan laboratorium tergantung dari perkiraan jenis osteoporosis berdasarkan


anamnesis seperti yang tercantum dalam gambar.

Pengobatan

Terdapat beberapa pilihan peengobatan osteoporosis, antara lain terapi pengganti hormon,
bifosfonat, kalsitonin, serta suplemen kalsium dan vitamin D. Untuk wanita post –
menopause dapat diberikan hormon pengganti untuk mencegah hilangnya kepadatan tulang
lebih lanjut. Namun hormon estrogen meningkatkan risiko stroke, penyakit jantung dan
kanker payudara sehingga penggunaannya harus dikonsultasikan dengan dokter. Bifosfonat
merupakan obat non – hormon yang berfungsi mencegah hilangnya kepadatan tulang dengan
memperlambat kecepatan pengrusakan tulang. Suplemen kalsium dan vitamin D dapat
membantu orang lanjut usia dalam menurunkan risiko patah tulang.

Referensi:

Feldt, J.M.V. 2014. Osteoporosis . Dalam Lippincott’s Primary Care Orthopaedics. Ed. 2.
Editor P.A Lotke, J.A Abboud, dan J. Ende. Philladelphia: Lippincotts Williams &
Walkins.

Javaid, M.K., J.L. Newton, R. Luqmani. 2013. Bone Disorders. Dalam Dalam Textbook of
Orthopaedics, Trauma, and Rheumatology Second Edition. Editor R. Luqmani, J.
Robb, D. Porter, dan B. Joseph. Mosby Elsevier.
 Ricketsia (Alvien zahrotun nadhiva- 152010101051)

Rickets merupakan suatu sindrom klinis yang menggambarkan spektrum kelainan


metabolik dengan abnormalitas gambaran radiologis dan histopatologis yang serupa yang
disebabkan karena mineralisasi yang inadekuat atau lambat dari matriks organik tersintesis
baru (osteoid) pada tulang yang imatur sebelum fusi fisis. Tulang yang sedang
bertumbuh atau imatur rentan terhadap defisiensi nutrisi dan mencerminkan terjaganya
mekanisme homeostatik dalam memelihara kalsium. Dua kelainan yang sering terjadi
pada tulang imatur ini adalah rickets dan hiperparatiroidisme, yang pada umumnya
sekunder akibat adanya kelainan ginjal kronis. Rickets aktif bermanifestasi hanya
pada tulang yang mengalami pertumbuhan sehingga kelainan ini tampak pada
periode pertama pertumbuhan yang berlangsung cepat, yaitu usia antara 6 bulan dan 3
tahun. Tipe rickets yang kurang parah dapat tidak bermanifestasi sampai usia
prepubertas. Rickets dilaporkan semakin banyak terjadi pada bayi prematur dengan berat
badan lahir sangat rendah. Patogenesis hal ini kemungkinan karena metabolik,
nutrisional, dan pada beberapa kasus karena iatrogenik. Rickets dapat terjadi secara
kongenital ataupun akuisita. Penyebab yang biasa dijumpai antara lain yaitu karena
defisiensi nutrisi terutama vitamin D, kalsium dan fosfat, paparan sinar matahari yang
kurang, status malabsorpsi yang melibatkan pankreas, usus halus dan hepar, serta hidroksilasi
yang abnormal. Rickets dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan radiologi turut berperan dalam menilai rickets, dan
dapat dilakukan dengan pemeriksaan foto polos, CT scan, magnetic resonance imaging
(MRI), skintigrafi, bone scan dan ultrasonografi (USG).

Etiologi Rickets
Rickets dapat terjadi secara kongenital ataupun akuisita. Berbagai faktor yang turut
berperan dalam terjadinya rickets yaitu metabolisme vitamin D yang meliputi asupan,
hidroksilasi pada hepar dan ginjal, dan resistansi organ terhadap kerja hormon. Penyebab
yang biasa dijumpai antara lain yaitu: malnutrisi, paparan sinar matahari yang kurang,
status malabsorpsi yang melibatkan pankreas, usus halus dan hepar, serta hidroksilasi
yang abnormal. Penyebab terjadinya rickets pada anak yang berusia kurang dari 6 bulan
yaitu antara lain karena hipofosfatasia, dimana hipofosfatasia atau hipokalsemia ini
merupakan penyebab rickets pada osteopetrosis yang berat. Rickets juga banyak terjadi
pada bayi prematur, dimana gambaran radiologis rickets ditemui pada sekitar 55% bayi
dengan berat lahir kurang dari 1000 gram. Rickets juga banyak terjadi pada
hiperparatiroidisme primer dan faktor- faktor prenatal lain yaitu hiperparatiroidisme
maternal, defisiensi vitamin D maternal, insufiensi renal maternal. Sedangkan pada anak
yang berusia lebih dari 6 bulan, rickets lebih banyak disebabkan karena defisiensi
nutrisi ( nutritional rickets ), kelainan pada hepar yang meliputi penyakit hepar kronis
dan terapi antikonvulsan, malabsorbsi, insufisiensi tubular ginjal serta penyakit ginjal
kronis. Rickets aktif bermanifestasi hanya pada tulang yang mengalami pertumbuhan
sehingga kelainan ini tampak pada periode pertama pertumbuhan yang berlangsung
cepat, yaitu usia antara 6 bulan dan 3 tahun terutama dibawah 18 bulan. Tipe rickets
yang kurang parah dapat tidak bermanifestasi sampai usia prepubertas. Rickets dilaporkan
semakin banyak terjadi pada bayi prematur dengan berat badan lahir sangat rendah.
Patogenesis hal ini kemungkinan karena metabolik, nutrisional, dan pada beberapa kasus kare
na iatrogenik.

Gejala klinis
Pada bayi baru lahir dengan berat badan lahir yang sangat rendah atau bayi yang
membutuhkan alimentasi parenteral, sering dijumpai osteopenia dan fraktur. Pada bayi
yang berumur kurang dari setahun, kejang hipokalsemia dapat merupakan manifestasi
awal terjadinya rickets. Pada bayi yang lebih besar dan pada anak - anak, rickets
bermanifestasi dengan pelebaran metafisis tulang panjang, costochondral junctions yang
prominen (rachitic rosary), flaring dinding thoraks anterior bawah, frontal bossing , dan
kadang-kadang dijumpai craniotabes. Setelah anak mulai belajar berjalan dan terdapat
tumpuan berat badan, dapat terjadi adanya genu valgum atau genu varum (lebih sering
dijumpai). Juga dapat dijumpai bengkoknya tibia ke arah anterior ( saber shin). Anak akan
lebih lambat dalam belajar duduk, berdiri dan berjalan daripada anak normal. Juga
dapat terjadi gambaran coxae varae yang dapat diikuti dengan terjadinya skoliosis. Pada
gigi juga dapat dijumpai erupsi gigi yang terlambat, hipoplasia enamel dengan karies
dentis. Manifestasi sistemik rickets meliputi kelemahan otot, gangguan pergerakan dan
pertumbuhan, anoreksia, dan peningkatan kerentanan terhadap infeksi pada pasien
dengan defisiensi vitamin D.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan radiologi turut berperan dalam menilai rickets, dan dapat dilakukan
dengan pemeriksaan foto polos, CT scan, magnetic resonance imaging (MRI), skintigrafi ,
bone scan dan ultrasonografi (USG). Gambaran rickets pada foto polos tampak khas yaitu
osifikasi yang abnormal yang menyebabkan retardasi tulang dan osteopenia. Gambaran
radiografi paling awal pada rickets yaitu pelebaran lempeng epifisis disepanjang aksis
longitudinal tulang yang diikuti dengan penurunan densitas tulang pada sisi metafisis
lempeng epifisis. Seriring dengan perkembangan penyakit, pelebaran lempeng epifisis akan
semakin bertambah dan zona kalsifikasi provisional menjadi ireguler. Selanjutnya tampak
gambaran fraying dan iregularitas pada tulang spongiosa pada metafisis. Pada foto polos
dapat dijumpai tampak gambaran yang khas yaitu sebagai berikut: di kepala dapat
tampak gambaran frontal bossing, wormian bones, maupun craniotabes; pada genu dapat
tampak genu varum maupun genu valgum ; pada tibia akan tampak saber shin, pada
pelvis dapat dijumpai gambaran triradiate pelvis serta epifisi caput femur yang
mengalami slipped; pada thorax dapat dijumpai gambaran rachitic rosary dan pectus
carinatum. Selain itu juga dapat dijumpai fraktur greenstick,skoliosis, keterlambatan
erupsi gigi dan hipoplasia enamel gigi.
Pemeriksaan CT scan dapat membantu mengevaluasi adanya fraktur dan
menilai densitas tulang. Pemeriksaan CT scan dan magnetic resonance imaging merupakan
pemeriksaan lanjutan yang dapat membantu mengevaluasi adanya fraktur, menilai
densitas tulang, melihat pelebaran epifisis serta Looser’s zone. Kelainan mineralisasi pada
tulang imatur dominan terjadi pada ujung tulang yang bertumbuh dimana osifikasi
enkhondral berperan, yang memberikan gambaran klasik rickets. Pemeriksaan foto polos
Perubahan radiologis pada rickets diilustrasikan dengan baik pada tulang panjang. Meskipun
terjadi perubahan pada tulang secara umum, namun lokasi pertama dan paling nyata
dijumpai dimana pertumbuhan tulang berlangsung sangat cepat seperti pergelangan
tangan, lutut, costochondral junction, femur distal dan proksimal, tibia proksimal,
humerus proksimal dan radius distal Pada rickets, terjadi osifikasi yang abnormal yang
menyebabkan retardasi tulang dan osteopenia. Gambaran radiografi paling awal pada
rickets yaitu pelebaran lempeng epifisis disepanjang aksis longitudinal tulang yang diikuti
dengan penurunan densitas tulang pada sisi metafisis lempeng epifisis. Seriring dengan
perkembangan penyakit, pelebaran lempeng epifisis akan semakin bertambah dan zona
kalsifikasi provisional menjadi ireguler. Selanjutnya tampak gambaran fraying dan
iregularitas pada tulang spongiosa pada metafisis.
Pemeriksaan MRI merupakan pemeriksaan yang optimal untuk melihat
pelebaran epifisis dengan meningkatnya sinyal T2, menghilangnya zona kalsifikasi
provisional serta mendeteksi Looser’s zone. Lebar epifisis normal berkisar 0,9-1,9 mm,
sedangkan pada rickets dapat melebar menjadi 2,5-3 mm. Pemeriksaan skintigrafi dapat
memperlihatkan cortical infractions yang kemudian akan berkembang menjadi Looser’s
zones. Pemeriksaan bone scan menggunakan technetium 99m methylene diphosphonate
(MDP) dapat menunjukkan adanya area peningkatan uptake bilateral dan simetris, yang akan
memperlihatkan inital flare up setelah terapi awal. Pemeriksaan Ultrasonografi dapat
membantu mengevaluasi epifisis caput femur yang mengalami slipped serta berperan
dalam mengevaluasi ginjal. Pemeriksaan laboratorium hasil laboratorium pada pasien
rickets dapat bervariasi sesuai dengan derajat defisiensi vitamin D yang terjadi. Sebagian
besar pasien dengan rickets mempunyai kadar kalsium total yang normal atau rendah, kadar
fosfat yang rendah, serta peningkatan Fosfatase alkali dan konsentrasi hormon paratiroid.
Pada kasus defisiensi vitamin D, dapat terjadi penurunan kadar vitamin D aktif yang
sangat rendah, biasanya kurang dari 5 ng/mL. Meskipun demikian kadarnya tidak turun
dengan ekstrim pada pasien rickets akibat defisiensi kalsium atau yang telah mendapat
terapi vitamin D ataupun mendapat paparan sinar matahari yang cukup

Diagnosis banding
Radiologis erdapat beberapa kelainan yang mempunyai kemiripan dengan rickets
berdasarkan gambaran radiologis

Diagnosis banding
osteogenesis imperfekta, non accidental injury, dan skurvi.

Tatalaksana
Pemberian vitamin D per oral selama 2-3 minggu

Sumber: Laporan kasus UGM

Anda mungkin juga menyukai