Anda di halaman 1dari 26

NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMATORY DRUGS (NSAID)

A. PENDAHULUAN
Nonsteroidal anti-inflamatory Drugs (NSAID) atau obat anti-inflamasi non-
steroid (OAINS) merupakan obat yang sering diresepkan oleh dokter serta terjual
bebas di masyarakat. Dalam prakteknya dokter selalu menanggulangi keluhan
rasa sakit atau nyeri pada pasien dengan pemberian obat-obatan analgetik
sederhana, dan pada kenyataannya belum mampu mengontrol rasa sakit akibat
inflamasi. Antiinflamasi nonsteroid merupakan sediaan yang paling luas
peresepannya terutama pada kasuskasus nyeri inflamasi karena efeknya yang kuat
dalam mengatasi nyeri inflamasi tingkat ringan sampai sedang.Di Amerika
Serikat dan Eropa Barat, peresepan NSAID mencapai hingga 4%-7%, namun data
penggunaan NSAID di Indonesia belum didapatkan. OAINS sering digunakan
karena efektivitasnya yang baik sebagai analgetik, anti-inflamasi, dan antipiretik.
Efektivitas kerja NSAID didapatkan dari kemampuannya menghambat sintesis
prostaglandin melalui penghambatan kerja enzim siklooksigenase. Enzim
siklooksigenase diketahui bekerja pada jalur konversi asam arakhidonat menjadi
prostaglandin dan tromboksan, sehingga ketika enzim ini dihambat maka asam
arakhidonat tidak dapat dikonversi menjadi prostaglandin dan tromboksan.[1], [2]
NSAID dikembangkan berdasarkan kemampuannya menghambat kerja
kedua isoform enzim siklooksigenase, baik enzim siklooksigenase-1 dan
siklooksigenase-2[1],[2]

B. NSAID
NSAID merupakan obat anti-inflamasi yang memiliki struktur molekular
yang berbeda dari steroid. Secara kimiawi, NSAID merupakan senyawa turunan
dari asam asetat, asam propionat, pirazol, dan zat kimia lainnya. NSAID bekerja
dengan menghambat kerja dari enzim siklooksigenase. Enzim ini berperan
penting dalam jalur metabolisme asam arakhidonat, yaitu bekerja untuk
mengkatalis perubahan asam arakhidonat menjadi prostaglandin dan tromboksan.

1
Terdapat dua isoform enzim siklooksigenase yaitu siklooksigenase-1 dan
siklooksigenase-2. Kedua enzim ini memiliki struktur yang serupa, namun pada
bagian substrate binding channel enzim siklooogsinegase-2 memiliki sisi
samping yang berbeda dengan enzim siklooksigenase-1. Hal ini lah yang
mendasari selektivitas inhibisi enzim ini oleh OAINS.[3]

Gambar 1. COX-1 dan COX-2[4]


Enzim siklooksigenase-1 terdapat di platelet, endotelium vaskular,
epitelium gastrointestinal, otak, tulang belakang, dan ginjal. Enzim ini berfungsi
untuk meregulasi fungsi trombosit, proteksi mukosa gastrointestinal, dan proteksi
terhadap fungsi ginjal jika mengalami gangguan perfusi. Enzim siklooksigenase-2
diaktivasi oleh beberapa sitokin dan menginduksi kaskade inflamasi. Enzim ini
banyak ditemukan di plak aterosklerotik, makula densa, dan interstisial medula
ginjal. Enzim ini berperan dalam persepsi nyeri serta metabolisme air dan garam.
Spektrum kerja NSAID terbagi menjadi dua yaitu NSAID konvensional yang
menghambat kerja kedua isoform enzim siklooksigenase dan NSAID selektif
yang hanya bekerja pada siklooksigenase-2 Hasil akhir metabolisme asam
arakhidonat yang dikatalis oleh enzim siklooksigenase adalah prostaglandin I2
dan tromboksan. Prostasiklin (prostaglandin I2) memiliki efek anti-trombotik dan

2
dihasilkan dari sel endotel dengan bantuan enzim siklooksigenase-2, sedangkan
tromboksan dihasilkan oleh platelet dengan bantuan dari enzim siklooksigenase-1
serta memiliki efek pro-trombotik. [3]

C. MEKANISME KERJA NSAID MELAUI INHIBISI SIKLOOKSIGENASE


Hingga awal 1990-an, diketaui bahwa hanya ada satu enzim COX. Pada
tahun 1990, perkembangan cepat dari studi di bidang ini mengungkapkan bahwa
enzim COX memiliki dua isoform berbeda dengan pengkodean genetik yang
berbeda. Meskipun kedua isoform memiliki urutan asam amino dan aktivitas
katalitik yang sama, mereka terbukti memiliki fungsi yang berbeda. Isoform ini
diberi nama 'constitutive' COX-1 dan 'inducible' COX-2. COX-1 selalu ada di
berbagai jaringan tubuh dan berfungsi dalam mempertahankan fisiologi tubuh
seperti produksi mukus di lambung tetapi sebaliknya, COX-2 merupakan enzim
indusibel yang umumnya tidak terpantau di kebanyakan jaringan, tapi akan
meningkat pada keadaan inflamasi atau patologik. COX-1 mengkatalisis
pembentukan prostaglandin sitoprotektif (PG) pada trombosit, endotel vaskular,
mukosa lambung, ginjal, pankreas, pulau Langerhans, vesikula seminalis, dan
otak. langkah pertama dalam biosintesis prostanoids yang dikatalisis oleh
fosfolipase A2 adalah asam arakidonat (AA) yang terlepas dari membran
fosfolipid. Induksi COX-2 oleh berbagai faktor pertumbuhan, agen proinflamasi,
endotoksin, mitogen, agen tumor menunjukkan bahwa isoform ini mungkin
memiliki peran dalam pembentukan proses patologis, seperti peradangan. Produk
COX-1, prostaglandin (PGI2 dan PGE2), menjaga integritas sistem
gastrointestinal (GIS) dengan mengurangi sekresi asam lambung, meningkatkan
ketebalan lapisan lendir, merangsang sekresi bikarbonat dan meningkatkan aliran
darah mukosa. PGE2 meningkatkan sekresi lendir dengan mengaktifkan cAMP
pada sel epitel lambung. Glukokortikoid dan steroid endogen dapat menekan gen
yang bertanggung jawab untuk sintesis COX-2. Obat-obatan, yang menghambat
COX-1 lebih dari COX-2, seperti indometasin, naproxen, ibuprofen,
menyebabkan kerusakan yang lebih parah pada jaringan lambung. Sebagai hasil

3
dari studi yang berfokus pada pengurangan efek buruk NSAID, penghambat
COX-2 selektif, seperti celecoxib dan rofecoxib, telah dikembangkan. Saat ini,
hipotesis terkenal dalam kedokteran menyatakan bahwa COX-1 bersifat
konstitutif dan sitoprotektif, sementara COX-2 adalah enzim yang dapat diinduksi
dalam jaringan yang meradang. Namun, studi terbaru telah mempertanyakan
hipotesis ini. Penelitian lanjutan pada isoform COX menunjukkan bahwa
parasetamol memiliki efek yang lebih kuat pada preparat COX dari otak daripada
pada preparat COX dari limpa. Telah diusulkan bahwa isoform ketiga dari enzim,
COX-3, mungkin ada di otak. [4], [5]

Gambar 2. Pembentukan metabolit asam arakhidonat dan peranannya dalam


inflamasi.[6]

4
Gambar 3. Gambaran dari jalur sintesis prostaglandin[7]

D. KLASIFIKASI NSAID
Berdasarkan pada selektivitas relatif terhadap isoform COX, maka dua
jenis NSAID telah dikembangkan:
- NSAID non-selektif (tradisional) (ibuprofen, diklofenak, indometasin, dll.),
Yang menghambat kedua isoform COX, dengan potensi tinggi menginduksi
iritasi lambung.
- Obat selektif COX-2 (coxib, nimesulide, meloxicam), yang secara selektif
menghambat COX ‐ 2, ditoleransi lebih baik oleh mukosa lambung, tetapi
dengan masalah keamanan yang berbeda.
Efek menguntungkan maupun merugikan NSAID disebabkan oleh mekanisme
tindakan yang sama: penghambatan biosintesis prostaglandin.

5
NSAID diklasifikasikan berdasarkan kategori:
1. Selective COX inhibitors, seperti Aspirin
2. Non-selective COX inhibitors: Inhibitor COX non-selektif: sejumlah NSAID
yang diperiksa menunjukkan rasio COX-1 / COX-2 IC50 antara 0,5 dan 3,0; 3.
3. Relatively selective COX-2 inhibitors, seperti meloxicam, nimesulide,
diclofenac dengan rasio COX-1 / COX-2 IC50 antara 10–20;
4. Highly selevtive COX-2 Inhibitors, terdiri dari 3 komponen (NS-58125, L-
745, SC-38125, prototipe celecoxib) dengan rasio COX-1 / COX-2 IC50 dari
140 hingga 250 dan rofecoxib dengan rasio> 400

Gambar 4. Klasifikasi NSAID berdasarkan selektivitasnya terhadap enzim


COX[3]

E. EFEK FARMAKODINAMIK
Semua obat NSAID bersifat antipiretik, analgesic, dan anti-inflamasi. Ada
perbedaan aktivitas di antara obat-obat tersebut, misalnya: parasetamol
(asetaminofen) bersifat antipiretik dan analgesic tetapi sifat anti-inflamasinya
lemah sekali.[1]
1. Efek analgesik
Sebagai analgesik, NSAID hanya efektif terhadap nyeri intensitas
rendah sampai sedang, misalnya sakit kepala, mialgia, artralgia dan nyeri lain
yang berasal dari integument, terutama terhadap nyeri berkaitan dengan
inflamasi. Efek analgesiknya jauh lebih lemah dibandingkan dengan efek

6
analgesik opioid. Tetapi berbeda dengan opioid, NSAID tidak menimbulkan
ketagihan dan tidak menimbulkan efek samping sentral yang merugikan.
NSAID hanya mengubah presepsi modalitas sensorik nyeri, tidak
mempengaruhi sensorik lain. Nyeri akibat terpotongnya saraf aferen, tidak
teratasi dengan dengan NSAID. Sebaliknya nyeri kronis pasca bedah dapat
diatasi dengan NSAID. [1]
2. Efek Antipiretik
Sebagai anti piretik, NSAID akan menurunkan suhu badan hanya pada
keadaan demam. Walaupun kebanyakan obat ini memperlihatkan efek
antipiretik in vitro, tidak semuanya berguna sebagai antipiretik karena bersifat
toksik bila digunakan secara rutin atau terlalu lama. Ini berkaitan dengan
hipotesis bahwa COX yang berada disentral otak terutama COX-3 dimana
hanya parasetamol dan beberapa NSAID lainnya dapat menghambat.
Fenilbutazon dan antireumatik lainnya tidak dibenarkan digunakan sebagai
antipiretik atas alasan tersebut. [1]
3. Efek anti-inflamasi
Kebanyakan NSAID, terutama yang baru, lebih dimanfaatkan sebagai
antiinflamasi pada pengobatan kelaianan musculoskeletal, misalnya arthritis
rheumatoid, Osteoartritis dan ankylosing spondilitis. Tetapi harus diingat
bahwa NSAID ini hanya meringankan nyeri dan inflmasi yang berkaitan
dengan penyakitnya secara simtomatik, tidak menghentikan,memperbaiki atau
mencegah kerusakan jaringan pada kelainan musculoskeletal. [1]
4. Anti-platelet
NSAID memiliki efek menghambat agregasi trombosit, waktu pendarahan
yang berkepanjangan; memiliki efek antikoagulan[8]

F. EFEK SAMPING PENGGUNAAN NSAID


1. Gastrointestinal
Kecenderungan NSAID untuk menginduksi efek samping
gastrointestinal bergantung pada molekul dan cara kerja. OAINS non-selektif

7
sering menyebabkan kerusakan gastrointestinal, sedangkan OAINS selektif
COX-2 memiliki ketahanan lambung yang membaik secara dramatis. NSAID
non-selektif dapat menginduksi lesi mukosa saluran cerna oleh efek erosif
topikal yang dikombinasikan dengan efek sistemik yang ditandai dengan
penipisan prostaglandin yang disintesis oleh COX‐1. Biasanya, prostanoid
"baik" ini merangsang sintesis dan sekresi lendir dan bikarbonat,
meningkatkan aliran darah, dan meningkatkan proliferasi epitel. Dengan
menghilangkan efek menguntungkan ini, NSAID non-selektif menciptakan
lingkungan lambung yang lebih rentan terhadap erosi topikal oleh faktor
eksogen dan endogen. Dengan demikian, sifat asam dari kebanyakan NSAID
mengawali kerusakan mukosa karena molekul obat tetap dalam bentuk
lipofilik non-ionisasi di lingkungan asam lambung, memasuki sel-sel epitel
permukaan di mana mereka berdisosiasi, menjebak ion hidrogen dan
menginduksi lesi. Molekul NSAID juga mengurangi hidrofobisitas lendir
lambung, memungkinkan asam hidroklorik dan pepsin menyerang permukaan
epitelium.[9l],[10],[11]

Gambar 4. Mekanisme kerja NSAID yang menyebabkan kerusakan


Gastrointestinal[9]

Manajemen pasien yang menerima NSAID terkait dengan efek


toksisitas gastrointestinal harus mempertimbangkan beberapa faktor:[9]
- Dosis terendah harus digunakan untuk jangka waktu terpendek.

8
- Pemberian antikoagulan dan kortikosteroid secara bersamaan harus
dihindari.
- Infeksi Helicobacter pylori harus diberantas jika ada.
- NSAID dengan toksisitas GI tinggi (piroksikam, ketoprofen, ketorolak)
harus dihindari.
- Kerusakan lambung dapat dikurangi dengan menghubungkan NSAID
dengan misoprostol atau inhibitor pompa proton (PPI).
- Jika tidak ada faktor risiko gastrointestinal, NSAID non-selektif lebih
disukai.
- Jika satu atau lebih faktor risiko GI hadir, coxib harus digunakan atau
NSAIDS + proton pump inhibitor (PPI) non selektif.
2. Kardiovaskuler
COX ‐ 2 NSAID selektif, terutama coxib (rofecoxib ‐ dihapus dari
pasar, celecoxib, etoricoxib), menghambat sintesis prostasiklin vaskular
(PGI2), penghambat alami agregasi trombosit dengan sifat vasodilator. PGI2
adalah mediator pelindung untuk sistem kardiovaskular, bertindak melalui IP
reseptornya, dinyatakan dalam berbagai jenis sel. Peningkatan risiko kejadian
vaskular yang disebabkan oleh pengurangan pembentukan PGI2 dapat
dikurangi dengan penekanan simultan COX-1 di trombosit. Sayangnya, obat
selektif COX-2, yang tidak memiliki afinitas untuk COX-1, tidak mengurangi
produksi tromboksan A2 (TXA2). [9l],[10],[11]

9
Gambar 5. Mekanisme NSAID COX-2 selektif dalam menginduksi
thrombosis[9]

Gabungan, kedua efek ini dapat mengarah ke "pro-thrombotic state"


dengan risiko signifikan mengembangkan infark miokard atau stroke. [9l],[10],[11]
Atas dasar bukti yang dikumpulkan sejauh ini, beberapa strategi untuk
pengobatan NSAID dan pen cegahan penyakit Kardiovaskuler:[9]
- Pasien dengan risiko CV rendah (di bawah 1%/tahun) dapat diberikan OAINS
non-selektif atau coxib, pilihan antara keduanya tergantung pada risiko GI.
- Pada pasien dengan risiko CV menengah (1–3%/ tahun), pilihannya harus
ibuprofen atau naproxen (+ PPI).
- Pada pasien dengan risiko CV tinggi (di atas 3%/tahun), pilihannya adalah
naproxen + PPI dan aspirin, diberikan 2 jam sebelumnya.
- Di Eropa, EMEA mengkontraindikasi coxib jika ada faktor risiko
kardiovaskular.
3. Renal
Pada subyek manusia normal, NSAID tidak memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap fungsi ginjal. Namun demikian, prostaglandin adalah
mediator penting di tingkat ginjal. prostaglandin terlibat dalam
mempertahankan kontrol volume dan keseimbangan elektrolit, prostaglandin
juga mengontrol pelepasan renin dan berkontribusi terhadap vasodilatasi
ginjal. Semua NSAID dapat mengubah fungsi ginjal dengan menghambat

10
COX ‐ 1 (yang mengatur hemodinamik ginjal dan filtrasi glomerulus) dan /
atau COX ‐ 2 (yang memediasi ekskresi garam dan air) yang diekspresikan
dalam ginjal. [9l],[10],[11]
Biasanya, NSAID dikaitkan dengan retensi garam dan air, karena
hilangnya PG-induced action pada ADH. Retensi hidro-salin ini memiliki
potensi memicu hipertensi arteri, tetapi efeknya sangat bervariasi di antara
molekul-molekul yang berbeda. Rupanya, indometasin dan naproxen dapat
meningkatkan tekanan arteri rata-rata dengan 3-4 mm Hg. [9l],[10],[11]
NSAID jarang menyebabkan nefropati, nefropati biasa terjadi pada
penguunaan NSAID tertentu dalam dosis tinggi, pada pasien dengan gagal
jantung kongestif, penyakit ginjal kronis, hipovolemia, gangguan sistem
RAAS. Manifestasi nefropati dapat bervariasi (misalnya interstitial
nephritis,sindrom nefrotik, dan nekrosis papillary), dan, sayangnya, dapat
berkembang menjadi gagal ginjal akut. Dari NSAID yang tersedia,
indometasin adalah penghambat prostaglandin ginjal yang paling poten, dan
berhubungan dengan lebih banyak kasus gagal ginjal. Obat-obatan dengan
risiko menengah termasuk ibuprofen, naproxen, diklofenak, sulindac, dan
piroksikam. Potensi nefrotoksik dari obat selektif COX-2 kurang jelas. [9l],[10],
[11]

4. Hepatotoksisitas
Hepatotoksisitas adalah efek samping yang jarang dari NSAID, tetapi
dengan potensi konsekuensi serius. Serangkaian uji klinis telah melaporkan
peningkatan transaminase hati selama pengobatan dengan NSAID. Hanya
pada sebagian kecil pasien, cedera hati yang signifikan diamati, dengan gejala
yang termasuk mual, muntah, nyeri perut bagian atas, kelelahan, dan penyakit
kuning. Cedera terutama kolestatik, tetapi kasus hepatoselular atau campuran
juga pernah didapatkan. [9l],[10],[11]

5. Hematologi

11
Obat anti-inflamasi non-steroid (NSAID) dapat mempengaruhi agregasi
trombosit dan waktu perdarahan karena penghambatan sintesis PG dan TXA2.
Aspirin adalah senyawa yang paling kuat dalam hal ini, karena penghambatan
COX ‐ 1 yang tidak dapat diubah dari platelet, yang berarti peningkatan waktu
pendarahan. Untuk aspirin, perpanjangan waktu pendarahan adalah sekitar
dua kali lipat dari nilai awal pada subyek sehat setelah dosis tunggal 325 mg.
Efeknya dimulai 12 jam setelah dosis, dan berlangsung antara 24 dan 48 jam.
NSAID lain juga dapat meningkatkan waktu pendarahan, tetapi nilainya
terletak di batas atas normal. [9l],[10],[11]
6. Hipersensitivitas
Obat anti-inflamasi non-steroid (NSAID) telah dilaporkan sebagai
penyebab paling umum kedua dari reaksi hipersensitivitas terinduksi obat,
hipersensitivitas terhadap aspirin yang mempengaruhi 0,5-1,9% dari populasi
umum, dengan prevalensi yang lebih besar pada penderita asma atau pasien
dengan urtikaria kronis. Hipersensitivitas yang diinduksi OAINS memiliki
berbagai manifestasi klinis dari anafilaksis atau bronkospasme berat yang
berkembang dalam beberapa menit ke respons tipe tertunda, muncul setelah
beberapa hari atau minggu. Asma bronkial, penyakit pernafasan aspirin-
eksaserbasi (AERD), rinosinusitis, urtikaria sering dijumpai. Tipe-tertunda
kulit atau reaksi sistemik sangat langka dan termasuk sindrom Stevens-
Johnson, nekrolisis epidermal toksik (TEN) dan reaksi obat dengan eosinofilia
dan gejala sistemik (DRESS). [9l],[10],[11]
penghambatan COX-1 (oleh aspirin dan OAINS non-selektif lainnya),
yang memicu mekanisme yang mengarah ke serangan asma atau gejala
hidung. Rupanya, deprivasi PGE2 dapat menyebabkan aktivasi jalur inflamasi
dan generasi lokal dan sistemik leucotrien sisteinil, bronkokonstriktor yang
paling kuat. [9l],[10],[11]
Selain aspirin, reaksi hipersensitivitas telah didokumentasikan terutama
dalam NSAID dengan kelompok asam heteroaril (naproxen, diklofenak,

12
ibuprofen), senyawa selektif COX ‐ 2 yang lebih baru memiliki insidensi efek
samping yang sangat rendah. [9l],[10],[11]

G. JENIS NSAID
1. Aspirin dan Salisilat lain
Saat ini aspirin jarang digunakan sebagai obat anti-inflamasi dan akan
ditinjau hanya dalam hal efek antiplateletnya (yaitu, dosis 81-325 mg sekali
sehari). [11]
Mekanisme Kerja: Aspirin secara ireversibel menghambat COX platelet
sehingga efek antiplatelet aspirin berlangsung 8-10 hari (kehidupan
trombosit). Dalam jaringan lain, sintesis COX baru menggantikan enzim yang
tidak aktif sehingga dosis biasa memiliki durasi kerja 6–12 jam. Aspirin
mengurangi kejadian serangan iskemik transien, angina tidak stabil, trombosis
arteri koroner dengan infark miokard, dan trombosis setelah bypass arteri
koroner. [11]
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa penggunaan aspirin jangka
panjang pada dosis rendah dikaitkan dengan insiden kanker kolon yang lebih
rendah, mungkin terkait dengan efek penghambatan COX-nya.Efek Samping:
Selain efek samping umum yang tercantum di atas, efek samping utama
aspirin pada dosis antitrombotik adalah gangguan lambung (intoleransi) dan
tukak lambung dan duodenum. Hepatotoksisitas, asma, ruam, pendarahan GI,
dan toksisitas ginjal jarang terjadi pada dosis antitrombotik. efek antiplatelet
aspirin dikontraindikasikan pada pasien dengan hemofilia. Meskipun
sebelumnya tidak direkomendasikan selama kehamilan, aspirin mungkin
bermanfaat dalam mengobati preeklamsia-eklampsia. [11]
2. COX selective Inhibitors
Penghambat selektif COX-2, atau coxib, dikembangkan dalam upaya
untuk menghambat sintesis prostaglandin oleh isozim COX-2 yang
diinduksikan pada tempat-tempat peradangan tanpa mempengaruhi aksi dari
isozim COX-1 yang hidup dan aktif yang ditemukan di saluran pencernaan,

13
ginjal, dan trombosit. Penghambat COX-2 pada dosis biasa tidak berdampak
pada agregasi trombosit, yang dimediasi oleh tromboksan yang dihasilkan
oleh isozim COX-1. Sebaliknya, Coxibs menghambat sintesis prostasiklin
COX-2 di endotel vaskuler. Akibatnya, penghambat COX-2 tidak
menawarkan efek kardioprotektif OAINS non selektif tradisional. Dosis
inhibitor COX-2 yang direkomendasikan menyebabkan toksisitas ginjal
serupa dengan yang terkait dengan NSAID tradisional. Data klinis
menunjukkan kejadian yang lebih tinggi dari peristiwa thrombotic
kardiovaskular yang terkait dengan inhibitor COX-2 seperti rofecoxib dan
valdecoxib, yang mengakibatkan penarikan obat tersebut dari pasar.[1],[11]
a. Celecoxib
Bioavailabilitas celecoxib oral tidak diketahui; kadar plasma puncak
terjadi pada 2-4 jam setelah pemberian. Lansia (≥65 tahun) mungkin
memiliki konsentrasi puncak hingga 2 kali lipat lebih tinggi dibandingkan
pasien yang lebih muda (≤55 tahun). Celecoxib terikat secara luas dengan
protein plasma. Sebagian besar diekskresikan sebagai asam karboksilat
dan metabolit glukuronida dalam urin dan feses. eliminasi t1/2 adalah
sekitar 11 jam. Obat ini biasanya diberikan satu atau dua kali sehari
selama perawatan kronis. Konsentrasi plasma meningkat pada pasien
dengan gangguan hati ringan dan sedang, dan membutuhkan pengurangan
dosis. Celecoxib dimetabolisme terutama oleh CYP2C9 dan menghambat
CYP2D6. Kewaspadaan klinis diperlukan selama pemberian obat yang
diketahui dapat menghambat CYP2C9 dan obat-obatan yang
dimetabolisme oleh CYP2D6.[10]
Celecoxib digunakan untuk pengelolaan nyeri akut untuk pengobatan
osteoarthritis, rheumatoid arthritis, arthritis rheumatoid remaja, ankylosing
spondylitis, dan dismenore primer. Dosis yang direkomendasikan untuk
mengobati osteoarthritis adalah 200 mg/hari sebagai dosis tunggal atau
dibagi dua dosis. Dalam pengobatan rheumatoid arthritis, dosis yang
dianjurkan adalah 100-200 mg dua kali sehari. Z. [10]

14
b. Meloxicam
Meloxicam dapat digunakan pada osteoarthritis, rheumatoid
arthritis, dan arthritis rheumatoid juvenil. Dosis meloxicam dewasa yang
direkomendasikan adalah 7,5–15 mg sekali sehari. Meloxicam
menunjukkan beberapa selektivitas COX-2. Secara signifikan lebih sedikit
cedera lambung dibandingkan dengan piroksikam (20 mg / hari) pada
subjek yang diobati dengan 7,5 mg / hari meloxicam, tetapiKeuntungan
hilang dengan dosis 15 mg / hari
3. Nonselective COX Inhibitors
a. Acetaminophen
Acetaminophen (paracetamol; N-acetyl-p-aminophenol) adalah
metabolit aktif phenacetin. Acetaminophen meningkatkan ambang
rangsang nyeri. acetaminophen tersedia tanpa resep dan digunakan
sebagai analgesik rumah tangga umum oleh anak-anak dan orang dewasa.
Ini juga tersedia dalam kombinasi dosis tetap yang mengandung analgesik
narkotik dan nonnarkotik (termasuk aspirin dan salisilat lainnya),
barbiturat, kafein, obat sakit kepala vaskular, alat bantu tidur, obat sakit
gigi, antihistamin, antitusif, dekongestan, ekspektoran, pilek dan flu, dan
perawatan sakit tenggorokan. Acetaminophen ditoleransi dengan baik;
namun, overdosis. Dosis maksimum acetaminophen yang
direkomendasikan FDA adalah 4 g /hari.
Mekanisme Kerja, Acetaminophen memiliki efek analgesik dan
antipiretik serupa dengan aspirin, tetapi efek anti inflamasinya lemah.
obat ini adalah inhibitor COX non selektif, yang bertindak di situs
peroksida enzim dan dengan demikian berbeda di antara NSAID.
Kehadiran konsentrasi tinggi peroksida, seperti yang terjadi di situs
peradangan, mengurangi aktivitas Inhibitor-COX.
a. Asam Mefenamat
Asam mefenamat digunakan sebagai analgesik; sebagai anti-
inflamasi, asam mefenamat kurang efektif dibandingkan aspirin, Asam

15
mefenamat terikat sangat kuat pada protein plasma. Dengan demikian
interaksi terhadap obat antikoagulan harus diperhatikan. Efek samping
terhadap saluran cerna sering timbul, misalnya dyspepsia, diare hebat
sering dilaporkan. Dosis asam mefenamat adalah 2-3 kali 250-500
mg/hari. Karena efek toksisitasnya, maka di Amerika Serikat obat ini
tidak dianjurkan diberikan pada anak di bawah 14 tahun dan wanita
hamil, pemberian sebaiknya tidak melebihi 7 hari. Penelitian klinis
menyimpulkan bahwa penggunaan selama haid mengurangi kehilangan
darah secara bermakna.
b. Diclofenak
Diklofenak, turunan asam phenylacetic, adalah salah satu NSAID
yang paling umum digunakan di Eropa. Diklofenak memiliki aktivitas
analgesik, antipiretik, dan anti-inflamasi. Potensinya jauh lebih besar
daripada NSAID lainnya. Meskipun tidak dikembangkan menjadi obat
selektif COX-2, selektivitas diklofenak untuk COX-2 menyerupai
celecoxib. [9],[10]
Diklofenak disetujui di AS untuk pengobatan simptomatik jangka
panjang rheumatoid arthritis, osteoarthritis, ankylosing spondylitis, nyeri,
dismenore primer, dan migrain akut. Beberapa formulasi oral tersedia,
menyediakan berbagai waktu rilis; dosis oral harian yang biasa adalah 50-
150 mg, diberikan dalam beberapa dosis terbagi. Untuk nyeri akut seperti
migrain, bentuk bubuk untuk dilarutkan dalam air dan bentuk untuk
injeksi intravena tersedia. Diklofenak juga tersedia dalam kombinasi
dengan misoprostol, analog PGE1; kombinasi ini mempertahankan
kemanjuran diklofenak sekaligus mengurangi frekuensi ulkus GI dan
erosi. Sebuah gel topikal 1%, larutan topikal, dan patch transdermal
tersedia untuk pengobatan jangka pendek dari rasa sakit karena strain
minor, keseleo, dan memar. Formulasi gel 3% diindikasikan untuk
pengobatan topikal keratosis aktinik. Selain itu, solusi oftalmik diklofenak
tersedia untuk pengobatan peradangan pasca operasi setelah ekstraksi

16
katarak dan untuk menghilangkan nyeri dan fotofobia sementara pada
pasien yang menjalani bedah refraktif kornea. [9],[10]
c. Diflunisal
Meskipun diflunisal berasal dari asam salisilat, ia tidak
dimetabolisme menjadi asam salisilat atau salisilat. Obat ini mengalami
siklus enterohepatik dengan reabsorpsi metabolit glucuronide yang diikuti
oleh pembelahan glukuronida untuk kembali melepaskan bagian aktif.
Diflunisal tergantung pada kapasitas metabolisme yang terbatas, dengan
waktu paruh serum pada berbagai dosis yang mendekati salisilat. Untuk
RA dosis yang dianjurkan adalah 500-1000 mg setiap hari dalam dua
dosis terbagi. [9],[10]
d. Etodolac
Etodolac adalah turunan asam asetat rasemat dengan waktu paruh
menengah. Dosis analgesik etodolac adalah 200–400 mg tiga hingga
empat kali sehari. Dosis awal yang dianjurkan dalam OA dan RA adalah
300 mg dua kali atau tiga kali sehari hingga 500 mg dua kali sehari
diikuti dengan dosis pemeliharaan 600 mg / hari. [9],[10]
e. Ketorolac
Ketorolac adalah analgesik yang poten tetapi efek anti inflamasinya
sedang. Penggunaan ketorolak dibatasi hingga 5 hari atau kurang untuk
nyeri akut dan dapat diberikan secara oral, intravena, intramuskular, atau
intranasal. Dosis yang khas adalah 30-60 mg (intramuskular), 15-30 mg
(intravena), 10-20 mg (oral), dan 31,5 mg (intranasal). Pasien anak-anak
berusia antara 2 dan 16 tahun dapat menerima dosis tunggal intramuskular
(1 mg / kg hingga 30 mg) atau intravena (0,5 mg / kg hingga 15 mg)
ketorolak untuk nyeri akut yang parah. Ketorolac memiliki onset kerja
yang cepat dan durasi kerja yang singkat. Obat ini banyak digunakan pada
pasien pasca operasi, tetapi tidak boleh digunakan untuk analgesia
obstetrik rutin. Ketorolac topikal (ophthalmic) disetujui untuk pengobatan
konjungtivitis alergi musiman dan peradangan okular pasca operasi.

17
Ketorolac dalam kombinasi dosis tetap dengan fenilefrin diindikasikan
sebagai irigasi selama operasi penggantian lensa katarak atau intraokular
untuk mempertahankan ukuran pupil, mencegah miosis, dan mengurangi
nyeri pasca operasi. Efek samping ketorolak sistemik termasuk somnolen
(6%), pusing (7%), sakit kepala (17%), nyeri GI (13%), dispepsia (12%),
mual (12%), dan nyeri di tempat suntikan (2%). Efek GI, ginjal,
perdarahan, dan hipersensitivitas yang serius terhadap ketorolak dapat
terjadi. Pasien yang menerima dosis yang lebih besar dari yang
direkomendasikan atau terapi NSAID bersamaan, dan orang tua,
tampaknya sangat berisiko.
f. Flurbiprofen
Flurbiprofen adalah turunan asam propionat dengan mekanisme
aksi yang mungkin lebih kompleks daripada NSAID lainnya. Enantiomer
(S) (-) menghambat COX secara non-selektif.[9],[10]
Flurbiprofen juga tersedia dalam formulasi ophthalmic topikal
untuk penghambatan miosis intraoperatif. Flurbiprofen intravena efektif
untuk analgesia perioperatif pada operasi telinga, leher, dan hidung kecil
dan dalam bentuk permen untuk sakit tenggorokan. [9],[10]
Meskipun profil efek sampingnya mirip dengan NSAID lainnya
dalam banyak hal, flurbiprofen juga jarang dikaitkan dengan kekakuan
cogwheel, ataksia, tremor, dan mioklonus. [9],[10]
g. Ibuprofen
Ibuprofen adalah turunan sederhana dari asam phenylpropionic.
Ibuprofen dengan dosis sekitar 2.400 mg setiap hari, setara dengan 4 g
aspirin sebagai efek anti-inflamasi. [10]
Ibuprofen oral sering di resepkan dalam dosis rendah (<1600
mg/hari), di mana ia bersifat analgesik tetapi tidak anti-inflamasi.
Ibuprofen oral dan IV efektif dalam menutup patent ductus arteriosus
pada bayi prematur, dengan banyak kemanjuran dan keamanan yang
sama dengan indometasin. Persiapan krim topikal tampaknya diserap

18
ke fasia dan otot; krim ibuprofen lebih efektif daripada krim plasebo
dalam pengobatan OA lutut primer. Persiapan gel cair ibuprofen, 400
mg, memberikan promptlega dan efikasi keseluruhan yang baik pada
nyeri gigi pasca bedah. [10]
Dibandingkan dengan indometasin, ibuprofen mengurangi output
urin lebih sedikit dan juga menyebabkan retensi cairan berkurang. Obat ini
relatif di kontraindikasikan pada individu dengan polip hidung,
angioedema, dan reaktivitas bronkospastik terhadap aspirin. Aseptic
meningitis (terutama pada pasien dengan SLE), dan retensi cairan telah
dilaporkan. Pemberian ibuprofen dan aspirin bersamaan antagonizes
penghambatan platelet irreindibel yang di induksi oleh aspirin. Dengan
demikian, pengobatan dengan ibuprofen pada pasien dengan peningkatan
risiko kardiovaskular dapat membatasi efek kardioprotektif aspirin.
Selanjutnya, penggunaan ibuprofen bersamaan dengan aspirin dapat
menurunkan efek anti-inflamasi total. [10],[11]
h. Indometasin[10]
Indometasin, diperkenalkan pada tahun 1963, adalah turunan indole.
Ini adalah inhibitor COX non selektif yang poten dan juga dapat
menghambat fosfolipase A dan C, mengurangi migrasi neutrofil, dan
menurunkan proliferasi sel-T dan sel-B.Indomethacin agak berbeda dari
NSAID lain dalam indikasi dan toksisitasnya. Ini telah digunakan untuk
mempercepat penutupan patent ductus arteriosus. Indomethacin telah
dicoba dalam berbagai uji coba kecil atau tidak terkontrol untuk banyak
kondisi lain, termasuk Sweet syndrome, RA remaja, pleuritis, sindrom
nefrotik, diabetes insipidus, urtikaria vaskulitis, nyeri postepisiotomi, dan
profilaksis pengerasan heterotopik pada artoplasti.
indometasin sediaan mata berkhasiat untuk peradangan konjungtiva
dan untuk mengurangi rasa sakit setelah abrasi kornea traumatis.
Peradangan gingiva berkurang setelah pemberian bilas oral indometasin.
Suntikan epidural menghasilkan tingkat pereda nyeri yang serupa dengan

19
yang dicapai dengan metilprednisolon pada sindrom postlaminektomi.
Pada dosis biasa, indometasin memiliki efek samping yang umum. Efek
GI mungkin termasuk pankreatitis. Sakit kepala dialami oleh 15-25%
pasien dan mungkin berhubungan dengan pusing, kebingungan, dan
depresi. Nekrosis papiler ginjal juga telah diamati.
i. Ketoprofen
Ketoprofen adalah turunan asam propionat yang menghambat COX
(nonselectively) dan lipoxygenase.. Pemberian bersamaan probenecid
meningkatkan tingkat ketoprofen dan memperpanjang waktu paruh di
dalam plasma. Efektivitas ketoprofen pada dosis 100–300 mg / hari setara
dengan NSAID lainnya. Efek samping utamanya adalah pada saluran
pencernaan dan sistem saraf pusat.[10]
j. Nebumetone
Nabumetone adalah satu-satunya NSAID nonacid yang digunakan
saat ini; itu diberikan sebagai keton prodrug dan strukturnya menyerupai
naproxen. Waktu paruh lebih dari 24 jam memungkinkan pemberian dosis
sekali sehari, dan obat tampaknya tidak mengalami sirkulasi
enterohepatik. Sifat-sifatnya sangat mirip dengan NSAID lainnya,
meskipun mungkin kurang merusak lambung. Sayangnya, dosis yang
lebih tinggi (misalnya, 1500-2000 mg/hari) sering diperlukan, dan obat ini
adalah jenis NSAID yang sangat mahal. . [10],[11]
k. Naproxen
Naproxen efektif untuk indikasi rheumatologic yang biasa dan
tersedia dalam formulasi slow release, sebagai suspensi oral, dan over the
counter. Persiapan topikal dan larutan ophthalmic juga tersedia. Insiden
perdarahan GI atas dalam penggunaan over-the-counter rendah tetapi
masih dua kali lipat dari ibuprofen over-the-counter (mungkin karena efek
dosis). Kasus langka pneumonitis alergika, vaskulitis leukositoklastik, dan
pseudoporfiria serta efek samping terkait NSAID yang umum telah
dicatat.

20
l. Oxaprozin
Oxaprozin adalah NSAID turunan asam propionat lainnya .
Perbedaan utama dari anggota lain dari subkelompok ini adalah waktu
paruh yang sangat panjang (50-60 jam), meskipun oksaprozin tidak
mengalami sirkulasi enterohepatik. Ini agak uricosuric. Jika tidak, obat itu
memiliki manfaat dan risiko yang sama yang terkait dengan NSAID
lainnya.
m. Piroxicam
Piroxicam, oxicam, adalah inhibitor COX non selektif yang pada
konsentrasi tinggi juga menghambat migrasi leukosit polimorfonuklear,
menurunkan produksi radikal oksigen, dan menghambat fungsi limfosit.
Paruhnya yang panjang memungkinkan dosis sekali sehari.
Piroksikam dapat digunakan untuk rematik yang umum. Ketika
piroxicam digunakan dalam dosis yang lebih tinggi dari 20 mg / hari, efek
sampingnya adalah peningkatan insiden ulkus peptikum dan perdarahan.
n. Sulindac
Sulindac adalah prodrug sulfoksida. Ini secara reversible
dimetabolisme menjadi metabolit sulfida aktif dan memiliki siklus
enterohepatik; ini memperpanjang durasi aksi hingga 12–16 jam.
Selain indikasi penyakit reumatik, sulindac menekan poliposis usus
familial dan dapat menghambat perkembangan kanker usus besar,
payudara, dan prostat pada manusia. Efek samping berat yang dapat
terjadi seperti Stevens-Johnson, epidermal necrolysis syndrome,
trombositopenia, agranulositosis, dan sindrom nefrotik; semua telah
diamati. Kadang-kadang dikaitkan dengan kerusakan hati kolestatik.
o. Tolmetin
Tolmetin adalah inhibitor COX non-selektif dengan waktu paruh
yang pendek (1-2 jam) dan tidak sering digunakan. Obat ini tidak efektif
(untuk alasan yang tidak diketahui) dalam pengobatan asam urat.

21
H. PEMILIHAN NSAID
Tabel 1. Pemilihan Jenis NSAID [10]
Obat Penggunaan Terapeutik Farmakologi Klinik dan Tips
Salisilat
Aspirin - Penyakit vascular - Irreversible COX
- Nyeri/demam inhibitor pada dosis
- Penyakit rematik/demam rendah berfungsi
rematik menghambat fungsi platelet
- Penggunaan pada anak-
anak: terbatas karena
berhubungan dengan
sindrom Reye
- Mengurangi risiko adenoma
berulang pada orang dengan
riwayat kanker kolorektal
atau adenoma
- Memperpanjang waktu
perdarahan ~ 36 jam setelah
pemberian dosis
Salsalate - Artritis - Prodrug asam salisilat
- Penyakit Rheumatik - Tidak disetujui di AS
Diflunisal - Nyeri ringan sampai - Turunan asam salisilat
sedang - Sebagian besar tanpa efek
- Osteoarthritis/Rheumatoid antipiretik
arthritis - T1/2 berkepanjangan
dengan gangguan ginjal
Mesalamine (5- Inflamatory Bowel Disease - formulasi oral memberikan
aminosalicylic asam 5-aminosalisilat ke
acid) saluran Gastrointestinal;
spesifisitas Relatif relatif
mengurangi efek samping
- Dapat menyebabkan sindrom
intoleransi akut (sulit untuk
dilihat dari suatu eksaserbasi)
Sulfazalazine - Rheumatoid arthritis - Metabolit aktif Asam 5-
- Inflamatory Bowel aminosalicylic aktif (lihat
Disease mesalamine) yang dilepaskan
oleh bakteri kolon
- Dengan defisiensi G6PD:
rentanan terhadap anemia
hemolitik
Olsalazine - Inflamatory Bowel - metabolit aktif asam 5-
Disease aminosalicylic aktif (lihat
mesalamine) dilepaskan oleh

22
bakteri kolon
Balsalazide - Inflamatory Bowel - metabolit aktif asam 5-
Disease aminosalicylic aktif (lihat
mesalamine) dilepaskan oleh
bakteri kolon
Paraaminofenol
Acetaminophen - Nyeri - Inhibitor COX nonspesifik
- Demam lemah
- Aktivitas anti-inflamasi
rendah
- Memiliki sedikit efek pada
trombosit
- Overdosis obat menghasilkan
pembentukan metabolit
hepatotoksik (NAPQI)
- Risiko toksisitas kerusakan
hati↑, konsumsi etanol ≥3
gelas/hari, atau malnutrisi
Acetic Acid
Indometasin - Nyeri akut - Anti-inflamasi potensial
- Arthritis, kondisi dengan risiko efek samping
peradangan yang sering terjadi (20%
- Patent ductus arteriosus tidak melanjutkan)
- obat berisiko tinggi pada
pasien ≥ 65 tahun
Sulindac - Penyakit inflamasi - Sulfoxide prodrug
termasuk osteoarthritis,
rheumatoid arthritis,
arthritis gout akut,
ankylosing spondylitis,
acute painful Shoulder
Etodolac Nyeri, osteoarthritis, - Beberapa selektivitas COX-2
Rheumatoid arthritis,
juvenile arthritis
Tolmetin Nyeri, osteoarthritis, - ~ 33% pasien mengalami
rheumatoid arthritis, efek samping
juvenile arthritis
Ketorolac - Nyeri akut sedang sampai - Obat analgesik poten, anti
berat inflamasi yang buruk
- Nyeri mata, konjungtivitis - Lama terapi maksimal: 5 hari
alergi musiman - Oral, IM, IV, nasal, dan
ophthalmic administrasi
Diclofenac - Nyeri - relatif selektif terhadap COX-
- Dismenore 2

23
- Migraine (sediaan Oral) - T1/2 singkat, membutuhkan
- Osteoarthritis, dosis yang relatif tinggi
- Rheumatoid arthritis untuk memperpanjang
- Ankylosing spondylitis interval pemberian dosis
- Tingkat toksisitas CV yang
serupa dengan inhibitor
COX-2
- Toksisitas hati (4%);
kerusakan hati yang parah di
temukan pada 8 per 100.000
pengguna setiap tahun
Nebometone - Osteoarthritis, rheumatoid - relatif selektif terhadap COX-
arthritis 2
- prodrug asam 6-metoksi-2-
napthylacetic
Fenamatus: Asam antranilikat; Inhibitor COX non selektif dengan efek yang
mirip dengan NSAID lainnya
Asam - Nyeri - Untuk pasien ≥ 14 tahun dan
mefenamat - Dismenorea ≤ 7 hari pengobatan
- ↑ enzim hati dalam 5%
Meclomefenama - Nyeri / demam, dismenore - Untuk pasien ≥ 14 tahun
t - Osteoarthritis, rheumatoid - ↑ enzim hati dalam 5%
arthritis, artritis juvenile
- Ankylosing spondylitis,
artritis gout akut, Acute
Shulder pain
Asam Propionat: Inhibitor COX non selektif dengan efek dan efek samping yang
umum seperti NSAID lainnya
Ibuprofen - Nyeri / demam, dismenore - T1/2: 2-4 jam (dewasa); 23–
- Osteoarthritis, rheumatoid 75 jam (bayi prematur); 0,9-
arthritis 2,3 jam (anak-anak)
- Penyakit inflamasi - Berinteraksi dengan efek
- Patent ductus arteriosus antiplatelet aspirin
Naproxen - Nyeri / demam, dismenore - T1/2 (9-25 jam), terkait usia•
- Osteoarthritis, rheumatoid Peringatan FDA: naproxen
arthritis mungkinefek samping yang
- Penyakit inflamasi lebih rendah dibandingkan
- Patent ductus arteriosus dengan NSAID lainnya
- Berinteraksi dengan efek
antiplatelet aspirin
fenoprofen Nyeri -
- Osteoarthritis, rheumatoid
arthritis
Ketoprofen - Nyeri, dismenore - efek samping terjadi pada

24
- Osteoarthritis, rheumatoid 30% pangguna (biasanya GI,
arthritis biasanya ringan)
- ↑ enzim hati ~ 1%
Flurbiprofen - Osteoarthritis, rheumatoid - ↑ enzim hati> 1%
arthritis
Oxaprozin - Osteoarthritis, rheumatoid - T /2: 41-55 jam
arthritis - Onset lambat, tidak
diindikasikan untuk demam
atau nyeri akut
Enolic Acid
Piroxicam - Osteoarthritis, rheumatoid - Inhibitor COX nonselektif
arthritis dengan T1/2 ~ 50 jam
terpanjang
- Onset lambat, tidak di
indikasikan untuk demam
atau nyeri akut
- Efek samping merugikan,
20%, 5% pasien tidak
melanjutkan; lebih banyak GI
dan reaksi kulit yang serius
dibandingkan NSAID lainnya
Meloxicam - Osteoarthritis, rheumatoid - selektivitas relatif COX-2
arthritis - T1/2: 15-20 jam
Diaryl Heterocyclic NSAIDs
Celecoxib - Nyeri - COX-2 selektif
- Dismenore - Sulfonamide
- Osteoarthritis, rheumatoid - Risiko infark miokard yang
arthritis, artritis juvenil diamati pada uji acak
- ankylosing spondylitis terkontrol plasebo.

25
DAFTAR PUSTAKA
1. Gunawan SG, 2011. Farmakologi dan terapi edisi 5. Departemen farmakologu
dan terapeutik FK UI
2. Zahra AP, Carolia N, 2011. Obat anti inflamasi Non-steroid: gastroprotektif vs
Kardiotoksik. Majority Volume 6. Nomor 3
3. Lelo A, Hidayat DS, Juli S. 2004. Penggunaan Anti Inflamasi Non Steroid yang
rasional pada penanggulangan Nyeri rematik. Universitas Sumatera Utara
4. Suleyman H, Demircan B, Karagoz Y. 2007. Review inflammatory and side
effects of cyclooxigenase inhibitors. Pharmacological reports vol 59, 247-258
5. Fajriani, 2016. pemberian NSAID pada anak. Indonesian Journal Dental
Dentistry,15(3) 200-204
6. Kumar V, Cotran , Robbins SL. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins Volume 1
Edisi 7. Penerbit EGC
7. Lanas A, 2013. NSAIDs and Aspirin. Springer
8. Bi Lu Y. 2015. Non-steroidal Anti Inflamatory Drugs. Dept. Pharmacology,
School of Medicine Zhejiang Uneversity.
9. Al-Kaf AG, 2017. Nonsteroidal Antiinflamatory drugs. In Tech Croatia
10. Brunton L, Chabner BA, Knollman B, 2018. Goodman and Gilman’s The
Pharmacological basis Therapeutic 13th Edition. Mc Graw Hill Education
11. Katzung BG. Basic and clinical pharmacology 14th edition. Lange Medical Book

26

Anda mungkin juga menyukai