Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

TERAPI LISTRIK JANTUNG

Disusun oleh :

Annisa Ayu Rahmawati

NPM 1102014031

Pembimbing :

dr. Qudsiddik Unggul Putranto, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK ANASTESIOLOGI


RSUD PASAR REBO
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Dalam bidang kedokteran, khususnya bidang kegawat daruratan,


penggunaan peralatan kesehatan dibutuhkan tenaga-tenaga handal yang dapat
mengoprasikan, dan mengembangkan peralatan medis tersebut sehingga menjadi
optimal. Dengan adanya pertimbangan tersebut maka mengerti dan dapat
mengoperasikan defibrillator dengan benar merupakan hal yang penting. Terlebih
ketika tiba-tiba terjadi serangan jantung, Cardio Pulmonary Resuscitation (CPR)
saja tidak menyelamatkan nyawa. Cardio Pulmonary Resuscitation (CPR)
hanyalah tindakan sementara yang mempertahankan aliran oksigen dan darah ke
otak. Defibrilasi dini diperlukan untuk membangun kembali detak jantung yang
teratur.
Praktek defibrilasi pertama kali dimulai pada tahun 1920, yang dibiayai oleh
Consolidated Edison of New York sebagai respon adanya peningkatan jumlah
kecelakaan dan kematian akibat sengatan listrik. Pada tahun 1947, Claude S. Beck,
seorang dokter spesialis bedah thorak di Cleveland, dan kawan-kawannya
mempertunjukkan kesuksesan defibrilasi pertama pada manusia menggunakan
pedal internal pada jantung. Beck melakukan shock dengan arus bolak-balik untuk
meresusitasi anak laki-laki berusia 14 tahun yang denyut nadinya tidak teraba atau
hilang selama operasi bedah thorak elektif. Keberhasilannya kemudian diterima
dengan cepat, dan praktek ini kemudian berkembang dengan menggunakan jumlah
energi yang bervariasi. Pada awal tahun 1960-an, Lown dan kawan-kawan
mendemonstrasikan kelebihan dan keamanan penggunaan arus searah (DC)
dibanding arus bolak-balik (AC).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. DEFIBRILASI
2.1 Definisi Defibrillator
Shock defibrilasi mengantarkan energi listrik dalam jumlah yang sangat
banyak dan hampir serentak dengan durasi beberapa milidetik yang akan mengalir
antara elektrode positif dan negatif melewati jantung yang mengalami fibrilasi
ventrikel atau takikardi ventrikel tanpa denyut.
Aliran arus listrik ini tidak secara langsung membuat jantung berdenyut
normal, tapi mendepolarisasi seluruh miokardium sehingga kemudian terjadi
complete electrical silence atau asystole. Periode electrical silence pasca pemberian
shock yang singkat ini akan memberikan efek repolarisasi spontan pada sel
pacemaker jantung untuk pulih. Siklus regular dari repolarisasi dan depolarisasi dari
sel pacemaker ini akan kembali mengatur terjadinya aktifitas kontraktil yang
normal.
Defibrilator adalah suatu alat yang menghasilkan shock listrik dalam jumlah
yang terkontrol pada pasien untuk mengakhiri aritmia jantung. Defibrillator adalah
perangkat yang menyalurkan renjatan arus listrik dengan dosis tertentu ke jantung
yang digunakan ketika jantung memiliki irama yang abnormal (aritmia).
Defibrilator dibagi menjadi dua yaitu defibrillator eksternal meliputi bantalan yang
ditempatkan pada dada untuk memberikan energi listrik. Sedangkan defibrillator
internal (defibrillator cardioverter implan, atau ICD) terlihat mirip dengan alat
pacu jantung yang secara terus memantau ritme jantung untuk mendeteksi adanya
aritmia, ventrikel takikardia, maupun ventrikel fibrilasi. ICD mengoreksi irama
jantung dengan memberikan energi listrik yang telah terkalibrasi dengan tepat
untuk mengembalikan detak jantung normal. (Hazinski et al, 2015)

2.2 Mekanisme kerja


Prinsip kerja defibrillator yaitu arus listrik masuk kerangkaian catu daya,
lalu disearahkan menggunakan dioda. saat tombol Charge ditekan akan mengisi
kapasitor setelah kapasitor terisih penuh, tombol Shock ditekan akan melepaskan

3
muatan listrik yang ada di kapastor ke pasien melalui media paddle sternum dan
paddle apex. Teknik kardioversi listrik eksternal saat ini bergantung pada
penerapan sejumlah energi yang umumnya antara 50-360 J yang dialirkan melalui
dua elektroda (paddle). Mekanisme defibrilasi tidak diketahui secara pasti. Zipes et
al telah menjelaskan bahwa kegagalan untuk menjaga reentrant tachicardia oleh
jaringan miokard yang tersisa setelah terjadinya depolarisasi pada massa kritis
adalah faktor utama dalam mekanisme defibrilasi. (Zipes et al, 2000)
Renjatan arus listrik dari defibrillator baik dengan gelombang
monophasic maupun biphasic diharap mampu menghentikan aktivitas jantung
(depolarisasi), sehingga jantung dapat melakukan repolarisasi hingga muncul irama
sinus. (Ideker et al, 2000)

2.3 Macam-macam gelombang


Selama beberapa dekade, defibrillator telah menggunakan bentuk
gelombang monofasik. Dengan bentuk gelombang monofasik, arus mengalir dalam
satu arah, dari satu elektroda ke yang lain, menghentikan jantung sehingga memiliki
kesempatan untuk memulai kembali sendiri. Dengan bentuk gelombang Bifasik,
arus mengalir dalam satu arah pada tahap pertama shock dan kemudian
membalikkan untuk tahap kedua. Pertama digunakan dalam komersial defibrillator
implant, bentuk gelombang bifasik sekarang merupakan "standar emas" untuk
perangkat tersebut.
Tersedia penelitian yang menunjukkan bahwa bentuk gelombang Bifasik lebih
efektif dan menimbulkan lebih sedikit risiko cedera pada jantung daripada bentuk
gelombang Monofasik, bahkan ketika tingkat energi kejut adalah sama. Inilah
sebabnya mengapa produsen defibrillator eksternal sekarang menggunakan bentuk
gelombang Bifasik di perangkat mereka. (Jerry et al, 2010)
Meskipun penelitian terbaru menunjukkan defibrilasi bifasik lebih efektif
daripada monofasik, Pedoman Internasional tahun 2000 yang diterbitkan oleh
American Heart Association (AHA): "Rekomendasi ini baru, tidak berarti bahwa
perawatan dengan menggunakan pedoman masa lalu (untuk perangkat monofasik)
adalah baik dan aman atau tidak efektif. ". Namun, bentuk gelombang Bifasik
menjadi standar baru perawatan di defibrillator eksternal. Itu sebabnya sebagian

4
besar organisasi memilih bentuk gelombang Bifasik saat membeli defibrillator
eksternal baru hari ini. Di masa lalu hanya ada satu jenis defibrilasi transthoracic,
yaitu standar dibasahi sinus gelombang kejut monofasik. Selama bertahun-tahun
penelitian, teori impedansi dan waktu renjatan sudah digunakan dalam praktek
standar saat ini (jika menggunakan pads). Sehubungan dengan energi ada banyak
penelitian untuk mengevaluasi pengaruh dari beberapa energi tinggi renjatan pada
otot jantung itu sendiri.

Berikut adalah cara penggunaan defibrillator :

1. Lepaskan pakaian dari dada pasien. Lap kelembaban dari dada pasien.
2. Oleskan gel pada terapi elektroda paddle sternum dan Apex.
3. Pasang paddle atau pad terapi elektroda ke pasien seperti pada gambar.
4. Ubah ke mode “manual defib” dengan cara memutar Knob rotary.
5. Pilih energi, Anda dapat memilih tingkat energi dengan
menyesuaikan tombol pemilihan energi pada peralatan.
6. Tekan tombol “charge” pada panel depan. jika menggunakan
paddleeksternal, tekan tombol “charge” pada paddle, dapat digunakansebagai
gantinya. sebuah progres bar akan ditampilkan dalam pada area informasi
defibrasi.
7. Apabila charge telah terisi penuh Tekan tombol “shock” untuk memberikan
terapi kejut kepada pasien melalui media paddle sternum dan apex (Mittal et al,
2000).
.

Sternum

Apex

Gambar 1. posisi tempat meletakkan Paddle

5
2.4 Jenis-Jenis Defibrillator
1. Manual external defibrillator

Mesin ini kebanyakan digunakan


dengan alat pembaca elektrokardiogram,
dimana tenaga kesehatan bisa
menggunakannya untuk menentukan diagnosis
akan suatu kelainan jantung (seperti fibrilasi
atau takikardi). Tenaga kesehatan nantinya
dapat menentukan berapa joule yang akan
digunakan, berdasarkan guideline dan pengalaman, dan akan menyalurkan aliran
listrik melalui pad yang terpasang pada dada pasien. Manual external defibrillator
biasa terdapat pada rumah sakit atau di ambulans (Maltzahn et al,2000).

2. Manual internal defibrillator

Mesin ini merupakan alat yang


secara konsep penggunaan mirip dengan
defibrillator eksternal, hanya saja
kejutan listrik yang diberikan
dikirimkan melalui internal paddle yang
bersentuhan langsung dengan jantung.
Alat ini biasa ditemukan di kamar
operasi, dimana tindakan dilakukan oleh dokter bedah (Maltzahn et al,2000).

6
3. Automated external defibrillator (AED)

Alat ini dapat menganalisa ritme jantung dan memberikan saran apakah
diperlukan kejutan listrik atau tidak. Akan tetapi diperlukan waktu 10-20 detik,
sedangkan seorang professional dapat mendiagnosa dan mengatasi kondisi lebih
cepat dengan alat manual. Alat ini hanya dapat mengirimkan kejutan listrik untuk
Ventrikular fibrilasi, dan ventricular takikardi. Saat jeda waktu untuk analisa alat,
dekompresi dada harus dihentikan. Hal ini mengalam perubahan pada AHA
defibrillation guideline dan merekomendasikan tidak memakai AED bila terdapat
alat manual defibrillator disertai operator yang terlatih.
Lokasi alat ini selalu ditempatkan pada tempat-tempat yang ramai, dimana
resiko terjadinya sudden cardiac arrest tinggi. Tempat-tempat seperti bangunan
dengan rasio laki-laki lewat usia 50 tahun yang tinggi, lokasi alat ini juga biasanya
diwarnai dengan warna cerah, dan ditutupi dengan pelindung di dekat pintu masuk
bangunan (Link et al, 2010)

4. Semi-automated external defibrillators

Alat ini merupakan gabungan dari unit manual


dan unit otomatis. Alat ini biasa dipakai oleh
paramedik dan kedokteran emergensi. Alat ini
punya fitur AED dan juga punya fitur tampilan
EKG, dan juga bisa dioperasikan secara
manual, dimana kejutan listrik yang dipakai

7
diatur sendiri oleh operator. Beberapa alat juga dapat berperan sebagai pacemaker
jika pasien mengalami bradikardi dan masih memiliki kegunaan lain tergantung
keahlian operator.

5. Implantable cardioverter-defibrillator (ICD)

Bisa juga dikenal sebagai automatic internal cardiac defibrillator (AICD). Wujud
alat ini ialah implant, mirip seperti pacemaker (dapat juga berfungsi sebagai
pacemaker). Alat ini memonitor ritme jantung pasien secara konstan, dan secara
otomatis memberikan kejutan listrik untuk berbagai macam aritmia yang
membahayakan jiwa, sesuai dengan program yang terinstall pada alat. Saat ini
sudah terdapat alat yang dapat membedakan ventrikuler fibrilasi, ventricular
takikardi, dan aritmia seperti supreaventrikuler takikardi dan atrial fibrilasi, dan
dapat melakukan synchronized cardioversion. Saat terjadi aritmia yang mengancam
jiwa seperti ventricular fibrilasi, alat ini sudah terprogram untuk melakukan kejutan
tidak tersinkronisasi (Samii, 2015).

6. Wearable cardiac defibrillator

Pengembangan dari AICD


saat ini ialah ditemukannya
defibrillator eksternal portable yang
bisa dipakai seperti rompi. Alat ini
dapat memonitor keadaan pasien
selama 24 jam sehari dan akan
memberikan kejutan listrik bifasik

8
apabila diperlukan. Alat ini diindikasikan pada orang-orang yang menunggu
operasi defibrillator implant (Adler et al, 2013)

2.5 Indikasi Penggunaan Defibrillator


Penggunaan defibrillator merupakan bagian dari chain of survival dimana
menurut AHA 2015 dibagi menjadi dua yaitu IHCA (in-hospital cardiac arrest)
dan OHCA (out-of-hospital cardiac). Pembagian ini dibedakan oleh karena dimana
tempat pertama kali pasien ditemukan dalam keadaan henti jantung. Pada OHCA
alat defibrillator yang dapat dipakai adalah Public-access defibrillator sembari
menunggu bantuan tenaga medis. Pada IHCA pasien akan berhadapan langsung
dengan tenaga medis sehingga bisa cepat mendapatkan defibrilasi dan penanganan
yang lebih cepat. Pada henti jantung terdapat gelombang yang shockable dimana
terdapat tempat untuk menggunakan defibrillator. Gelombang shockable itu adalah
Ventricular Tachycardia (VT) dan Ventricular Fibrillation (VF) beberapa indikasi
lain dipergunakannya defibrillator adalah atrial fibrilasi yang tidak stabil maupun
atrial flutter atau takikardia yang tidak stabil (Hazinski et al, 2015; Butterworth et
al, 2013).
Tabel 1. Indikasi Penggunaan Defibrillator dan energi yang dibutuhkan

9
2.6 Dosis Penggunaan Defibrillator

Tidak ada energi tertentu untuk gelombang monofasik dan bifasik.


Rekomendasi dosis (energi tertentu) digunakan berdasarkan konsensus yang dikaji
dari literatur terbaru. Pada renjatan pertama apabila menggunakan defibrillator
monofasik digunakan dosis 360J. dosis diatas itu dapat menyebabkan kerusakan
myosit. Dosis bifasik yang biasa digunakan adalah 150J. untuk renjatan pada
dewasa boleh digunakan hingga tiga kali dengan dosis yang sama. Pada pediatri
insiden VF dan VT lebih jarang apabila terjadi dosis yang dapat digunakan adalah
4J/kg baik monofasik maupun bifasik. Renjatan kedua digunakan dengan dosis
yang sama (Deakin et al, 2010).

10
3. ELEKTRO-KARDIOVERSI

Kardioversi artinya adalah perubahan atau konversi AF ke irama sinus.


Pendekatan farmakologik dan penggunakan energi arus listrik langsung pada
elektro-kardioversi secara sederhana disebut sebagai kardioversi. Di Eropa,
terdapat prosedur kardioversi yang berbeda-beda sesuai wilayah negara. Di Jerman,
elektro-kardioversi lebih disukai dan dipakai pada lebih dari 90% pasien;
sedangkan di Spanyol, kardioversi farmakologik dengan kardioversi obat-obatan
dilakukan pada lebih dari 90% kasus.

Elektro-kardioversi perlu dilakukan sesuai rekomendasi pengobatan terkini


bila pasien mengalami instabilitas hemodinamik. Sebaliknya, kardioversi
farmakologik tampaknya cocok ketika obat-obat yang tersedia tampaknya
menunjukkan efikasi yang terbatas pada kasus AF yang telah bertahan lama.
Adanya penyakit pada struktur jantung juga perlu dipertimbangkan karena
gangguan fungsi ventrikel kiri atau adanya hipertrofi ventrikel kiri merupakan salah
satu kontraindikasi untuk menggunakan anti-aritmia kelas IC. Meskipun demikian,
potensi kardioversi murni dari amiodaron sangatlah terbatas, walaupun pada
prinsipnya obat ini juga dapat dipakai sebagai kardioversi pada pasien dengan
penyakit struktur jantung.

Penelitian AVRO menunjukkan bahwa amiodaron bisa menghasilkan irama


sinus dalam waktu 90 menit hanya pada 5% kasus. Sebelum menjalani kardioversi,
anamnesis pasien perlu dilakukan seakurat mungkin untuk mengevaluasi
kemungkinan keberhasilan konversi menggunakan pendekatan farmakologik. Bila
AF telah berlangsung selama lebih dari 7 hari, maka pendekatan farmakologik
murni biasanya tidak terlalu menjanjikan; sehingga elektro-kardioversi biasanya
perlu dipilih. Sebelum memberikan kardioversi listrik maupun farmakoklogik,
maka pada semua kasus antikoagulan oral perlu diberikan selama beberapa minggu
untuk mencegah komplikasi tromboemboli, atau ekokardiogram transesofagel perlu
dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya trombi pada atrium kiri yang
terbentuk akibat gangguan fungsi kontraktilitas yang diinduksi oleh AF.

11
Pada kardioversi, aliran listrik diberikan ke miokardium saat puncak
gelombang R. Ini penting dipahami, karena ketika aliran listrik kejut diberikan
bukan pada puncak gelombang R, misalnya pada saat ST, justru pasien malah
berpotensi mengalami komplikasi aritmia. Mengapa saat puncak gelombang R?
Karena QRS adalah gambaran depolarisasi Ventrikel. Aliran listrik yang diberikan
pada puncak gelombang R akan menyebabkan terjadinya depolarisasi seluruh
miokardium, sehingga masa refrakter memanjang, sehingga dapat menghambat dan
menghentikan terjadinya re-entry, dan memungkinkan SA Node mengambil alih
irama jantung menjadi irama sinus.

Indikasi Kardioversi
1. Fibrilasi ventrikel

2. Takikardia ventrikel, bila pengobatan medika-mentosa yang adekuat tidak


berhasil menghenti-kan takikardia tersebut atau pasien dengan keadaan
hemodinamik yang buruk.

3. Takikardia supraventrikular yang tidak bisa dihentikan dengan pemberian obat-


obatan atau keadaan hemodinamik yang buruk

4. Fibrilasi atrial yang tidak bisa dikonversi menjadi irama sinus dengan obat-
obatan.

5. Fluter atial yang tidak bisa dikonversi menjadi irama sinus dengan obat-obatan.

4. PACING

Pacemaker adalah alat pacu detak jantung dan langsung mengontrol detak
jantung. Kontraksi jantung (cardiac) otot pada manusia , alat mekanis yang
disebut alat pacu jantung buatan (atau hanya "alat pacu jantung") dapat digunakan
setelah kerusakan pada sistem konduksi intrinsik tubuh untuk menghasilkan impuls
sintetis.

Alat pacemaker terdiri dari :

· Transvenous pacing (temporary pacemaker)

12
Temporary pacemaker adalah suatu alat pacu jantung sementara dimana
kawat atau elektrode pacu jantung dimasukan melalui vena (pembuluh darah balik)
biasanya melalui vena femoralis/ vena jugularis/ vena subclavia menuju atrium atau
ventrikel kanan. Sedangkan generatornya ditempatkan diluar dan bersifat
sementara.

· Permanent pacemaker

Pacu jantung menetap adalah suatu alat medis yang ditanam dalam tubuh
pasien beruapa kawat pacing yang ditanam dalam satu ruang atau beberapa ruang
jantung melalui vena yang tepat dan dihubungkan generator dari pacu jantung
tersebut yang ditanam dibawah kulit atau otot dada kanan atau kiri. Ada beberapa
tipe dari pacu jantung permanen, yaitu :

 Single-chamber pacemaker. Pada tipe ini kawat pacing hanya ada satu yang
akan ditempatkan disalah satu ruang jantung yaitu atrium(serambi) atau
ventrikel(bilik).

 Dual-chamber pacemaker. Disini kawat pacing yang akan ditempatkan ada


2, satu ditempatkan di atrium dan satu di ventrikel. Tipe ini lebih fisiologis
atau lebih mirip dengan cara kerja pacu jantung orang yang sehat dengan
adanya koordinasi pemacuan antara atrium dan ventrikel.

 Rate-responsive pacemaker. Pacemaker tipe ini mempunyai sensor yang


bisa mendeteksi aktifitas fisik pasien dan secara otomatis akan mengatur
frekwensi kecepatan pemacuan sesuai dengan kebutuhan metabolisme
pasien.

· Biventricular pacing atau Cardiac resyncronization therapy (BVP/CRT).


Adalah suatu pacemaker generasi baru dengan 3 kawat pacu yang akan
dipasang yaitu ditempatkan di atrium kanan, ventrikel kanan dan ventrikel kiri
melalui sinus coronarius.

13
BAB III

KESIMPULAN

Defibrillator adalah perangkat yang menyalurkan renjatan arus listrik


dengan dosis tertentu ke jantung yang digunakan ketika jantung memiliki irama
yang abnormal (aritmia). Prinsip kerja defibrillator yaitu arus listrik
masuk kerangkaian catu daya, lalu disearahkan menggunakan dioda. Terdapat dua
macam gelombang yaitu gelombang monofasik dan bifasik.
Terdapat bermacam-macam jenis defibrillator dan yang paling banyak
dipakai adalah Automated external defibrillator. Indikasi penggunaan defibrillator
adalah ketika terjadi henti jantung dengan gelombang shockable.

14
DAFTAR PUSTAKA

Adler et al.2013.Wearable Cardioverter Defibrillator.American Heart


Association.Circulation 127: 854-860

Butterworth J et al. 2013. Morgan and Mikhail’s Clinical Anesthesiology. 5th ed.
McGraw-Hill Profesional Publishing.

Deakin CD et al. 2010. European Resuscitation Council Guidelines for


Resuscitation 2010 Section 3. Electrical therapies: Automated external
defibrillators, defibrillation, cardioversion and pacing. Resuscitation 81:
1293-1304

Hazinski MF et al. 2015. Highlights of the 2015 American Heart Association


Guideline Update for CPR and ECC. American Heart Association.

Ideker RE, Chattipakorn N, Gray RA. Defibrillation mechanisms: The parable of


the blind men and the elephant. J Cardiovasc
Electrophysiol. 2000;11:1008–1013.

Jerry PN, Jasmeet S, David AZ, Dominique B, Leo LB, et al. 2010. European
Resuscitation Guidelines for Resuscitation 2010. Resuscitation; 1219-1276.

Link MS et al.2010. Automated External Defibrillators, Defibrillation,


Cardioversion, and Pacing. Section 6. Electrical Therapies. American Heart
Association.

Maltzahn WW et al. 2000. Medical Instruments and Devices. CRC Press University
of Texas.8:77-80

Mittal S, S Ayati, Stein KM, Knight BP, Morady F, Schwartzman D, et


al. Perbandingan gelombang Bifasik baru kotak dengan gelombang
gelombang sinus teredam monofasik untuk defibrilasi ventrikel
transthoracic. Zoll Penyidik. J Am Coll Cardiol 2000; 34: 1595

15
Samii SM.2015. Indications for Pacemakers, Implantable Cardioverter-
Defibrillator and Cardiac Resynchronization Devices. Elsevier Med Clinic.
99(4):795-804

Zipes DP, Fischer J, King RM, Nicoll A deB, Jolly WW. Termination of ventricular
fibrillation in dogs by depolarizing a critical amount of myocardium. Am J
Cardiol.1975;36:37–44.

16

Anda mungkin juga menyukai