Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kedokteran nuklir adalah bidang kedokteran yang memanfaatkan materi
radioaktif untuk menegakkan diagnosis dan mengobati penderita serta mempelajari
penyakit manusia1. Perkembangan kedokteran nuklir tidak dapat dipisahkan dari
perkembangan dibidang fisika inti, yang menetapkan bahwa atom terdiri atas : inti
atom, neutron, dan proton serta dikelilingi oleh lintasan elektron yang terdiri atas K, L,
M, N, O, P dan Q. Dalam keadaan stabil, energi ikatan inti atom berada dalam tingkat
tertentu. Dalam keadaan tidak stabil akibat energi ikatan berubah (perubahan tersebut
terjadi dengan sendirinya atau dibuat oleh manusia), maka inti atom akan berusaha
untuk mencapai tingkat keseimbangannya yang baru dengan memecah diri (inti atom
berubah menjadi dua atau lebih inti atom yang lebih kecil) atau dengan mengeluarkan
energi tertentu. Keadaan inti atom ini disebut radioaktif, sedangkan perubahannya
adalah suatu peluruhan. Pada waktu meluruh akan terjadi atau dipancarkan radiasi
partikel atau radiasi elektromagnetik1.

Reaksi nuklir pertama kali berhasil dilaksanakan oleh Rutherford pada tahun
1919. Nuklir merupakan suatu kata yang erat kaitannya dengan inti atom dimana bila
terjadi ketidakstabilan inti, maka atom tersebut berusaha mencapai kestabilannya
dengan memancarkan antara lain sinar gamma, partikel alfa atau beta yang dikenal
sebagai radiasi dan unsur yang memancarkan radiasi tersebut disebut radioisotope atau
zat radioaktif. Radiasi yang dipancarkan oleh zat radioaktif ini dapat bermanfaat dalam
berbagai bidang, antara lain bidang kesehatan, industry, biologi, pertanian, peternakan,
hidrologi dan pertambangan3.

Penggunaan isotop radioaktif dalam biologi dan kedokteran telah dimulai sejak
tahun 1901 oleh Henri Danlos yang menggunakan isotop radium untuk pengobatan
penyakit tuberculosis pada kulit. Kemudian pada tahun 1920-an Hevesy dkk.
Mempelajari distribusi dan metabolism radioisotope alamiah (timah hitam, bismuth,
dan thorium) pada tanaman dan hewan. Selanjutnya Blumgart dan Weiss (1927)
meneliti kecepatan sirkulasi darah pada orang normal dan pasien penyakit jantung
dengan menggunakan gas radon yang dilarutkan dalam larutan garam fisiologik.

Pemanfaatan isotop radioaktif sebagai perunut dalam ilmu kedokteran


berkembang pesat setelah Frederic Joliot dan Irene Joliot-Curie (1934) menemukan
radioaktivitas buatan P-32. Beberapa tokoh lain yang berjasa dapat disebutkan disini
adalah :

- Cassen (1949) yang berhasil memetakan kelenjar gondok dengan menggunakan


radioisotope I-131.
- Hal Anger penemu kamera gamma pada tahun 1957.
- Yallow dan Berson yang mendapat hadiah Nobel untuk teknik RIA
(Radioimmunoassay) yang mereka temukan pada tahun 1960.
- Perrier dan Segre menemukan Technetium-99m pada tahun 19614.

Sejak reaktor nuklir pertama beroperasi dengan sukses (Desember 1942)


produksi isotop radioaktif berkembang dengan pesat. Pada tanggal 14 Juni 1946,
Journal Science memuat pengumuman dari Manhattan Proyect Headquarters,
Washington, Amerika Serikat, bahwa produksi isotop radioaktif sebagai perunut dan
terapi merupakan yang terbesar dari penggunaan Uranium untuk maksud damai.
Bernard Free Skin and Cancer Hospital di St Louis, Amerika Serikat, telah
menggunakan senyawa C14 sejak 1946. Tahun 1962, Oak Ridge National Laboratory
telah mengirim radioaktif dengan kapal sebesar 1.600.000 Ci. Di Amerika pada bulan
Juli 1964 telah ada 1085 dokter yang mempunyai lisensi praktek swasta dengan
mempergunakan isotop radioaktif, sementara 1201 lembaga juga memegang lisensi
tersebut. Pemeriksaan pertama fisiologik kelenjar gondok dengan menggunakan isotop
I131 dilakukan oleh Hertz dan Evan pada tahun 1938. Sejak itu perkembangan
kedokteran nuklir berlangsung cepat sejalan dengan perkembangan instrument dan
radiofarmaka serta pengetahuan fungsi normal dan patologik organ tubuh manusia di
bidang kedokteran.

Aplikasi teknik nuklir dalam bidang kedokteran di Indonesia telah dimulai


sejak akhir tahun enam puluhan, setelah reactor atom Indonesia yang pertama mulai
beroperasi di Bandung. Beberapa tenaga ahli Indonesia dibantu oleh ahli dari luar
negeri mulai merintis pendirian suatu unit kedokteran nuklir di Pusat Reaktor Atom
Bandung (kini bernama Pusat Penelitian Teknik Nuklir), salah satu Pusat Penelitian di
lingkungan Badan Tenaga Atom Nasional. Unit ini merupakan cikal bakal Unit
Kedokteran Nuklir RSU Hasan Sadikin/Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran4.

Dewasa ini di Indonesia terdapat 17 Rumah Sakit yang memiliki instalasi


kedokteran nuklir serta menggunakan radiofarmaka untuk diagnosis dan terapi
penyakit. Dari 17 RS tersebut, hanya sepuluh diantaranya yang secara aktif
menggunakan radiofarmaka dalam terapi dan diagnosis. Kesepuluh RS tersebut adalah
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (Jakarta), RS Harapan Kita (Jakarta), RS Pusat
Pertamina (Jakarta), RSPAD Gatot Soebroto (Jakarta), RS Kanker Dharmais (Jakarta),
RS Gading Pluit (Jakarta), RS Hasan Sadikin (Bandung), RS dr.Sutomo (Surabaya),
RS M Djamil (Padang) dan RS Marta Fiesta (Medan). Sementara tujuh rumah sakit
lainnya tidak secara aktif menggunakan peralatan teknologi kedokteran nuklir yang
dimiliki. Tujuh RS tersebut adalah RS Fatmawati (Jakarta), RS MMC (Jakarta), RS
dr.Sardjito (Yogyakarta), RS Kaiadi (Semarang), RS Saeful Anwar (Malang), RS
Adam Malik (Medan) dan RS Akademis (Makassar)7. Menurut WHO, Ilmu
Kedokteran Nuklir adalah cabang ilmu kedokteran yang menggunakan sumber radiasi
terbuka berasal dari inti radionuklida buatan untuk mempelajari perubahan fisiologik
dan biokimia sehingga dapat digunakan untuk tujuan diagnostik, terapi, dan penelitian2.
1.2.Tujuan
Referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan tentang kedokteran nuklir
yang merupakan cabang baru ilmu kedokteran yang kini semakin diminati dan
berkembang.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Kedokteran Nuklir


Menurut WHO, Ilmu Kedokteran Nuklir adalah cabang ilmu kedokteran yang
menggunakan sumber radiasi terbuka berasal dari inti radionuklida buatan untuk
mempelajari perubahan fisiologik dan biokimia sehingga dapat digunakan untuk tujuan
diagnostik, terapi, dan penelitian2.

Alat deteksi atau detektor dalam kedokteran nuklir merupakan rangkaian


elektronik yang dapat merubah sinar gamma menjadi data yang dapat dinilai. Pada saat
ini dipergunakan detektor skintilasi berupa kristal Nal. Kristal ini bila terkena sinar
gamma akan mengalami eksitasi dan mengeluarkan sinar berkilau. Bila sinar ini
membentur lapisan fotoelektrik akan dihasil elektron. Elektron ini diperbanyak dengan
foto multiplier sehingga menjadi pulsa listrik. Pulsa inilah yang akan merupakan data
yang terlihat di layer skala, data tersebut dapat berupa angka-angka (misalnya pada
pemeriksaan up-take kelenjar tiroid0, berupa grafik (grafik renogram), atau berupa
titik-titik (misalnya pemeriksaan scanning organ). Besarnya angka, tingginya grafik
dan banyaknya titik dalam satuan waktu sebanding dengan banyaknya sinar gamma
yang membentur kristal. Dengan demikian keadaan sumber radiasi dapat dinilai
sebagai peta energi berbentuk angka, scanning, dan grafik1.

Pada kegiatan kedokteran nuklir untuk keperluan diagnostik, radioisotop dapat


dimasukkan ke dalam tubuh pasien secara inhalasi melalui jalan pernafasan, atau
melalui mulut, ataupun melalui injeksi (studi in vivo). Di samping itu dapat pula
radioisotop hanya direaksikan dengan bahan biologik (darah, urine, cairan
serebrospinal, dsb.) yang diambil dari tubuh pasien (studi in vitro)4.
Untuk menilai keadaan tubuh, misalnya hati, maka organ tersebut harus
dijadikan sumber radiasi. Apabila hanya organ tersebut saja yang menangkap unsur
radioaktif, sedangkan sekitar organ tersebut tidak, maka pemeriksaan organ tersebut
sebagai sumber radiasi dapat dilakukan. Untuk maksud tersebut diperlukan suatu
senyawa yang mengandung radioaktif yang dapat ditangkap oleh organ tubuh secara
selektif. Senyawa tersebut adalah radiofarmaka, yang diberi batasan sebagai suatu
senyawa aktif yang dimasukkan ke dalam tubuh penderita (ditelan atau disuntikkan)
untuk menegakkan diagnosis atau pengobatan dan tidak tertutup kedap (ikut
metabolisme tubuh)1.

2.2 Radiofarmaka

Radiofarmaka merupakan senyawa radioaktif yang digunakan dalam bidang


kedokteran nuklir, baik untuk tujuan diagnosis maupun pengobatan. Berdasarkan cara
penggunaannya, radiofarmaka dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu secara in vivo
dan in vitro.

Beberapa persyaratan yang harus dipunyai oleh suatu radiofarmaka antara lain
adalah :

1. Toksisitasnya rendah.
2. Pembuatan dan penggunaannya mudah.
3. Lebih spesifik untuk penyakit tertentu atau terakumulasi pada organ tertentu.
4. Tingkat bahay radiasi pada manusia rendah.
5. Untuk visualisasi eksternal (in vivo) sebaiknya merupakan sinar γ (gamma)
murni dengan energi 100-400 keV.
6. Harga relatif murah.

Radiofarmaka dapat diberikan secara in vivo dan in vitro. Penggunaan


radiofarmaka secara in vivo dilakukan dengan cara suntikkan, ditelan atau dihisap,
dengan tujuan diagnosis atau pengobatan suatu penyakit, sedangkan penggunaan
radiofarmaka secara in vitro dilakukan dengan cara mengambil cuplikan darah atau
urin, yang dalam istilah klinis dikenal dengan nama teknik radioimmunoassay (RIA)
dan immunoradiometric assay (IRMA). Teknik tersebut telah berkembang menjadi
metode yang sangat luas pemakaiannya, karena cara ini sederhana, cepat serta spesifik
dan kadang-kadang merupakan satu-satunya cara untuk penentuan suatu zat tertentu3.

Dalam perkembangannya banyak sekali radiofarmaka yang telah dipakai dalam


bidang kedokteran nuklir. Cara penempatan radiofarmaka dalam organ tubuh berbeda-
beda, satu organ dapat ditempati oleh suatu jenis radiofarmaka, sementara organ lain
dapat ditempati oleh banyak jenis radiofarmaka. Radiofarmaka terdiri atas dua
komponen radioaktif dan komponen pembawa materi dapat ditandai (dilabel) oleh
lebih dari satu bahan radioaktif, sebaliknya satu komponen radioaktif dapat menandai
lebih dari satu pembawa materi. Komponen pembawa materi akan membawa bahan
radioaktif ke organ tubuh tertentu yang dapat ditempati atau dapat menangkap
pembawa materi tersebut, sehingga bahan radioaktif akan berada di organ tersebut dan
menjadi sumber radiasi. Apabila sebagian atau seluruh organ tersebut gagal
ditempati/menangkap radiofarmaka atau sebaliknya terlalu banyak/terlalu aktif
menangkap radiofarmaka, maka peta energi organ tersebut akan berubah, misalnya
abses di hati menimbulkan gambaran cold area karena kegagalan sel hati di daerah
abses untuk menangkap radiofarmaka1.

Banyak cara penempatan radiofarmaka dalam organ tubuh yang belum dapat
dijelaskan mekanismenya, meskipun ada yang telah diketahui. Beberapa cara
penempatan yang sudah diketahui. Beberapa cara penempatan yang sudah diketahui
mekanismenya adalah :

- Proses Fagositosis
Bila pembawa materi adalah mikrokoloid yang dapat ditandai oleh Tc-99m, In-
113m, atau Au-198, maka radiofarmaka ini akan difagosit oleh system
retikuloendotelial (RES) tubuh setelah disuntikkan intravena. Radiofarmaka ini
dimanfaatkan untuk membuat skening hati, limpa, sumsum tulang dan juga
membuat skening kelenjar getah bening regional bila diberikan subkutan.

- Transportasi aktif
Secara aktif sel-sel organ tubuh memindahkan radiofarmaka ini dari plasma
darah ke dalam organ untuk selanjutnya ikut metabolism tubuh atau
dikeluarkan dari tubuh. Contoh radiofarmaka kelompok ini adalah: I131 dalam
bentuk garam sodium akan ditransfer ke sel tiroid untuk membuat T3 dan T4
Tc-99m IDA dan I131 Rose Bengal oleh sel polygonal hati ditransfer dari darah
untuk kemudian diekskresi ke usus halus lewat saluran empedu. I131 Hippuran,
diekskresi oleh sel tubulus, sehingga dapat dipakai untuk memeriksa fungsi
ginjal melalui pemeriksaan renogram.

- Penghalang Kapiler
Apabila pembawa materi adalah makrokoloid yang berukuran 20-30 u dan
disuntikkan intravena akan menjadi penghalang kapiler diparu, misalnya
radiofarmaka Tc-99-m-makrokoloid. Hal ini dapat dimanfaatkan membuat
scanning perfusi paru untuk mendeteksi emboli paru.

- Pertukaran Difus
Pembawa materi yang telah ditandai radioaktif akan saling bertukar tempat
dengan senyawa yang sama dari organ tubuh. Misalnya polifosfat bertanda Tc-
99m dalam tulang akan merata 3 jam setelah suntikan radiofarmaka tersebut.
Pertukaran difus dapat pula terjadi antara RIHSA dan cairan interselluler otak
bila ada kerusakan sawar darah otak, sehingga dapat dipakai untuk mendeteksi
lesi otak.

- Komparmental
Bila radiofarmaka dapat menggambarkan blood pool karena keberadaannya
dalam darah cukup lama, maka dapat dimanfaatkan untuk membuat scanning
jantung atau plasenta (ventrikulografi dan plasentografi). Hal tersebut dapat
dilakukan dengan menggunakan RIHSA, Cr51 eritrosit atau Tc-99m Sn eritrosit.
Pemeriksaan letak plasenta dengan isotop radiofarmaka telah lama ditinggalkan
dan diganti dengan pemeriksaan sonografi yang lebih aman. Saat ini
pemeriksaan ventrikulografi jantung dengan Tc-99m Sn eritrosit makin popular
di Indonesia.

- Pengasingan Sel
Sel darah merah yang ditandai oleh Cr51 dan dipanaskan 50o selama satu menit
bila dimasukkan kembali ke tubuh penderita secara intravena akan segera
diasingkan ke limpa, dan merupakan radiofarmaka untuk membuat skening
limpa. Penempatan TI201 dalam miokard jantung sehat dan terjadinya defect
aktivitas yang permanen di daerah infark atau defek sementara di miokard yang
iskemik adalah contoh yang popular dari penempatan radiofarmaka dalam
tubuh yang diketahui secara pasti mekanismenya1.

2.3 Penggunaan Radiofarmaka Secara In Vivo

2.3.1 Tujuan Diagnosis

Penggunaan radiofarmaka dilakukan dengan tujuan untuk mengevaluasi


morfologi dan fungsi suatu organ. Hingga saat ini, radiofarmaka yang banyak
digunakan adalah dalam bentuk senyawa bertanda teknesium-99m, yang merupakan
radioisotope ideal untuk diagnosis karena mempunyai waku paruh relative singkat (6
jam) dengan energi yang relatif rendah (140 keV) serta pemancar γ. Dengan
berkembangnya teknologi pengadaan radioisotope teknesium-99m, yaitu dapat
99
diperoleh dengan system generator Mo-99mTc yang pemisahannya dapat dilakukan
dirumah sakit, maka radiofarmaka yang menggunakan radioisotope tersebut dapat
dibuat dalam bentuk kit kering yaitu radiofarmaka setengah jadi yang dikemas secara
terpisah dengan radioisotop/radionuklidanya.

Secara prinsip, radiofarmaka yang dimasukkan ke dalam tubuh akan diangkut


oleh darah dan didistribusikan ke organ tubuh yang diinginkan, misalnya ginjal,
jantung, hati dan lain-lain, sesuai dengan jenis radiofarmaka yang digunakan. Dengan
metode pencitraan menggunakan alat tertentu misalnya kamera gamma akan diperoleh
gambaran organ yang memberikan informasi mengenai morfologi dan fungsi dari
organ tersebut. Pemeriksaan fungsi organ ini merupakan keunggulan dari kedokteran
nuklir terhadap metode diagnosis yang lain seperti sinar-X dan ultrasonografi. Selain
itu, akibat radiasi yang ditimbulkan oleh suatu radiofarmaka umumnya jauh lebih kecil
dari pada pemeriksaan dengan sinar-X.

Kamera Gamma8

Berbagai radiofarmaka yang digunakan dalam bidang kedokteran nuklir untuk


tujuan diagnosis organ tubuh ditampilkan dalam tabel dibawah.
Dalam aplikasi klinis, pemakaian radiofarmaka untuk tujuan diagnosis
dilakukan dengan metode pencitraan menggunakan alat kamera gamma.
Beberapa keuntungan penggunaan teknik nuklir untuk diagnosis secara in vivo
(interna) :

1. Sangat sensitif.
2. Tidak menimbulkan rasa sakit.
3. Tidak memberikan efek sampingan sehingga dapat digunakan pada
hampir semua penderita penyakit termasuk pasien yang sudah parah
keadaannya.
4. Selain untuk evaluasi anatomis juga dapat untuk mengetahui fungsi
organ tersebut3.

2.3.2 Tujuan Pengobatan

Penggunaan radioisotope untuk pengobatan pada saat ini masih terbata pada
beberapa jenis penyakit antara lain pengobatan hipertiroid, karsinoma tiroid,
polisitemia vera dan hemangioma kulit. Berdasarkan cara pemakaiannya dibagi
menjadi dua kelompok :

1. Dengan cara penyinaran dari luar (eksternal), antara lain menggunakan cobalt-
60 dan cesium-137.
2. Dengan cara dimasukkan ke dalam tubuh (internal), antara lain menggunakan
iodium-131 untuk pengobatan hipertiroid dan kanker tiroid. Sejak tahun 1993,
dikembangkan pembuatan radiofarmaka dalam bentuk senyawa bertanda
menggunakan unsur radioaktif yang dikenal sebagai radioisotope generasi
kedua diantaranya samarium-153, dysprosium-165, rhenium-186, holmium-
166 yang merupakan isotop pemancar β dan astatine-211, bismuth-212 sebagai
pemancar α yang dapat untuk pengobatan kanker.

2.4 Penggunaan Radiofarmaka Secara In Vitro

Radiofarmaka digunakan diluar tubuh seperti pemeriksaan klinis dengan cara


mengambil cuplikan darah atau urin, yang dalam istilah klinis dikenal dengan nama
teknik radioimmunoassay (RIA) dan immunoradiometric assay (IRMA). Dengan cara
RIA ini dapat ditentukan dan diamati fungsi serta gangguan lain pada :

Hipofisa : HGH, LH, FSH, TSH, ACTH, vasopressin, oksitosin,


prolaktin

Plasenta : HPL, HCG

Pankreas : insulin

Glandula suprarenalis : adrenalin, noradrenalin

Glandula tiroid/paratiroid : triiodotironin (T3), tiroksin (T4), parathormon (PTH),

kalsitonin3.

3. Kedokteran Nuklir Sebagai Pencitraan Diagnostik

Kedokteran nuklir merupakan bagian pencitraan diagnostik, diantaranya adalah


scanning tulang, hati dan limpa, hati dan sistem empedu, kelenjar gondok, ginjal dan
renogram, paru, jantung dan otak.

3.1 Scanning Tulang

Kedokteran nuklir merupakan salah satu cabang ilmu kedokteran untuk


mengetahui anatomi dan fisiologi tubuh. Salah satu jenis pemeriksaan kedokteran
nuklir adalah pemeriksaan bone scanning. Menurut UNSCEAR (United Nations
Scientific Committee on the Effect Atomic), pemeriksaan bone scanning merupakan
jenis pemeriksaaan diagnostik yang mempunyai kontribusi terbesar. Pemeriksaan bone
scanning menggunakan aktivitas radiofarmaka sangat tinggi sekitar 320-740 MBq.
Karena aktivitas yang diberikan pasien sangat tinggi, maka perlu diketahui waktu paro
biologi didalam tulang untuk keperluan proteksi radiasi5.

Fungsi dari scanning tulang (bone scanning) :

1. Cari kanker tulang atau tentukan apakah kanker dari area lain di tubuh, seperti
payudara, paru-paru atau kelenjar prostat, telah menyebar ke tulang.
2. Mendiagnosis penyebab atau lokasi nyeri tulang yang tidak dapat dijelaskan,
seperti nyeri punggung bawah yang sedang berlangsung.
3. Membantu menentukan lokasi tulang yang tidak normal dalam struktur tulang yang
kompleks, seperti kaki atau tulang belakang. Evaluasi tindak lanjut dapat dilakukan
dengan computed tomography (CT) atau magnetik pemindaian resonansi
pencitraan (MRI).
4. Mendiagnosa patah tulang, seperti fraktur stres atau patah tulang pinggul, tidak
terlihat jelas pada x-rays.
5. Temukan kerusakan tulang yang disebabkan oleh infeksi atau kondisi lain, seperti
penyakit Paget6.

Indikasi dilakukannya scanning tulang yaitu untuk mendeteksi metastasis


keganasan dalam tulang penderita yang telah diketahui terdapat keganasan primer
sebelum perubahan terlihat dengan pemeriksaan radiologic, serta dapat menetapkan
dengan lebih tepat luasnya penjalaran lesi. Dengan demikian akan sangat berguna
untuk membuat rencana radioterapi. Daopat pula digunakan untuk menetapkan daerah
biopsy serta menetapkan luasnya lesi nonmaligna seperti pada osteomyelitis. Untuk
tulang yang sukar diperiksa secara radiologis, misalnya scapula, iga dan sternum,
pemeriksaan ini akan sangat berguna.

Scanning tulang memiliki beberapa keterbatasan, yaitu scanning tulang tidak


spesifik, tidak dapat membedakan garis epifisis yang masih terbuka (titik tumbuh)
fraktur yang menyembuh, arthritis yang aktif, osteomyelitis, proses degenerative dan
keganasan primer maupun sekunder. Radiofarmaka untuk scanning tulang di-ekskresi
lewat ginjal dan buli-buli, maka akan terjadi kesulitan penilaian di daerah iga X, X1
dan XII belakang serta daerah pelvis.

Pemeriksaan scanning tulang yaitu 3-4 jam setelah penyuntikkan intravena 10-
15mCi Tc-99m – MDP dilakukan pemeriksaan scanning tulang, setelah penderita
kencing Dipergunakan kamera gamma dengan energi rendah, kolimator parallel dan
window 25-30%. Dibuat pemeriksaan radiologi di daerah yang aktivitasnya meningkat
secara abnormal1.
3.2 Scanning Hati dan Limpa

Partikel koloidal yang disuntikkan intravena akan dikeluarkan dari darah oleh
sel-sel system retikuloendotelial (RES) dengan cara fagositosis. Bila ada kerusakan di
satu tempat di hati atau limpa, maka sel-sel RES gagal menangkap radiokoloid
sehingga terjadi cold spot atau lobang pada citra (image) organ tersebut. Indikasi
dilakukannya scanning hati dan limpa adalah untuk mengevaluasi bentuk, ukuran dan
letak hati dan limpa. Scanning hati dan limpa juga digunakan untuk mendeteksi lesi
fokal seperti keganasan primer, keganasan sekunder, abses, kista dan lain-lain. Dapat
pula mendeteksi lesi difus seperti sirosi hati.

Scanning hati dan limpa menggunakan radiofarmaka memiliki keterbatasan


yaitu lesi kecil yang dapat dinilai sekitar 2 ½ - 3 cm, kemudian tidak dapat
membedakan antara keganasan dengan bukan keganasan. Pemeriksaan dilakukan
dengan cara memberikan 1-2 mCi Tc-99m mikrokoloid intravena, scanning dilakukan
20 menit setelah suntikan. Dipergunakan kamera gamma dengan energi rendah,
kolimator parallel dan window 25-30%. Untuk hati dilakukan dari sisi kanan,
sedangkan untuk limpa dilakukan dari belakang dan samping kiri. Posisi umbilicus,
xifoid, arkus costae dan batas bawah hati, limpa serta massa abdomen yang lain diberi
tanda1.

3.3 Scanning Hati dan Sistem Empedu

Scanning hati dan sistem empedu dilakukan untuk membedakan ikterus


obstruksi dan non-obstruksi. Selain itu juga untuk menetapkan obstruksi total atau
parsial. Namun scanning hati dan system empedu ini memiliki keterbatasan yaitu tidak
mutlak membedakan jenis ikterus. Aktivitas di ginjal pada kasus-kasus obstruksi hati
kadang-kadang sukar dibedakan dengan aktivitas di usus. Bila bilirubin darah lebih dari
10 mg% maka tak dapat lagi menilai citra hati. Pemeriksaan dilakukan dengan cara
pasien diberikan Tc-99m IDA intravena sebesar 2-4mCi. Scanning pertama dilakukan
5 menit setelah injeksi, dilakukan dari depan dan samping kanan untuk menilai keadaan
hati. Scanning kedua dilakukan 15-30 menit setelah injeksi, hanya dari depan saja
untuk menilai saluran dan kandung empedu. Scanning ketiga dilakukan 60 menit
setelah injeksi, akan menilai kandung empedu dan aktivitas di usus-usus1.

3.4 Scanning dan Up-take Kelenjar Gondok

Sel-sel kelenjar gondok akan menangkap secara aktif ion I dari plasma darah
untuk sintasis hormone T3 dan T4. Dengan demikian bila terhadap penderia diberikan
I131 dalam bentukan garam sodium, ion tersebut akan berkumpul dikelenjar gondok dan
dapat dideteksi dari luar. Scanning kelenjar gondok dilakukan untuk menilai besar,
bentuk anatomi dan letak kelenjar gondok yang berfungsi. Kemudian digunakan juga
untuk mengevaluasi nodul tiroid, berfungsi atau tidak atau bahkan suatu nodul otonom,
pra dan pasca-operasi karsinoma tiroid dan menilai efek terapinya, menilai massa
dileher dan mediastinum dan up-take tiroid untuk menilai laju penimbunan I131
kedalam tiroid. Keterbatasan dari scanning dan uptake kelenjar gondok adalah apabila
suatu bagian kelenjar gondok yang masih berfungsi tetapi dalam tingkat rendah akan
tampak sebagai daerah cold (tak berfungsi) disbanding dengan jaringan yang normal.
Pemeriksaan dilakukan dengan cara diberikan peroral 30 uCi I131, up-take pertama 2
jam, kedua 24 jam, ketiga 48 jam setelah pemberian I131. Scanning dilakukan 24 jam
setelah pemberian1.

3.5 Scanning Ginjal

Scanning ginjal dilakukan untuk memberikan informasi tentang besar, bentuk


dan letak ginjal. Dapat pula untuk menilai fungsi ginjal secara semi kuantitatif,
kemudia untuk evaluasi trauma ginjal, tumor dan kista. Untuk penderita yang sensitive
terhadap media kontras radiologi dan dalam keadaan ureum darah yang tinggi,
scanning ginjal dapat merupakan alternative pemeriksaan pengganti. Keterbatasan dari
scanning ginjal adalah pada gangguan parenkim ginjal difus atau kelainan arteri renalis
yang berattidak akan tampak citra ginjal dan juga hasil tidak spesifik. Scanning dibuat
1-2 jam setelah suntikan intravena Tc-99m DTPA. Sebelumnya penderita akan diminta
kencing dahulu. Dipakai kamera energi rendah, kolimator parallel dan window 30% ;
tiap citra terdiri atas 200.000 counts. Scan dilakukan dari belakang dengan penderita
tengkurap1.

3.6 Scanning Paru

Materi makrokoloid dengan diameter 20-30 mikron bila disuntikkan intravena


akan menjadi penghalang kapiler di paru. Makrokoloid dapat diberi tanda Tc-99m
menjadi radiofarmaka untuk membuat scanning perfusi paru. Pada aliran darah yang
terganggu misalkan pada emboli paru atau pembuluh darah tertutup pada atelectasis
dan pneumonia atau pada emfisema, radiofarmaka akan gagal tersebar merata diseluruh
paru dan menimbulkan daerah cold. Indikasi utama dilakukan scanning paru adalah
untuk emboli paru. Dapat juga dilakukan untuk emfisema paru, hipertensi pulmonal,
karsinoma paru dan sesak nafas serta sakit di dada yang tidak diketahui sebabnya. Pada
keadaan hipoksia berat dan kelainan jantung bawaan yang menimbulkan aliran dari
kanan ke kiri merupakan kontraindikasi pemeriksaan ini. Pemeriksaan dilakukan
dengan menyuntikkan radiofarmaka perlahan-lahan sementara penderita melakukan
beberapa kali inspirasi dan posisi tidur terlentang tanpa bantal. Skening paru dapat
segera dikerjakan dengan kamera gamma berenergi rendah, kolimator parallel dan
window 30%. Skening dilakukan dalam 4 posisi yaitu depan, belakang, sisi kanan dan
sisi kiri, tiap citra terdiri atas 300.000 counts.
Daftar Pustaka

1. Rasad, Sjahriar. 2005. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua. Jakarta: Balai


Penerbit FK UI, 537 - 546.
2. WORLD HEALTH ORGANIZATION : The Medical Uses of Ionizing
Radiation and Radio-Isotop, WHO Technical Series No.492, 1972
3. Nurlaila. Penggunaan Teknik Nuklir Dalam Bidang Kedokteran Nuklir Dan
Sterilisasi Serta Risikonya Bagi Kesehatan. http://digilib.batan.go.id/e-
jurnal/Artikel/Buletin-Batan/ThXXIINo1Des-001/Nurlaila_Z.pdf . Diakses
pada 26 Mei 2018.

4. Wiharto, K., 1996. Kedokteran Nuklir dan Aplikasi Teknik Nuklir Dalam
Kedokteran.
http://www.iaea.org/inis/collection/NCLCollectionStore/_Public/31/065/3106
5368.pdf . Diakses pada 25 Mei 2018
5. Purwati T., Setiabudi W., 2016. Penentuan Waktu Paro Biologi TC99M MDP
Pada Pemeriksaan Bone Scanning.
https://media.neliti.com/media/publications/213930-none.pdf . Diakses pada
27 Mei 2018
6. https://www.radiologyinfo.org/en/pdf/bone-scan.pdf . Diakses pada 28 Mei
2018
7. http://www.pdpersi.co.id/content/news.php?catid=2&mid=5&nid=173 .
Diakses pada 29 Mei 2018
8. http://www.iop.org/education/teacher/resources/teaching-medical-
physics/gamma/page_54689.html . Diakses pada 29 Mei 2018

Anda mungkin juga menyukai