Anda di halaman 1dari 14

Annisa Ayu R (1102014031)

A-12

Pasal-pasal yang Mengatur Malpraktek

Peraturan Non Hukum

Diatur oleh Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). KODEKI semula merupakan peraturan
non hukum karena peraturan ini telah menjadi petunjuk perilaku atau etika seorang dokter dalam
menjalankan profesinya. Dalam KODEKI diatur tentang kewajiban dokter terhadap pasien yang
dicantumkan di dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 14, yaitu:

Pasal 10 KODEKI: “Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi
makhluk insani”

Pasal 11 KODEKI: “Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu
dan keterampilannya untu kepentingan penderita. Dalam hal ia tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan, maka ia wajib merujuk penderita kepada dokter lain yang
mempunyai keahlian dalam bidang penyakit tersebut”

Pasal 13 KODEKI: “Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
penderita, bahkan juga setelah penderita itu meninggal dunia”

Pasal 14 KODEKI: “ Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
perikemanusiaan, kecuali ia yakin ada orang lain yang bersedia dan lebih mampu memberikan
pertolongan darurat terhadap pasien yang membutuhkannya, padahal ia mampu dapat terkena
sasaran tuntutan malpraktek juga”

Peraturan Hukum

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


Pasal-pasal didalam KUHP yang terkait dengan malpraktik medik, yaitu:
a. Pasal 263 dan 267 KUHP (Membuat Surat Keterangan Palsu)
b. Pasal 290 KUHP (Melakukan Pelanggaran Kesopanan)
c. Pasal 299 KUHP (Mengobati seorang wanita dengan memberitahukan atau menimbulkan
harapan bahwa kandungannya dapat digugurkan)
d. Pasal 322 KUHP (Membuka Rahasia)
e. Pasal 304 KUHP (Pembiaran / Penelantaran)
f. Pasal 306 KUHP (Apabila tindakan penelantaran tersebut mengakibatkan kematian)
g. Pasal 322 KUHP (Membocorkan rahasia profesi)
h. Pasal 333 KUHP (Dengan sengaja dan tanpa hak telah merampas kemerdekaan
seseorang)
i. Pasal 344 KUHP (Euthanasia)
j. Pasal 347 KUHP (Sengaja melakukan abortus tanpa persetujuan wanita yang
bersangkutan)
k. Pasal 348 KUHP (Sengaja melakukan abortus dengan persetujuan)
l. Pasal 349 KUHP (Membantu atau melakukan tindakan abortus provocatus criminalis)
m. Pasal 359 KUHP (Kelalaian yang menyebabkan kematian)
n. Pasal 360 KUHP (Kelalaian yang menyebabkan luka / cacat)
o. Pasal 386 KUHP (Memberi atau menjual obat palsu)
p. Pasal 531 KUHP (Tidak memberi pertolongan pada orang yang berada dalam keadaan
bahaya)

Pemberlakukan hukum pidana dalam kasus-kasus kelalaian medis yang terjadi di dalam
penyelenggaraan praktek kedokteran haruslah sebagai ultimatum remidium artinya hukum pidana
sebagai alternatif terakhir apabila upaya-upaya non litigasi sudah tidak bisa lagi berhasil untuk
mengatasi permasalahan yang timbul. Selain iitu juga karena praktek kedokteran merupakan
profesi yang sangat mulia dan luhur yang diperlukan oleh banyak orang dan praktek kedokteran
dijamin pelaksanaannya oleh undang-undang.

2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


Pasal-pasal didalam KUHPerdata yang terkait dengan malpraktek medik, yaitu:
a. Pasal 1239 KUH Perdata (Melakukan wanprestasi atau cidera janji)
b. Pasal 1365 KUH Perdata(Melakukan perbuatan melawan hukum)
c. Pasal 1366 KUH Perdata (Melakukan kelalaian sehingga menimbulkan kerugian)
d. Pasal 1367 KUH Perdata (Bertanggung jawab atas kelalaian yang dilakukan oleh
bawahannya)
3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan
a. Pasal 54 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Kesalahan atau kelalaian yang
dilakukan tenaga kesehatan)
b. Pasal 80 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Sengaja melakukan tindakan
medis tidak sesuai dengan Standart Operational Procedure pada ibu hamil)
c. Pasal 81 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Sengaja melakukan
transplantasi organ tubuh untuk tujuan komersil)
d. Pasal 81 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Tanpa keahlian sengaja
melakukan transplantasi, implan alat kesehatan, bedah plastik)
e. Pasal 81 ayat 2a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Sengaja mengambil organ
tanpa memperhatikan kesehatan dan persetujuan pendonor / ahli waris)

4) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran


a. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 (Pengaturan praktek kedokteran
bertujuan untuk, Pertama memberikan perlindungan kepada pasien, Kedua
mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter
dan dokter gigi, dan Ketiga memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan
dokter gigi)
b. Pasal 44 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 (Mensyaratkan kepada setiap dokter
dan dokter gigi dalam memberikan pelayanan haruslah mempunyai standar pelayanan.
Standar pelayanan disini adalah pedoman yang harus diikuti oleh dokter atau dokter gigi
dalam menyelenggarakan praktek kedokteran)
c. Pasal 75 dan 76 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 (Mensyaratkan setiap dokter
harus mempunyai surat registrasi yang ditandatangani oleh konsil kedokteran.
Sedangkan surat izin praktek kedokteran ditandatangani oleh pejabat kesehatan yang
berwenang di kabupaten/kota tempat praktek kedokteran atau dokter gigi dilaksanakan.
Kedua persyaratan tersebut menjadi suatu hal yang mutlak dimiliki oleh seorang dokter.
Apabila dokter tidak mempunyai surat registrasi dan surat izin praktek, maka selain
dokter tersebut tidak sah, masyarakat juga tidak berani di diagnosa oleh dokter tersebut
karena takut terjadi malpraktek)

5) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan


a. Pasal 32 (Pasien berhak atas ganti rugi apabila dalam pelayanan kesehatan yang diberikan
oleh tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 mengakibatkan
terganggunya kesehatan, cacat atau kematian yang terjadi karena kesehatan atau
kelalaian. Dalam perikatan sebagaimana diatur di dalam KUHPerdata dikenal adanya dua
macam perjanjian, yaitu:
 Inspanningverbintenis: perjanjian upaya, artinya kedua belah pihak yang berjanji
berdaya upaya secara maksimal untuk mewujudkan apa yang diperjanjikan
 Resultaatbintennis: perjanjian bahwa pihak yang berjanji akan memberikan result,
yaitu sesuatu hasil yang nyata sesuai dengan apa yang diperjanjikan.

Aspek Hukum dan Sanksi Informed Consent


1. Pasal 1320 KUHPerdata syarat syahnya persetujuan
a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri
b. Kecakapan untuk berbuat suatu perikatan
c. Suatu hal tertentu
d. Suatu sebab yang halal
2. Pasal 1321 tiada sepakat yang syah apabila sepakat itu diberikan karena kehilafan atau
diperlukan dengan paksaan atau penipuan
3. KUHPidana pasal 351
a. Penganiayaan dihukum dengan hukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan.
b. Menjadikan luka berat hukum selama-lamanya 5 tahun (KUHP 20)
c. Membuat orang mati hukum selam-lamanya 7 tahun (KUHP 338)
4. UU No. 23/1992 tentang kesehatan pasal 53
a. Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas
sesuai dengan profesinya
b. Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar
profesi dan menghormati hak pasien
c. Hak pasien antara lain ; hak informasi, hak untuk memberikan persetujuan, hak atas rahasia
kedokteran dan hak atas pendapat kedua (second opinion).
5. UU No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 45 ayat (1), (2), (3), (4), (5,) (6). Setiap
tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi
terhadap pasien harus mendapat persetujuan

Permenkes No. 585/1989 tentang persetujuan tindakan medis. Dokter melakukan tindakan medis
tanpa informed consent dari pasien atau keluarganya saksi administratif berupa pencabutan surat
ijin prakteknya.
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK)
Dalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran (tanpa melanggar
norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran
(MKEK) IDI untuk dimintai pertanggung-jawaban (etik dan disiplin profesi)nya. Persidangan
MKEK bertujuan untuk mempertahankan akuntabilitas, profesionalisme dan keluhuran profesi.
Saat ini MKEK menjadi satu-satunya majelis profesi yang menyidangkan kasus dugaan
pelanggaran etik dan/atau disiplin profesi di kalangan kedokteran. Di kemudian hari Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), lembaga yang dimandatkan untuk
didirikan oleh UU No 29 / 2004, akan menjadi majelis yang menyidangkan dugaan pelanggaran
disiplin profesi kedokteran. Dalam hal MKDKI dalam sidangnya menemukan adanya pelanggaran
etika, maka MKDKI akan meneruskan kasus tersebut kepada MKEK.

Fungsi MKEK
Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan anggota) bersikap
aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau perorangan sebagai penuntut. Persidangan
MKEK secara formil tidak menggunakan sistem pembuktian sebagaimana lazimnya di dalam
hukum acara pidana ataupun perdata, namun demikian tetap berupaya melakukan pembuktian
mendekati ketentuan-ketentuan pembuktian yang lazim. Dalam melakukan pemeriksaannya,
Majelis berwenang memperoleh :
a. Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidavit), langsung dari pihak-pihak terkait
(pengadu, teradu, pihak lain yang terkait) dan peer-group / para ahli di bidangnya yang
dibutuhkan
b. Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai ijasah/ brevet dan
pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti kewenangan berupa Surat Ijin Praktek Tenaga
Medis, Perijinan rumah sakit tempat kejadian, bukti hubungan dokter dengan rumah sakit,
hospital bylaws, SOP dan SPM setempat, rekam medis, dan surat-surat lain yang berkaitan
dengan kasusnya.

Tugas MKEK
a. Melakukan tugas bimbingan, pengawasan dan penilaian dalam pelaksanaan etik kedokteran,
termasuk perbuatan anggota yang melanggar kehormatan dan tradisi luhur kedokteran.
b. Memperjuangkan agar etik kedokteran dapat ditegakkan di Indonesia.
c. Memberikan usul dan saran diminta atau tidak diminta kepada pengurus cabang.
d. Membina hubungan baik dengan majelis atau instansi yang berhubungan dengan etik profesi,
baik pemerintah maupun organisasi profesi lain
e. Bertanggung jawab kepada musyawarah cabang.

Persidangan MKEK
a. Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan anggota)
bersikap aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau perorangan sebagai
penuntut.
b. Persidangan MKEK secara formiel tidak menggunakan sistem pembuktian sebagaimana
lazimnya di dalam hukum acara pidana ataupun perdata, namun demikian tetap berupaya
melakukan pembuktian mendekati ketentuan-ketentuan pembuktian yang lazim

Wewenang MKEK :
Dalam melakukan pemeriksaannya, Majelis berwenang memperoleh :
a. Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidavit), langsung dari pihak-pihak terkait
(pengadu, teradu, pihak lain yang terkait) dan peer-group / para ahli di bidangnya yang
dibutuhkan
b. Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai ijasah/ brevet dan
pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti kewenangan berupa Surat Ijin Praktek Tenaga
Medis, Perijinan rumah sakit tempat kejadian, bukti hubungan dokter dengan rumah sakit,
hospital bylaws, SOP dan SPM setempat, rekam medis, dan surat-surat lain yang berkaitan
dengan kasusnya.

Putusan MKEK
a. Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan  tidak dapat dipergunakan
sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah pengadilan dalam bentuk permintaan
keterangan ahli.
b. Salah seorang anggota MKEK dapat memberikan kesaksian ahli di pemeriksaan penyidik,
kejaksaan ataupun di persidangan, menjelaskan tentang jalannya persidangan dan putusan
MKEK. Sekali lagi, hakim pengadilan tidak terikat untuk sepaham dengan putusan MKEK

Eksekusi
a. Eksekusi Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan oleh Pengurus IDI Wilayah dan/atau
Pengurus Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan.
b. Khusus untuk SIP, eksekusinya diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat. Apabila
eksekusi telah dijalankan maka dokter teradu menerima keterangan telah menjalankan
putusan

Penanganan Sengketa Medik


a. Identifikasi seluruh masalah keluhan utama pasein
b. Dokter teradu diminta untuk membuat kronologi lengkap mengenai kasus itu
c. Menganalisa secara ilmiah dengan pertimbangan dari ahli terkait
d. Lakukan konfrontasi dengan pengaduupayakan damai

Bila Sampai Pengadilan


a. Tidak jarang kasus sudah disidik polisi
b. Dan dilimpahkan kejaksaan
c. Terus sampai pengadilan
d. IDI dalam hal ini MKEK akan diminmta menjadi saksi ahli
e. Keputusan di majelis hakim
f. Vonis sesuai undang-2 yang berlaku

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)


Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah lembaga yang berwenang untuk
menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan
disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi. Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia merupakan lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia,
dan dalam menjalankan tugasnya bersifat independen, serta bertanggung jawab kepada Konsil
Kedokteran Indonesia. Berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia. Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran di tingkat provinsi dapat dibentuk oleh Konsil Kedokteran Indonesia atas usul
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.

Pimpinan MKDKI terdiri atas seorang ketua, seorang wakil ketua, dan seorang sekretaris.
Keanggotaan MKDKI terdiri atas 3 orang dokter gigi dan organisasi profesi masing-masing,
seorang dokter dan seorang dokter gigi mewakili asosiasi rumah sakit, dan 3 orang sarjana hukum.
Anggota MKDKI ditetapkan oleh Menteri atas usul organisasi profesi. Masa bakti keanggotaan
MKDKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 adalah 5 tahun dan dapat diangkat kembali untuk
1 kali masa jabatan. Pimpinan MKDKI dipilih dan ditetapkan oleh rapat pleno anggota. Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan MKDKI diatur dengan Peraturan Konsil
Kedokteran Indonesia.

Fungsi MKDKI
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) adalah lembaga Negara yang
berwenang untuk :
a. Menentukan ada atau tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter/dokter gigi dalam penerapan
disiplin ilmu kedokteran/kedokteran gigi
b. Menetapkan sanksi bagi dokter/dokter gigi yang dinyatakan bersalah.
c. Dasar pembentukan dan kewenangan MKDKI adalah Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran.

Tugas MKDKI
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia bertugas :
a. Menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter dan
dokter gigi yang diajukan
b. Menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter atau dokter
gigi.

Pelanggaran disiplin adalah pelanggaran terhadap aturan aturan dan/atau ketentuan penerapan
keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan yang seharusnya diikuti oleh dokter dan dokter gigi.
Sebagian dari aturan dan ketentuan tersebut terdapat dalam UU Praktik Kedokteran, dan sebagian
lagi tersebar didalam Peraturan Pemerintah, Permenkes, Peraturan KKI, Pedoman Organisasi
Profesi, KODEKI, Pedoman atau ketentuan lain. Pelanggaran disiplin pada hakikatnya dibagi
menjadi :
a. Melaksanakan praktik kedokteran dengan tidak kompeten.
b. Tugas dan tanggung jawab profesional pada pasien tidak dilaksanakan dengan baik.
c. Berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan profesi kedokteran.

Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau gigi dalam
menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua MKDKI.
Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat :
a. Identitas pengadu
b. Nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan dan
Alasan pengaduan.
Pengaduan sebagaimana dimaksud diatas, tidak menghilangkan hak setiap orang untuk
melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat
kerugian perdata ke pengadilan. MKDKI memeriksa dan memberikan keputusan terhadap
pengaduan yang berkaitan dengan disiplin dokter dan dokter gigi. Apabila dalam pemeriksaan
ditemukan pelanggaran etika, MKDKI meneruskan pengaduan pada organisasi profesi. Keputusan
MKDKI mengikat dokter, dokter gigi, dan Konsil Kedokteran Indonesia. Keputusan dapat berupa
dinyatakan tidak bersalah atau pemberian sanksi disiplin. Sanksi disiplin dapat berupa:
a. Pemberian peringatan tertulis;
b. Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik; dan/atau
c. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau
kedokteran gigi.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan fungsi dan tugas Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia, tata cara penanganan kasus, tata cara pengaduan, dan tata cara pemeriksaan
serta pemberian keputusan diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.

MKDKI-MKEK
a. Domain atau yurisdiksi MKDKI adalah “disiplin profesi”, yaitu permasalahan yang timbul
sebagai akibat dari pelanggaran seorang profesional atas peraturan internal profesinya, yang
menyimpangi apa yang diharapkan akan dilakukan oleh orang (profesional) dengan
pengetahuan dan ketrampilan yang rata-rata.
b. Dalam hal MKDKI dalam sidangnya menemukan adanya pelanggaran etika, maka MKDKI
akan meneruskan kasus tersebut kepada MKEK.

Majelis Kehormatan Etika Kedokteran merupakan sebuah badan di dalam struktur organisasi
profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). MKEK ini akan menentukan kasus yang terjadi merpuakan
pelanggaran etika ataukah pelanggaran hukum. Hal ini juga diperkuat dengan UU No. 23/1992
tentang kesehatan yang menyebutkan bahwa penentuan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian
ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (pasal 54 ayat 2) yang dibentuk secara resmi
melalui Keputusan Presiden (pasal 54 ayat 3).

Pada tanggal 10 Agustus 1995 telah ditetapkan Keputusan Presiden No. 56/1995 tentang Majelis
Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) yang bertugas menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau
kelalaian dokter dalam menjalankan tanggung jawab profesinya. Lembaga ini bersifat otonom,
mandiri dan non structural yang keanggotaannya terdiri dari unsur Sarjana Hukum, Ahli Kesehatan
yang mewakili organisasi profesi dibidang kesehatan, Ahli Agama, Ahli Psikologi, Ahli Sosiologi.
Bila dibandingkan dengan MKEK, ketentuan yang dilakukan oleh MDTK dapat diharapkan lebih
obyektif, karena anggota dari MKEK hanya terdiri dari para dokter yang terikat kepada sumpah
jabatannya sehingga cenderung untuk bertindak sepihak dan membela teman sejawatnya yang
seprofesi. Akibatnya pasien tidak akan merasa puas karena MKEK dianggap melindungi
kepentingan dokter saja dan kurang memikirkan kepentingan pasien.
Hukum Malpraktek Menurut Islam

Malpraktek adalah tindakan yang salah dalam pelaksanaan suatu profesi. Istilah ini bisa dipakai
dalam berbagai bidang, namun lebih sering dipakai dalam dunia kedokteran dan kesehatan. Perlu
diketahui bahwa kesalahan dokter atau profesional lain di dunia medis – kadang berhubungan
dengan etika/akhlak. Malpraktek juga kadang berhubungan dengan disiplin ilmu kedokteran.

Bentuk-bentuk malpraktek:

a. Tidak punya keahlian (jahil)


Melakukan praktek pelayanan kesehatan tanpa memiliki keahlian, baik tidak memiliki
keahlian sama sekali dalam bidang kedokteran, atau memiliki sebagian keahlian tapi bertindak
diluar keahliannya. Orang yang tidak memiliki keahlian di bidang kedokteran kemudian nekat
membuka praktek, telah disinggung oleh Nabi SAW dalam sabda beliau:

‫امن‬
ِ ‫ض‬َ ‫َّب َولَ ْم يُ ْعلَ ْم ِم ْنهُ ِطبٌّ قَ ْب َل ذَلِكَ فَ ُه َو‬
َ ‫طب‬َ َ ‫َم ْن ت‬
“Barang siapa yang mengobati orang sakit dan sebelumnya tidak diketahui memiliki keahlian,
maka ia bertanggung jawab” (HR. Abu Dawud no.4575, an-Nasai’ no.4845 dan Ibnu Majah
no. 3466. Hadits hasan. Lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no. 635)
Kesalahan ini sangat berat, karena menganggap remeh kesehatan dan nyawa banyak orang,
sehingga para Ulama sepakat bahwa Mutathabbib (pelaku pengobatan yang bukan ahlinya)
harus bertanggung jawab jika timbul masalah dan harus dihukum agar jjera dan menjadi
pelajaran bagi orang lain

b. Menyalahi prinsip-prinsip ilmiah (mukhalafatul ushul al-‘ilmiyyah)


Yang dimaksud dengan prinsip ilmiah adalah dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang telah baku
dan biasa dipakai oleh para dokter, baik secara teori maupun praktek, dan harus dikuasai oleh
dokter saat menjalani profesi kedokteran.
c. Ketidaksengajaan (khatha’)
Adalah suatu tindakan / kejadian tanpa ada maksud pelaku dalam melakukannya. Misalnya,
tangan dokter bedah terpeleset sehingga ada anggota tubuh pasien yang terluka. Bentuk
malpraktek ini tidak membuat pelakunya berdosa, tapi ia harus bertanggung jawab terhadap
akibat yang ditimbulkan sesuai dengan yang telah digariskan Islam dalam bab jinayat, karena
ini termasuk jinayat khatha’ (kejahatan tidak sengaja)

d. Sengaja menimbulkan bahaya (i’tidd’)


Maksudnya adalah membahayakan pasien dengan sengaja. Ini adalah bentuk malpraktek yang
paling buruk. Biasanya pembuktiannya dilakukan dengan pengakuan pelaku, meskipun juga
faktor kesengajaan ini dapat diketahui melalui indikasi-indikasi kuat yang menyertai terjadinya
malpraktek yang sangat jelas.

Pembuktian Malpraktek

Agama Islam mengajarkan bahwa tuduhan harus dibuktikan. Demikian pula, tuduhan malpraktek
harus diiringi dengan bukti, dan jika terbukti harus ada pertanggungjawaban dari pelakunya. Ini
adalah salah satu wujud keadilan dan kemuliaan ajaran Islam. Jika tuduhan langsung diterima
tanpa bukti, dokter dan paramedis terzhalimi, dan itu bisa membuat mereka meninggalkan profesi
mereka, sehingga akhirnya membahayakan kehidupan umat manusia. Sebaliknya, jika tidak ada
pertanggungjawaban atas tindakan malpraktek yang terbukti, pasien terzhalimi, dan para dokter
bisa jadi berbuat seenak mereka. Dalam dugaan malpraktek, seorang hakim bisa memakai bukti-
bukti yang diakui oleh syariat sebagai berikut:
a. Pengakuan pelaku malpraktek (iqrar).
Iqrar adalah bukti yang paling kuat, karena merupakan persaksian atas diri sendiri, dan ia
lebih mengetahuinya. Apalagi dalam hal yang membahayakan diri sendiri, biasanya
pengakuan ini menunjukkan kejujuran.
b. Kesaksian ( syahadah ).
Untuk pertanggungjawaban berupa qishash dan ta'zir, dibutuhkan kesaksian dua pria yang
adil. Jika kesaksian akan mengakibatkan tanggung jawab materiil, seperti ganti rugi,
dibolehkan kesaksian satu pria ditambah dua wanita. Adapun kesaksian dalam hal-hal yang
tidak bisa disaksikan selain oleh wanita, seperti persalinan, dibolehkan persaksian empat
wanita tanpa pria. Di samping memperhatikan jumlah dan kelayakan saksi, hendaknya
hakim juga memperhatikan bahwa saksi tidak memiliki tuhmah (kemungkinan
mengalihkan tuduhan malpraktek dari diri pelaku).
c. Catatan medis.
Yaitu catatan yang dibuat oleh dokter dan paramedis, karena catatan tersebut dibuat agar
bisa menjadi referensi saat dibutuhkan. Jika catatan ini valid, ia bisa menjadi bukti yang
sah.

Bentuk tanggung jawab malpraktek


Jika tuduhan malpraktek telah dibuktikan, ada beberapa bentuk tanggung jawab yang dipikul
pelakunya. Bentuk-bentuk tanggung-jawab tersebut adalah sebagai berikut:
a. Qishash
Qishash ditegakkan jika terbukti bahwa dokter melakukan tindak malpraktek sengaja untuk
menimbulkan bahaya (i'tida'), dengan membunuh pasien atau merusak anggota tubuhnya, dan
memanfaatkan profesinya sebagai pembungkus tindak kriminal yang dilakukannya. Ketika
memberi contoh tindak kriminal yang mengakibatkan qishash, Khalil bin Ishaq al-Maliki
mengatakan: "Misalnya dokter yang menambah (luas area bedah) dengan sengaja.
b. Dhaman (tanggung jawab materiil berupa ganti rugi atau diyat)
Bentuk tanggung-jawab ini berlaku untuk bentuk malpraktek berikut:
1. Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian, tapi pasien tidak mengetahuinya, dan tidak ada
kesengajaan dalam menimbulkan bahaya.
2. Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahi prinsip-prinsip ilmiah.
3. Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip- prinsip ilmiah, tapi terjadi kesalahan tidak
disengaja.
4. Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip- prinsip ilmiah, tapi tidak mendapat ijin dari
pasien, wali pasien atau pemerintah, kecuali dalam keadaan darurat.
c. Ta'zir berupa hukuman penjara, cambuk, atau yang lain.
Ta'zir berlaku untuk dua bentuk malpraktek:
1. Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian, tapi pasien tidak mengetahuinya, dan tidak ada
kesengajaan dalam menimbulkan bahaya.
2. Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahi prinsip-prinsip ilmiah.

Pihak yang bertanggung jawab


Tanggung-jawab dalam malpraktek bisa timbul karena seorang dokter melakukan kesalahan
langsung, dan bisa juga karena menjadi penyebab terjadinya malpraktek secara tidak langsung.
Misalnya, seorang dokter yang bertugas melakukan pemeriksaan awal sengaja merekomendasikan
pasien untuk merujuk kepada dokter bedah yang tidak ahli, kemudian terjadi malpraktek. Dalam
kasus ini, dokter bedah adalah adalah pelaku langsung malpraktek, sedangkan dokter pemeriksa
ikut menyebabkan malpraktek secara tidak langsung.

Jadi, dalam satu kasus malpraktek kadang hanya ada satu pihak yang bertanggung-jawab. Kadang
juga ada pihak lain lain yang ikut bertanggung-jawab bersamanya. Karenanya, rumah sakit atau
klinik juga bisa ikut bertanggung-jawab jika terbukti teledor dalam tanggung-jawab yang diemban,
sehingga secara tidak langsung menyebabkan terjadinya malpraktek, misalnya mengetahui dokter
yang dipekerjakan tidak ahli.

Anda mungkin juga menyukai