Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN KASUS PSIKIATRIK

I.

II.

IDENTITAS PASIEN
Nama
Usia
Jenis Kelamin
Agama
Pendidikan
Pekerjaan
Status Perkawinan
Alamat sekarang
Daerah asal

: Tn. A
: 35 tahun
: Laki-laki
: Islam
: SMA
: Wiraswasta
: Belum menikah
: Bukit Nusa Indah, Tangerang
: Jambi

RIWAYAT PSIKIATRIK
Autoanamnesis (dilakukan pada tanggal 26 Maret 2015)
Pasien mempunyai riwayat penggunaan putau (heroin), shabu (metamfetamin), metadon, subutex, tembakau, dan tramadol. Dari semua zat-zat
psikoaktif yang pasien konsumsi, pasien paling sering dan suka menggunakan putau
(heroin). Pasien mengkonsumsi putau karena dengan menggunakan putau pasien
merasa fly dan merasa nyaman sehingga putau ini dikonsumsi secara rutin oleh
pasien selama 9 tahun.
Pasien mulai menggunakan zat-zat psikoaktif sejak tahun 1998, awalnya
pasien menggunakan putau karena diberi oleh kakak dari temannya sewaktu pesta
lulusan SMA. Pasien menggunakan putau dengan cara disuntikan ke vena di lengan
kiri bagian lipat siku. Menurut pengakuan pasien, setiap menggunakan putau pasien
selalu mengganti jarum suntik yang digunakan dan tidak berbagi jarum suntik
dengan orang lain.
Awalnya, pasien menggunakan putau hingga tahun 2003, lalu mulai tahun
2004 pasien mulai menjalani rehabilitasi selama 6 bulan dengan metode terapi putus
opioid seketika. Setelah selesai menjalani rehabilitasi dan dinyatakan bersih, pasien
keluar dari tempat rehabilitasi dan mulai menjalani kehidupan normal di rumahnya
sendiri. Selang 2 bulan sejak keluar dari tempat rehabilitasi, pasien mulai merasa
ingin menggunakan putau, sehingga pasien menjadi ketagihan putau kembali.
Tahun 2006, pasien mulai ingin menjalani rehabilitasi lagi untuk menghilangkan
ketagihan putau-nya, sehingga pasien masuk lagi ke tempat rehabilitasi yang sama
seperti sebelumnya di Bogor. Enam bulan kemudian, pasien selesai menjalani
rehabilitasi dan keluar tinggal di rumah. Namun hal yang sama terulang, yaitu pasien
kembali mengkonsumsi putau karena rasa ingin mengkonsumsinya dirasakan masih
cukup kuat. Kejadian ini berulang hingga pasien menjalani total 4 kali rehabilitasi
1

hingga terakhir kali pasien menjalani rehabilitasi adalah di tahun 2010. Diantara
tahun 2004 hingga tahun 2010, pasien mengaku sempat menggunakan kombinasi
subutex dan putau selama kurang lebih dua bulan, selanjutnya semenjak subutex
ditarik dari pasaran, pasien kembali menggunakan putau saja. Dosis putau yang
digunakan adalah 0,25 ml. Putau dikonsumsi rutin satu kali setiap hari tanpa disertai
penambahan dosis hingga tahun 2010.
Di tahun 2011, setelah selesai menjalani rehabilitasi untuk keempat kalinya,
kurang lebih dua sampai tiga bulan setelah keluar dari tempat rehabilitasi, pasien
kembali mencoba menggunakan zat psikoaktif. Kali ini yang pasien gunakan adalah
shabu-shabu untuk mengurangi gejala ketagihan yang dialami karena pasien
memiliki sugesti untuk memakai meskipun tubuhnya tidak lagi menunjukkan
gejala putus obat. Pemakaian shabu ini tidak berlangsung lama karena menurut
pengakuan pasien dengan menggunakan shabu hanya menghilangkan sakau sejenak
(kira-kira selama 6 jam) namun kemudian timbul gejala sakau yang lebih parah,
sehingga

kebanyakan

pengguna

putau

tidak

menyukai

substitusi

dengan

menggunakan shabu-shabu.
Tak lama berselang, ketika terapi substitusi dengan menggunakan metadon
mulai masuk ke Jambi, pasien mulai menggunakan metadon sebagai pengganti putau
dengan dosis pemakaian konstan 40 mg/hari. Sejak saat itu pasien mengkonsumsi
metadon secara rutin hingga 7 hari yang lalu pasien memutuskan ingin lepas metadon
sepenuhnya. Saat pasien memutuskan hal tersebut, pasien kemudian berkonsultasi ke
dokter untuk menanyakan tentang cara yang diperlukan untuk melepaskan metadon
sepenuhnya. Cara yang disarankan adalah dengan menurunkan dosis penggunaan
metadon menjadi 20mg tiap hari ditambah dengan 2 tablet tramadol dan 1 tablet
elsigan tiap malam selama 5 hari. Pada hari yang keenam setelah pasien sama sekali
tidak mengonsumsi metadon, pasien merasakan gejala putus obat seperti nyeri sendi,
menggigil, seluruh tubuh terasa nyeri, emosi tidak stabil, dan napas tidak teratur.
Akhirnya setelah 3 hari menahan gejala putus obat, dengan pertimbangan bahwa
kondisi pasien yang demikian dapat membahayakan keluarga pasien di rumah maka
pasien meminta dengan keinginan sendiri untuk dirawat di RSKO sampai dapat lepas
dari zat sepenuhnya.
Pasien mengaku tidak suka mengkonsumsi alkohol. Pasien mengkonsumsi
obat-obat penenang seperti elsigan, tramadol dan kodein hanya saat diresepkan oleh
dokter. Sejak SMA, pasien mulai merokok dengan jumlah rokok 5 batang/ hari.
2

Pasien dapat merokok dalam jumlah yang lebih banyak hanya pada saat setelah
memakai putau. Ide bunuh diri dan penyakit gangguan jiwa seperti depresi, cemas,
skizofrenia disangkal oleh pasien.
Riwayat Pemakaian Zat-zat Psikoaktif
No

Jenis Zat

Metadon

Shabu

Putau

Rokok

Subutex

1.
2.

Sejak tahun
Cara penggunaan

2011
Oral

2011
Inhalasi

1998
Injeksi

1994
Merokok

2010
Sublingual

3.

Frekuensi

Setiap hari
40mg/hari

2x/minggu

Setiap hari
0,25ml/hari

5batang/
hari

Pasien

Tidak

Tidak

Ya

Tidak

Ya

Tidak

Ya

Tidak

bulan Tidak

Ya

Tidak

pemakaian
4.

dan

kuantitas
Pemakaian 1 thn Ya

tidak ingat

terakhir
5.

Pemakaian 1 bln Ya
terakhir

6.

Pemakaian

yang 7

hari 1

7.

terakhir kali
yang lalu
Alasan pemakaian Untuk

yang lalu
Untuk

pertama kali

menutupi

menutupi

sakau

sakau

akibat

akibat

menghilangkan
ketagihan
putau

8.

Alasan

biasa Substitusi

memakai

pengganti
putau

putau
Untuk

Coba-coba

Ketagihan

Coba-coba Untuk

Ketagihan

menutupi

putau
Substitusi
pengganti

sakau

putau

akibat
9.

Alasan

tidak

menggunakan lagi

putau
Keinginan

Keinginan

sendiri

sendiri

diri sendiri.

untuk

untuk

hidup

hidup

sehat dan

sehat

bebas zat

bebas zat

Keinginan

Sudah
ditarik dari
peredaran

dan

Riwayat Kehidupan Seksual


Pasien belum menikah dan sudah pernah melakukan hubungan seksual beberapa kali
Riwayat Penyakit
Pasien didiagnosa menderita tuberculosis paru pada tahun 2007 kemudian menjalani
pengobatan selama 6 bulan dan sudah dinyatakan sembuh
Riwayat Menggunakan Jarum Suntik
Riwayat menggunakan jarum suntik (+). Pasien selalu menggunakan jarum suntik untuk
mengkonsumsi heroin. Jarum suntik yang dipergunakan adalah jarum suntik yang baru
Riwayat Berhubungan dengan Hukum
Stressor Psikososial
Masalah dengan:
Orang tua

: tidak ada

Anak

: tidak ada

Anggota keluarga lain : tidak ada


Teman

: tidak ada

Pekerjaan

: tidak ada

Keuangan

: tidak ada

Riwayat Gangguan Psikiatrik


Skizofrenia
Depresi
Anxietas
PTSD

Manik
Halusinasi
ADHD
Fobia

Riwayat Penyakit yang Berhubungan dengan Penggunaan Zat Psikoaktif


Aborsi
Abses
Bronkhitis
Cedera Kepala
Endokarditis
Fraktur

Hepatitis B
Hepatitis C
HIV/AIDS
Impotensi
Kanker Hati
Kanker Paru

Perdarahan Otak
Pneumonia
Sarkoma
Steven Johnson Syndr
Sepsis
Sifilis

Gangguan Menstruasi
Gastritis
Gegar Otak

Kencing Nanah
Luka Tusuk
Muntah Darah

Sirosis Hepatis
Stroke
TBC Paru

III. KEADAAN FISIK (26 Maret 2015)


Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran
: Compos Mentis
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Laju nadi
: 80x/menit
Laju nafas
: 22x/menit
Suhu
: 36.6 oC
Kepala dan wajah: konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor diameter
3mm/3mm, reflex cahaya +/+
Sistem Respiratorius
:
Inspeksi : bentuk dada normal, simetris kanan = kiri, retraksi subkostal Palpasi

: fremitus taktil normal, kanan = kiri

Perkusi

: sonor di kedua lapangan paru

Auskultasi : bunyi napas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/Sistem Kardiovaskular

Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat


Palpasi

: Ictus cordis tidak teraba

Perkusi

: batas atas

: ICS III linea parasternalis sinistra

batas kanan : ICS IV linea sternalis dextra


batas kiri

: ICS V linea midklavikularis sinistra

Auskultasi: bunyi jantung reguler, murmur (-), gallop (-)


Sistem Gastrointestinal

Inspeksi

: Datar

Palpasi

: Supel, Nyeri tekan -, Hepar tidak teraba, Lien tidak teraba

Perkusi

: Timpani pada keempat kuadran abdomen

Auskultasi : Bising usus +


IV. HASIL PEMERIKSAAN PSIKIATRI
Penampilan

: Pasien laki-laki usia 35 tahun, berpenampilan sesuai dengan usia.

Pasien memakai kaus dan sarung, cara berpakaian pasien santai dan terawat. Rambut
dan kuku terawat. Terdapat skar bekas injeksi di medial fossa cubiti sinistra.
Perilaku & aktivitas psikomotor

: Baik

Sikap terhadap pemeriksa

: kooperatif
5

Pembicaraan

: Spontan, Tidak ada gangguan berbahasa

Mood

: Euthym

Afek

: Sesuai dan luas

Keserasian

: Serasi & perasaan pasien dapat dirasakan

Gangguan persepsi

: halusinasi (-), ilusi (-)

Arus pikiran

: Produktivitas cukup, kontinuitas tidak terganggu

Isi pikiran

: Preokupasi pikiran (-), waham (-), usaha bunuh diri (-)

Orientasi

waktu

: Baik

tempat

: Baik

orang

: Baik

situasi

: Baik

Daya ingat

Recent memory

: Baik

Immediate memory

: Baik

Remote memory

: Baik

Konsentrasi, perhatian

: Baik

Pikiran abstrak

: Baik

Pengendalian impuls

: Baik

Insight

: Derajat VI

Judgement

: Baik

Taraf dapat dipercaya

: Dapat dipercaya

V. HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM


Benzodiazepine : negatif
Opiate

: negatif

Amfetamin

: negatif

VI. HASIL PEMERIKSAAN RADIO-DIAGNOSTIK


Rontgen Thorax : dalam batas normal
VII. HASIL PEMERIKSAAN PSIKOLOGIS
6

Afek

: Luas dan sesuai

Persepsi

: Tidak terganggu

Isi Pikir

: Koheren

VIII. HASIL EVALUASI SOSIAL


Tidak dilakukan.
IX.

X.

RIWAYAT PERAWATAN/PENGOBATAN/REHABILITASI SEBELUMNYA

Pernah menjalani detoksifikasi

:+

Pernah menjalani rawat jalan

:+

Pernah menjalani rawat inap

:+

Pernah menjalani detoksifikasi cepat : -

Pernah menjalani rehabilitasi

Pernah menjalani program rumatan : +

:+

RESUME
Riwayat penggunaan zat :
Rokok
: 1994 - kini
Putau
: 1998- 2009
Subutex
: 2010
Shabu
: 2011
Metadon
: 2011-2013
Efek :
Positif : tidak mudah lelah, santai, relax
Negatif : mudah marah, gelisah, mata
Usaha mengatasi ketergantungan :
MPE (program rehabilitasi)
Riwayat penyakit
Riwayat keluarga yang mengalami gangguan kejiwaan (-)
Riwayat keluarga yang menggunakan zat terlarang (+)

XI.

DIAGNOSIS
Axis I : F 11.22. Sindrom Ketergantungan Akibat Penggunaan Opioida kini dalam
pengawasan klinis dan terapi pemeliharaan atau dengan pengobatan zat
pengganti (ketergantungan terkendali)
Axis II : Z 03.2 Tidak ada diagnosis
Axis III : Tidak ada
Axis IV : Tidak ada
7

Axis V

: GAF 71-80 gejala sementara dan dapat diatasi, disabilitas ringan dalam
fungsi, secara umum masih baik.

XII. PROGNOSIS
Quo ad vitam
Quo ad functionam
Quo ad sanationam

: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam

XIII. PENATALAKSANAAN
Neurobion 1 x 1 tab
Paracetamol 2 x 500 mg
Estazolam 1 x 1 mg (malam hari)
XIV. SARAN PEMERIKSAAN
Tidak ada

DASAR TEORI
1.

Definisi
Heroin (diasetil-morfin) merupakan opioida semisintetik, yaitu opioida yang

diperoleh dari opium yang diolah melalui proses/ perubahan kimiawi. Efeknya 10 kali
lebih kuat dari morfin dan lebih cepat masuk ke dalam otak, sehingga heroin lebih cepat
menyebabkan nikmat sehingga lebih sering disalahgunakan. 1,2
Heroin berupa bubuk putih dan rasanya pahit. Di pasaran gelap, warnanya
bermacam-macam, bergantung pada bahan yang dicampurkan, misalnya kakao, gula
merah, gula tepung jagung, terigu, susu bubuk, kinin, lidokain, prokain, bahkan tawas.
Biasanya pada bubuk campuran tersebut, kadar heroin hanya berkisar 2-4%. Nama yang
banyak digunakan di pasaran gelap bermacam-macam tergantung daerah atau negara
tempat heroin tersebut beredar. Di Indonesia, heroin dengan kualitas rendah (kelas 3)
disebut dengan nama putaw.1,2
Adiksi heroin adalah penyakit metabolik otak dengan manifestasi berupa gejala
toleransi yaitu memerlukan peningkatan dosis heroin untuk mendapatkan efek yang sama
dan sindrom putus zat yaitu sindrom yang terjadi akibat penghentian atau pengurangan
dosis heroin. Penggunaan heroin tersebut terus dilakukan dengan mengesampingkan segala
konsekuensi negatif bagi dirinya maupun orang lain1,2
Heroin biasa dikonsumsi melalui suntikan intra vena, inhalasi, dicampur dalam
rokok tembakau, atau secara oral. Heroin mempunyai khasiat analgesik, hipnotik, dan
euforia. Jika seeorang berulang kali menggunakan heroin, otaknya akan terbiasa dan
menjadi tergantung pada heroin untuk dapat bekerja. 1,2
2.

Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya adiksi hingga saat ini belum dapat dijelaskan. Ada berbagai

hipotesis yang diajukan diantaranya adalah faktor genetik, lingkungan, zat, dan
ketidakmampuan menghadapi stress (respon terhadap stres yang tidak sewajarnya). Pada
penelitian pada aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA), ditemukan bahwa sistem
9

opioida endogen memegang peranan penting dalam respon stress normal (gambar 1).
Senyawa opioida endogen tersebut berasal dari prekursor yaitu pro-opio-melano-cortin
(POMC) yang selanjutnya akan diubah menjadi beta endorfin, proenkefalin yang akan
menjadi enkefalin, dan prodirnofin yang akan menjadi dinorfin.1,7,8
Terdapat 4 tipe reseptor opioida, yaitu reseptor mu, delta, gamma, dan kappa yang
mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Reseptor-reseptor tersebut secara alami memiliki
senyawa opioida endogen. Reseptor mu berikatan dengan enkefalin dan beta endorfin,
reseptor delta berikatan dengan enkefalin, dan reseptor kappa berikatan dengan dinorfin.
Diantara opioida endogen tersebut, beta endorphin yang memiliki waktu paruh
terpanjang.1,7

Aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal dan system opioida endogen


berhubungan dengan biologi dari penyakit adiksi

endorphin

Endogen Opioida(mu,
kappa, delta ?)

Gambar 1 Aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal dan sistem opioida endogen memiliki


peranan yang saling berhubungan dalam biologi penyakit adiksi
Heroin yang dimasukkan ke dalam tubuh menyebabkan gangguan pada sistem
opioida endogen tersebut. Pada masa awal, heroin menekan aksis respon stres HPA.
Penggunaan jangka panjang dari heroin akan terus menekan aksis HPA dengan penurunan
kadar dan mendatarkan irama sirkadian dari pelepasan ACTH, beta-endorfin, dan kortisol.
Pada masa putus zat terdapat aktivasi dari aksis HPA yang sangat kuat yang memberi
sinyal untuk terjadinya gejala putus zat.1,7,8
Heroin bekerja pada berbagai reseptor opioida di susunan saraf pusat, seperti sistem
limbik yang berperan dalam mengendalikan emosi, batang otak yang mengendalikan
10

fungsi-fungsi tubuh antara lain bernafas dan batuk, dan sumsum tulang yang
menghantarkan rasa nyeri. Heroin dapat menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri,
menenangkan, menghilangkan batuk, menimbulkan rasa mual, muntah, pupil meyempit,
suhu badan menurun, berbagai perubahan pada sistem endokrin, euforia, menghilangkan
depresi, mengurangi kecemasan, mengurangi rasa marah, dan mengurangi perasaan
curiga.1,2
Pengaruh

heroin terhadap

sistem

endokrin adalah

menghambat

produksi

gonadotropin-releasing hormone (GnRH), yang pada gilirannya akan menghambat


produksi luteinizing hormone (LH), dan follicle stimulating hormone (FSH) sehingga
menyebabkan gangguan siklus menstruasi, serta mengurangi produksi testosteron. Heroin
juga menghambat produksi corticotropin releasing factor (CRF) yang pada gilirannya
akan menghambat produksi adreno-cortico-tropin hormone (ACTH). 1,2
Heroin yang bekerja pada reseptor yang terdapat pada sistem gastrointestinal
meyebabkan terjadinya konstipasi. Heroin juga dapat menyebbakn pelepasan histamin
sehingga menyebabkan pelebaran pembuluh darah di kulit dan rasa gatal, terutama di
hidung. Heroin juga meningkatkan konstriksi otot sfingter saluran kencing sehingga
memberi kesan terjadi retensi air seni dalam kandung kencing. 1,2
Penelitian pada tikus-tikus percobaan menunjukkan bahwa penggunaan heroin
menimbulkan perubahan faal yang sangat kuat pada daerah otak tertentu yang berkaitan
dengan proses belajar, emosi, dan pengambilan keputusan, yaitu di korteks prefrontal yang
berperan dalam perilaku bertujuan (goal-directed behavioir), korteks singulare yang
terlibat dalam pembiasaaan (conditioning) dan ganjaran (reward), serta korteks preoptik
yang juga berperan dalam ganjaran. Di daerah tersebut, jumlah neuron yang mengandung
protein fos meningkat. 1
Lingkungan fisik (kamar tidur, ruang tamu, gang tempat membeli heroin),
penglihatan (melihat bubuk, alat suntik, dan sebagainya), maupun suara (musik, suara
bandar putaw, dan sebagainya), dapat memacu keinginan yang kuat untuk menggunakan
heroin lagi walaupun sudah berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun tidak menggunakan
heroin. Para ilmuwan sedang mencoba mencari jawaban mengapa hal ini dapat terjadi.
Mereka menemukan bahwa terdapat pembesaran amigdala (bagian dari sistem limbik)
pada orang-orang yang mngalami ketergantungan zat psikoaktif. Sistem limbik adalah
bagian otak yang berkaitan dengan ingatan dan emosi. 1,2
11

3. Manifestasi Klinis
Efek pemakaian heroin yaitu kejang-kejang, mual, hidung dan mata yang
selalu berair, kehilangan nafsu makan dan cairan tubuh, mengantuk, cadel, bicara
tidak jelas, tidak dapat berkonsentrasi. Sakaw atau sakit karena putaw terjadi apabila
si pecandu putus menggunakan putaw. Sebenarnya sakaw salah satu bentuk
detoksifikasi alamiah yaitu membiarkan si pecandu melewati masa sakaw tanpa
obat, selain didampingi dan dimotivasi untuk sembuh. Gejala sakaw yaitu mata dan
hidung berair, tulang terasa ngilu, rasa gatal di bawah kulit seluruh badan, sakit
perut/diare dan kedinginan. Tanda-tanda dari seseorang yang sedang ketagihan
adalah kesakitan dan kejang-kejang, keram perut dan menggelepar, gemetar dan
muntah-muntah, hidung berlendir, mata berair, kehilangan nafsu makan, kekurangan
cairan tubuh.1,2
Intoksikasi Akut (Over Dosis)
Dosis toksik, 500 mg untuk bukan pecandu dan 1800 mg untuk pecandu
narkotik. Gejala over dosis biasanya timbul beberapa saat setelah pemberian obat.
Gejala intoksikasi akut (overdosis):

Kesadaran menurun, sopor - koma

Depresi pernapasan, frekuensi pernafasan rendah 2-4 kali semenit, dan


pernafasan mungkin bersifat Cheyene stokes

Pupil kecil (pin point pupil), simetris dan reaktif

Tampak sianotik, kulit muka kemerahan secara tidak merata

Tekanan darah pada awalnya baik, tetapi dapat menjadi hipotensi apabila
pernapasan memburuk dan terjadi syok

Suhu badan rendah (hipotermia) dan kulit terasa dingin

Bradikardi

Edema paru

Kejang
Kematian biasanya disebabkan oleh depresi pernapasan. Angka kematian

meningkat bila pecandu narkotik menggabungkannya dengan obat-obatan yang


menimbulkan reaksi silang seperti alkohol dan tranquilizer.
12

Intoksikasi Kronis8
Adiksi heroin menunjukkan berbagai segi:
1.

Habituasi, yaitu perubahan psikis emosional sehingga penderita


ketagihan akan obat tersebut.

2.

Ketergantungan fisik, yaitu kebutuhan akan obat tersebut oleh karena


faal dan biokimia badan tidak dapat berfungsi lagi tanpa obat tersebut

3.

Toleransi, yaitu meningkatnya kebutuhan obat tersebut untuk mendapat


efek yang sama. Walaupun toleransi timbul pada saat pertama penggunaan
opioid, tetapi manifes setelah 2-3 minggu penggunaan opioid dosis terapi.
Toleransi akan terjadi lebih cepat bila diberikan dalam dosis tinggi dan interval
pemberian yang singkat. Toleransi silang merupakan karakteristik opioid yang
penting, dimana bila penderita telah toleran dengan morfin, dia juga akan toleran
terhadap opioid agonis lainnya, seperti metadon, meperidin dan sebagainya.

Mekanisme terjadinya toleransi dan ketergantungan obat8


Mekanisme secara pasti belum diketahui, kemungkinan oleh adaptasi seluler
yang menyebabkan perubahan aktivitas enzim, pelepasan biogenik amin tertentu
atau beberapa respon immun. Nukleus locus ceruleus diduga bertanggung jawab
dalam menimbulkan gejala withdrawal. Nukleus ini kaya akan tempat reseptor
opioid, alpha-adrenergic dan reseptor lainnya. Stimulasi pada reseptor opioid
danalpha-adrenergic memberikan respon yang sama pada intraseluler. Stimulasi
reseptor oleh agonis opioid (morfin) akan menekan aktivitas adenilsiklase pada
siklik AMP. Bila stimulasi ini diberikan secara terus menerus, akan terjadi adaptasi
fisiologik di dalam neuron yang membuat level normal dari adeniliklase walaupun
berikatan dengan opiat. Bila ikatan opiat ini dighentikan dengan mendadak atau
diganti dengan obat yang bersifat antagonis opioid, maka akan terjadi peningkatan
efek adenilsilase pada siklik AMP secara mendadak dan berhubungan dengan gejala
pasien berupa gejala hiperaktivitas.
Gejala Putus Obat8
6 12 jam , lakrimasi, rhinorrhea, bertingkat, sering menguap, gelisah
12 - 24 jam, tidur gelisah, iritabel, tremor, pupil dilatasi (midriasi), anoreksia
24-72 jam, semua gejala diatas intensitasnya bertambah disertai adanya
kelemahan, depresi, nausea, vornitus, diare, kram perut, nyeri pada otot dan
13

tulang, kedinginan dan kepanasan yang bergantian, peningkatan tekanan darah


dan denyut jantung, gerakan involunter dari lengan dan tungkai, dehidrasi dan
gangguan elektrolit
Selanjutnya, gejala hiperaktivitas otonom mulai berkurang secara berangsurangsur dalam 7-10 hari, tetapi penderita masih tergantung kuat pada obat.
Beberapa gejala ringan masih dapat terdeteksi dalam 6 bulan.
4. Kriteria diagnostik
Sindrom ketergantungan jika terdapat 3 atau lebih gejala di bawah ini yang
terjadi bersamaan minimal 1 bulan lamanya atau bila kurang dari 1 bulan harus terjadi
berulang-ulang secara bersamaan dalam kurun waktu 12 bulan.9
1. Adanya keinginan yang kuat atau dorongan yang memaksa (kompulsi)
untuk menggunakan zat
2. Kesulitan dalam mengendalikan perilaku menggunakan zat sejak awal,
usaha penghentian atau pada tingkat sedang menggunakannya
3. Keadaan putus zat secara fisiologis ketika penghentian penggunaan zat
atau pengurangan, terbukti dengan adanya gejala putus zat yang khas. atau
menggunakan zat psikoaktif yang sama dengan maksud menghindarkan atau
menghilangkan gejala putus zat.
4. Adanya bukti toleransi, berupa peningkatan dosis zat psikoaktif yang diperlukan
guna memperoleh efek yang sama yang biasanya diperoleh dengan dosis lebih
rendah (contoh yang jelas dapat ditemukan pada individu dengan ketergantungan
alkohol

danopiat

yang

secara

rutin

setiap

hari

menggunakan

zat

tersebutsecukupnya untuk mengendalikan keinginannya)


5. Secara progresif mengabaikan alternatif menikmati kesenangan karena penggunaan
zat psikoaktif yang lain, meningkatkan jumlah waktu yang diperlukan
untuk mendapatkan atau menggunakan zat atau pulih dari akibatnya
6. Terus menggunakan zat meskipun ia menyadari adanya akibat yang merugikan
kesehatannya, seperti gangguan fungsi hati karena minum alkohol berlebihan,
keadaan depresi sebagai akibat penggunaan yang berat atau hendaya fungsi
14

kognitif akibat menggunakan zat, upaya perlu diadakan untuk memastikan bahwa
pengguna

zat

bersungguh

sungguh atau diharapkan untuk menyadari akan hakikat dan besarnya bahaya.

5.

Tatalaksana
Tujuan dan rasionalisasi untuk terapi adiksi:

Mencegah gejala putus zat


Menurunkan keinginan untuk menggunakan narkoba lagi
Menormalkan fungsi fisiologis yang terganggu akibat penggunaan narkoba
Sebaiknya terapi yang digunakn memiliki karakterisitik berikut yaitu meiliki efek terapi
yang lambat, masa kerja yang lama, dan berkurang efeknya secara perlahan.7

5.1 Terapi pada Intoksikasi Akut


Beri nalokson HCL (narcan) sebanyak 0,2-0,4 mg (1 cc) atau 0,01 mg/kg berat badan
secara intravena, intramuskular, atau subkutan. Bila belum berhasil, dapat diulang sesudah
3-10 menit sampai 2-3 kali. Oleh karena narcan mempunyai jangka waktu kerja hanya 2-3
jam, sebaiknya pasien tetap dipantau selama sekurang-kurangnya 24 jam bila pasien
menggunakan heroin. Waspada terhadap kemungkinan timbulnya gejala putus opioida
akibat pemberian narcan. 10
5.2 Terapi Putus Opioida
Terapi putus opioida dapat ditempuh dengan beberapa cara 10:
1.

Terapi putus opioida seketika (abrupt withdrawal), yaitu tanpa memberi obat apa pun.
Pasien merasakan semua gejala putus zat opioida.

2.

Terapi putus opioida dengan terapi simptomatik: untuk menghilangkan nyeri diberikan
analgesik yang kuat, untuk mual muntah diberikan antiemetic,dst.

3.

Terapi putus opioida bertahap dengan menggunakan metadon, buprenorphine, atau


codein dengan penurunan dosis obat secara bertahap. Pemberian dosis awal tergantung
dari tingkat neuroadaptasi. Dosis awal metadon 10-40 mg,dosis terbagi. Buprenorphin
4-8 mg, dosis terbagi. Kodein @60-100 mg, 3-4 kali per hari.
15

4.

Terapi putus opioida bertahap dengan pengganti bukan dari golongan opioida,
misalnya dengan menggunakan klonidin. Dosis yang diberikan 0,01-0,3 mg 3-4 kali
per hari atau 17 mikrogram per 1 kg berat badan per hari dibagi menjadi 3-4 kali
pemberian.

5.

Terapi dengan memberikan antagonis opioida di bawah anestesi umum (rapid


detoxification). Gejala putus zat timbul dalam waktu pendek dan hebat, tetapi pasien
tidak merasakan karena pasien dalam keadaan terbius. Keadaan ini hanya berlangsung
sekitar 6 jam dan perlu dirawat 1-2 hari.

5.3 Terapi detoksifikasi adiksi opioid


Metadon merupakan drug of choice dalam terapi detoksifikasi adiksi opioid.
Namun bila dosis metadon diturunkan, kemungkinan relaps sering terjadi. Kendala
lain adalah membutuhkan waktu lama dalam terapi detoksifikasi, dan bila
menggunakan opioid antagonis maka harus menunggu gejala abstinensia selama 57 hari. Dosis metadon yang dianjurkan untuk terapi detoksifikasi heroin (morfin)
adalah 2-3 x 5-10 mg perhari peroral. Setelah 2-3 hari stabil dosis mulai
ditappering off dalam 1-3 minggu.
Buprenorphine dosis rendah (1,5-5 mg sublingual setiap 2-3 x seminggu)
dilaporkan lebihefektif dan efek withdrawl lebih ringan dibandingkan metadone.
Terapi alternatif lain yang disarankan adalah rapid detoxification yang
mempersingkat waktu terapi deteksifikasi dan memudahkan pasien untuk segera
masuk dalam terapi opiat antagonis. Jenis teknik rapid deteksifikasi antara lain
klinidin naltrexon.
5.4 Terapi rumatan (maintenance) adiksi opioid
Metadon dan Levo alfa acetyl;methadol (LAAM) merupakan standar terapi
rumatan adiksi opioid. Metadon diberikan setiap hari, sedangkan LAAM hanya 3
kali seminggu. Pemberian metadon dan LAAM pada terapi rumatan sangat
membantu menekan prilaku kriminal. Untuk terapi maintenance, dosis metadon
dapat ditingkatkan (biasanya 40-100 mg/hari). Untuk menjaga pasien tetap
menyenangkan dan diturunkan secara perlahan-lahan.
Buprenorphine dapat pul adigunakan sebagai terapi rumatan dengan dosis antara 2
mg-20 mg/hari.

16

Naltrexone digunakan untuk adiksi opioid yang mempunyai motivasi tinggi untuk
berhenti. Naltrexone diberikan setiap hari 50-100 mg peroral untuk 2 3 kali
seminggu.
5.5 Terapi pasca detoksifikasi
Program terapi pascadetoksifikasi banyak ragamnya. Pasien tidak harus mengikuti
semua program tersebut. Bila pasien telah memutuskan akan mengikuti terapi
pascadetoksifikasi, terapis bersama pasien dan keluarganya membicarakan terapi
pascadetoksifikasi mana yang sesuai untuk pasien. Keberhasilan terapi pascadetoksifikasi
ini sangat dipengaruhi oleh motivasi pasien dan konseling. 10
Program terapi pascadetoksifikasi ini, diantaranya adalah: 10
1. Farmakoterapi
2. Latihan jasmani
3. Akupunktur
4. Terapi relaksasi
5. Terapi tingkah laku
6.

Cara imaginasi

7.

Konseling

8.

Psikoterapi: individual, kelompok

9.

Terapi keluarga

10. Terapi substitusi dengan program naltrekson, program rumatan metadon, program
rumatan LAAM (l-alfa-aseto-metadol), dan program rumatan buprenorphin

Daftar Pustaka
17

1. Juwana,S. Opioida. Dalam: Gangguan Mental dan Perilaku akibat Penggunaan Zat
Psikoaktif: Penyalahgunaan NAPZA/Narkoba. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2004. h.
93-105
2. Kurniadi,H.. Napza dan Tubuh Kita. Jakarta: Jendela; 2000. h. 42-4
3. Directorate General CDC & EH, Ministry of Health, Republic of Indonesia Cases
of HIV/AIDS in Indonesia: Reported December 2006
4. Estimasi Populasi Beresiko dan Prevalensi HIV BPS, ASA, dan Dinkes Jabar
2005
5. Indonesia HIV / AIDS Prevention & Care Project II (IHPCP). IHPCP di Kota
Bandung 2004 2007. Catatan Dukungan terhadap Kota Bandung dalam
menghadapi Epidemi HIV dan AIDS
6. Pisani,E., Dadun, Sucahya,P.K., Kamil,O., Saiful,J. Sexual Behavior among
Injecting Drug Users in Three Indonesian Cities Carries a High Potential for HIV to
Spread to Non-injectors. Journal of AIDS 2003; 34(4): 403-406
7. Kreek,M.J., Bart,G., Lilly,C., Laforge,S.K., Nielsen,D.A. Pharmacogenetics and
Human Molecular Genetics of Opiate and Cocaine Addictions and Their
Treatments. Pharmacol Rev 2005; 57: 1-26
8. Waal,H., Haga,E. Maintenance Treatment of Heroin Addiction: Evidence at The
Crossroads. Cappelen Akademisk Forlag; 2003. p 10-39
9. Juwana,S.. Diagnosis dan Prognosis. Dalam: Gangguan Mental dan Perilaku akibat
Penggunaan Zat Psikoaktif: Penyalahgunaan NAPZA/Narkoba edisi ke-2. Jakarta:
EGC; 2004. h. 209-38
10. Juwana,S. Terapi: Detoksifikasi dan Pascadetoksifikasi. Dalam: Gangguan Mental
dan Perilaku akibat Penggunaan Zat Psikoaktif: Penyalahgunaan NAPZA/Narkoba
edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2004. h. 249-51

18

Anda mungkin juga menyukai