I.
II.
IDENTITAS PASIEN
Nama
Usia
Jenis Kelamin
Agama
Pendidikan
Pekerjaan
Status Perkawinan
Alamat sekarang
Daerah asal
: Tn. A
: 35 tahun
: Laki-laki
: Islam
: SMA
: Wiraswasta
: Belum menikah
: Bukit Nusa Indah, Tangerang
: Jambi
RIWAYAT PSIKIATRIK
Autoanamnesis (dilakukan pada tanggal 26 Maret 2015)
Pasien mempunyai riwayat penggunaan putau (heroin), shabu (metamfetamin), metadon, subutex, tembakau, dan tramadol. Dari semua zat-zat
psikoaktif yang pasien konsumsi, pasien paling sering dan suka menggunakan putau
(heroin). Pasien mengkonsumsi putau karena dengan menggunakan putau pasien
merasa fly dan merasa nyaman sehingga putau ini dikonsumsi secara rutin oleh
pasien selama 9 tahun.
Pasien mulai menggunakan zat-zat psikoaktif sejak tahun 1998, awalnya
pasien menggunakan putau karena diberi oleh kakak dari temannya sewaktu pesta
lulusan SMA. Pasien menggunakan putau dengan cara disuntikan ke vena di lengan
kiri bagian lipat siku. Menurut pengakuan pasien, setiap menggunakan putau pasien
selalu mengganti jarum suntik yang digunakan dan tidak berbagi jarum suntik
dengan orang lain.
Awalnya, pasien menggunakan putau hingga tahun 2003, lalu mulai tahun
2004 pasien mulai menjalani rehabilitasi selama 6 bulan dengan metode terapi putus
opioid seketika. Setelah selesai menjalani rehabilitasi dan dinyatakan bersih, pasien
keluar dari tempat rehabilitasi dan mulai menjalani kehidupan normal di rumahnya
sendiri. Selang 2 bulan sejak keluar dari tempat rehabilitasi, pasien mulai merasa
ingin menggunakan putau, sehingga pasien menjadi ketagihan putau kembali.
Tahun 2006, pasien mulai ingin menjalani rehabilitasi lagi untuk menghilangkan
ketagihan putau-nya, sehingga pasien masuk lagi ke tempat rehabilitasi yang sama
seperti sebelumnya di Bogor. Enam bulan kemudian, pasien selesai menjalani
rehabilitasi dan keluar tinggal di rumah. Namun hal yang sama terulang, yaitu pasien
kembali mengkonsumsi putau karena rasa ingin mengkonsumsinya dirasakan masih
cukup kuat. Kejadian ini berulang hingga pasien menjalani total 4 kali rehabilitasi
1
hingga terakhir kali pasien menjalani rehabilitasi adalah di tahun 2010. Diantara
tahun 2004 hingga tahun 2010, pasien mengaku sempat menggunakan kombinasi
subutex dan putau selama kurang lebih dua bulan, selanjutnya semenjak subutex
ditarik dari pasaran, pasien kembali menggunakan putau saja. Dosis putau yang
digunakan adalah 0,25 ml. Putau dikonsumsi rutin satu kali setiap hari tanpa disertai
penambahan dosis hingga tahun 2010.
Di tahun 2011, setelah selesai menjalani rehabilitasi untuk keempat kalinya,
kurang lebih dua sampai tiga bulan setelah keluar dari tempat rehabilitasi, pasien
kembali mencoba menggunakan zat psikoaktif. Kali ini yang pasien gunakan adalah
shabu-shabu untuk mengurangi gejala ketagihan yang dialami karena pasien
memiliki sugesti untuk memakai meskipun tubuhnya tidak lagi menunjukkan
gejala putus obat. Pemakaian shabu ini tidak berlangsung lama karena menurut
pengakuan pasien dengan menggunakan shabu hanya menghilangkan sakau sejenak
(kira-kira selama 6 jam) namun kemudian timbul gejala sakau yang lebih parah,
sehingga
kebanyakan
pengguna
putau
tidak
menyukai
substitusi
dengan
menggunakan shabu-shabu.
Tak lama berselang, ketika terapi substitusi dengan menggunakan metadon
mulai masuk ke Jambi, pasien mulai menggunakan metadon sebagai pengganti putau
dengan dosis pemakaian konstan 40 mg/hari. Sejak saat itu pasien mengkonsumsi
metadon secara rutin hingga 7 hari yang lalu pasien memutuskan ingin lepas metadon
sepenuhnya. Saat pasien memutuskan hal tersebut, pasien kemudian berkonsultasi ke
dokter untuk menanyakan tentang cara yang diperlukan untuk melepaskan metadon
sepenuhnya. Cara yang disarankan adalah dengan menurunkan dosis penggunaan
metadon menjadi 20mg tiap hari ditambah dengan 2 tablet tramadol dan 1 tablet
elsigan tiap malam selama 5 hari. Pada hari yang keenam setelah pasien sama sekali
tidak mengonsumsi metadon, pasien merasakan gejala putus obat seperti nyeri sendi,
menggigil, seluruh tubuh terasa nyeri, emosi tidak stabil, dan napas tidak teratur.
Akhirnya setelah 3 hari menahan gejala putus obat, dengan pertimbangan bahwa
kondisi pasien yang demikian dapat membahayakan keluarga pasien di rumah maka
pasien meminta dengan keinginan sendiri untuk dirawat di RSKO sampai dapat lepas
dari zat sepenuhnya.
Pasien mengaku tidak suka mengkonsumsi alkohol. Pasien mengkonsumsi
obat-obat penenang seperti elsigan, tramadol dan kodein hanya saat diresepkan oleh
dokter. Sejak SMA, pasien mulai merokok dengan jumlah rokok 5 batang/ hari.
2
Pasien dapat merokok dalam jumlah yang lebih banyak hanya pada saat setelah
memakai putau. Ide bunuh diri dan penyakit gangguan jiwa seperti depresi, cemas,
skizofrenia disangkal oleh pasien.
Riwayat Pemakaian Zat-zat Psikoaktif
No
Jenis Zat
Metadon
Shabu
Putau
Rokok
Subutex
1.
2.
Sejak tahun
Cara penggunaan
2011
Oral
2011
Inhalasi
1998
Injeksi
1994
Merokok
2010
Sublingual
3.
Frekuensi
Setiap hari
40mg/hari
2x/minggu
Setiap hari
0,25ml/hari
5batang/
hari
Pasien
Tidak
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
bulan Tidak
Ya
Tidak
pemakaian
4.
dan
kuantitas
Pemakaian 1 thn Ya
tidak ingat
terakhir
5.
Pemakaian 1 bln Ya
terakhir
6.
Pemakaian
yang 7
hari 1
7.
terakhir kali
yang lalu
Alasan pemakaian Untuk
yang lalu
Untuk
pertama kali
menutupi
menutupi
sakau
sakau
akibat
akibat
menghilangkan
ketagihan
putau
8.
Alasan
biasa Substitusi
memakai
pengganti
putau
putau
Untuk
Coba-coba
Ketagihan
Coba-coba Untuk
Ketagihan
menutupi
putau
Substitusi
pengganti
sakau
putau
akibat
9.
Alasan
tidak
menggunakan lagi
putau
Keinginan
Keinginan
sendiri
sendiri
diri sendiri.
untuk
untuk
hidup
hidup
sehat dan
sehat
bebas zat
bebas zat
Keinginan
Sudah
ditarik dari
peredaran
dan
: tidak ada
Anak
: tidak ada
: tidak ada
Pekerjaan
: tidak ada
Keuangan
: tidak ada
Manik
Halusinasi
ADHD
Fobia
Hepatitis B
Hepatitis C
HIV/AIDS
Impotensi
Kanker Hati
Kanker Paru
Perdarahan Otak
Pneumonia
Sarkoma
Steven Johnson Syndr
Sepsis
Sifilis
Gangguan Menstruasi
Gastritis
Gegar Otak
Kencing Nanah
Luka Tusuk
Muntah Darah
Sirosis Hepatis
Stroke
TBC Paru
Perkusi
Perkusi
: batas atas
Inspeksi
: Datar
Palpasi
Perkusi
Pasien memakai kaus dan sarung, cara berpakaian pasien santai dan terawat. Rambut
dan kuku terawat. Terdapat skar bekas injeksi di medial fossa cubiti sinistra.
Perilaku & aktivitas psikomotor
: Baik
: kooperatif
5
Pembicaraan
Mood
: Euthym
Afek
Keserasian
Gangguan persepsi
Arus pikiran
Isi pikiran
Orientasi
waktu
: Baik
tempat
: Baik
orang
: Baik
situasi
: Baik
Daya ingat
Recent memory
: Baik
Immediate memory
: Baik
Remote memory
: Baik
Konsentrasi, perhatian
: Baik
Pikiran abstrak
: Baik
Pengendalian impuls
: Baik
Insight
: Derajat VI
Judgement
: Baik
: Dapat dipercaya
: negatif
Amfetamin
: negatif
Afek
Persepsi
: Tidak terganggu
Isi Pikir
: Koheren
X.
:+
:+
:+
:+
RESUME
Riwayat penggunaan zat :
Rokok
: 1994 - kini
Putau
: 1998- 2009
Subutex
: 2010
Shabu
: 2011
Metadon
: 2011-2013
Efek :
Positif : tidak mudah lelah, santai, relax
Negatif : mudah marah, gelisah, mata
Usaha mengatasi ketergantungan :
MPE (program rehabilitasi)
Riwayat penyakit
Riwayat keluarga yang mengalami gangguan kejiwaan (-)
Riwayat keluarga yang menggunakan zat terlarang (+)
XI.
DIAGNOSIS
Axis I : F 11.22. Sindrom Ketergantungan Akibat Penggunaan Opioida kini dalam
pengawasan klinis dan terapi pemeliharaan atau dengan pengobatan zat
pengganti (ketergantungan terkendali)
Axis II : Z 03.2 Tidak ada diagnosis
Axis III : Tidak ada
Axis IV : Tidak ada
7
Axis V
: GAF 71-80 gejala sementara dan dapat diatasi, disabilitas ringan dalam
fungsi, secara umum masih baik.
XII. PROGNOSIS
Quo ad vitam
Quo ad functionam
Quo ad sanationam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
XIII. PENATALAKSANAAN
Neurobion 1 x 1 tab
Paracetamol 2 x 500 mg
Estazolam 1 x 1 mg (malam hari)
XIV. SARAN PEMERIKSAAN
Tidak ada
DASAR TEORI
1.
Definisi
Heroin (diasetil-morfin) merupakan opioida semisintetik, yaitu opioida yang
diperoleh dari opium yang diolah melalui proses/ perubahan kimiawi. Efeknya 10 kali
lebih kuat dari morfin dan lebih cepat masuk ke dalam otak, sehingga heroin lebih cepat
menyebabkan nikmat sehingga lebih sering disalahgunakan. 1,2
Heroin berupa bubuk putih dan rasanya pahit. Di pasaran gelap, warnanya
bermacam-macam, bergantung pada bahan yang dicampurkan, misalnya kakao, gula
merah, gula tepung jagung, terigu, susu bubuk, kinin, lidokain, prokain, bahkan tawas.
Biasanya pada bubuk campuran tersebut, kadar heroin hanya berkisar 2-4%. Nama yang
banyak digunakan di pasaran gelap bermacam-macam tergantung daerah atau negara
tempat heroin tersebut beredar. Di Indonesia, heroin dengan kualitas rendah (kelas 3)
disebut dengan nama putaw.1,2
Adiksi heroin adalah penyakit metabolik otak dengan manifestasi berupa gejala
toleransi yaitu memerlukan peningkatan dosis heroin untuk mendapatkan efek yang sama
dan sindrom putus zat yaitu sindrom yang terjadi akibat penghentian atau pengurangan
dosis heroin. Penggunaan heroin tersebut terus dilakukan dengan mengesampingkan segala
konsekuensi negatif bagi dirinya maupun orang lain1,2
Heroin biasa dikonsumsi melalui suntikan intra vena, inhalasi, dicampur dalam
rokok tembakau, atau secara oral. Heroin mempunyai khasiat analgesik, hipnotik, dan
euforia. Jika seeorang berulang kali menggunakan heroin, otaknya akan terbiasa dan
menjadi tergantung pada heroin untuk dapat bekerja. 1,2
2.
Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya adiksi hingga saat ini belum dapat dijelaskan. Ada berbagai
hipotesis yang diajukan diantaranya adalah faktor genetik, lingkungan, zat, dan
ketidakmampuan menghadapi stress (respon terhadap stres yang tidak sewajarnya). Pada
penelitian pada aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA), ditemukan bahwa sistem
9
opioida endogen memegang peranan penting dalam respon stress normal (gambar 1).
Senyawa opioida endogen tersebut berasal dari prekursor yaitu pro-opio-melano-cortin
(POMC) yang selanjutnya akan diubah menjadi beta endorfin, proenkefalin yang akan
menjadi enkefalin, dan prodirnofin yang akan menjadi dinorfin.1,7,8
Terdapat 4 tipe reseptor opioida, yaitu reseptor mu, delta, gamma, dan kappa yang
mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Reseptor-reseptor tersebut secara alami memiliki
senyawa opioida endogen. Reseptor mu berikatan dengan enkefalin dan beta endorfin,
reseptor delta berikatan dengan enkefalin, dan reseptor kappa berikatan dengan dinorfin.
Diantara opioida endogen tersebut, beta endorphin yang memiliki waktu paruh
terpanjang.1,7
endorphin
Endogen Opioida(mu,
kappa, delta ?)
fungsi-fungsi tubuh antara lain bernafas dan batuk, dan sumsum tulang yang
menghantarkan rasa nyeri. Heroin dapat menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri,
menenangkan, menghilangkan batuk, menimbulkan rasa mual, muntah, pupil meyempit,
suhu badan menurun, berbagai perubahan pada sistem endokrin, euforia, menghilangkan
depresi, mengurangi kecemasan, mengurangi rasa marah, dan mengurangi perasaan
curiga.1,2
Pengaruh
heroin terhadap
sistem
endokrin adalah
menghambat
produksi
3. Manifestasi Klinis
Efek pemakaian heroin yaitu kejang-kejang, mual, hidung dan mata yang
selalu berair, kehilangan nafsu makan dan cairan tubuh, mengantuk, cadel, bicara
tidak jelas, tidak dapat berkonsentrasi. Sakaw atau sakit karena putaw terjadi apabila
si pecandu putus menggunakan putaw. Sebenarnya sakaw salah satu bentuk
detoksifikasi alamiah yaitu membiarkan si pecandu melewati masa sakaw tanpa
obat, selain didampingi dan dimotivasi untuk sembuh. Gejala sakaw yaitu mata dan
hidung berair, tulang terasa ngilu, rasa gatal di bawah kulit seluruh badan, sakit
perut/diare dan kedinginan. Tanda-tanda dari seseorang yang sedang ketagihan
adalah kesakitan dan kejang-kejang, keram perut dan menggelepar, gemetar dan
muntah-muntah, hidung berlendir, mata berair, kehilangan nafsu makan, kekurangan
cairan tubuh.1,2
Intoksikasi Akut (Over Dosis)
Dosis toksik, 500 mg untuk bukan pecandu dan 1800 mg untuk pecandu
narkotik. Gejala over dosis biasanya timbul beberapa saat setelah pemberian obat.
Gejala intoksikasi akut (overdosis):
Tekanan darah pada awalnya baik, tetapi dapat menjadi hipotensi apabila
pernapasan memburuk dan terjadi syok
Bradikardi
Edema paru
Kejang
Kematian biasanya disebabkan oleh depresi pernapasan. Angka kematian
Intoksikasi Kronis8
Adiksi heroin menunjukkan berbagai segi:
1.
2.
3.
danopiat
yang
secara
rutin
setiap
hari
menggunakan
zat
kognitif akibat menggunakan zat, upaya perlu diadakan untuk memastikan bahwa
pengguna
zat
bersungguh
sungguh atau diharapkan untuk menyadari akan hakikat dan besarnya bahaya.
5.
Tatalaksana
Tujuan dan rasionalisasi untuk terapi adiksi:
Terapi putus opioida seketika (abrupt withdrawal), yaitu tanpa memberi obat apa pun.
Pasien merasakan semua gejala putus zat opioida.
2.
Terapi putus opioida dengan terapi simptomatik: untuk menghilangkan nyeri diberikan
analgesik yang kuat, untuk mual muntah diberikan antiemetic,dst.
3.
4.
Terapi putus opioida bertahap dengan pengganti bukan dari golongan opioida,
misalnya dengan menggunakan klonidin. Dosis yang diberikan 0,01-0,3 mg 3-4 kali
per hari atau 17 mikrogram per 1 kg berat badan per hari dibagi menjadi 3-4 kali
pemberian.
5.
16
Naltrexone digunakan untuk adiksi opioid yang mempunyai motivasi tinggi untuk
berhenti. Naltrexone diberikan setiap hari 50-100 mg peroral untuk 2 3 kali
seminggu.
5.5 Terapi pasca detoksifikasi
Program terapi pascadetoksifikasi banyak ragamnya. Pasien tidak harus mengikuti
semua program tersebut. Bila pasien telah memutuskan akan mengikuti terapi
pascadetoksifikasi, terapis bersama pasien dan keluarganya membicarakan terapi
pascadetoksifikasi mana yang sesuai untuk pasien. Keberhasilan terapi pascadetoksifikasi
ini sangat dipengaruhi oleh motivasi pasien dan konseling. 10
Program terapi pascadetoksifikasi ini, diantaranya adalah: 10
1. Farmakoterapi
2. Latihan jasmani
3. Akupunktur
4. Terapi relaksasi
5. Terapi tingkah laku
6.
Cara imaginasi
7.
Konseling
8.
9.
Terapi keluarga
10. Terapi substitusi dengan program naltrekson, program rumatan metadon, program
rumatan LAAM (l-alfa-aseto-metadol), dan program rumatan buprenorphin
Daftar Pustaka
17
1. Juwana,S. Opioida. Dalam: Gangguan Mental dan Perilaku akibat Penggunaan Zat
Psikoaktif: Penyalahgunaan NAPZA/Narkoba. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2004. h.
93-105
2. Kurniadi,H.. Napza dan Tubuh Kita. Jakarta: Jendela; 2000. h. 42-4
3. Directorate General CDC & EH, Ministry of Health, Republic of Indonesia Cases
of HIV/AIDS in Indonesia: Reported December 2006
4. Estimasi Populasi Beresiko dan Prevalensi HIV BPS, ASA, dan Dinkes Jabar
2005
5. Indonesia HIV / AIDS Prevention & Care Project II (IHPCP). IHPCP di Kota
Bandung 2004 2007. Catatan Dukungan terhadap Kota Bandung dalam
menghadapi Epidemi HIV dan AIDS
6. Pisani,E., Dadun, Sucahya,P.K., Kamil,O., Saiful,J. Sexual Behavior among
Injecting Drug Users in Three Indonesian Cities Carries a High Potential for HIV to
Spread to Non-injectors. Journal of AIDS 2003; 34(4): 403-406
7. Kreek,M.J., Bart,G., Lilly,C., Laforge,S.K., Nielsen,D.A. Pharmacogenetics and
Human Molecular Genetics of Opiate and Cocaine Addictions and Their
Treatments. Pharmacol Rev 2005; 57: 1-26
8. Waal,H., Haga,E. Maintenance Treatment of Heroin Addiction: Evidence at The
Crossroads. Cappelen Akademisk Forlag; 2003. p 10-39
9. Juwana,S.. Diagnosis dan Prognosis. Dalam: Gangguan Mental dan Perilaku akibat
Penggunaan Zat Psikoaktif: Penyalahgunaan NAPZA/Narkoba edisi ke-2. Jakarta:
EGC; 2004. h. 209-38
10. Juwana,S. Terapi: Detoksifikasi dan Pascadetoksifikasi. Dalam: Gangguan Mental
dan Perilaku akibat Penggunaan Zat Psikoaktif: Penyalahgunaan NAPZA/Narkoba
edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2004. h. 249-51
18