Anda di halaman 1dari 32

BAB I IMUNISASI

1.1 Definisi Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa, tidak terjadi penyakit. Dilihat dari cara timbulnya maka terdapat dua jenis kekebalan, yaitu kekebaln pasif dan kekebalan aktif. Kekebalan pasif adalah kekebalan yang diperoleh dari luar tubuh, bukan dibuat oleh tubuh itu sendiri. Contohnya adalah kekebalan pada janin yang diperoleh dari ibu atau kekebalan yang diperoleh setelah pemberian suntikan immunoglobulin. Kekebalan pasif tidak berlangsung lama karena akan dimetabolisme oleh tubuh. Waktu paruh IgG 28 hari, sedangkan waktu paruh immunoglobulin lainnya lebih pendek. Kekebalan aktif adalah kekebalan yang dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan pada antigen seperti pada imunisasi, atau terpajan secara alamiah. Kekebalan aktif berlangsung lebih lama daripada kekebalan pasif karena adanya memori imunologik.

Gambar 1. Jadual Imunisasi

Gambar 2. Keterangan Jadwal Imunisasi 1.2 Tujuan imunisasi Tujuan imunisasi untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang, dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat (populasi) atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu dari dunia. 1.3 Respons imun terhadap vaksin Antibodi protektif yang paling penting adalah 2ntramus yang mengaktifkan produkproduk protein bakteri toksik larut (yaitu antitoksin) mempermudah fagositosis dan digesti intraseluler bakteri (yaitu opsonin), berinteraksi dengan komponenkomponen komplemen serum untuk merusakkan 2ntramus bakteri dengan akibat bekteriolisis(yaitu lisin). Mencegah profilerasi virus yang infeksius(2ntramus neutralisasi), atau berinteraksi dengan komponen-komponen permukaan bakteri untuk mencegah adhesi terhadap permukaan mukosa (yaitu anti-adhesin). Banyak dari 2ntram-unsur structural mikroorganisme dan eksotoksin adalah 2ntramusc. Kebanyakan antigen memerlukan interaksi sel B (tidak tergantung 2ntram) dan sel T (tergantung 2ntram) untuk menghasilkan respon imun (2ntram campak) tetapi

beberapa memulai proliferasi sel B dan produksi 3ntramus tanpa pertolongan sel T (3ntram, polisakarida pneumokokus tipe III). Langkah pertama dalam induksi respons 3ntramus tergantung 3ntram adalah aktivasi sel T penolong dengan penyajian antigen pada fagosit 3ntramuscul atau sel dendritik, suatu langkah yang dapat dipermudah dengan penggunaan 3ntramus. Penyajian antigen memicu sekresi kaskade mediator, yang disebut sitokin, yang dibuat atau bekerja pada elemen 3ntram imun untuk meransang maturasi sel T penolong yang tidak dibuat-buat dan untuk menkomunikasikan antar leukosit, dengan menggunakan interleukin untuk mengatur respons imun. Antibodi yang dibentuk terhadap 3ntram-unsur pokok vaksin dapat merupakan salah satu kelas immunoglobulin. Fungsi 3ntramus sendirian atau bersama dengan komponen-komponen 3ntram imun yang lain (3ntram, komplemen, opsonin) dengan berperan serta secara lansung dalam neutralisasi toksin (3ntram, difteria), dengan opsonisasi virus(poliovirus), dengan memulai atau bergabung dengan komplemen dan menaikan fagositosis(pneumokokkus); dengan bereaksi dengan limosit nonsensitisasi meransang fagositosis atau dengan mensensitisasi makrofag meransang fagositosis. Respons primer terhadap antigen vaksin memerlukan periode laten beberapa hari sebelum imunitas humoral dan seluler dapat terdeteksi. Antibodi yang bersirkulasi tidak muncul selama 7-10 hari. Kelas 3ntramuscular3 berubah seiring waktu. Antibodi yang pertama muncul biasanya adalah IgM, 3ntramus yang muncul kemudian biasanya IgG. Bila antigen adalah tergantung 3ntram 3ntramus IgG dan IgM pada mulanya disekresikan sel B. Antibodi IgM memfiksasi komplemen, menimbulkan lisis dan kemungkinan fagositosis. Titer IgM turun ketika titer IgG naik selama minggu ke 2. sesudah ransangan imunogenik. Perubahan dari sintesis IgM ke sintesis yang didominasi IgG dalam sel B memerlukan kerjasama sel T. Antibodi IgG dihasilkan pada kadar yang tinggi dan bergungsi pada neutralisasi, presipitasi, dan fiksasi komplemen. Titer IgG mencapai puncak dalam 2-6 minggu. Respon humoral atau seluler yang dipertinggi diperoleh dengan pemajanan kedua terhadap antigen yang sama. Respons sekunder terjadi dengan cepat, biasanya 4-5 hari. Respons sekunder tergantung pada memori imunologis yang diperantarai oleh sel B dan sel T dan ditandai oleh proliferasi yang mencolok sel penghasil 3ntramus atau sel T efektor. Vaksin polisakharida

membangkitkan respons imun yang tidak tergantung sel T dan tidak ditemukan pada pemberian ulangan. Ikatan polisakharida dengan protein, mengubahnya menjadi antigen tergantung sel T yang menginduksi memori imunologis dan respons sekunder terhadap revaksinasi. Respons terhadap vaksin biasanya diukur dengan menggunakan kadar 4ntramus spesifik dalam serum. Adanya 4ntramus yang bersirkulasi berkorealsi dengan proteksi klinis pada beberapa vaksin virus. Titer 4ntramus berperan sebagai 4ntramusc imunitas yang dapat dipercaya, tetapi sero-konversi hanya mengukur satu parameter respons hospes. Walaupun 4ntramus akibat vaksin menurun lewat waktu, revaksinasi atau pemajanan pada organisme menimbulakan respons sekunder yang terdiri atas 4ntramus IgG dengan sedikit IgM atau IgM tidak dapat dideteksi. Respons anamnesis memberi kesan bahwa imunitas menetap. Tidak adanya 4ntramus yang dapat diukur mungkin tidak berarti bahwa individu tidak terproteksi. Sebaliknya ada 4ntramus saja tidak cukup untuk memaastikan proteksi klinis sesudah pemberian beberapa vaksin atau toksoid. Produksi 4ntramus bebas, ransangan 4ntram imun oleh vaksinasi dapat mendatangkan respons yang tidak diharapkan, terutama reaksi hipersensitif. Vaksin campak mati menginduksi imunitas humoral tidak sempurna dan hipersensitivitas seluler, mengakibatkan perkembangan sindroma campak atipik pada beberapa anak sesudah tantangan sebelumnya. 1.4 Prosedur imunisasi Prosedur imunisasi dimulai dari menyiapkan dan membawa vaksin, mempersiapkan anak dan orangtua, tekhnik penyuntikkan yang aman, pencatatan, pembuangan limbah, sampai pada tekhnik penyimpanan dan penggunaan sisa vaksin dengan benar. Penjelasan kepada orang tua serta pengasuhnya sebelum dan setelah imunisasi perlu dipelajari pula. Pengetahuan tentang kualitas vaksin yang masih boleh diberikan pada bayi/ anak perlu mendapat perhatian. Ukuran jarum, lokasi suntikan, cara mengurangi ketakutan dan rasa nyeri pada anak juga perlu diketahui. Imunisasi perlu dicatat dengan lengkap, termasuk keluhan kejadian ikutan pasca imunisasi. 1.5 Penyimpanan

Vaksin yang disimpan dan diangkut secara tidak benar akan kehilangan potensinya. Aturan umum untuk sebagian besar vaksin, bahwa vaksin harus didinginkan pada temperature 2-80 C dan tidak membeku. Secara umum ada 2 jenis vaksin yaitu vaksin hidup (polio oral, BCG, campak, MMR, varisella dan demam kuning) dan vaksi mati atau inaktif (DPT,Hib, pneimokokus, Typhoid, influenza, polio inaktif, meningokokus). Secara umum semua vaksin sebaiknya disimpan pada suhu +2 s/d +80C vaksin hidup akan cepat mati, vaksin polio hanya bertahan 2 hari, vaksin BCG dan campak yang belum dilarutkan mati dalam 7 hari. Vaksin hidup potensinya masih tetap baik pada suhu kurang dari 20 C s/d beku. Vaksin polio oral yang belum dibuka lebih bertahan lama (2tahun) bila disimpan pada suhu -250 C s/d -150 C, namun hanya bertahan 6 bulan pada suhu +20 C s/d +80 C. vaksin BCG dan campak berbeda, walaupun disimpan pada suhu -250 C s/d -150 C, umur vaksin tidak lebih lama dari suhu +20 C s/d +80 C, yaitu BCG tetap 1 tahun dan campak tetap 2 tahun. Oleh karena itu vaksin BCG dan campak yang belum dilarutkan tidak perlu disimpan di -250 C s/d -150 C atau di dalam freezer. Vaksin inaktif (mati) sebaiknya disimpan dalam suhu +20 C s/d +80 C juga, pada suhu dibawah +20 C (beku) vaksin mati akan cepat rusak. Bila beku dalam suhu -0,50 C vaksin hepatitis B dan DPT-Hepatitis B (kombo) akan rusak dalam jam, tetapi dalam suhu diatas 80 C vaksin Hepatitis B bias bertahan sampai 30 hari, DPTHepatitis B kombinasi sampai 14 hari. Dibekukan dalam suhu -50 C s/d -100 C vaksin DPT, DT dan TT akan rusak dalam 1,5 s/d 2 jam, tetapi bias bertahan sampai 14 hari dalam suhu diatas 80 C. 1.6 Tekhnik dan ukuran jarum Pada tiap suntikan harus digunakan tabung suntikan dan jarum baru, sekali pakai dan steril. Sebaiknya tidak digunakan botol vaksin yang multidosis, karena resiko infeksi. Apabila memakai botol multidosis maka jarum suntik yang telah digunakan menyuntik tidak boleh dipakai lagi mengambil vaksin. Standar jarum suntik ialah ukuran 23 dengan panjang 25 mm, tetapi ada perkecualian lain dalam beberapa hal seperti berikut :

pada bayi-bayi kurang bulan, umur dua bulan atau yang lebih muda dan bayibayi kecil lainnya, dapat pula dipakai jarum ukuran 26 dengan panjang 16 mm.

untuk suntikan subkutan pada lengan atas, dipakai jarum ukuran 25 dengan panjang 16mm, untuk bayi-bayi kecil dipakai jarum ukuran 27 dengan panjang 12 mm.

untuk suntikan intramuscular pada oaring dewasa yang sangat gemuk (obese) diapakai jarum ukuran 23 dengan panjang 38 mm. untuk suntikan untradermal pada vaksinasi BCG dipakai jarum ukuran 25-27 dengan panjang 10 mm.

1.7 Arah sudut jarum pada suntikan Intramuscular Jarum suntik harus disuntikkan dengan sudut 450 sampai 600 ke dalam otot vastus lateralis atau otot deltoid. Untuk otot vastus lateralis, jarum harus diarahkan kea rah lutut dan untuk deltoid jarum harus diarahkan ke pundak. Kerusakan saraf dam pembuluh vascular dapat terjadi apabila suntikan diarahkan pada sudut 900. 1.8 Tempat suntikan yang dianjurkan Paha anterolateral adalah bagian tubuh yang dianjurkan untuk vaksinasi pada bayi-bayi dan anak-anak umur dibawah 12 bulan. Region deltoid adalah alternative untuk vaksinasi pada anak-anak yang lebih besar (mereka yang dapat berjalan) dan orang dewasa. Sejak akhir 1980, WHO telah memberi rekomendasi bahwa daerah anterolateral paha adalah bagian yang dianjurkan untuk vaksinasi bayi-bayidan tidak pada pantat (daerah gluteus) untuk menghindari resiko kerusakan saraf iskhiadika (nervus ischiadicus). Resiko kerusakan saraf ischiadika akibat suntikan di daerah gluteus lebih banyak dijumpai pada bayi karena variasi posisi saraf tersebut, masa otot lebih tebal, sehingga pada vaksinasi dengan suntikan intramuscular di daerah gluteal dengan tidak disengaja menghasilkan suntikan subkutan dengan reaksi local yang lebih berat.

Vaksinasi hepatitis B dan rabies bila disuntikkan di daerah gluteal kurang imunogenik; hal ini berlaku untuk semua umur. Sedangkan untuk vaksin BCG, harus disuntik pada kulit diatas insersi otot deltoid (lengan atas), sebab suntikan-suntikan diatas puncak pundak memeberi resiko terjadinya keloid. 1.9 Posisi anak dan lokasi suntikan Alasan memilih otot vastus lateralis pada bayi dan anak umur di bawahh 12 bulan adalah: Menghindari resiko kerusakan saraf ischiadika pada suntikan daerah gluteal. Daerah deltoid pada bayi dianggap tidak cukup tebal untuk menyerap suntikan secara adekuat. Sifat imunogenesitas vaksin hepatitis B dan rabies berkurang bila disuntikkan di daerah gluteal. Menghindari resiko reaksi local dan terbentuk pembengkakan ditempat suntikan yang menahun. Menghindari lapisan lemak subkutan yang tebal pada paha bagian anterior.

Vastus lateralis, posisi anak dan lokasi suntikan Vastus lateralis adalah otot bayi yang tebal dan besar, yang mengisi bagian anterolateral paha. Vaksin harus disuntikkan ke dalam batas antara sepertiga otot bagian atas dan tengah yang merupakan bagian yang paling tebal dan padat. Jarum harus membuat sudut 450-600 terhadap permukaan kulit, dengan jarum kearah lutut, maka jarum tersebut harus menembus kulit selebar ujung jari diatas (kearah proksiimal) batas hubungan bagian atas dan sepertiga tengah otot.

Gambar 3. Diagram Lokasi Suntikan Yang Dianjurkan pada otot paha.

Gambar 4. Potongan Lintang Paha : Menunjukkan Bagian Yang Disuntik Lokasi suntikan pada vastus lateralis Letakkan bayi di atas tempat tidur atau meja, bayi ditidurkan terlentang. Tungkai bawah sedikit di tekuk dengan fleksi pada lutut. Cari trochanter mayor femur dan condylus lateralis dengan cara palpasi, tarik garis yang menghubungkan kedua tempat tersebut. Tempat suntikan vaksin ialah batas sepertiga bagian atas dan tengah pada garis tersebut (bila tungkai bawah sedikit menekuk, maka lekukan yang dibuat oleh tractus iliotibialis menyebabkan garis bagian distal lebih jelas)

Supaya vaksin yang disuntikkan masuk ke dalam otot pada batas antara sepertiga bagian atas dan tengah, jarumditusukkan satu jari diatas batas tersebut.

Deltoid, posisi anak dan lokasi suntikan Posisi seorang anak yang paling nyaman untuk suntikkan di daerah deltoid ialah duduk diatas pangkuan ibu atau pengasuhnya. Lengan yang akan disuntik dipegang menempel pada tubuh bayi,sementara lengan lainnya diletakkan di belaknag tubuh orang tua atau pengasuh. Lokasi deltoid yang benar adalah penting supaya vaksinasi berlangsung aman dan berhasil. Posisi yang salah akan menghasilkan suntikan subkutan yang tidak benar dan meningkatkan resiko penetrasi saraf. Untuk mendapatkan lokasi deltoid yang baik, membuka lengan atas dari pundak ke siku. Lokasi yang paling baik adalah pada tengah otot, yaitu separuh antara akromion dan insersi pada tengah humerus. Jarum suntik ditusukkan membuat sudut 450-600 mengarah pada akromion. Bila bagian bawah deltoid yang disuntik, ada resiko trauma saraf radialis karena saraf tersebut melingkar dan muncul dari otot trisep. Perhatian untuk suntikan subkutan Arah jarum 450 terhadap kulit. Cubit tebal untuk suntikan subkutan Aspirasi semprit sebelum vaksin disuntikkan. Untuk suntikan multipel diberikan pada bagian ekstrimitas berbeda.

Gambar 5. Lokasi Penyuntikan Subkutan Pada Bayi (a) dan Anak Besar (b) Perhatian untuk penyuntikan intramuscular Pakai jarum yang cukup panjang untuk mencapai otot. Suntik dengan arah jarum 450 600 , lakukan dengan cepat. Tekan kulit sekitar tempat suntikan dengan ibu jari dan telunjuk saat jaruum ditusukkan. Aspirasi semprit sebelum vaksin disuntikkan, untuk meyakinkan tidak masuk dalam vena. Apabila terdapat darah buang dan ulangi dengan suntikan baru. Untuk suntikan multipel diberikan pada bagian ekstremitas berbeda.

Gambar 6. Lokasi Penyuntikan intramuscular Pada Bayi (a) dan Anak Besar (b)

10

1.10 Pemberian dua atau lebih vaksin pada hari yang sama Pemberian vaksin-vaksin yang berbeda pada umur yang sesuai, boelh diberikan pada hari yang sama. Vaksin inactivated dan vaksin virus hidup, khususnya vaksin yang dianjurkan dalam jadwal imunisasi, pada umumnya dapat diberikan pada lokasi yang berbeda saat hari kunjungan yang sama. Misalnya pada kesempatan yang sama dapat diberikan vaksin-vaksin DPT, Hib, hepatitis B, dan polio. Lebih dari satu macam vaksin virus hidup dapat diberikan pada hari yang sama, tetapi apabila hanya satu macam yang diberikan, vaksin virus hidup yang kedua tidak boleh diberikan kurang dari 2 minggu dari vaksin yang pertama, sebab respons terhadap vaksin yang kedua mungkin telah banyak berkurang. Vaksin-vaksin yang berbeda tidak boleh dicampur dalam satu semprit. Vaksin-vaksin yang berbeda yangdiberikan pada seseorang pada hari yang sama harus disuntikkan pada lokasi yang berbeda dengan menggunakan semprit yang berbeda.

11

BAB II IMUNISASI WAJIB (PPI)


Imunisasi yang diwajibkan meliputi BCG, polio, hepatitis B, DTP dan campak. 2.1. BCG Bacille Calmete-Guerin adalah vaksin hidup yang dibuat dari Mycobacterium Bovis yang dibiak berulang selama 1-3 tahun sehingga didapatkan basil yang tidak virulen teatapi masih mempunyai imunogenitas. Vaksinasi BCG menimbulkan sensitivitas terhadap tuberculin. Imunisasi BCG diberikan pada umur sebelum 3 bulan. Namun untuk mencapai cakupan yang lebih luas, Departemen Kesehatan menganjutkan pemberian imunisasi BCG pada umur antara 0-12 bulan. Dosis 0,05 ml untuk bayi kurang dari 1 tahun dan 0,1 ml untuk anak (>1 tahun). Vaksin BCG diberikan secara intrakutan di daerah lengan kanan atas pada insersio M.Deltoideus sesuai anjuran WHO, tidak ditempat lain (bokong, paha) . Vaksin BCG tidak dapat mencegah infeksi tuberculosis, namun dapat mencegah komplikasinya. Apabila BCG diverikan pada umur lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberculin terlebih dahulu. Vaksin BCG diberikan apabila uji tuberculin negatif.. Efek proteksi timbul 8-12 minggu setelah penyuntikkan. Berhubungan dengan beberapa factor yaitu mutu vaksin yang dipakai, lingkungan dengan Mycobacterium atipik atau factor pejamu (umur, keadaan gizi dan lain-lain)

12

Vaksin BCG tidak boleh terkena sinar matahari, harus disimpan pada suhu 280C, tidak boleh beku. Vaksin yang telah dienccerkan harus dipergunakan dalam waktu 8 jam. 2.1.1 Kejadian ikutan pasca imunisasi vaksinasi BCG Penyuntikan BCG intradermal akan menimbulkan ulkus local yang superficial 3 minggu setelah penyuntikkan. Ulkus tertutup krusta, akan sembuh dalam 2-3 bulan, dan meninggalkan parut bulat dengan diameter 4-8 mm, apabila dosis terlalu tinggi maka ulkus yang timbul lebih besar, namun apabila penyuntikkan terlalu dalam maka parut yang terjadi tertarik ke dalam. 1. Limfadenitis Limfadenitis supuratif di aksila atau di leher kadang-kadang dijumpai setelah penyuntikan BCG. Limfadenitis akan sembuh sendiri, jadi tidak perlu diobati. Apabila limfadenitis melekat pada kulit atau timbul fistula maka dapat dibersihkan (drainage) dan diberikan obat anti tuberculosis oral. Pemberian obat anti tuberculosis sistemik tidak efektif. 2. BCG-itis diseminasi Jarang terjadi, seringkali berhubungan dengan imunodefisiensi berat. Komplikasi lainnya adalah eritema nodosum, iritis, lupus vulgaris dan osteomielitis. Komplikasi ini harus diobati dengan kombinasi obat anti tuberculosis. 2.1.2 Kontra indikasi BCG Reaksi uji tuberculin >5 mm. Menderita infeksi HIV atau dengan resiko tinggi infeksi HIV, imunokompromais akibat penggunaan kortikosteroid, obat imunosupresif, mendapat pengobatan radiasi, penyakit keganasan yang mengenai sumsum tulang atau system limfe. Menderita gizi buruk. Menderita demam tinggi. Menderita infeksi kulit yang luas.

13

Pernah sakit tuberculosis. Kehamilan.

2.1.3 Rekomendasi BCG diberikan pada bayi < 2bulan. Pada bayi yang kontak erat dengan penderita TB denagn BTA +3 sebaiknya diberikan INH profilaksis dulu, apabila pasien kontak sudah tenang bayi dapat diberi BCG. 2.2. Hepatitis B Vaksin hepatitis B (hep B) harus segera diberikan setelah lahir, mengingat vaksinasi hepB merupakan upaya pencegahan yang sangat efektif untuk memutuskan rantai penularan melalui transmisi maternal dari ibu kepada bayinya. Vaksin diberikan secara intramuscular dalam. Pada neonatus dan bayi diberikan di anterolateral paha, sedangkan pada anak besar dan dewasa, diberikan di region deltoid 2.2.1 Imunisasi aktif Imunisasi hepB-1 diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12 jam) setelah lahir. Imunisasi hepB-2 diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dari imunisasi hepB-1 yaitu saat bayi berumur 1 bulan. Untuk mendapat respon imun optimal, interval imunisasi hepB-2 dengan hepB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. Maka imunisasi hepB-3 diberikan pada umur 3-6 bulan. Bila sesudah dosis pertama, imunisasi terputus, segera berikan imunisasi kedua. Sedangkan imunisasi ketiga diberikan dengan jarak terpendek 2 bukan dari imunisasi kedua. Bila dosis ketiga terlambat, diberikan segera setelah memungkinkan. Bayi lahir dari ibu dengan Hbs-Ag yang tidak diketahui, hepB-1 harus diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir dan dilanjutkan pada umur 1 bulan

14

dan 3-6 bulan. Apabila semula status Hbs-Ag ibu tidak diketahui dan ternyata dalam perjalanan selanjutnya diketahui ibu dengan Hbs-Ag positif, maka ditambahkan hepatitis B immunoglobulin (HBIg) 0,5 ml sebelum bayi berumur 7 hari. Bayi lahir dari ibu dengan Hbs-Ag positif, diberikan vaksin hepB-1 dan HBIg 0,5 ml secara bersamaan dalam waktu 12 jam setelah lahir. Anak dari ibu pengidap hepatitis B, yang telah memperoleh imunisasi dasar 3x pada masa bayi, maka pada saat usia 5 tahun tidak perlu imunisasi ulang (booster). Hanya dilakukan pemeriksaan kadar anti HBs Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum pernah memperoleh imunisasi hepatitis B, maka secepatnya diberikan imunisasi Hep B dengan jadwal 3x pemberian (catch up vaccination). Catch up vaccination merupakan upaya imunisasi pada anak atau remaja yang belum pernah di imunisasi atau terlambat > 1 bulan dari jadwal yang seharusnya. Khusus pada imunisasi hepatitis B, imunisasi catch up ini diberikan dengan interval minimal 4 minggu antara dosis pertama dan kedua, sedangkan interval antara dosis kedua dan ketiga minimal 8 minggu atau 16 minggu sesudah dosis pertama. Ulangan imunisasi (hepB-4) dapat dipertimbangkan pada umur 10-12 tahun, apabila kadar pencegahan belum tercapai (anti Hbs< 10g/ml). 2.2.2 Imunisasi pasif Hepatitis B immune globulin (HBIg) dalam waktu singkat akan memeberikan proteksi meskipun hanya untuk jangka pendek (3-6 bulan). HBIg hanya diberikan pada kondisi pasca paparan. Sebaiknya HBIg diberikan bersama vaksin VHB sehingga proteksinya berlangsung lama. Pada needle stick injury maka diberikan HBIg 0,06 ml/kg maksimum 5 ml dalam 48 jam pertama setelah kontak. Pada penularan dengan cara kontak seksual HBIg diberikan 0,06 ml/kg maksimum 5 ml dalam waktu <14 hari sesudah kontak terakhir.

15

2.2.3 Efek samping Umumnya berupa reaksi local yang ringan dan bersigat sementara. Kadangkadang dapat menimbulkan demam ringan untuk 1-2 hari. 2.2.4 Kontra indikasi Tidak ada kontra ondikasi yang absolute. 2.3. DTwP (whole-cell pertussis) dan DTap (acelluler pertussis) Imunisasi DTP primer diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan (DTP tidak boleh diberikan sebelum umur 6 minggu) dengan interval 4-8 minggu. Interval terbaik diberikan 8 minggu, jadi DTP-1 diberikan pada umur 2 bulan, DTP-2 pada umur 4 bulan dan DTP-3 padaumur 6 bulan. Ulangan booster DTP selanjutnya diberikan satu tahun setelah DTP-3 yaitu pada umur 18-24 bulan dan DTP-5 pada saat masuk sekolah umur 5 tahun. Pada booster umur 5 tahun harus tetap diberikan vaksin dengan komponen pertusis (sebaiknya diberikan DTaP untuk mengurangi demam pasca imunisasi) mengingat kejadian pertusis pada dewasa muda meningkat akibat ambang proteksi telah sangat rendah sehingga dapat menjadi sumber penularan pada bayi dan anak. DT-5 diberikan pada kegiatan imunisasi di sekolah dasar. Ulangan DT-6 diberikan pada 12 tahun, mengingat masih dijumpai kasus difteria pada umur lebih dari 10 tahun. Dosis DTwP atau DTaP atau DT adalah 0,5 ml, intramuscular, baik untuk imunisasi dasar maupun ulangan. Jadwal untuk imunisasi rutin pada anak, dianjurkan pemberian 5 dosis pada usia 2,4,6,15-18 bulan dan usia 5 tahun atau saat masuk sekolah. Dosis ke 4 harus diberikan sekurang-kurangnya 6 bulan setelah dosis ke 3. kombinasi toksoid difteria dan tetanus(DT) yang mengandung 10-12 Lf dapat diberikan pada anak yang memiliki kontra indikasi terhadap pemberian yang pertusis.

16

2.3.1 Kejadian ikutan pasca imunisasi DTP Reaksi local kemerahan, bengkak dan nyeri pada lokasi injeksi terjadi pada separuh penerima DTP. Proporsi Demam ringan dengan reaksi local sama dan diantaranya dapat mengalami hiperpireksia. Anak gelisah dan menangis terus menerus selama beberapa jam paska suntikan (inconsolable crying). Dari suatu penelitian ditemukan adanya kejang demam sesudah vaksinasi yang dihubungkan dengan demam yang terjadi. Kejadian ikutan yang paling serius adalah terjadinya ensefalopati akut atau reaksi anafilaksis dan terbukti disebabkan oleh pemberian vaksin pertusis. 2.3.2 Kontra indikasi Saat ini didapatkan dua hal yang diyakini sebagai kontra indikasi mutlak terhadap pemberian vaksin pertusis baik whole cell maupun acelular. Yaitu : anafilaksis pada pemberian vaksin sebelumnya. Ensefalopati sesudah pemberian vaksin pertusis sebelumnya. Keadaan lain dapat dinyatakan sebagai perhatian khusus (precaution). Misalnya pemberian vaksin pertusis berikutnya bila pada pemberian pertama dijumpai riwayat hiperpireksia, keadaan hipotonik-hiporesponsif dalam 48 jam, anak menangis terus menerus selama 3 jam dan riwayat kejang dalam 3 hari sesudah imunisasi DTP Riwayat kejang dalam keluarga dan kejang yang tidak berhubungan dengan pemberian vaksin sebelumnya, kejadian ikutan paska imunisasi atau alergi terhadap vaksin bukanlah suatu indikasi kontra terhadap pemberian vaksin DTaP. Walaupun demikian keputusan untuk pemberian vaksin pertusis harus dipertimbangkan secara individual dengan memperhitungkan keuntungan dan resiko pemberiannya. 2.3.3 Vaksin pertusis a-seluler Vaksin pertusis aseluler adalah vaksin pertusis yang berisi komponen spesifik toksin dari Bordetellapertusis yang dipilih sebagai dasar yang berguna dalam

17

patogenesis pertusis dan perannya dalam memicu antibody yang berguna untuk pencegahan terhadap pertusis secara klinis. 2.4. POLIO Poliomielitis atau polio, adalah penyakit paralisis atau lumpuh yang disebabkan oleh virus. Agen pembawa penyakit ini, sebuah virus yang dinamakan poliovirus (PV), masuk ke tubuh melalui mulut, mengifeksi saluran usus. Virus ini dapat memasuki aliran darah dan mengalir ke sistem saraf pusat menyebabkan melemahnya otot dan kadang kelumpuhan (paralisis).

Gambar 7. Anak dengan Polio Poliovirus adalah virus RNA kecil yang terdiri atas tiga strain berbeda dan amat menular. Virus akan menyerang sistem saraf dan kelumpuhan dapat terjadi dalam hitungan jam. Polio menyerang tanpa mengenal usia, lima puluh persen kasus terjadi pada anak berusia antara 3 hingga 5 tahun. Masa inkubasi polio dari gejala pertama berkisar dari 3 hingga 35 hari. Anak-anak kecil yang terkena polio seringkali hanya mengalami gejala ringan dan menjadi kebal terhadap polio. Karenanya, penduduk di daerah yang memiliki sanitasi baik justru menjadi lebih rentan terhadap polio karena tidak menderita polio ketika masih kecil. Vaksinasi pada saat balita akan sangat membantu pencegahan

18

polio di masa depan karena polio menjadi lebih berbahaya jika diderita oleh orang dewasa. Orang yang telah menderita polio bukan tidak mungkin akan mengalami gejala tambahan di masa depan seperti layu otot; gejala ini disebut sindrom postpolio. Jenis polio: 1. Polio non-paralisis 2. Polio paralisis spinal 3. Polio bulbar 2.4.1 Imunisasi Polio Vaksin efektif pertama dikembangkan oleh Jonas Salk. Salk menolak untuk mematenkan vaksin ini karena menurutnya vaksin ini milik semua orang seperti halnya sinar matahari. Namun vaksin yang digunakan untuk inokulasi masal adalah vaksin yang dikembangkan oleh Albert Sabin. Inokulasi pencegahan polio anak untuk pertama kalinya diselenggarakan di Pittsburgh, Pennsylvania pada 23 Februari 1954. Polio hilang di Amerika pada tahun 1979. Belum ada pengobatan efektif untuk membasmi polio. Penyakit yang dapat menyebabkan kelumpuhan ini, disebabkan virus poliomyelitis yang sangat menular. Penularannya bias lewat makanan/minuman yang tercemar virus polio. Bisa juga lewat percikan ludah/air liur penderita polio yang masuk ke mulut orang sehat. Imunisasi polio memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit poliomielitis. Polio bisa menyebabkan nyeri otot dan kelumpuhan pada salah satu maupun kedua lengan/tungkai. Polio juga bisa menyebabkan kelumpuhan pada otot-otot pernafasan dan otot untuk menelan. Polio bisa menyebabkan kematian. Terdapat 2 macam vaksin polio: - IPV (Inactivated Polio Vaccine, Vaksin Salk), mengandung virus polio yang telah dimatikan dan diberikan melalui suntikan. - OPV (Oral Polio Vaccine, Vaksin Sabin), mengandung vaksin hidup yang telah dilemahkan dan diberikan dalam bentuk pil atau cairan.

19

Bentuk trivalen (TOPV) efektif melawan semua bentuk polio, bentuk monovalen (MOPV) efektif melawan 1 jenis polio.Imunisasi dasar polio diberikan 4 kali (polio I,II, III, dan IV) dengan interval tidak kurang dari 4 minggu. Imunisasi polio ulangan diberikan 1 tahun setelah imunisasi polio IV, kemudian pada saat masuk SD (5-6 tahun) dan pada saat meninggalkan SD (12 tahun). Di Indonesia umumnya diberikan vaksin Sabin. Vaksin ini diberikan sebanyak 2 tetes (0,1 mL) langsung ke mulut anak atau dengan menggunakan sendok yang berisi air gula. Dosis pertama dan kedua diperlukan untuk menimbulkan respon kekebalan primer, sedangkan dosis ketiga dan keempat diperlukan untuk meningkatkan kekuatan antibody sampai pada tingkat yang tertinggi. Kepada orang yang pernah mengalami reaksi alergi hebat (anafilaktik) setelah pemberian IPV, streptomisin, polimiksin B atau neomisin, tidak boleh diberikan IPV. Sebaiknya diberikan OPV. Kepada penderita gangguan sistem kekebalan (misalnya penderita AIDS, infeksi HIV, leukemia, kanker, limfoma), dianjurkan untuk diberikan IPV. IPV juga diberikan kepada orang yang sedang menjalani terapi penyinaran, terapi kanker, kortikosteroid atau obat imunosupresan lainnya. IPV bisa diberikan kepada anak yang menderita diare. Jika anak sedang menderita penyakit ringan atau berat, sebaiknya pelaksanaan imunisasi ditunda sampai mereka benar-benar pulih. IPV bisa menyebabkan nyeri dan kemerahan pada tempat penyuntikan, yang biasanya berlangsung hanya selama beberapa hari. Masa inkubasi virus antara 6-10 hari. Setelah demam 2-5 hari, umumnya akan mengalami kelumpuhan mendadak pada salah satu anggota gerak. Namun tak semua orang yang terkena virus polio akan mengalami kelumpuhan, tergantung keganasan virus polio yang menyerang dan daya tahan tubuh si anak. Imunisasi polio akan memberikan kekebalan terhadap serangan virus polio. 2.4.2 Usia Pemberian: Saat lahir (0 bulan), dan berikutnya di usia 2, 4, 6 bulan. Dilanjutkan pada usia 18 bulan dan 5 tahun. Kecuali saat lahir, pemberian vaksin polio selalu dibarengi dengan vaksin DTP.

20

2.4.3 Cara Pemberian: Bisa lewat suntikan (Inactivated Poliomyelitis Vaccine/IPV), atau lewat mulut (Oral Poliomyelitis Vaccine/OPV). Di tanah air, yang digunakan adalah OPV. 2.4.4 Efek Samping: Hampir tak ada. Hanya sebagian kecil saja yang mengalami pusing, diare ringan, dan sakit otot. Kasusnya pun sangat jarang. Dapat mungkin terjadi berupa kelumpuhan dan kejang-kejang. 2.4.5 Tingkat Kekebalan: Dapat mencekal hingga 90%. 2.4.6 Indikasi Kontra: Tak dapat diberikan pada anak yang menderita penyakit akut atau demam tinggi (di atas 380C); muntah atau diare; penyakit kanker atau keganasan; HIV/AIDS; sedang menjalani pengobatan steroid dan pengobatan radiasi umum; serta anak dengan mekanisme kekebalan terganggu. 2.5. CAMPAK (MORBILLI) Penyakit Campak (Rubeola, Campak 9 hari, measles) adalah suatu infeksi virus yang sangat menular, yang ditandai dengan demam, batuk, konjungtivitis (peradangan selaput ikat mata/konjungtiva) dan ruam kulit. Penyakit ini disebabkan karena infeksi virus campak golongan Paramyxovirus.

Gambar 8. Anak dengan Campak

21

Sebelum vaksinasi campak digunakan secara meluas, wabah campak terjadi setiap 2-3 tahun, terutama pada anak-anak usia pra-sekolah dan anak-anak SD. Jika seseorang pernah menderita campak, maka seumur hidupnya dia akan kebal terhadap penyakit ini. Tidak ada pengobatan khusus untuk campak. Anak sebaiknya menjalani tirah baring. Untuk menurunkan demam, diberikan asetaminofen atau ibuprofen. Jika terjadi infeksi bakteri, diberikan antibiotik. Vaksin campak merupakan bagian dari imunisasi rutin pada anak-anak. Vaksin biasanya diberikan dalam bentuk kombinasi dengan gondongan dan campak Jerman (vaksin MMR/mumps, measles, rubella), disuntikkan pada otot paha atau lengan atas. Jika hanya mengandung campak, vaksin diberikan pada umur 9 bulan. Dalam bentuk MMR, dosis pertama diberikan pada usia 12-15 bulan, dosis kedua diberikan pada usia 4-6 tahun. selain itu penderita juga harus disarankan untuk istirahat minimal 10 hari dan makan makanan yang bergizi agar kekebalan tubuh meningkat. 2.5.1 Imunisasi Campak Sebenarnya, bayi sudah mendapat kekebalan campak dari ibunya. Namun seiring bertambahnya usia, antibodi dari ibunya semakin menurun sehingga butuh antibody tambahan lewat pemberian vaksin campak. Apalagi penyakit campak mudah menular, dan mereka yang daya tahan tubuhnya lemah gampang sekali terserang penyakit yang disebabkan virus Morbili ini. Untungnya, campak hanya diderita sekali seumur hidup. Jadi, sekali terkena campak, setelah itu biasanya tak akan terkena lagi. Imunisasi campak efektif untuk memberi kekebalan terhadap penyakit campak sampai seumur hidup. Penyakit campak yang disebabkan oleh virus yang ganas ini dapat dicegah jika seseorang mendapatkan imunisasi campak, minimal dua kali yakni semasa usia 6 59 bulan dan masa SD (6 12 tahun). Upaya imunisasi campak tambahan yang dilakukan bersama dengan imunisasi rutin terbukti dapat menurunkan kematian karena penyakit campak sampai 48%.Tanpa imunisasi, penyakit ini dapat menyerang setiap anak, dan mampu menyebabkan cacat dan kematian karena komplikasinya seperti radang paru (pneumonia); diare, radang

22

telinga (otitis media) dan radang otak (ensefalitis) terutama pada anak dengan gizi buruk. Penularan campak terjadi lewat udara atau butiran halus air ludah (droplet) penderita yang terhirup melalui hidung atau mulut. Pada masa inkubasi yang berlangsung sekitar 10-12 hari, gejalanya sulit dideteksi. Setelah itu barulah muncul gejala flu (batuk, pilek, demam), mata kemerah-merahan dan berair, si kecil pun merasa silau saat melihat cahaya. Kemudian, di sebelah dalam mulut muncul bintikbintik putih yang akan bertahan 3-4 hari. Beberapa anak juga mengalami diare. Satudua hari kemudian timbul demam tinggi yang turun naik, berkisar 38-40,5C. Seiring dengan itu, barulah keluar bercak-bercak merah yang merupakan ciri khas penyakit ini. Ukurannya tidak terlalu besar, tapi juga tak terlalu kecil. Awalnya hanya muncul di beberapa bagian tubuh saja seperti kuping, leher, dada, muka, tangan dan kaki. Dalam waktu 1 minggu, bercakbercak merah ini akan memenuhi seluruh tubuh. Namun bila daya tahan tubuhnya baik, bercak-bercak merah ini hanya di beberapa bagian tubuh saja dan tidak banyak. Jika bercak merah sudah keluar, umumnya demam akan turun dengan sendirinya. Bercak merah pun akan berubah jadi kehitaman dan bersisik, disebut hiperpigmentasi. Pada akhirnya bercak akan mengelupas atau rontok atau sembuh dengan sendirinya. Umumnya, dibutuhkan waktu hingga 2 minggu sampai anak sembuh benar dari sisa-sisa campak. Dalam kondisi ini, tetaplah meminum obat yang sudah diberikan dokter. Jaga stamina dan konsumsi makanan bergizi. Pengobatannya bersifat simptomatis, yaitu mengobati berdasarkan gejala yang muncul. Hingga saat ini, belum ditemukan obat yang efektif mengatasi virus campak. Jika tak ditangani dengan baik campak bisa sangat berbahaya. Bisa terjadi komplikasi, terutama pada campak yang berat. Ciri-ciri campak berat, selain bercaknya di sekujur tubuh, gejalanya tidak membaik setelah diobati 1-2 hari. Komplikasi yang terjadi biasanya berupa radang paru-paru (broncho pneumonia) dan radang otak (ensefalitis). Komplikasi inilah yang umumnya paling sering menimbulkan kematian pada anak.

23

2.5.2 Deskripsi Vaksin campak merupakan vaksin virus hidup yang dilemahkan. Setiap dosis (0,5ml) mengandung tidak kurang dari 1000 infective unit virus strain CAM 70, dan tidak lebih dari 100 mcg residu kanamycin dan 30 mcg residu erythromycin. Vaksin ini berbentuk vaksin beku kering yang harus dilarutkan hanya dengan pelarut steril yang tersedia secara terpisah untuk tujuan tersebut. Vaksin ini telah memenuhi persyaratan WHO untuk vaksin campak. 2.5.3 Indikasi Untuk Imunisasi aktif terhadap penyakit campak. 2.5.4 Komposisi Tiap dosis vaksin yang sudah dilarutkan mengandung : Virus Campak >= 1.000 CCID50, Kanamycin sulfat <= 100 mcg, Erithromycin <= 30 mcg 2.5.5 Dosis dan Cara Pemberian Imunisasi campak terdiri dari dosis 0,5 ml yang disuntikkan secara SUBKUTAN, lebih baik pada lengan atas. Pada setiap penyuntikan harus menggunakan jarum dan syringe yang steril. Vaksin yang telah dilarutkan hanya dapat digunakan pada hari itu juga (maksimum untuk 8 jam) dan itupun berlaku hanya jika vaksin selama waktu tersebut disimpan pada suhu 2-8C serta terlindung dari sinar matahari. Pelarut harus disimpan pada suhu sejuk sebelum digunakan. Satu dosis vaksin campak cukup untuk membentuk kekebalan terhadap infeksi.Di negara-negara dengan angka kejadian dan kematian karena penyakit campak tinggi pada tahun pertama setelah kelahiran, maka dianjurkan imunisasi terhadap campak dilakukan sedini mungkin setelah usia 9 bulan (270 hari). Di negaranegara yang kasus campaknya sedikit, maka imunisasi boleh dilakukan lebih dari usia tersebut. Vaksin campak tetap aman dan efektif jika diberikan bersamaan dengan vaksin-vaksin DT, Td, TT, BCG, Polio, (OPV dan IPV), Hepatitis B, dan Yellow Fever.

24

2.5.6 Usia & Jumlah Pemberian: Sebanyak 2 kali; 1 kali di usia 9 bulan, 1 kali di usia 6 tahun. Dianjurkan, pemberian campak ke-1 sesuai jadwal. Selain karena antibodi dari ibu sudah menurun di usia 9 bulan, penyakit campak umumnya menyerang anak usia balita. Jika sampai 12 bulan belum mendapatkan imunisasi campak, maka pada usia 12 bulan harus diimunisasi MMR (Measles Mumps Rubella). 2.5.7 Efek Samping: Umumnya tidak ada. Pada beberapa anak, bisa menyebabkan demam dan diare, namun kasusnya sangat kecil. Biasanya demam berlangsung seminggu. Kadang juga terdapat efek kemerahan mirip campak selama 3 hari. 2.5.8 Kontraindikasi Terdapat beberapa kontraindikasi yang berkaitan dengan pemberian vaksin campak. Walaupun berlawanan penting untuk mengimunisasi anak yang mengalami malnutrisi. Demam ringan, infeksi ringan pada saluran nafas atau diare, dan beberapa penyakit ringan lainnya jangan dikategorikan sebagai kontraindikasi. Kontraindikasi terjadi bagi individu yang diketahui alergi berat terhadap kanamycin dan erithromycin. Karena efek vaksin virus campak hidup terhadap janin belum diketahui, maka wanita hamil termasuk kontraindikasi. Individu pengidap virus HIV (Human Immunodficiency Virus). Vaksin Campak kontraindikasi terhadap individu-individu yang mengidap penyakit immune deficiency atau individu yang diduga menderita gangguan respon imun karena leukimia, lymphoma atau generalized malignancy. Bagaimanapun penderita HIV, baik yang disertai gejala ataupun tanpa gejala harus diimunisasi vaksin campak sesuai 2.5.9 Jadual yang ditentukan. Bagi anak-anak yang sedang sakit berat seperti diare dan demam tinggi, menurut Jane, diinstruksikan tidak perlu diimunisasi campak. Para petugas cukup mencatat namanya. Apabila anak tersebut telah sembuh, petugas akan mendatangi rumahnya untuk diberi imunisasi.

25

2.5.10 Kemasan Vaksin tersedia dalam kemasan vial 10 dosis + 5 ml pelarut dalam ampul.

26

BAB IV IMUNISASI YANG DIANJURKAN


4. 1. Imunisasi HIB Sesuai namanya, imunisasi ini bermanfaat untuk mencekal kuman HiB (Haemophyllus influenzae type B). Kuman ini menyerang selaput otak sehingga terjadilah radang selaput otak yang disebut meningitis. Meningitis sangat berbahaya karena dapat merusak otak secara permanen sampai kepada kematian. Selain mengakibatkan radang selaput otak, kuman ini juga dapat menyebabkan radang paru dan radang epiglotis. Terdapat dua jenis vaksin Hib konjungat yang beredar di Indonesia yaitu vaksin Hib yang berisi PRP-T (capsular polysaccharide polyriibosyl ribitol phosphate- konjugasi dengan protein tetanus) dan PRP-OMP (PRP berkonjugasi outer membrane protein complex). 4.1.1 Jadwal imunisasi Vaksin Hib yang berisi PRT-P diberikan umur 2,4, dan 6 bulan. Vaksin Hib yang berisi PRP-OMP diberikan pada umur 2 dan 4 bulan, dosis ketiga (6 bulan) tidak diperlukan. Vaksin Hib dapat diberikan dalam bentuk vaksin kombinasi (DTwP/Hib, DTaP/Hib/IPV) 4.1.2 Dosis -

Satu dosis Hib berisi 0,5 ml, diberikan secara intramuscular. Tersedia vaksin kombinasi (DTwP/Hib, DTaP/Hib, DTaP/Hib/IPV (vaksin kombinasi yang beredar berisi vaksin Hib PRT-P) dalam kemasan prefilled syringe 0,5 ml.

4.1.3 Ulangan Vaksin Hib baik PRT-P ataupun PRP-OMP perlu diulang pada umur 18 bulan.

27

Apabila anak datang pada umur 1-5 tahun, Hib hanya diberikan satu kali.

4.2. Imunisasi PCV Jenis imunisasi ini tergolong baru di Indonesia. PCV atau Pneumococcal Vaccine alias imunisasi pneumokokus memberikan kekebalan terhadap serangan penyakit IPD (Invasive Peumococcal Diseases), yakni meningitis (radang selaput otak), bakteremia (infeksi darah), dan pneumonia (radang paru). Ketiga penyakit ini disebabkan kuman Streptococcus Pneumoniae atau Pneumokokus yang penularannya lewat udara. Gejala yang timbul umumnya demam tinggi, menggigil, tekanan darah rendah, kurang kesadaran, hingga tak sadarkan diri. Penyakit IPD sangat berbahaya karena kumannya bisa menyebar lewat darah (invasif) sehingga dapat memperluas organ yang terinfeksi. Diperlukan imunisasi Pneumokukus untuk mencekal penyakit ini. Terdapat 2 jenis vaksin pneumokokus yang beredar di Indonesia, yaitu vaksin pneumokokus polisakarida berisi polisakarida murni, 23 serotipe disebut pneumococus polysaccharide vaccine (PPV23). Vaksin pneumokokus generasi kedua berisi vaksin polisakarida konjungasi, 7 serotipe disebut pneumococcal conjungate vaccine (PCV7). Vaksin PCV7 dikemas dalam prefilled syringe 5 ml dieberikan intramuskular. Dosis pertama tidak berikan sebelum umur 6 minggu Untuk bayi BBLR (<1500 gram) vaksin diberikan setelah umur kronologik 68 minggu, tanpa memperhatikan umur atau apabila berat badan telah mencapai.>2000 gram Dapat diberikan bersama vaksin lain. Untuk setiap vaksin pada sisi badan yang berbeda.

4.3. Imunisasi MMR

28

Memberikan

kekebalan

terhadap

serangan

penyakit

Mumps

(gondongan/parotitis), Measles (campak), dan Rubella (campak Jerman). Terutama buat anak perempuan, vaksinasi MMR sangat penting untuk mengantisipasi terjadinya rubela pada saat hamil. Sementara pada anak lelaki, nantinya vaksin MMR mencegah agar tak terserang rubella dan menulari sang istri yang mungkin sedang hamil. Penting diketahui, rubela dapat menyebabkan kecacatan pada janin. Toksin MMR diberikan pada umur 15 -18 bulan minimal interval 6 bulan antara imunisasi campak (9 bulan) dan MMR. Dosis satu kali 0,5 ml secara sub kutan. MMR diberikan minimal satu bulan sebelum atau setelah penyuntikan imunisasi lain. Apabila seorang anak telah mendapat imunisasi MMR pada umur 12 -18 bulan dan 6 tahun, imunisasi campak tambahan pada umur 5-6 tahun tidak perlu diberikan. Ulangan imunisasi MMR diberikan pada umur 6 tahun.

4.4. Imunisasi Influenza Influenza merupakan penyakit infeksi saluran napas yang disebabkan virus. Penyakit ini dapat menular dengan mudah karena virusnya bisa menyebar lewat udara yang bila terhirup dan masuk ke saluran pernapasan kita langsung tertular. Sebenarnya, influenza tergolong ringan karena sifatnya yang self-limiting disease alias bisa sembuh sendiri tanpa diobati. Penderita hanya perlu beristirahat, banyak minum air putih, dan meningkatkan daya tahan tubuh dengan konsumsi makanan bergizi seimbang. 4.4.1 Jadwal Vaksin influenza diberikan pada anak umur 6 sampai 23 bulan, baik anak sehat maupun dengan risiko (asma, penyakit jantung, penyakit sel sickle, HIV, dan Diabetes).
-

Dosis tergantung umur anak, 1. Umur 6-35 bulan 0,25 ml. 2. Umur 3 tahun 0,5 ml

29

3. Umur 8 tahun: untuk pemberian pertama kali diperlukan 2 dosis dengan interval minimal 4 -6 minggu, pada tahun beriktunya hanya diberikan satu dosis
Vaksin influenza diberikan secara intramuskular pada paha antero lateral atau deatoid

4.5. Imunisasi Tifoid Ada 2 jenis vaksin tifoid yang bisa diberikan ke anak, yakni vaksin oral (Vivotif) dan vaksin suntikan (TyphimVi). Keduanya efektif mencekal demam tifoid alias penyakit tifus, yaitu infeksi akut yang disebabkan bakteri Salmonella typhi. Bakteri ini hidup di sanitasi yang buruk seperti lingkungan kumuh, dan makananminuman yang tidak higienis. Dia masuk melalui mulut, lalu menyerang tubuh, terutama saluran cerna. Gejala khas terinfeksi bakteri tifus adalah suhu tubuh yang berangsur-angsur meningkat setiap hari, bisa sampai 400c. Basanya di pagi hari demam akan menurun tapi lalu meningkat di waktu sore/malam. Gejala lainnya adalah mencret, mual berat, muntah, lidah kotor, lemas, pusing, dan sakit perut, terkesan acuh tak acuh bahkan bengong, dan tidur pasif (tak banyak gerak). Pada tingkat ringan atau disebut paratifus (gejala tifus), cukup dirawat di rumah. Anak harus banyak istirahat, banyak minum, mengonsumsi makanan bergizi, dan minum antibiotik yang diresepkan dokter. Tapi kalau berat, harus dirawat di rumah sakit. Penyakit ini, baik ringan maupun berat, harus diobati hingga tuntas untuk mencegah kekambuhan. Selain juga untuk menghindari terjadi komplikasi karena dapat berakibat fatal. 4.5.1 Jenis vaksin 1. Vaksin kapsuler Vi polisakarida Diberikan pada umur lebih dua tahun, ulangan dilakukan setiap 3 tahun. Kemasan dalam prefilled syringe 0,5 ml pemberian secara intramuskular.

2. Tifoid oral Ty21a

30

Diberikan pada umur lebih dari 6 tahun. Dikemas dalam kapsul, diberikan 3 dosis dengan interval selang sehari (hari 1,3,5).

Imunisasi ulangan diberikan setiap 3-5 tahun.

4.6. Imunisasi Hepatitis A Penyebaran virus hepatitis A (VHA) sangat mudah. Penderita akan mengeluarkan virus ini saat meludah, bersin, atau batuk. Bila virus ini menempel di makanan, minuman, atau peralatan makan, kemudian dimakan atau digunakan oleh anak lain maka dia akan tertular. Namun, untuk memastikan apakah anak mengidap VHA atau tidak, harus dilakukan tes darah. Vaksin Hep A diberikan pada umur lebih dari 2 tahun. Vaksin kombinasi HepB atau HepA diberikan pada bayi kurang dari 12 bulan. Maka vaksin kombinasi di indikasikan pada anak umur lebih dari 12 bulan terutama catch-up immunization yaitu mengejar imunisasi pada anak yang belum pernah mendapatkan imunisasi Hep B sebelumnya atau imunisasi Hep B yang tidak lengkap. Kemasan liquid satu dosis/vial prefilled syringe 0,5 ml. Dosis pediatrik 720 ELISA units diberikan 2 kali dengan interval 6-12 bulan, intramuskular di daerah deltoid. Kombinasi HepB/HepA (berisi Hep B 10g dan Hep A 720 ELISA units) dalam kemasan prefilled syringe 0,5 ml intramuskular. Dosis HDosis Hep A untuk dewasa (19 tahun) 1440 ELISA units dosis 1 ml, 2 dosis, interval 6-12 bulan.

4.7. Imunisasi Varisela Memberikan kekebalan terhadap cacar air atau chicken pox, penyakit yang disebabkan virus varicella zooster. Termasuk penyakit akut dan menular, yang

31

ditandai dengan vesikel (lesi/bintik berisi air) pada kulit maupun selaput lendir. Penularannya sangat mudah karena virusnya bisa menyebar lewat udara yang keluar saat penderita meludah, bersin, atau batuk. Namun yang paling potensial menularkan adalah kontak langsung dengan vesikel, yaitu ketika mulai muncul bintik dengan cairan yang jernih. Setelah bintik-bintik itu berubah jadi hitam, maka tidak menular lagi. Imunisasi varisela diberikan pada anak umur lebih dari 5 tahun. Untuk anak yang mengalami kontak dengan pasien varisela, imunisasi dapat mencegah apabila diberikan dalam kurun 72 jam setelah kontak. Dosis 0,5 ml subkutan satu kali. Untuk umur lebih dari 13 tahun atau dewasa, diberikan 2 kali dengan jarak 4-8 minggu.

DAFTAR PUSTAKA

Jadwal Imunisasi Anak - Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) 2008 [image on the Internet]. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008 Available from : http://pediatricinfo.wordpress.com/2009/04/20/jadwal-imunisasi-2008-idai/ Ranuh IGN, Hariyono S, Pedoman Imunisasi di Indonesia, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Edisi 3, Jakarta, 2008. http://www.balita-anda.com/fatherhood/661-imunisasi-pada-anak.html http://yayaanakhyar.wordpress.com/2010/01/29/i-m-u-n-i-s-a-s-i/ http://www.idai.or.id/upload/jadwalimun08.pdf

32

Anda mungkin juga menyukai