Pemberian vaksin sama dengan pemberian antigen pada tubuh. Jika terpajan oleh
antigen, baik secara alamiah maupun melalui pemberian vaksin, tubuh akan bereaksi untuk
menghilangkan antigen tersebut melalui sistem imun. Secara umum, sistem imun dibagi
menjadi 2, yaitu sistem imun non-spesifik dan sistem imun spesifik. Sistem imun nonspesofok merupakan mekanisme pertahanan alamiah yang dibawa sejak lahir (innate) dan
dapat ditujukan untuk berbagai macam agen infeksi atau antigen.1,2,3
Sistem imun non-spesifik meliputi kulit, membran mukosa, sel-sel fagosit,
komplemen, lisozim dan interferon. Sistem imun ini merupakan garis pertahanan pertama
yang harus dihadapi oleh agen infeksi yang masuk kedalam tubuh. jika sistem imun nonspesifik tidak berhasil menghilangkan antigen, barulah sistem imun spesifik berperan.1,2
Sistem imun spesifik merupakan mekanisme pertahanan adaptif yang didapatkan
selama kehidupan dan ditujukan khusus untuk satu jenis antigen. Sistem imun spesifik
diperankan oleh sel T dan sel B. Pertahanan oleh sel T dikenal sebagai imunitas selular,
sedangkan pertahanan oleh sel B dikenal sebagai imunitas humoral. Imunitas selular berperan
melawan antigen di dalam sel (intasel), sedangkan imunitas humoral berperan melawan
antigen di luar sel (ekstrasel). dalam pemberian vaksin, sistem imun spesifik inilah yang
berperan untuk memberikan kekebalan terhadap satu jenis agen infeksi, melalui mekanisme
memori.1,3
Di dalam kelenjar getah bening terdapat sel T naif, yaitu sel T yang belum pernah
terpajan oleh antigen. Jika terpajan antigen, sel naif T akan berdiferensiasi menjadi sel efektor
dan sel memori. Sel efektor akan bermigrasi ke tempat-tempat infeksi dan mengeliminasi
antigen, sedangkan sel memori akan berada di organ limfoid untuk kemudian berperan jika
terjadi pajanan antigen yang sama.1
Sel B jika terpajan oleh antigen, akan mengalami transformasi, proliferasi dan
diferensiasi menjadi sel plasma yang akan memproduksi antibodi. Antibodi akan menetralkan
antigen sehingga kemampuan menginfeksinya hilang. Proliferasi dan diferensiasi sel B tidak
hanya menjadi sel plasma tetapi juga sebagian akan menjadi sel B memori. Sel B memori
akan berada dalam sirkulasi. Bila sel B memori terpajan pada antigen serupa, akan terjadi
proliferasi dan diferensiasi seperti smeula dan akan menghasilkan antibodi yang lebih
banyak.1
Adanya sel memori akan memudahkan pengenalan antigen pada pajanan yang kedua.
Artinya, jika seseorang yang sudah divaksinasi (artinya sudah pernah terpajan oleh antigen)
terinfeksi atau terpajan oleh antigen yang sama, akan lebih mudah bagi sistem imun untuk
mengenali antigen tersebut. Selain itu, respon imun pada pajanan yang kedua (respon imun
sekunder) lebih baik daripada respon imun pada pajanan antigen yang pertama (respon imun
primer). Sel T dan sel B yang terlibat lebih banyak, pembentukan antibodi lebih cepat dan
bertahan lebih lama, titer antibodi lebih banyak (terutama IgG) dan afinitasnya lebih tinggi.2,3
Dengan demikian, diharapkan seseorang yang sudah pernah divaksinasi tidak akan
mengalami penyakit akibat pajanan antigen yang sama karena sistem imunnya memiliki
kemampuan yang lebih dibanding mereka yang tidak divaksinasi.
1. Matondang CS, Siregar SP. Aspek imunologi imunisasi. Dalam: Ranuh IGN,
Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, Ismoedijanto, Soedjatmiko,
editor. Pedoman imunisasi di Indonesia. Ed 3. Jakarta: Satgas Imunisasi Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 2008. h. 10-22.
2. Wahab S, Julia M. Sistem imun, imunisasi, dan penyakit imun. Jakarta: Widya
Medika; 2002. h. 1-37.
3. Baratawidjaja KG. Imunologi dasar. Edisi 10. Jakarta: Balai penerbit FKUI;
2012. h. 15-6, 61.
kurang. Jadi dengan sendirinya, vaksinasi pada neonatus akan memberikan hasil yang
kurang dibandingkan pada anak. Maka, apabila imunisasi diberikan sebelum bayi
berumur 2 bulan, jangan lupa memberikan imunisasi ulangan.
Status imun mempengaruhi pula hasil imunisasi. Individu yang mendapat obat
imunosupresan, menderita defisiensi imun kongenital, atau menderita penyakit yang
menimbulkan defisiensi imun sekunder seperti pada penyakit keganasan juga akan
mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Bahkan adanya defisiensi imun merupakan
kontraindikasi pemberian vaksin hidup karena dapat menimbulkan penyakit pada individu
tersebut. Demikian pula vaksinasi pada individu yang menderita penyakit infeksi sistemik
seperti campak, tuberkulosis milier akan mempengaruhi pula keberhasilan vaksinasi.
Keadaan gizi yang buruk akan menurunkan fungsi sel sistem imun seperti makrofag
dan limfosit. Imunitas selular menurun dan imunitas humoral spesifisitasnya rendah.
Meskipun kadar globulin normal atau bahkan meninggi, imunoglobulin yang terbentuk
tidak dapat mengikat antigen dengan baik karena terdapat kekurangan asam amino yang
dibutuhkan untuk sintesis antibodi. Kadar komplemen juga berkurang dan mobilisasi
makrofag berkurang, akibatnya respons terhadap vaksin atau toksoid berkurang.
2. Faktor genetik pejamu
Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas genetik. Secara
genetik respons imun manusia dapat dibagi atas responder baik, cukup, dan rendah
terhadap antigen tertentu. Ia dapat memberikan respons rendah terhadap antigen tertentu,
tetapi terhadap antigen lain dapat lebih tinggi. Karena itu tidak heran bila kita
menemukan keberhasilan vaksinasi yang tidak 100%.
3. Kualitas dan kuantitas vaksin
Vaksin adalah mikroorganisme atau toksoid yang diubah sedemikian rupa sehingga
patogenisitas atau toksisitasnya hilang tetapi masih tetap mengandung sifat antigenisitas.
Beberapa faktor kualitas dan kuantitas vaksin dapat menentukan keberhasilan vaksinasi,
seperti cara pemberian, dosis, frekuensi pemberian ajuvan yang dipergunakan, dan jenis
vaksin.
a) Cara pemberian vaksin akan mempengaruhi respons imun yang timbul. Misalnya
vaksin polio oral akan menimbulkan imunitas lokal disamping sistemik, sedangkan
vaksin polio parenteral akan memberikan imunitas sistemik saja.
b) Dosis vaksin terlalu tinggi atau terlalu rendah juga mempengaruhi respons imun
yang terjadi. Dosis terlalu tinggi akan menghambat respons imun yang diharapkan.
Sedang dosis terlalu rendah tidak merangsang sel-sel imunokompeten.Dosis yang
tepat dapat diketahui dari hasil uji klinis, karena itu dosis vaksin harus sesuai
dengan dosis yang direkomendasikan.
antigen.
Ajuvan
akan
meningkatkan
respons
imun
dengan
penyakit
yang
sangat
ringan. Atenuasi
diperoleh
dengan
4.
pemberian ke-5 secepat-cepatnya 6 bulan sesudahnya. Bila pemberian ke-4 setelah umur 4
tahun, maka pemberian ke-5 tidak perlu lagi.
Polio oral
Bila terlambat, jangan mengulang pemberiannya dari awal tetapi lanjutkan dan
lengkapi imunisasi seperti jadwal, tidak peduli berapapun jarak waktu/interval keterlambatan
dari pemberian sebelumnya.
Campak
Pada umur antara 9 12 bulan, berikan kapan saja saat bertemu. Bila umur anak > 1 tahun
berikan MMR. Bila booster belum didapat setelah umur 6 tahun, maka vaksin campak/MMR
diberikan kapan saja saat bertemu. Lengkapi jadwal MMR Bila sampai dengan umur 12
bulan belum mendapat vaksin campak, MMR bisa diberikan kapan saja setelah berumur 1
tahun.
Hepatitis B
Bila terlambat, jangan mengulang pemberian dari awal, tetapi lanjutkan dan lengkapi
imunisasi seperti jadwal, tidak peduli berapapun jarak waktu/interval dari pemberian
sebelumnya. Anak dan remaja yang belum pernah imunisasi hepatitis B pada masa bayi, bisa
mendapat serial imunisasi hepatitis B kapan saja saat berkunjung.
1. National Health and Medical Research Council. National Immunization Program.
The Australian Immunization Handbook. Edisi ke-9. Commonwealth of Australia;
2008.
2. Committee on Infectious Diseases American Academy of Pediatrics. PickeringLK,
Baker CL, Overturf GD, Prober CG, penyunting. Red Book: 2003 Report of the
Committee on Infectious Diseases. Edisi ke-26. Elk Grove Village, IL: American
Academy of Pediatrics; 2003.
3. Plotkins S, Orenstein WA, penyunting. Vaccines. edisi keempat. Philadelphia, Tokyo:
WB Saunders; 2004.
pabrik, nomor batchlot), petugas yang melakukan, dan bagaimana sikap masyarakat saat
menghadapi masalah tersebut. Selanjutnya perlu dilacak kemungkinan terdapat kasus lain
yang sama, terutama yang mendapat imunisasi dari tempat yang sama dan jenis lot vaksin
yang sama. Pelacakan dapat dilakukan oleh petugas Puskesmas atau petugas kesehatan lain
yang bersangkutan. Sisa vaksin (apabila masih ada) yang diduga menyebabkan KIPI harus
disimpan sebagaimana kita memperlakukan vaksin pada umumnya (perhatikan cold chain).
Kepala Puskesmas atau Pokja KIPI daerah dapat menganalisis data hasil pelacakan untuk
menilai klasifikasi KIPI dan dicoba untuk mencari penyebab KIPI tersebut. Dengan adanya
data kasus KIPI dokter Puskesmas dapat memberikan pengobatan segera. Apabila kasus
tergolong berat, penderita harus segera dirawat untuk pemeriksaan lebih lanjut dan diberikan
pengobatan segera. Evaluasi akan dilakukan oleh Pokja KIPI setelah menerima laporan. Pada
kasus ringan tatalaksana dapat diselesaikan oleh Puskesmas dan Pokja KIPI hanya perlu
diberikan laporan. Untuk kasus berat yang masih dirawat, sembuh dengan gejala sisa, atau
kasus meninggal, diperlukan evaluasi ketat dan apabila diperlukan Pokja KIPI segera
dilibatkan. Evaluasi akhir dan kesimpulan disampaikan kepada Kepala Puskesmas untuk
perbaikan program yang akan datang.