UNIVERSITAS PATTIMURA
Disusun oleh:
2016-83-030
Pembimbing:
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2020
PENGGUNAAN STEROID TOPICAL PADA KONJUNGTIVITIS : DITINJAU DARI
BUKTI
Tujuan : konjungtivitis atau radang konjungtiva, merupakan kondisi umum yang dapat
disebabkan oleh etiologi infeksius (seperti infeksi bakteri atau virus) dan non-infeksius (misalnya
alergi). Tatalaksana konjungtivitis memerlukan diagnosis penyebab yang mendasari dan terapi
yang tepat. Terapi dengan spektrum luas yang dapat mengatasi banyak masalah etiologi dan juga
peradangan yang menyertainya akan sangat berguna. Dalam artikel ini, kami akan membahas
kegunaan kortikosteroid oftalmik topical dan formulasi oftalmik yang menggabungkan
kortikosteroid dengan antibiotic untuk mengobati konjungtivitis infeksi akut.
Metode : tinjauan literatur yang dipublish dan menggunakan pedoman pengobatan yang relevan.
Hasil : kortikosteroid topical berguna untuk mengobati peradangan mata, namun Sebagian besar
pedoman pengobatan merekomendasikan penggunaan steroid secara umum pada kasus
konjungtivitis yang parah. Hal ini terkait resiko penggunaan steroid. Resiko termasuk potensi
untuk memperpanjang infeksi adenoviral dan memperburuk infeksi virus herpes simpleks,
peningkatan TIO, glaucoma, dan katarak. Namun sebagian besar resiko yang timbul tidak
didukung oleh data klinis kualitas tinggi. Resiko ini dikaitkan dengan penggunaan steroid jangka
Panjang yang tidak diaplikasikan untuk konjungtivitis yang menular. Menurut data klinis
menunjukkan formulasi oftalmik yang menggabungkan kortikosteroid dengan anti inflamasi
sperktrum luas efektif dan ditoleransi baik bila digunakan untuk pengobatan jangka pendek (≤2
minggu).
Konjungtivitis atau peradangan konjungtiva adalah kondisi infeksi pada mata yang umum
terjadi ~ 1% dari semua kunjungan perawatan primer di Amerika Serikat. Hal ini berdampak
pada gejala yang signifikan juga membebani beban ekonomi yang cukup besar.
Konjungtivitis dapat menular dan tidak menular contohnya seperti:
Konjungtivitis adenoviral adalah penyebab utama kasus konjungtivitis infeksi akut pada
orang dewasa. Infeksi umumnya sembuh sendiri dan tidak memerlukan pengobatan antibiotik.
Tidak ada obat yang dapat diterima namun kortikosteroid topical dapat membantu mengurangi
gejala konjungtivitis adenoviral juga dapat mencegah jaringan parut pada kasus yang parah.
Namun pedoman pengobatan menyarankan untuk berhati-hati dalam penggunaan kortikosteroid
karena dapat berpotensi memperpanjang infeksi konjungtivitis bakteri bertanggung jawab atas
Sebagian besar kasus pada anak-anak. Pada konjungtivitis bakteri ringan biasanya sembuh secara
spontan, namun terapi antibacterial topical umumnya lebih disukai karena dikaitkan dengan
periode infeksi yang lebih pendek dari tanda dan gejala klinis. Konjungtivitis alergi biasanya
diobati dengan antihistamin dan penstabil sel mast, tetapi jika gejalanya menetap, terapi dapat
dilengkapi dengan kortikosteroid topikal.
Kortikosteroid banyak digunakan untuk mengobati peradangan pada mata dan termasuk
golongan obat yang paling banyak diberikan dalam oftalmologi. Dalam artikel ini, akan ditinjau
bukti yang mendukug dan menentang penggunaan kortikosteroid pada pasien dengan
konjungtivitis dan mendiskusikan potensi formulasi oftalmik kombinasi kortikosteroid dan anti-
infeksi untuk mengobati konjungtivitis infeksi akut pada orang dewasa dan anak-anak
Deteksi dini dan penggunaan terapi yang tepat adalah kunci dalam penyembuhan
penyakit yang cepat dan membantu meminimalkan potensi efek penularan konjungtivitis yang
tidak dapat diobati. Diagnosis konjungtivittis yang akurat dan identifikasi etiologi (misalnya
bakteri, virus atau alergi) memerlukan pemeriksaan mata yang spesifik dan dalam pemeriksaan
laboratorium. Menurut pedoman American Academy of Ophthalmology, pemeriksaan mata
harus mencakup evaluasi biomikroskop slit lamp yang komprehensif. Namun banyak pasien
konjungtivitis terlihat di perawatan primer dan klinik perawatan darurat, dimana pada
pemeriksaan mata tidak digunakan slit lamp. Oleh karena itu dalam membedakan berbagai
bentuk kongjungtivitis (bakteri, virus atau alergi) dapat menjadi tantangan. Dokter layanan
primer mungkin meresepkan antibiotic tanpa membuat diagnosis banding. Kesalahan dalam
mendiagnosis etiologi dari konjungtivitis virus sebagai konjungtivitis bakteri serta penggunaan
antibiotic yang tidak tepat dapat terjadi pada 50% kasus.
Perlu diingat terlepas dari etiologi yang mendasarinya, konjungtivitis ditandai dengan
peradangan pada konjungtiva. Peradangan ini disebabkan oleh respon imun mata terhadap
etiologi yang mendasarinya. Oleh sebab itu, pengobatan konjungtivitis harus mengetahui jenis
peradangannya. Kortikosteroid efektif dan bertindak cepat sebagai agen antiinflamasi yang dapat
meringankan gejala nyeri dan bengkak. Namun penggunaan kortikosteroid tunggal dapat
berpotensi mengaktifkan Kembali infeksi virus herpes simpleks (HSV), hal ini menjadi penyebab
beberapa dokter pada layanan primer tidak meresepkannya dalam tatalaksana konjungtivitis.
Kombinasi kortikosteroid (deksametason) dan anti septik (povidone-iodine) mungkin sangat
berguna dalam mengobati inflamasi dan infeksi konjungtivitis. Sampai saat ini kombinasi ini
masih dikembangkan.
1. Hindari penggunaan tanpa resep karena akan memperpanjang infeksi adenoviral dan
memperburuk infeksi HSV.
2. Pasien yang diberikan resep kortikosteroid jangka Panjang harus dipantau secara berkala
untuk peningkatan tekanan intraokuler (TIO) dan dievaluasi untuk glaucoma dan
pembentukan katarak.
3. Penggunaan steroid harus dihindari jika dicurigai konjungtivitis infeksi karena berpotensi
pada infeksi.
Penggunaan steroid topical pada keratitits herpes simpleks epitel merupakan kotraindikasi.
Namun penggunaan steroid topical juga dikaitkan dengan resiko aktif Kembali HSV laten tanpa
adanya penyakit epitel.HSV merupakan penyebab yang sangat jarang dari konjuntivitis akut
dengan etiologi infeksi dan kemungkinan tidak dapat dibedakan dari konjungtivitis adenoviral
tanpa tes diagnostic yang lebih lanjut. Jika diagnostic labih lanjut tidak dapat dilanjutkan dokter
tidak akan mermberikan steroid. Namun resiko reaktivasi HSV akibat steroid topical tanpa
adanya penyakit epitel tidak didukung sepenuhnya oleh literatur yang dipublish. Uji
eksperimental dan bukti klinis tertentu menunjukkan tidak ada peningkatan peningkatan produksi
HSV setelah pembaerian steroid. Selain itu pada penelitian acak terkontrol placebo terhadap
deksametason 0,1% dalam mengobati konjungtivitis folikuler akut (dugaan viru) menunjukkan
adanya respon yang signifikan tanpa bahaya atau komplikasi serus dan tidak ada tanda-tanda
HSV.
Perlu diingat meskipun pada data penelitian kecil dari uji klinis menunujukkan bahwa steroid
dapat ditoleransi dengan baik, namun diperluka uji klinis acak yang lebih besar untuk
memastikan keamanan lebih lanjut. Pada tabel 1 tertulis steroid oftlamik yang digunakan untuk
mengobati peradangan pada mata. Pada tabel 2 terdapat beberapa formulasi oftlamik berbeda
yang menggabungkan antimikroba/antiifeksi dengan kortikosteroid untuk digunakan ppada
pebobatan infeksi mata dan peradangan mata.
Formulasi loteprednol etabonate dan prednisolone, serta berbagai deksametason akan dibahas
selanjutnya. Formulasi loteprednol etabonate 0,5%/tobramycin 0,3% telah digunakan pada
inflamasi mata yang responsive terhadap steroid dimana kosrtikosteroid diindikasikan. Formulasi
prednisolone 0.2%/ sulfacetamide 10% merupakan kombinasi dari kortikosteroid dan anti infeksi
yang telah digunakan secara klinis sejak tahun 1980-an. Formulasi ini biasanya digunakan untuk
mengobati infeksi mata dan peradangan pada mata.
Berbagai formulasi deksametason dalam kombinasinya dengan antibitik atau anti infeksi
telah digunakan secara klinis dan/atau dalam penyelidikan klinis (tabel 2). Seperti kombinasi
tobramycin dan deksametason, juga kombiniasi PVP-I dan deksametasone yang berbeda. Pada
kombinasi tobramycin 0,3% (antibiotic) dan deksametason 0,1% suspense oftalmik (TobraDex)
diindikasikan dan pada infeksi mata yang ada resiko infeksi bakteri. PVP-I adalah agen
disinfektan dan antiseptic dengan aktivitas antimikroba spektrum laur terhadap berbagai virus,
bakteri, dan jamur. Hal ini secara rutin digunakan dalam operasi mata. Keuntungan penggunaan
PVP-I termasuk resistensi antibiotic yang terdokumentasi rendah dan efeknya pada beberapa
pathogen in vitro. Kombinasi PVP-I dan deksametason memiliki potensi untuk mengobati
konjungtivitis virus dan bakteri dan juga untuk mengatasi komponen inflamasi konjungtivitis
menular. Sampai saat ini berbagai kombinasi PVP-I/deksametasone telah dipelajari dan saat ini
sedang diteliti untuk pengobatan inflamasi yang terkait dengan infeksi mata.
1. PVP-I 0,4%/deksametasone 0,1% suspense: dari data praklinis pada mata kelinci
menunjukkan bahwa obat ini mengurangi gejala infeksi adenovirus dan efektif dalam
mengurangi titer virus dan pelepasan virus. Sedangkan pada studi in vitro menunjukkan
bahwa kombinasi ini efektif dalam membunuh semua isolate bakteri, candida, dan
fusarium dalam waktu 60 detik setelah terpapar. Dalam studi deskriptif fase 2 berlabel
terbuka pada kasus konjungtivtis virus, 8 dari 9 mata mencapai resolusi klinis pada hari
ke 3-4 dan tidak ada efek samping atau peningkatan durasi pelepasan virus saat
diamati..Dalam studi acak, dan terkontrol pada konjungtivitis virus akut, kombinasi ini
dapat memperpendek lama penyakit. Serta tidak ada pelepasan virus yang
berkepanjangan atau perbedaan dalam TIO maupun air mata buatan.
2. PVP-I 1,0%/ deksametason 0,1% : dalam uji coba terkontrol secara acak, kombinasi ini
mengurangi gejala dan mempercepat pemulihn pada pasien dengan keratokonjungtivitis
adenoviral.
3. PVP-I 0,6%/ deksametason 0,1%: dalam uji coba fase 2 acak terkontrol placebo,
kombinasi ini meningkatkan resolusi klinis dan mengeliminasi adenoviral pada pasien
dengan konjungtivitis adenoviral akut. Kombinasi ini berkhasiat dan aman pada
konjungtivtis adenoviral dan konjuntivtis bacterial.
Formulasi oftlamik PVP-I /deksametason merupakan pilihan pengobatan yang dapat dipakai
untuk konjungtivitis akut dan masih dalam penelitian. Dengan penanganan pada komponen
infeksi dan inflamasi dari konjungtivtis infeksius, akan dilakukan penyederhanaan dalam
mendiagnosis dan pengobatannya. Selain itu, obat ini memiliki potensi dalam mengobati
konjungtivitis adenoviral yang saat ini tidak memiliki pedoman pengobatan yang dapat diikuti.
Data yang dipublikasikan tidak menunjukkan perbedaam yang jelas dalam respon
kortikosteroid antara populasi anak dan dewasa. Namun dokter anak telah diajarkan untuk
menghindari penggunaan steroid mata karena memiliki risiko potensi infeksi HSV, yang
merupakan kontraindikasi penggunaan steroid topical. Meski demikian ada beberapa
kortikosteroid oftalmik telah disetujui untuk penobatan pada anak. Misalnya FML
(fluirometholone 0,1%) TobraDex disetujui untuk digunakan pada anak-anak usia >2 tahun.
Sebuah studi pada tahun 1980 di Israel menyelidiki respon TIO pada anak usia 4-19 tahun yang
diobati dengan deksametason selama 6 minggu. Mereka menemukan bahwan peningkatan TIO
terkait steroid pada anak-anak serupa dengan yang terjadi pada orang dewasa. Sebuah penelitian
di jepang tahun 1991 melaporkan bahwa deksametason 0,1 % meningkatkan TIO untuk
sementara pada anak-anak berusia <10 tahun setelah 1-2 minggu pengobatan, namun tidak pada
anak-anak berusia 10 tahun.
Pada penelitian yang dilakukan di cina anak usia >10 tahun dilaporkan mengalami
peningkatan TIO lebih sering, lebih parah dan lebih cepat diantara anak-anak dibandingkan
dengan orang dewasa pada laporan sebelumnya. Kebanyakan pada anak (89%) dalam penelitian
ini mengalami peningkatan TIO dalam 8 hari setelah pengobatan dengan deksametason. Pada
penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa respon hipertensi ocular terhadap deksametason
mengkin tergantung pada dosis yang diberikan dan usia pada anak-anak. Penelitian NG et al
melaporkan bahwa diantara anak-anak berusia hingga 10 tahun, ambang batas TIO serta
peningkata TIO lebih tinggi di antara mereka yang menggunakan deksametason topical 4x setaip
hari disbanding 2x sehari. Lam et al juga melaporkan peningkatan yang lebih besar pada TIO
dengan dosis deksametason topical 4x sehari diantara anak-anak berusia 3-10 tahun. Kedua
kelompok dalam kedua penelitian dirawat dengan deksametason selama berminggu-minggu.
Lee et al meneliti ketergantungan usia dari respon TIO terhadap deksametasone topical di
antara anak-anak usia <5tahun dibandingkan mereka yang berusia >5tahun. Perlu ketahui bahwa
mengidentifikasi secara akurat serta tindak lanjut yang tepat memberikan tantangan yang lebih
besar pada anak-anak dibandingkan orang dewasa. Penggunaan PVP-I/deksametason jangka
pendek yang saat ini sedang diteliti mungkin dapat memperpendek lama penyakit dan
mengurangi resep antibiotic yang tidak tepat. Isenberg et al meneliti tantang kemanjuran PVP-I
dengan neomycin-polymyxin B-gramicin untuk pengobatan konjungtivtitis menular pada anak-
anak berusia 7 bulan – 21 tahun . data menunjukkan bahwa PVP-I sama efektifnya dengan
antibiotic untuk mengobati konjungtivitis bakteri dan lebih efektif terhadap klamidia.
Konjungtivitis bakteri merupakan Sebagian besar kasus konjungtivitis pada anak-anak, namun
menurut data survei menunjukkan bahwa sangat sedikit dokter layanan primer yang mampu
membedakan antara etiologi virus dan bakteri. Hal ini dapat menyebabkan resep antibiotic yang
diberikan tidak efektif dan beresiko resistensi terhadap antibiotic. PVP-I dapat menghindari
resiko ini dan dapat menjadi pilihan yang berguna dalam kondisi keterbatasan antibiotic. Dalam
studi lebih lanjut, studi in vitro menunjukkan bahwa PVP-I memiliki aktivitas virucidal yang
signifikan terhadap berbagai virus yang termasuk HSV. Meskipun uji klinis diperlukan untuk
mengevaluasi efikasi dan keamanan PVP-I /deksametason dalam kasus konjungtivitis HSV, atau
kasus dimana etiologi HSV tidak dapat dikesampingkan, aktivitas virucidal PVP-I dalam
hubungannya dengan aktivitas anti-inflamasi steroid memiliki potensi membuat obat kombinasi
ini menjadi pilihan pengobatan yang efektif.
Kesimpulan