Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH KEPERAWATAN ANAK

ASKEP ANAK DENGAN GASTROSCHICIS

DOSEN PENGAMPU:

Ns. Siti Aisyah Nur, M.Kep

DISUSUN OLEH KELOMPOK 3:

WIDYA RAHMAH 1902020

AINIL HAMNI 1902003

FREDY SEPTIWAN SABELAU 1902008

RATNA SOFIANTI 1902014

NATASYA FADILA ZAHARA 1902026

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN

STIKes SYEDZA SAINTIKA PADANG

TAHUN AJARAN 2021/2022


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, karunia
serta hidayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
dengan judul “Asuhan Keperawatan Anak Dengan Gastroschicis” dengan sebaik-
baiknya. Makalah ini, kami susun untuk memberikan informasi kepada pembaca
mengenai anatomi fisiologi sistem percernaan, definisi, etiologi, patofisiologi,
manifestasi klinis, komplikasi, penatalaksanaan medis, penatalaksanaan
diagnostik, menejemen diet, dan asuhan keperawatan pada klien dengan spina
bifida. Disamping itu penulisan makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata
kuliah Keperawatan Anak STIKes STEDZA SAINTIKA Program Studi S1 Ilmu
Keperawatan.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekuranga dari penyususnan


makalah ini dan masih banyak bagian-bagian yang harus diperbaiki. Maka dari itu
kami harap agar pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang bersifat
membangun agar penyusunan makalah selanjutnya dapat lebih baik dan maksimal
lagi.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat menambah khasanah
keilmuan dalam bidang kesehatan dan dapat memberi pengetahuan memberikan
asuhan keperawatan pada klien dengan Gastroschicis.

Padang, 17 Januari 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I ...................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN................................................................................................... 1

A. Latar belakang ................................................................................................ 1

B. Tujuan penulisan ............................................................................................ 2

BAB II ..................................................................................................................... 3

TINJAUAN TEORI ................................................................................................ 3

A. Anatomi dan fisiologi ..................................................................................... 3

1. Antomi Pencernaan ..................................................................................... 3

2. Fisiologi pencernaan ................................................................................... 5

A. Definisi ........................................................................................................... 6

B. Etiologi ........................................................................................................... 7

C. Patofisiologi.................................................................................................... 8

D. Manifestasi Klinis .......................................................................................... 9

E. Komplikasi...................................................................................................... 9

F. Pathway (terlampir) ...................................................................................... 10

G. Pemeriksaan penunjang ................................................................................ 10

H. Penatalaksanaan ........................................................................................... 14

BAB III ................................................................................................................. 16

ASUHAN KEPERAWATAN ............................................................................... 16

A. Pengkajian .................................................................................................... 16

B. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan ......................................................... 17

ii
BAB IV ................................................................................................................. 22

PENUTUP ............................................................................................................. 22

A. Kesimpulan .................................................................................................. 22

B. Saran ............................................................................................................. 22

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 24

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Gastroschisis merupakan kelainan konginental dimana terjadi herniasi
isi abdomen pada umbilicus. Pada gastroschisis organ visera yang biasanya
mengalami herniasi adalah usus. Usus yang mengalami herniasi atau keluar
dari rongga abdomen akan berisiko mengalami infeksi. Gastroschisis hampir
sama dengan omfalokel yang membedakan adalah gastroschisis sebagian
besar terletak disebelah kanan abdomen dan tidak ada hubungannya dengan
abnormalitas kromoson.
Menurut T. W. Sadler, 1997 kelainan gastroschicis terjadi pada
1:10.000 kelahiran , sedangkan omfalokel terjadi pada 2,5:10.000 kelahiran
disertai dengan angka kematian yang tinggi (25 %) dan malformasi berat.
Angka hidup pada pasien gastroschicis lebih tinggi dibanding dengan
omfalokel.
Kondisi kelainan konginental dimana terdapat defek pada abdomen
seperti pada gastroschisis dan omfalokel ini dapat dideteksi lebih dini melalui
pemeriksaan kehamilan.
Penatalaksanaan untuk gastroschis dan omfalokel adalah tindakan
pembedahaan untuk mengembalikan kembali organ visera yang berada pada
luar rongga abdomen ke dalam rongga abdomen. Pembedahan ini dilakukan
setelah persalilanan. Keberhasilan pembedahan bergantung pada ukuran
derajat herniasi yang terjadi dan kondisi jaringan karena terkadang terjadi
nekrosis usus.
Berdasarkan hal tersebut maka kelompok kami akan membahas tentang
asuhan keperawatan pada pasien gastroschisis. Dalam makalah ini
pembahasan meliputi anatomi fisiologi sistem pencernaan, definisi, etiologi,
patofisiologi, manifestasi klinis, komplikasi, penatalaksanaan medis,

1
penatalaksanaan diet, pengkajian, diagnose dan intervensi untuk pasien
dengan gastroschisis.

B. Tujuan penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami konsep asuhan keperawatan dengan
Gastroschisis.
b. Tujuan Khusus
1) Memaparkan konsep penyakit Gastroschisis yang meliputi anatomi
fisiologi sistem pencernaan, definisi, etiologi dan faktor risiko,
patofisiologis, manifestasi klinis, komplikasi yang terjadi,
penatalaksanaan medis dan diet serta asuhan keperawatan dengan
Gastroschisis
2) Memahami asuhan keperawatan dengan Gastroschisis dengan
metodologi asuhan keperawatan yang benar.

2
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Anatomi dan fisiologi

1. Antomi Pencernaan
a. Mulut
Mulut merupakan bagian pertama dari saluran percernaan. Dinding
kavum oris memiliki struktur untuk mastikasi di mana makanan akan di
potong, di hancurkan oleh gigi, dan di lembapkan oleh saliva.
Selanjutnya makanan tersebut akan membentuk bolus di mana massa
terlapisi salivasi. (Sodikin : 2011)
b. Lidah
Lidah tersusun atas otot yang pada bagian atas dan sampingnya di lapisi
dengan membran mukosa. Lidah menempati kavum oris dan melekat
secara langsung pada epiglotis dalam faring. Tiga ruang mirip celah
membentuk struktur dalam mulut, yang memungkinkan cairan untuk
melintas ke dalam faring. Pada permukaan atas dekat pangkal lidah
terdapat alur berbentuk V yaitu sulkus terminalis yang memisahkan lidah
bagian anterior dan posterior. Permukaan atas lidah dipenuhi banyak
tonjolan kecil yang di sebut sebagai papil lidah. (Sodikin : 2011)
c. Gigi
Gigi mempunyai ukuran dan bentuk berbeda beda. Setiap gigi memiliki
tiga bagian, yaitu mahkota yang terlihat di atas gusi, leher yang di tutupi
oleh gusi dan akar yang di tahan dalam soket tulang. Bagian dalam gigi
adalah rongga pulpa yang mengandung saraf dan pembuluh darah.
(Sodikin : 2011)
d. Esofagus

3
Esofagus merupakan tuba otot dengan ukuran 8-10 cm dari kartilago
krikoid sampai bagian kardia lambung. Panjangnya bertambah selama 3
tahun setelah kelahiran, selanjutnya kecepatan pertumbuhan lebih lambat
mencapai panjang dewasa yaitu 23-30 cm. Esofagus turun dan memasuki
kavum abdomen melalui suatu apertura dalam diafragma. Setelah
berkisar 1,25 cm, membuka kedalam lambung melalui orifisium kardiak.
(Sodikin : 2011)
e. Lambung
Lambung berbentuk lebar dan merupakan bagian yang dapat berdilatasi
dari saluran cerna. Bentuk lambung bervariasi bergantung dari jumlah
makanan di dalamnya, adanya gelombang peristaltik, tekanan dari organ
lain, respirasi, dan postur tubuh. Posisi dan bentuk lambung juga sangat
bervariasi, biasanya memiliki bentuk J terletak di kuadran kiri atas
abdomen. (Sodikin : 2011)
f. Usus kecil
Usus kecil terbagi menjadi duodenum, jejunum, dan ileum. Usus kecil
memiliki panjang 300 – 350 cm saat lahir, mengalami peningkatan
sekitar 50 % selama tahun pertama kehidupan, dan berukuran ± 6 m saat
dewasa. Deudenum merupakan bagian terpendek dari usus kecil yaitu
sekitar 7,5 – 20 cm dengan diameter 1 – 1,5 cm. Dinding usus terbagi
menjadi empat lapisan, yaitu mukosa, submukosa, muskuler, dan serosa (
peritonial). (Sodikin : 2011)
g. Usus besar
Usus besar berjalan dari katup ileosaekal ke anus. Usus besar dibagi
menjadi bagian sekum, kolon asedens, kolon transversun, kolon
desendens, dan kolon sigmoid. Panjang usus besar bervariasi, berkisar
sekitar ± 180 cm. (Sodikin : 2011)
h. Hepar ( hati )
Glandula paling besar dalam tubuh dan memiliki berat ± 1.300 – 1.550
gram. Hepar berwarna merah coklat, sangat vascular, dan lunak
berbentuk baji dengan dasar pada sisi kanan dan apeks pada sisi kiri.
4
Organ ini terletak pada kuadran kanan atas abdomen dan dilindungi oleh
kartilago koskalis. (Sodikin : 2011)
i. Pankreas
Pankreas terletak transversal di perut bagian atas, antara duodenum dan
limpa dalam retroperitonium. Kaput pankreas, yang bersandar pada vena
kava dan vena renalis, melekat pada lengkungan C deudenum dan
melingkari di sekat duktus koledokus. (Sodikin : 2011)
j. Peritonium
Merupakan membran serosa yang tipis, licin dan lembab yang melapisi
rongga peritonium dan banyak organ perut seperti cavum abdomen dan
pelvis. Peritonium menutupi visera, walaupun beberapa hanya ditutupi
pada permukaan abdominal dan pelvis. Peritoneum seperti pleura tersusun
dari dua lapisan yang berkotak yaitu lapisan parietal dan viseral. (Sodikin :
2011)

2. Fisiologi pencernaan
Fisiologi saluran pencernaan terdiri atas rangkaian proses memakan
(ingesti) dan sekresi getah pencernaan ke sistem pencernaan. Getah
pencernaan membantu pencernaan atau digesti pencernaan, hasil pencernaan
akan diserap (diabsorpsi) kedalam tubuh berupa zat gizi. Proses sekresi,
digesti, dan absorbsi terjadi secara berkesinambungan pada saluran
pencernaan, mulai dari atas yaitu mulut sampai ke rektum. Secara bertahap,
massa hasil campuran makanan dan getah pencernaan (bolus) yang telah di
cerna, di dorong (di gerakkan) ke arah anus (motilitas). Sisa massa yang
tidak di absorpsi di keluarkan melalui anus (defekasi) berupa feses. (Sodikin
: 2011)

5
A. Definisi
Menurut kamus keperawatan gastroschisis adalah kelainan konginental
tidak tertutupnya dinding abdomen secara lengkap disebelah kanan tali pusat
yang normal, dengan akibat terjadinya protrusion alat visceral yang tidak
tertutup oleh peritoneum. (Sue Hinchliff : 1999)
Gastroschisis adalah defek dinding abdomen ketebalan penuh yang
ukurannya bervariasi dab biasanya terjadi di sebelah kanan tali pusat. Isi
abdomen yang hernaisi (misalnya usus, lambung, kandung kemih, hepar)
terpajan penuh pada cairan amnion in utero yang menyebabkna tampak tebal
dan kesat. (Paulette S Haws : 2008)
Gastroschicis adalah keluarnya usus dari titik terlemah di kanan
umbilikus dimana usus akan berada di luar rongga perut tanpa dibungkus
peritoneum dan amnion. (R. Sjamsuhidayat : 1997)
Gastroschicis adalah penonjolan kulit melalui suatu defek dinding
abdomen (biasanya disebelah kanan tali pusat yang sehat). Usus tidak tertutup
sehingga berisiko infeksi dan trauma. Gastroschicis biasanya tidak
berhubungan dengan abnormalitas kromoson. (Vicky Chapman : 2006)
Gastroschicis adalah herniasi isi perut melalui dinding badan, langsung
ke dalam rongga amnion. Cacat ini terjadi disebelah lateral pusat, biasanya
disisi kanan, melaui suatu daerah yang lemah karena regresi vena umbilicus
kanan, yang normalnya menghilang. Visera tidak terbungkus oleh peritoneum
atau amnion, dan usus bias rusak karena terpajan pada cairan amnion. (T. W.
Sadler : 1997)
Gastroschicis adalah suatu kondisi yang mirip dengan omfalokel,
kecuali bahwa defek dinding abdomen jauh dari umbilicus dan organ abdomen
tidak dilapisi oleh lapisan peritoneum tetapi lebih tertumpah abdomen secara
bebas. (Sharon J. Reeder et all : 2011)
Dari beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa gastroschisis
adalah kelainan konginental yang terjadi karena adanya defek pada abdomen
yang biasanya terletak disebelah kanan yang menyebabkan organ visera

6
terletak disebelah luar rongga abdomen tanpa dibungkus peritoneum dan
amnion.

B. Etiologi
Gastroschisis kemungkinan disebabkan oleh rupture dasar tali pusat
didaerah yang telah mengalami kelemahan akibat involusi vena umbilikalis
kanan sehingga memudahkan isi abdomen herniasi ke rongga amnion. (Paulette
S Haws : 2008)
Pada awalnya terdapat sepasang vena umbilikalis, yaitu vena
umbilikalis kanan dan kiri. Ruptur tersebut terjadi in-utero pada daerah lemah
yang sebelumnya terjadi herniasi fisiologis akibat involusi dari vena
umbilikalis kanan. Keadaan ini menerangkan mengapa gastroschisis hampir
selalu terjadi di lateral kanan dari umbiliks. Teori ini didukung oleh
pemeriksaan USG secara serial , dimana pada usia 27 minggu terjadi hernia
umbilikalis dan menjadi nyata gastroschisis pada usia 34,5 minggu. Setelah
dilahirkan pada usia 35 minggu, memang tampak gastroschisis yang nyata.
(Ishawati Nur Idris : 2011)

Factor resiko tinggi yang berhubungan dengan omphalocel atau gastroschizis


adalah resiko tinggi kehamilan seperti:

1. Kehamilan berisiko tinggi seperti komplikasi dari infeksi


2. Hamil usia muda
3. Paritas tinggi (semakin banyak kelahiran pada satu ibu semakin tinggi
kemungkinan terkena gastroschisis).
4. Kekurangan asupan gizi pada ibu hamil
5. Merokok
6. Pengguna obat-obatan
7. Hal-hal lain yang dapat menyebabkan anak BBLR dapat meningkatkan
risiko terjadinya gastroschisis, dan lebih sering pada bayi SGA. (Oden
Mahyudin : 2011)

7
C. Patofisiologi
Menurut Suriadi & Yuliani.R patofisiologi dari gastroschizis atau
omphalocele yaitu selama perkembangan embrio ada suatu kelemahan yang
terjadi didalam dinding abdomen semasa embrio yang mana menyebabkan
herniasi pada isi usus pada salah satu samping umbilicus (yang biasanya pada
samping kanan), ini menyebabkan organ visera abdomen keluar dari kapasitas
abdomen dan tidak tertutup oleh kantong. Terjadi malrotasi dan menurunnya
kapasitas abdomen yang dianggap sebagai anomaly. (Nn : 2011)

Gastroschicis pada janin usia 6 minggu isi abdomen terletak di luar


embrio di rongga selon. Pada usia 10 minggu akan terjadi pengembangan
lumen abdomen sehingga usus dari ekstra peritoneum akan masuk ke rongga
perut. Bila proses ini terhambat akan terbentuk kantong di pangkal umbilikus
yang berisi usus, lambung, dan kadang hati. Dindingnya tipis, terdiri atas
lapisan peritoneum dan lapisan amnion yang keduanya bening sehingga isi
kantong tampak dari luar. Keadaan ini di sebut omfalokel. Bila usus keluar dari
titik lemah di lateral umbilikus baik sisi kanan atau kiri, usus akan berada di
luar rongga perut tanpa di bungkus peritoneum dan amnion. Keadaan ini di
sebut gastroschisis. ( R. Sjamsuhidajat. et al. : 2010)

Gastroschicis terbentuk akibat kegagalan fusi somite dalam


pembentukan dinding abdomen sehingga dinding abdomen sebagian terbuka.
Letak defek umumnya disebelah kanan umbilicus yang berbentuk normal. Usus
sebagian besar berkembang diluar rongga abdomen janin, akibatnya usus
menjadi tebal dan kaku karena pengendapan dan iritasi cairan amnion dalam
kehidupan intra uterin, usus juga tampak pendek, rongga abdomen janin
sempit. Usus – usus, visera, dan seluruh rongga abdomen berhubungan dengan
dunia luar menyebabkan penguapan dan pancaran panas dari tubuh cepat
berlangsung, sehingga terjadi dehidrasi dan hipotermi, kontaminasi usus
dengan kuman juga dapat terjadi dan menyebabkan sepsis, aerologi

8
menyebabkan usus – usus distensi sehingga mempersulit koreksi pemasukan
kerongga abdomen sewaktu pembedahan. (Nn : 2011)

D. Manifestasi Klinis
Gastroschisis merupakan suatu kelainan ketebalan dinding perut yang
lokasinya biasanya disebelaj umbilicus. Usus yang keluar dari lubang abdomen
memperlihatkan tanda-tanda peritonitis kimia sebagai akibat pengeluaran
cairan amnion. Usus menjadi tebal, pendek dan kaku dengan edema yang jelas
di dinding usus. Karena pengendapan dan iritasi cairan amnion dalam
kehidupan intrauterine. Peristaltic tidak ada, kadang-kadang terjadi iskemik
karena puntiran kelainan fascia. Usus tampak pendek, rongga abdomen janin
menjadi sempit.pada anak memperlihatkan gambaran udara sebagai hasil
dilatasi perut dan usus kecil bagian proksimal, isi intra abdomen normal jelas
terlihat dengan kelainan, yang mana herniasi terjadi pada periode post natal.
(Nn:2009)

E. Komplikasi
1. Komplikasi dini adalah infeksi yang mudah terjadi pada permukaan yang
telanjang.
2. Kekurangan nutrisi dapat terjadi sehingga perlu balance cairan dan nutrisi
yang adekuat misalnya: dengan nutrisi parenteral
3. Dapat terjadi sepsis terutama jika nutrisi kurang dan pemasangan
ventilator yang lama
4. Nekrosis
Kelainan congenital dinding perut ini mungkin disertai kelainan bawaan
lain yang memperburuk prognosis.
5. Penguapan dan pancaran panas dari tubuh cepat berlangsung, sehingga
terjadi dehidrasi dan hipotermi.

9
6. Distress pernapasan (kesalahan peletakan isis abdomen akan menyebabkan
gangguan perkembangan paru)
7. Komplikasi dari operasi abdomen adalah peritonitis dan paralisis usus
sementara
8. Bentuk pusar dapat mengalami bentuk yang tidak normal walaupun
dengan bekas luka yang tipis
9. Bila kerusakan usus terlalu banyak, bayi mungkin akan mengalami short
bowel syndrome dan mengalami gangguan pencernaan dan penyerapan.
(Nn : 2011)

F. Pathway (terlampir)

G. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendeteksi
kelainan-kelainan pada janin menurut Dr. Greg Agung H. SpOG adalah
1. Pemeriksaan Dalam
Bersamaan dengan pemeriksaan in spekulo, dokter juga akan melakukan
pemeriksaan dalam atau colok vaginal. Dikatakan colok vaginal karena
dilakukan dengan cara perabaan memakai dua jari dokter yang dimasukkan
ke dalam vagina. Pemeriksaan ini digunakan untuk melihat besar rahim
atau ukurannya, serta untuk mendeteksi adanya kelainan bawaan rahim.
“Selain itu, juga bisa teraba kalau ada benjolan tumor ataupun polip.”
2. In Spekulo
Dilakukan pada ibu hamil muda atau ibu yang pertama kali datang untuk
memeriksakan diri ke dokter ahli kebidanan dan kandungan. Karena itu in
spekulo dikatakan sebagai pemeriksaan dasar. Pemeriksaan ini
menggunakan spekulum cocor bebek yang dimasukkan ke vagina.
Gunanya untuk melihat keadaan permukaan di leher rahim. Dari
pemeriksaan ini, dokter akan mengetahui apakah ibu yang datang sedang

10
hamil muda atau tidak. Sebab, kala hamil muda rahim akan berubah warna
agak keunguan. Dari pemeriksaan ini pula dokter akan mengetahui apakah
di permukaan leher rahim ada infeksi, jengger ayam/kandiloma, varises,
ataupun bila ada keganasan atau kanker leher rahim. Dengan demikian,
bila dari hasil pemeriksaan ditemukan hal-hal tersebut dokter bisa segera
menentukan langkah-langkah pengobatannya.
3. Pemeriksaan USG
USG juga bisa melihat jumlah bayinya, apakah bayinya terletak di dalam
atau di luar kandungan, serta lokalisasi plasenta. Bahkan USG serial
mampu menilai perkembangan siklus dari telur tiap harinya. Juga untuk
memantau masa subur si wanita. Tidak hanya di trimester I, USG juga
perlu dilakukan di usia kehamilan trimester II dan III. “USG yang
dilakukan pada trimester II gunanya untuk skrining bayi. Sedangkan di
trimester III dilakukan untuk memantau proses persalinan
4. Pemeriksaan Luar
Dilakukan dengan meraba rahim dari luar untuk melihat pembesaran
rahim, letak janin, gerakan janin, serta kontraksi rahim. Dari pemeriksaan
ini pula akan diketahui apabila pembesaran rahim tak sesuai usia
kehamilannya. Kalau rahimnya besar, tapi tak sesuai dengan usia
kehamilannya, maka dokter perlu mencari tahu, apakah janinnya besar atau
tidak. Di trimester III, pemeriksaan luar akan dibantu dengan doppler atau
CTG/Cardiotokografi untuk merekam denyut jantung bayinya.
5. Pemeriksaan Pap Smear
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi dini kelainan-kelainan yang
ada di leher rahim atau untuk menilai sel-sel leher rahim. Mengapa
demikian? Karena sel-sel leher rahim selalu berubah sesuai siklus.
Bukankah pengaruh hormon estrogen dan progesteron menyebabkan
perubahan pada sel-sel selaput lendir vagina? Sehingga secara tak
langsung pemeriksaan ini juga berguna untuk mengetahui fungsi
hormonal. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara mengambil getah
serviks kemudian diperiksa di laboratorium.
11
6. Kolposkopi
Dilakukan bila ada kecurigaan di daerah leher rahim dengan cara
diteropong. Alat kolposkopi terdiri atas dua alat pembesaran optik yang
ditempatkan pada penyangga yang terbuat dari besi. “Dengan teropong
kolposkopi, kita bisa membesarkan hal-hal yang dicurigai didaerah leher
rahim hingga 20 kali lebih besar.” Bukan hanya peneropongan, alat ini
juga sekaligus bisa langsung memberikan tes. Artinya, dengan
disemprotkan obat tertentu, maka daerah yang dicurigai itu akan berubah
warna menjadi putih atau warna lain.
7. Biopsi
Adalah pengangkatan dan pemeriksaan jaringan dari leher rahim untuk
tujuan diagnosa. “Kalau pada pemeriksaan pap smear dilakukan dengan
cara mengambil hapusan cairan leher rahim. Kalau biopsi, jaringannya
yang diambil dengan semacam alat atau jepitan.” Selanjutnya, jaringan
yang telah diambil itu dikirim ke laboratorium. “Biasanya biopsi dilakukan
bila ada kecurigaan berupa benjolan asing atau ada perubahan anatomi.
Karena itu harus dilakukan pengambilan jaringan untuk melihat apakah
benjolan asing itu adalah polip, tumor, atau kanker.
8. Kuret D/C atau Diagnostik Kuretase
Diagnostik kuretase dilakukan untuk mengambil sel-sel dari jalan lahir.
“Biasanya dilakukan pada pasien yang mengalami perdarahan diluar haid.
Apalagi bagi yang sudah menopause.” Gunanya untuk mendeteksi
kelainan-kelainan di jalan lahir atau di dalam rahim atau bila ada
keganasan. Waktu pemeriksaan bisa dilakukan kapan saja bila ada
perdarahan.
9. Pemeriksaan BV (Bakterial Vaginosis) atau SWAB vagina
Dilakukan pada pasien-pasien yang terkena infeksi berulang. Misalnya,
keputihan yang berulang atau radang panggul yang tak kunjung
sembuh.Bila ada gejala seperti di atas, maka dokter akan mengambil cairan
di vaginanya untuk dilihat di laboratorium. Kuman-kuman apakah yang
ada di dalamnya. “Dari situ kita bisa memberi obat sesuai kuman yang
12
didapat di daerah itu. Biasanya obatnya berupa antibiotik disertai cairan
pembersih vagina untuk memanipulasi pH vagina agar menjadi asam.
10. HSG/Histero Salvingografi
Seperti halnya hidrotubasi, HSG dilakukan untuk menilai saluran tuba dan
tumor-tumor yang ada di sekitarnya. “Saluran tuba ini bisa terbelokkan
oleh adanya tumor. Karena itu diperlukan pemeriksaan HSG.”
Pemeriksaan HSG juga dilakukan pada hari ke-7 hingga ke-11 siklus haid.
“Karena saat itu dinding dalam rahim paling tipis, juga sel telur tidak ada,
sehingga paling pas untuk dilakukan pemeriksaan HSG ataupun
hidrotubasi.
11. Hycosy/Histero Salvingo Sonografi
Sama seperti halnya HSG, pemeriksaan ini digunakan untuk menilai
saluran tuba. “Jika HSG menggunakan zat radioaktif, maka hycosy
memakai bantuan USG vaginal.” Hycosy merupakan pencanggihan dari
hidrotubasi. Jadi, bisa dilakukan sekaligus dengan hidrotubasi.
12. Histeroskopi
Suatu alat yang masuk ke dalam rahim yang dilengkapi dengan kamera,
sehingga visualisasi yang dicapai lebih baik. “Sementara kalau HSG tidak
bisa melihat permukaan dalam rahim, seperti kalau ada polip, maka
dengan histeroskopi akan terlihat permukaan dalam rahim dan saluran
tuba.” Histeroskopi juga sekaligus bisa untuk diagnosis dan terapi. “Jadi,
kalau ditemukan polip di rahim, kita bisa langsung melasernya. Pun kalau
ada kelainan lainnya bisa langsung diambil. Bahkan kalau ada sekat dalam
rahim, bisa langsung dilakukan pemotongan sekat tersebut.
13. Laparoskopi
Pemeriksaan untuk melihat bagian dalam rahim secara keseluruhan. Jadi,
semuanya akan kelihatan. Dalam pemeriksaan ini akan dimasukkan suatu
alat teropong yang ditembuskan melalui perut. Itulah mengapa,
pemeriksaan laparoskopi termasuk dalam tindakan operatif.

13
H. Penatalaksanaan
Bila usus atau organ intra abdomen terletak diluar abdomen, maka akan
meningkatkan resiko kerusakan bila melewati kelahiran normal. Banyak ahli
menganjurkan diberlakukan seksio sesaria untuk semua kasus Gastroschisis.
Kondisi gastroschisis ini diperbaiki setelah persalinan melui pembedahan.
1. Penatalaksanaan medis
a. Perawatan prabedah
1) Terpeliharanya suhu tubuh, kehilangan panas dapat berlebihan
karena usus yang mengalami prolaps sangat meningkatkan area
permukaan
2) Pemasangan NGT dan pengisapan yang kontinu untuk mencegah
distensi usus – usus yang mempersulit pembedahan
3) Penggunaan bahan sintetik dengan lapisan tipis yang tidak
melengket seperti xeroform, kemudian dengan pembungkus untuk
menutup usus atau menutup dengan kasa lembab dengan cairan
NaCl steril untuk mencegah kontaminasi
4) Terapi intravena untuk dehidrasi
5) Antiseptic dengan spectrum luas secara intravena, besarnya
kantong serta luasnya cacat dinding perut dan ada tidaknya hepar
didalam kantong, akan menentukan cara pengelolaan.
6) Terapi oksigen untuk membantu pernafasan. (Nn : 2011)
b. Pembedahan
Dilakukan secara bertahap tergantung besar kecilnya lubang pada
dinding abdomen. Tujuan pembedahan adalah untuk mengembalikan
visera kedalam kavum abdomen dan menutup lubang abdomen. Operasi
ini harus dikerjakan secepat mungkin sebab tidak ada perlindungan
infeksi. Operasi dua tahap :
1) Tahap I
Permukaan luar kantong disiapkan bersama-sama dengan kulit
seluruh badan. Pangkal umbilikus direamputasi dan diikat dekat
batasnya dengan kantong. Kulit diiris melingkar 1 cm dari tepi
14
kantong yang tidak boleh dibuka. Kulit dan jaringan subkutan
dinding abdomen dan panggul secara ekstensif dilepaskan dari
lapisan aponeurosis untuk memungkinkan masa ekstra abdomen
ditutup dengan potongan kulit yang viabel. Diseksi toraks harus
dibatasi sesedikit mungkin sesuai dengan penutupan kulit yang
diberikan. Potongan kulit diangkat dengan forsep jaringan dan
penutupan dilakukan dengan memakai jahitan kasur simpul.
2) Tahap II
Tahap ini ditunda sampai ronga perut berkembang dan telah
dimungkinkan mereduksi hernia ventral jika anak berbaring dengan
tenang. Pada waktu operasi kulit dan kantong yang berlebihan
dieksisi dan peritoneum, lapisan-lapisan fasia serta kulit didekatkan
seperti pada reparasi tahap I. (Nn : 2009)
c. Pasca bedah
3) Perawatan pasca bedah neonates rutin
4) Terapi oksigen maupun ventilasi mekanik kemungkinan diperlukan
5) Dilakukan aspirasi setiap jam pada tuba nasogastrik
6) Pemberian antibiotika
7) Terapi intravena diperlukan untuk perbaikan cairan

Pada sekitar 7-12 hari pasca pembedahan anak akan kembali


mengalimi pembedahan untuk menjalani perbaikan cacat, namun ini
tergantung kondisi bayi (lemah atau tidak). (Nn : 2011)

15
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Pengkajian pada pasien dengan gastroschicis adalah
1. Mengkaji kondisi abdomen
a. Inspeksi
1) Kaji area sekitar dinding abdomen yang terbuka
2) Kaji letak defek, umumnya berada disebelah kanan umbilicus
3) periksa warna dan keadaan kulit abdomen, perhatikan adanya
jaringan parut dan ekimosis
4) Perhatikan adanya tanda – tanda infeksi atau iritasi.
5) periksa umbilikus terhadap warna, bau, rabas, inflamasi, dan
herniasi
6) lakukan palpasi pada umbilikus untuk memperkirakan ukuran
lubang yang ada.
7) pemeriksaan abdomen terhadap gerakan dilakukan dengan berdiri
posisi mata setinggi abdomen
b. Auskultasi
1) Tidak ada bising usus
c. Perkusi
1) Bunyi timpani normalnya akan terdengar diseluruh abdomen
d. Palpasi
1) Kaji nyeri abdomen, mungkin terlokalisasi atau menyebar, akut
atau kronis sering disebabkan oleh inflamasi, obstruksi.
2) Distensi abdomen, kontur menonjol dari abdomen yang mungkin
disebabkan oleh perlambatan pengosongan lambung, inflamasi,
obstruksi.
2. Mengukur temperatur tubuh

16
a. Demam, manifestasi umum dari penyakit pada anak – anak dengan
gangguan GI biasanya berhubungan dengan dehidrasi, infeksi atau
inflamasi.
b. Lakukan pengukuran suhu secara continue setiap 24 jam.
c. Perhatikan apabila terjadi peningkatan suhu secara mendadak.
3. Kaji sirkulasi, kaji adanya sianosis perifer.
4. Kaji distress pernafasan
a. Lakukan pengkajian fisik pada dada dan paru
b. Kaji adanya suara nafas tambahan
c. Perhatikan bila tampak pucat, sianosis
d. Perhatikan irama nafas, frekuensi. (Nn : 2011)

B. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan


Diagnosa Preoprasi
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan gastrointestinal berhubungan dengan
gangguan aliran darah.
Kriteria hasil :
a. Tekanan darah sistolik dan distolik normal
b. Tidak ada obstruksi

Intervensi :

a. Pantau tanda-tanda vital


b. Pantau kadar elektrolit serum
c. Kaji tanda perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit
d. Pantau irama jantung. (Judith M Wilkinson dan Nancy R. Ahern :
2011)
2. Risiko Infeksi berhubungan dengan isi abdomen yang keluar.
Kriteria hasil :
a. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
b. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi

17
c. Jumlah leukosit dalam batas normal
d. Menunjukkan perilaku hidup sehat

Intervensi :

a. Batasi pengunjung bila perlu


b. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan
c. Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
d. Tingkatkan intake nutrisi
e. Pantau hasil laboratorium (hitung darah lengkap, hitung granulosit,
hitung jenis, protein serum, albumin). (Judith M Wilkinson dan Nancy
R. Ahern : 2011)
3. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan
aktif.
Kriteria hasil :
a. Keseimbangan intake & output dalam batas normal
b. Elektrolit serum dalam batas normal
c. Tidak ada mata cekung
d. Tidak ada hipertensi ortostatik
e. Tekanan darah dalam batas normal

Intervensi :

a. Pantau warna, jumlah dan frekuensi kehilangan cairan.


b. Identifikasi factor yang berpengaruh terhadap bertambah buruknya
dehidrasi.
c. Pantau status dehidrasi
d. Tingkatkan asupan oral
e. Berikan penggantian nasogastrik berdasarkan haluaran, sesuai dengan
kebutuhan. (Judith M Wilkinson dan Nancy R. Ahern : 2011)
4. Ketidakefektifan Termoregulasi berhubungan dengan hipotermi
Kriteria hasil :
a. Suhu tubuh dalam batas normal
18
b. Tidak terjadi perubahan warna kulit seperti sianosis

Intervensi :

a. Kaji gejala hipotermia


b. Lakukan pemantau jantung pada pasien
c. Pantau suhu tubuh pasien paling sedikit setiap 2 jam
d. Berikan pakaian yang hangat, kering, selimut pengering untuk
menghangatkan tubuh
e. Atur suhu ruangan untuk menghangatkan tubuh pasien. (Judith M
Wilkinson dan Nancy R. Ahern : 2011)

Diagnosa Post Operasi :

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera biologis, prosedur


pembedahan menutup abdomen.
Kriteria hasil :
a. Tidak menunjukkan tanda-tanda nyeri (rewel)
b. Skala nyeri menurun

Intervensi :

a. Kaji nyeri secara komprehensif (lokasi, durasi, frekuensi, intensitas)


b. Observasi isyarat –isyarat non verbal dari ketidaknyamanan.
c. Berikan pereda nyeri dengan manipulasi lingkungan (misal ruangan
tenang, batasi pengunjung).
d. Berikan analgesia sesuai ketentuan
e. Kontrol faktor – faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon
pasien terhadap. (Judith M Wilkinson dan Nancy R. Ahern : 2011)
2. Risiko Infeksi berhubungan dengan tindakan invasive
Kriteria hasil :
a. Tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi
b. Tidak terjadi hipertermi

19
Intervensi :

a. Pantau tanda atau gejala infeksi


b. Pantau hasil laboratorium (hitung darah lengkap, hitung granulosit,
hitung jenis, protein serum, albumin)
c. Berikan informasi kepada keluarga tentang imunisasi untuk
meningkatkan daya tahan tubuh.
d. Rawat luka operasi dengan teknik steril
e. Memelihara teknik isolasi (batasi jumlah pengunjung)
f. Ganti peralatan perawatan pasien sesuai dengan protaps (Judith M
Wilkinson dan Nancy R. Ahern : 2011)
3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan sesak nafas.
NOC : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama…..pasien
menunjukkan keefektifan pola nafas, dibuktikan dengan kriteria hasil:
a. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak
ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu
bernafas dg mudah, tidakada pursedlips)
b. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik,
irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada
suara nafas abnormal)
c. Tanda Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi,
pernafasan)

NIC :

a. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi


b. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
c. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
d. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
e. Berikan pelembab udara Kassa basah
f. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
g. Monitor respirasi dan status O2

20
h. Bersihkan mulut, hidung dan secret. (Herman Bagus : 2013)
4. Ansietas berhubungan dengan tindakan pembedahan yang dilakukan pada
anaknya
NOC : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama…..pasien
menunjukkan keefektifan pola nafas, dibuktikan dengan kriteria hasil:
a. Ansiatas berkurang
b. Merencanakan startegi koping untuk situasi penuh tekanan
c. Mempertahankan performa peran
d. Memantau distorsi persepsi sensori

NIC :

a. Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien termasuk reaksi


fisik
b. Menentukan kemampuan pengambilan keputusan pasien
c. Berikan obat untuk menurunkan ansietas, jika diperlukan
d. Beri dorongan kepada pasien kepada untuk mengungkapkan secara
verbal pikiran dan perasaan untuk mengeksternalisasikan ansietas
e. Berikan penguatan positif ketika pasien belum mampu meneruskan
aktivitas sehari-hari dan aktivitas lainnya meskipun mengalami
ansietas
f. Yakinkan kembali pasien melalui sentuhan dan sikap empatik secara
verbal dan nonverbal secara bergantian. (Judith M Wilkinson dan
Nancy R. Ahern : 2011)

21
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Gastroschisis adalah kelainan konginental yang terjadi karena adanya
defek pada abdomen yang biasanya terletak disebelah kanan yang
menyebabkan organ visera terletak disebelah luar rongga abdomen tanpa
dibungkus peritoneum dan amnion. Gastroschisis kemungkinan disebabkan
oleh rupture dasar tali pusat didaerah yang telah mengalami kelemahan akibat
involusi vena umbilikalis kanan sehingga memudahkan isi abdomen herniasi
ke rongga amnion. Komplikasi dini dari gastroschicis adalah infeksi yang
mudah terjadi pada permukaan usus yang telanjang. Kondisi gastroschisis ini
diperbaiki setelah persalinan melui pembedahan. Pembedahan dilakukan 2
tahap dengan tujuan untuk mengembalikan visera kedalam kavum abdomen
dan menutup lubang abdomen. Diagnosa keperawatan untuk kasus
gastroschicis adalah
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan gastrointestinal berhubungan dengan
gangguan aliran darah
2. Risiko Infeksi berhubungan dengan isi abdomen yang keluar.
3. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan
aktif.
4. Ketidakefektifan Termoregulasi berhubungan dengan hipotermi
5. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera biologis, prosedur
pembedahan menutup abdomen.
6. Risiko Infeksi berhubungan dengan tindakan invasive

B. Saran
Dari penjelasan diatas penulis memiliki beberapa saran diantaranya:

22
a. Pada penderita gastroschicis dapat dilakukan pembedahan setelah persalinan
untuk mengembalikan organ visera ke dalam ronggan abdomen
b. Batasi penggunaan obat , rokok, hamil di usia muda dan jaga asupan nutrisi
saat hamil untuk mengurangi risiko janin lahir cacat

23
DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Herman. 2013. “Diagnosa Keperawatan NANDA”. (Online), (http://daftar-


diagnosa-keperawatan-nanda-noc.html, diakses pada 25 Oktober)

Chapman, Vicky. 2006. Asuhan Kebidanan : persalinan dan kelahiran. Jakarta :


EGC.

Cunningham, F.G et all. 2005. Obstretri Williams. Jakarta : EGC.

H, Greg Agung.”Pemeriksaan Kehamilan”, (Online), (http://greg-spog. com/


pelayanan/pemeriksaan-kehamilan/ , diakses pada 25 Oktober 2013 )

Haws, Paulette S. 2008. Asuhan Neonatus. Jakarta : EGC.

Hinchliff, Sue. 1999. Kamus Keperawatan. Jakarta : EGC.

Idris, Ishawati Nur.2011. ”Gastrochisis”, (Online), (http://iisidris.blogspot.com/


2011/01/gastroschisis.html, diakses pada 25 Oktober 2013)

Mahyudin, Oden. 2011. “Gastroschisis”, (Online), (http://asromedika.blogspot.


com/2011/10/gastroschisis.html, diakses pada 25 Oktober 2013)

Nn. 2009. “Gastroschicis”, (Online), (http://tentangkedokteran .wordpress, com/


2009/03/14/gastroschicis/, diakses pada 25 Oktober 2013)

Nn. 2011. “Askep Anak dengan Gastroschizis”, (Online), (http://nayyara09


habib10.blogspot.com/2011/03/askep-anak-dengan-gastroschizis.html,
diakses pada 25 Oktober 2013)

Sadler, T. W.1997. Embriologi Kedokteran Langman. Jakarta : EGC.

Sharon J. Reeder et all. 2011. Keperawatan Maternitas : Kesehatan Wanita, Bayi,


& Keluarga. Jakarta : EGC.

24
Sjamsuhidajat,R. et al. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-De Jong.
Jakarta: EGC.

Sodikin. 2011. Asuhan Keperawatan : Gangguan Sistem Gastrointestinal dan


Hepatobilier. Jakarta : EGC.

Wilkinson, Judith M dan Nancy R. Ahern. 201. Buku Saku Diagnosis


Keperawatan. Jakarta : EGC.

25

Anda mungkin juga menyukai