NPM : 14201220242
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................................... i
KATA PENGANTAR......................................................................................................... ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................... iii
BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang........................................................................................... 1
1.2 Tujuan........................................................................................................ 1
1.3 Manfaat...................................................................................................... 1
BAB II : TINJAUAN TEORITIS
2.1 Konsep Dasar Teori.................................................................................... 3
2.1.1 Anatomi Fisologi................................................................................ 3
2.1.2 Pengertian.......................................................................................... 3
2.1.3 Etiologi................................................................................................ 5
2.1.4 Patofisiologi......................................................................................... 7
2.1.5 Klasifikasi.......................................................................................... 9
2.1.6 WOC.................................................................................................... 10
2.1.7 Manifestasi Klinis................................................................................ 11
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang....................................................................... 12
2.1.9 Penatalaksanaan................................................................................... 12
2.1.10 Komplikasi......................................................................................... 14
2.2 Konsep Dasar Askep................................................................................. 15
2.2.1 Pengkajian.......................................................................................... 15
2.2.2 Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul.................................. 18
2.2.3 Rencana Asuhan Keperawatan........................................................... 20
BAB III : PENUTUP
3.1 Kesimpulan................................................................................................. 28
3.2 Saran........................................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA
ii
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulilah atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan ” Asuhan Keperawatan Pada
Klien Dengan Ulkus Peptikum” ini dengan baik. Tujuan pembuatan Asuhan Keperawatan ini
adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Proses Keperawatan dan Berpikir Kritis dan juga
sebagai panduan belajar.
Asuhan Keperawatan ini belum sepenuhnya sempurna dan masih banyak terdapat
kekurangan. Maka dari itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang
sifatnya membangun demi kesempurnaan Asuhan Keperawatan ini. Semoga Asuhan
Keperawatan ini dapat berguna bagi pembaca dan memberikan informasi yang baru dan
menambah pengetahuan bagi kita semua.
Penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan
Asuhan Keperawatan ini terutama dosen Pengajar, dan teman-teman yang telah mendukung
Penulis
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dalam pembuatan Asuhan Keperawatan ini adalah :
a. Tujuan Umum :
1) Untuk mengidentifikasi asuhan keperawatan Sistem Gastrointestinal klien dengan
penyakit ulkus peptikum.
b. Tujuan Khusus :
1) Untuk mengidentifikasi asuhan keperawatan Sistem Gastrointestinal klien
2) Untuk mengidentifikasi penyakit ulkus peptikum
3) Untuk mengidentifikasi asuhan keperawatan Sistem Gastrointestinal klien dengan
penyakit ulkus peptikum.
1.3 Manfaat
a. Penulis semakin terlatih dalam membuat Asuhan Keperawatan dan asuhan
keperawatan.
1
b. Menambah pengetahuan dan wawasan penulis khususnya tentang penyakit Ulkus
peptikum.
c. Dapat menambah referensi bagi pembaca tentang tentang konsep penyakit dan askep
sistem gasrointestinal pada ulkus peptikum.
2
BAB II
TINJAUAN TEORI
Saluran gastrointestinal (GI) adalah jalur (panjang totalnya 23-26 kaki) yang
berjalan dari mulut melalui esofagus, lambung dan usus sampai anus.
Fungsi esophagus, yaitu: saluran pencernaan yang menjadi distensi bila makanan
melewatinya. Fungsi lambung, yaitu sebagai sekresi yang mengandung enzim pepsin
yang penting untuk memulai pencernaan protein, untuk memecah makanan menjadi
komponen yang lebih dapat diabsorpsi dan membantu destruksi kebanyakan bakteri
pencernaan. Fungsi usus halus, yaitu mengubah makanan yang dicerna, yang pada
awalnya dicerna dalam bentuk lemak, protein, dan karbohidrat dan dipecahkan
menjadi nutrisi unsur pokoknya melalui proses pencernaan. Fungsi kolon, adalah
membantu mengabsorpsi cairan dan elektrolit (Suddarth & Brunner. 2002. hal.984).
2.1.2 Pengertian
Pada tahun 350 SM, Diocles Of Carystos dipercaya sebagai orang yang
menyebutkan kondisi ulkus lambung pertama kali. Marcellus Donatus of Mantua pada
tahun 1586 menjadi orang pertama yang mendeskripsikan ulkus lambung melalui
autopsi, pada tahun 1688 Muralto mendeskripsikan ulkus duodenal secara autopsi.
Pada tahun 1737, Morgagni juga menyebutkan kondisi ulkus pada lambung dan
duodenum secara autopsi (Angel, 2006).
3
Ulkus peptikum atau ulkus peptikumum merupakan keadaan dimana kontinuitas
mukosa lambung terputus dan meluas sampai di bawah epitel. Kerusakan mukosa
yang tidak meluas sampai ke bawah epitel disebut erosi, walaupun sering kali
dianggap juga sebagai ulkus(Fry, 2005). Menurut definisi, ulkus peptikum dapat
ditemukan pada setiap bagian saluran cerna yang terkena getah asam lambung, yaitu
esophagus, lambung, duodenum, jejunum,dan setelah tindakan gastroenterostomi.
Ulkus peptikum diklasifikasikan atas ulkus akut dan ulkus kronik, hal tersebut
menggambarkan tingkat tingkat kerusakan pada lapisan mukosa yang terlibat( Aziz,
2008).
Walaupun aktivitas percernaan peptik oleh getah lambung merupakan etiologi
yang penting, terdapat bukti bahwa ini hanya merupakan salah satu dari banyak factor
yang berperan dalam pathogenesis ulkus peptikum (lewis,2000). Oleh karena
banyaknya persamaan serta perbedaan dalam konsep keperawatan antara ulkus
lambung dan ulkus duodenum, maka pada proses keperawatan ini akan dibahass
bersamaan agar memudahkan dalam asuhan keperawatan.
Ulkus peptikum adalah eksvasi ( area berlubang ) yang terbentuk dalam dinding
mukosa lambung, pylorus, duodenum atau esophagus. Ulkus peptikum sering disebut
sebagai ulkus lambung, duodenal atau esophageal tergantung pada lokasinya
( Suddarth & Brunner. 2002. hal.1064).
Ulkus peptikum adalah ulkus yang terjadi pada mukosa, sub mukosa dan
kadang-kadang sampai lapisan muskularis, dari traktus gastrointestinalis yang selalu
berhubungan dengan asam lambung yang cukup mengandung HCl. Termasuk ini
ialah ulkus (tukak) yang terdapat pada bagian bawah dari esophagus, lambung dan
duodenum bagian atas ( first portion of the duodenum). Mungkin juga dijumpai di
tukak yeyunum yaitu penderita yang mengalami gastroyeyenostomi (Hadi Sujono.
2002. hal.204).
Ulkus peptikm merupakan putusnya kontinuitas mukosa lambung yang meluas
sampai di bawah epitel. Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel
disebut sebagai erosi, walaupun sering dianggap sebagai “ulkus” (misalnya ulkus
karena stress). Menurut definisi, ulkus peptikum dapat terletak pada setiap bagian
saluran cerna yang terkena getah asam lambung, yaitu esophagus, lambung,
duodenum, dan setelah gastroenterostomi, juga jejunum.( Sylvia, A. Price, 2006).
4
2.1.3 Etiologi
Sebab-sebab yang pasti dari ulkus peptikum yang belum diketahui. Beberapa
teori yang menerangkan tentang tukak peptik, antara lain sebagai berikut :
a. Asam getah lambung terhadap resistensi mukosa.
Tukak peptik kronia tidak mungkin terjadi lama tanpa adanya getah lambung.
Sebagai contoh berdasarkan penyelidikan yang mengumpulkan banyak penderita
dengan anemia pernisiosa disertai dengan alkorida.
b. Golongan darah
Penderita dengan golongan darah O lebih banyak menderita tukak duodeni
jikadibandingkan dengan pada tukak lambung. Adapun sebabnya belum diketahui
dengan benar. Dan hasil penelitian dilaporkan bahwa pada penderita dengan
golongan darah O kemunkinan terjadinya tukak duodeni adalah 38% lebih besar
dibandingkan golngan lainnya. Kerusakan di daerah piepilorus dapat dihubungkan
dengan golongan darah A, baik berupa tukak yang biasa ataupun karsinoma.
Sedangkan pada golongan darah O sering ditemukan kelainan pada korpus
lambung.
c. Susunan saraf pusat
Teori nerogen pada tukak peptik telah dibicarakan tahun 1959. Berdasarkan
pengalaman dari Chusing, erosi akut dan tukak pada esofagus, lambung dan
duodenum dapat dihubungkan dengan kerusakan intrakranial, termasuk neoplasma
primer atau sekunder dan hiperensi maligna. Faktor kejiwaan dapat menyebabkan
timbulnya tukak peptik. Misalnya pada mereka yang psikisnya sangat labil, pada
ketegangan jiwa, emosi, mempunyai ambisi besar dan lain-lainnya yang
menyebabkan untuk hidup tidak wajar.
d. Inflamasi bakterial
Dari dasar tukak telah dibakkan untuk menyelidiki mikroorganisme yang diduga
sebagai penyebabnya, tetapi tidak ditemukan satu macam bakteripun. Selanjutnya
pada hasil pemeriksaan didapat bahwa inflamasi non bakteri atau inflamasi
khemis lebih besar dari pada inflamasi bakterial. Tukak yang spesifik misalnya
pada TBC dan sifilis disebabkan spesifik mikrooganisme.
e. Inflamasi non bakterial
Teori yang menyatakan bahwa inflamasi non bakterial sebagai penyebab
didasarkannya inflamasi dan kurvatura minor, antrum dan bulbus duodenia yang
mana dapat disebutkan juga antaral gasthritis, sering ditemukan dengan tukak.
5
Dan sebagai penyebab dari gasthritis Sendiri belum jelas. Tukak yang kronis ialah
sebagai kelanjutan dari tukak yang akut. Berdasarkan pemeriksaan histologis
ditemukan perubahan yang nyata dari erosi akut ke tukak yang akut.
f. Infark
Teori infark yang berdasarkan timbulnya kerusakan semacam kawah, sering
ditemukan pada otopsi. Adannya defek pada dinding serta timbulnya infark,
karena asam getah lambung dan dapat pula ditunjukkan adanya jaringan trombose.
g. Faktor hormonal.
Banyak teori yang menerangkan adanya pengaruh-pengaruh hormonal yang dapat
menimbulkan tukak peptik.
h. Obat-obatan (drug induced peptic ulcer)
i. Aspirin, alkohol, tembakau dapat menyebabkan kerusakan sawar mukosa
lambung.
Dari sekian banyak obat-obatan, yang paling sering menyebabkan adalah
golongan salisilat, yaitu menyebabkan kelainan pada mukosa lambung.
Phenylbutazon juga dapat menyebabkan timbulnya tukak peptik, seperti halnya
juga histamin, reseprin akan merangsang sekresi lambung. Berdasarkan
penyelidikan, ternyata golongan salisilat hanya akan menyebabkan erosi lokal.
j. Herediter.
Berdasarkan penelitian di dalam keluarga ternyata bahwa tukak peptik ini ada
pengaruhnya dengan herediter. Terbukti bahwa dengan orang tua/ famili yang
menderita tukak, jika dibandingkan dengan mereka yang orang tuanya sehat. Oleh
sebab itu, family anamnesa perlu ditegakkan
k. Berhubungan dengan penyakit lain.
1) Hernia diafrakmatika.
Pada hernia diafrakmatika, mukosa pada lingkaran hernia mungkin merupakan
tempat timbulnya erosi atau tukak.
2) Sirosis hati.
Tukak peptik ditemukan juga pada penderita penyakit hepar terutama pada
sirosis lebih banyak jika dibandingkan dengan orang normal. Tukak duodeni
pada kaum wanita dengan sirosis biliaris ternyata bertambah, jika neutralisasi
dari isi duodenum berkurang.
3) Penyakit paru-paru.
6
Frekuensi dari tukak yang kronis dengan TBC paru-paru sering ditemukan.
Bertambah banyaknya tukak peptik dapat dihubungkan dengan bertambah
beratnya emfisema dan corpulmonale.
l. Faktor daya tahan jaringan.
Penurunan daya tahan jaringan mempermudah timbulnya ulkus. Daya tahan
jaringan dipengaruhi oleh banyaknya suplai darah dan cepatnya regenerasi.
2.1.4 Patofisiologi
Penyebab Umum
Penyebab umum dari userasi peptikum adalah ketidakseimbangan antara
kecepatan sekresi dan lambung dan derajat perlindungan yang diberikan oleh sawar
mukosa gastroduodenal dan netralisasi asam lambung oleh cairan duodenum. Semua
daerah yang secara normal terpapar oleh cairan lambung dipasok dengan baik oleh
kelenjar mukus, antara lain kelenjar ulkus campuran pada esophagus bawah dan
meliputi sel mukus penutup pada mukosa lambung: sel mukus pada leher kelenjar
lambung; kelenjar pilorik profunda (menyekresi sebagian besar mukus): dan akhirnya
kelenjar Brunner pada duodenum bagian atas yang menyekresi mukus yang sangat
alkali (Guyton, 1996).
Sebagian tambahan terhadap perlindungan mukus dari mukosa, duodenum
dilindungi oleh sifat alkali dari sekresi usus halus, terutama adalah sekresi pancreas
yang mengandung sebagian besar natrium bikarbonat, berfungsi menetralisir asam
klorida cairan lambung sehingga menginaktifkan pepsin untuk mencegah pencernaan
mukosa. Sebagai tambahan, ion-ion bikarbonat disediakan dalam jumlah besar oleh
sekresi kelenjar Brunner yang terletak pada beberapa inci pertama dinding duodenum
dan didalam empedu yang berasal dari hati (Lewis,2000). Akhirnya, dua mekanisme
kontrol umpan balik memastikan bahwa netralisasi cairan lambung ini sudah
sempurna, meliputi hal-hal sebagai berikut :
a. Jika asam yang berlebihan memasuki duodenum, secara refleks mekanisme ini
menghambat sekresi dan peristaltic lambung baik secara persarafan maupun
secara hormonal sehingga menurunkan kecepatan pengosongan lambung.
b. Adanya asam pada usus halus memicu pelepasan sekretin pada mukosa usus,
kemudian melalui darah menuju pancreas untuk menimbulkan sekresi yang cepat
dari cairan pancreas- yang mengandung natrium bikarbonat berkonsentrasi tinggi
- sehingga tersedia natrium bikarbonat untuk menetralisir asam.
7
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ulkus peptikum dapat disebabkan oleh
salah-satu dari dua judul (10 sekresi asam dan pepsin yang berlebihan oleh
mukosa lambung, atau (2) berkurangnya kemampuan sawar mukosa
gastroduodenalisn untuk berlindung dari sifat pencernaan dari kompleks asam –
pepsin.
Penyebab khusus
a. Infeksi bakteri H. pylori
Dalam lima tahun terakhir, ditemukan paling sedikit 75% pasien ulkus peptikum
menderita infeksi kronis pada bagian akhir mukosa lambung, dan bagian mukosa
duodenumoleh bakteri H.pylori. Sekali pasien terinfeksi, maka infeksi dapat
berlangsung seumur hidup kecuali bila kuman diberantas dengan obat anti
bacterial. Lebih lanjut lagi, bakteri dapat melakukan penetrasi sawar mukosa
lambung, baik dengan kemampuanya sendiri untuk menembus sawar maupun
dengan melepaskan enzin-enzim pencernaan yang mencairkan sawar. Akibatnya,
cairan asam kuat pencernaan yang disekresi oleh lambung dapat berpenetrasi
kedalam jaringan epithelium dan dapat mencernakan epitel, bahkan juga
jaringan-jaringan di sekitarnya. Keadaan ini dapat menuju pada kondisi ulkus
peptikum (Sibernagl, 2007).
b. Peningkatan sekresi asam
Pada kebanyakan pasien yang menderita ulkus peptikum dibagian awal
duodenum, jumlah sekresi asam lambung lebih banyak dari normal, bahkan
sering dua kali lipat dari normal. Walaupun setengah dari peningkatan asam ini
mungkin disebabkan oleh infeksi bakteri, percobaan pada hewan ditambah bukti
adanya perangsangan berlebihan sekresi asam lambung oleh saraf pada manusia
yang menderita ulkuspeptikum mengarah kepada sekresi cairan yang berlebihan
(Guyton, 1996).
Predisposisi peningkatan sekresi asam diantaranya adalah factor psikogenik
seperti pada saat mengalaami depresi atau kecemasan dan merokok.
c. Konsumsi obat-obatan.
Obat-obat seperti OAINS/obat anti-inflamasi, nonsteroid- seperti Indometasin,
Ibupropen, Asam Salisilat- mempunyai efek penghambatan siklo-oksigenase
sehingga menghambat sintesis prostaglandin dari asam arakhidonat secara
sistemik- termasuk pada epitel lambung dan duodenum. Pada sisi lain, hal ini
juga menurunkan sekresi HCO3 sehingga memperlemah perlindungan
8
mukosa(Sibernagl, 2007). Efek lain dari obat ini adalah merusak mukosa local
melalui difusi non-ionik ke dalam sel mukosa. Obat ini juga berdampak terhadap
agregasi trombosit sehingga akan meningkatkan bahaya pendarahan ulkus (Kee,
1995).
d. Stress fisik yang disebabkan oleh syok, luka bakar, sepsis, trauma, pembedahan,
gagal napas, gagal ginjal, dan kerusakan susunan syaraf pusat (Lewis, 20000.
Bila kondisi stress ini berlanjut, maka kerusakan epitel akan meluas dan kondisi
ulkus peptikum menjadi lebih parah
e. Refluks usus-lambung dengan materi garam empedu dan enzzim pancreas yang
berlimpah dan memenuhi permukaan mukosa dapat menjadi predisposisi
kerusakan epitel mukosa.
Factor-faktor diatas menyebabkan kerusakan epitel mulai dari erosi yang
berlanjut pada ulkus akut, kemudian ulkus kronis, dan terbentuknya jaringan
parut; maka akan terjadi penetrasi dari seluruh dinding lambung.
b.1.5 Klasifikasi
1 Insidens Insiden
Usia 30-60 tahun Biasanya 50 tahun lebih
Pria: wanita → 3:1 Pria:wanita → 2:1
Terjadi lebih sering dari pada ulkus lambung
2 Tanda dan gejala Tanda dan gejala
Hipersekresi asam lambung Normal sampai hiposekresi asam
Dapat mengalami penambahan berat badan lambung
Nyeri terjadi 2-3 jam setelah makan; sering Penurunan berat badan dapat terjadi
terbangun dari tidur antara jam 1 dan 2 pagi. Nyeri terjadi ½ sampai 1 jam setelah
Makan makanan menghilangkan nyeri makan; jarang terbangun pada malam
Muntah tidak umum hari;
Hemoragi jarang terjadi dibandingkan ulkus dapat hilang dengan muntah.
lambung tetapi bila ada milena lebih umum Makan makanan tidak membantu dan
daripada hematemesis. kadang meningkatkan nyeri.
Lebih mungkin terjadi perforasi daripada Muntah umum terjadi
ulkus lambung Hemoragi lebih umum terjadi daripada
ulkus duodenal, hematemesis lebih
umum terjadi daripada milena.
3 Kemungkinan Malignansi Kemungkinan malignansi Kadang-
Jarang kadang
9
4 Faktor Risiko Faktor Risiko
Golongan darah O, PPOM, gagal ginjal Gastritis, alkohol, merokok, NSAID,
kronis, alkohol, merokok, sirosis, stress. stres
b.1.6 WOC
Sintesis prostaglandin
menurun
Perlindungan mukosa
Sekresi h+ dan
sekresi pepsinogen Garam empedu,enzim
pankreas
peritonitis Mual,
MK : Nyeri
muntah dan MK : risiko
anoreksia tinggi syok
Syok septik
hipovolemik
10
Luka Penurunan
pascaopera kemampuan kematian
si batuk
Intake nutrisi yang tidak
adekuat, kehilangan cairan
dan elektrolit
MK : MK : Resiko
Resiko bersihan jalan
infeksi nafas tidak
efektif
MK :Resiko MK : Resiko
ketidakseimbangan ketidakseimbangan
nutrisi: nutrisi kurang cairan dan
dari kebutuhan tubuh. elektrolit
11
menimbulkan keluhan, hanya diketahui melalui komplikasinya berupa perdarahan dan
perporasi. Muntah kadang timbul pada tukak peptic disebabkan edema dan spasme
seperti tukak kanal pilorik (obstruksi gastric outlet). Tukak prepilorik dan duodeni
bisa menimbulkan gastric outlet obstruction melalui terbentuknya fibrosis/oedem dan
spasme.
b.1.9 Penatalaksanaan
Beberapa metode dapat digunakan untuk mengontrol keasaman lambung
termasuk perubahan gaya hidup, obat-obatan, dan tindakan pembedahan.
a. Penurunan stress dan istirahat.
b. Penghentian merokok
c. Modifikasi diet, Air jeruk yang asam,coca cola,bir,kopi,tidak mempunyai
pengaruh userogenik pada mukosa lambung tapi dapat menambah sekresi asam
lambung.
12
d. Penatalaksanaan Farmakologis
e. Antagonis Reseptor H2/ARH2.
Struktur homolog dengan histamine Mekanisme kerjanya memblokir efek
histaminàsel parietal tidak dapat dirangsang untuk mengeluarkan asam
lambung.Inhibisi bersifat reversible.
Dosis terapeutik :
1) Simetidin : 2 x 400 mg/800 mg malam hari,dosis maintenance 400 mg
2) Ranitidine : 300 mg malam hari,dosis maintenance 150 mg
3) Nizatidine : 1 x 300 mg malam hari,dosis maintenance 150 mg
4) Famotidine : 1 x 40 mg malam hari
5) Roksatidine : 2 x 75 mg / 150 mg malam hari,dosis maintenance 75 mg malam
hari.
13
3) ANTASIDA DOEN (Medipharma)
Komposisi :Tiap tablet kunyah atau tiap 5 ml suspensi mengandung : Gel
Aluminium Hidroksida kering 258,7 mg (setara dengan Aluminium
Hidroksida) 200 mg, Magnesium Hidroksida 200 mg.
Indikasi : Untuk mengurangi gejala-gejala yang berhubungan dengan
kelebihan asam lambung, gastritis, tukak lambung, tukak pada duodenum
dengan gejala-gejala.
b.1.10 Komplikasi
Komplikasi ulkus peptikum adalah ulkus yang “membandel”(intraktibilitas),
perdarahan, perforasi, dan obstruksi pylorus. Setiap komplikasi ini merupakan
indikasi pembedahan (Price, 1996).
a. Intraktibilitas.
Komplikasi ulkus peptikum yang paling sering adalah “intraktibilitas”, yang
berarti bahwa terapi medis telah gagal mengatasi gejala-gejala secaa adekuat.
Pasien dapat tergangu tidurnya oleh nyeri, kehilangan waktu untuk bekerja,
memerlukan perawatan di rumahsakit, atau hanya tidak mampu mengikuti
program terapi, intraktibilitas merupakan alasan tersering untuk anjuran
pembedahan. Perubahan menjadi ganas tidak perlu terlalu dipertimbangkan baik
untuk ulkus lambung maupun untuk ulkus duodenum. Ulkus ganas sejak semula
sudah bersifat ganas, paling tidak menurut pengetahuan mutakhir. Ulkus yang
memulai perjalanan dengan jinak akan tanpa mengalami degenerasi ganas.
b. Perdarahan
Perdarahan merupakan komplikasi ulkus peptikum yang sangat sering terjadi,
sedikitnya ditemukan pada 25% kasus selama perjalanan penyakit (Guyton, 1996).
Walaupun ulkus pada setiap tempat dapat mengalami perdarahan, namun yang
tersering adalah di dinding posterior bulbus duodenum, karena pada tempat ini
dapat terjadi erosi arteria pankretiduodenalis atau arteria gastroduodenalis. Gejala-
gejala yang dihubungkan dengan perdarhan ulkus tergantung pada kecepatan
kehilangan darah. Kehilangan darah yang ringan dan kronik dapat mengakibatkan
anemia defisiensi besi. Feses dapat positif dengan darah samara tau mungkin
hitam dan seperti ter (melena). Perdarahan massif dapat mengakibatkan
hematemesis (muntah darah), menimbulkan syok, dan memerlukan transfuse
darah serta pembedahan darurat.
14
c. Perporasi.
Kira-kira 5% dari semua ulkus akan mengalaminperporasi, dan komplikasi ini
bertanggung jawab atas sekitar 65% kematian akibat ulkus peptikum (Price,
1995). Ulkus biasanya terjadi pada dinding anterior duodenum atau lambung
karena daerah ini hanya diliputi oleh peritoneum. Pada kondisi klinik, pasien
dengan komplikasi perporasi datang dengan keluhan nyerimendadak yang parah
pada abdomen bagian atas. Dalam beberapa menit, timbul peritonitis kimia akibat
keluarnya asam lambung, pepsin, dan makanan yang menyebabkan nyeri hebat.
Kondisi nyeri tersebut yang menyebabkan pasien takut bergerak atau bernafas.
Auskultasi abdomen menjadi senyap dan pada saat palpasi, abdomen mengeras
seperti papan. Perporasi akut biasanya dapat didiagnosis berdasarkan gejala-gejala
saja diagnosis dipastika melalui adanya udar bebas dalam rongga peritoneal,
dinyatakan sebagai bulan sabit translusen anatara bayangan hati dan diafragma.
Udara tentu saja masuk rongga peritoneal melalui ulkus yang mengalami
perporasi (Azis, 2008).
d. Obstruksi
Obstruksi pintu keluar lambng akibat peradangan dan edema, pilospasme, atau
jaringan parut terjadi pada sekitar 5% pasien ulkus peptikum. Obstruksi timbul
lebih sering pada pasien ulkus duodenum, tetapi kadang terjadi pada ulkus
lambung terletak dekat dengan sfingter pylorus. Anoreksia mual dan kembung
setelah makan merupakan gejala-gejala yang sering timbul kehilangan berat badan
juga sering terjadi. Bila obstruksi bertambah berat, dapat timbul nyeri dan muntah
(Mineta,1983)
19
2.2.3 Rencana Asuhan Keperawatan
No Diagnosa Tujuan Kriteria Intervensi Rasional
Keperawatan Hasil
1 Nyeri b.d iritasi Dalam waktu 1 x 1) Secara subjektib 1) Jelaskan dan bantu 1) Pendekatan dengan menggunakan
mukosa lambung, 24 jam dan 3 x 24 melaporkan nyeri pasien dengan tehnik relaksasi dan terapi
perporasi mukosa, jam pascabedah berkurang atau memberikan pereda nonfarmakologi telah menunjukkan
kerusakan gastrekotomi, nyeri dapat diadaptasi. nyeri non farmakologi keefektifan dalam mengurangi nyeri.
jaringan lunak berkurang/hilang 2) Skala nyeri 0-1 (0- dan noninvasive
pasca operasi atau teradaptasi. 4) Lakukan manajemen
3) Dapat nyeri
mengidentifikasi 2) Istirahatkan pasien 2) Istirahat secara fisiologis akan
aktifitas yang pada saat nyeri muncul menurunkan kebutuhan oksigen yang
meningkatkan atau diperlukan untuk memenuhi
menurunkan nyeri. kebutuhan metabolism basal.
4) Pasien tidak 3) Ajrkan tehnik relaksasi 3) Meningkatkan asupan oksigen
gelisah nafas pada saat nyeri sehingga akan menurunkan nyeri
sekunder dari iskemia intestinal
4) Ajarkan tehnik 4) Distraksi (pengalihan Panggilan )
distraksi pada saat dapat menurunkan stimulus internal
nyeri 5) Lingkungan tenang akan
5) Manajemen menurunkanstimulus nyeri eksternal
Lingkungan: dan pembatasan pengunjung akan
Lingkungan tenang, membantu meningkatkan oksigen
batasi pengunjung, dan ruanganyang akan berkurang apabila
istirahatkan pasien. banyak pengunjung yang berada di
ruangan. Istirahat akan menurunkan
kebutuhan oksigen jaringan perifer.
6) Manajemen sentuhan pada saat nyeri
20
berupa sentuhan dukungan psikologis
6) Lakukan Manajemen dapat membantu menurunkan nyeri.
sentuhan 7)
- Antasida
2 Risiko tinggi syok Dalam wkatu 3 x 1) Pasien 1) Kaji sumber dan 1) Deteksi awal mengenai seberapa jauh
hipovolemik b.d 24 jam tidak terjadi menunjukkan respon perdarahan dari tingkat pemberian intervensi yang
penurunan syok hivopolemik perbaikan sistem melena dan diberikan sesuai dengan kemampuan
volume darah kardiovaskuler hematemesis. individu.
sekunder akibat 2) Hematemesis dan 2) Penurunan kualitas dan denyut
hematemesis dan melena terkontrol 2) Monitor TT jantung merupakan parameter penting
melena masif 3) Konjungtivitis Monitor status cairan gejala awal syok
tidak anemis (turgor kulit, Hipotensi dapat terjadi pada
4) Pasien tidak membrane mukosa dan hipovolemia, hal tersebut
mengeluh pusing, keluaran urine). memberikan manifestasi terlibatnya
memebran mukosa sistem kardiovaskuler dalam
lembab, turgor melakukan kompensasi dalam
kulit normal, dan mempertahankan tekanaan darah.
21
akral hangat. Peningkatan frekuensi nafas
5) TTV dalam batas merupakan manifestasi dari
normal, CRT > 3 kompensasi respirasi untuk
detik, urine > 600 mengambil sebanyak-banyaknya
ml/hari oksigen, akibat penurunan kadar
6) Laboratorium: haemoglobin sekunder dari
nilai haemoglobin, penurunan volume darah.
sel darahmerah, Hipotermi dapat terjadi pada
hematokrit, dan 3) Lakukan kolaborasi perdarahan massif.
BUN/kreatinin pemberian paket sel 3) Jumlah dan tipe cairan penganti darah
dalam batas darah ditentukan dari keadaan status cairan.
normal. merah(PRC=Pocked Penurunan volume darah
Red Cells). mengakibatkan menurunnya produksi
urine, monitor yang ketat pada
produksi urine< 600ml/ hari
merupakan tanda-tanda terjadinya
syok hipovolemik.
Pemberian PRC disesuaikan dengan
banyaknya darah yang keluar dan
hasil pemeriksaan hemoglobin.
Apabila dalam kondsi kritis,
sementara persediaan darah masih
belum didapatkan dari segera, maka
4) Evaluasi adanya pemberian cairan pengganti darah
respon seklinik dari dapat diberikan untuk menurunkan
pemberian transfusi. risiko syok.
4) Secara fisiologis tubuh pasien akan
bereaksi terhadap darah yang masuk
22
melalui transfuse sehingga memiliki
kecenderungan menjadi reaksi alergi
5) Lakukan gastric transfuse. Perawat melakukan
cooling. monitor untuk mencegah respon
klinik pada pasien.
5) Intervensi pemberian cairan ke
lambung bertujuan untuk melakukan
6) Evaluasi kondisi vasokontriksi pembuluh darah
pasien setiap lambung dan diharapkan dapat
pergantian shift. menurunkan pendarahan.
6) Perubahan kardiovaskuler akibat
hematemesis dan melena massif
masih bisa bervariasi sesuai dengan
tingkat toleransi individu. Penemuan
perubahan sebagai deteksi awal untuk
7) Kolaborasi pemberian mencegah meningkatnya risiko syok
terapi endoskopik. 7) Intervensi terapi endoskopik
dilakukan dengan melakukan
hemostasis koagulasi atau thrombosis
terapi. Beberapa intervensi
elektrokoagulasi, heater probe atau
laser YAG dilakukan untuk
8) Lakukan dokumentasi
mengontrol perdarahan dari ulkus
intervensi yang telah
peptikum( Shoemaker, 1995).
dilakukan dan
8) Setiap perubahan yang terjadi pada
dilaporkan apabila
pasien harus diketahui oleh tim medis
didapatkan perubahan
untuk mendapat asuhan medis.
kondisi mendadak.
Dokumentasi yang baik dapat
23
9) Kolaborasi : dilakukan menunjang asuhan yang
tindakan pembedahan berkelanjutan.
gastrektomi.
9) Perporasi ulkus peptikum yang tidak
membaik dengan terapi farmakologi
dan endoskopi akan mendapatkan
terapi bedah untuk menghilangkan
sumber perdarahan pada lambung dan
duodenum.
3 Resiko Injuri b.d Dalam waktu 2 x 1) TTV dalam batas 1) Lakukan perawatan di 1) Menurunkan risiko injuri dan
pascaprosedur 24 jam pasca normal ruang infensif. memudahkan intervensi pasien
gastreoktomi intervensi 2) Tidak terjadi selama 48 jam di ruang intensif.
gastrektomi pasien infeksi pada 2) Monitor adanya 2) Komplikasi yang terjadi pada operasi
tidak daerah insisi. komplikasi ini adalahperdarahan, kebocoran pada
mengalamiinjuri. pascaoperasi daerah anastosmis, infeksi luka
gastrektomi. operasi, gangguan respirasi, dan
masalah yang berkaitan dengan
balance cairan dan elektrolit
3) Keterampilan Proses Keperawatan
3) Kaji factor-faktor yang dan Berpikir Kritis diperlukan agar
24
meningkatkan risiko pengkajian vital dapat dilakukan
injuri. secara sistematis
25
8) Evaluasikan secaradari volume darah sebagai proteksi
hati-hati danpada organ vital dan mencegah
dokumentasikan intake kondisi hivopolemia pascabedah.
atau output cairan. 8)
Pasien pascaoperasi gastrektomi akan
mengalami transudasi cairan ke
intertisisal. Perawat akan memantau
kondisi urine dalam kisaran 30 ml/
jamhidrasi optimal sebagai batas
9) Monitor kondisi selang dalam pemberian rehidrasi optimal.
pasca operasi. (Shoemarker, 1995).a
9) Perawat mendokumentasikan jumlah
10) Monitor kondisi selang urine dan waktu pencatatan, serta
nasogastrik memeriksa kepatenan saluran urine
10) Drainase pasca opeasi harus dipantau,
perhatikan kepatenan selang dan
aadanya thrombosis, selang terlipat
dan adanya perdarahan baru yang ada
didalam selang.
Secara umum pasien pasca bedah
gastroktomi akan terpasang selang
nasogastrik. Perawat berusaha untuk
tidak mengangkat, mengubah posisi,
meamnipulasi atau engirigasi selang
kecuali untuk terapi. Hal ini
dilakukan untuk menurunkan risiko
kerusakan anastosmis.
4 Resiko Dalam waktu 2 x 1) Jalan napas bersih 1) Kaji dan monitor jalan 1) Deteksi awal u/ intervensi slnjutnya.
ketidakefektifan 24 jam pascabedah dan tidak ada napas. Salah- satu cara u/ melihat pasien
26
jalan nafas gastrektomi, akumulasi darah. bernafas/ tidal adalah dengan
b.dkemampuan kebersihan jalan 2) Suara nafas meletakkan telapak tangan diatas
batuk menurun, nafas pasien tetap normal, tidak ada mulut/hidung pasien.
nyeri optimal. bunyi nafas 2) Beri oksigen 3 2) Pemenuhan oksigen dapat membantu
pascaoperasi. tambahan seperti liter/menit. meningkatkan paO2 di cairan otak
stridor. yang akan mempengaruhi pengaturan
3) Tidak ada pernafasan.
penggunaan otot 3) Bersihkan sekresi pada 3) Kesulitan napa sdapat terjadi apabila
bantu pernafasan. jalan napas dan sekresi mucus yang berlebihan.
4) RR dalam batas lakukan suctioning
normal apabila kemampuan
12-20x/menit. mengevakuasi secret
tidak efektif
4) Instruksikan pasien 4) Pada pasien pascabedah dengan
untuk melakukan toleransi yang baik, pernafasan
napas dalam dan batuk difragma dapat meningkatkan
efektif ekspansi paru. Memperbesar ekspansi
dada dan pertukaran gas, contohnya
meminta pasien u/ menguap atau
inspirasi maksimal.
5) Memfasilitasi pembersihan jalan
5) Lakukan fisioterapi napas dari secret yang tidak dapat
dada. dikeluarkandengan batuk efektif.
6) Lakukan auskultasi agar dapat
menentukan area paru dengan bunyi
6) Tetapkan lokasi dari napas ronkhi.
setiap segmen paru- 7) Apabila tingkat toleransi dari pasien
paru tidak optimal, perawat mencegah dan
27
. menjaga trauma sekunder dari
7) Jaga posisi pasien agar intervensi seperti memasang pagar
jangan sampai jatuh, pengaman.
gunakan pagar
pengamanan yang ada
pada setiap sisi tempat
tidur.
28
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Menurut definisi, ulkus peptikum dapat ditemukan pada setiap bagian saluran cerna
yang terkena getah asam lambung, yaitu esophagus, lambung, duodenum, jejunum,dan
setelah tindakan gastroenterostomi. Ulkus peptikum diklasifikasikan atas ulkus akut dan
ulkus kronik, hal tersebut menggambarkan tingkat tingkat kerusakan pada lapisan mukosa
yang terlibat( Aziz, 2008).
Beberapa metode dapat digunakan untuk mengontrol keasaman lambung termasuk
perubahan gaya hidup, obat-obatan, dan tindakan pembedahan. Penurunan stress dan
istirahat. Penghentian merokok, modifikasi diet, Air jeruk yang asam,coca
cola,bir,kopi,tidak mempunyai pengaruh userogenik pada mukosa lambung tapi dapat
menambah sekresi asam lambung. Obat-obatan. Intervensi bedah
3.2 Saran
Dalam penyusunan Asuhan Keperawatan ini juga penulis menyadari bahwa dalam
pembuatan penulisan masih terdapat banyak kesalahan, kekurangan serta kejanggalan
baik dalam penulisan maupun dalam pengonsepan materi. Untuk itu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar kedepan lebih baik dan penulis
berharap kepada semua pembaca mahasiswa khususnya, untuk lebih ditingkatkan dalam
pembuatan Asuhan Keperawatan yang akan datang.
28
DAFTAR PUSTAKA
Grace, Pierce & Neil Borley. 2005. At a glance ilmu bedah edisi ketiga.Jakarta :Erlangga
Mutaqqin, Arif dan Kumala sari. 2011. Gangguan gastrointestinal Aplikasi Asuhan
keperawatan medikal bedah. Jakarta :Salemba Medika.
W. Sutoyo, Aru. 2006. Ilmu penyakit dalam jilid 1 edisi keempat. Jakarta :Kedokteran
indonesia
29