Anda di halaman 1dari 22

TUGAS MAKALAH

APLIKASI TEORI/MODEL DOROTHEA E. OREM


DEFISIT PERWATAN DIRI KLIEN DENGAN SKIZOFRENIA
DOSEN MK : Ns. Siti Rochmaedah, S.Kep.,M.Kep

Disusun oleh:

KELOMPOK 7 :

1. NYANA
2. WILI YANDRI ELAKEMAINA
3. RIKA SANTI LA SAHIRUN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MALUKU HUSADA


AMBON
2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
limpahan rahmat karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
Stimulus kasus dari “Aplikasi Teori/Model Dorothea E. Orem Self-Care”.
Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas kelompok mata kuliah Falsafah dan
Teori Keperawatan.

Kami menyampaikan rasa terima kasih kepada Ns. Siti Rochmaedah,


S.Kep.,M.Kep selaku pembimbing mata kuliah kuliah Falsafah dan Teori
Keperawatan yang telah mempercayakan kami dalam proses penyusun makalah
ini.
Penulis membuat makalah ini dengan seringkas-ringkasnya dan bahasa
yang jelas agar mudah dipahami. Karena penulis menyadari keterbatasan yang
penulis miliki, penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca, agar
pembuatan makalah penulis yang berikutnya dapat menjadi lebih baik.

Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan Penulisan
1.3 Manfaat
1.4 Metode Penulisan
1.5 Sistematika Penulisan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Remaja
2.2 Teori Keperawatan Dorothea E. Orem
BAB III APLIKASI TEORI/MODEL DOROTHEA E. OREM SELF-CARE
BAB IV PENUTUP
1.1 Kesimpulan
1.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

iii
1
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik,
intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras
dengan keadaan orang lain (UU No 36, 2009).
Kesehatan jiwa menurut World Health Organization (WHO) tahun 2001 yaitu kondisi
sejahtera dimana individu menyadari kemampuan yang dimilikinya, dapat mengatasi stress
dalam kehidupannya, dapat bekerja secara produktif dan mempunyai kontribusi dalam
kehidupan bermasyarakat. Sedangkan menurut Stuart (2009) kesehatan jiwa adalah keadaan
sejahtera yang ditandai dengan perasaan bahagia, keseimbangan, merasa puas, pencapaian diri
dan optimis. Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kesehatan jiwa adalah
keadaan atau kondisi yang sejahtera baik secara emosional, psikologis, maupun sosial, mampu
menyadari tentang diri dan kemampuan yang dimilikinya sehingga dapat berfungsi secara
produktif baik bagi diri sendiri, keluarga maupun masyarakat.
WHO (2001) menjelaskan bahwa status kesehatan jiwa secara global memperlihatkan
25% penduduk pernah mengalami gangguan mental dan perilaku, namun hanya 40% yang
terdiagnosis. Selain itu, 10% populasi orang dewasa pernah mengalami gangguan mental
dan perilaku, 20% pasien di puskesmas teridentifikasi mengalami gangguan jiwa dan
satu orang dari empat rumah tangga mempunyai keluhan gangguan perilaku. Data WHO
(2006) mengungkapkan 26 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa. Panik dan
cemas adalah gejala paling ringan dan dari total populasi, sekitar 13,2 juta orang mengalami
depresi.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dari Badan Penelitian
Pengembangan Kesehatan Kemenkes Republik Indonesia (Kemenkes RI, 2008), prevalensi
gangguan mental emosional seperti gangguan kecemasan dan depresi sebesar 11,6% dari
populasi orang dewasa dengan prevalensi tertinggi di Jawa Barat yaitu 20,0%. Prevalensi
gangguan jiwa berat di Indonesia sebesar 0,46 %, dengan kata lain dari 1000 penduduk
Indonesia empat sampai lima diantaranya menderita gangguan jiwa berat. Prevalensi
gangguan jiwa berat di Jawa Barat sebesar 0,22 % dan angka tersebut meningkat menjadi
0,40% di kota Bogor. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah kesehatan jiwa
baik gangguan jiwa ringan hingga berat cukup tinggi dan membutuhkan penanganan yang
serius serta berkesinambungan.
Skizofrenia merupakan salah satu diagnosa medis dari gangguan jiwa yang paling
banyak ditemukan dan merupakan gangguan jiwa berat. Menurut PPDGJ III (tahun 2003)
bahwa Skizofrenia termasuk salah satu gangguan jiwa, selain gangguan mental organik,
gangguan mood dan afektif, gangguan neurotik, gangguan kepribadian, retardasi mental,
gangguan perkembangan psikologis dan gangguan perilaku dan emosional. Skizofrenia adalah
sekumpulan sindroma klinik yang ditandai dengan perubahan kognitif, emosi, persepsi dan
aspek lain dari perilaku (Kaplan & Sadock, 2007). Menurut Durand (2007), retardasi mental
adalah gangguan yang telah tampak sejak masa anak-anak dalam bentuk fungsi intelektual dan
adaptif yang secara signifikan berada dibawah rata-rata. Menurut Ely Lilly dalam Stuart dan

1
2
Laraia, (2005) tanda dan gejala dari skizofrenia dibagi dalam empat dimensi utama yaitu
gejala positif, gejala negatif, gejala kognitif dan gejala depresi atau perubahan mood.
Gejala positif dari skizofrenia adalah halusinasi, delusi, perubahan arus pikir (arus
pikir terputus, inkoheren dan neologisme) dan perilaku bizzare (agresif, agitasi, repetisi,
perilaku stereotip). Gejala negatif yaitu afek tumpul, ketidakmampuan dalam berpikir,
kehilangan motivasi, ketidakmampuan dalam mengalami perasaan senang dan kegembiraan,
sikap masa bodoh, pembicaraan terhenti tiba-tiba, menarik diri dari pergaulan sosial dan
menurunnya kinerja (bermasalah dalam pekerjaan) atau menurunnya aktifitas sosial sehari-
hari (termasuk perawatan diri).
Defisit perawatan diri adalah kerusakan kemampuan dalam memenuhi aktifitas
kebersihan diri secara mandiri (merawat tubuh dan fungsi tubuh) yang meliputi aktifitas
mandi, berpakaian dan berhias untuk diri sendiri sesuai situasi dan kondisi, aktifitas makan,
dan aktifitas toileting (Herdman, 2012). Perawatan diri membutuhkan kesadaran dan
pemahaman yang baik untuk memenuhinya, karena perawatan diri merupakan salah satu
kebutuhan yang sangat dasar bagi manusia. Berdasarkan pengalaman penulis di komunitas,
walaupun klien telah dijelaskan pentingnya perawatan diri dan diajarkan cara-cara memenuhi
kebutuhan perawatan diri hingga dimotivasi dengan menyediakan kebutuhan untuk
perawatan diri namun masih banyak klien belum melaksanakannya dengan baik.
Kondisi ini memberikan arti bahwa manajemen untuk mengatasi masalah Defisit
Perawatan Diri masih ada yang kurang atau tidak berkesinambungan.
Kurangnya perawatan diri pada pasien dengan gangguan jiwa terjadi akibat adanya
perubahan proses pikir sehingga kemampuan untuk melakukan aktivitas perawatan diri
menurun. Kurang perawatan diri tampak dari ketidakmampuan merawat kebersihan diri,
makan secara mandiri, berhias diri secara mandiri, dan toileting {Buang Air Besar
(BAB)/Buang Air Kecil(BAK)} secara mandiri (WHO & FIK UI, 2006).
Defisit perawatan adalah keadaan dimana individu tidak mampu melakukan atau
menyelesaikan aktivitas perawatan diri. Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang paling
sering dan khas pada proses pikir dan kadang-kadang mempunyai perasaan bahwa dirinya
sedang dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya, presepsi, emosi, pembicaraan dan
perilaku
1.2. Tujuan Penulisan
a. Tujuan Umum :
Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui pengembangan
aplikasi teori/model Dorothea E. Orem self-care deficit pada pasien dengan Skizofrenia
b. Tujuan Khusus :
Tujuan khusus penulisan makalah ini adalah :
1) Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman perawat tentang pengembangan aplikasi
teori/model Dorothea E. Orem self-care
2) Mampu menerapkan teori Orem dalam pengembangan instrumen pengkajian pada
pasien dengan skizofrenia

2
3
1.3. Manfaat
a. Bagi Mahasiswa
Agar mahasiswa dapat mengetahui pengembangan aplikasi teori/model Dorothea E. Orem
self-care deficit
b. Bagi Pendidikan
Sebagai kerangka acuan dalam pembuatan makalah pengembangan aplikasi teori/model
Dorothea E. Orem self-care deficit

1.4. Metode Penulisan


Metode penulisan yang digunakan dalam penyusunan makalah adalah metode Deskrisif
dan teknik pengumpulan data dengan menggunakan teknik internet Searching

1.5. Sistematika Penulisan


BAB I : Pendahuluan meliputi : Latar Belakang, Tujuan, Manfaat, Metode Penulisan,
Sistematika Penulisan.
BAB II : Tinjauan Pustaka
BAB III : Aplikasi Teori/Model Dorothea E. Orem Self Care deficit
BAB IV : Penutup

3
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Skizofrenia
2.1 Pengertian
Skizofrenia adalah suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya
pikiran, persepsi, emosi, gerakan, dan perilaku yang aneh (Videbeck, 2008). Sedangkan
menurut Kaplan & Saddock (2007), skizofrenia adalah sekumpulan sindroma klinik yang
ditandai dengan perubahan kognitif, emosi, persepsi dan aspek lain dari perilaku. Dari
penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa skizofrenia adalah suatu gangguan jiwa berat
disebabkan karena penyakit yang mempengaruhi otak ditandai dengan perubahan perilaku,
emosi dan pikiran. Penetapan diagnosa skizofrenia berdasarkan gejala-gejala khas yang
ditampakkan seperti halusinasi, delusi. dan gejala khas ini telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih, serta harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna
dalam mutu keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek pribadi, bermanifestasi sebagai
hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak mampu berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri
sendiri dan penarikan diri secara sosial (Maslim, 2003)

2.2 Penyebab
Menurut Stuart (2009) penyebab Skizofrenia terdiri atas biologis, psikologis, sosial dan
lingkungan.
a. Biologis
Penyebab skizofrenia dari segi biologis terdiri dari genetik, neurotransmiter,
neurobiologi, perkembangan saraf otak dan teori- teori virus. Menurut Kaplan &
Saddock (2007), pengaruh faktor genetik terhadap skizofrenia belum teridentifikasi secara
spesifik namun ada 9 ikatan kromosom yang dipercayai untuk terjadinya skizofrenia yaitu
1q, 5q, 6p, 6q, 8p, 10p, 13q, 15q, dan 22q. Menurut Shives (2005), anak dengan orang tua
yang salah satunya mengalami skizofrenia mempunyai risiko 10% dan bila kedua orang
tua mengalami skizofrenia maka anak akan berisiko 40% mengalami skizofrenia juga.
Individu dengan skizofrenia ditemukan bahwa korteks prefrontal dan korteks limbik
otak tidak berkembang dengan sempurna. Biasanya ditemukan peningkatan volume otak,
fungsi yang abnormal dan neuro kimia yang menunjukkan perubahan pada sistem
neurotransmitter. Fokus pada korteks frontal mengimplikasikan gejala negatif pada
skizofrenia dan sistem limbik (dalam lobus temporal) mengimplikasikan gejala positif
pada skizofrenia serta sistem neurotransmitter menghubungkan kedua daerah tersebut
terutama dopamin, serotonin dan glutamat (Frisch & Frisch, 2006).
b. Psikologis
Penyebab skizofrenia secara psikologis adalah karena keluarga dan perilaku individu itu
sendiri. Faktor keluarga, ibu yang sering cemas, perhatian yang berlebihan atau tidak ada
perhatian, ayah yang jauh atau yang memberikan perhatian berlebihan, konflik
pernikahan, dan anak yang didalam keluarga selalu dipersalahkan (Stuart, 2009).
Komunikasi dalam bentuk pesan ganda ini menyebabkan individu yang menerimanya
berisiko untuk mengalami skizofrenia.
c. Sosial dan lingkungan

4
5
Penyebab skizofrenia secara sosial dan lingkungan adalah status sosial ekonomi. Status
sosioekonomi mengacu pada pendapatan, pendidikan dan pekerjaan individu (Lipson et al,
1996 dalam Videbeck, 2008). Menurut Townsend (2005), banyak hal yang telah dicoba
untuk dikaitkan dengan masalah gangguan jiwa seperti skizofrenia dan salah satu
faktornya adalah masalah status sosial

2.3 Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala klien yang mengalami skizofrenia yang paling umum menurut Seagel
dan Smith (2011) adalah sosial penarikan, permusuhan dan kecurigaan, kerusakan kebersihan
diri, ekspresi tatapannya datar, ketidakmampuan menangis atau mengekspresikan
kegembiraan, depresi, aneh atau pernyataan tidak rasional, pelupa tidak dapat berkonsentrasi,
ekstreme terhadap kritik, dan aneh penggunaan kata atau cara bicara. Menurut Ely Lilly
dalam Stuart dan Laraia, (2005) tanda dan gejala dari skizofrenia dibagi dalam empat dimensi
utama yaitu gejala positif, gejala negatif, gejala kognitif dan gejala depresi atau perubahan
mood.
Gejala positif dari skizofrenia adalah halusinasi, delusi, perubahan arus pikir yaitu
arus pikir terputus, inkoheren dan neologisme dan perilaku bizarre yaitu agresif, agitasi,
repetisi, perilaku stereotip. Gejala negatif yaitu afek tumpul, ketidakmampuan dalam berpikir,
kehilangan motivasi, ketidakmampuan dalam mengalami perasaan senang dan kegembiraan,
sikap masa bodoh, pembicaraan terhenti tiba-tiba, menarik diri dari pergaulan sosial dan
menurunnya kinerja yaitu bermasalah dalam pekerjaan atau menurunnya aktifitas sosial
sehari-hari yaitu tidak memperhatikan kebersihan diri. Gejala kognitif yaitu kurang perhatian,
mudah terdistraksi, gangguan memori, ketidakmampuan dalam memecahkan masalah,
ketidakmampuan dalam mengambil keputusan, tidak logis dan gejala depresi atau perubahan
mood yaitu dysphoria, keinginan bunuh diri dan ketidakberdayaan (Stuart & Laraia, 2005).
Berdasarkan beberapa gejala tersebut dapat dikatakan bahwa klien yang mengalami
gangguan jiwa berat atau skizofrenia berisiko untuk mengalami Defisit perawatan diri.

2.4 Fase skizofrenia


Fase skizofrenia dibagi dua yaitu fase akut dan fase kronik.
1) Fase Akut : adalah fase mulai munculnya gejala sampai dengan sebelum 6 bulan, ditandai
dengan Waham ; Halusinasi ; Perubahan arus pikir yaitu arus pikir terputus dalam
pembicaraan terjadi tiba-tiba tanpa bisa melanjutkan isi pembicaraan, inkoheren yaitu
berbicara tidak selaras dengan lawan bicara (bicara kacau), neologisme yaitu
menggunakan kata-kata yang hanya dimengerti oleh diri sendiri tapi tidak dimengerti oleh
orang lain ; Perubahan perilaku yaitu hiperaktif atau perilaku motorik yang berlebihan,
agitasi yaitu perilaku yang menunjukkan kegelisahan, iritabilitas yaitu mudah tersinggung.
2) Fase Kronik ditandai dengan gejala akut, sudah berlangsung 6 bulan atau lebih dengan
tanda atau gejala-gejala yang sama dengan fase akut. Selain itu timbul gejala-gejala
lainnya seperti : Sikap masa bodoh, apatis secara emosional, gangguan berpikir yang
tampak dari pembicaraan yang tidak terangkai atau aneh, menarik diri dari pergaulan
sosial, bermasalah dalam pekerjaan, tidak memperhatikan kebersihan diri, gangguan
motorik atau pergerakan (Keliat, 2007).

5
6
2.5 Terapi Psikofarmaka Skizofrenia

Skizofrenia dapat diawali dengan atau tanpa fase prodormal (early psikosis). Gejala yang
tampak pada fase ini adalah gangguan pola tidur, gangguan napsu makan, perubahan perilaku,
afek datar, pembicaraan yang sulit dimengerti, berfikir tidak realistik, dan perubahan dalam
penampilan. Jika gejala ini muncul dan langsung mendapatkan terapi maka skizofrenia
dapat dihindari. Namun pada beberapa klien, mereka tidak menyadari atau tidak mengalami
fase ini sehingga tidak mendapatkan penangganan awal dan berakhir pada skizofrenia.
Pengobatan skizofrenia lebih efektif bila dimulai sedini mungkin saat gejala mulai muncul
(World Federation for Mental Health, 2009). Penatalaksanaan pengobatan Skizofrenia
mengacu pada penatalaksanaan Skizofrenia secara umum.
1) Anti Psikotik
Obat-obat antipsikotik efektif mencegah penyebaran keadaan akut dan mencegah
relaps. Terdapat dua macam obat antipsikotik yaitu antipsikotik tradisional (tipikal) dan
antipsikotik atipikal. Jenis antipsikotik atipikal merupakan generasi baru antipsikotik.
Atipikal antipsikosis tidak hanya mengatasi gejala skizofrenia tapi juga meningkatkan
kualitas hidup. Varcarolis (2006) menyebutkan antipsikotik atipikal merupakan pilihan
pertama karena memiliki karakteristik : efek ekstrapiramidal minimal, mengatasi gejala
positif sebaik mengatasi gejala negatif dan meningkatkan neurokognitif.
Obat yang termasuk atipikal antipsikosis yaitu clozapine, risperidone, olanzapine
dan quetiapine. Target kerja kelompok atipikal mengatasi baik gejala positif maupun
negatif. Golongan atipikal mempunyai efek samping lebih ringan dari golongan tipikal dan
walaupun muncul gejala efek samping, biasanya klien masih bisa mentoleransinya.
Selain itu kelompok atipikal juga bisa mengatasi gejala cemas dan depresi, menurunkan
kecenderungan perilaku bunuh diri dan memperbaiki fungsi neurokognitif (Varcarolis,
2006). Sedangkan yang termasuk jenis antipsikotik tipikal yaitu : antara lain haloperidol,
tiflourorazine, chlorpromazine (CPZ) dan loxapine (Varcarolis, 2006). Target kerja
kelompok tipikal adalah mengatasi gejala positif. Golongan tipikal mempunyai efek
samping lebih dari golongan atipikal (Kuo, 2004 dalam Varcarolis 2006). Pengobatan
pada klien skizofrenia yang paling umum diberikan adalah chlorpromazine tablet dengan
pilihan dosis 25 mg dan 100 mg, injeksi dengan dosis 25 mg/ml; haloperidol tablet dengan
pilihan dosis 0,5 mg, 1,5 mg dan 5 mg, injeksi 5 mg/ml; dan triheksipenidil tablet sediaan
dosis 2 mg.
Efek samping obat antipsikotik dikelompokkan menjadi dua yaitu efek samping
neurologis dan non neurologis. Efek samping neurologis meliputi gejala ekstrapiramidal
berupa reaksi distonia akut, akatisia, dan Parkinson; kejang dan sindrom maligna
neuroleptik. Efek samping non neorologis mencakup sedasi; fotosensitivitas; dan gejala
antikolinergik berupa mulut kering, pandangan kabur, kontsipasi, retensi urin, dan
hipotensi ortostatik (Videbeck, 2008).

Defisit Perawatan Diri


2.6 Perawatan Diri (Self Care) Berdasarkan Orem

Pada dasarnya semua manusia mempunyai kebutuhan untuk melakukan perawatan diri
dan mempunyai hak untuk melakukan perawatan diri secara mandiri, kecuali bila orang itu
6
7
tidak mampu. Self care menurut Orem (2001) adalah kegiatan memenuhi kebutuhan dalam
mempertahankan kehidupan, kesehatan dan kesejahteraan individu baik dalam keadaan sehat
maupun sakit yang dilakukan oleh individu itu sendiri.
Teori defisit perawatan diri (Deficit Self Care) Orem dibentuk menjadi 3 teori yang
saling berhubungan :
1. Teori perawatan diri (self care theory) : menggambarkan dan menjelaskan tujuan dan cara
individu melakukan perawatan dirinya.
2. Teori defisit perawatan diri (deficit self care theory) : menggambarkan dan menjelaskan
keadaan individu yang membutuhkan bantuan dalam melakukan perawatan diri, salah
satunya adalah dari tenaga keperawatan.
3. Teori sistem keperawatan (nursing system theory) : menggambarkan dan menjelaskan
hubungan interpersonal yang harus dilakukan dan dipertahankan oleh seorang perawat
agar dapat melakukan sesuatu secara produktif.

Adapun penjelasan mengenai ketiga teori keperawatan di atas adalah sebagai berikut :
1. Teori perawatan diri (self care theory) berdasarkan Orem terdiri dari :
a. Perawatan diri adalah tindakan yang diprakarsai oleh individu dan diselenggarakan
berdasarkan adanya kepentingan untuk mempertahankan hidup, fungsi tubuh yang
sehat, perkembangan dan kesejahteraan.
b. Agen perawatan diri (self care agency) adalah kemampuan yang kompleks dari
individu atau orang-orang dewasa (matur) untuk mengetahui dan memenuhi
kebutuhannya yang ditujukan untuk melakukan fungsi dan perkembangan tubuh. Self
Care Agency ini dipengaruhi oleh tingkat perkembangan usia, pengalaman hidup,
orientasi sosial kultural tentang kesehatan dan sumber-sumber lain yang ada pada
dirinya.
c. Kebutuhan perawatan diri terapeutik (therapeutic self care demands) adalah tindakan
perawatan diri secara total yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu untuk
memenuhi seluruh kebutuhan perawatan diri individu melalui cara-cara tertentu
seperti, pengaturan nilai-nilai terkait dengan keadekuatan pemenuhan udara, cairan
serta pemenuhan elemen-elemen aktivitas yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
tersebut (upaya promodi, pencegahan, pemeliharaan dan penyediaan kebutuhan

Model Orem’s menyebutkan ada beberapa kebutuhan self care atau yang disebut
sebagai self care requisite, yaitu
a. Kebutuhan perawatan diri universal (Universal self care requisite)
Hal yang umum bagi seluruh manusia meliputi pemenuhan kebutuhan yaitu
1) Pemenuhan kebutuhan udara, pemenuhan kebutuhan udara menurut Orem yaitu
bernapas tanpa menggunakan peralatan oksigen.
2) Pemenuhan kebutuhan air atau minum tanpa adanya gangguan, menurut Orem
kebutuhan air sesuai kebutuhan individu masing-masing atau 6-8 gelas air/hari.
3) Pemenuhan kebutuhan makanan tanpa gangguan, seperti dapat mengambil makanan
atau peralatan makanan tanpa bantuan.
4) Pemenuhan kebutuhan eliminasi dan kebersihan permukaan tubuh atau bagian
bagian tubuh.
7
8
5) Penyediaan perawatan yang terkait dengan proses eliminasi, seperti kemampuan
individu dalam eliminasi membutuhkan bantuan atau melakukan secara mandiri
seperti BAK dan BAB. Menyediakan peralatan kebersihan diri dan dapat
melakukan tanpa gangguan.
6) Pemenuhan kebutuhan akifitas dan istrahat. Kebutuhan aktivitas untuk menjaga
keseimbangan gerakan fisik seperti berolah raga dan menjaga pola tidur atau
istirahat, memahami gejala-gejala yang mengganggu intensitas tidur. Menggunakan
kemampuan diri sendiri dan nilai serta norma saat istirahat maupun beraktivitas.
7) Pemenuhan kebutuhan menyendiri dan interaksi sosial. Menjalin hubungan atau
berinteraksi dengan teman sebaya atau saudara serta mampu beradaptasi dengan
lingkungan.
8) Pemenuhan pencegahan dari bahaya pada kehidupan manusia. Bahaya yang
dimaksud berdasarkan Orem adalah mengerti jenis bahaya yang mebahayakan diri
sendiri, mengambil tindakan untuk mencegah bahaya dan melindungi diri sendiri
dari situasi yang berbahaya.
9) Peningkatan perkembangan dalam kelompok sosial sesuai dengan potensi,
keterbatasan dan keinginan manusia pada umumnya. Hal-hal ini dapat
mempengaruhi kondisi tubuh yang dapat mempertahankan fungsi dan struktur tubuh
manusia dan mendukung untuk pertumbuhan serta perkembangan manusia.

b. Kebutuhan Perkembangan Perawatan Diri (Development self care requisite)


Kebutuhan yang dihubungkan pada proses perkembangan dapat dipengaruhi oleh
kondisi dan kejadian tertentu sehingga dapat berupa tahapan-tahapan yang berbeda
pada setiap individu, seperti perubahan kondisi tubuh dan status sosial. Tahap
perkembangan diri sesuai tahap perkembangan yang dapat terjadi pada manusia
adalah :
1) Penyediaan kondisi-kondisi yang mendukung proses perkembangan.
2) Memfasilitasi individu dalam tahap perkembangan seperti sekolah. Keterlibatan
dalam pengembangan diri. Mengikutikegiatan-kegiatan yang mendukung
perkembangannya.
3) Pencegahan terhadap gangguan yang mengancam. Beberapa hal yang dapat
mengganggu kebutuhan perkembangan perawatan diri pada anak menurut Orem
yaitu :
a) Kurangnya pendidikan anak usia sekolah.
b) Masalah adaptasi sosial.
c) Kegagalan individu untuk sehat.
d) Kehilangan orang-orang terdekat seperti orang tua, saudara dan teman.
e) Perubahan mendadak dari tempat tinggal ke lingkungan yang asing.
f) Kesehatan yang buruk atau cacat.

c. Kebutuhan Perawatan Diri Pada Kondisi Adanya Penyimpangan Kesehatan (Health


Deviation Self Care Requisite)
Kebutuhan ini dikaitkan dengan penyimpangan dalam aspek struktur dan fungsi
manusia. Seseorang yang sakit, terluka mengalami kondisi patologis tertentu,

8
9
kecacatan atau ketidakmampuan seseorang atau seseorang yang menjalani pengobatan
tetap membutuhkan perawatan diri. Adapun kebutuhan perawatan diri pada kondiri
penyimpangan kesehatan atau perubahan kesehatan antara lain :
1) Pencarian bantuan kesehatan.
2) Kesadaran akan resiko munculnya masalah akibat pengobatan atau perawatan
yang dijalani.
3) Melakukan diagnostik, terapi, dan rehabilitatif, memahami efek buruk dari
perawatan.
4) Adanya modifikasi gambaran atau konsep diri.
5) Penyesuaian gaya hidup yang dapat mendukung perubahan status kesehatan.

2. Teori Defisit Perawatan Diri (Deficit Self Care Theory)


Setiap orang memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri
secara mandiri, tetapi ketika seseorang tersebut mengalami ketidakmampuan untuk
melakukan perawatan diri secara mandiri, disebut sebagai Self Care Deficit. Defisit
perawatan diri menjelaskan hubungan antara kemampuan seseorang dalam
bertindak/beraktivitas dengan tuntunan kebutuhan tentang perawatan diri, sehingga ketika
tuntutan lebih besar dari kemampuan, maka seseorang akan mengalami penurunan/defisit
perawatan diri. Orem memiliki metode untuk proses penyelesaian masalah tersebut, yaitu
bertindak atau berbuat sesuatu untuk orang lain, sebagai pembimbing orang lain, sebagai
pendidik, memberikan support fisik, memberikan support psikologis dan meningkatkan
pengembangan lingkungan untuk pengembangan pribadi serta mengajarkan atau
mendidik orang lain. Adapun kerangka konseptual Orem sebagai berikut :

Rentang Respon Perawatan Diri


Defisit perawatan diri merupakan respon maladaptif klien, sehingga penulis berupaya
untuk mengubah respon maladaptif tersebut menjadi respon adaptif dengan cara
meningkatkan kemampuan-kemampuan klien dan keluarga untuk bisa memenuhi aktifitas
perawatan diri. Perawatan diri merupakan pola aktifitas kegiatan untuk diri sendiri yang
membantu untuk memenuhi tujuan terkait kesehatan dan dapat ditingkatkan (Herdman,
2012). Gambar berikut ini menggambarkan tentang rentang respon adaptif dan maladaptif
defisit perawatan diri.

RESPON ADAPTIF RESPON MALADAPTIF

1. Mampu melakukan perawatan diri 1. Tidak mau melakukan


secara mandiri perawatan diri
2. Menggunakan alat-alat untuk 2. Tidak mampu melakukan
membantu perawatan diri perawatan diri
3. Menggunakan dukungan orang lain 3. Tidak tahu cara melakukan
untuk melakukan perawatan diri perawatan diri

Gambar 2.1 Rentang Respon Perawatan Diri Stuart & Laraia ( 2005)

9
10
Gambar 2.1 menjelaskan bahwa klien defisit perawatan diri berada pada rentang
respon maladaptif karena adanya ketidakmauan, ketidakmampuan dan ketidaktahuan untuk
melakukan perawatan diri yang meliputi mandi, berhias, makan dan minum serta toileting.
Apabila klien memiliki kemauan, kemampuan dan pengetahuan tentang cara melakukan
aktifitas perawatan diri dan dapat melaksanakan kegiatan tersebut secara mandiri,
menggunakan alat- alat untuk membantu perawatan diri hingga memanfaatkan sistem
pendukung yang ada untuk melakukan perawatan diri, maka klien tersebut berada pada
rentang respon yang adaptif.
Kemampuan Klien Defisit Perawatan Diri
Kemampuan atau koping merupakan pilihan atau strategi bantuan untuk memutuskan
mengenai apa yang dapat dilakukan dalam menghadapi atau berespon terhadap suatu
permasalahan akibat stres yang dialami. Perawat dapat menentukan tindakan yang tepat dalam
melakukan asuhan keperawatan, dengan mengetahui kemampuan yang dimiliki oleh klien.
Klien defisit perawatan diri diharapkan memiliki kemampuan yang meliputi dua hal, yaitu
sumber koping dan mekanisme koping. Menurut Stuart (2009) sumber koping terdiri dari
empat hal, yaitu kemampuan individu (personal abilities), dukungan sosial (social support),
ketersediaan materi (material assets) dan kepercayaan (positive belief).

1) Kemampuan Individu
Kemampuan individu adalah kemampuan yang dimiliki oleh individu dan biasa
dilakukan dalam menghadapi masalah. Kemampuan individu yang perlu dioptimalkan
meliputi kemampuan dalam memahami (kognitif) terhadap masalah yang dihadapi secara
rasional. Kemampuan dalam mengontrol emosi (afektif) terhadap masalah yang ada.
Secara fisiologis dan perilaku yang perlu dioptimalkan adalah hidup teratur (aktivitas dan
istirahat) dan pola makan yang teratur dan bergizi sehingga asupan energi bisa mensuplai
otak dengan baik. Kemampuan memanfaatkan (dukungan sosial) yang ada dan
menggunakan nilai kepercayaan yang selaras dengan tidak bertolak belakang dari nilai
yang dimiliki.
2) Dukungan Sosial
Stuart (2009) dukungan sosial adalah sumber dukungan yang berasal dari eksternal dan
merupakan komponen terpenting dalam sumber koping yang perlu dikembangakan.
Dukungan sosial adalah dukungan untuk individu yang didapat dari keluarga, teman,
kelompok atau orang-orang disekitar klien termasuk kader dan dukungan terbaik yang
diperlukan oleh klien adalah dukungan dari keluarga. Klien dengan defisit perawatan diri
sangat memerlukan dukungan sosial ini, karena dukungan sosial akan membuat individu
merasa tidak sendiri dan berada pada lingkungan keluarga atau masyarakat yang care pada
dirinya. Apabila dukungan sosial tidak adekuat maka seseorang akan merasa sendiri dan
terlalu berat menghadapi stressor/masalahnya.
3) Ketersediaan Pelayanan kesehatan dan Finansial Materi
Ketersediaan pelayanan kesehatan yang terjangkau oleh masyarakat akan mempermudah
dalam mengantisipasi permasalahan kesehatan termasuk penanganan masalah defisit
perawatan diri. Tujuan ketersediaan pelayanan kesehatan adalah supaya masyarakat
mudah
4) Kepercayaan

10
11
Kepercayaan (positive belief) merupakan keyakinan dan gambaran positif seseorang
sehingga dapat menjadi dasar dari harapan yang dapat mempertahankan koping adaptif
walaupun dalam kondisi penuh stresor. Stuart (2009) mengemukakan bahwa keyakinan
harus dikuatkan untuk membentuk keyakinan positif (kognitif) dan dapat menguatkan
afektif, kestabilan fisiologis tubuh, perilaku konstrukti dan sosial yang baik. Keyakinan
yang dimaksud adalah keyakinan terhadap tenaga kesehatan, keyakinan tentang
kemampuan mengatasi masalah, keyakinan bahwa perilaku dapat diubah dan keyakinan
terhadap pelayanan kesehatan.

Tindakan Keperawatan Defisit Perawatan Diri


Fokus intervensi keperawatan dalam hal ini terdiri dari dua : (1) Untuk meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan klien dan keluarga melakukan pemenuhan kebutuhan
perawatan diri. (2) Untuk membantu klien dengan keterbatasan dan melakukan perawatan
yang tidak dapat dilakukan klien.

1) Tindakan terhadap Klien


Tindakan keperawatan diberikan kepada klien dengan tujuan supaya klien memiliki
kemampuan-kemampuan yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan perawatan
diri. Tindakan keperawatan yang dilakukan tersebut terdiri dari tindakan generalis dan
spesialis.

2) Tindakan Generalis
Tindakan generalis yang dilakukan adalah menjelaskan, melatih dan mengajarkan kepada
klien tentang cara memenuhi kebutuhan perawatan diri. Hal ini bertujuan supaya klien
memiliki kemampuan secara mandiri untuk menyelesaikan aktifitas mandi, berhias,
makan dan minum serta toileting untuk diri sendiri.
Tindakan keperawatan generalis yang dilakukan untuk klien defisit perawatan diri adalah:

a. Memberikan penjelasan tentang pentingnya perawatan diri, alat-alat yang diperlukan


untuk melakukan perawatan diri dan cara-cara melakukan perawatan diri.
b. Memberikan latihan untuk mengatasi gangguan kemampuan melakukan atau
menyelesaikan aktivitas mandi untuk diri sendiri, dengan cara melatih dan
mengajarkan klien untuk mandiri memenuhi aktifitasnya.
c. Memberikan latihan untuk mengatasi gangguan kemampuan melakukan atau
menyelesaikan aktivitas berpakaian untuk diri sendiri, ditujukan agar klien mampu
memenuhi kebutuhan berhias.
d. Memberikan latihan untuk mengatasi gangguan kemampuan melakukan atau
menyelesaikan kegiatan makan sendiri, bertujuan untuk memandirikan klien dalam hal
pemenuhan kebutuhan makan dan minum.
e. Memberikan latihan untuk mengatasi gangguan kemampuan melakukan atau
menyelesaikan aktivitas toileting untuk diri sendiri, bertujuan untuk membantu klien
memenuhi kebutuhan toileting.

11
12
3) Tindakan Spesialis
Terapi spesialis keperawatan jiwa yang diberikan meliputi terapi individu, terapi
kelompok dan terapi keluarga. Terapi individu yang diberikan adalah terapi perilaku token
ekonomi, terapi kelompok yang diberikan pada klien defisit perawatan diri adalah terapi
kelompok suportif dan terapi kelompok swa bantu, sedangkan terapi keluarga yang
diberikan adalah terapi psikoedukasi keluarga.

4) Terapi Perilaku/Behaviour Theraphy


Behaviour Therapy (BT) merupakan terapi spesialis keperawatan jiwa yang didasarkan
atas proses belajar dan mempunyai tujuan mengubah perilaku negatif menjadi perilaku
positif.

5) Terapi Suportif/Supportif Terapi


Supportif group merupakan sekumpulan orang-orang yang berencana, mengatur dan
berespon secara langsung terhadap issue-isue dan tekanan yang khusus maupun keadaan
yang merugikan.

6) Kelompok Swa Bantu/Self Help Group


Self help group merupakan satu pendekatan untuk mempertemukan kebutuhan keluarga
dan sumber penting untuk keluarga dengan gangguan jiwa (Citron, et.all, 1999).

Gambar 2.2 berikut ini menjelaskan tentang hubungan antara self care demand, dengan self care
agency dan peran nursing agency supaya terjadi kemampuan pemenuhan self care secara mandiri.

F
SELF-
A CARE
R R
K
T
O SELF- SELF- CARE
R R
CARE DEMAND
AGENCY
K
O R DEFICIT R
N
D
I
S FAKTOR NURSING
I
KONDISI AGENCY

Gambar 2.2. A conceptual framework for nursing. R, Relationship:<, deficitrelationship,


current or projected
Diambil dari Orem, D.E. (2001). Nursing: Concepts of practice. [6th edition. hal.491] St.Louis:
Mosby

12
13
Gambar 2.3 di bawah ini menjelaskan tentang proses pemberian asuhan keperawatan pada klien
dan keluarga dengan anggota keluarga mengalami gangguan jiwa dengan defisit perawatan diri,
dengan penerapan model Self Care Orem dan CMHN.

13
14

Kognitif : Kognitif :
- Tidak mampu mengambil - Mampu mengambil
Terapi Generalis : keputusan, mampu merawat
keputusan, tidak mampu
Individu : DPD diri
merawat diri
Keluarga : DPD Afektif :
Afektif :
Terapi Spesialis Individu : - Perasaan positif terhadap
- Perasaan negatif terhadap Terapi Perilaku diri, tidak merasa sedih,
diri, sedih, merasa tidak Terapi Spesialis Kelompok merasa mampu merawat
mampu merawat diri, kurang – Suppotif diri, memiliki motivasi
motivasi merawat diri -Swa Bantu merawat diri
Fisiologi : Terapi Spesialis Keluarga Fisiologi :
- Lemah/letih/lelah, Psiko edukasi keluarga - Lemah/letih/lelah,
- Penurunan muskuloskeletal
penurunan muskuloskeletal
Perilaku :
Perilaku :
- Mandi, berhias setelah
- Tidak mandi, tidak berhias mandi, makan teratur,
setelah mandi, tidak makan toileting tepat
teratur, toileting tidak tepat Predisposisi :
Sosial : - Biologi, psikologi, sosial
- Mengurung diri, budaya
Sosial :
menghindar dari orang lain,
- Bersosialisasi, berinteraksi
menolak interaksi dengan orang lain

Kemampuan klien : Predisposisi : Ketidakmampuan klien :


- Memenuhi kebutuhan mandi Biologi - Memenuhi kebutuhan mandi
Psikologi - Ketidakmampuan berhias
- Ketidakmampuan berhias Sosial budaya setelah mandi
setelah mandi Prepitasi - Ketidakmampuan makan dan
- Ketidakmampuan makan Biologi minum dengan benar
dan minum dengan benar Psikologi - Ketidakmampuan melakukan
- Ketidakmampuan Sosial Budaya toileting dengan benar
melakukan toileting dengan
benar

14
Keluarga memiliki
kemampuan memberikan
dukungan, bimbingan,
Ketidakmampuan Keluarga
pengarahan dan motivasi
dalam memberikan
terhadap klien untuk
dukungan, bimbingan,
melakukan perawatan diri
pengarahan dan motivasi
: mandi, berhias, makan
terhadap klien untuk
minum dan toileting.
melakukan perawatan diri :
mandi, berhias, makan
minum dan toileting.

Gambar 2.3. Aplikasi penerapan diagnosa defisit perawatan diri dengan menggunakan
pendekatan model Self Care – Orem

 Efektifitas Penerapan Terapi pada Klien Defisit Perawatan Diri dengan Pendekatan
Teori Dorothy Orem Self Care

Pelaksanaan proses keperawatan pada klien dengan defisit perawatan diri terdiri dari
pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan tindakan keperawatan,
pelaksanaan tindakan keperawatan dan pelaksanaan evaluasi terhadap tindakan yang
dilakukan.
Hasil pengkajian yang ditemukan pada klien dapat dijelaskan menggunakan konsep
Self Care Orem bahwa stressor yang dialami individu pada klien defisit perawatan diri yaitu
adanya penurunan motivasi diri untuk melakukan perawatan pada diri sendiri. Penurunan
motivasi tersebut ditunjukkan dengan adanya ketidakseimbangan antara self-care agency
dengan self care therapeutic demand sehingga klien mengalami self care deficit.
Ketidakseimbangan ini adalah kondisi self care agency tidak cukup mampu menggunakan
self care therapeutic demand untuk melakukan pemenuhan kebutuhan perawatan diri.
Karena kondisi ini maka klien membutuhkan bantuan untuk memaksimalkan self care
therapeutic demand agar self care terpenuhi dan dapat bertindak sebagai self care agency
untuk menangani masalah defisit perawatan diri.
Perawatan diri (Self care), asumsinya adalah bahwa setiap orang bisa melakukan atau
mampu berfungsi secara optimal untuk melakukan kegiatan pemenuhan kebutuhan
perawatan dirinya sendiri secara mandiri tanpa bantuan. Klien pada kondisi ini tidak
mengalami masalah, tidak memerlukan bantuan untuk masalah pemenuhan kebutuhan
perawatan dirinya.
Ketidakmampuan pemenuhan kebutuhan perawatan secara mandiri (Self-care deficit),
asumsinya bahwa suatu saat pada kondisi tertentu, seseorang bisa mengalami kondisi bahwa
dia tidak mampu melakukan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan perawatan dirinya sendiri.
Sehingga pada kondisi ini individu mengalami self care defisit, dan memerlukan bantuan
untuk memenuhi kebutuhan perawatan dirinya.
Sistem keperawatan (nursing system), asumsinya bahwa ketika seseorang tidak
mampu memenuhi kebutuhan perawatan dirinya secara mandiri, maka dia memerlukan
bantuan, dan perawat sebagai nursing agency harus memberikan bantuan kepada orang
tersebut untuk dapat memenuhi kebutuhan perawatan dirinya. Klien menerima asuhan dari
perawat berdasarkan tiga macam kondisi, wholly compensatory atau pemberian bantuan
total, partly compensatory atau pemberian bantuan sebagian misalnya pada klien yang
mengalami keterbatasan fisik dan supportive educative system atau memberikan pendidikan
kesehatan dan melatih klien dan keluarganya untuk dapat bereperan sebagai self care
agency.
Hal inilah yang memberikan dasar bagi pemberian beberapa terapi yaitu terapi
behaviour therapy, terapi suportif, self help group dan psikoedukasi keluarga. Pemberian
terapi spesialis ini juga berdasarkan pendekatan teori Orem’s Self Care yang ditujukan
agar klien mampu memenuhi kebutuhan perawatan dirinya secara mandiri.
Terapi yang diberikan yaitu behaviour therapy, terapi suportif, self help group dan
psikoedukasi keluarga merupakan terapi spesialis keperawatan jiwa yang merupakan
sebuah proses pembelajaran bagi klien untuk meningkatkan kemampuannya dalam
memenuhi kebutuhan perawatan diri yang dilakukannya dengan cara meningkatkan
kemampuan, meningkatkan motivasi dan pengetahuan tentang perawatan diri dan mengubah
perilaku maladaptif tidak mau merawat diri menjadi perilaku adaptif mau merawat diri.
Pelaksanaan terapi tersebut memberi hasil yang baik karena adanya komunikasi yang baik
antara perawat-klien dan adanya peran serta keluarga dan KKJ dalam .

 Efektifitas Kombinasi Behaviour Theraphy dan Supportif Theraphy serta Kombinasi


Behaviour Theraphy, Supportif Theraphy dan Self Help Group Theraphy Klien
Defisit Perawatan Diri
Kombinasi terapi perilaku dengan supportive theraphy dan self help group
menunjukan hasil yang lebih efektif mengubah perilaku klien defisit perawatan diri. Hal ini
terbukti dengan efektifitas terapi tersebut dalam pencapaian respon perilaku, fisiologis,
afektif, sosial dan kognitif. Karena selain perilakunya direstrukturisasi oleh terapi perilaku,
klien juga disadarkan akan permasalahan yang dialaminya dengan supportive theraphy.
Klien dalam kelompok disadarkan tentang perilakunya yang tidak benar yang menyebabkan
klien mengalami defisit perawatan diri. Hasil pengkajian pada klien dengan defisit
perawatan diri di RW 02 dan RW 12 menunjukan bahwa banyak klien yang merasa dirinya
tidak mengalami masalah dan merasa tidak yakin akan sembuh yaitu 61,1%.
Kondisi ini juga dapat dijelaskan oleh teori Self Care Orem yang mengasumsikan
bahwa setiap orang bisa melakukan atau mampu berfungsi secara optimal untuk melakukan
kegiatan pemenuhan kebutuhan perawatan dirinya sendiri secara mandiri tanpa bantuan.
Bantuan hanya akan diberikan ketika klien tidak mampu menggunakan kemampuannya
untuk memenuhi kebutuhan perawatan dirinya. Setelah diberikan tindakan keperawatan
spesialis untuk meningkatkan kemampuan, maka klien dengan masalah defisit perawatan
diri mampu memenuhi kebutuhan perawatan dirinya secara mandiri.
BAB IV
PENUTUP

1.1 Kesimpulan
1. Self-care, self-care deficit, dan nursing system merupakan bentuk interaksi antara klien
dengan perawat dalam proses keperawatan.
2. Fokus pemenuhan self-care berfokus pada kebutuhan dasar menurut Orem (udara, air,
makanan, eliminasi, aktivitas dan istirahat, privasi dan interaksi social, bebas ancaman,
dan mengembangkan diri ).terutama pada kenakalan remaja.
3. Design yang digunakan dalam aplikasi ini akan membantu perawat dalam mencapai
tujuan dari nursing system untuk membantu memenuhi self-care kenakalan remaja deficit
klien

1.2 Saran
1. Diperlukan suatu penelitian tentang penerapan SCDNT pada tatanan keperawatan lansia
dengan gangguan psikososial
2. Diperlukan suatu pengembangan teori SCDNT terutama yang berfokus pada kebutuhan
emosional klien

DAFTAR PUSTAKA

Agustini, Heni. 2016. “Makalah Komunitas III Model Teori Konseptual Dorothea Elizabeth
Orem”,
https://www.academia.edu/25317210/MAKALAH_KOMUNITAS_III_MODEL_TEORI_K
ONSEPTUAL_DOROTHEA_ELIZABETH_OREM, Diakses pada 17 November pukul
10:00 WIT.

Purnomo. 2016. “Aplikasi Teori/Model Dorothea E. Orem Self-Care Nursing System Dalam
Pengembangan Instrumen Pengkajian Komunitas Perilaku Kenakalan Remaja Dengan Pengguna
Minuman Keras”,
https://www.academia.edu/34558732/APLIKASI_TEORI_MODEL_DOROTHEA_E_OREM_S
ELF_CARE_NURSING_SYSTEM_DALAM_PENGEMBANGAN_INSTRUMEN_PENGKAJ
IAN_KOMUNITAS_PERILAKU_KENAKALAN_REMAJA_DENGAN_PENGGUNA_MINU
MAN_KERAS_Disusun_untuk_memenuhi_Tugas, Diakses 17 November 2022 pukul 16:00
WIT.

Anda mungkin juga menyukai