DI SUSUN OLEH
0
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan Rahmat dan Karunia-
Nya sehingga penyusunan makalah yang berjudul “Asuhan keperawatan sisem
gastrointestinal pada lansia” dapat selesai pada tepat waktunya. Makalah ini bertujuan
untuk memenuhi tugas yang ada di Mata Ajar Keperawatan Medikal Bedah II. Pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Ibu Ziska Herawati, S.Kep, Ns, MKM , selaku dosen pengajar mata ajar
Keperawatan Gerontik
2. Seluruh dosen yang mengajar di AKPER YJK
3. Serta teman-teman sejawat yang tak henti-hentinya membantu dalam pembuatan
makalah ini
Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
perbaikan makalah yang lebih baik lagi. Akhir kata, semoga makalah ini dapat dipetik
dan diambil manfaatnya untuk kita semua
Penulis
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
2.4 Faktor yang Mempengaruhi Fungsi Sistem Pencernaan Pada Lanjut Usia .......... 10
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Lanjut usia atau lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas
(Kementerian Kesehatan RI, 2017). Pertambahan jumlah lanjut usia akan menimbulkan
berbagai permasalahan kompleks bagi lansia, meliputi aspek fisi, biologis, mental,
maupun sosial ekonomi. Menurut data Susenas tahun 2012 menjelaskan bahwa angka
kesakitan pada lansia tahun 2012 di perkotaan adalah 24,77% artinya dari setiap 100
orang lansia di daerah perkotaan 24 orang mengalami sakit. Di pedesaan didapatkan
28,62% artinya setiap 100 orang lansia di pedesaan, 28 orang mengalami sakit
(Kementerian Kesehatan RI, 2016). Ma-salah kesehatan terbanyak yang dialami lansia
adalah penyakit degeneratif atau tidak menular yang terjadi akibat gaya hidup yang
tidak sehat.
1
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui anatomi sistem pencernaan.
2. Untuk mengetahui perubahan yang terjadi di sistem pencernaan pada lansia.
3. Untuk mengetahui perubahan kebutuhan nutrisi nutrisi pada lansia.
4. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi fungsi sistem pencernaan pada
lansia.
5. Untuk mengetahui masalah patologis yang terjadi pada lansia di sistem
gastrointestinal.
6. Untuk mengetahui asuhan keperawatan sistem gastrointestinal pada lansia.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Nutrisi adalah zat-zat gizi atau zat-zat lain yang berhubungan dengan kesehatan dan
penyakit, termasuk keseluruhan proses dalam tubuh manusia untuk menerima makanan
atau bahan-bahan dari lingkungan hidupnya dan menggunakan bahan-bahan tersebut
untuk aktivitas penting dalam tubuh serta mengeluarkan sisanya.
Penuaan dicirikan dengan kehilangan banyak sel tubuh dan penurunan metabolism
di sel lainnya. Proses ini menyebabkan penurunan fungsi tubuh dan perubahan
komposisi tubuh. Organ sistem pencernaan terdiri dari :
1. Mulut
2. Tenggorokan ( Faring)
3. Kerongkongan (Esofagus)
3
a. Lendir
Lendir melindungi sel-sel lambung dari kerusakan oleh asam lambung.
b. Asam klorida (HCl)
Keasaman lambung yang tinggi juga berperan sebagai penghalang terhadap
infeksi dengan cara membunuh berbagai bakteri.
c. Prekursor pepsin (enzim yang memecahkan protein)
4
a. Membantu pencernaan dan penyerapan lemak
b. Berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh, terutama
haemoglobin (Hb) yang berasal dari penghancuran sel darah merah dan
kelebihan kolesterol.
Menurut Ebersole, dkk (2014), pada lansia terdapat penurunan indra perasa atau
sense of taste khususnya manis dan asin serta penurunan sense of smell. Seseorang
dapat merasakan makan dimulut karena memiliki taste bund dan pada lansia taste bund
mengalami penurunan jumlah dan mengalami atropi (Meiner dan Lueckenotte, 2006).
Sehingga lansia mengalami perubahan rasa (disgeusia), kemampuan untuk merasakan
menurun (hypogeusia) dan tidak dapat merasakan beberapa rasa (ageusia). Mukosa
mulut juga mengalami perubahan berupa kehilangan elastisitas, atrofi sel epitel, dan
suplai darah berkurang ke jaringan ikat (Miller, 2012). Hal ini menjadi penting karena
kehilangan atau penurunan indra perasa dapat mengakibatkan penurunan nafsu makan
dari lansia itu sendiri.
Pada lansia mulut yang berfungsi mencerna makanan menjadi bolus juga
mengalami pe-rubahan fisiologis. Perubahan-perubahan tersebut seperti enamel gigi
menjadi lebih keras dan rapuh, dentin menjadi lebih berserabut, dan ruang saraf menjadi
pendek dan sempit me-nyebabkan gigi menjadi mudah tanggal (Miller, 2012). Meiner
dan Lueckenotte (2006) menambahkan tanggalnya gigi disebabkan juga karena
kerusakan jaringan disekitar gigi, dan resorpsi dan deposisi tulang yang terjadi secara
bersamaan. Menurut Miller (2012), pada lansia juga mengalami penurunan sekresi
saliva. Saliva berfungsi mensekresikan enzim percernaan, mengatur flora mulut,
remineralisasi gigi, meningkatkan nafsu makan, sebagai pelumas jaringan lunak dan
membantu mencerna makanan. Namun, biasanya penurunan sekresi saliva lebih banyak
terjadi akibat kondisi patologis dan efek dari penggunaan obat seperti analgesik dan
5
antikolinergik. Di dalam rongga mulut lansia juga mengalami perubahan neuromuskular
yaitu adanya penurunan kemampuan mengunyah dan menelan yang berkaitan dengan
kekuatan otot berkurang dan mengurangi tekanan lidah (Ney, dkk., 2009 dalam Miller,
2012).
Di usus halus, makanan telah berbentuk kimus yang siap dicerna menggunakan
enzim-enzim pencernaan dari usus kecil, hati, dan pankreas. Penuaan yang terjadi pada
lansia ber-pengaruh pada kekuatan otot di usus dalam gerakan peristaltik. Selain itu,
mukosa yang ber-tugas melicinkan permukaan juga mengalami penurunan jumlah.
Perubahan lain yang terjadi menurut Miller (2012) adalah adanya atrofi otot,
pengurangan jumlah folikel limfatik, pen-gurangan berat usus kecil, serta memendek
dan melebarnya vili. Perubahan struktur ini me-mang tidak berdampak signifikan pada
motilitas, permeabilitas, atau waktu pencernaan. Tetapi yang perlu diwaspadai adalah
perubahan ini dapat berdampak pada fungsi sistem imun dan absorpsi nutrien, seperti
folat, kalsium, vitamin B12 dan D (Ebersole,dkk, 2014). Penuaan dapat mengakibatkan
turunnya jumlah enzim laktase. Hal ini mengakibatkan penguraian nutrien makanan pun
6
lebih lama. Selain itu, lansia juga berpotensi mudah kembung karena lebih mudah
mengalami peningkatan jumlah bakteri. Hal ini memungkinkan adanya sakit pe-rut,
perut terlihat besar karena kembung. Bakteri dapat berbahaya jika berkembang terus-
menerus karena akan mengurangi absorpsi nutrisi tertentu seperti vitamin B12, zat besi,
dan kalsium (Ebersole, dkk, 2014).
Hati berperan dalam metabolisme protein, lemak dan karbohidrat, membunuh zat
toksik, dan mensekresi empedu. Hati dan kandung empedu sebagai organ aksesori
sistem Gastroin-testinal juga mengalami perubahan seperti hati menjadi lebih kecil,
berserat, terakumulasi lipofuscin (pigmen coklat), dan menurunnya aliran darah (Miller,
2012). Hal ini menyebabkan makanan yang masuk tidak di metabolisme dengan
sempurna untuk menghasilkan ATP untuk kerja sel tubuh serta zat toksik tidak dibunuh
dengan optimal sehingga lansia rentan terhadap penyakit. Kandung empedu
mensekresikan empedu setelah dirangsang oleh hati yang berfungsi untuk mencerna
lemak dalam tubuh. Namun semakin bertambahkan usia terjadi penurunan jumlah
sekresi empedu, pelebaran saluran empedu, peningkatan sekresi chol-ecystokinin
(Miller, 2012). Hal tersebut mengakitbatkan lemak tidak dimetabolisme dengan
sempurna, meningkatnya risiko terjadi batu empedu, dan menurunnya nafsu makan
(Miller, 2012).
Menurut Miller (2012), pankreas memiliki fungsi yang sangat esensial bagi
pencernaan. Sebagai kelenjar yang multifungsi, pankreas banyak memproduksi enzim-
enzim yang berperan dalam penetralan keasaman di kimus, pemecahan lemak, protein,
dan karbohidrat di usus halus. Peran yang tak kalah pentingnya yaitu fungsi pankreas
dalam pengaturan gula darah. Pankreas memproduksi hormon insulin dan glikogen yang
berfungsi sebagai pengatur kadar gula darah (Derrickson & Tortora, 2015). Penuaan
berpengaruh pada pengurangan berat pankreas, hiperplasia kelenjar, fibrosis, dan
pengurangan kecepatan respon sel B dalam pengaturan glukosa. Perubahan ini tidak
berdampak langsung dalam fungsi pencernaan. Na-mun yang cukup berbahaya adalah
penurunan kemampuan pengaturan metabolisme glukosa. Hal ini mengakibatkan lebih
rentannya lansia untuk terkena diabetes tipe 2 (Miller, 2012). Penambahan umur juga
mempengaruhi sekresi eksokrin dari pankreas yang dapat mengaki-batkan menurunnya
aliran enzim dan pengurangan produksi bikarbonat dan enzim.
7
Setelah semua nutrien di absorpsi di usus halus, kimus akan memasuki usus besar
atau kolon. Menurut Miller (2012), pada usus besar terjadilah proses absorpsi air dan
elektrolit, serta pembuangan zat sisa atau sampah metabolisme pencernaan. Proses
penuaan pada lansia berpengaruh pada beberapa hal, seperti pengurangan sekresi
mukus, pengurangan elastisitas dinding rektum, dan pengurangan kemampuan
mempersepsikan distensi dinding rektum. Hal ini lah yang menjadi faktor predisposisi
lansia mengalami konstipasi (Miller, 2012).
8
Pada umumnya lansia mengalami penurunan aktivitas yang menyebabkan
penurunan massa otot. Hal tersebut menyebabkan tingkat metabolisme lansia
menurun dan terjadi penurunan kebutuhan kalori. Menurut Tabolski (2014),
jumlah kalori yang sesuai untuk lansia adalah sekitar 1600 cal. Sumber kalori
seperti nasi dan roti.
3. Serat
Lansia dianjurkan untuk mengonsumsi serat dengan jumlah 10-15 gram,
sedangkan untuk orang dewasa sekitar 25-38 g/hari. Selain itu, lansia juga
dianjurkan untuk mengonsumsi 5 sampai 9 jenis buah dan sayur dengan jumlah
minimal 55% dari total konsumsi kalori. Diet serat ini berfungsi untuk
pencegahan dan treatment lansia dengan obesitas, diabetes, cardiovascular
disease, dan kanker kolorektal (Miller, 2012).
4. Kalsium
Kalsium berguna untuk menjaga kesehatan mineral tulang dan tingkat kalsium
plasma. Menurut Tabolski (2014), lansia dianjurkan mengonsumsi kalsium
dengan jumlah lebih dari 1200 mg/hari. Konsumsi kalsium yang tidak adekuat
dapat menyebabkan osteoporosis dan risiko periodontal disease. Sumber
kalsium seperti susu sapi, susu keledai, margarin, dan yogurt dengan rendah
lemak.
5. Air
Mengonsumsi cairan sangat penting bagi tubuh untuk pengaturan regulasi dan
membantu dalam proses metabolisme. Lansia mudah mengalami dehidrasi
akibat rasa haus yang mudah muncul, respon hormon yang berubah, dan
penurunan total air tubuh. Jumlah cairan yang dianjurkan untuk lansia
perempuan sekitar 2,7 L atau 9 gelas dan 3,7 L atau 13 gelas untuk laki-laki
(Tabolski, 2014). Biasanya 80% total air berasal dari oral intake, sedangkan
20% berasal dari makanan (Buyckx, 2009).
6. Lemak
Lemak berfungsi untuk pengaturan regulasi dan sebagai cadangan energi bagi
tubuh. Namun, karena lemak memiliki banyak dampak buruk seperti
hyperlipidemia, jumlah yang dianjurkan untuk lansia sekitar 10%-30% dari
9
intake kalori per hari (Miller, 2012). Sumber lemak nabati lebih baik daripada
hewani, misalnya alpukat.
2.4 Faktor yang Mempengaruhi Fungsi Sistem Pencernaan Pada Lanjut Usia
1. Kesehatan Oral
Komponen gigi pada lansia lebih keras dan mudah rapuh, serta ruang saraf yang
lebih pendek dan sempit menyebabkan penurunan sensitivitas terhadap rangsan-
gan yang dapat mengganggu proses mengunyah (Millier, 2012). Penurunan
produksi saliva berkurang sehingga mulut kering atau disebut juga dengan
xerostomia, saliva berfungsi sebagai peningkat nafsu makan (Kozier, 2008).
Kemampuan untuk merasa-kan makanan berada pada permukaan lidah.
Kemampuan untuk mendeteksi rasa manis tetap sama, namun rasa asin, asam,
dan pahit menurun. Kesulitan untuk merasakan makanan dipengaruhi juga oleh
sensitivitas olfactory dan sekresi saliva (Ebersole, 2013).
2. Masalah fungsional
Masalah fungsional seperti mobilitas atau gangguan pengelihatan dapat
berdampak pada kemampuan untuk mendapatkan dan menyiapkan makanan.
Disfagia mempengaruhi proses mengunyah, menelan, dan pemenuhan nutrisi
(Miller, 2012).
3. Obat-obatan
Konsumsi obat-obatan dapat memberikan efek samping terhadap pencernaan,
pola makan, dan pemanfaatan nutrisi. Contohnya seperti antibiotik spektrum
luas dapat mempengaruhi flora usus dan sintesis nutrisi (Miller, 2012).
4. Kebiasaan atau gaya hidup
Kebiasaan merokok atau minum alkohol dapat mempengaruhi fungsi sistem
pencernaan pada lansia. Merokok dapat menggangu sistem sensori pembau dan
perasa, dan mempengaruhi kemampuan mengabsorbsi vitamin C dan asam folat.
Kebiasaan minum alkohol menggangu penyerapan vitamin B-kompleks dan
vitamin C (Miller, 2012).
5. Faktor psikososial
Perubahan jadwal makan dan partisipasi pasangan dapat mempengaruhi nafsu
makan. Lansia akan sulit untuk menyiapkan makanan sehari-hari untuk keluarga
10
dan pasangannya setelah kehilangan pasangan atau salah satu anggota keluarga
(Miller, 2012).
6. Masalah Kongnitif
Dementia dapat mempengaruhi kemampuan lansia untuk menyiapkan ma-kanan,
mengingat waktu makan, mengunyah dan menelan makanan (Miller, 2012).
Keadaan ini dapat menyebabkan kehilangan berat badan dan ketidakadekuatan
nutrisi (Ebersole, 2013).
7. Faktor budaya, lingkungan, dan sosio-ekonomi
Latar belakang budaya, etnis, agama, dan sosial ekonomi mempengaruhi cara
dalam memilih, menyiapkan makanan. Lansia dengan kondisi medis tertentu
memer-lukan nutrisi yang spesifik, bila kelompok tidak memenuhi kebutuhan
lansia dengan tepat maka dapat memperburuk kondisi dan menghambat
penyembuhan. Lansia yang berasal dari sosial ekonomi rendah biasanya
memiliki kendala dalam pemenuhan nu-trisi (Miller, 2012).
8. Penyakit kronis
Penyakit kronis dapat mempengaruhi kemampuan lansia untuk berbelanja,
memasak, dan makan secara mandiri. Penyakit Parkinson dan Arthritis dapat
meng-gangu kemampuan makan, kanker juga dapat mengganggu nafsu makan
dan kemam-puan untuk mengkonsumsi nutrisi yang memadai (Ebersole, 2013).
11
adalah esophagitis, perdarahan, dan penyempitan bentuk. (Tabloski, 2014).
Lansia lebih berisiko terhadap komplikasi GERD karena paparan asam
esophagus yang berkepanjangan selama bertahun-tahun ditambah frekuensi
hiatal hernia yang lebih tinggi dan penggunaan obat yang berdampak pada
penurunan fungsi sphincter serta meningkatkan keparahan GERD pada lansia.
(Huether & McCance, 2012; Tabloski, 2014). Penatalaksanaan yang dapat
dilakukan adalah dengan mengubah gaya hidup yaitu melakukan elevasi tempat
tidur, minum air putih yang banyak, serta kurangi makanan yang menyebabkan
peningkatan asam seperti cokelat, bawang putih, bawang Bombay, tomat, dan
cuka. Medikasi yang dapat diberikan adalah proton pump inhibitor dan
histamine2 agonist yang dapat menekan produksi asam. (Tabloski, 2014)
2. Kolelitiasis
Gangguan yang sering terjadi pada kantung empedu yaitu kolelitiasis atau
pembentukan batu empedu karena perubahan fisiologi dengan penuaan termasuk
penurunan produksi asam empedu, peningkatan saturasi kolesterol empedu,
berkurangnya kontraksi kantung empedu, dan penurunan respon pada
kolesistokinin. (Reichel, et al., 2009). Angka kejadian kolelitiasis pada lansia
sejumlah 14% - 27%. (Reichel, et al., 2009). Gejala yang dapat dirasakan adalah
nyeri akut pada kuadran atas atau epigastrik. (Reichel, et al., 2009). Nyeri dapat
menjalar ke tulang belikat sehingga menyebabkan mual dan muntah, namun
seringnya penderita kolelitia-sis tidak menunjukkan gejala. (Reichel, et al.,
2009). Komplikasi yang dapat terjadi pada lan-sia adalah akut kolesistitis,
kolangitis asenden, atau kerusakan jaundice. (Reichel, et al., 2009). Pemeriksaan
diagnostik yang biasanya dilakukan adalah ultrasound. CT scan abdomen dapat
dilakukan jika batu empedu yang umum atau obstruksi saluran empedu diduga
ada. (Reichel, et al., 2009). Penatalaksanaan untuk kolelitiasis yang
menunjukkan gejala adalah laparoskopi koleksistektomi. (Reichel, et al., 2009).
3. Konstipasi
Konstipasi merupakan penurunan frekuensi defekasi yang normal pada klien,
diikuti dengan kesulitan evakuasi feses yang keras dan kering, serta sensasi tidak
lampias yang klien rasakan. menurut (NANDA, 2014). Angka kejadian
konstipasi meningkat seiring ber-tambahnya usia dan lebih sering ditemukan
12
pada pria. (Orozco, et al., 2012). Pada sebuah penelitian ditemukan 26% wanita
dan 16% lansia usia 65-83 tahun mengatakan bahwa mere-ka mengalami
konstipasi. (Orozco, et al., 2012). Penyebab dari konstipasi pada lansia yaitu
gangguan fungsional, kondisi patologis, efek pengobatan yang tidak diinginkan,
dan kebia-saan diet yang buruk (Miller, 2012). Gejalanya adalah frekuensi
defekasi dari semula 3x sehari jd 1-2x per minggu serta rasa tidak lampias saat
defekasi. (Miller, 2012). Angka kekambuhan konstipasi yang tinggi tidak hanya
menyebabkan penurunan kualitas hidup, tetapi juga dapat menyebabkan
komplikasi seperti impaksi fekal. (Orozco, et al., 2012). Pe-natalaksanaan yang
dapat dilakukan ada secara farmakologi dan non farmakologi. Pe-natalaksanaan
farmakologi yang biasa dilakukan adalah dengan memberikan obat-obatan lak-
satif. Selain itu, penatalaksanaan non farmakologi juga dapat dilakukan dengan
memberikan suplemen serat, hidrasi adekuat, serta peningkatan mobilitas.
(Miller, 2012).
4. Malnutrisi
Selain ketiga masalah diatas yang terjadi pada organ gastrointestinal tertentu,
terdapat pula masalah yang sering terjadi pada lansia terkait sistem
gastrointestinal yaitu malnutrisi. Malnutrisi pada lansia terbagi menjadi dua
yaitu undernutrition dan overnutrition. Pada pop-ulasi lansia, malnutrisi paling
banyak terjadi yaitu kekurangan gizi karena faktor risiko yang dapat
mempengaruhi sistem pencernaan, pola makan dan pemasukan nutrisi
(Miller,2012). Tabloski (2014) menjelaskan bahwa undernutrition merupakan
kekurangan nutrisi yang dibu-tuhkan lansia untuk perbaikan jaringan. Kondisi
malnutrisi yang lain adalah overnutrition yang identik dengan kejadian obesitas.
Depresi sering menjadi penyebab umum kehilangan berat badan. (Touhy & Jett,
2010). Malnutrisi dapat berdampak serius seperti infeksi, peptik ulser, anemia,
hipotensi, gangguan kognitif, dan peningkatan mortalitas serta morbiditas.
(Touhy & Jett, 2010). Protein-energy malnutrition (PEM) adalah bentuk
malnutrisi yang paling sering terjadi pada lansia. PEM dikarakteristikkan dengan
adanya tanda-tanda klinis (lemah otot dan BMI rendah) dan indikator
biochemical (albumin, kolesterol, atau perubahan protein lainnya). (Touhy &
13
Jett, 2010). Skrining dan pengkajian nutrisi komprehensif sangat penting untuk
mengidentifikasi lansia mengalami malnutrisi. (Touhy & Jett, 2010).
14
3. Osteoporosis yang sering kali terjadi pada wanita lansia akan mudah
mengakibatkan fraktur vertebra sehingga tinggi badan berkurang.
Penurunan tinggi badan tersebut mempengaruhi hasil penghitungan
IMT (Indeks Massa Tubuh). Oleh karena itu dianjurkan memakai
ukuran tinggi lutut (knee hight). Tinggi lutut tidak akan berkurang
kecuali terjadi fraktur tungkai bawah. Berikut rumusnya:
TB pria : 59,01 + (0,28 x TL cm)
TB wanita : 75,00 + (1,91 x TL cm) – (0,17 x U)
Jenis
Organ Hasil Normal Hasil Abnormal
Pemeriksaan
Rambut Bersih, tebal, lebat Kusam, tipis, atau jarang
menunjukkan malnutrisi
Mata Segar, tidak kering, Kering atau kusam menunjukkan
Inspeksi tidak kusam malnutrisi
Kulit Tidak ada ruam dan Terdapat ruam dan jamur pada
jamur pada lipatan lipatan menunjukkan adanya
bakteri
Rongga Bibir: pink, Bibir: kering, retak, pecah di
mulut lembab, simetris sudut menunjukkan kurangnya
15
Membran mukosa: Gusi: merah, bengkak,
merah muda, tersembunyi, kenyal atau rawan
lembab berdarah menunjukkan adanya
16
Auskultasi Abdomen Bising usus: Bising usus: tidak terdengar
terdengar pada menunjukkan obstruksi usus,
interval tidak konstipasi, pneumonia, atau
teratur (5-15 radang usus buntu
detik), penurunan Bising usus: cepat
bising usus biasa mengindikasikan diare
terjadi pada lansia Friction rubs mengindikasikan
akibat adanya tumor hepatik atau infark limfa
penurunan
motilitas lambung
Tidak ada friction
rubs
Rambut Lembab dan kuat Kering dan rapuh
mengindikasikan kekurangan
nutrisi
Kulit Halus, lemak Kasar, jaringan tipis
subkutan kurang mengindikasikan kekurangan
Palpasi
nutrisi
Leher Tidak ada Pembesaran kelenjar getah bening
pembesaran kelenjar di fosa supraklavikula kiri
getah bening menandakan adanya karsinoma
gastrointestinal metastatik.
Abdomen Kulit lembut Dinding abdomen aku
17
bergelombang konstipasi, impaksi fekal,
trombosis mesenterika, atau
kanker
18
endoskopi memiliki beberapa pertimbangan. Pemberian sedasi untuk
endoskopi pada lansia dapat memberikan beberapa efek yaitu hipotensi,
hipoksia, aritmia, dan aspirasi ketika dilakukan prosedur (Katsinelos, et
al, 2011 dalam Travis, Pievsky, Saltzman, 2012). Hal tersebut dapat
menimbulkan efek yang buruk untuk lansia tersebut. Untuk itu lansia
perlu diberikan sedasi dalam jumlah dosis yang rendah untuk mencegah
terjadinya kondisi tersebut. Terdapat beberapa jenis en-doskopi, namun
dari beberapa jenis tersebut, rata-rata komplikasi prosedur kolon-oskopi
meningkat seiring dengan meningkatnya usia khususnya komplikasi
perfosrasi. (Travis, Pievsky, Saltzman, 2012).
2. X-Ray. X-ray merupakan prosedur diagnostic dengan menggunakan x-
ray untuk mendapat-kan gambaran kondisi organ abdomen. X-ray
digunakan untuk mengidentifikasi tu-mor, obstruksi, iskemi usus,
kalsifikasi pankreas, penumpukan gas abnormal (yang menandakan
obstruksi usus), dan penyempitan.
3. MRI/CT-scan. CT-Scan dilakukan untuk mendapatkan gambaran tubuh
dan organnya secara hori-zontal. CT-Scan digunakan untuk mengkaji
divertikulitis akut dan pembentukan ab-ses, mendiagnosis kanker
kolorektal dan stadium tumor rektal.
4. Laboratorium : Urinalisis. Urinalisis dilakukan untuk dapat menunjukkan
status hidrasi lansia. Lansia dinyatakan mengalami dehidrasi jiika
konsentrasi urin tinggi (specific gravity mencapai diatas 1.030). (Miller,
2012). Pengecekan nilai darah. Nilai darah ini berfungsi untuk melihat
status nutrisi, namun selain itu juga dapat menunjukkan status hidrasi
lansia dari sodium, hematokrit, hemoglobin, kreatinin, osmolalitas, dan
nitrogen urea darah. Semua nilai tersebut jika mengalami peningkatan
berarti menunjukkan lansia dalam kondisi dehidrasi.
19
a. Kebersihan mulut dan gigi
b. Menggunakan sikat yang lunak serta pasta gigi yang mengandung uor.
c. Hindari pemakaian obat kusia, karena dapat menyebabkan kekeringan mulut
d. Hindari makanan manis seperti permen atau sejenisnya
e. Sehabis memakan makanan yang manis harus berkusia dan menyikat gigi
f. Minta pelayanan dokter gigi secara teratur, misalnya dua kali setahun
g. Bila menggunakan gigi palsu, copot di malam hari, rendam dalam air, dan
bersihkan saebelum dipakai lagi
20
Sedangkan diagnosa keperawatan yang mungkin muncul:
21
7. Diskusikan dengan ahli gizi untuk menentukan asupan kalori setiap hari supaya
mencapai dan atau mempertahankan berat badan sesuai target.
22
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perubahan fisiologis pada lansia yang berupa penuaan pada tiap sistem tubuh,
termasuk sistem Gastrointestinal (GI), baik dari segi fungsi anatomis maupun fisiologis
adalah hal yang normal. Sistem Gastrointestinal (GI) sendiri adalah suatu jalur
pemasokan nutrisi untuk menunjang pertumbuhan dan perbaikan sel melalui proses
ingestion, secretion, mixing and propulsion, digestion, dan absorption (Derrickson &
Tortora, 2015). Untuk menyesuaikan dengan perubahan fisiologis tersebut, lansia perlu
memodifikasi pemenuhan nutrisi agar terhindar dari berbagai penyakit-penyakit terkait
GI yang mungkin timbul (Miller, 2012).Pengkajian terkait sistem GI lansia perlu
dilakukan untuk mengetahui masalah mung-kin timbul pada sistem tubuh tersebut.
Pengkajian pada lansia perlu diiringi dengan pertim-bangan khusus agar informasi dapat
terkumpul secara maksimal. (Wallace, 2008). Penyakit patologis yang mungkin terjadi
ada lansia adalah gerd, kolelitiasis, konstipasi, dan malnutrsi
3.2 Saran
Perawat perlu mengetahui perubahan pada sistem tubuh lansia serta faktor-faktor
yang mempengaruhi, termasuk sistem GI yang normal dan tidak normal. Perawat juga
perlu mengetahui pengkajian yang harus dilakukan terkait sistem GI lansia serta teknik
pengkajian yang dilakukan agar terciptanya BHSP yang dapat mendukung keterbukaan
lansia pada perawat akan hal-hal yang dirasakan. Hal tersebut diperlukan untuk
mengetahui masalah-masalah yang mungkin timbul dan segera bertindak sebelum
masalah tersebut semakin parah dan mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
23
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, M. A. (2007). Caring for Older Adults Holistically, 4th Edition. Philadelphia:
F. A. Davis Company.
Buyckx, M. E. (2009). Hydration and human health: Critical issues update. Nutrition
Today, 44(1), 6–7.
Derrickson & Tortora. (2015). Principle of Anatomy & Phisiology 13th Ed. US : John
Wiley & Sons, Inc
Ebersole, P., Hess, P., Touhy, T., & Jett, K. (2013) Gerontological nursing & health
aging. St. Louis, Missouri: Mosby, Inc
Evelyn C.Pearce,cet. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk paramedic,.24,Jakarta: GM
Kementerian Kesehatan RI. (2014). Pedoman Gizi Seimbang. Retrieved from
http://gizi.depkes.go.id/download/Pedoman%20Gizi/PGS%20Ok.pdf.
Meiner, S. E., & Lueckenotte, A. G. (2006). Gerontologic nursing. Philadelphia: Mosby
Miller, C.A. (2012). Nursing for Wellness in Older Adults: Theory and Practice (6th
Ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkin.
Mitty, R. D. (2008). Gastrointestinal physiology (2nd Ed.). New York: Springer
Publishing Company. Retrieved from
http://search.proquest.com/docview/189462075?accountid=17242
Orozco, J. F. G., Amy E. F., Susan M. S., & Jean M. S. (2012). Chronic Constipation in
The Elderly. The American Journal of Gastroenterology /Volume 107. Retrieved
from http://gi.org/wp-content/uploads/2012/10/4-ajg2011349a.pdf
Potter, P.A. & Perry, A.G. (2013). Fundamentals of Nursing (8th Ed.). St Louis:
Elsevier Mosby
Reichel, W., Christine A., Jan B., Kenneth B., James G. O., & Mary H. P. (2009).
Reichel’s Care of The Elderly: Clinical Aspects of Aging 6th ed. UK: Cambridge
University.
Tabolski, Patricia A. (2014). Gerontological Nursing 3rd Edition. New Jersey: Pearson
Touhy, T.A., & Jett, K.F. (2014). Ebersole and Hess’ Gerontological Nursing &
Healthy Aging (4th Ed.). St Louis: Mosby Inc.
Travis A.C., Pievsky D., & Saltzman J.R. (2012). Endoscopy in The Elderly. The
American Journal of Gastroenterology, 107, 1495-1501
24