Pembimbing :
dr. Siti Taqwa, Sp.PD
Disusun Oleh :
Afif Husain Faizar (20360232)
Chandra Pratama (20360228)
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah mencurahkan nikmat dan
karunia-Nya sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas paper ini.
Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi besar Muhammad shalallahu
‘alaihiwasallam, yang telah membawa manusia dari zaman jahiliah ke alam yang penuh
ilmu pengetahuan ini.
Alhamdulillah berkat kemudahan yang diberikan Allah subhanahuwata’ala,
penulis dapat menyelesaikan tugas paper yang berjudul “KOLELITIASIS” Dalam
penyusunan paper ini, penulis mendapatkan beberapa hambatan serta kesulitan. Akan
tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak hal tersebut dapat teratasi. Oleh karena itu,
penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan paper ini, terutama kepada dr. Siti Taqwa, Sp.PD
selaku pembimbing. Semoga segala bantuan yang penulis terima akan mendapat
balasan yang setimpal dari Allah subhanahuwata’ala.
Adapun penulisan tugas paper ini dibuat sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti kegiatan kepaniteraan klinik senior bagian Ilmu Penyakit Dalam di Rumah
Sakit Umum Haji, Medan.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan masih banyak kekurangan dan
jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
yang ditujukan untuk membangun.
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit batu kandung empedu merupakan penyakit yang sudah dikenal sejak ribuan
tahun yang lalu. Pada abad ke-17 telah dicurigai sebagai penyebab penyakit pada manusia.
Batu empedu awalnya merupakan penyakit yang sering dijumpai di Negara Barat dan jarang
di negara berkembang. Tetapi dengan membaiknya keadaan social ekonomi, perubahan menu
diet ala Barat, serta perbaikan saran diagnosis khususnya ultrasonografi, prevalensi
penyakit empedu di Negara berkembang termasuk Indonesia cenderung meningkat.
(Ginting, 2011)
Prevalensi penyakit batu kandung empedu pada suku Indian di Amerika Serikat
mencapai tingkat yang tinggi yaitu sekitar 40-70%. Di Amerika Serikat insiden batu empedu
diperkirakan 20 juta orang, dengan 70% diantaranya didominasi oleh batu kolesterol dan 30%
sisanya terdiri dari batu pigmen dan komposisi yang bervariasi. Sedangkan di Asia prevalensi
berkisar antara 3-15%.(Ginting, 2011)
Di Indonesia angka kejadian penyakit batu kandung empedu diduga tidak berbeda jauh
dengan angka di Negara lain yang ada di Asia Tenggara. Berdasarkan penelitian di RSCM
Jakarta dari 51 pasien dibagian Hepatologi ditemukan 73% pasien yang menderita penyakit
batu empedu pigmen dan batu kolesterol pada 275 pasien.(Ginting, 2011)
Prevalensi penderita penyakit batu kandung empedu meningkat sehubungan dengan
usia dan dua kali lebih tinggi pada wanita dibanding pria. Perbedaan gender ini karna factor
hormone estrogen yang meningkatkan sekresi kolesterol empedu. Proses kehamilan
meningkatkan resiko batu empedu karena terjadinya gangguan pada proses pengosongan
kandung empedu. Gangguan pada proses ini disebabkan oleh penggabungan pengaruh antar
hormone estrogen dan hormone progesterone. Akibat penggabungan ini meningkatkan
hipersekresi kolesterol ke dalam empedu yang mempengaruhi pembentukan batu empedu.
Batu empedu yang mengandung material Kristal atau amorf dapat mempunyai berbagai
macam bentuk. Batu ini dibentuk di dalam vesika felea. Empedu terdiri dari larutan netral
dari garam empedu yang terikat (conjugated bile salts) dalam bentuk batrium, cholesterol,
fosfolipid dan pigmen empedu.
Insiden kolelitiasis dinegara Barat adalah 20% dan banyak menyerang orang dewasa
dan lanjut usia.kebanyakan kolelitiasis tidak bergejala atau bertanda. Angka kejadian
penyakit batu empedu dan penyakit saluran empedu di Indonesia diduga tidak berbeda jauh
1
dengan angka di Negara lain di Asia Tenggara dan sejak tahun 1980-an agaknya berkaitan
erat dengan cara diagnosis dengan ultrasonografi. (Sjamsuhidajat, 2017)
Di Negara Barat 10-15% pasien dengan batu empedu juga disertai batu saluran empedu.
Pada beberapa keadaan, batu saluran empedu dapat terbentuk primer didalam saluran empedu
intra atau ekstra hepatik tanpa melibatkan kandung empedu. Batu saluran empedu primer
lebih banyak ditemukan pada pasien di wilayah Asia dibandingkan dengan pasien di Negara
Barat. Perjalanan batu saluran empedu sekunder belum jelas benar, tetapi komplikasi akan
lebih sering dan berat dibandingkan batu kandung empedu.(Lesmana, 2007)
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
2.3 Fisiologi Saluran Empedu
Empedu diproduksi oleh sel hepatosit sebanyak 500-1500 ml/hari. Diluar waktu makan,
empedu disimpan untuk sementara di dalam kandung empedu, dan disini mengalami
pemekatan sekitar 50%.
Pengaliran cairan empedu diatur oleh 3 faktor, yaitu sekresi empedu oleh hati, kontraksi
kandung empedu, dan tahanan sfingter koledokus. Dalam keadaan puasa, empedu yang
diproduksi akan dialih-alirkan ke dalam kandung empedu. Setelah makan, kandung empedu
berkontraksi, sfingter relaksasi dan empedu mengalir ke dalam duodenum. Aliran tersebut
sewaktu-waktu seperti disemprotkan karena secara intermiten tekanan saluran empedu akan
lebih tinggi daripada tahanan sfingter.
Kolesistokinin (CCK) hormone sel APUD dari selaput lender usus halus, 1dikeluarkan
atas rangsang makanan berlemak atau produk lipolitik di dalam lumen usus. Hormone ini
merangsang nervus vagus sehingga terjadi kontraksi kandung empedu setelah makan.
(Sjamsuhidajat, 2017)
Pengosongan Kandung Empedu
Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial kandung empedu.
Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak kedalam duodenum. Lemak
menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa duodenum, hormon kemudian
masuk kedalam darah, menyebabkan kandung empedu berkontraksi. Pada saat yang sama,
otot polos yang terletak pada ujung distal duktus coledokus dan ampula relaksasi, sehingga
memungkinkan masuknya empedu yang kental ke dalam duodenum. Garam–garam empedu
dalam cairan empedu penting untuk emulsifikasi lemak dalam usus halus dan membantu
pencernaan dan absorbsi lemak. Proses koordinasi kedua aktifitas ini disebabkan oleh dua hal
yaitu (Guyton, 2014):
a. Hormonal
Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum akan merangsang
mukosa sehingga hormon Cholecystokinin akan terlepas. Hormon ini yang paling besar
peranannya dalam kontraksi kandung empedu.
b. Neurogen:
Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase Cephalik dari sekresi cairan lambung
atau dengan refleks intestino-intestinal akan menyebabkan kontraksi dari kandung
empedu.
5
Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke duodenum dan mengenai
Sphincter Oddi. Sehingga pada keadaan dimana kandung empedu lumpuh, cairan
empedu akan tetap keluar walaupun sedikit.
Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan neurologis maupun hormonal
memegang peran penting dalam perkembangan inti batu.
Metabolisme Billirubin
Bila sel darah merah sudah habis masa hidupnya (rata-rata 120 hari) dan menjadi terlalu
rapuh untuk bertahan dalam system sirkulasi, membrane selnya pecah dan hemoglobin yang
lepas difagositosis oleh jaringan makrofag (disebut juga system retikuloendotelial) di seluruh
tubuh. Hemoglobin pertama kali dipecah menjadi heme dan globin, dan cincin heme dibuka
untuk memberikan (1) besi bebas yang ditranspor ke dalam darah oleh transferin, dan (2)
rantai lurus dari empat inti pirol yaitu substrat yang nantinya akan dibentuk menjadi pigmen
empedu. Pigmen pertama yang dibentuk adalah biliverdin, tetapi pigmen ini dengan cepat
direduksimenjadi bilirubin bebas yang secara bertahap dilepaskan dari makrofag ke dalam
plasma. Bilirubin bebas dengan segera bergabung sangat kuat dengan albumin plasma dan
ditranspor dalam kombinasi ini melalui darah dan cairan interstitial. Sekalipun berikatan
dengan protein plasma, bilirubin ini masih disebut ”bilirubin bebas”.
Dalam beberapa jam, bilirubin bebas diabsorbsi melalui membrane sel hati. Sewaktu
memasuki sel hati, bilirubin dilepaskan dari albumin plasma dan segera setelah itu kira-kira
80 persen dikonjugasi dengan asam glukuronat membentuk bilirubin glikuronida, kira-kira 10
6
persen berkonjugasi dengan berbagai zat lainnya. Dalam bentuk ini, bilirubin dikeluarkan
melalui proses transpor aktif ke dalam kanalikuli empedu dan kemudian masuk ke usus.
Sekali berada dalam usus, kira-kira setengah dari bilirubin “konjugasi” diubah oleh
kerja bakteri menjadi urobilinogen yang mudah larut. Beberapa urobilinogen direabsorbsi
melalui mukosa usus kembali ke dalam darah. Sebagian besarnya diekskresikan kembali oleh
hati ke dalam usus, tetapi kira-kira 5 persen diekskresikan oleh ginjal ke dalam urin. Setelah
terpapar dengan udara dalam urin, urobilinogen teroksidasi menjadi urobilin. Sedangkan di
dalam feses, urobilinogen diubah dan dioksidasi menjadi sterkobilin. (Guyton, 2014)
2.5 Definisi
Kolelitiasis merupakan adanya atau pembentukan batu empedu; batu yang terdapat
dalam kandung empedu disebut kolesistolitiasis dan batu yang terdapat dalam saluran
empedu (ductus choledochus) disebut koledokolitiasis.(Sjamsuhidajat, 2017)
Sinonim kolelitiasis adalah batu empedu, gallstones, biliary calculus. Namun istilah
kolelitiasis lebih dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu
kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip
batu yang terbentuk di dalam kandung empedu.
7
Gambar 2.1 Batu dalam kandung empedu.
8
d. Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi
gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat
menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
e. Riwayat keluarga
Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar dibandingn
dengan tanpa riwayat keluarga.
f. Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis.
Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.
g. Penyakit usus halus
Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn disease,
diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.
h. Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi untuk
berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga
resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.
2.7 Klasifikasi
Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di
golongkankan atas 3 (tiga) golongan, yaitu (Sjamsuhidajat, 2017):
a) Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70% kolesterol.
b) Batu kalsium bilirubinan (pigmen coklat)
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung kalsium-
bilirubinat sebagai komponen utama.
c) Batu pigmen hitam
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan kaya akan
sisa zat hitam yang tak terekstraksi.
9
2.8 Patofisiologi
a. Batu Kolesterol
Pembentukan batu Kolesterol melalui tiga fase yaitu (Guyton, 2014):
a. Fase Supersaturasi
Kolesterol, phospolipid (lecithin) dan garam empedu adalah komponen yang tak larut
dalam air. Ketiga zat ini dalam perbandingan tertentu membentuk micelle yang mudah larut.
Di dalam kandung empedu ketiganya dikonsentrasikan menjadi lima sampai tujuh kali lipat.
Pelarutan kolesterol tergantung dari rasio kolesterol terhadap lecithin dan garam empedu,
dalam keadaan normal antara 1 : 20 sampai 1 : 30. Pada keadaan supersaturasi dimana
kolesterol akan relatif tinggi rasio ini bisa mencapai 1 : 13. Pada rasio seperti ini kolesterol
akan mengendap.
Kadar kolesterol akan relatif tinggi pada keadaan sebagai berikut:
Peradangan dinding kandung empedu, absorbsi air, garam empedu dan lecithin jauh
lebih banyak.
Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol lebih tinggi sehingga terjadi
supersaturasi.
Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol (western diet).
Pemakaian obat anti kolesterol sehingga mobilitas kolesterol jaringan tinggi.
Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun misalnya pada gangguan ileum
terminale akibat peradangan atau reseksi (gangguan sirkulasi enterohepatik).
Pemakaian tablet KB (estrogen) sekresi kolesterol meningkat dan kadar
chenodeoxycholat rendah, padahal chenodeoxycholat efeknya melarutkan batu kolesterol dan
menurunkan saturasi kolesterol. Penelitian lain menyatakan bahwa tablet KB pengaruhnya
hanya sampai tiga tahun.
b. Fase Pembentukan inti batu
Inti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau heterogen. Inti batu heterogen bisa
berasal dari garam empedu, calcium bilirubinat atau sel-sel yang lepas pada peradangan. Inti
batu yang homogen berasal dari kristal kolesterol sendiri yang menghadap karena perubahan
rasio dengan asam empedu.
c. Fase Pertumbuhan batu menjadi besar
Untuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk harus cukup waktu untuk bisa
berkembang menjadi besar. Pada keadaan normal dimana kontraksi kandung empedu cukup
kuat dan sirkulasi empedu normal, inti batu yang sudah terbentuk akan dipompa keluar ke
10
dalam usus halus. Bila konstruksi kandung empedu lemah, kristal kolesterol yang terjadi
akibat supersaturasi akan melekat pada inti batu tersebut. Hal ini mudah terjadi pada
penderita Diabetes Mellitus, kehamilan, pada pemberian total parental nutrisi yang lama,
setelah operasi trunkal vagotomi, karena pada keadaan tersebut kontraksi kandung empedu
kurang baik. Sekresi mucus yang berlebihan dari mukosa kandung empedu akan mengikat
kristal kolesterol dan sukar dipompa keluar.
Kolesterol normalnya tidak akan mengendap di empedu karena empedu mengandung
garam empedu terkonjugasi dan fosfatidilkolin dalam jumlah cukup agar kolesterol berada di
dalam larutan misel. Jika rasio konsentrasi meningkat, kolesterol dalam kisaran yang kecil
akan tetap berada di dalam larutan misel yang sangat jenuh. Kondisi yang sangat jenuh ini
juga mungkin karena hati juga menyekresi kolesterol dalam bentuk konsentrasi tinggi di
dalam nucleus vesikel yang berdiameter 50-100 nm. Jika kandungan kolesterol relative
semakin meningkat, akan dibentuk vesikel multimisel (hingga 1000 nm). Zat ini kurang stabil
dan akan melepaskan kolesterol dan kemudian diendapkan pada lingkungan cairan dalam
bentuk Kristal kolesterol. Penyebab peningkatan rasio yang penting yaitu :
Peningkatan sekresi kolesterol
Hal ini terjadi karena peningkatan sintesis kolesterol (peningkatan aktifitas 3-hidroksi-
3-metilglutaril [HMG]-KoA-kolesterol reduktase) atau penghambatan esterifikasi kolesterol,
misalnya oleh progesteron selama kehamilan (penghambat asetil-KoA-kolesterol-asetil
tranferase [ACAT].
Penurunan sekresi garam empedu
Hal ini terjadi karena penurunan simpanan garam empedu, seperti pada penyakit Crohn
atau setelah reseksi usus atau karna sekuestrasi garam empedu yang memanjang di kandung
empedu, seperti pada puasa (bahkan pada puasa yang hanya berlangsung semalam) atau pada
pemberian nutrisi parenteral yang dapat menurunkan sirkulasi enterohepatika garam empedu
sehingga sekresinya ke dalam empedu berkurang.
Penurunan sekresi fosfatidilkolin
Sebagai penyebab batu kolesterol telah ditemukan pada perempuan chili, yang
hidupnya hampir hanya dengan memakan sayur-sayuran.
11
12
b. Batu bilirubin/Batu pigmen
Batu bilirubin dibagi menjadi dua kelompok yaitu:
a. Batu Calcium bilirubinat (batu infeksi).
b. Batu pigmen murni (batu non infeksi).
Pembentukan batu bilirubin terdiri dari 2 fase yaitu :
a. Saturasi bilirubin
Pada keadaan non infeksi, saturasi bilirubin terjadi karena pemecahan eritrosit yang
berlebihan, misalnya pada malaria dan penyakit Sicklecell. Pada keadaan infeksi saturasi
bilirubin terjadi karena konversi konjugasi bilirubin menjadi unkonjugasi yang sukar larut.
Konversi terjadi karena adanya enzim b glukuronidase yang dihasilkan oleh Escherichia Coli.
Pada keadaan normal cairan empedu mengandung glokaro 1,4 lakton yang menghambat kerja
glukuronidase.
b. Pembentukan inti batu
Pembentukan inti batu selain oleh garam-garam calcium dan sel bisa juga oleh bakteri,
bagian dari parasit dan telur cacing. Tatsuo Maki melaporkan bahwa 55 % batu pigmen
dengan inti telur atau bagian badan dari cacing ascaris lumbricoides. Sedangkan Tung dari
Vietnam mendapatkan 70 % inti batu adalah dari cacing tambang.
Sebagian besar terdiri atas kalsium bilirubinat (sekitar 50%) yang akan memberikan
warna hitam atau coklat. Batu hitam juga mengandung kalsium karbonat dan fosfat,
sedangkan batu coklat juga mengandung stearat, palmitat dan kolesterol. Peningkatan jumlah
bilirubin tidak terkonjugasi dalam empedu, yang hanya larut dalam misel, merupakan
penyebab utama pembentukan pigmen batu; normalnya empedu hanya mengandung 1-2%.
Penyebab meningkatnya konsentrasi bilirubin tidak terkonjugasi adalah :
Peningkatan pelepasan hemoglobin, missal pada anemia hemolitik. Karena jumlah
bilirubin yang sangat banyak, proses konjugasi yang diperantarai oleh glukuronidase di hati
tidak dapat memenuhi kebutuhan.
Penurunan kemampuan konjugasi di hati, misalnya pada sirosis hati.
Dekonjugasi bilirubin non-enzimatik (terutama monoglukuronat) di empedu
Dekonjugasi enzimatik (β-glukosidase) oleh bakteri.
Dekonjugasi enzimatik hampir selalu merupakan penyebab batu pigmen coklat. Bakteri
juga mendekonjugasi garam empedu secara enzimatik (penurunan pembentukan misel
dengan pengendapan kolesterol) dan melepaskannya melalui fosfolipase A 2, palmitat dan
stearat (dari fosfatidilkolin) yang akan mengendap sebagai garam kalsium. Batu hitam,
13
terutama dibentuk oleh tiga mekanisme pertama yang telah disebutkan di atas, disamping
komponen lain juga mengandung kalsium karbonat dan fosfat. Kalsium karbonat dan fosfat
diduga terbentuk karena kemampuan kandung empedu untuk melakukan pengasaman
menurun.
14
fisik didapatkan nyeri tekan hipokondrium kanan, dapat teraba pembesaran kandung empedu
dan tanda Murphy positif. Dapat juga timbul ikterus. Ikterus dijumpai pada 20 % kasus,
umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila kadar bilirubin tinggi, perlu
dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatic.
Kolik bilier merupakan keluhan utama pada sebagian besar pasien. Nyeri viseral ini
berasal dari spasmetonik akibat obstruksi transient duktus sistikus oleh batu. Dengan istilah
kolik bilier tersirat pengertian bahwa mukosa kandung empedu tidak memperlihatkan
inflamasi akut.
Kolik bilier biasanya timbul malam hari atau dini hari, berlangsung lama antara 30–60
menit, menetap, dan nyeri terutama timbul di daerah epigastrium. Nyeri dapat menjalar ke
abdomen kanan, ke pundak, punggung, jarang ke abdomen kiri dan dapat menyerupai angina
pektoris. Kolik bilier harus dibedakan dengan gejala dispepsia yang merupakan gejala umum
pada banyak pasien dengan atau tanpa kolelitiasis. (Garden, 2007; Beat, 2008).
Batu saluran empedu (BSE) kecil dapat masuk ke duodenum spontan tanpa
menimbulkan gejala atau menyebabkan obstruksi temporer di ampula vateri sehingga timbul
pankreatitis akut dan lalu masuk ke duodenum (gallstone pancreatitis). BSE yang tidak keluar
spontan akan tetap berada dalam saluran empedu dan dapat membesar. Gambaran klinis
koledokolitiasis didominasi penyulitnya seperti ikterus obstruktif, kolangitis dan pankreatitis.
(Sjamsuhidajat, 2017)
15
2.10 Diagnosis
a. Anamnesis
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimtomatis. Keluhan yang
mungkin timbul adalah dispepdia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan berlemak.
Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas
atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih
dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri
kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba.
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu, disertai
mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri berkurang
setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan
bertambah pada waktu menarik nafas dalam. (Sjamsuhidajat, 2017)
b. Pemeriksaan Fisik
Batu kandung empedu
Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti
kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu, empiema
kandung empedu, atau pangkretitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan
punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila
nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu
yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas.
Batu saluran empedu
Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang teraba
hatidan sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl,
gejal ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu bertambah berat, akan timbul
ikterus klinis.
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan pada
pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis.
Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat
penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin
disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin
juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut.
16
d. Pemeriksaan radiologis
Foto polos Abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya
sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu
yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos.
Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung
empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan
gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatica.
17
Gambar 2.3 Hasil
USG pada kolelitiasis
Kolesistografi
Untuk penderita
tertentu, kolesistografi
dengan kontras cukup baik
karena relatif murah,
sederhana, dan cukup akurat
untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi
oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl,
okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat
mencapai hati. Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung
empedu.
2.11 Penatalaksanaan
18
a. Non Bedah
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang
hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi makanan
berlemak. Selain itu tatalaksana non bedah terdiri dari atas lisis batu dan pengeluaran secara
endoskopik. Selain itu dapat dilakukan pencegahan kolelitiasis pada orang yang cenderung
memiliki empedu litogenik dengan mencegah infeksi dan menurunkan kadar kolesterol serum
dengan cara mengurangi asupan atau menghambat sintesis kolesterol. Obat golongan statin
dikenal dapat menghambat enzim HMG-CoA reduktase. (Lesmana, Sjamsuhidajat 2017):
Lisis batu
Disolusi batu dengan sediaan garam empedu kolelitolitik mungkin berhasil pada batu
kolesterol. Terapi berhasil pada separuh penderita dengan pengobatan selama satu sampai dua
tahun. Lisis kontak melalui kateter perkutan kedalam kandung empedu dengan metilbutir eter
berhasil setelah beberapa jam. Terapi ini merupakan terapi invasive tetapi kerap disertai
penyulit.
Pembedahan memang dilakukan untuk batu kandung empedu yang simtomatik.
Masalahnya, perlu ditetapkan apakah akan dilakukan kolesistektomi profilaksis secara efektif
pada yang asimtomatik. Indikasi kolesistektomi elektif konvensional maupun laparoskopik
adalah kolelitiasis asimtomatik pada penderita diabetes mellitus karena serangan kolelitiasis
akut dapat menimbulkan komplikasi berat. Indikasi lain adalah kandung empedu yang tidak
terlihat pada kolesistografi oral, yang menandakan stadium lanjut, atau kandung empedu
dengan batu besar, berdiameter lebih dari 2 cm karena batu yang besar lebih sering
menimbulkan kolesistitis akut disbanding dengan batu yang lebih kecil. Indikasi lain asalah
klasifikasi kandung empedu karena dihubungkan dengan kejhadian karsinoma. Pada semua
keadaan tersebut dianjurkan kolesistektomi.
Pengeluaran secara endoskopik.
Apabila setelah tindakan diatas keadaan umum tidak membaik atau kondisi penderita
malah semakin memburuk, dapat dilakukan sfingterotomi endoskopik untuk menyalir
empedu dan nanah dan membersihkan duktus koledokus dari batu. Kadang dipasang pipa
nasobilier.
Cara ini juga berhasil melalui sfingterotomisfingter Oddi di papilla Vater, yang
memungkinkan batu keluar secara spontan atauu melalui kateter Fogarty atau kateter basket.
Indikasi lain dari sfingterotomi endoskopik ialah adanya riwayat kolesistektomi. Apabila batu
duktus koledokus besar, yaitu berdiameter lebih dari 2 cm, sfingterotomi endoskopik
19
mungkin tidak dapat mengeluarkan batu ini. Pada penderita ini dianjurkan litotripsi lebih
dahulu untuk mengeluarkan batu duktus koledokus secara mekanik melalui papilla vater
dengan alat ultrasonic atau laser. Umumnya penghancuran ini dilakukan bersama-sama atau
dilengkapi dengan sfingterotomi endoskopik.
Penyaliran bilier transhepatik perkutan (percutaneous transhepatic biliar drainage=
PTBD) biasanya bersifat darurat dan sementara sebagai salah satu alternative untuk
mengatasi sepsis pada kolangitis berat, atau mengurangi ikterus berat pada obstruksi saluran
empedu distal karena keganasan. Pada pasien dengan pipa T pada saluran empedu dapat juga
dimasukkan koledoskop dari luar untuk membantu mengambil batu intrahepatik.
Pada Koledokolitiasis.
Penderita yang menunjukkan gejala kolangitis akut harus dirawat dan dipuasakan.
Apabila ada distensi perut, dipasang pipa lambung. Dilakukan koreksi gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit, penanganan syok, pemberian antibiotika sistemik dan
pemberian vitamin K sistemik kalau ada koagulapati. Biasanya keadaan umum dapat
diperbaiki dalam waktu 24-48 jam.
b. Bedah
Pilihan penatalaksanaan bedah antara lain (Sjamsuhidajat, 2017):
a) Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga kolelitiasis
simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus
biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini
kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris
rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
b) Kolesistektomi laparaskopi
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya kolesistitis
akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan
prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus koledokus.
Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat
mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat
kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan
adalah kemanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi seperti cedera
duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi laparaskopi.
20
Gambar 2.5 Tindakan kolesistektomi
c) Disolusi medis
Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah digunakan adalah angka
kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat disolusi hanya memperlihatkan
manfaatnya untuk batu empedu jenis kolesterol. Penelitian prospektif acak dari asam
xenodeoksikolat telah mengindikasikan bahwa disolusi dan hilangnnya batu secara lengkap
terjadi sekitar 15%. Jika obat ini dihentikan, kekambuhan batu tejadi pada 50% pasien.
d) Disolusi kontak
Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol yang poten (metil-ter-
butil-eter (MTBE)) ke dalam kandung empedu melalui kateter yang diletakkan per kutan
telah terlihat efektif dalam melarutkan batu empedu pada pasien-pasien tertentu. Prosedur ini
invasif dan kerugian utamanya adalah angka kekambuhan yang tinggi (50% dalam 5 tahun).
e) Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)
Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat pad saat ini
memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang telah benar-benar
dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.
f) Kolesistotomi
Kolesistotomi yang dapat dilakukan dengan anestesia lokal bahkan di samping tempat
tidur pasien terus berlanjut sebagai prosedur yang bermanfaat, terutama untuk pasien yang
sakitnya kritis.
2.12 Komplikasi
21
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis:
a. Asimtomatik
b. Obstruksi duktus sistikus
c. Kolik bilier
d. Kolesistitis akut
Empiema
Perikolesistitis
Perforasi
e. Kolesistitis kronis
Hidrop kandung empedu
Empiema kandung empedu
Fistel kolesistoenterik
Ileus batu empedu (gallstone ileus)
2.13 Pencegahan
Pada kasus kolelitiasis jumlah kolesterol dalam empedu ditentukan oleh jumlah lemak
yang dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis kolesterol dari metabolisme lemak, sehingga
pasien dianjurkan atau dibatasi dengan makanan cair rendah lemak. Menghindari kolesterol
yang tinggi terutama yang berasal dari lemak hewani. Suplemen bubuk tinggi protein dan
karbohidrat dapat diaduk ke dalam susu skim dan adapun makanan tambahan seperti: buah
yang dimasak, nasi ketela, daging tanpa lemak, sayuran yang tidak membentuk gas, roti, kopi
atau teh. (Sjamsuhidajat et al, 2017)
BAB III
22
LAPORAN KASUS
No RM : 00364247
Ruangan : Jabal Rahmah B4
ANAMNESA PRIBADI
Nama : Ahyar Hasibuan
Umur : 59 tahun
Status kawin : Kawin
Agama : Islam
Pekerjaan : wiraswasta
Alamat : pasar vii dsn ix gg. Melon tembung deli sedang percut sei tuan
ANAMNESA PENYAKIT
Keluhan Utama : Nyeri perut
Telaah
Pasien datang ke IGD RS Haji Medan dengan keluhan sakit perut sebelah kanan
bagian kanan atas sejak ± 2 hari yang lalu , pasien juga mengeluhkan nyeri menjalar sampai
ke ulu hati. Pasien juga mengeluhkan nyeri menjalar sampai ke punggung dan bahu di sebelah
kanan. Sehingga sakit untuk di gerakkan.
Pasien juga mengatakan sulit tidur dikarnakan rasa nyeri itu. Pasien mengatakan
sebelumnya pada bulan mei 3 hari sebelum lebaran mengalami keluhan yang sama. Nyeri
perut kanan, dan nyeri yang dirasakan hilang timbul. Kemudian pasien mengatakan mual (+)
muntah (+). Pasien juga merasakan demam sudah 2 hari yang lalu. Dan pasien mengeluhkan
batuk sesekali disertai dahak.
Pasien mengatakan pasien mempunyai R. Penyakit batu empedu setelah terdiagnosa
dari RS islam Malahayati pada tanggal 12 juni 2021 dan dirujuk ke RSU Haji Medan kota.
BAB : sulit BAB, 2 hari, kemudian BAB warna putih pucat, kecoklatan
BAK : 5x/ hari, warna kuning pekat seperti air teh
2. SIRKULASI PERIFER
B. USUS
Claudio Intermitten : Tidak
Sakit di abdomen : Ya
Sakit waktu istirahat : Tidak
Borborygmi : Tidak
Rasa mati diujung jari : Tidak
Obstupasi : Tidak
Gangguan Tropis : Tidak
Defekasi (freq, warna, konsistensi )
Kebas-kebas : Tidak
: Ya (1-2x/hari, berwarna coklat
kehitaman, lembek)
3. TRACTUS RESPIRATORUS
Diare(freq,warna, konsistensi):Tidak
Batuk : Tidak
Melena : tidak
Berdahak : Tidak
Tenesmi : Tidak
Haemaptoe : Tidak
Flatulensi : Tidak
Sakit dada waktu bernafas : Tidak
Haemorhoid : Tidak
Stridor : Tidak
Sesak nafas : Tidak
C. HATI DAN SALURAN EMPEDU
Pernafasan cuping hidung : Tidak
Sakit perut kanan : Ya
24
Memancar ke 8. OTOT
Kolik : ya Sakit : Tidak
Ikterus : Ya Kebas-kebas : Tidak
Gatal dikulit : Tidak Kejang-kejang : Tidak
Asites : Tidak Atrofi : Tidak
Oedema : Tidak
Berak dempul : Tidak 9. DARAH
Sakit dimulut dan lidah : Tidak
5. GINJAL DAN SALURAN KENCING Mata berkunang-kunang : Tidak
Muka Sembab : Tidak Pembengkakan kelenjar : Tidak
Kolik : Tidak Merah di kulit : Tidak
Miksi (freq,warna,sebelum/sesudah Muka Pucat : ya
miksi, mengedan) : 5x/hari, berwarna Bengkak : Tidak
kuning seperti teh dan tuntas Penyakit Darah : Tidak
Polyuria : Tidak Pendarahan sub kutan : Tidak
Sakit pinggang : Tidak
memancar ke 10. ENDOKRIN
Oliguria : Tidak a. Pankreas
Anuria : Tidak Polidipsi : Tidak
Polakisuria : Tidak Polifagi : Tidak
Poliuri : Tidak
6. SENDI Pruritus : Tidak
Sakit : Tidak Pyorrhea : Tidak
Sendi Kaku : Tidak
Merah : Tidak b. Tiroid
Sakit digerakan : Tidak Nervositas : Tidak
Bengkak : Tidak Exoftalmus : Tidak
Stand Abnormal : Tidak Struma : Tidak
Miksodem : Tidak
7. TULANG
Sakit : Tidak c. Hipofisis
Bengkak : Tidak Akromegali : Tidak
Fraktur Spontan : Tidak Distrifi adipos : Tidak
Deformitas : Tidak kongenital
25
11. FUNGSI GENITALIA
Menarche :-
Siklus Haid :-
Menopause :-
G/P/A :-
Ereksi : Tidak
ditanyakan
Libido Seksual : Tidak
ditanyakan
Coitus : Tidak
ditanyakan
ANAMNESA INTOKSIKASI :
Tidak ada
ANAMNESA MAKANAN :
Nasi : Ya Freq : 3x/hari
Ikan : Ya
Sayuran : Ya
Daging : Ya
ANAMNESA FAMILY :
Penyakit-penyakit Family : Tidak ada
Penyakit seperti orang sakit : Tidak ada
Anak-anak 5, Hidup 5, Mati 0
27
STATUS PRAESENS :
KEADAAN UMUM
Sensorium : Compos mentis
Tekanan Darah : 124/65 mmHg
Temperatur : 37° C
Pernafasan : 20x/menit, Reg, Tipe pernafasan (Thoraxal Abdominal)
Nadi : 70x/menit, Equal , Teg / Vol ( Sedang )
KEADAAN PENYAKIT :
Anemi : ya
Ikterus : Ya
Sianosis : Tidak
Dispnoe : Tidak
Edema : Tidak
Eritema : tidak
Turgor : Baik
Gerakan aktif : menurun
Sikap Tidur paksa : Tidak
KEADAAN GIZI :
BB : 40 KG
TB : 160 CM
RBW = 68% Kesan : undernutrition
IMT = 16,01kg/cm² Kesan : kurus
28
Exoftalmus : Tidak Reaksi Pupil : Isokor
Ptosis : Tidak Gangguan local : Tidak
Ikterus : Ya
Anemia : Ya
c. Telinga h. Tonsil
Sekret : Tidak Merah : Tidak
Radang : Tidak Bengkak : Tidak
Bentuk : Beslag : Tidak
Normal Membran : Tidak
Atrofi : Tidak Agina Lacunaris : Tidak
Pyrroe Alveolaeris : Tidak
d. Hidung 2. LEHER
Sekret : Tidak Inspeksi
Bentuk : Tidak Struma : Tidak
Benjolan-benjolan : Tidak Kelenjar Bengkak : Tidak
Pulsasi Vena : Tidak
e. Bibir Torticolis : Tidak
Sianosis : Tidak Venektasi : Tidak
Pucat : Tidak
Kering : Tidak
Radang : Tidak Palpasi
Posisi Trachea :
f. Gigi Normal
Karies : Tidak Sakit / Nyeri Tekan : Tidak
Pertumbuhan : Tidak TVJ : R-2
Jumlah : Tidak cmH20
dihitung Kosta Servikalis : Tidak
29
Bendungan Vena : Tidak
Ketinggalan bernafas : Tidak Auskultasi
30
Penonjolan-penonjolan : Tidak Gembung : Tidak
Sirkulasi Collateral : Tidak
Pulsasi : Tidak
Perkusi
Suara perkusi paru : Sonor Palpasi
Ka=Ki Defens Muscular : Tidak
Gerakan bebas : 2 cm Nyeri Tekan : Ya
Batas bawah paru : Lien : Normal
a. Kanan : Ren : Normal
IX Proc.Spin. Vert. Thoracal Hepar Teraba : Ya
b. Kiri :
Perkusi
IX Proc.Spin.Vert. Thoracal
Pekak Hati : Ya
Pekak Beralih : Tidak
Auskultasi
Auskultasi
Suara Pernafasan :
Peristaltik usus : 10x/menit
Vesikuler Ka = Ki
Suara Tambahan : Tidak
6. GENITALIA
Luka : Tidak
Sikatrik : Tidak
Nanah : Tidak
Hernia : Tidak
7. EKSTREMITAS
Atas Dexra Sinistra
Bengkak : Tidak Tidak
Merah : tidak tidak
Stand Abnormal : Tidak Tidak
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
RUTIN :
DARAH
Darah Rutin
Hemoglobin 11.2 g/dl
Eritrosit 3.69 Juta/Ul
Leukosit 9.00 /Ul
Hematokrit 31.6 %
Trombosit 389 /Ul
Index Eritrosit
MCV 86 Fl
MCH 30 Pg
MCHC 35 %
Jenis Leukosit
Eosinofil 0 %
Basofil 0 %
Limfosit 22 %
Monosit 5 %
Fungsi Hati
AST (SGOT) 71.0 u/L
ALT (SGPT) 67.0 u/L
Albumin - g/dL
Fungsi Ginjal
Ureum - mg/dL
Kreatinin - mg/dL
Glukosa 283 mg/dL
Darah
32
PEMERIKSAAN USG
Hasil Pemeriksaan :
- Hati : ukuran normal, tepi halus, prankim homogen
- GB : stone multiple (+)± 1,9 cm, sludge (+), CBD dilatasi
- Right kidney : normal sonography
- Left kidney : normal sonography
RESUME
Anamnesa Utama : Nyeri perut
Telaah
Nyeri perut bagian kanan ± 2 bulan yang lalu
Mual ±
Muntah ±
Nyeri region hipokondrium dextra
Nafsu makan menurun
BB menurun
Mata kuning
Demam
BAB : sulit BAB, kemudian BAB berwarna putih pucat, kecoklatan
BAK : 5x/ hari, warna kuning pekat seperti air teh
RPT : batu empedu
RPK : Tidak ada
RPO : pasien tidak ingat
R. Alergi : Tidak ada
R. Kebiasaan : pasien merokok, sering minum kopi, jarang berolahraga
STATUS PASIEN
Keadaan Umum Keadaan Penyakit Keadaaan Gizi
Sensorium : Composmentis Anemia : ya TB : 160 CM
Tekanan Darah : 124/65 mmHg Ikterus : Ya BB : 41KG
Nadi : 120x/ menit Sianosis : Tidak
Nafas : 20x/menit Dysponoe : Tidak RBW = 68%
Suhu : 37° C Edema : Tidak Kesan : undernutrition
Eritema : tidak
Turgor : Baik IMT : 16,01 kg/cm²
Gerakan Aktif : Ya Kesan : kurus
Sikap paksa : Tidak
PEMERIKSAAN FISIK
Kepala : Sklera Ikterik (+ | +)
Leher : Dalam Batas Normal
Thorax : Jantung dan Paru dalam batas normal
Abdomen : Palpasi : Nyeri tekan regio hipokondrium dextra(+), distensi (+), Asites (-),
Hepatomegali (-) Hepar teraba 2cm arcus coste dan 3cm prosesus shipoideus
Ektremitas : Eritema Palmaris (+)
PEMERIKSAAN LABORATORIUM :
Darah : Hemoglobin (11,2), Eritrosit ( 3.69 ), Leukosit (900), Hematokrit ( 31.6),
Trombosit (389 Limfosit (22), MCV (86), MCH (30), MCHC (35), Eosinofil (0), Basofil
(0), Monosit (5), ( SGOT (71,0) , SGPT (67.0),
Urin :-
Tinja :-
Dll : Glukosa Darah (283)
PEMERIKSAAN USG
Hasil Pemeriksaan :
- Hati : ukuran normal, tepi halus, prankim homogen
- GB : stone multiple (+)± 1,9 cm, sludge (+), CBD dilatasi
- Right kidney : normal sonography
- Left kidney : normal sonography
TERAPI :
Aktivitas : Tirah Baring
Diet : Diet rendah lemak, cukup kalori, tinggi cairan
Medikamentosa :
Infus RL 20 gtt/i
Inj. Ceftriaxone 19/12jam
Inj. Metronidazole 1fls/8 jam
Inj. Ketorolac 1amp/8 jam
Inj. Ranitidine 1 amp/12 jam
Paracetamol 3x1
BAB IV
DISKUSI
TEORI KASUS
Anamnesis
Dispepsia (+) (+)
Kolik bilier (+) (+)
Demam (+) (+)
Nyeri perut kanan atas (+) (+)
Urine berwarna gelap (+) (+)
Feses kelabu dan pekat (+) (+)
Pemeriksaan Fisik
Ikterus (+) (+)
Nyeri tekan regio (+) (+)
hipokondrium dextra
Tanda Murphy positif (+) (+)
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Lab
SGOT dan SGPT meningkat (+) (+)
Bilirubin meningkat (+) (+)
2. Pemeriksaan USG
GB Stone multiple (+) (+)
Sludge (+) (+)
CBD dilatasi (+) (+)
Pengobatan
Tindakan Non-Operatif
asam Chenodeodeoxycholat (+) (-)
(CDCA)
Extracorporeal Shock Wave (+) (-)
Lithotripsi (ESWL)
Dietik (+) (+)
Tindakan Operatif
Kolesistektomi (+) (+)
BAB V
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Abu, E.2007. Prevalence and Risk Factor of Gallstone Disease in a High Altitude Saudi
Population.Mediterranee orientale.13:4.
Beat, M., et al. 2008. Diseases of the Gallbladder and Bile Ducts Diagnosis and
Treatment.In: Beat, M., editor. Clinical Surgery. New York : McGraw Hill.p. 219- 230
Beckingham, J.J. 2001. ABC Of Diseases Of Liver, Pancreas, And Biliary System Gallstone
Disease. British Medical Journal Vol 13., 322(7278): 91–94.
De Jong Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta :EGC. 2004.hal.570-7
Guyton, Hall, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 11,Jakarta : EGC.2008. hal.
908.
Gustawan IW, Putra S. Kolelitiasis pada anak. Maj kedoktindon. Vol.57. No.10.
2007.p.353-362.
Hansen, J.T., Lambert, D.R.2005. Galbledder.In: Hansen, J.T., Lambert, D.R. editors.
Netter’s Clinical Anatomy. USA: MediMedia.p. 200-204.
Lesmana, Laurentius A. Penyakit Batu Empedu. Dalam : BukuAjar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi Keempat. Jilid I. Jakarta : Pusat PenerbitanDepartemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2006. Hal.479-81.