Anda di halaman 1dari 34

Referat

BATU SALURAN KEMIH PADA ASIDOSIS


TUBULAR RENAL DISTAL

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Kepaniteraan di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSMH Palembang

Oleh:
Muhammad Rizki Nur Ismeidi, S.Ked
04084822326074

Pembimbing:
Dr. dr. Zulkhair Ali, Sp.PD, K-GH, FINASIM

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG/
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

Judul
Batu Saluran Kemih Pada Asidosis Tubular Renal Distal

Disusun Oleh:

Muhammad Rizki Nur Ismeidi, S.Ked


04084822326074

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya/ RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 11
September–3 Desember 2023.

Palembang, 11 Oktober 2023


Pembimbing

Dr. dr. Zulkhair Ali, Sp.PD, K-GH, FINASIM

ii Universitas Sriwijaya
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan berkat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Batu
Saluran Kemih Pada Asidosis Tubular Renal Distal”. Referat ini merupakan
salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu
Penyakit Dalam RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. dr. Zulkhair Ali, Sp.PD, K-
GH, FINASIM sebagai pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan
dalam penyusunan dan penulisan referat ini, serta kepada dr. Syahpri Putra Wantsa,
Sp.PD, yang telah meluangkan waktu untuk membimbing penulis menyelesaikan
laporan ini. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada para residen, teman-teman
dokter muda, dan semua pihak yang telah membantu dalam penulisan referat ini,
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan referat ini.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat
diharapkan demi perbaikan di masa yang akan datang. Penulis berharap referat ini
dapat memberi ilmu dan manfaat bagi pembaca.

Palembang, 11 Oktober 2023

Penulis

iii Universitas Sriwijaya


DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii


KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. v
DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................... vi
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 3
2.1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal .................................................................... 3
2.1.1 Anatomi Ginjal ................................................................................ 3
2.1.2 Fisiologi Ginjal ................................................................................ 6
2.2 Batu Saluran Kemih ................................................................................... 8
2.2.1 Definisi ............................................................................................ 8
2.2.2 Epidemiologi ................................................................................... 9
2.2.3 Etiologi .......................................................................................... 10
2.2.4 Faktor Risiko ................................................................................. 10
2.2.5 Patogenesis .................................................................................... 12
2.2.6 Gejala dan Tanda ........................................................................... 14
2.2.7 Diagnosis ....................................................................................... 16
2.2.8 Diagnosis Banding ........................................................................ 19
2.2.9 Asidosis Tubular Renal Distal ....................................................... 20
2.2.10 Tatalaksana .................................................................................. 24
2.2.11 Komplikasi dan Prognosis ........................................................... 25
BAB 3 SIMPULAN ............................................................................................. 26
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 27

iv Universitas Sriwijaya
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Anatomi Sistem Urinarius........................................................... 3


Gambar 2.2. Anatomi Ginjal............................................................................ 4
Gambar 2.3. Nefron sebagai unit fungsional terkecil ginjal. ........................... 8
Gambar 2.4. Mekanisme Pembetukan Batu Saluran Kemih. ........................ 14
Gambar 2.5. Patofisiologi Gejala Batu Saluran Kemih. ................................ 15
Gambar 2.6 Analisis Batu Saluran Kemih. .................................................... 18
Gambar 2.7. USG TUG. ................................................................................ 19
Gambar 2.8. CT Scan ginjal dan saluran kemih. ........................................... 19
Gambar 2.9. Gambaran Skematik dRTA. ...................................................... 22
Gambar 2.10. Pembentukan Batu Saluran Kemih pada dRTA...................... 24

v Universitas Sriwijaya
DAFTAR SINGKATAN

BSK:Batu Saluran Kemih


RTA;Renal Tubular Acidosis
ADH:Anti Diuretic Hormone
BMI:Body Mass Index
HIV:Human Immunodeficiency Virus
USG TUG:Ultrasonografi Traktus Urogenital
NSAID:Non Steroid Anti Inflamation Drug

vi Universitas Sriwijaya
BAB 1
PENDAHULUAN

Batu saluran kemih (BSK) didefinisikan sebagai pembentukan batu di


saluran kemih yang meliputi batu ginjal, ureter, buli, dan uretra. Batu saluran kemih
merupakan keadaan tidak normal di dalam ginjal dan saluran kemih, dan
mengandung komponen kristal serta matriks organik. Lokasi batu ginjal dijumpai
khas di kaliks atau pelvis dan bila akan keluar dapat terhenti di ureter atau di
kandung kemih.1
Secara epidemiologi, Prevalensi dan tingkat kekambuhan batu saluran
kemih semakin meningkat, dengan terbatasnya pilihan obat dan prosedur yang
efektif, yang memengaruhi sekitar 12% populasi di seluruh dunia. Insiden ini
diperkirakan mencapai 600.000 di AS antara usia 20 hingga 49 tahun; batu ginjal
lebih sering dialami laki-laki dibandingkan perempuan (2:1).2 Di Indonesia,
masalah batu saluran kemih masih menduduki kasus tersering di antara seluruh
kasus urologi. Belum terdapat data angka prevalensi batu saluran kemih nasional di
Indonesia. Angka kekambuhan seumur hidup lebih tinggi pada laki-laki
dibandingkan perempuan. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya kejadian obesitas
akibat pola makan yang buruk dan kurangnya aktivitas fisik.3
Berdasarkan lokasi, BSK dibagi menjadi (1) batu ginjal 27,1% (2) batu
ureter 51,8% (3) batu buli 18,1% (4) dan batu urethra 3%. Etiologi yang mendasari
BSK diklasifikasikan menjadi primer (tanpa adanya kelainan traktus urinarius) dan
sekunder (terdapat kelainan traktus urinarius).4 Khusus pada buli-buli, BSK bisa
terjadi karena migratori (BSK dari saluran kencing atas menjadi nidus pembentukan
batu buli-buli). Batu ginjal sebagian besar mengandung batu kalsium. Batu oksalat,
kalsium oksalat, atau kalsium fosfat, secara bersama dapat dijumpai sampai 65-85%
dari jumlah keseluruhan batu ginjal.3 Salah satu penyebab terbentuknya batu
kalsium adalah asidosis tubular renal distal. Asidosis tubular renal (RTA/Renal
Tubular Acidosis) merupakan tubulopati ginjal yang jarang terjadi, dimana terda
pat ketidakmampuan ginjal untuk menjaga perbedaan pH normal antara darah dan
lumen tubulus ginjal. Pada kondisi ini terjadi gangguan pengasaman urin

1 Universitas Sriwijaya
disebabkan gangguan reabsorbsi bikarbonat, gangguan ekskresi ion hidrogen, atau
keduanya sehingga mengakibatkan asidosis metabolik. Batu saluran kemih akibat
asidosis tubular renal distal harus dapat didiagnosa dan ditatalaksana dengan tepat
agar tidak terjadi komplikasi seperti gagal ginjal akut sekunder akibat obstruksi,
anuria, infeksi saluran kemih dengan obstruksi ginjal, dan sepsis.4
Mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Profesi Dokter Indonesia 2019,
Batu saluran kemih tanpa kolik merupakan penyakit dengan kompetensi 3B, yakni
seorang dokter umum harus mampu mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan
kegawatdaruratan dan merujuk dengan tepat. Batu saluran kemih tanpa kolik dapat
ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan peunjang. Oleh
karena itu, penulis tertarik menulis refrat ini dengan tujuan sebagai referensi terkini
untuk mendiagnosis dan melakukan tatalaksana awal pasien batu saluran kemih
tanpa kolik.5

2 Universitas Sriwijaya
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal


2.1.1 Anatomi Ginjal
Sistem urinaria merupakan suatu sistem yang berfungsi sebagai tempat
terjadinya proses penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak
dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh
tubuh. Zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh larut dalam air dan dikeluarkan
berupa urin (air kemih). Sistem urinaria atau biasa disebut sistem kemih terdiri dari
beberapa organ, yakni dua ginjal yang terletak pada dinding posterior abdomen, dua
ureter yang berjalan kebawah pada dinding posterior abdomen dan masuk ke pelvis,
satu vesica urinaria yang terletak di dalam cavitas pelvis, dan satu urethra yang
berjalan melalui perineum.6

Gambar 2.1. Anatomi Sistem Urinarius.7

Pada orang dewasa, rerata ukuran ginjal 11,5 cm (panjang) x 6 cm (lebar)


3,5 cm (tebal) dengan berat berkisar antara 120-170 gram atau kurang lebih 0,4%
dari berat badan. Namun, hal tersebut bervariasi tergantung jenis kelamin, usia, ras,
dan ada atau tidakya ginjal pada sisi yang lain.6 Kedua ginjal berwarna coklat

3 Universitas Sriwijaya
kemerahan dan berbentuk seperti biji kacang. Ginjal terletak di belakang
peritoneum (retroperitoneum) lateral kanan dan kiri columna vertebralis dan
sebagian besar tertutup oleh arcus costalis. Pada posisi supinasi ginjal terletak kira-
kira setinggi vertebra thoracalis XII di superior dan vertebra lumbalis III di inferior.
Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah dibandingkan ginjal kiri karena adanya
lobus hepar dextra yang besar. Walaupun kedua ginjal terlihat serupa dalam bentuk
dan ukuran, namun ginjal kiri memiliki bentuk lebih panjang dan lebih ramping
dibandingkan dengan ginjal kanan, serta lebih dekat dengan garis tengah tubuh.8

Gambar 2.2. Anatomi Ginjal.9

Seacara anatomi, ginjal memiliki facies anterior dan posterior yang halus
dan tertutup oleh suatu capsula fibrosa. Pada margo medialis ginjal terdapat hilum
renale yang merupakan celah vertikalis yang dalam. Hillus renalis dilalui oleh vena
renalis, arteri renalis, sistem limfatik, nervus, dan ureter yang masuk dan
meninggalkan substansi ginjal. Masing-masing ginjal terdiri dari cortex renalis di
bagian luar dan medulla renalis di bagian dalam. Cortex renalis merupakan suatu
pita berkelanjutan dari jaringan berwarna pucat yang mengelilingi seluruh medulla
renalis. Collumna renalis merupakan perpanjangan dari cortex renalis yang
berproyeksi ke dalam aspectus internum ginjal, membagi medulla renalis menjadi
jaringan agregasi-agregasi terpisah berbentuk segitiga yang disebut pyramida

4 Universitas Sriwijaya
renalis. Basis pyramidalis ginjal mengarah ke luar menuju cortex renalis, sedangkan
apex setiap pyramida renalis mengarah ke dalam menuju sinus renalis. Proyeksi
apicalis (papillae renales) dikelilingi oleh suatu calyx renalis minor. Pada sinus
renalis beberapa calices renales bergabung membentuk suatu calyx renalis major.
Sementara itu, 2-3 calices renales majores bergabung membentuk pelvis renalis
yang merupakan suatu struktur berbentuk corong dan merupakan ujung superior
dari ureter.6,8

Gambar 2.1 Vaskularisasi ginjal.10

Vaskularisasi ginjal berasal dari arteri renalis yang merupakan cabang dari
aorta abdominalis yang terletak pada setinggi vertebra lumbalis II. Arteri renalis
sinistra muncul pada level yang sedikit lebih tinggi dibanding dengan yang dextra,
namun arteri renalis dextra lebih panjang dan lewat di posterior vena cava inferior.
Arteri renalis masuk ke dalam hillus renalis yang kemudia bercabang menjadi arteri
interlobaris. Memasuki struktur yang lebih dalam, arteri interlobaris berubah
menjadi interlobularis yang akhirnya menjadi arteriola aferen yang menyusun
glomerulus. Vena renalis keluar dari hilus di depan arteri renalis dan bermuara ke
vena cava inferior. Vena renalis multipel berperan pada pembentukan vena renalis

5 Universitas Sriwijaya
dextra dan sinistra, keduanya terdapat di anterior arteria renalis. Semetara itu
drainase lymphatici masing-masing ginjal bermuara ke nodi aortici laterales
(lumbrdes) di sekeliling pangkal arteria renalis. Ginjal dipersarafi oleh plexus
sympathicus renalis. Serabut-serabut aferen yang berjalan melalui plexus renalis
masuk medulla spinalis melalui nervus thoracicus X, XI, dan XII.6,8
2.1.2 Fisiologi Ginjal
Ginjal berperan dalam berbagai proses fisiologis pada tubuh. Selain
berfungsi membuang sisa-sisa metabolisme tubuh melalui urine, ginjal memiliki
berbagai fungsi lainnya seperti mengontrol sekresi hormon-hormon aldosterondan
ADH (anti diuretic hormone) dalam mengatur jumlah cairan tubuh, mengatur
metabolisme ion kalsium dan vitamin D, dan menghasilkan beberapa hormon,
antara lain: eritropoetin yang berperan dalam pembentukan sel darah merah, renin
yang berperan dalam mengatur tekanan darah, serta hormon prostaglandin.11 Dalam
menjalankan fungsi ginjal tersebut, ginjal memiliki tiga mekanisme yaitu:12
a. Menyaring cairan yang melewati gromerulus (filtrasi)
b. Menyimpan kembali substansi yang masih berguna bagi tubuh dalam batas
normal/ subnormal (reabsorbsi)
c. Mengeluarkan substansi sisa, substansi berbahaya, dan substansi yang
berlebihan di dalam darah (ekskresi)
Nefron adalah unit fungsional terkecil dari ginjal yang berfungsi
membentuk urin dari darah. Nefron terdiri atas, tubulus kontortus proksimalis,
tubulus kontortus distalis, dan duktus kolegentes. Proses filtrasi terjadi di
glomerolus. Proses ini terjadi karena permukaan aferen lebih besar dari permukaan
aferen maka terjadi penyerapan darah. Darah yang membawa sisa-sisa hasil
metabolisme tubuh difiltrasi di dalam glomerulus kemudian diproses di tubulus
ginjal. Setelah melewati filtrasi, beberapa zat yang masih diperlukan tubuh
mengalami reabsorbsi. Proses reabsorbsi merupakan proses penyerapan kembali
sebagian besar dari glukosa, sodium, klorida, fosfat dan beberapa ion karbonat pada
tubulus kontortus proksimal, sedangkan pada tubulus distal apabila diperlukan akan
terjadi kembali penyerapan sodium dan ion karbonat. Zat-zat sisa dari proses
reabsorbsi akan dialirkan pada papila renalis dan mengalami ekskresi bersama air
membentuk urine. Setiap hari tidak kurang 180 liter cairan tubuh difiltrasi di

6 Universitas Sriwijaya
glomerulus dan menghasilkan urine 1-2 liter. Urine yang terbentuk di dalam nefron
disalurkan melalui piramida ke sistem pelvikalises ginjal untuk kemudian
disalurkan ke dalam ureter.8 Ketiga proses tersebut jika dijabarkan lebih lanjut
maka akan disimpulkan beberapa fungsi ginjal dalam menjaga homeostasis adalah
sebagai berikut:12
1. Pengaturan volume cairan ekstraseluler dan tekanan darah. Ketika volume
cairan ekstraseluler menurun, tekanan darah juga menurun. Jika volume cairan
ekstra seluler dan tekanan darah jatuh terlalu rendah, tubuh tidak dapat
mempertahankan aliran darah yang cukup ke otak dan organ penting lainnya.
Ginjal bekerja secara terintegrasi dengan sistem kardiovaskuler untuk
memastikan tekanan darah dan perfusi jaringan tetap terjaga dalam rentang
normal.
2. Regulasi osmolaritas. Tubuh mengintegrasikan fungsi ginjal dengan dorongan
perilaku, seperti rasa haus, untuk mempertahankan osmolaritas darah pada nilai
mendekati 290 mOsM.
3. Pemeliharaan keseimbangan ion. Ginjal menjaga konsentrasi ion-ion kunci
dalam kisaran normal dengan menjaga keseimbangan asupan makanan dengan
kehilangan urin. Natrium (Na+) adalah ion utama yang terlibat dalam
pengaturan volume cairan ekstraseluler dan osmolaritas. Konsentrasi Kalium
(K+) dan Kalsium (Ca2+) juga diatur secara ketat.
4. Pengaturan pH. PH plasma biasanya dijaga dalam kisaran sempit. Jika cairan
ekstraseluler menjadi terlalu asam, ginjal membuang H+ dan menyimpan ion
bikarbonat (HCO3-) yang berperan sebagai buffer. Sebaliknya, ketika cairan
ekstraseluler menjadi terlalu basa, maka ginjal mengeluarkan HCO3- dan
menghemat H+. Ginjal punya peran penting dalam homeostatis pH, namun
ginjal tidak melakukan koreksi gangguan pH secepat yang terjadi pada paru-
paru.
5. Ekskresi sisa metabolisme. Ginjal mengeluarkan sisa metabolisme dan
xenobiotik, atau zat asing, seperti obat-obatan dan racun lingkungan. Limbah
metabolik meliputi kreatinin dari metabolisme otot dan limbah nitrogen urea
dan asam urat. Metabolit haemoglobin disebut urobilinogen memberi urin
warna kuning yang khas.

7 Universitas Sriwijaya
6. Produksi hormon. Walaupun ginjal bukanlah kelenjar endokrin murni, ginjal
memainkan peran penting dalam tiga jalur endokrin. Sel ginjal mensintesis
eritropoietin, sitokin/ hormon yang mengatur sintesis sel darah merah. Ginjal
juga melepaskan renin, enzim yang mengatur produksi hormon yang terlibat
dalam keseimbangan natrium dan tekanan darah homeostatis. Terakhir, enzim
ginjal membantu mengubah vitamin D3 menjadi hormon yang mengatur
keseimbangan Ca2+.

Gambar 2.3. Nefron sebagai unit fungsional terkecil ginjal.11

2.2 Batu Saluran Kemih


2.2.1 Definisi
Batu Saluran Kemih (BSK) merupakan suatu penyakit berupa timbulnya
satu atau lebih batu pada segmen traktus urinarius (kaliks renalis, pelvis renalis,
ureter, buli-buli, dan uretra). Insiden BSK dipengaruhi oleh kondisi geografis, iklim,
etnis, pola diet dan faktor genetik. Secara global, prevalensi penyakit ini berkisar

8 Universitas Sriwijaya
1% - 20%. 2 Etiologi yang mendasari BSK diklasifikasikan menjadi primer (tanpa
adanya kelainan traktus urinarius) dan sekunder (terdapat kelainan traktus
urinarius). Khusus pada buli-buli, BSK bisa terjadi karena migratori (BSK dari
saluran kencing atas menjadi nidus pembentukan batu buli-buli). Batu saluran
kemih pada umumnya mengandung unsur: kalsium oksalat atau kalsium fosfat,
asam urat, magnesium-amonium-fosfat, xanthyn, dan sistin, silikat, dan senyawa
lainnya. Sejumlah 80% batu saluran kemih terdiri dari kalsium oksalat atau fosfat.
Jenis batu lainnya termasuk batu asam urat (9%), struvite (10%), dan sistin (1%)
dan secara signifikan lebih jarang terjadi dibandingkan batu yang terdiri dari
kalsium oksalat atau fosfat (80%) Data mengenai kandungan/komposisi zat yang
terdapat pada batu sangat penting untuk usaha pencegahan terhadap kemungkinan
timbulnya batu residif.3,4
Klasifikasi lainnya pada kasus batu saluran kemih dapat diklasifikasikan
berdasarkan ukuran, lokasi, karakteristik pencitraan sinar X, etiologi terbentuknya
batu, komposisi batu, dan risiko kekambuhan. Ukuran batu biasanya
diklasifikasikan dalam 1 atau 2 dimensi, yang dibagi menjadi beberapa ukuran,
yaitu 5, 5-10, 10-20, dan >20 mm. Berdasarkan letak batu dibagi menjadi lokasi,
yaitu kaliks ginjal superior, medial, atau inferior, pelvis renal, ureter proksimal atau
distal, dan buli. Berdasarkan karakteristik pencitraan sinar X, batu saluran kemih
diklasifikasikan menjadi radioopak (Kalsium oksalat dan kalsium fosfat), opasitas
rendah (Magnesium ammonium fosfat, apatit, sistin), dan radiolusen (Asam urat,
amonium urat, xantin, obat-obatan).3

2.2.2 Epidemiologi
Urolitiasis adalah kondisi umum dan menyerang sekitar 1 dari 11 orang di
AS. Penyakit ini diperkirakan menimbulkan pengeluaran sebesar $5 miliar pada
sistem layanan kesehatan dan menyebabkan sekitar 1 juta kunjungan ke unit gawat
darurat setiap tahunnya. Prevalensinya meningkat dan terutama mempengaruhi
populasi usia kerja. Laki-laki lebih sering mengalami gejala dibandingkan
perempuan (10,6% pada laki-laki dan 7,1% pada perempuan).2 Individu yang
mengalami obesitas dan kelebihan berat badan dibandingkan dengan individu
dengan berat badan normal lebih sering terjadi, dan penelitian menunjukkan bahwa

9 Universitas Sriwijaya
obesitas merupakan penyeimbang dalam pembentukan batu ginjal ketika
membandingkan pria dan wanita. Variasi antar etnis telah terlihat, namun laki-laki
berkulit putih dan non-Hispanik memiliki prevalensi tertinggi berdasarkan
penelitian terbaru, diikuti oleh individu Hispanik dan kemudian individu berkulit
hitam non-Hispanik. Wanita lebih mungkin terkena batu struvite dibandingkan pria
karena mereka lebih sering mengalami infeksi saluran kemih. Tingkat kekambuhan
hingga 50% terlihat lima tahun sejak episode awal gejala urolitiasis.2 Di Indonesia,
masalah batu saluran kemih masih menduduki kasus tersering di antara seluruh
kasus urologi. Belum terdapat data angka prevalensi batu saluran kemih nasional di
Indonesia. Laporan Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi penyakit BSK sekitar
0,6 % di Indonesia (0,8 % di Jawa Barat) dengan proporsi di rentang usia 55–64
tahun, laki-laki, dan tingkat pendidikan yang rendah masing-masing 1,3 %, 0,8 %
dan 0,8 %.13

2.2.3 Etiologi
Pembentukan batu dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, yaitu infeksi,
non-infeksi, kelainan genetik, dan obat-obatan. BSK non infeksi terdapat pada
kasus batu saluran kemih dengan kandungan kalsium oksalat, kalsium fosfat, dan
asam urat. Penyebab terbentuknya batu kalsium dapat berupa hiperkalsiuria
idiopatik (50%-55%), Hiperurikosuria (20%), Hipocitraturia, diet hiperoksalat,
penyakit batu idiopatik, dan asidosis tubular renal distal. Di sisi lain, batu asam
urat dapat terbentuk akibat kondisi sindrom metabolik, gout, idiopatik, dehidrasi,
dan syndrome lesch-nyhan. BSK infeksi terdapat pada kasus batu saluran kemih
dengan kandungan magnesium ammonium fosfat, karbonat, dan ammonium urat.
BSK kelainan genetik terdapat pada kasus batu saluran kemih dengan kandungan
sistin dan xantin.3,4

2.2.4 Faktor Risiko


Faktor risiko umum pembentukan batu saluran kemih adalah asupan cairan
yang buruk, asupan protein hewani yang tinggi, asupan oksalat yang tinggi
(ditemukan dalam makanan seperti kacang-kacangan, bir, beri, kopi, coklat,
beberapa kacang-kacangan, beberapa teh, soda, bayam, kentang), dan asupan garam

10 Universitas Sriwijaya
yang tinggi. Hidrasi oral dianjurkan pada tingkat yang menghasilkan sekitar 2,5 L
urin per hari, dan pilihan cairan yang dapat diterima termasuk air, kopi, teh, bir, dan
jus buah rendah gula kecuali tomat (kandungan natrium tinggi), jeruk bali, dan
cranberry (kandungan oksalat tinggi). Konsumsi sitrat membantu mencegah
pembentukan batu karena menghambat agregasi kristal dengan membentuk
kompleks dengan garam kalsium dalam urin. 60% pasien dengan batu kalsium
ditemukan menderita hipocitraturia. Asupan kalsium yang rendah terbukti
meningkatkan risiko pembentukan batu ginjal, bertentangan dengan kepercayaan
umum. Penurunan asupan kalsium oral akan menurunkan kadar kalsium dalam
saluran pencernaan, yang seharusnya tersedia untuk berikatan dengan oksalat. Hal
ini pada gilirannya akan meningkatkan penyerapan dan ekskresi oksalat, sehingga
meningkatkan risiko pembentukan batu. Asupan vitamin C dan minyak ikan juga
terbukti meningkatkan risiko batu kalsium. Riwayat batu ginjal pada pribadi dan
keluarga sebelumnya akan meningkatkan risiko pasien terkena batu ginjal
berikutnya secara signifikan. Prosedur seperti bypass lambung Roux-en-Y dan
gastrektomi telah menunjukkan peningkatan tiga kali lipat dalam pembentukan
batu kalsium oksalat sekunder akibat keadaan malabsorptif pasca bedah, yang
mengakibatkan peningkatan kadar oksalat urin, penurunan produksi urin, dan
penurunan sitrat urin.3,4
Adanya kondisi medis seperti penyakit ginjal kronis, hipertensi, asam urat,
diabetes melitus, hiperlipidemia, obesitas, endokrin, dan keganasan meningkatkan
risiko berkembangnya batu ginjal. Obesitas, hiperlipidemia, dan diabetes melitus
tipe 2 mempunyai hubungan yang kuat dengan batu kalsium oksalat dan asam urat.
Pasien dengan riwayat hiperlipidemia, hipertensi, dan diabetes melitus tipe 2 sering
kali mengonsumsi makanan yang tinggi protein hewani, garam, dan gula, sehingga
menempatkan mereka pada risiko lebih tinggi terjadinya pembentukan batu.
Resistensi insulin pada obesitas dan diabetes mellitus tipe 2 mendorong perubahan
metabolisme yang meningkatkan risiko pembentukan batu akibat peningkatan
ekskresi kalsium dan asam urat urin. Sebuah penelitian baru-baru ini yang
mengevaluasi 4.500 pasien dengan riwayat batu ginjal dan resistensi insulin
menunjukkan peningkatan pH urin dan penurunan ekskresi asam urin, sehingga
menyebabkan nefrolitiasis/urolitiasis. Sebuah penelitian prospektif besar yang

11 Universitas Sriwijaya
mengikuti peserta selama bertahun-tahun dan menilai berat badan awal,
pertambahan berat badan, paparan makanan, BMI, dan lingkar pinggang dan secara
kuat menunjukkan bahwa meskipun peningkatan BMI memang meningkatkan
risiko pembentukan batu simtomatik, peningkatan berat badan karena adipositas di
masa dewasa berperan penting. peran yang sangat penting.4
Urolitiasis akibat obat jarang terjadi dan hanya menyerang 2% batu. Obat-
obatan yang umum termasuk protease inhibitor yang digunakan untuk pengobatan
HIV (atazanavir dan indinavir) dan sulfadiazine. Protease inhibitor juga dapat
menjadi faktor risiko terbentuknya batu saluran kemih yang biasanya menyebabkan
obstruksi saluran kemih tingkat tinggi yang memerlukan pemasangan stent ureter.
Ceftriaxone telah terbukti meningkatkan risiko pembentukan batu pada pasien yang
menjalani terapi jangka panjang.4

2.2.5 Patogenesis
Urolitiasis terjadi ketika kristal yang menyusun batu membuat urin menjadi
terlalu jenuh karena berada dalam konsentrasi tinggi dan mulai terkumpul dan
mengkristal di dalam parenkim ginjal, membentuk batu ginjal. Kristal-kristal ini
akan berkumpul dan terus membesar yang berpotensi bermigrasi ke ureter dan
menimbulkan gejala. Batu terdiri atas kristal-kristal yang tersusun oleh bahan-
bahan organik maupun anorganik yang terlarut di dalam urine. Kristal-kristal
tersebut tetap berada dalam keadaan metastable (tetap terlarut) dalam urine jika
tidak ada keadaan-keadaan tertentu yang menyebabkan terjadinya presipitasi
kristal. Kristal-kristal yang saling mengadakan presipitasi membentuk inti batu
(nukleasi) yang kemudian akan mengadakan agregasi, dan menarik bahan-bahan
lain sehingga menjadi kristal yang lebih besar. Meskipun ukurannya cukup besar,
agregat kristal masih rapuh dan belum cukup mampu membuntu saluran kemih.
Untuk itu agregat kristal menempel pada epitel saluran kemih (membentuk retensi
kristal), dan dari sini bahan-bahan lain diendapkan pada agregat itu sehingga
membentuk batu yang cukup besar untuk menyumbat saluran kemih Kondisi
metastabel dipengaruhi oleh suhu, pH larutan, adanya koloid di dalam urine,
konsentrasi solut di dalam urine, laju aliran urine di dalam saluran kemih, atau
adanya korpus alienum di dalam saluran kemih yang bertindak sebagai inti batu.3,14

12 Universitas Sriwijaya
Jika batu menyebabkan penyumbatan dan tidak memungkinkan keluarnya
urin melalui ureter, hidronefrosis dapat terjadi akibat pelebaran hulu ureter dan
panggul ginjal. Lokasi batu yang paling sering tersumbat adalah di dekat
ureteropelvic Junction (UPJ) karena di wilayah ini diameter ureter sangat sempit.
Ada dua area penyempitan ureter lainnya, yang pertama adalah tempat ureter
melintasi pembuluh darah iliaka dan yang kedua di persimpangan ureterovesika
(UVJ). Batu di dalam ureter terasa nyeri karena saat melewati ureter, peningkatan
ketegangan luminal dan hidronefrosis akan menyebabkan pelepasan prostaglandin,
sehingga menimbulkan nyeri kolik yang berhubungan dengan kondisi tersebut.4
Nukleasi dan pertumbuhan kristal merupakan faktor kunci dalam produksi
semua jenis batu ginjal. Nukleasi adalah ketika kristal mulai bergabung bersama
untuk memulai pembentukan batu. Supersaturasi urin dengan bahan organik yang
berkontribusi terhadap pembentukan batu merupakan kekuatan pendorong
mekanisme ini. Konsentrasi di mana saturasi tercapai dan kristalisasi dimulai
disebut thermodynamic solubility product. Langkah pertama dalam pembentukan
kristal adalah nukleasi. Dalam larutan murni, nukleasi akan terjadi pada tingkat
kritis Supersaturasi, yang disebut sebagai nukleasi homogen. Namun dalam urin,
kristal nuclei dapat menarik komponen didekatnya, seperti membran sel, puing-
puing sel, kristal lainnya, sel darah merah, dan gips urin, melalui suatu proses
dikenal sebagai nukleasi heterogen. Selain pertumbuhan kristal, agregasi kristal,
atau aglomerasi, dianggap sebagai mekanisme penting dalam pembentukan batu.
Ketika inti kristal hadir dalam larutan air, tumbukan antar kristal disebabkan oleh
bahan kimia atau gaya listrik dapat menyebabkan agregasi kristal.4
Ada dua teori, partikel bebas dan partikel tetap, yang menggambarkan
pertumbuhan dan agregasi kristal. Mekanisme partikel bebas menyatakan bahwa
kristal akan bertambah besar ukurannya dan berkumpul di dalam tubulus urin.
Agregat ini memperbesar dan menghalangi aliran urin dari lubang tubular, yang
mendorong pembentukan batu yang lebih kecil. Alternatifnya, mekanisme partikel
tetap menyatakan bahwa batu terbentuk menempel pada plak kalsifikasi yang
disebut plak Randall. Plak ini berakar jauh di dalam membran basal lengkung
Henle.1,4

13 Universitas Sriwijaya
Gambar 2.4. Mekanisme Pembetukan Batu Saluran Kemih.1

2.2.6 Gejala dan Tanda


Keluhan pasien BSK bervariasi dari asimptomatis, sakit pinggang ringan
sampai dengan kolik, dapat disertai dengan disuria, hematuria, frekuensi, retensi
urin, nyeri suprapubik dan anuria. Keluhan ini dapat disertai penyulit berupa
demam atau tanda gagal ginjal. Nyeri akibat batu saluran kemih yang dapat
dijelaskan lewat dua mekanisme: (1) dilatasi sistem sumbatan dengan peregangan
reseptor nyeri dan (2) iritasi lokal dinding ureter atau dinding pelvis ginjal disertai
edema dan penglepasan mediator inflamasi. Selain itu, keluhan yang muncul juga
dipengaruhi oleh lokasi batunya. Keluhan yang muncul berdasarkan lokasinya
sebagai berikut: 2,4
1. Batu Ginjal
Nyeri di lokasi ipsilateral sudut kostovertebra, sisi lateral dari otot sakrospinalis
dan dibawah kosta ke-12.
2. Batu Ureter Proksimal
Nyeri tipikal kolik dengan intensitas meningkat sesuai dengan aktivitas
peristaltik ureter, menjalar sampai dengan umbilikus.
3. Batu Ureter Medial

14 Universitas Sriwijaya
Nyeri tipikal kolik dengan intensitas meningkat sesuai dengan aktivitas
peristaltik ureter, menjalar sampai pada kuadran kanan bawah (batu ureter
media kanan) (McBurney Point) atau kuadran kiri bawah (contra McBurney
point) pada batu ureter media kiri.

Gambar 2.5. Patofisiologi Gejala Batu Saluran Kemih.4

4. Batu Ureter Distal


a. Nyeri tipikal kolik dengan intensitas meningkat sesuai dengan aktivitas
peristaltik ureter, menjalar sampai paha bagian medial, skrotum pada laki-
laki dan labium pada perempuan.
b. Gejala iritabilitas buli-buli: frekuensi, urgensi, dan rasa tidak nyaman pada
suprapubik yang menjalar hingga ujung penis pada laki-laki.
5. Batu Buli-Buli
a. Nyeri suprapubik, frekuensi, terminal hematuria, dan disuria yang terasa
semakin memburuk pada akhir fase miksi. Keluhan overaktivitas buli-buli
dapat ditemukan pada pasien dengan keluhan batu buli-buli dengan
diameter > 4cm.

15 Universitas Sriwijaya
b. Pada pasien anak terdapat gejala berupa kesulitan berkemih, retensi urin,
enuresis, dan sering menarik-narik penis pada anak laki-laki.

2.2.7 Diagnosis
2.2.7.1 Anamnesis
Diagnosis batu saluran kemih dapat ditegakkan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Keluhan pasien mengenai batu
saluran kemih dapat bervariasi, mulai dari tanpa keluhan, sakit pinggang ringan
hingga berat (kolik), disuria, hematuria, retensi urine, dan anuria. Kolik renal dan
non-kolik renal merupakan 2 tipe nyeri yang berasal dari ginjal. Kolik renal
biasanya disebabkan oleh peregangan collecting system atau ureter, sedangkan non-
kolik renal disebabkan oleh distensi kapsul ginjal. Obstruksi saluran kemih
merupakan mekanisme utama penyebab kolik renal. Kolik renal tidak selalu hilang
timbul seperti kolik usus atau kandung empedu, tetapi lebih konstan. Pasien dengan
batu ginjal biasanya mengalami nyeri akibat obstruksi saluran kemih. Gejala kolik
renal akut tergantung pada lokasi batu. Selain itu, perlu ditanyakan mengenai
riwayat penyakit dahulu yang berhubungan dengan penyakit batu saluran kemih
seperti obesitas, hiperparatiroid primer, malabsorbsi gastrointestinal, penyakit usus
atau pankreas.2,4
Keluhan tersebut dapat disertai dengan penyulit seperti demam dan tanda
gagal ginjal. Selain itu, perlu ditanyakan mengenai riwayat penyakit dahulu yang
berhubungan dengan penyakit batu saluran kemih seperti obesitas, hiperparatiroid
primer, malabsorbsi gastrointestinal, penyakit usus atau pankreas. Riwayat pola
makan juga ditanyakan sebagai predisposisi batu pada pasien, antara lain asupan
kalsium, cairan yang sedikit, garam yang tinggi, buah dan sayur kurang, serta
makanan tinggi purin yang berlebihan, jenis minuman yang dikonsumsi, jumlah dan
jenis protein yang dikonsumsi. Riwayat pengobatan dan suplemen seperti
probenesid, inhibitor protease, inhibitor lipase, kemoterapi, vitamin C, vitamin D,
kalsium, dan inhibitor karbonik anhidrase. Apabila pasien mengalami demam atau
ginjal tunggal dan diagnosisnya diragukan, maka perlu segera dilakukan
pencitraan.3

16 Universitas Sriwijaya
2.2.7.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien dengan BSK sangat bervariasi mulai tanpa
kelainan fisik sampai adanya tanda-tanda sakit berat, tergantung pada letak batu dan
penyulit yang ditimbulkan (komplikasi). Pasien yang satang dengan keluhan kolik
ginjal akut, sering terkait dengan perubahan posisi saat berbaring ataupun duduk
untuk berusaha megurangi rasa nyeri. Fakta ini membantu membedakan pasien
dengan kondisi ini dari mereka yang menderita peritonitis, yang takut untuk
bergerak.3,4
Pemeriksaan fisik urologi berupa pemeriksaan sudut kostovertebra
didapatkan nyeri tekan, nyeri ketok, dan pembesaran ginjal. Pemeriksaan
suprasimfisis adakah nyeri tekan, teraba batu, buli kesan penuh. Di genitalia
eksterna diperiksa teraba batu di uretra dan colok dubur untuk meraba batu di buli-
buli (palpasi bimanual). Jika didapatkan demam hipotensi, dan vasodilatasi kulit
mungkin terlihat pada pasien dengan urosepsis dan ini merupakan kedaruratan
Urologi.3

2.2.7.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan batu
saluran kemih antara lain pemeriksaan laboratorium dan pencitraan. Pemeriksaan
laboratorium sederhana dilakukan untuk semua pasien batu saluran kemih.
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan darah, analisis batu,
dan urinalisa. Pemeriksaan darah berupa hemoglobin, hematokrit, leukosit,
trombosit, dan hitung jenis darah, apabila pasien akan direncanakan untuk
diintervensi, maka perlu dilakukan pemeriksaan darah berupa, ureum, kreatinin, uji
koagulasi (activated partial thromboplastin time, international normalised ratio),
natrium, dan kalium. Bila diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan kalsium dan
atau C-reactive protein.3 Berikut merupakan beberapa contoh hasil analisis batu
berdasarkan komponen penyusun batu saluran kemih.

17 Universitas Sriwijaya
Gambar 2.6 Analisis Batu Saluran Kemih.21

Pemeriksaan urine rutin digunakan untuk melihat eritrosuria, leukosuria,


bakteriuria, nitrit, pH urine, dan atau kultur urine. Hanya pasien dengan risiko tinggi
terjadinya kekambuhan, maka perlu dilakukan analisis spesifik lebih lanjut.
Analisis komposisi batu sebaiknya dilakukan apabila didapatkan sampel batu pada
pasien BSK. Pemeriksaan analisis batu yang dianjurkan menggunakan sinar X
terdifraksi atau spektroskopi inframerah. Selain pemeriksaan di atas, dapat juga
dilakukan pemeriksaan lainnya yaitu kadar hormon PTH dan kadar vitamin D, bila
dicurigai hiperparatiroid primer. Diagnosis klinis sebaiknya dilakukan dengan
pencitraan yang tepat untuk membedakan yang dicurigai batu ginjal atau batu ureter.
Evaluasi pada pasien termasuk anamnesis dan riwayat medis lengkap serta
pemeriksaan fisik. Pasien dengan batu ureter biasanya mengeluh adanya nyeri,
muntah, kadang demam, namun dapat pula tidak memiliki gejala. Pencitraan rutin
antara lain, foto polos abdomen (kidney-ureter-bladder radiography). Pemeriksaan
foto polos dapat membedakan batu radiolusen dan radioopak serta berguna untuk
membandingkan saat follow-up. USG merupakan pencitraan yang awal dilakukan
dengan alasan aman, mudah diulang, dan terjangkau. USG juga dapat
mengidentifikasi batu yang berada di kaliks, pelvis, dan UPJ. USG memiliki
sensitivitas 45% dan spesifisitas 94% untuk batu ureter serta sensitivitas 45% dan

18 Universitas Sriwijaya
spesifisitas 88% untuk batu ginjal. Pemeriksaan CT- Scan non kontras sebaiknya
digunakan mengikuti pemeriksaan USG pada pasien dengan nyeri punggung bawah
akut karena lebih akurat dibandingkan IVP.15

Gambar 2.7. USG TUG.15

Keterangan: Batu pada ureter disertai dengan dilatasi ureter.

Gambar 2.8. CT Scan ginjal dan saluran kemih.15

Keterangan: Batu ureter kiri.

2.2.8 Diagnosis Banding


Saat mendiagnosis batu saluran kemih, mempertimbangkan banyak

19 Universitas Sriwijaya
diagnosis banding adalah hal yang baik sebelum mendapatkan diagnosis kerja.
Seorang klinisi harus mempertimbangkan gangguan lain juga ketika pasien datang
nyeri panggul dan nyeri sudut costovertebral. Karena gejala dapat bervariasi
(unilateral, bilateral, menjalar, tajam, tumpul) dan karena urolitiasis dapat
berkembang menjadi sepsis dan syok, diagnosis banding yang terkait dengan
urolitiasis dapat menjadi luas.16
1. ISK bawah
2. Pyelonephritis
3. Abses Ginjal
4. Aneurisma Arteri Ginjal
5. Appendicitis
6. Diverticulitis
7. Iskemia Mesentrika
8. Pancreatitis
9. Cholecystitis
10. Obstruksi Usus Halus
11. Torsio Ovarium
12. Dysmenorrhea
13. Kehamilan Ektopik
14. Pelvic inflammatory disease (PID)
15. Konstipasi

2.2.9 Asidosis Tubular Renal Distal


Asidosis tubulus ginjal (RTA/Renal Tubular Acidosis) adalah sekelompok
kelainan bawaan atau didapat akibat gangguan pengasaman urin disebabkan
gangguan ekskresi ion hidrogen, gangguan reabsorbsi bikarbonat, atau keduanya
sehingga mengakibatkan asidosis metabolik. Asidosis tubukus ginjal ditandai
dengan adanya asidosis metabolik dengan senjang anion plasma normal,
hiperkloremik dan laju filtrasi glomerulus normal. Ada empat subtipe RTA. Tiga
subtipe utama RTA berkorelasi dengan tiga mekanisme yang memfasilitasi
penanganan asam-basa ginjal, yaitu reabsorpsi bikarbonat proksimal terutama
sebagai akibat pertukaran Na-H (85% hingga 90%), ekskresi ion hidrogen distal-

20 Universitas Sriwijaya
terutama fungsi pengumpulan tubulus dan pembentukan NH3 sebagai buffer urin
utama:16
1. Type 1: Distal RTA
2. Type 2: Proximal RTA
3. Type 3: Mixed RTA
4. Type 4:Hyporeninemic hypoaldosteronism RTA

Pada kasus dewasa, belum ada literatur yang mendeskripsikan angka pasti
kesakitan, namun sudah ada beberapa kasus RTA yang terjadi pada dewasa
terutama RTA tipe 1 atau RTA distal. Gambaran klinis pada RTA dapat mencakup
kelainan pertumbuhan tulang, kelemahan atau kelumpuhan otot, deposit kalsium di
ginjal, anoreksia, muntah, konstipasi, diare, dehidrasi, dan poliuria. dRTA dapat
disebabkan kelainan primer idiopatik atau sekunder sebagai bagian dari penyakit
lain misalnya penyakit sistemik herediter, autoimun, nefrokalsinosis, atau akibat
paparan dengan obat tertentu seperti amfoterisin B.17
Asidosis tubular renal distal merupakan RTA yang disebabkan oleh defek
pada tubulus distal ginjal, dimana defek ini menyebabkan gangguan pada sekresi
ion hidrogen. Dasar kelainan dRTA ialah gangguan sekresi ion H+ pada tubulus
distal. Beberapa ganggun tingkat seluler yang dapat menjadi penyebab RTA distal
klasik meliputi gangguan pompa luminal ion hidrogen–adenosin triphos phatase
(kegagalan pompa H+ atau defek sekretorik), kelainan pada penukar ion ion-klorida
bikarbonat basolateral, ketidakcukupan aktivitas karbonat anhidrase, atau
peningkatan permeabilitas membran lumen terhadap ion hidrogen (kebocoran balik
proton atau cacat permeabilitas).17

21 Universitas Sriwijaya
Gambar 2.9. Gambaran Skematik dRTA.18

Pembentukan NH4+ terjadi di tubulus proksimal dari hasil metabolisme


asam amino glutamin yaitu NH3+ glukosa + CO2 + HCO3-. NH3 yang terbentuk
akan berikatan dengan ion H+ membentuk NH4+ yang selanjutnya bergabung
dengan Cl- menjadi NH4Cl dan kemudian diekskresi bersama urin, sedangkan
HCO3- yang baru dibentuk masuk sirkulasi sistemik melalui vena renalis. NH4+
yang tidak keluar bersama urin akan masuk ke hepar melalui sirkulasi sistemik dan
dimetabolisme menjadi urea menggunakan sejumlah ion HCO3-. Asidosis
metabolik pada dRTA disebabkan gangguan sekresi ion H+ dan gangguan produksi
HCO3- karena produksi NH4+ berkurang. Hiperkloremia terjadi karena gangguan
ekskresi ion Cl- dalam bentuk NH4Cl. Pada dRTA terjadi gangguan pengasaman
urin distal sehingga penderita tidak mampu menurunkan pH urin < 6,0 selama
beban asam dan < 5,5 selama asidosis sistemik berat sehingga urin menjadi lebih
alkali dan pH darah menjadi lebih asam. Reabsorbsi HCO3- umumnya normal tapi
karena pH urin tinggi, maka HCO3- lolos dari reabsorpsi proksimal. Pembuangan
Na+ di urin bersama dengan HCO3- menyebabkan hipokalemia. Kondisi RTA tipe
II (pRTA) berbeda dengan RTA tipe I (dRTA). Pada RTA tipe II terjadi penurunan
kapasitas untuk mendapatkan kembali bikarbonat yang disaring, pasien dengan
RTA proksimal akan dapat memperoleh kembali bikarbonat yang disaring
sepenuhnya jika konsentrasi bikarbonat plasma berada di bawah ambang batas yang

22 Universitas Sriwijaya
dikurangi pasien untuk mendapatkan kembali bikarbonat, sehingga
mempertahankan pH urin normal atau mendekati normal. Jika bikarbonat plasma
berada di atas tingkat ini, bikarbonat muncul dalam urin sehingga meningkatkan
pH urin, karena kandungan bikarbonat yang disaring akan melebihi kapasitas
penyerapan yang berkurang. Inilah sebabnya, pada RTA proksimal, pH urin
bervariasi dan bergantung pada apakah pasien diobati dengan terapi alkali.
Meskipun pasien dengan pRTA bersifat acidemic (pH darah rendah), asam non-
volatil yang dihasilkan setiap hari dapat dihilangkan oleh nefron distal dan tidak
terjadi retensi asam bersih dalam kondisi stabil. Akibatnya, promotor klasik
pembentukan batu kalsium fosfat (CaP) yang ditemukan pada dRTA tipe I dan
idRTA (hiperkalsiuria, hipositraturia, dan alkalinuria) tidak terdapat pada
pRTA.18,19
Asidosis metabolik dapat menyebabkan banyak masalah kesehatan dan
tingkat keparahannya bervariasi. Hal tersebut akan memicu upaya homeostasis
keadaan tubuh untuk mengurangi (atau menyangga) kelebihan proton serum (dari
asam yang bersirkulasi dalam darah). Tubuh dapat memobilisasi kalsium dan buffer
seperti bikarbonat dan fosfat keluar dari tulang. Namun, proses ini melibatkan
pelepasan kalsium dari tulang. Hilangnya kalsium dari tulang dapat menyebabkan
penipisan (osteoporosis) atau pembengkokan (rakhitis) tulang, batu ginjal, dan
penumpukan kalsium (nefrokalsinosis) di ginjal. Selain itu, kadar kalium dalam
darah dapat turun sehingga menyebabkan kelelahan, nyeri otot, dan kram, serta
dalam kasus yang paling parah, kelumpuhan sementara dan perubahan irama
jantung. 18

23 Universitas Sriwijaya
Gambar 2.10. Pembentukan Batu Saluran Kemih pada dRTA.18

Diagnosis dRTA ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala klinik,


dan laboratorik. Diagnosis dikonfirmasi dengan uji acid load test. Masukkan NH4Cl
100 mg / kg BB /oral yaitu bila sesudah 3-6 jam pemberian NH4Cl oral, pH urin <
5,2 berarti orang nomal sedangkan pH urin tetap > 5,5 berarti dRTA. Diagnosis
banding asidosis tubular renal adalah masing masing tipe asidosis tubular renal dan
beberapa penyakit seperti Ehlers-Danos Syndrome, Multiple Myeloma,
Pseudohipoaldosteronisme, Defisiensi Piruvate Carboksilase, Sjorgren Syndrome,
Systemic Lupus Erythematosus, Tirosinemia, dan Penyakit Wilson.18,19

2.2.10 Tatalaksana
A. Non-medikamentosa
1) Komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai penyakit yang diderita pasien
2) Identifikasi dan meminimalkan faktor risiko
3) Menjaga kecukupan hidrasi
4) Menekankan kepatuhan terhadap rencana tatalaksana
5) Rencana tindakan terhadap kondisi batu saluran kemih. Indikasi adanya
pengangkatan batu pada batu ginjal dan saluran kemih antara lain:3
• Pertambahan ukuran batu;
• Pasien risiko tinggi terjadinya pembentukan batu;
• Obstruksi yang disebabkan oleh batu;
• Infeksi saluran kemih;
• Batu yang menimbulkan gejala seperti nyeri atau hematuria;
• Ukuran batu >15 mm;
• Ukuran batu kurang dari 15 mm jika observasi bukan merupakan pilihan
terapi;
• Preferensi pasien;
• Komorbiditas;
• Keadaan sosial pasien (misalnya, profesi dan traveling

24 Universitas Sriwijaya
B. Medikamentosa
Pada pasien dengan batu ureter yang diharapkan dapat keluar secara
spontan, maka pemberian NSAID baik tablet maupun supositoria (seperti natrium
diklofenak 100-150 mg/hari selama 3-10 hari) dapat membantu mengurangi
inflamasi dan risiko nyeri berulang. Walaupun diklofenak dapat memperburuk
fungsi ginjal pada pasien yang sudah terganggu fungsi ginjalnya, namun tidak
berpengaruh pada pasien yang masih memiliki fungsi ginjal yang normal.
Pemberian obat simtomatik segera diikuti dengan terapi desobstruksi drainase dan
atau terapi definitif pada batu saluran kemih. Untuk pasien batu ureter simptomatik,
pengangkatan batu segera merupakan tata laksana pertama apabila memungkinkan.
Pelarutan batu dengan tata laksana farmakologis merupakan pilihan terapi hanya
untuk batu asam urat, tetapi informasi mengenai komposisi batu diperlukan dalam
menentukan pilihan terapi.3,20
Pada kondisi batu ginjal dan saluran kemih dengan penyakit tertentu yang
mendasari, diperlukan terapi tambahan untuk mengatasinya. Pada kasus batu
saluran kemih terkait asidosis tubular renal distal, maka diperlukan Koreksi asidosis
kronis dengan pemberian alkali untuk mencegah efek kataboliknya pada tulang dan
otot. Koreksi asidosis metabolik memerlukan penggantian bikarbonat oral 1-2
meq/kg per hari dengan natrium bikarbonat atau kalium sitrat. Penggantian kalium
sitrat mungkin diperlukan untuk pasien dengan hipokalemia, nefrolitiasis, atau
nefrokalsinosis. Kondisi yang mendasarinya harus dicari dan diobati. Sebagian
besar bikarbonat diserap di tubulus proksimal, sehingga RTA distal relatif mudah
dikoreksi. Tubulus proksimal akan menyerap bikarbonat yang diberikan dan
memperbaiki asidosis 18,19

2.2.11Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi kasus batu saluran kemih secara umum meliputi gagal ginjal
akut sekunder akibat obstruksi, anuria, infeksi saluran kemih disertai obstruksi
ginjal, dan sepsis. Secara umum, prognosis batu saluran kemih dan asidosis tubular
renal distal adalah baik selama dilakukan kontrol dan pemberian pengobatan rutin
pada kondisi pasien yang berkaitan dengan RTA itu sendiri.17,20

25 Universitas Sriwijaya
BAB 3
SIMPULAN

Batu Saluran Kemih (BSK) merupakan suatu penyakit berupa timbulnya


satu atau lebih batu pada segmen traktus urinarius (kaliks renalis, pelvis renalis,
ureter, buli-buli, dan uretra). Pada sebagian besar kasus, jenis atau etiologi batu
saluran kemih yang dijumpai adalah batu kalsium. Salah satu penyebab
terbentuknya batu kalsium adalah kondisis asidosis tubular renal distal. Diagnosis
batu saluran kemih pada asidosis tubular renal distal dapat ditegakkan melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang berupa urinalisis,
pencitraan radiologi, dan pemeriksaan khusus berupa acid load test. Tatalaksana
batu saluran kemih pada asidosis tubular renal distal berupa rencana ekstraksi batu
saluran kemih, terapi simtomatik, dan koreksi asidosis metabolik.

26 Universitas Sriwijaya
DAFTAR PUSTAKA

1. I. Resnick, Martin. 2007. Urologic Clinics. Elsevier: Texas.


2. Thakore P, Liang TH. Urolithiasis. [Updated 2023 Jun 5]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559101/
3. S. Nugroho, Bambang.dkk.. 2018. Panduan Penatalaksanaan Klinis Batu
Saluran Kemih Edisi Pertama. Ikatan Ahli Urologi Indonesia.
4. Alwi, Idrus. 2018. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam Panduan
Praktik Klinis. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.p.
363-367.
5. Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Standar Nasional Pendidikan Profesi
Dokter Indonesia. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia; 2019
6. Snell RS. Sistem Kemih. In: Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta: EGC;
2014. p. 748–76
7. Drake RL, Vogl W, Mitchell AWM. Regiones Abdominales. In: Gray’s Basic
Anatomy. Philadelphia: Elsevier; 2012. p. 134–255
8. Dreamstime. Renal Anatomy [Internet]. Diakses pada 11 Oktober 2023.
Available from: https://www.dreamstime.com/royalty-free-stock-
photography-kidney-anatomy-easy-to-edit-vector-illustration-image31172047
9. Treuting, Piper M. (2012). Comparative Anatomy and Histology || Urinary
System. , (), 229–251. doi:10.1016/B978-0-12-381361-9.00016-0
10. Quizlet. Path of Blood Flow Through Renal Blood Vessel (Arteries) [Internet].
Diakses pada 11 Oktober 2023. Available from:
https://quizlet.com/247434488/path-of-blood-flow-through-renal-blood-
vessels-arteries-diagram/
11. Irfanuddin. Fungsi Tubuh Manusia. 2nd ed. Palembang: Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya; 2019. 65–78 p.
12. Silverthorn, Dee Unglaub. 2019. Human Physiology Eighth Edition. Pearson:
USA
13. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, - Laporan Nasional
Riskesdas 2013. Lembaga Penerbit Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Jakarta.
14. Mehmed, M.M., & Ender O. 2015. Effect of urinary stone disease and it’s
treatment on renal function. World J Nephrol: 4(2): 271-276.
15. Jones J, Machang'a K, Kearns C, et al. Urolithiasis. Reference article,

27 Universitas Sriwijaya
Radiopaedia.org (Accessed on 10 Oct 2023) https://doi.org/10.53347/rID-6212
16. Al-Mamari, Said. (2017). Differential Diagnosis of Urolithiasis. 10.1007/978-
3-319-62437-2_10.
17. Mustaqeem R, Arif A. Renal Tubular Acidosis. [Updated 2023 Jul 17]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-
. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK519044/
18. Fuster, D. G., & Moe, O. W. (2018). Incomplete Distal Renal Tubular Acidosis
and Kidney Stones. Advances in chronic kidney disease, 25(4), 366–374.
https://doi.org/10.1053/j.ackd.2018.05.007
19. Pathya, Ayu & Harun, Harnavi. (2020). Asidosis Tubulr Renal Distal. Human
Care Journal. 5. 220. 10.32883/hcj.v5i1.609.
20. Sja’bani, Mochammad. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna
Publishing; 2014. p. 2121-2127.
21. Segura JW, Preminger GM, Assimos DG et al: Ureteral stones clinical
guidelines panel summary report on the management of ureteral calculi. J Urol
1997; 158: 1915.

28 Universitas Sriwijaya

Anda mungkin juga menyukai