Anda di halaman 1dari 52

BAGIAN BEDAH LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN Juli 2022


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

BATU URETER

OLEH :
Rezky Kanza Putri, S.Ked
105505406219

PEMBIMBING :
dr. A. Malik Yusuf, Sp.U

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
MAKASSAR
2022
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menerangkan, bahwa:


Nama : Rezky Kanza Putri
NIM : 105505406219
JUDUL : Batu Ureter

Telah menyelesaikan Tugas Laporan Kasus dalam rangka Kepaniteraan Klinik di


Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Juli 2022

Pembimbing,

dr. A. Malik Yusuf, Sp.U

ii
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim. Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur penulis


panjatkan kehadirat Allah SWT atas karunia dan rahmat yang diberikan, sehingga
penulisan Laporan kasus yang berjudul “Batu Ureter” dalam rangka memenuhi
tugas kepaniteraan klinik Pediatri sebagai syarat kelulusan dapat terselesaikan tanpa
hambatan dan rintangan yang berarti.

Penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan karya tulis ilmiah


ini tidak lepas dari bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis
menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua dan
keluarga atas bantuan dan pengertiannya selama penulisan karya tulis ini serta yang
terhormat:

1. dr. A. Malik Yusuf, Sp.U sebagai pembimbing

2. Staff dan pengajar kepaniteraan klinik Bedah

Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan dalam
pengembangan informasi ilmiah baik bagi penulis khususnya, juga mahasiswa,
institusi dan masyarakat pada umumnya.

Billahi fii sabilil haq. Fastabiqul Khaerat!

Makassar, Juli 2022

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN...........................................................................................................II
KATA PENGANTAR..................................................................................................................III
DAFTAR ISI..................................................................................................................................0
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................................1
BAB II LAPORAN KASUS..........................................................................................................2
A. IDENTITAS PASIEN.............................................................................................................2
B. ANAMNESIS.........................................................................................................................2
C. PEMERIKSAAN FISIK.........................................................................................................3
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG LABORATORIUM...........................................................4
E. RESUME................................................................................................................................7
F. DIAGNOSIS KERJA..............................................................................................................8
G. HASIL LAPORAN OPERASI...............................................................................................8
H. TERAPI...................................................................................................................................9
BAB III.........................................................................................................................................10
TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................................................10
A. ANATOMI DAN FISOLOGI...............................................................................................10
B. DEFINISI..............................................................................................................................19
C. EPIDEMIOLOGI..................................................................................................................20
D. ETIOLOGI............................................................................................................................20
E. KLASIFIKASI DAN DERAJAT STRIKTUR URETRA....................................................22
F. PATOFISIOLOGI.................................................................................................................24
G. MANIFESTASI KLINIK.....................................................................................................25
H. DIAGNOSIS.........................................................................................................................26
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG..........................................................................................27
J. TATALAKSANA.................................................................................................................27
K. KOMPLIKASI......................................................................................................................31
L. PROGNOSIS........................................................................................................................32
BAB IV PEMBAHASAN............................................................................................................33
BAB V..........................................................................................................................................38
KESIMPULAN.............................................................................................................................38
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................39
BAB I
PENDAHULUAN

Pembentukan batu pada sistem urinaria seperti pada ginjal, ureter, dan kandung
kemih atau pada uretra secara umum disebut sebagai urolithiasis yang terbentuk dari
kata ouron (urin) dan lithos (batu). Urolithiasis adalah salah satu penyakit yang sering
terjadi pada saluran kemih dan merupakan salah satu sumber penyakit. 1 Batu saluran
kemih (BSK) dapat menyebabkan gejala nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih
atau infeksi.2
Pada striktur uretra terjadi penyempitan dari lumen uretra akibat terbentuknya
jaringan fibrotik pada dinding uretra. Striktur uretra menyebabkan gangguan dalam
berkemih, mulai dari aliran berkemih yang mengecil sampai sama sekali tidak dapat
mengalirkan urin keluar dari tubuh. Urin yang tidak dapat keluar dari tubuh dapat
menyebabkan banyak komplikasi, dengan komplikasi terberat adalah gagal ginjal.
Striktur uretra masih merupakan masalah yang sering ditemukan pada bagian dunia
tertentu. Striktur uretra lebih sering terjadi pada pria dari pada wanita, karena uretra pada
wanita lebih pendek dan jarang terkena infeksi. Segala sesuatu yang melukai uretra
dapat menyebabkan striktur. Orang dapat terlahir dengan striktur uretra, meskipun hal
itu jarang terjadi.6
Sumbatan pada sistem saluran kemih termasuk suatu kegawatdaruratan medis
karena dapat menyebabkan kematian bagi pasien. Sumbatan dapat terjadi pada saluran
kemih atas dan saluran kemih bawah. Sumbatan pada saluran kemih atas meliputi organ
ginjal dan ureter dapat memberikan manifestasi klinis berupa nyeri kolik atau anuria.
Sedangkan sumbatan saluran kemih bawah pada buli-buli dan uretra menyebabkan
retensi urine.
Retensi urine adalah ketidakmampuan dalam mengeluarkan urine sesuai dengan
keinginan, sehingga urine yang terkumpul di buli-buli melampaui batas maksimal. Salah
satu penyebabnya adalah akibat penyempitan pada lumen uretra karena fibrosis pada
dindingnya, disebut dengan striktur uretra. Penanganan kuratif penyakit ini adalah
dengan operasi, namun tidak jarang beberapa teknik operasi dapat menimbulkan

rekurensi penyakit yang tinggi bagi pasien. Maka dari itu diperlukan penanganan tepat
dan adekuat untuk menghindari resiko kekambuhan penyakit striktur uretra.5

1
2
BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. I
Tanggal lahir : 02 Mei 1979
Umur : 43 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Dusun I, Luhu, Telaga, Kab. Gorontalo
Tanggal masuk RS : Ahad, 4 Juli 2022
Rekam Medis : 708657
Ruangan : Perawatan Mawar Lt. 3 kamar 312, RS.TK II Pelamonia
Makassar

B. ANAMNESIS

Keluhan Utama : Nyeri perut tembus belakang disertai nyeri saat BAK
Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien laki-laki usia 43 tahun datang ke RS Pelamonia dengan keluhan Nyeri


perut tembus belakang yang dirasakan memberat dalam 3 bulan terakhir (april).
Sebenarnya rasa nyeri telah dirasakan hilang timbul sudah lebih dari 2 tahun yang lalu
namun masih dapat ditahan. Selain itu, pasien juga merasa nyeri saat buang air kecil.
Keluhan disertai dengan rasa tidak dapat menahan ketika ingin buang air kecil, dan
pada saat buang air kecil pasien merasa tidak tuntas. Pasien juga pernah tiba-tiba
kencing terputus (pancaran tiba-tiba berhenti). Riwayat nyeri pinggang sebelah kiri
ada. Riwayat buang air kecil berpasir ada. Riwayat kencing berwarna merah
disangkal. Pasien jarang minum karena ketika banyak minum akan sering ke toilet
untuk BAK. Kebiasaan merokok disangkal

Riwayat Penyakit Dahulu : Hipertensi (-)

3
Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada riwayat penyakit yang sama dalam
keluarga.
Riwayat pengobatan : Tidak ada Riwayat pengobatan yang spesifik
Riwayat Alergi : Tidak ada
Riwayat Sosial dan Kebiasaan : Riwayat pekerjaan sebagai penebang hutan

C. PEMERIKSAAN FISIK
a. GCS : E4M6V5
b. KU : Sakit sedang
c. Gizi : BB (60 kg), TB (160 cm), IMT (23,4), Status gizi normal
d. Vital sign :
i. Nadi : 89 x/menit
- TD : 120/80 mmHg
ii. Suhu : 36,4oC
iii. Pernafasan : 20 x/menit
e. Status Generalisata
i. Kulit : Warna sawo matang, ikterik (-), sianosis (-), turgor kulit cukup.
ii. Kepala : Tampak tidak ada jejas, tidak ada bekas trauma
iii. Rambut : Warna hitam, tidak mudah rontok.
iv. Mata : Konjungtiva anemis (-/-) dan sklera ikterik (-/-)
v. Pemeriksaan leher
1.Inspeksi : Tidak terdapat jejas
2. Palpasi : Trakea teraba di tengah, tidak terdapat pembesaran
kelenjar tiroid.
vi. Pemeriksaan thorax
1.Jantung
a. Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
b. Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
c. Perkusi
Batas atas kiri : IC II LPS sinistra
Batas atas kanan : SIC II LPS dextra
Batas bawah kiri : SIC V LMC
sinistra

4
Batas bawah kanan : SIC IV LPS dextra
d. Auskultasi : S1 & S2 murni regular, tidak
ditemukan gallop dan murmur.

2.Paru

a. Inspeksi : Dinding dada simetris, tidak ditemukan retraksi.

b. Palpasi : Simetris, vocal fremitus kanan sama dengan kiri.

c. Perkusi : Sonor kedua lapang paru.

d. Auskultasi : Tidak terdengan suara rhonki (-/-) dan wheezing

(-/-) o Pemeriksaan Abdomen


e. Auskultasi : Bising usus (+), kesan normal
f. Inspeksi : Tidak tampak distensi
g. Perkusi : Timpani
h. Palpasi : Nyeri tekan (+)
o Pemeriksaan Ekstremitas
i. Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa dan sianosis
j. Turgor kulit baik, akral
hangat o Status Lokalis
k. Regio Suprapubik
Inspeksi : Tidak terlihat menonjol
Palpasi : Nyeri tekan (-), tidak terdapat penonjolan, teraba
lunak Perkusi : Timpani

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
a. Pemeriksaan Hematologi (04-07-2022)
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
WBC 11,57 3.6 - 11.0 103/uL
RBC 5,40 4.4 - 5.9 103/uL
HGB 15,7 13.2 - 17.3 g/dl
HCT 47,9 40.0 - 52.0 %

5
MCV 88,7 84.0 - 97.0 fL
MCH 29,1 28 - 34 Pg
PLT 392 150 - 450 103/uL
NEUT% 67,7 50 - 70 %
LYMPH% 24,9 25.0 - 40.0 %
MONO% 4,50 2–8 %
EO% 2,5 2–4 %
BASO% 0.4 0.0 - 1.0 %
LED 50 0.0 - 10 Mm

b. Pemeriksaan Kimia (04-07-2022)


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Ureum 37 10 - 50 mg/dl
Kreatinin 1.05 0.6 – 1.2 mg/dl
(CKD-EPI) 86,52 Ml/menit/
1.73m2

c. Pemeriksaan Hemostasis (04-07-2022)


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Clotting Time 8’15” 6 - 15 Detik

Bleeding Time 1’30” 1.0 – 3.0 Detik

6
CT Scan Abdomen

Kesan : Hydronefrosis dan hidroureter bilateral ec Nefrolithiasis dan Uretrolithiasis

E. RESUME
F. Pasien laki-laki usia 43 tahun datang ke RS Pelamonia dengan keluhan Nyeri perut
tembus belakang yang dirasakan memberat dalam 3 bulan terakhir (april).
Sebenarnya rasa nyeri telah dirasakan hilang timbul sudah lebih dari 2 tahun yang lalu
namun masih dapat ditahan. Selain itu, pasien juga merasa nyeri saat buang air kecil.
Keluhan disertai dengan rasa tidak dapat menahan ketika ingin buang air kecil, dan
pada saat buang air kecil pasien merasa tidak tuntas. Pasien juga pernah tiba-tiba

7
kencing terputus (pancaran tiba-tiba berhenti). Riwayat nyeri pinggang sebelah kiri
ada. Riwayat buang air kecil berpasir ada. Riwayat kencing berwarna merah
disangkal. Pasien jarang minum karena ketika banyak minum akan sering ke toilet
untuk BAK. Kebiasaan merokok disangkal
Pada pemeriksaan fisik didaptkan GCS E4V5M6, status gizi normal (IMT 23,4
kg/m2 ), BB 60 kg, TB 160 cm, nadi 89 x/menit, TD 120/80 mmHg, suhu 36,4oC,
pernapasan 20x/menit. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan kelainan. Pada
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium darah lengkap pada tanggal
04-07-2022 didapatkan WBC meningkat, HGB : 15,7g/dl dan PLT dalam batas
normal; LED meningkat 50 Mm.. Pada pemeriksaan kimia darah didapatkan ureum
dalam batas normal. Sedangkan kadar kreatinin dalam batas normal dan kadar glukosa
darah sewaktu dalam batas normal. Pada pemeriksaan hemostasis darah didapatkan
clotting time dan bleeding time dalam batas normal..

8
G. DIAGNOSIS KERJA
a. Diagnosis pre-operatif
- Batu Ureter Proximal
- Batu Buli-buli
- Kolik Abdomen
b. Diagnosis post-operatif
i. Batu ureter proximal

H. HASIL LAPORAN OPERASI

9
I. TERAPI
a. Pre-operatif
i. Transfusi PRC 2 bag
ii. IVFD RL 28 tpm
iii. Amlodipin 5 mg 1 x 1
iv. Lasix 1 ampul
v. Ceftriaxone 1 gr 30 menit pre-operasi
vi. Rencana Sachse
b. Post-operatif
i. IVFD RL 28 tpm
ii. Ceftriaxone 1gr/ 12 jam/ iv
iii. Ketorolac 1 ampul/ 12 jam/ iv
iv. Amlodipin 10 mg 1x1 tab

10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI DAN FISOLOGI


Anatomi
a. Ginjal

Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang terdapat sepasang


(masing-masing satu di sebelah kanan dan kiri vertebra) dan posisinya
retroperitoneal. Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah (kurang lebih 1 cm)
dibanding ginjal kiri, hal ini disebabkan adanya hati yang mendesak ginjal sebelah
kanan. Kutub atas ginjal kiri adalah tepi atas iga 11 (vertebra T12), sedangkan
kutub
atas ginjal kanan adalah tepi bawah iga 11 atau iga 12. Adapun kutub bawah ginjal
kiri adalaj processus transverses vertebra L2 (kira-kira 5 cm dari krista iliaka)
sedangkan kutub bawah ginjal kanan adalah pertengahan vertebra L3. Dari
batasbatas tersebut dapat terlihat bahwa ginjal kanan posisinya lebih rendah
dibandingkan ginjal kiri.5 Secara umum, ginjal terdiri dari beberapa bagian:
1. Korteks, yaitu bagian ginjal di mana di dalamnya terdapat/terdiri dari korpus
renalis/Malphigi (glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus proksimal
dan tubulus kontortus distalis.
2. Medulla, yang terdiri dari 9-14 pyramid. Di dalamnya terdiri dari tubulus
rektus, lengkung Henle dan tubulus pengumpul (ductus colligent).
3. Columna renalis, yaitu bagian korteks di antara pyramid ginjal
4. Processus renalis, yaitu bagian pyramid/medula yang menonjol ke arah
korteks.
5. Hilus renalis, yaitu suatu bagian/area di mana pembuluh darah, serabut saraf
atau duktus memasuki/meninggalkan ginjal.
6. Papilla renalis, yaitu bagian yang menghubungkan antara duktus pengumpul
dan calyx minor.
7. Calyx minor, yaitu percabangan dari calyx major.
8. Calyx major, yaitu percabangan dari pelvis renalis.
9. Pelvis renalis, disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang menghubungkan
antara calyx major dan ureter.

11
10. Ureter, yaitu saluran yang membawa urine menuju vesica urinaria.
b. Uretra
Uretra merupakan saluran yang membawa urine keluar dari vesica urinaria
menuju lingkungan luar. Terdapat beberapa perbedaan uretra pada pria dan wanita.
Uretra pada pria memiliki panjang sekitar 20 cm dan juga berfungs sebagai organ
seksial (berhubungan dengan kelenjar prostat), sedangkan uretra pada wanita
panjangnya sekitar 3,5 cm. Selain itu, pria memiliki dua otot sphincter yaitu m
. spinchter interna (otot polos terusan dari m. detrusor dan bersifat involunter) dan
m.spinchter externa (di uretra pars membranosa, bersifat volunter), sedangkan pada
wanita hanya memiliki m.sphincter externa (distal inferior dari kandung kemih dan
bersifat volunter).5
Pada pria, uretra dapat dibagi aatas pars pre-prostatika, pars prostatika, pars
membranosa dan pars spongiosa.5
1. Pars pre-prostatika (1-1,5 cm), merupakan bagian dari collum vesicae dan
aspek superior kelenjar prostat. Pars pre-prostatika dikelilingi oleh otot m. sphincter
urethrae internal yang berlanjut dengan kapsul kelenjar prostat. Bagian ini disuplai
oleh persarafan simpatis.
2. Pars prostatika (3-4 cm), merupakan bagian yang melewati/menembus
kelenjar prostat. Bagian ini dapat lebih berdilatasi/melebar dibanding bagian
lainnya.
3. Pars membranosa (12-19 mm), merupakan bagian yang terpendek dan
tersempit. Bagian ini menghubungkan dari prostat menuju bulbus penis melintasi
diafragma urogenital. Diliputi otot polos dan di luarnya oleh m. sphincter urethrae
eksternal yang berada di bawah kendali volunteer (somatis).
4. Pars spongiosa (15 cm), merupakan bagian uretra paling panjang,
membentang dari pars membranosa sampai orifisum di ujung kelenjar penis. Bagian
ini dilapisi oleh korpus spongiosum di bagian luarnya.

Secara anatomis uretra pria dibagi menjadi dua bagian yaitu uretra posterior dan
uretra anterior. Uretra pria dibagi atas :2

1. Uretra Posterior, dibagi menjadi:


a. Pars prostatika : dengan panjang sekitar 2,5 cm, berjalan melalui kelenjar
prostate.
12
b. Pars membranacea : dengan panjang sekitar 2 cm, berjalan melalui
diafragma urogenital antara prostate dan penis.
2. Uretra Anterior, dibagi menjadi:
a. Pars bulbaris: terletak di proksimal, merupakan bagian uretra yang
melewati bulbus penis.
b. Pars pendulum /cavernosa/spongiosa: dengan panjang sekitar 15 cm,
berjalan melalui penis (berfungsi juga sebagai transport semen).
c. Pars glandis: bagian uretra di gland penis. Uretra ini sangat pendek dan
epitelnya sangat berupa squamosa ( squamous compleks noncornificatum).

Sedangkan uretra pada wanita berukuran lebih pendek (3,5 cm) dibanding
uretra pada pria. Setelah melewati diafragma urogenital, uretra akan bermuara
pada orifisiumnya di antara klitoris dan vagina (vagina opening). Terdapat m.
sphincter uretrae yang bersifat volunteer di bawah kendali somatic, namun tidak
seperti uretra pria, uretra pada wanita tidak memilliki fungsi reproduktif.5

Fisiologi
a. Pembentukan Urin
Terdapat tiga tahap pembentukan urin:
1. Filtrasi glomerular
Pembentukan kemih dimulai dengan filtrasi plasma pada glomerulus,

seperti kapiler tubuh lainnya, kapiler glomerulus secara relative bersifat


impermeable terhadap protein plasma yang besar dan cukup permeable
terhadap air dan larutan yang lebih kecil seperti elektrolit, asam amino, glukosa,
dan sisa nitrogen. Aliran darah ginjal (RBF = Renal Blood Flow) adalah sekitar
22% dari curah jantung atau sekitar 1100 ml/menit. Sekitar seperlima dari
plasma atau sekitar 125 ml/menit dialirkan melalui glomerulus ke kapsul
Bowman. Ini dikenal dengan laju filtrasi glomerulus (GFR = Glomerular
Filtration Rate). Gerakan masuk ke kapsula bowman’s disebut filtrasi. Tekanan
filtrasi berasal dari perbedaan tekanan yang terdapat antara kapiler glomerulus
dan kapsula bowman’s, tekanan hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus
mempermudah filtrasi dan kekuatan ini dilawan oleh tekanan hidrostatik filtrate
dalam kapsula bowman’s serta tekanan osmotic koloid darah. Filtrasi

13
glomerulus tidak hanya dipengaruhi oleh tekanan-tekanan koloid di atas namun
juga oleh permeabilitas dinding kapiler. 5

2. Reabsorpsi
Zat-zat yang difiltrasi ginjal dibagi dalam 3 bagian yaitu: non elektrolit,
elektrolit dan air. Setelah filtrasi langkah kedua adalah reabsopri selektif zat-
zat tersebut kembali lagi zat-zat yang sudah difiltrasi. Hasil sisa metabolism
seperti urea, kreatinin, asam urat sedikit direabsorbsi pada tubulus ginjal.
Sebaliknya elektrolit seperti natrium, klorida dan bikarbonat tereabsorbsi
dalam jumlah banyak, hingga kadar elektrolit dalam urin akan rendah.
Beberapa zat hasil filtrasi akan direabsorbsi sepenuhnya, seperti asam amino
dan glukosa. Reabsorpsi terjadi dalam tubulus kontortus proksimal, lengkung
henle dan tubulus kontortus distal.5

3. Sekresi
Sekresi tubular melibatkan transport aktif molekul-molekul dari aliran
darah melalui tubulus ke dalam filtrate. Banyak substansi yang disekresi tidak
terjadi secara alamiah dalam tubuh (misalnya penisilin). Substansi yang secara
alamiaah terjadi dalam tubuh termasuk asam urat dan kalium serta ion-ion
hydrogen.5

14
Pada tubulus kontortus distal, transport aktif natrium sistem carier yang

juga terlibat dalam sekresi hydrogen dan ion-ion kalium tubular. Dalam
hubungan ini, tiap kali carier membawa natrium keluar dari cairan tubular,
cariernya bisa hydrogen atau ion kalium ke dalam cairan tubular
“perjalanannya kembali’ jadi, untuk setiap ion natrium yang diabsorbsi,
hydrogen atau kalium harus disekresi dan sebaliknya. Pilihan kation yang akan
disekresi tergantung pada konsentrasi cairan ekstratubular (CES) dari ion-ion
ini (hydrogen dan kalium). Pengetahuan tentang pertukaran kation dalam
tubulus distalis ini membantu kita memahami beberapa hubungan yang
dimiliki elektrolit dengan lainnya. Sebagai contoh, kita dapat mengerti
mengapa bloker alodsteron dapat menyebabkan hiperkalemia atau mengapa
pada awalnya dapat terjadi penurunan kalium plasma ketika asidosis berat
dikoreksi secara terapeutik.5

b. Miksi
Miksi adalah proses pengosongan kandung kemih setelah terisi urine. Miksi
melibatkan dua tahap utama: Pertama, kandung kemih terisi secara progresif
hingga tegangan pada dindingnya meningkat melampaui nilai ambang batas;
keadaan ini akan mencetuskan tahapkedua, yaitu adanya refleks saraf disebut
refleks miksi yang akan mengosongkan kandung kemih atau, jika gagal, setidaknya
akan menyebabkan keinginan berkemih yang disadari. Meskipun refleks miksi
adalah refleks medulla spinalis yang bersifat otonom, refleks ini dapat dihambat
atau difasilitasi oleh pusat-pusat di korteks serebri atau batang otak.7

Gambar 3.3 Anatomi Kandung Kemih pada pria dan wanita7

15
Kandung kemih merupakan suatu ruang otot polos yang terdiri atas dua bagian
utama: (1) bagian korpus, yang merupakan bagian utama kandung kemih, dan
tempat pengumpulan urin. serta (2) bagian leher berbentuk corong, yang
merupakan perpanjangan bagian korpus kandung kemih, berjalan ke bawah dan ke
depan menuju segitiga urogenital dan berhubungan dengan uretra. Bagian bawah
leher kandung kemih disebut juga uretra posterior karena bagian ini berhubungan
7
dengan uretra.
Otot polos kandung kemih disebut otot detrusor. Serat-serat ototnya meluas ke
segala arah, dan ketika berkontraksi, dapat meningkatkan tekanan di dalam
kandung kemih hingga 40-60 mm Hg. Jadi, kontraksi otot detrusor merupakan
tahap utama pada proses pengosongan kandung kemih. Sel-sel otot polos pada
otot detrusor menyatu membentuk jaras listrik bertahanan rendah dari sel otot yang
satu ke yang lain. Oleh karena itu, potensial aksi dapat menyebar ke seluruh otot
7
detrusor, dari satu sel otot ke sel berikutnya, menyebabkan kontraksi.
Pada dinding posterior kandung kemih, tepat di atas leher kandung kemih,
terdapat daerah segitiga kecil yang disebut trigonum. Pada bagian terendah apeks
trigonum, leher kandung kemih membuka ke arah uretra posterior, dan kedua
ureter memasuki kandung kemih di bagian atas apeks trigonum. Trigonum dapat
dikenali karena mukosanya, lapisan dalam kandung kemih licin, berbeda dengan
mukosa di bagian lain kandung kemih yang berlipat-lipat membentuk rugae. 7
Setiap ureter, saat memasuki kandung kemih, berjalan miring melintasi otot
detrusor dan kemudian berjalan lagi 1 sampai 2 cm di bawah mukosa kandung
7
kemih sebelum mengosongkan urine ke kandung kemih.
Panjang leher kandung kemih (uretra posterior) adalah 2 sampai 3 cm, dan
dindingnya tersusun atas otot detrusor dijalin dengan sejumlah besar jaringan
elastis. Otot di daerah ini disebut sfingter interna. Tonus normalnya menyebabkan
leher kandung kemih dan uretra posterior tidak mengandung urine dan, dengan
demikian, mencegah pengosongan kandung kemih hingga tekanan pada bagian
7
utama kandung kemih meningkat melampaui nilai ambang.

16
Setelah melewati uretra posterior, uretra berjalan melalui diafragma urogenital,
yang mengandung suatu lapisan otot yang disebut sfingter eksterna kandung
kemih. Otot ini merupakan otot rangka volunter, berbeda dengan otot pada bagian
korpus dan leher kandung kemih, yang seluruhnya merupakan otot polos. Otot
sfingter eksterna berada di bawah kendali volunter sistem saraf dan dapat
digunakan untuk mencegah miksi secara sadar bahkan ketika kendali involunter
berusaha untuk mengosongkan kandung kemih.7

Gambar 3.4 Kandung kemih dan persarafannya7

Kandung Kemih mendapat persarafan utama dari nervous pelvikus, yang


berhubungan dengan medulla spinalis melalui pleksus sakralis, terutama dengan
segmen S-2 dan S-3 medula spinalis. Dalam nervus pelvikus terdapat dua jenis
saraf yaitu serat saraf sensorik dan serat saraf motorik. Serat sensorik mendeteksi
derajat regangan dalam dinding kandung kemih. Sinyal-sinyal regangan khususnya
dari uretra posterior merupakan sinyal yang kuat dan terutama berperan untuk
memicu refleks pengosongan kandung kemih.7
Persarafan motorik yang dibawa dalam nervus pelvikus merupakan serat
parasimpatis. Saraf ini berakhir di sel ganglion yang terletak di dalam dinding
kandung kemih. Kemudian saraf-saraf postganglionik yang pendek akan
7
mempersarafi otot detrusor.

17
Selain saraf pelvis, terdapat dua jenis persarafan lain yang penting untuk
mengatur fungsi kandung kemih. Saraf yang paling penting adalah serat motorik
skeletal yang dibawa melalui nervus pudendus ke sfingter eksterna kandung kemih.
Saraf ini merupakan serat saraf somatik yang mempersarafi dan mengatur otot
rangka volunteer sfingter tersebut. Kandung kemih juga mendapatkan simpatis dari
rangkaian simpatis melalui nervus hipogastrik, yang terutama berhubungan dengan
segmen L-2 medula spinalis. Serat simpatis ini terutama merangsang pembuluh
darah dan memberi sedikit efek terhadap proses kontraksi kandung kemih.
Beberapa serat sensorik juga berjalan melalui persarafan simpatis dan mungkin
penting untuk sensasi rasa penuh dan nyeri, pada beberapa kasus. 7
Urine yang dikeluarkan dari kandung kemih pada dasarnya memiliki komposisi
yang sama dengan cairan yang mengalir keluar dari duktus koligens; tidak ada
perbedaan komposisi urine yang bermakna selama urin mengalir melalui kalises
7
ginjal dan ureter menuju ke kandung kemih.
Urine mengalir dari duktus koligens menuju kalises ginjal. Urine meregangkan
kalises dan meningkatkan aktivitas pacemaker yang ada, yang kemudian akan
memicu kontraksi peristaltik yang menyebar ke pelvis ginjal dan ke arah bawah di
sepanjang ureter, dengan demikian memaksa urine mengalir dari pelvis ginjal ke
arah kandung kemih. Pada orang dewasa, ureter normal panjangnya 25 sampai 35
7
cm (10 sampai 14 inci).
Dinding ureter terdiri atas otot polos yang dipersarafi oleh saraf simpatis dan
parasimpatis serta pleksus neuron dan serat saraf intramural sepanjang ureter.
Seperti otot polos viseral lainnya, kontraksi peristaltik pada ureter diperkuat oleh
7
rangsang parasimpatis dan dihambat oleh rangsang simpatis.
Ureter memasuki kandung kemih melalui otot detrusor di dalam area trigonum
kandung kemih. Biasanya, ureter berjalan miring sepanjang beberapa sentimeter
ketika melewati dinding kandung kemih. Tonus normal otot detrusor di dalam
kandung kemih cenderung akan menekan ureter, dan kandung kemih ketika
tekanan di dalam kandung dengan demikian mencegah aliran balik (refluks) urine
kemih meningkat selama miksi atau selama kompresi kandung kemih. Setiap
gelombang peristaltik di sepanjang ureter meningkatkan tekanan di dalam ureter
sehingga daerah yang menuju kandung kemih membuka dan memungkinkan aliran
7
urine ke dalam kandung kemih.
Pada beberapa orang, jarak yang ditempuh ureter di dalam dinding kandung
18
kemih lebih pendek dari normal, sehingga kontraksi kandung kemih selama miksi
tidak selalu menyebabkan oklusi ureter yang lengkap. Sebagai akibatnya, sebagian
urine dalam kandung kemih didorong ke belakang ke arah ureter, kondisi ini
disebut refluks vesikoureter. Refluks semacam ini dapat menyebabkan pembesaran
ureter dan, jika berat, dapat meningkatkan tekanan dalam kalises ginjal dan struktur
7
medula ginjal, menyebabkan kerusakan di daerah ini.
Ureter banyak dipersarafi oleh serat saraf nyeri. Bila ureter terbendung
(misalnya, oleh batu ureter), terjadi refleks konstriksi kuat, disertai dengan nyeri
hebat. Impuls nyeri juga menyebabkan refleks simpatis balik menurunkan keluaran
urine dari ginjal. Efek ini disebut ke ginjal untuk mengonstriksi arteriol ginjal,
sehingga yang berlebihan ke pelvis ginjal pada keadaan refleks ureterorenal dan
penting untuk mencegah aliran cairan ureter terbendung.7

Retensi Urine
Retensi urine adalah ketidakmampuan dalam mengeluarkan urine sesuai
dengan keinginan, sehingga urine yang terkumpul di buli-buli melapaui batas
maksimal. Salah satu penyebabnya adalah akibat penyempitan pada lumen uretra
karena fibrosis pada dindingnya, disebut dengan striktur uretra.5
Retensi urin akut (AUR) dapat terjadi pada pria atau wanita dan disebabkan
oleh berbagai penyebab, meskipun paling sering terjadi pada pria dengan Benign
Prostatic Hyperplasia (BPH). Penyebab kronis lain dari pengosongan kandung
kemih yang buruk, seperti neuropati diabetik, striktur uretra, sklerosis multipel,
atau penyakit Parkinson, dapat menyebabkan episode retensi urin lengkap,
seringkali ketika kandung kemih menjadi terlalu distensi. Hal ini sering terjadi di
rumah sakit ketika pasien memiliki mobilitas terbatas dan menerima obat yang
menurunkan kontraktilitas kandung kemih, termasuk opiat atau antikolinergik.
Sembelit, efek samping yang umum dari obat-obatan tersebut, dengan sendirinya
dapat memperburuk retensi urin. Hematuria yang signifikan dapat menyebabkan
pembentukan bekuan darah, yang dapat menyumbat uretra dan menyebabkan
retensi.7
Secara garis besar penyebab retensi dapat dapat diklasifikasi menjadi 5 jenis
yaitu akibat obstruksi, infeksi, farmakologi, neurologi, dan faktor trauma.
Obstruksi pada saluran kemih bawah dapat terjadi akibat faktor intrinsik, atau
faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik berasal dari sistem saluran kemih dan bagian

19
yang mengelilinginya seperti pembesaran prostat jinak, tumor buli-buli, striktur
uretra, phimosis, paraphimosis, dan lainnya. Sedangkan faktor ekstrinsik,
sumbatan berasal dari sistem organ lain, contohnya jika terdapat massa di saluran
cerna yang menekan leher buli-buli, sehingga membuat retensi urine. Dari semua
penyebab, yang terbanyak adalah akibat pembesaran prostat jinak. Penyebab kedua
akibat infeksi yang menghasilkan peradangan, kemudian terjadilah edema yang
menutup lumen saluran uretra. Reaksi radang paling sering terjadi adalah
prostatitis akut, yaitu peradangan pada kelenjar prostat dan menimbulkan
pembengkakan pada kelenjar tersebut. Penyebab lainnya adalah uretritis, infeksi
herpes genitalia, vulvovaginitis, dan lain-lain.5
Medikasi yang menggunakan bahan anti kolinergik, seperti trisiklik
antidepresan, dapat membuat retensi urine dengan cara menurunkan kontraksi otot
detrusor pada buli- buli. Obat-obat simpatomimetik, seperti dekongestan oral, juga
dapat menyebabkan retensi urine dengan meningkatkan tonus alpha-adrenergik
pada prostat dan leher buli- buli. Dalam studi terbaru obat anti radang non steroid
ternyata berperan dalam pengurangan kontraksi otot detrusor lewat inhibisi
mediator prostaglandin.5
Secara neurologi retensi urine dapat terjadi karena adanya lesi pada saraf
perifer, otak, atau sumsum tulang belakang. Lesi ini bisa menyebabkan kelemahan
otot detrusor dan inkoordinasi otot detrusor dengan sfingter pada uretra. Penyebab
terakhir adalah akibat trauma atau komplikasi pasca bedah. Trauma langsung yang
paling sering adalah straddle injury, yaitu cedera dengan kaki mengangkang,
biasanya pada anak-anak yang naik sepeda dan kakinya terpeleset dari pedalnya,
sehingga jatuh dengan uretra pada bingkai sepeda. Selain itu, tidak jarang juga
terjadi cedera pasca bedah akibat kateterisasi atau instrumentasi.5

B. DEFINISI

Striktur uretra adalah penyempitan atau penyumbatan lumen uretra karena fibrosis.
Fibrosis merupakan penumpukan kolagen dan fibroblas, biasanya meluas ke dalam
sekitar korpus spongiosum menyebabkan spongiofibrosis. Penyempitan ini membatasi

aliran urine dan menyebabkan dilatasi proksimal uretra dan duktus prostatika. Striktur
uretra jarang terjadi pada wanita, kejadian striktur uretra paling banyak ditemukan pada
pria.6

20
C. EPIDEMIOLOGI

Kejadian striktur uretra telah ditemukan sejak 600 tahun sebelum masehi. Menurut
pendapat para ahli, pada abad ke-19 sekitar 15-20% pria dewasa pernah mengalami
striktur. Pada abad ke-21 ini diperkirakan di Inggris 16.000 pria dirawat di rumah sakit
karena striktur uretra dan lebih dari 12.000 dari mereka memerlukan operasi dengan

biaya 10 juta euro. Estimasi prevalensi di inggris sendiri adalah 10/100.000 pada masa
dewasa awal dan meningkat 20/100.000 pada umur 55 sedangkan pada umur 65 tahun
menjadi 40/100.000. Angka ini meningkat terus untuk pasien tua sampai 100/100.000.

Hal yang sama juga dilaporkan di Amerika Serikat. Penyakit striktur uretra pada pria
menghasilkan lebih dari 5.000 kunjungan rawat inap setiap tahun. Penyakit striktur
uretra tampaknya lebih sering terjadi pada populasi lanjut usia dan pada pasien kulit
hitam. Pasien dengan penyakit striktur uretra tampaknya memiliki tingkat infeksi saluran
kemih (41%) dan inkontinensia (11%) yang tinggi.6

Striktur uretra didapat sering terjadi pada laki-laki, namun jarang terjadi pada
wanita, hal ini berhubungan dengan uertra pada wanita lebih pendek dibandingkan
dengan pria sehingga jarang terkena infeksi. Uretra pria dewasa berkisar antara 23-25
cm, sedangkan uretra wanita sekitar 3-5 cm. Beberapa faktor resiko lain yang diketahui
berperan dalam insiden penyakit ini, diantaranya adalah pernah terpapar penyakit
menular seksual, ras orang Afrika, berusia diatas 55 tahun, dan tinggal di daerah
perkotaan. Striktur dapat terjadi pada semua bagian uretra, namun kejadian yang paling
sering pada orang dewasa adalah di bagian pars bulbosa-membranasea, sementara pada
pars prostatika lebih sering mengenai anak-anak.5,6

D. ETIOLOGI
Ada 3 penyebab paling sering terjadinya striktur ureta yaitu, akibat adanya trauma,
infeksi dan iatrogenik.6
1) Trauma
Penyebab striktur uretra akibat trauma berdampak terjadinya trauma internal
maupun eksternal. Pemakaian kateter dan instrumen yang besar dapat menyebabkan
iskemia dan trauma internal, sedangkan trauma eksternal seperti fraktur pelvis dapat

21
mengganggu uretra membranosa dan menyebabkan striktur kompleks. Striktur traumatik
terjadi pada 54% kasus. Trauma yang dapat menyebabkan striktur uretra adalah trauma
tumpul pada selangkangannya (straddle injury), fraktur tulang pelvis, atau cedera pasca
bedah akibat insersi peralatan bedah selama operasi transurethral, pemasangan kateter,
dan prosedur sitoskopi.
Sebagian ditangani dengan tunica albuginea urethroplasty, sedangkan sisanya
menggunakan U shaped prostatobulbar anastomosis. Striktur traumatis memiliki hasil
yang baik, sedangkan striktur pasca infeksi memiliki hasil yang lebih buruk.

2) Infeksi
Striktur uretra mendorong kondisi stasis urin, yang mana infeksi saluran kemih
diketahui merupakan efek sekunder akibat volume sisa post-void yang meningkat.
Instrumentasi sering digunakan dalam diagnosis dan manajemen penyakit striktur uretra
menjadi potensi lain yang menyebabkan infeksi, akibat masuknya organisme secara
retrograd melalui uretra yang kemudian berkloni dalam saluran kemih bagian bawah.
Striktur akibat radang berhubungan dengan gonorrhea adalah penyebab paling
sering pada masa lalu dan sekarang sangat jarang ditemui. Dengan penanganan
antibiotik yang tepat dan efektif, urethriris gonococcal jarang menjadi striktur uretra.
Sampai hari ini belum jelas hubungan antara uretritis nonspesifik dengan striktur uretra
anterior.

3) Iatrogenik
Studi yang dilakukan oleh Lumen et al menemukan bahwa sebanyak 45,5%
striktur uretra disebabkan iatrogenik yang didalamnya termasuk reseksi transuretral,
kateterisasi uretra, cystoscopy, prostatectomy, brachytherapy, dan pembedahan
hypospadia.
Segala proses yang melukai lapisan epitelium uretra atau di bagian korpus
spongiosum pada proses penyembuhannnya akan menghasilkan jaringan parut atau scar.
Hal ini akan menyebabkan striktur uretra anterior. Sebagian besar striktur uretra
disebabkan oleh trauma, biasanya stradle trauma. Trauma ini biasanya tidak dirasakan
sampai pasien mengeluh kesulitan BAK yang merupakan tanda dari obstruksi oleh
karena striktur atau scar. Trauma iatrogenik juga dapat menyebabkan striktur uretra.
Namun dengan berkembangnya endoskopi yang kecil dan pembatasan indikasi
sistoskopi pada pria membuat kejadian striktur uretra lebih sedikit. Jejas pada urethra
22
posterior yang berakibat terjadinya striktur berhubungan dengan fibrosis periurethral
yang luas.

E. KLASIFIKASI DAN DERAJAT STRIKTUR URETRA


Klasifikasi

Cedera uretra dapat dibagi berdasarkan lokasi anterior (penis dan bulbar) dan
posterior (membran dan prostat). Setiap pasien dengan trauma tumpul panggul, darah
pada meatus uretra, hematuria, ketidakmampuan untuk berkemih, atau hematoma
perineum harus dianggap memiliki cedera uretra sampai terbukti sebaliknya. Cedera
uretra harus diantisipasi dengan fraktur ramus pubis dan terjadi pada 10% ramus
unilateral dan 20% cedera rami bilateral.7

Secara anatomis, trauma uretra laki-laki dibagi menjadi:8

1) Trauma uretra anterior (apabila mengenai uretra pars glandularis, pars pendulans, dan
pars bulbosa);

Cedera anterior sering berhubungan dengan trauma tumpul straddle dan trauma
tembus. Cedera tumpul uretra anterior dapat dikelola dengan berbagai cara, dan
hanya seri kecil yang tersedia dalam literatur untuk membandingkan metode.
Perbaikan bedah segera tidak dianjurkan dalam keadaan akut dengan pengecualian
cedera penetrasi kecepatan rendah. Jika pasien stabil dengan pembentukan
hematoma minimal, perbaikan harus dipertimbangkan. Dalam keadaan defek 1
sampai 2 cm, uretra dapat didebridement, dispatula, dan dianastomosis secara
menyeluruh, kedap air. Cacat besar harus ditunda pengobatannya, karena cangkok
atau flap mungkin diperlukan untuk perbaikan dan keberhasilannya dapat berkurang
dengan adanya infeksi. Untuk kebanyakan kasus, drainase kateter dianjurkan.
23
Banyak yang menganjurkan menghindari penempatan kateter uretra, karena dapat
mengubah robekan parsial menjadi diseksi lengkap. Namun, satu bagian lembut
yang dilakukan oleh ahli urologi aman. Untuk gangguan total, penempatan selang
suprapubik direkomendasikan; namun, penyempitan di lokasi cedera mungkin
terjadi.7

2) Trauma uretra posterior (apabila mengenai uretra pars membranosa dan uretra pars
prostatika).

Cedera uretra posterior biasanya diakibatkan oleh trauma pada pelvis dan gaya
geser yang menyebabkan gangguan prostatomembran. Cedera pasien lainnya
menentukan manajemen urologis. Eksplorasi bedah terbuka awal dari cedera uretra
harus dihindari karena perubahan anatomi, risiko perdarahan, dan kemungkinan
besar inkontinensia dan DE dari cedera saraf yang berdekatan. Pasien dapat dikelola
dengan selang suprapubik dan perbaikan tertunda atau dengan penataan kembali
primer yang tertunda. Penataan kembali endoskopi primer, bila memungkinkan,
menyebabkan penurunan tingkat striktur tanpa meningkatkan hasil yang merugikan.7

Pada trauma uretra posterior, bagian yang biasanya terkena adalah bagian
proksimal dari di- afragma urogenital, yang dilewati oleh uretra pars membaranosa.
Trauma dapat menyebabkan putus- nya uretra pars membaranosa pada daerah apeks
prostat. Prostat dapat berubah posisi ke arah su- perior dengan terbentuknya
hematoma peripros- tat dan perivesika. yang disebut sebagai floating protate. Pada
fraktur tulang pelvis, pecahan dapat merobek atau menarik uretra pars membranosa
sehingga terjadi trauma.8

Tanda klasik cedera uretra pada pasien dengan fraktur panggul adalah darah
pada meatus uretra, tetapi gejala lainnya seperti distensi kandung kemih,
ketidakmampuan untuk berkemih, dan hematoma perineum juga harus meningkatkan
indeks kecurigaan. Pasien dengan trauma uretra posterior biasanya dating
mengeluhkan tidak bisa buang air kecil dan adanya nyeri pada daerah perut bagian
bawah. Hematuria merupakan indikasi pemeriksaan uretrogtam retrograde.8,18

Derajat Striktur Uretra

Striktur urethra dibagi menjadi tiga derajat penyempitan yaitu :10,12

24
1. ringan, oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen uretra.

2. Sedang, jika terdapat oklusi 1/3 sam- pai dengan 1⁄2 diameter lumen uretra.

3. Berat, jika terdapat oklusi lebih besar dari 1⁄2 diam- eter lumen uretra.
Pada penyempitan derajat berat kadang kala teraba jaringan keras di korpus
spongiosum yang dikenal dengan spongiofibrosis.

Derajat ditentukan dengan uretrografi retrograde. Studi ini dapat dengan mudah
dilakukan di ruang trauma dengan pasien dalam posisi miring dan kateter 12F
ditempatkan di meatus uretra. Dengan penis ditempatkan pada traksi, 30 mL kontras
ditanamkan saat x-ray diperoleh selama pengisian. Penambahan fluoroskopi merupakan
tambahan yang berharga untuk prosedur tetapi dapat dihilangkan jika tidak tersedia.
Gangguan sebagian atau seluruhnya dapat didiagnosis berdasarkan ekstravasasi atau
pengisian uretra proksimal. Penempatan kateter dapat dicoba pada pasien dengan cedera
uretra parsial. Mereka dengan cedera komplit harus menggunakan kateter suprapubik.7

F. PATOFISIOLOGI
Proses radang akibat trauma atau infeksi pada uretra akan menyebabkan
terbentuknya jaringan parut pada uretra. Jaringan parut ini berisi kolagen dan fibroblast,
dan ketika mulai menyembuh jaringan ini akan berkontraksi ke seluruh ruang pada
lumen dan menyebabkan pengecilan diameter uretra, sehingga menimbulkan hambatan
aliran urine. Karena adanya hambatan, aliran urine mencari jalan keluar di tempat lain
dan akhirnya mengumpul di rongga periuretra. Karena ekstravasasi urine, daerah
tersebut akan rentan terjadi infeksi akan menimbulkan abses periuretra yang kemudian

25
bisa membentuk fistula uretrokutan (timbul hubungan uretra dan kulit).9
Adanya gaya tumpul dan hebat ke peritoneum menyebabkan jaringan uretra
hancur. Jejas awal biasanya diabaikan oleh pasien. Oleh karena itu, jejas uretra sering
kali bermanifestasi sebagai striktur beberapa tahun kemudian. Striktur diinduksi oleh
iskemia pada tempat jejas.8
Karakteristik dari striktur adalah perubahan epitel uretra oleh jaringan fibrosa
padat karena tromboflebitis lokal di korpus spongiosum dalam. Epitel itu sendiri
biasanya utuh, meskipun yang abnormal. Patogenesis striktur belum dipelajari secara
luas dan studi yang ada menyebutkan infeksi sebagai penyebab, meskipun telah ada
studi pada model binatang yang mempelajari trauma elektro-koagulasi pada uretra
kelinci sebagai model cedera iatrogenik. Lokasi dari kelenjar uretra berhubungan dengan
tempat kejadian infeksi yang berhubungan dengan striktur yang mengimplikasikannya
sebagai penyebab. Namun, satu-satunya studi tentang patogenesis penyakit striktur
menunjukkan bahwa perubahan yang utama adalah metaplasia epitel uretra dari normal
jenisnya pseudo-kolumnar bertingkat pada epitel skuamosa berlapis. Ini adalah epitel
yang rapuh, dan ini cenderung untuk robek saat terjadi distensi selama berkemih.
Robekan tersebut akan membuat lubang di epitel menyebabkan ekstravasasi urine saat
berkemih yang memicu untuk terbentuknya fibrosis subepitel. Pada kasus striktur uretra
penanganan segera sangat dibutuhkan, selain keluhan yang mengganggu pasien, angka
kejadian komplikasi pada kasus striktur uretra banyak ditemukan.7

G. MANIFESTASI KLINIK
Gejala utama dari striktur uretra adalah obstruksi dan iritasi berkemih dengan
peningkatan waktu buang air kecil dan pengosongan kandung kemih yang tidak
lengkap, dikombinasikan dengan peningkatan frekuensi berkemih dan urgensi.
Khususnya pada pasien yang sebelumnya menjalani intervensi transuretral atau
memiliki kateter permanen jangka panjang selama pengobatan untuk penyakit lain,
gejala-gejala ini harus dicurigai mengarah striktur.10
Terdapat dua macam patologi yang dapat terjadi, yaitu kontusio atau laserasi.8
 Pada kontusio, yang terjadi pada uretra hanyalah memar disertai hematom, yang
dapat menghilang tanpa komplikasi;
 Pada laserasi, terjadi robekan uretra dengan ekstravasasi urin, yang dapat meluas ke
skrotum, penis, hingga dinding abdomen, yang jika tidak ditangani dengan baik
dapat terjadi infeksi hingga sepsis.

26
Pasien dengan trauma uretra posterior biasanya datang mengeluhkan tidak bisa
buang air kecil dan adanya nyeri pada daerah perut bagian bawah. Trauma juga
menyebabkan darah yang menetes dari uretra, dan kadang ini merupakan satu-satunya
gejala. Hematuria merupakan indikasi pemeriksaan uretrogram retrograd.8
Keluhan lain dapat berupa kesukaran kencing, harus mengejan, pancaran
mengecil, pancaran bercabang, menetes sampai retensi urin. Pembengkakan dan
getah/nanah di daerah perineum, skrotum, kadang-kadang bercak-bercak darah di celana
dalam, bila terjadi infeksi sistemik, penderita febris, warna urin bisa keruh.9

H. DIAGNOSIS
Diagnosis striktur uretra dapat kita tegakkan dengan cara anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Gejala penyakit ini mirip seperti gejala
penyebab retensi urine tipe obstruktif lainnya. Diawali dengan sulit kencing atau pasien
harus mengejan untuk memulai kencing namun urine hanya keluar sedikit-sedikit.
Gejala tersebut harus dibedakan dengan inkontinensia overflow, yaitu keluarnya urine
secara menetes, tanpa disadari, atau tidak mampu ditahan pasien. Gejala-gejala lain yang
harus ditanyakan ke pasien adalah adanya disuria, frekuensi kencing meningkat,
hematuria, dan perasaan sangat ingin kencing yang terasa sakit. Jika curiga penyebabnya
adalah infeksi, perlu ditanyakan adanya tanda-tanda radang seperti demam atau keluar

nanah. Pemeriksaan fisik dilakukan lewat inspeksi dan palpasi. Pada inspeksi kita
perhatikan meatus uretra eksterna, adanya pembengkakan atau fistel di sekitar penis,
skrotum, perineum, dan suprapubik. Kemudian kita palpasi apakah teraba jaringan parut
sepanjang uretra anterior pada ventral penis, jika ada fistel kita pijat muaranya untuk
mengeluarkan nanah di dalamnya. Pemeriksaan colok dubur berguna untuk menyingkir
diagnosis lain seperti pembesaran prostat.5

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang berguna untuk konfirmasi diagnosis dan menyingkirkan
diagnosis banding. Uroflowmetri adalah alat untuk mengetahui pancaran urine secara obyektif.
Derasnya pancaran diukur dengan membagi volume urine saat kencing dibagi dengan lama
proses kencing. Kecepatan pancaran normal adalah 20 ml/detik. Jika kecepatan pancaran kurang
dari 10 ml/detik menandakan adanya obstruksi. Namun pemeriksaan foto Retrograde
Uretrogram dikombinasikan dengan Voiding Cystouretrogram pada pasca cystotomi tetap
dijadikan standar pemeriksaan untuk menegakan diagnosis. Radiografi ini dapat menentukan
27
panjang dan lokasi dari striktur. Penggunaan ultrasonografi (USG) cukup berguna dalam
mengevaluasi striktur pada pars bulbosa. Dengan alat ini kita juga bisa mengevaluasi panjang
striktur dan derajat luas jaringan parut, contohnya spongiofibrosis. Ini membantu kita memilih
jenis tindakan operasi yang akan dilakukan kepada pasien. Kita dapat mengetahui jumlah
residual urine

28
dan panjang striktur secara nyata, sehingga meningkatkan keakuratan saat operasi.
Pemeriksaan yang lebih maju adalah dengan memakai uretroskopi dan sistoskopi, yaitu
penggunaan kamera fiberoptik masuk ke dalam uretra sampai ke buli-buli. Dengan alat

ini kita dapat melihat penyebab, letak, dan karakter striktur secara langsung. Pencitraan
menggunakan magneting resonance imaging bagus dilakukan sebelum operasi karena
dapat mengukur secara pasti panjang striktur, derajat fibrosis, dan pembesaran prostat.
Namun alat ini belum tersedia secara luas dan biayanya sangat mahal sehingga jarang
digunakan. Pemeriksaan laboratorium seperti urinalisis atau cek darah lengkap rutin
dikerjakan untuk melihat perkembangan pasien dan menyingkirkan diagnosis lain.5

J. TATALAKSANA
Tujuan dari pengobatan striktur uretra adalah kesembuhan permanen, tidak
hanya sembuh sementara. Pengobatan terhadap striktur uretra tergantung pada lokasi
striktur, panjang/pendek striktur, dan kedaruratannya. Contohnya, jika pasien datang
dengan retensi urine akut, secepatnya lakukan sistostomi suprapubik untuk
mengeluarkan urine dari buli-buli. Sistostomi adalah tindakan operasi dengan membuat
jalan antara buli-buli dan dinding perut anterior. Jika dijumpai abses periuretra, kita
lakukan insisi untuk mengeluarkan nanah dan berikan antibiotika.1 Jika lokasi striktur
di uretra pars bulbosa dimana terdapat korpus spongiosum yang lebih tebal daripada di
uretra pars pedularis, maka angka kesuksesan prosedur uretrotomi akan lebih baik jika
dikerjakan di daerah tersebut. Penanganan konvensional seperti uretrotomi atau dilatasi
masih tetap dilakukan, walaupun pengobatan ini rentan menimbulkan kekambuhan.
Hasil sebuah studi mengindikasikan 80% striktur yang ditangani dengan internal
uretrostomi mengalami kekambuhan dalam 5 tahun berikutnya. Pemasangan stent
adalah alternatif bagi pasien yang sering mengalami rekurensi striktur. Namun tidak
menutup kemungkinan untuk terjadi komplikasi seperti hiperplasia jaringan uretra
sehingga menimbulkan obstruksi sekunder.5

Beberapa pilihan terapi untuk striktur uretra adalah sebagai berikut :


1. Dilatasi uretra
Ini merupakan cara yang paling lama dan paling sederhana dalam
penanganan striktur uretra. Direkomendasikan pada pasien yang tingkat keparahan
striktur masih rendah atau pasien yang kontra indikasi dengan pembedahan.
Dilatasi dilakukan dengan menggunakan balon kateter atau busi logam dimasukan
29
hati- hati ke dalam uretra untuk membuka daerah yang menyempit.1 Pendarahan
selama proses dilatasi harus dihindari karena itu mengindikasikan terjadinya luka
pada striktur yang akhirnya menimbulkan striktur baru yang lebih berat. Hal inilah
yang membuat angka kesuksesan terapi menjadi rendah dan sering terjadi
kekambuhan.11

2. Uretrotomi Interna
Teknik bedah dengan derajat invasive minim, dimana dilakukan tindakan
insisi pada jaringan radang untuk membuka striktur. Insisi menggunakan pisau otis
atau sasche. Otis dikerjakan jika belum terjadi striktur total, sedangkan pada
striktur lebih berat pemotongan dikerjakan secara visual menggunakan kamera
fiberoptik dengan pisau sasche. Tujuan uretrotomi interna adalah membuat
jaringan epitel uretra yang tumbuh kembali di tempat yang sbelumnya terdapat
jaringan parut. Jika tejadi proses epitelisasi sebelum kontraksi luka menyempitkan
lumen, uretrotomi interna dikatakan berhasil. Namun jika kontraksi luka lebih dulu
terjadi dari epitelisasi jaringan, maka striktur akan muncul kembali. Angka
kesuksesan jangka pendek terapi ini cukup tinggi, namun dalam 5 tahun angka
kekambuhannya mencapai 80%. Selain timbulnya striktur baru, komplikasi
uretrotomi interna adalah pendarahan yang berkaitan dengan ereksi, sesaat setelah
prosedur dikerjakan, sepsis, inkontinensia urine, dan disfungsi ereksi.11

3. Uretrotomi eksterna
Uretrotomi eksterna adalah tindakan operasi terbuka berupa pemotongan
jaringan fibrosis, kemudian dilakukan anastomosis di antara jaringan uretra yang
masih sehat.12

4. Pemasangan stent
Stent adalah benda kecil, elastis yang dimasukan pada daerah striktur. Stent
biasanya dipasang setelah dilatasi atau uretrotomi interna. Ada dua jenis stent yang
tersedia, stent sementara dan permanen. Stent permanen cocok untuk striktur
uretra pars bulbosa dengan minimal spongiofibrosis. Biasanya digunakan oleh
orang tua, yang tidak fit menjalani prosedur operasi. Namun stent permanen juga
memiliki kontra indikasi terhadap pasien yang sebelumnya menjalani uretroplasti
substitusi dan pasien straddle injury dengan spongiosis yang dalam. Angka
rekurensi striktur bervariasi dari 40%-80% dalam satu tahun. Komplikasi sering
terjadi adalah rasa tidak nyaman di daerah perineum, diikuti nyeri saat ereksi dan

30
kekambuhan striktur.5

5. Uretroplasti
Uretroplasti merupakan standar dalam penanganan
striktur uretra, namun masih jarang dikerjakan karena tidak banyak ahli medis
yang menguasai teknik bedah ini. Sebuah studi memperlihatkan bahwa uretroplasti
dipertimbangkan sebagai teknik bedah dengan tingkat invasif minimal dan lebih
efisien daripada uretrotomi. Uretroplasti adalah rekonstruksi uretra terbuka berupa
pemotongan jaringan fibrosis. Ada dua jenis uretroplasti yaitu uretroplasti
anastomosis dan substitusi. Uretroplasti anastomosis dilakukan dengan eksisi
bagian striktur kemudian uretra diperbaiki dengan mencangkok jaringan atau flap
dari jaringan sekitar. Teknik ini sangat tepat untuk striktur uretra pars bulbosa
dengan panjang striktur 1-2 cm. Uretroplasti substitusi adalah mencangkok
jaringan striktur yang dibedah dengan jaringan mukosa bibir, mukosa kelamin,
atau preputium. Ini dilakukan dengan graft, yaitu pemindahan organ atau jaringan
ke bagian tubuh lain, dimana sangat bergantung dari suplai darah pasien untuk
dapat bertahan.5,11
Proses graft terdiri dari dua tahap, yaitu imbibisi dan inoskulasi. Imbibisi
adalah tahap absorsi nutrisi dari pembuluh darah paien dalam 48 jam pertama.
Setelah itu diikuti tahap inoskulasi dimana terjadi vaskularisasi graft oleh
pembuluh darah dan limfe. Jenis jaringan yang bisa digunakan adalah buccal
mucosal graft, full thickness skin graft, bladder epithelial graft, dan rectal mucosal
graft. Dari semua graft diatas yang paling disukai adalah buccal mucosal graft atau
jaringan mukosa bibir, karena jaringan tersebut memiliki epitel tebal elastis,
resisten terhadp infeksi, dan banyak terdapat pembuluh darah lamina propria.
Tempat asal dari graft ini juga cepat sembuh dan jarang mengalami komplikasi.
Angka kesuksesan sangat tinggi mencapai 87%. Namun infeksi saluran kemih,
fistula uretrokutan, dan chordee bisa terjadi sebagai komplikasi pasca operasi.11

6. Prosedur rekonstruksi multiple


Adalah suatu tindakan bedah dengan membuat saluran uretra di perineum.
Indikasi prosedur ini adalah ketidakmampuan mencapai panjang uretra, bisa
karena fibrosis hasil operasi sebelumnya atau teknik substitusi tidak bisa
dikerjakan. Ketika terjadi infeksi dan proses radang aktif sehingga teknik graft

31
tidak bisa dikerjakan, prosedur ini bisa menjadi pilihan operasi. Rekonstruksi
multiple memang memerlukan anestesi yang lebih banyak dan menambah lama
rawat inap pasien, namun berguna bila pasien kontra indikasi terhadap teknik lain.5

7. Eksisi dan anastomosis primer


Eksisi dan anastomosis primer (EPA) adalah eksisi bekas luka uretra dan
penyambungan kembali uretra. Konsultasi SIU/ICUD baru-baru ini tentang
striktur uretra mencatat bahwa EPA harus dipertimbangkan sebagai pengobatan
optimal untuk striktur uretra bulbar pendek terlepas dari etiologi atau pengobatan
sebelumnya. Teknik ini paling sering digunakan pada striktur 2 cm atau kurang
dan memiliki tingkat keberhasilan yang sangat baik 90-95% jangka panjang.
Secara umum, tingkat komplikasi EPA rendah, <10%, dan sebagian besar sembuh
dalam 6-12 bulan.11

Karena rentannya kekambuhan dan komplikasi pasca operasi, ada beberapa hal
yang harus diperhatikan para ahli medis agar operasi berjalan baik. Pertama saat pre-
operasi kita perkirakan panjang striktur dan derajat fibrosis yang terjadi. Menggunakan
pemeriksaan radiologi seperti yang disebutkan di atas. Analisis urine dan kultur harus
dikerjakan sebelum operasi, karena urine harus steril saat kita melakukan intervensi,
untuk mencegah infeksi. Riwayat seksual pasien juga harus ditanyakan. Saat operasi,
menjaga sfingter dan inervasinya dengan cara memotong jaringan konektif antara
sfingter dan uretra berguna dalam mencegah kontinesia dan gangguan ereksi pasca
operasi. Eksisi seluruh jaringan parut, mencegah mobilisasi uretra yang berlebih, dan
drainase urine sebelum operasi adalah hal-hal penting yang harus diperhatikan untuk
meningkatkan angka kesuksesan terapi. Antibiotik diberikan pada pasien yang
dicurigai mengalami infeksi saluran kemih dan jenisnya diberikan sesuai dengan hasil
tes kepekaan. Jika hasil kepekaan steril, maka dapat diberikan antibiotik profilaksis
seperti ampicillin atau cephalosporin.5

K. KOMPLIKASI
Pada striktur urethra terjadi penyempitan lumen, hingga terjadi dilatasi bagian
proksimalnya. Otot vesica urinaria akan berkontraksi melawan aliran refluks, bila
proses ini berlangsung lama otot tersebut tidak mampu lagi mengosongkan isinya.
Proses selanjutnya akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal.10,12

32
Komplikasi yang dapat terjadi pada striktur uretra adalah Residu urin, Refluks
vesiko urethral, infeksi saluran kemih, gagal ginjal, trabekulasi, sakulasi dan divertikel,
dan infiltrate urin, abses dan fistulasi.10

1. Trabekulasi, sakulasi dan divertikel


Pada striktur uretra kandung kencing harus berkontraksi lebih kuat, maka otot
kalau diberi beban akan berkontraksi lebih kuat sampai pada suatu saat kemudian akan
melemah. Jadi pada striktur uretra otot buli-buli mula-mula akan menebal terjadi
trabekulasi pada fase kompensasi, setelah itu pada fase dekompensasi timbul sakulasi
dan divertikel. Perbedaan antara sakulasi dan divertikel adalah penonjolan mukosa buli
pada sakulasi masih di dalam otot buli sedangkan divertikel menonjol di luar buli-buli,
jadi divertikel buli-buli adalah tonjolan mukosa keluar bulibuli tanpa dinding otot.
2. Residu urin
Pada fase kompensasi dimana otot buli-buli berkontraksi makin kuat tidak
timbul residu. Pada fase dekompensasi maka akan timbul residu. Residu adalah
keadaan dimana setelah kencing masih ada urine dalam kandung kencing. Dalam
keadaan normal residu ini tidak ada.
3. Refluks vesiko ureteral
Dalam keadaan normal pada waktu buang air kecil urine dikeluarkan buli-buli
melalui uretra. Pada striktur uretra dimana terdapat tekanan intravesika yang meninggi
maka akan terjadi refluks, yaitu keadaan dimana urine dari buli-buli akan masuk
kembali ke ureter bahkan sampai ginjal.
4. Infeksi saluran kemih dan gagal ginjal
Dalam keadaan normal, buli-buli dalam keadaan steril. Salah satu cara tubuh
mempertahankan buli-buli dalam keadaan steril adalah dengan jalan setiap saat
mengosongkan buli-buli waktu buang air kecil. Dalam keadaan dekompensasi maka
akan timbul residu, akibatnya maka bulibuli mudah terkena infeksi. Adanya kuman
yang berkembang biak di buli-buli dan timbul refluks, maka akan timbul pyelonefritis
akut maupun kronik yang akhirnya timbul gagal ginjal dengan segala akibatnya.
5. Infiltrat urine, abses dan fistulasi
Adanya sumbatan pada uretra, tekanan intravesika yang meninggi maka bisa
timbul inhibisi urine keluar buli-buli atau uretra proksimal dari striktur. Urine yang
terinfeksi keluar dari buli buli atau uretra menyebabkan timbulnya infiltrat urine, kalau

33
tidak diobati infiltrat urine akan timbul abses, abses pecah timbul fistula di supra pubis
atau uretra proksimal dari striktur.

L. PROGNOSIS
Striktur uretra kerap kali kambuh, sehingga pasien harus sering menjalani
pemeriksaan yang teratur oleh dokter. Penyakit ini dikatakan sembuh jika setelah
dilakukan observasi selama 1 tahun tidak menunjukkan tanda-tanda kekambuhan.
Setiap pasien kontrol berkala dilakukan pemeriksaan pancaran urine yang langsung
dilihat oleh dokter atau dengan pemeriksaan uroflowmetri. Untuk mencegah terjadinya
kekambuhan, sering kali pasien harus menjalani beberapa tindakan, antara lain dilatasi
berkala dengan busi dan kateterisasi bersih mandiri berkala (KBMB) atau CIC (clean
intermitten catheterization), yaitu pasien dianjurkan melakukan kateterisasi secara
periodik pada waktu tertentu dengan kateter yang bersih (tidak perlu steril).12,17

34
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kasus ini diagnosis awal pre-operasi retensi urin, striktur urethra posterior,
anemia, dan hipertensi yang ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan pasien laki-laki usia 71 tahun
datang ke RS Pelamonia dengan keluhan BAK tidak lancar, keluhan dirasakan sudah
sejak ±30 th yang lalu setelah tertindih pohon yang terguling saat bekerja sebagai
penebang pohon di hutan kalimantan. Pasien sudah melakukan sebanyak 4 kali operasi
sebelumnya, keluhan berkurang beberapa waktu setelah operasi namun memburuk
kembali kemudian akhirnya di operasi lagi. Keluhan disertai dengan rasa tidak tuntas
saat buang air kecil, menetes dan terputus-putus. Pasien juga mengaku pancaran
kencing bercabang 2. Riwayat buang air kecil berpasir disangkal. Riwayat kencing
berwarna merah disangkal. Pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan apapun kecuali
obat-obatan post operasi.
Pada pemeriksaan fisik didaptkan GCS E4V5M6, status gizi normal (IMT 22,3
kg/m2 ), BB 60 kg, TB 165 cm, nadi 92 x/menit, TD 154/73 mmHg, suhu 36,4oC,
pernapasan 20x/menit. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan kelainan. Pada
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium darah lengkap pada tanggal
03-12-2021 didapatkan WBC dalam batas normal, RBC, HGB, HCT, MCV, MCH
mengalami penurunan, HGB : 8.5g/dl dan PLT dalam batas normal; LED meningkat
>150 Mm. Pemeriksaan laboratorium darah lengkap tanggal 6-12-2021 didapatkan
WBC dalam batas normal, RBC, HGB, HCT sudah sedikit meningkat walaupun
belum dalam batas normal, HGB : 11.0 g/dl. Pada pemeriksaan kimia darah
didapatkan ureum dalam batas normal. Sedangkan kadar kreatinin mengalami
peningkatan yakni 1,62 mg/dl dan kadar glukosa darah sewaktu dalam batas normal.
Pada pemeriksaan hemostasis darah didapatkan clotting time dan bleeding time dalam
batas normal. Pada pemeriksaan EKG tidak didapatkan adanya kelainan. Pada
pemeriksaan uroflowmetri didapatkan Qmax : 6.2 ml/s. Residu : 19 ml. V.vol 141 ml.
Pada kasus ini, didapatkan keluhan berupa sulit BAK, keluhan disertai dengan
rasa tidak tuntas saat buang air kecil, menetes dan terputus-putus. Pasien juga
mengaku pancaran kencing bercabang 2. Keluhan ini merupakan gejala obstruktif
saluran kemih. Jadi kesimpulan yang diambil bahwa penderita mengalami suatu gejala

35
obstruktif saluran kemih. Berdasarkan kondisi faktual diatas pasien ini mengalami
gejala obstruktif saluran kemih yang dikenal dengan LUTS (Lower Urinary Tract
Symptoms).
LUTS merupakan suatu gejala yang menunjukkan adanya gangguan
pada saluran kemih bagian bawah yang meliputi gejala obstruktif dan iritatif pada
saluran kemih. Gejala obstruktif pada saluran kemih yaitu mengedan ketika miksi
(straining), menunggu pada awal miksi (hesitancy), pancaran melemah (weakness),
miksi terputus (intermitten) dan tidak lampias setelah miksi. Sedangkan gejala iritatif
meliputi rasa ingin miksi yang tidak bisa ditahan (urgency), sering miksi (frequency),
sering miksi pada malam hari (nocturia) dan nyeri ketika miksi (dysuria).12
Dari keluhan utama dan anamnesis pada pasien ini didapatkan pancaran buang
air kecil melemah yang disebabkan berkurangnya diameter dan atau elastisitas urethra
yang disebabkan oleh jaringan uretra yang diganti jaringan ikat yang kemudian
mengkerut meyebabkan lumen urethra mengecil. Penyempitan lumen urethra yang
disebabkan oleh dinding urethra mengalami fibrosis dan pada tingkat yang parah
terjadi fibrosis korpus spongiosum.

Kemudian pada riwayat penyakit dahulu, sejak ±30 th yang lalu Riwayat
trauma uretra setelah tertindih pohon yang terguling saat bekerja sebagai penebang
pohon di hutan kalimantan. Pasien sudah melakukan sebanyak 4 kali operasi
sebelumnya, keluhan berkurang beberapa waktu setelah operasi namun memburuk
kembali kemudian akhirnya di operasi lagi. Riwayat buang air kecil berpasir disangkal.
Riwayat kencing berwarna merah disangkal. Pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan
apapun kecuali obat-obatan post operasi.
Pasien dengan trauma uretra posterior biasanya datang mengeluhkan tidak bisa
buang air kecil dan adanya nyeri pada daerah perut bagian bawah. Trauma juga
menyebabkan darah yang menetes dari uretra, dan kadang ini merupakan satu-satunya
gejala. Hematuria merupakan indika- si pemeriksaan uretrogram retrograd.8
Keluhan lain dapat berupa kesukaran kencing, harus mengejan, pancaran
mengecil, pancaran bercabang, menetes sampai retensi urin. Pembengkakan dan
getah/nanah di daerah perineum, skrotum, kadang-kadang bercak-bercak darah di celana
dalam, bila terjadi infeksi sistemik, penderita febris, warna urin bisa keruh.9

Pada pemeriksaan tanda vital, didapatkan hipertensi pada pasien. Hipertensi


grade I didefinisikan sebagai kondisi di mana tekanan darah sistolik 130 – 159 mmHg

36
dan/atau tekanan diastolik 85 – 99 mmHg.13

Pada pemeriksaan laboratoriumasien mengalami penurunan kadar RBC, HGB,


HCT, MCV, MCH, HGB : 8.5g/dl dan PLT dalam batas normal; LED meningkat
>150 Mm. Kemudian dilakukan transfuse PRC 2 bag. Dilakukan Pemeriksaan
laboratorium darah lengkap kembali didapatkan WBC dalam batas normal, RBC,
HGB, HCT sudah sedikit meningkat walaupun belum dalam batas normal, HGB : 11.0
g/dl.

Penyakit anemia atau kurang darah sering kali dikaitkan dengan LED yang
tinggi, hal ini disebabkan oleh perbandingan jumlah sel darah merah yang lebih sedikit
dibandingkan dengan cairan plasma di dalam pembuluh darah, dan kondisi tersebut
menyebabkan kecepatan aliran sel darah merah meningkat, selain itu sebuah kondisi
anemia makrositik dimana ukuran sel darah merah menjadi lebih besar juga dapat
meningkatkan LED.14

Pasien mengalami peningkatan serum kreatinin menjadi 1,62 mg/dL. Kreatinin

difiltrasi di glomerulus dan direabsorpsi di tubular. Kreatinin plasma disintesis di otot


skelet sehingga kadarnya bergantung pada massa otot dan berat badan. Nilai normal
kadar kreatinin serum pada pria adalah 0,7 - 1,3 mg/dL sedangkan pada wanita 0,6 -1,1
mg/dL. Proses awal biosintesis kreatin berlangsung di ginjal yang melibatkan asam
amino arginin dan glisin. Menurut salah satu penelitian in vitro, kreatin diubah menjadi
kreatinin dalam jumlah 1,1% per hari. Pada pembentukan kreatinin tidak ada
mekanisme reuptake oleh tubuh, sehingga sebagian besar kreatinin diekskresi lewat
ginjal. Jika terjadi disfungsi renal maka kemampuan filtrasi kreatinin akan berkurang
dan kreatinin serum akan meningkat.15

Ada beberapa penyebab peningkatan kadar kreatinin dalam darah, yaitu


dehidrasi, kelelahan yang berlebihan, penggunaan obat yang bersifat toksik pada ginjal,
disfungsi ginjal disertai infeksi, hipertensi yang tidak terkontrol, dan penyakit ginjal.15

Pada pemeriksaan uroflowmetri didapatkan Qmax : 6.2 ml/s. Residu : 19 ml.


V.vol 141 ml. Uroflowmetri adalah alat untuk mengetahui pancaran urine secara
obyektif. Derasnya pancaran diukur dengan membagi volume urine saat kencing
dibagi dengan lama proses kencing. Kecepatan pancaran normal adalah 20 ml/detik.
Jika kecepatan pancaran kurang dari 10 ml/detik menandakan adanya obstruksi.5

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang maka pasien ini
37
didiagnosa dengan Striktur Uretra Posterior.

Terapi pada pasien ini diberikan terapi medikamentosa berupa IVFD RL 28


tpm, Amlodipin 5 mg 1 x 1, Lasix 1 ampul, Ceftriaxone 1gr/iv 30 menit pre-operasi,
dan terapi operatif sachse.

Terapi medikamentosa berupa terapi umum untuk mengatasi gejala hipertensi

dan antibiotic preoperasi. Pemberian Amlodipin dimaksudkan sebagai terapi dari


peningkatan tekanan darah pada pasien. Hipertensi yang tidak terkontrol menimbulkan
stress pada jantung dan pembuluh darah. Jantung mendapat kerja yang lebih besar
karena harus memompa melawan resistensi perifer total yang lebih tinggi, sementara
pembuluh darah mungkin rusak akibat tekanan internal yang tinggi, terutama ketika
dinding pembuluh darah melemah akibat proses degeneratif aterosklerosis.
Komplikasi serius lainnya pada hipertensi adalah gagal ginjal akibat gangguan progresif
aliran darah melalui pembuluh darah ginjal yang rusak. Sehingga pasien diberikan
monoterapi obat golongan CCB (calcium channel blocker) sebagai tatalaksana
hipertensi derajat 1. Dengan manghambat kalsium masuk ke dalam sel, CCB memiliki
efek vasodilatasi, emmperlambat laju jantung dan menurunkan kontraktilitas miokard
sehingga menurunkan tekanan darah.13,16
Terapi operatif berupa sachse atau uretrotomi interna merupakan teknik bedah
dengan derajat invasive minim, dimana dilakukan tindakan insisi pada jaringan radang
untuk membuka striktur. Insisi menggunakan pisau otis atau sasche. Otis dikerjakan
jika belum terjadi striktur total, sedangkan pada striktur lebih berat pemotongan
dikerjakan secara visual menggunakan kamera fiberoptik dengan pisau sasche. Tujuan
uretrotomi interna adalah membuat jaringan epitel uretra yang tumbuh kembali di
tempat yang sbelumnya terdapat jaringan parut. Jika tejadi proses epitelisasi sebelum
kontraksi luka menyempitkan lumen, uretrotomi interna dikatakan berhasil. Namun
jika kontraksi luka lebih dulu terjadi dari epitelisasi jaringan, maka striktur akan
muncul kembali. Angka kesuksesan jangka pendek terapi ini cukup tinggi, namun
dalam 5 tahun angka kekambuhannya mencapai 80%. Selain timbulnya striktur baru,
komplikasi uretrotomi interna adalah pendarahan yang berkaitan dengan ereksi, sesaat
setelah prosedur dikerjakan, sepsis, inkontinensia urine, dan disfungsi ereksi.11
Hasil operasi yang didapatkan pada pasien tanggal 05-12-2021 dengan
tindakan Sachse yaitu pada posisi litotomi : nampak sikatrik pada kulit suprapubic
pasca operasi. Pada uretroskopi: dengan sheat sachse, uretra anterior pucat, uretra

38
bulbosa kesan normal, Nampak uretra membranosa pucat dan sangat kaku. Sistoskopi:
buli kapasitas sekitar 300 cc, tumor/batu buli-buli negative, muara ureter kanan dan kiri
normal, bladder neck agak tinggi terbuka, trabekulasi ringan-sedang. Dilakukan insisi
jam 12 pada uretra pars membranosa. Pada evaluasi uretra membranosa nampak
striktur sepanjang uretra membranosa, panjang striktur 1,5 cm, sangat kaku dengan
posisi sheat 30 derajat saat masuk buli (sangat kaku pada uretra membranosa), urin
jernih. Pasang kateter 20F, 2 cabang dengan mandrain. Operasi selesai.
Proses radang akibat trauma atau infeksi pada uretra akan menyebabkan
terbentuknya jaringan parut pada uretra. Jaringan parut ini berisi kolagen dan fibroblast,
dan ketika mulai menyembuh jaringan ini akan berkontraksi ke seluruh ruang pada
lumen dan menyebabkan pengecilan diameter uretra, sehingga menimbulkan hambatan
aliran urine. Karena adanya hambatan, aliran urine mencari jalan keluar di tempat lain
dan akhirnya mengumpul di rongga periuretra. Karena ekstravasasi urine, daerah
tersebut akan rentan terjadi infeksi akan menimbulkan abses periuretra yang kemudian
bisa membentuk fistula uretrokutan (timbul hubungan uretra dan kulit).9
Adanya gaya tumpul dan hebat ke peritoneum menyebabkan jaringan uretra
hancur. Jejas awal biasanya diabaikan oleh pasien. Oleh karena itu, jejas uretra sering
kali bermanifestasi sebagai striktur beberapa tahun kemudian. Striktur diinduksi oleh
iskemia pada tempat jejas. Karakteristik dari striktur adalah perubahan epitel uretra oleh
jaringan fibrosa padat karena tromboflebitis lokal di korpus spongiosum dalam.7,8
Prognosis pada pasien ini secara vitam dan fungsionam dubia ad bonam.
Untuk mencegah terjadinya kekambuhan, pasien harus menjalani beberapa
tindakan, antara lain dilatasi berkala dengan busi dan kateterisasi bersih mandiri berkala
(KBMB) atau CIC (clean intermitten catheterization), yaitu pasien dianjurkan melakukan
kateterisasi secara periodik pada waktu tertentu dengan kateter yang bersih (tidak perlu
steril).17
Frekuensi kateterisasi bergantung pada volume yang diperoleh selama
kateterisasi, serta jumlah asupan cairan yang masuk. Katerisasi harus dilakukan dengan
frekuensi yang cukup untuk mencegah terjadinya ISK dan pengisian kandung kemih
berlebihan (over-filling). Peraturan umum yang berlaku adalah kapasitas kandung kemih
tidak melebihi 500 cc dan kateterisasi harus dilakukan sebanyak 4-6 kali sehari pada
pasien yang tidak mampu berkemih spontan. Apabila berkemih secara spontan masih
memungkinkan, kateterisasi dilakukan selama 1-3 kali per hari.17

39
BAB V

KESIMPULAN

Pada striktur uretra terjadi penyempitan dari lumen uretra akibat terbentuknya jaringan
fibrotik pada dinding uretra. Striktur uretra menyebabkan gangguan dalam berkemih, mulai dari
aliran berkemih yang mengecil sampai sama sekali tidak dapat mengalirkan urin keluar dari
tubuh. Striktur uretra adalah penyempitan atau penyumbatan lumen uretra karena fibrosis.
Fibrosis merupakan penumpukan kolagen dan fibroblas, biasanya meluas ke dalam sekitar
korpus spongiosum menyebabkan spongiofibrosis. Penyempitan ini membatasi aliran urine dan
menyebabkan dilatasi proksimal uretra dan duktus prostatika. Striktur uretra jarang terjadi pada
wanita, kejadian striktur uretra paling banyak ditemukan pada pria.6
Ada 3 penyebab paling sering terjadinya striktur ureta yaitu, akibat adanya trauma, infeksi dan
iatrogenik.6
Terapi operatif berupa sachse atau uretrotomi interna merupakan teknik bedah dengan derajat
invasive minim, dimana dilakukan tindakan insisi pada jaringan radang untuk membuka
striktur. Insisi menggunakan pisau otis atau sasche. Otis dikerjakan jika belum terjadi striktur
total, sedangkan pada striktur lebih berat pemotongan dikerjakan secara visual menggunakan
kamera fiberoptik dengan pisau sasche. Tujuan uretrotomi interna adalah membuat jaringan
epitel uretra yang tumbuh kembali di tempat yang sbelumnya terdapat jaringan parut.11
Komplikasi yang dapat terjadi pada striktur uretra adalah Residu urin, Refluks vesiko
urethral, infeksi saluran kemih, gagal ginjal, trabekulasi, sakulasi dan divertikel, dan infiltrate
urin, abses dan fistulasi.10
Pasien pulang dengan keadaan berangsur membaik dan diberikan edukasi berupa anjuran
diet, pengontrolan tekanan darah, serta control di poli urologi sesuai jadwal yang telah
ditentukan.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Netter FH. The Netter Collection of Medical Illustration: Urinary System. 2nd ed.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2012.
2. Urethral Stricture Disease. https://www.urologyhealth.org/urology-a-z/u/urethral-
stricture-disease. Diakses tanggal 12 Desember 2021.
3. Hickling D, dkk. Anatomy and Physiology of the Urinary Tract: Relation to Host Defense
and Microbial Infection. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4566164/.
Diakses tanggal 12 Desember 2021.
4. Guyton, Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi Keduabelas. Singapore :
Saunders Elsevier; 2014.
5. Widya AAN, dkk. Diagnosis dan Penangangan Striktur Uretra. Denpasar : Bagian
Bedah FK Universitas Udayana.
6. Harista RA & Mustofa S. Striktur Uretra Pars Bulbosa. Jurnal Medula, 2017; 7(5) :
84-90.
7. Schwartz SI, et all. Principles of Surgery 10th edition. United States of America :
McGraw-Hill companies; 2015.
8. Arifputera A, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Editor, Tanto C, dkk. Edisi 4. Jakarta:
Media Aesculapius. 2014; jilid 1; 292-294.
9. Yusuf AM. Pedoman Diagnosis dan Terapi Rumah Sakit Umum Daerah Dokter
Soetomo. FK Universitas Airlangga. 1994.
10. Anjar SA, dkk. Striktur Urethra. Jurnal Medical Proffesion, 2019; 1(2) : 132-137.
11. Smith TG. Current management of urethral stricture disease. Indian Journal of
Urology. 2016; 32(1) : 27-33.
12. Purnomo BB. Batu Saluran Kemih. In: Dasar-dasar Urologi. 3rd ed. Jakarta: Sagung
Seto; 2012. p. 87–101.
13. Unger, T. 2020. 2020 International Society of Hypertension Global Hypertension
Practice Guidelines.
https://www.ahajournals.org/doi/10.1161/HYPERTENSIONAHA.120.15026.
Diakses tanggal 15 Desember 2021.
14. Syarif. 2016. Gambaran Pemeriksaan Laju Endap Darah Pada Penderita Anemia Di
Rumah Sakit Umum Wisata Universitas Indonesia Timur Makassar.
15. Alfonso A, Mongan A, Memah M. Gambaran Kadar Kreatinin Serum pada Pasien
Penyakit Ginjal Kronik Stadium 5 Non Dialysis. e-Journal Biomedik (eBm),Volume 4,
41
Nomor 1, Januari – Juni 2016.
16. Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi 2021. Jakarta. 2021. Perhimpunan Dokter
Hipertensi Indonesia.
17. Rahardjo HE, Kateterisasi Berkala Pada Dewasa dan Anak Edisi ke-1.
Perkumpulan Inkontinensia Indonesia (PERKINA)/INAS-FFU. 2019.
18. Martin’s FE. Posterior Urethral Stricture. University of California. 2015.
https://www.researchgate.net/publication/284786321_Posterior_Urethral_Strictur
es. Diakses tanggal 19 Desember 2021.

42
43
44
45
46
47
48

Anda mungkin juga menyukai