Anda di halaman 1dari 235

LAPORAN AKHIR PROFESI NERS

ASUHAN KEPERAWATAN PERIOPERATIF PADA TN. J


DENGAN DIAGNOSA MEDIS BATU URETER 1/3 DISTAL
TINDAKAN OPERASI URETERORENOSKOPI + ELEKTRO
KINETIK LITHOTRIPSY + INSERSI DJ STENT + SIRKUMSISI
DI RUANGAN CENTRAL OPERATING THEATRE (COT)
RSPTN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
TAHUN 2021
HALAMAN SAMPUL
Diajukan sebagai salah satu syarat menyelesaikan pendidikan Profesi Ners
di Fakutas Keperawatan Universitas Hasanuddin

OLEH:
FLAVIA ENYKUSTIA, S.Kep
R014 19 2034

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
ii
ABSTRAK

Flavia Enykustia, S.Kep. R014192034. ASUHAN KEPERAWATAN PERIOPERATIF PADA


TN. J DENGAN DIAGNOSA MEDIS BATU URETER 1/3 DISTAL TINDAKAN OPERASI
URETERORENOSKOPI + ELEKTRO KINETIK LITHOTRIPSY + INSERSI DJ STENT
+ SIRKUMSISI DI RUANGAN CENTRAL OPERATING THEATRE (COT) RS
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSARTAHUN 2021. Dibimbing oleh Moh. Syafar
Sangkala.
Latar Belakang: Batu ureter adalah keadaan dimana terdapat batu saluran kencing, yang
terbentuk ketika konsentrasi substansi tertentu seperti kalium, oksalat, kalium fosfat, dan asam urat
meningkat. Batu ureter pada umumnya berasal dari batu ginjal yang turun ke ureter.
Penatalaksanaan yangdapat digunakan untuk mengangkat batu yang berada pada saluran ureter
adalah dengan ureterorenoskopi yaitu mengangkat batu yang lebih kecil di saluran kemih atau
ginjal, dengan memasukkan selang tipis berlampu (uretoscope) yang dilengkapi dengan kamera
melalui uretra dan kandung kemih ke ureter pasien. Setelah batu terlacak, batu tersebut dijerat dan
dipecah menjadi potongan-potongan yang akan dikeluarkan melalui urine yang disebut elektro
kinetic littotripsi. Kemudian, memasukkan alat dj stent yaitu selang kecil di ureter untuk
mengalirkan urin/cairan dari ginjal ke kandung kemih dan mendukung penyembuhan.

Tujuan: Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien batu ureter 1/3 distal dengan
tindakan ureterorenoskopi + elektro kinetik lithotripsy + insersi dj stent + sirkumsisi
Hasil: Pengkajian dilakukan untuk mengumpulkan data yang mendukung penegakan diagnosis
keperawatan. Diagnosa yang muncul pada pre operasi yaitu ansietas dan hambatan eliminasi urin,
pada intra operasi muncul diagnosa berupa risiko cedera dan risiko infeksi, sementara pada post
operasi muncul diagnosa nyeri akut dan risiko kekurangan volume cairan.
Pembahasan: Dari keenam diagnosa yang ditegakkan mulai dari pre operasi, intra operasi, hingga
post operasi merupakan diagnosa yang umumnya muncul pasien dengan tindakan
Ureterorenoskopi + Elektro Kinetik Lithotripsy + Insersi Dj Stent + Sirkumsisi. Salah satu hal
yang perlu diperhatikan pada fase post operatif adalah mengontrol kondisi pasien terhadap adanya
pendarahan.
Kesimpulan: Intervensi bedah pada pasien batu ureter bertujuan untuk meeningkatkan kualitas
hidup dari segi kesehatan. Tindakan pembedahan wajib memperhatikan keselamatan pasien,
kesiapan pasien, dan prosedur yang akan dilakukan. Kesalahan yang biasa terjadi saat dikamar
bedah yaitu salah lokasi operasi, salah prosedur operasi ataupun salah pasien. Komunikasi
interprofesi yang efektif merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam meningkatkan
keselamatan pasien dan dapat meminimalisir kesalahpahaman.
Kata Kunci: Batu Ureter, URETERORENOSKOPI, ELEKTRO KINETIK LITHOTRIPSY,
INSERSI DJ STENT, SIRKUMSISI, diagnosa keperawatan.

iii
ABSTRAK

Flavia Enykustia, S.Kep. R014192034. PERIOPERATIVE NURSING CARE IN TN. J WITH


URETER STONE MEDICAL DIAGNOSIS 1/3 DISTAL URETERORENOSCOPY
OPERATING ACTION + ELECTRO KINETIC LITHOTRIPSY + INSERSI DJ STENT +
CIRCUMSISION IN CENTRAL OPERATING THEATER (COT) ROOM HASANUDDIN
UNIVERSITY, 2021. Supervised by. Moh. Syafar Sangkala.

Background: Ureteric stones are a condition where there are urinary stones, which are formed
when the concentration of certain substances such as potassium, oxalate, potassium phosphate, and
uric acid increases. Ureteric stones generally originate from kidney stones that descend into the
ureter. Management that can be used to remove stones that are in the ureteral tract is by
ureterorenoscopy, which is to remove smaller stones in the urinary tract or kidneys, by inserting a
thin lighted tube (uretoscope) equipped with a camera through the urethra and bladder to the
patient's ureter. After the stone is tracked, the stone is entangled and broken down into pieces
which will be excreted through urine which is called electro kinetic littotripsi. Then, insert a dj
stent device, which is a small tube in the ureter to drain urine / fluid from the kidneys to the
bladder and promote healing.

Aims: To determine nursing care in patients with ureteral stones 1/3 distal to ureterorenoscopy +
electro kinetic lithotripsy + insertion of dj stent + circumcision.

Results: The assessment was carried out to collect data that supports the establishment of a
nursing diagnosis. The preoperative diagnoses were anxiety and urinary elimination barriers, intra-
surgery diagnoses appeared in the form of risk of injury and risk of infection, while post-surgery
was diagnosed as acute pain and risk of deficient fluid volume.

Discussion: Of the six diagnoses that were enforced, from pre surgery, intra operation, to post
surgery were diagnoses that generally appeared in patients with Ureterorenoscopy + Electro
Kinetic Lithotripsy + Dj Stent insertion + Circumcision. One of the things that need to be
considered in the postoperative phase is controlling the patient's condition for bleeding.

Conclusion: Surgical intervention in ureteral stone patients aims to improve the quality of life in
terms of health. Surgery must pay attention to patient safety, patient readiness, and the procedure
to be performed. The mistakes that usually occur when in the operating room are the wrong
location of the operation, the wrong surgical procedure or the wrong patient. Effective
interprofessional communication is a very influential factor in improving patient safety and can
minimize misunderstandings.

Keywords: Ureter Stone, URETERORENOSCOPY, ELECTRO KINETIC LITHOTRIPSY, DJ


STENT INSERSI, CIRCUMSISI, nursing diagnosis.

iv
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang

telah melimpahkan Berkat dan Kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

laporan akhir peminatan ini dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada Tn.J

dengan diagnosa medis Batu Ureter di ruang Central Operation Theatre (COT)

Rs Hasanuddin”. Laporan akhir peminatan ini dibuat untuk memenuhi salah satu

syarat dalam menyelesaikan Program Profesi Ners pada Program Studi Ilmu

Keperawatan di Fakultas Keperawatan Universitas Hasanuddin Makassar.

Pada kesempatan kali ini peneliti menyampaikan ucapan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Ariyanti Saleh, S.Kp.,M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan

Universitas Hasanuddin

2. Dr. Ns. Takdir Tahir, S. Kep., Ns., M.Kes selaku ketua program studi

Profesi Ners Universitas Hasanuddin

3. Moh. Syafar Sangkala, S.Kep., Ns., MANP selaku pembimbing institusi

dan sekaligus penguji yang telah memberikan masukan dan menyediakan

waktu tenaga dan pemikiran sejak awal sampai terselesaikannya laporan

ini.

4. Muh. Yusuf S.Kep., Ns., M.Kep. selaku penguji yang memberikan banyak

masukan dan arahan demi penyempurnaan laporan akhir Profesi Ners.

5. Seluruh Dosen dan Staf Akademik Fakultas Keperawatan yang banyak

membantu dan memberikan dukungan selama proses penyelesaian studi.

v
6. Seluruh preceptor institusi dan preceptor klinik di RSUP Wahidin

Sudirohusodo dan RSPTN Universitas Hasanuddin

7. Ayah dan Ibu penulis yang selalu memberikan dukungan dan semangat

untuk menyelesaikan studi dan doa yang selalu dikirimkan untuk dapat

menyelesaikan tugas akhir ini.

8. Saudara tercinta penulis Mardi Longa Layuk dan Dervin Efraim dan

seluruh keluarga penulis yang tak hentinya memberikan semangat dalam

menyelesaikan profesi ners.

9. Terima kasih kepada sahabat-sahabat penulis Fitrah Ardillah, Riventi Pali’

Kamoda yang senantiasa membantu dan mensuport.

10. Teman-teman seerjuangan profesi ners, Tr16eminus dan terkhusus teman-

teman yang mengambil peminatan COT yang senantiasa saling

menyemangati.

11. Terima kasih kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis disebutkan

satu persatu yang senantiasa memberikan dukungan, semangat, motivasi,

serta saran dan bantuannya.

Makassar, 19 Januari 2021

Flavia Enykustia

vi
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL…………………………………………………………………….i

LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………………………….....ii

ABSTRAK………………………………………………………………………………..iii

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ v

DAFTAR ISI .................................................................................................................... vii

DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................................... viii

LAPORAN KASUS UJIAN KOMPREHENSIF………………………………………….1

LAMPIRAN…………………………………………………………………………….. 49

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………...… 97

vii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Laporan kritisi jurnal……… ………………………………………..….. 100

Lampiran 2 : Asuhan keperawatan perioperatif fraktur dengan tindakan pembedahan


ORIF………………………………………………………………………………....… 119

Lampiran 3 : Asuhan keperawatan perioperatif urolitiasis dengan tindakan pembedahan


EKL + Insersi DJ Stent………………………………………………………………... 170

viii
KEPERAWATAN PERIOPERATIF PADA TN. J
DENGAN DIAGNOSA MEDIS BATU URETER 1/3 DISTAL
TINDAKAN OPERASI URETERORENOSKOPI + ELEKTRO KINETIK
LITHOTRIPSY + INSERSI DJ STENT + SIRKUMSISI
DI RUANGAN CENTRAL OPERATING THEATRE (COT)
RSPTN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
TAHUN 2021
HALAMAN SAMPUL
Ujian komprehensif ini dibuat dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk
mendapatkan gelas Ners (Ns)

OLEH:
FLAVIA ENYKUSTIA, S.Kep
R014 19 2034

PRAKTEK PEMINATAN KLINIK KEPERAWATAN PERIOPERATIF


PROGRAM STUDI PROFESI NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Definisi

Ureter merupakan organ yang berbentk tabung kecil yang berfungsi

mengalirkan urin dari pielum ginjal ke dalam vesika urinaria. Sepanjang

perjalanan ureter dari ginjal ke vesika urinaria, secara anatomis terdapat

beberapa tempat yang ukuran diameternya relative lebih sempit, sehingga batu

batu yang berasal dari ginjal seringkli tersangkut pada lokasi tersebut.

Batu itu sendiri disebut calculi. Pembentukan batu dimulai dengan

Kristal yang terperangkap di suatu tempat sepanjang saluran perkemihan yang

tumbuh sebagai pencetus. Calculi bervariasi dalam ukuran dan dari focus

mikroskopik sampai beberapa centimeter dalam diameter cukup besar untuk

masuk dalam velvis ginjal.

Batu ureter adalah keadaan dimana terdapat batu saluran kencing, yang

terbentuk ketika konsentrasi substansi tertentu seperti kalium, oksalat, kalium

fosfat, dan asam urat meningkat. Urolithiasis adalah suatu keadaan terjadinya

penumpukan oksalat, calicu (batu ginjal) pada ureter atau pada daerah ginjal.

Urolithiasis terjadi bila batu ada di dalam saluran perkemihan. Batu ureter

pada umumnya berasal dari batu ginjal yang turun ke ureter. Gerakan

peristaltic ureter mencoba mendorong batu ke distal, sehingga menimbulkan

kontraksi yang kuat dan dirasakan sebagai nyeri hebat (Aulawi, 2014).

2
Anatomi Ureter memiliki tiga lokasi penyempitan yang memungkinkan

terhentinya batu yaitu perbatasan antara pelvis renalis dengan ureter

(pelvicoureter junction), persilangan ureter dengan arteri iliaka dengan rongga

pelvis, dan pada perbatasan ureter dengan kandung kemih (Sja’bani, 2006).

3
B. Etiologi

Penyebab terbentuknya batu ureter yaitu :

1. Usia

Usia lansia awal – manula berpeluang untuk menderita batu saluran

kemih sebesar 81 kali dibandingkan dewasa awal - dewasa akhir, hal ini

terjadi karena proses metabolisme yang sudah mulai menurun.

2. Jenis kelamin

Kelompok laki -laki berpeluang untuk menderita batu saluran

kemih sebesar 27 kali dibandingkan kelompok perempuan. Hal ini

dipengaruhi oleh serum testosteron akan menghasilkan peningkatan

produksi oksalat endogen oleh hati, rendahnya serum testosteron pada

perempuan dan anak-anak menyebabkan rendahnya kejadan batu saluran

kemih pada perempuan dan anak-anak, serta gaya hidup yang kurang baik

pada laki-laki

3. Ginjal

Tubular rusak pada nefron, mayoritas terbentuknya batu

4. Imobilisasi

Kurang pergerakan tulang dan musculoskeletal menyebabkan penimbunan

kalsium. Peningkatan kalsium di plasma akan meningkatkan pembentukan

batu.

5. Infeksi

Infeksi saluran kemih dapat menyebabkan nekrosis jaringan ginjal dan

menjadi inti pembentukan batu.

4
6. Kurang minum

Intake cairan; kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral

kalsium dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih. Intake cairan <

1500 ml berpeluang untuk menderita batu saluran kemih sebesar 81 kali

dibandingkan kelompok > 1500 ml. Hal ini di dukung oleh teori bahwa

pembentukan batu dipengaruhi oleh faktor hidrasi (air yang masuk dalam

tubuh). Pada orang dengan dehidrasi (kekurangan cairan tubuh) kronik dan

asupan cairan kurang memiliki risiko tinggi terkena batu saluran kemih

7. Lama duduk

Lama duduk lebih dari 4 jam/hari berpeluang untuk menderita batu

saluran kemih sebesar 27 kali dibandingkan kelompok yang lama duduk

kurang dari 4 jam/hari. Hal ini disebabkan karena jika terlalu lama duduk

orang akan mengalami pelepasan kalsium tulang ke darah, yang akan

mengakibatkan memacu timbulnya hiperkalsemia batu dikarenakan

adanya proses supersaturasi bahan pembentukan batu di dalam tubulus

renalis yang akan merubah zona stabil saturasi rendah menjadi zona

saturasi tinggi.

12. Obesitas

Obesitas berpeluang untuk menderita batu saluran kemih sebesar

81 kali dibandingkan kelompok tidak obesitas. Hal ini disebabkan pada

orang yang gemuk pH air kemih turun, kadar asam urat, oksalat dan

kalsium naik.

5
Diet; diet tinggi purin, oksalat dan kalsium mempermudah terjadinya batu

saluran kemih. Jika terjadi peningkatan asupan purin maka akan terjadi

penumpukan kristal urat. Peningkatan kadar asam urat dapat menyebabkan

terjadinya urolithiasis yang awalnya berasal dari penumpukan Krista (Di,

el all, 2018).

C. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinik adanya batu dalam traktus urinaris bergantung pada

adanya obstruksi, infeksi dan edema .

1. Ketika batu menghambat aliran urin, terjadi obstruksi yang menyebabkan

peningkatan tekanan hidrostatik dan distensi pad aginjal serta ureter

proksimal. Infeksi (pielonefritis dan sistitis yang disertai menggigil,

demam, dan dysuria) dapat terjadi dari iritasi batu yang terus menerus.

Beberapa batu menyebabkan sedikit gejala namun secara perlahan

merusak unit fungsional (nefron) ginjal.

2. Batu di piala ginjal yang dapat menyebabkan nyeri terus menerus di area

kastovertebral, hematuria dan piuria, diare dan ketidaknyamanan

abdominal dapat terjadi.

3. Batu yang terjebak di ureter yang dapat menyebabkan gelombang nyeri

yang luar biasa, akut, dan kronik yang menyebar ke paha dan genetalia,

rasa ingin berkemih namun hanya sedikit urin yang keluar

4. Hematuria akibat aksi abrasi batu

5. Batu yang terjebak di kandung kemih yang menyebabkan gejala iritasi

dan berhubungan dengan infeksi traktus urinarius dan hematuri, jika batu

6
menyebabkan obstruksi pada leher kandung kemih akan terjadi retensi

urin.

D. Jenis-Jenis Batu Saluran Kemih

Komposisi batu saluran kemih pada umumnya mengandung kalsium

oksalat monohidrat dan dihidrat, asam urat, ammonium, fosfat, sistin, xantin,

dan 2,8-dihidroxyadenin. Kandungan beberapa senyawa ini bisa

mengindikasikan adanya pembentukan batu jika ditemukan peningkatannnya.

Kemudian, jenis-jenis batu yang sering ditemukan pada pasien batu saluran

kemih terbagi secara umum atas 4 jenis yaitu, batu kalsium (kalsium oksalat

(monohidrat atau dihidrat), kalsium fosfat (brushite atau apatit), batu asam

urat, batu struvit dan batu sistin (Fauzi, A., & Putra, 2016).

1. Batu Kalsium

Kalsium adalah zat yang paling umum dan ditemukan pada 90%

batu. Batu kalsium biasanya terbentuk dari kalsium fosfat atau kalsium

oksalat. Ukurannya bervariasi dati partikel yang sangat kecil

(pasir/kerikil), hingga yang besar seperti batu staghorn yang dapat

memenuhi seluruh pelvis ginjal dan meluas hingga kaliks. Hiperkalsiuri

(peningkatan zart terlarut berupa kalsium dalam urine) disebabkan oleh

empat komponen utama:

a. Peningkatan reabsorpsi tulang yang membebaskan kalsium, seperti

pada penyakit Paget, hiperparatiroidisme, penyakit Cushing,

osteolisis yang disebabkan keganasan dari payudara, paru-paru, dan

prostat.

7
b. Penyerapan kalsium dalam jumlah besar, seperti pada pasien

sarkoisdosis dan konsumsi vitamin D berlebihan.

c. Terganggunya penyerapan kalsium yang tersaring pada tubular renal,

seperti pada kondisi asidosis tubular renal.

d. Kelainan structural, seperti pada “ginjal spon/spone ginjal”.

2. Batu Asam Urat

Batu asam urat disebabkan oleh meningkatnya eksresi urat, deplesi

cairan, dan pH urine yang rendah. Hiperurisuria adalah hasil dari

peningkatan pembentukan asam urat atau pemasukan zat-zat uricosuric

sulfinpirazon, thiazid, dan salisilat. Biasanya diderita pada pasien-pasien

penyakit gout, pasien yang mendapatkan terapi anti kanker dengan zat

yang menyebabkan destruksi sel-sel secara cepat dapat meningkatkan

konsentrasi asam urat di urine., dan yang banyak menggunakan obat

urikosurik seperti sulfinpirazon, thiazid, dan salisilat.

3. Batu Struvit

Batu struvit (triple fosfat), terbentuk dari karbon apatit dan

magnesium amonium fosfat. Penyebabnya adalah bakteri jenis tertentu,

umumnya proteus yang mengandung enxim preotease. Enzim ini

membelah urea menjadi dua molekul ammonia, yang meningkatkan pH

urine. Fosfat mengendap di urine yang basa. Batu struvit sulit

dihilangkan karena batu yang keras terbentuk di sekeliling inti sel bakteri

sehingga melindungi batu tersebut dari terapi antibiotic.

8
E. Pemeriksaan Penunjang

Menurut (Noegroho, el. all, 2018) pemeriksaan penunjang yang dapat

dilakukan pada pasien dengan batu ureter antara lain pemeriksaan

laboratorium dan pencitraan.

1. Pemeriksaan Radiologi

Pasien dengan batu ureter biasanya mengeluh adanya nyeri, muntah,

kadang demam, namun dapat pula tidak memiliki gejala. Pencitraan rutin

antara lain, foto polos abdomen (kidney-ureter-bladder/KUB

radiography). Pemeriksaan foto polos dapat membedakan batu radiolusen

dan radioopak serta berguna untuk membandingkan saat follow-up.

a. USG, merupakan pencitraan yang awal dilakukan dengan alasan

aman, mudah diulang, dan terjangkau. USG juga dapat

mengidentifikasi batu yang berada di kaliks, pelvis, dan UPJ.

b. Pemeriksaan CT- Scan non kontras sebaiknya digunakan mengikuti

pemerik-saan USG pada pasien dengan nyeri punggung bawah akut

karena lebih akurat dibandingkan IVP. CT-Scan non kontras menjadi

standar diagnostik pada nyeri pinggang akut. CT-Scan non kontras

dapat menentukan ukuran dan densitas batu. CT-Scan dapat

mendeteksi batu asam urat dan xantin (Noegroho et al., 2018).

2. Pemeriksaan Laboratorium

1
Pemeriksaan laboratorium sederhana dilakukan untuk semua pasien

batu saluran kemih. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah

pemeriksaan darah dan urinalisa.

a. Pemeriksaan darah

Pemeriksaan darah berupa hemoglobin, hematokrit, leukosit,

trombosit, dan hitung jenis darah, apabila pasien akan direncanakan

untuk diintervensi, maka perlu dilakukan pemeriksaan darah berupa,

ureum, kreatinin, uji koagulasi (activated partial thromboplastin

time/aPTT, international normalised ratio/INR), natrium, dan

kalium. Bila diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan kalsium dan

atau C-reactive protein (CRP).

b. Pemeriksaan urine rutin

Urinalisa : warna kuning, coklat gelap, berdarah. Secara umum

menunjukkan adanya sel darah merah, sel darah putih dan kristal,

serta mineral, bakteri, pus, pH urin asam (meningkatkan sistin dan

batu asam urat) atau alkalin meningkatkan magnesium, fosfat

ammonium, atau batu kalsium fosfat.

F. Penatalaksanaan

Penatalaksaan yang dapat dilakukan pada pasien dengan batu ureter antara

lain :

1. Pengurangan nyeri

Mengurangi nyeri sampai penyebabnya dapat dihilangkan,

morfin diberikan untuk mencegah sinkop akibat nyeri luar biasa. Mandi

2
air hangat di area panggul dapat bermanfaat. Cairan dapat diberikan,

kecuali pasien mengalami muntah atau menderita gagal jantung kongestif

atau kondisi lain yang memerlukan pembatasan cairan.

2. Pengangkatan batu

Pemeriksaan sistoskopik dan passase kateter ureteral kecil untuk

menghilangkan batu yang menyebabkan obstruksi (jika mungkin), akan

segera mengurangi tekanan belakang pada ginjal dan mengurangi nyeri.

3. Terapi nutrisi dan medikasi

Terapi nutrisi berperan penting dalam mencegah pembentukan

batu ginjal. Masukan cairan yang adekuat dan menghindari makanan

tertentu dalam diet yang merupakan bahan utama pembentuk batu.

Efektif untuk mencegah pembentukan batu atau lebih jauh meningkatkan

ukuran batu yang telah ada.

4. Metode endourologi pengangkatan batu

Menggabungkan keterampilan ahli radiologi dan urologi untuk

mengangkat batu renal tanpa pembedahan mayor

5. Utereskopi

Ureteroskopi yaitu mengangkat batu yang lebih kecil di saluran

kemih atau ginjal, dokter akan memasukkan selang tipis berlampu

(uretoscope) yang dilengkapi dengan kamera melalui uretra dan kandung

kemih ke ureter pasien. Setelah batu terlacak, batu tersebut dijerat dan

dipecah menjadi potongan-potongan yang akan dikeluarkan melalui

urine. Kemudian, dokter memasukkan selang kecil (stent) di ureter untuk

3
meredakan pembengkakan dan mendukung penyembuhan. Pasien

mungkin membutuhkan bius lokal atau total selama prosedur ini.

6. ESWL menggunakan gelombang suara untuk menciptakan getaran

kuat (gelombang kejut) yang memecah batu menjadi potongan-

potongan kecil agar bisa dikeluarkan lewat urine. Prosedur ini

berlangsung selama sekitar 45 – 60 menit dan dapat menyebabkan

nyeri intensitas sedang. Pasien akan mendapatkan anestesi ringan

untuk membuat pasien merasa nyaman.

4
URETERORENOSKOPI (URS)

A. Defenisi

Ureterorenoskopi atau URS adalah tindakan yang dilakukan dengan

cara memasukkan alat disertai kamera melalui ureter (saluran kencing di

dalam penis atau saluran kencing wanita) hingga memasuki vesika urinaria.

Kemudian didalam kandung kemih dilanjutkan dengan mencari muara ke

ureter kanan maupun kiri untuk melihat dan mencari lokasi batu yang ada

disaluran kemih.

Setelah itu, tindakan selanjutnya memasukkan alat melalui uretra ke

dalam kandung kemih untuk menghancurkan batu buli atau kedalam ureter

untuk menghancurkan batu ureter. URS yaitu prosedur spesialistik dengan

menggunakan alat endoskopi semirigid/fleksibel berukuran kurang dari 30

mm yang dimasukkan melalui saluran kemih ke dalam saluran ginjal (ureter)

kemudian batu dipecahkan dengan pemecah batu litotripsi. Tindakan ini

memerlukan pembiusan regional yaitu anastesi Spinal.

Sebuah ureteroscopy (URS) merupakan prosedur investigasi

sederhana yang memungkinkan dokter bedah untuk membuat diagnosis dan

memberikan perlakua yang diperlukan. Ini melibatkan baik

menggunakanteleskop yang kaku disebut ureteroscopy atau yang fleksidle

disebut ureterorenoscopy. Sebuah ureterorenoscopy memungkinkan ahli

bedah untuk melihat ke ureter dan ginjal.

B. Alat-alat

1. Baju operasi steril (Operator/Asostensi/Scrub Nurse)

5
2. Sarung tangan (Gloving)

3. Duk steril dan Duk klem (Drapping)

4. Alat URS

5. Alat set endoskopi

6. Guidewire

6
7. Kateter ureter

8. Fosceps

C. Indikasi URS

1. Besar baru > 4 sampai ≤ 15 mm

2. Ukuran batu ≤ 4 mm diakukan bila gagal dengan terapi konservatif,

intractable pain dan pekerjaan yang mempunyai resiko tinggi bila terjadi

kolik

3. Batu pelvic ginjal yang simptomaik

4. Lokasi batu yang terletak dibagian bawah ginjal

5. Morbid obesity dimana operasi terbuka lebih sukar dilakukan

6. Pendarahan diathesis yang tidak adapat diatasi

7. Batu diantara calyceal diverticulum atau infundibular stenosis

7
ELEKTRO KINETIK LITOTRIPSI

A. Pengertian

Litotripsi adalah tindakan medis yang melibatkan penggunaan

gelombang kejut atau laser untuk menghancurkan batu ginjal, batu kandung

kemih, atau batu saluran kemih. Prosedur ini dilakukan oleh dokter spesialis

bedah urologi. Melalui litotripsi, batu yang dihancurkan akan menjadi

pecahan-pecahan kecil. Pecahan ini kemudian dikeluarkan dari tubuh melalui

urine. Jika obat-obatan tidak dapat mengatasi keberadaan batu tersebut,

litotripsi bisa dilakukan sebagai pilihan untuk membuang batu dengan cepat

dan efektif.

B. Klasifikasi

Llitotripsi terbagi dalam dua jenis berikut:

1. Extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL)

ESWL menggunakan gelombang kejut untuk menghancurkan batu.

2. Flexible ureteroscopy and laser lithotripsy (FUSRL)

FUSRL memakai laser untuk menghancurkan batu.

8
C. Indikasi

Litotripsi diperlukan untuk batu ginjal atau saluran kemih yang menyebabkan

kondisi-kondisi di bawah ini:

1. Perdarahan

2. Kerusakan ginjal

3. Nyeri

4. Infeksi saluran kemih

D. Persiapan

Beberapa persiapan di bawah ini perlu dilakukan sebelum menjalani litotripsi:

1. Kondisi tertentu

Informasikan pada dokter bedah atau perawat apabila pasien:

a. Sedang hamil atau memiliki kemungkinan hamil

b. Sedang mengonsumsi obat-obatan, suplemen, atau obat herbal tanpa

resep dokter

2. Obat-obatan tertentu

Pada beberapa hari sebelum operasi, pasien harus menginformasikan

pada dokter mengenai jenis-jenis obat yang boleh dikonsumsi atau tidak.

Pasien perlu menghentikan konsumsi obat-obatan pengencer darah,

seperti aspirin, ibuprofen, clopidogrel, dan warfarin.

3. Persiapan lainnya

Pada hari dilakukannya operasi, pasien perlu:

a. Mengikuti arahan dokter terkait puasa selama enam jam sebelum

prosedur

9
b. Mengonsumsi obat-obatan sesuai arahan dokter

c. Sampai di rumah sakit tepat waktu

E. Prosedur

Litotripsi bisa dilakukan di bawah pengaruh bius lokal atau bius total,

sehingga pasien tidak merasa nyeri selama operasi. Jenis obat bius yang

digunakan akan ditentukan oleh dokter spesialis anestesi berdasarkan kondisi

pasien.

Setelah bius efektif, dokter akan melakukan salah satu prosedur di bawah ini:

1. Flexible ureteroscopy and laser lithotripsy (FUSRL)

Pada FUSRL, prosedurnya meliputi:

a. Dokter akan memasukkan uteroskop lewat uretra (saluran kencing)

pasien. Alat berbentuk selang tipis ini dapat membantu dokter untuk

melihat kondisi saluran kemih, mencari lokasi batu ginjal, dan

memasukkan serat fiber penghasil laser guna menghancurkan batu.

b. Ketika batu ditemukan, serat fiber akan dimasukkan lewat uteroskop

dan menghasilkan laser yang akan menghancurkan batu.

c. Serpihan-serpihan kecil batu kemudian diambil dengan uteroskop.

Sementara butir butir batu yang menjadi pasir akan keluar sendiri

melalui urine.

d. Alat khusus bernama stent dapat diletakkan dalam saluran kemih

untuk menjaga saluran ini tetap terbuka, menjaga aliran urine, dan

membantu batu keluar lewat urine. Stent akan dikeluarkan dalam

beberapa hari atau beberapa minggu kemudian.

10
F. Hal yang perlu diperhatikan

Setelah efek obat bius hilang dan pasien sadar, kondisi pasien akan

dipantau selama setidaknya satu jam kemudian. Langkah ini bertujuan

memastikan pasien sudah stabil dan bisa pulang. Dokter juga akan

memberikan instruksi dan meresepkan obat pereda nyeri. Butuh waktu

beberapa minggu hingga serpihan batu benar-benar hilang dari tubuh pasien.

Pasien tidak perlu cemas jika menemukan sedikit darah dalam urine selama

beberapa hari pertama pascaprosedur. Pasien juga dapat merasakan nyeri di

punggung. Namun gejala ini bisa membaik dengan obat pereda nyeri.

Sebagian pasien dapat pula mengalami memar ringan pada lokasi pemberian

gelombang kejut di kulit.

G. Komplikasi

Secara umum, litotripsi tergolong sebagai prosedur yang aman. Tetapi risiko

komplikasinya tetap ada, dan bisa berupa:

1. Perdarahan di sekitar ginjal, yang membutuhkan transfusi darah

2. Infeksi ginjal

3. Pecahan batu yang menyumbat aliran urine dari ginjal, sehingga

menimbulkan nyeri atau kerusakan ginjal

4. Pecahan batu yang tertinggal dalam tubuh pasien

5. Luka pada lambung atau usus halus

6. Kelainan fungsi ginjal pascaprosedur

7. Memar di punggung

11
INSERSI DJ STENT

A. Pengertian

DJ stent atau double J stent adalah suatu alat yang dipasang di dalam

tubuh yang berperan dalam mengalirkan urin / cairan dari ginjal ke kandung

kemih dalam kasus terjadinya penyumbatan aliran dari ginjal ke kandung

kemih akibat cidera pada ureter ataupun batu pada ureter. Kedua ujung dari

penghubung ini menyerupai abjad J sehingga diberikan istilah double J stent.

Karakteristik stent ureter yang ideal, meliputi mudah saat dilakukan

insersi, tidak mudah terjadi migrasi, memberikan aliran urine yang optimal,

dapat ditoleransi dengan baik oleh penderita, biokompatibel, biodurabiliti,

tidak mudah terjadi enkrustasi, tidak menyebabkan refluks, mudah terlihat

dengan ultrasonografi, mudah diganti dan dilepas; dan terjangkau (Al-

Marhoon, M.S., Shareef, O., Al-Habsi, I.S., Al-Balushi, A.S, Mathew, J. &

Venkiteswaran, 2013)

Untuk menjamin aliran yang optimal maka dikembangkanlah stent

dengan ukuran diameterluar mulai 4,8 F sampai 6 F, dengan panjang12-30cm.

Untuk orang dewasa rata-rata memakai ukuran 24 cm, untuk anak-anak,

biasanya digunakan 4,8 fr dan 20-24cm (Wein, A., R. Kavoussi, et al., 2007).

12
Ada beberapa cara untuk menentukan panjang stent yang akan

dipasang, yaitu ; pertama dengan mengukur panjang ureter mempergunakan

fluoroskopi, atau menentukan panjang ureter dari gambaran urografi

intravena, dan memperkirakan panjang ureter berdasarkan tinggi badan

penderita (Wein, A., R. Kavoussi, et al., 2007).

B. Indikasi pemasangan

Indikasi pemasangan DJ Stent adalah sebagai berikut :

1. menyambung ureter yang terputus.

2. jika saat tindakan URS lapisan dalam ureter terluka.

3. setelah operasi URS batu ureter distal, karena dikhawatirkan muara ureter

bengkak sehingga urine tidak dapat keluar.

13
4. stenosis atau penyempitan ureter. DJ stent berfungsi agar setelah dipasang

penyempitan tersebut menjadi longgar.

5. setelah URS dengan batu ureter tertanam, sehingga saat selesai URS

lapisan dalam ureter kurang baik.

6. operasi batu ginjal yang jumlahnya banyak dan terdapat kemungkinan batu

sisa. Jika tidak dipasang dapat terjadi bocor urine berkepanjangan.

7. batu ginjal yang besar dan direncanakan ESWL. Seandainya tidak

dipasang maka serpihan batu dapat menimbulkan rasa nyeri.

8. untuk mengamankan saluran kencing pada pasien kanker cervix.

9. untuk mengamankan ginjal saat kedua ginjal/ureter tersumbat dan baru

dapat diterapi pada 1 sisi saja. Maka sisi yang lain dipasang DJ stent.

10. pada pasien gagal ginjal karena sumbatan kencing, (tidak dapat dilakukan

nefrostomi karena hidronefrosis kecil).

C. Prosedur pemasangan

Stent ureter ditempatkan secara endoskopi melalui kandung kemih atau

secara perkutaneus menuju ginjal maupun saat operasi terbuka. Penempatan

stent ureter menggunakan guidewire melewati sidehole di bagian distal, sampai

ke ujung proksimal, tujuannya untuk meluruskan stent saat penempatan dengan

sitoskopi. Sideholes membantu drainase dan tanda hitam di kedua ujungnya

stent memfasilitasi visualisasi curl saat menempatkan stent secara visual

melalui sistoskopi. Guidewire dimasukkan terlebih dahulu dari distal sideholes

ke arah proksimal atau sebagai alternatif lain ujung distal stent dapat dipotong.

Begitu stent ditempatkan, guidewire ditarik, membiarkan stent terbentuk di

14
bagian ginjal dan kandung kemih. Penempatan stent saat operasi terbuka

adalah dengan dengan memasukkan guidewire melalui sidehole di tengah stent.

Stent dilepas dengan endoskopi menggunakan forseps kaku atau fleksibel

untuk menangkap ujung distal distal di kandung kemih, menariknya bersamaan

dengan sistoskopi.

D. Pengangkatan DJ stent

DJ stent harus diangkat atau diganti 2-3 bulan sekali. DJ stent yang

terpasangan harus <3 bulan, dan bisa diangkat apabila terdapat indikasi seperti

adanya perbaikan dari sistem perkemihan terutama di ginjal. Untuk waktu

paling cepat kapan dilakukan pengangkatan DJ Stent bergantung dari dokter

yang merawat atau yang mengoperasi.

Proses pelepasan atau pengangkatan DJ stent ini bisa dilakukan dengan

pembiusan secara lokal maupun umum. Selama prosedur cabut DJ stent

dilakukan insersi sheath ukuran 20 Fr di muara uretra sampai buli-buli, dengan

durasi 10-15 menit, dengan skala nyeri VAS 9-10, sehingga diperlukan

pembiusan regional atau umum. Biasanya pasien setelah dilakukan

15
pengangkatan ini bisa langsung pulang, dan dilakukan kontrol kembali

beberapa waktu ke depan. Pasien yang sudah dilakukan pengangkatan DJ stent,

bisa dapat beraktifitas sehari-hari sesuai dengan kondisi tubuhnya. Namun

masih dianjurkan untuk tidak melakukan aktifitas yang berat. Pada kasus DJ

stent yang mengalami enkrustasi atau membentuk batu memerlukan ekstra

tindakan yaitu litotripsi, dengan durasi operasi yang lebih lama dan lebih

invasive.

16
SIRKUMSISI

A. Defenisi

Sirkumsisi adalah tindakan operatif yang ditujukan untuk mengangkat

sebagian, maupun seluruh bagian, dari kulup atau prepusium dari penis.

Sirkumsisi termasuk dalam prosedur bedah minor. Prosedur ini merupakan

yang paling umum dilakukan di dunia. Di Indonesia sirkumsisi lebih dikenal

dengan istilah khitan atau masyarakat sering menyebutnya sunat (Purnomo,

2011).

B. Indikasi Sirkumsisi

Sirkumsisi biasa dilakukan dengan tujuan tertentu. Selain untuk

menjaga kebersihan penis, sirkumsisi memiliki banyak manfaat lain. Oleh

karena itu, terdapat beberapa indikasi dilakukannya sirkumsisi, antara lain:

1. Manfaat Agama

Dari segi agama, beberapa agama seperti Agama Islam dan Yahudi

mewajibkan laki-laki untuk melakukan sirkumsisi.

2. Manfaat Medis

Dengan dilakukannya pemotongan dari prepusium penis, sirkumsisi tidak

hanya bermanfaat untuk mengurangi resiko terjadinya infeksi karena

akumulasi smegma. Sirkumsisi memiliki manfaat salah satunya adalah

sebagai terapi dari beberapa penyakit. Contoh penyakit yang dapat diatasi

dengan dilakukannya sirkumsisi yakni fimosis, parafimosis, kondiloma

akuminata (Syamsir, 2014).

17
a. Fimosis adalah kondisi dimana prepusium tidak dapat ditarik ke

belakang (proximal) atau membuka. Pada kondisi ini terkadang

orifisium prepusium hanya sebesar ujung jarum, sehingga urin sulit

dikeluarkan. Keadaan yang paling banyak menyebabkan fimosis

yaitu kelainan kongenital maupun komplikasi dari infeksi pada

daerah glans penis yang disebut balanopostitis.

b. Parafimosis adalah kondisi dimana prepusium tidak dapat ditarik ke

depan (distal) atau menutup. Pada kondisi ini glans penis dapat

terjepit oleh karena prepusium yang membengkak akibat

peradangan. Setelah didiagnosis parafimosis, akan dicoba tindakan

reduksi terlebih dahulu pada pasien. Apabila tidak berhasil, maka

perlu dilakukan sirkumsisi.

c. Kondiloma akuminata adalah suatu lesi pada penis dimana terjadi

vegetasi yang berbentuk seperti jengger ayam. Kontraindikasi

Sirkumsisi Sirkumsisi tidak boleh dilakukan pada kondisi medis

tertentu. Beberapa kondisi dapat menjadikan sirkumsisi tidak dapat

dilakukan, atau perlu ditunda terlebih dahulu. Kondisi ini disebut

kontraindikasi sirkumsisi.

C. Kontraindikasi

Kontraindikasi sirkumsisi dibagi menjadi kontraindikasi absolut dan

kontraindikasi relatif (Syamsir, 2014)

1. Kontraindikasi Absolut

18
Kontraindikasi absolut sirkumsisi antara lain hipospadia dan

epispadia. Hipospadia adalah keadaan dimana lubang penis berada di

bawah penis. Sedangkan epispadia adalah keadaan dimana lubang penis

berada di bagian atas penis. Bayi prematur, kelainan bentuk penis atau

kulit penis, mikropenis, ambigus genitalia juga merupakan kontraindikasi

sirkumsisi. Mikropenis adalah ukuran penis yang terlalu kecil.

Sedangkan ambigus genitalia adalah kelainan pada bentuk genitalia

eksterna atau fenotip yang tidak jelas laki-laki atau perempuan.

2. Kontraindikasi Relatif

Sedangkan yang termasuk kontraindikasi relatif sirkumsisi yakni

pasien dengan diabetes mellitus. Diabetes mellitus menjadi

kontraindikasi relatif karena akan mempermudah terjadinya infeksi dan

memperlambat penyembuhan (Syamsir, 2014).

D. Persiapan

1. Persiapan Operator

a. Operator memakai pakaian yang bersih, jika mungkin baju kamar

bedah

b. Mengenakan topi dan masker

c. Mencuci tangan dengan antiseptic, seperti Savlon, Hibiscrub dan

sebagainya.

d. Mengenakan sarung tangan steril

e. Posisi operator berada pada sebelah kanan pasien

2. Persiapan Pasien

19
a. Rambut di sekitar penis(pubes) dicukur

b. Penis dan sekitarnya dibersihkan dengan air sabun

c. Pada pasien anak-anak, sebelum tindakan, perlu diadakan

pendekatan agar anak tidak cemas dan gelisah

d. Periksa apakah pasien mempunyai riwayat alergi terhadap obat,

penyakit terdahulu dan hal-hal lain yang dianggap perlu

3. Perlengkapan

a. ESU (Monopolar Coag)

b. Needle holder (pemegang jarum)

c. Klem Mosquito lengkung

d. Klem Pean lurus

e. Klem Halstead lengkung

f. Klem Kocher lurus

g. Pinset anatomis

h. Pinset jaringan

i. Gunting mayo lurus atau gunting Busch

j. Gunting mayo lengkung

k. Gunting benang

l. Mata pisau no. 10

m. Gagang pisau no. 3

n. Jarum jahit untuk kulit (Benang Chromic Cat gut 3-0, 3 meter 70

cm SH)

20
E. Teknik Sirkumsisi

Metode dorsumsisi biasa dikombinasikan dengan teknik sirkumsisi

lainnya maupun digunakan sendiri tanpa teknik sirkumsisi lainnya, terutama

apabila didapatkan inflamasi akut. Dorsumsisi mencegah terjadinya fimosis

dan parafimosis. Pada metode ini, preputium dibebaskan dari perlengketan

dengan glans penis. Dengan bantuan forcep arteri yang dijepitkan pada jam

11 dan jam 1, kemudian dilakukan pemotongan pada jam 12 pada kedua layer

dari preputium hingga beberapa milimeter dari korona glans penis. Secara

kosmetik, hasil pemotongan dengan teknik dorsumsisi apabila

dikombinasikan dengan teknik eksisi lebih baik dibandingkan hanya

dilakukan teknik dorsumsisi.

F. Komplikasi Sirkumsisi

Menurut Syamsir (2014)komplikasi pada sirkumsisi dapat terjadi

meskipun tindakan bedah sudah dilakukan dengan teknik yang benar dan

sterilitas yang terjamin. Komplikasi yang dapat terjadi pada sirkumsisi antara

lain:

1. Perdarahan Komplikasi yang paling sering terjadi adalah perdarahan.

Perdarahan yang terjadi disebabkan oleh tidak sempurnanya hemostasis.

2. Infeksi pada sirkumsisi disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus,

Klebsiella pneumonia, dan Staphylococcus epidermidis. Infeksi terjadi

akibat kurang terjaganya kebersihan dan perawatan pasca sirkumsisi

yang baik. Sebagian besar infeksi bersifat ringan atau sedang dan

21
terlokasi. Infeksi dapat diobati dengan pemberian antibiotik (Syamsir,

2014).

3. Pemotongan Kulit yang Berlebihan Hal ini terjadi karena penarikan

prepusium yang terlalu panjang. Penarikan pada prepusium yang

dikatakan berlebih apabila telah melebih glans penis. Pada akhirnya kulit

batang penis hilang setelah pemotongan Fimosis Selain merupakan

indikasi dilakukannya sirkumsisi, fimosis juga dapat menjadi komplikasi

dari sirkumsisi. Fimosis yang terjadi dalam komplikasi sirkumsisi terjadi

karena pemotongan prepusium yang terlalu sedikit.

G. Perawatan Pasca

Sirkumsisi penyembuhan luka sirkumsisi membutuhkan waktu sekitar

satu minggu hingga sepuluh hari. Dikatakan sembuh apabila 14 luka telah

kering dan dapat menutup sempurna. Adapun perawatan yang harus

dilakukan setelah sirkumsisi antara lain:

1. Segera Minum Analgesik Daerah penis sering terasa nyeri setelah

dilakukan sirkumsisiMenjaga Kebersihan Daerah Penis Prinsipnya

adalah menjaga agar daerah sekitar penis tetap bersih dan kering. Bila

pasien selesai buang air kecil, ujung lubang penis dibersihkan

secukupnya secara perlahan. Usahakan air tidak mengenai luka

sirkumsisi. Gunakan celana yang longgar untuk menghindari gesekan

2. Batasi Aktivitas Untuk menghindari pembengkakan yang berlebihan

pada luka, istirahat yang cukup dalam beberapa hari sangat diperlukan.

Jika harus berjalan, seperlunya saja. Terlebih dahulu untuk tidak

22
melakukan aktivitas yang berlebihan seperti berlari-lari atau melompat-

lompat (Morris et al, 2012).

3. Kontrol dan Rawat Luka Pergantian perban dapat dilakukan setiap 2-3

hari tergantung pada perkembangan luka sirkumsisi.

4. Nutrisi yang Cukup Nutrisi yang baik adalah nutrisi yang cukup, tidak

lebih dan tidak kurang. Dalam hal ini, nutrisi untuk memenuhi status gizi

seseorang dapat dilihat dari Indeks Massa Tubuh.

23
BAB II
KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian Keperawatan

1. Pengkajian Pre-Operatif

a. Identitas pasien

1) Jenis kelamin : Kelompok laki -laki berpeluang untuk menderita

batu saluran kemih sebesar 27 kali dibandingkan kelompok

perempuan..

2) Riwayat Kesehatan : -

3) Keluhan utama : keluhan utama yang paling sering muncul pada

pasien adalah kencing yang tidak tuntas.

4) Riwayat Penyakit sekarang : Berkaitan dengan perjalanan

penyakit pasien yang sekarang.

5) Riwayat penyakit terdahulu : -

6) Riwayat penyakit keluarga : Orang dengan riwayat keluarga

baru ureter mempunyai resiko lebih besar dibandingn dengan

tanpa riwayat keluarga

b. Pemeriksaan fisik

Mengkaji tanda-tanda vital dan mengkaji nyeri yang dialami oleh

pasien

2. Pengkajian intra-Operatif

a. Sistem Pernapasan

Pada pembiusan dengan Subarachnoid Block (SAB) atau anastesi

spinal, pasien bisa bernapas spontan.

24
b. Sistem Kardiovaskuler

Peningkatan tekanan darah dan denyut nadi bisa terjadi karena

proses pembedahan (nyeri), resiko terjadi perdarahan. Observasi

tanda-tanda vital/15 menit.

c. Sistem Persarafan

Pasien dalam keadaan sadar jika pembiusan dengan Subarachnoid

Block (SAB) atau anastesi spinal.

d. Perkemihan - eliminasi

Mengkaji kelainan, biasanya terjadi dysuria dan hematuria

e. Tulang – otot – integumen

Pada saat intra operatif kekuatan tulang, otot dan integumen 0 (nol),

karena efek anastesi.

3. Pengkajian Post-Operatif

a. Sistem Pernapasan

Pernapasan perlahan sepontan

b. Sistem Kardiovaskuler

Peningkatan tekanan darah dan denyut nadi bisa terjad. Observasi

vital sign setiap 15 menit di ruang pemulihan.

c. Sistem Persarafan

Pada pasca operasi pasien perlahan disadarkan oleh petugas anestesi

hingga sadar penuh.

d. Sistem Perkemihan

Menggunakan kateter

25
e. Sistem Pencernaan

Biasanya terjadi mual, muntah.

f. Tulang – otot – integumen

Kekuatan otot perlahan akan kembali normal

b. Diagnosa Keperawatan

1. PRE OPERATIF

a. Ansietas b/d ancaman status kesehatan

b. Nyeri Akut b/d agens cedera biologis

c. Hambatan Eliminasi Urin b/d obstruksi anatomi

2. INTRA OPERATIF

a. Risiko Cedera faktor risiko prosedur bedah

b. Risiko Infeksi faktor risiko prosedur invasif

3. POST OPERATIF

a. Nyeri Akut b/d agens cedera fisik (prosedur bedah)

b. Resiko Defisit Volume cairan faktor risiko kehilangan cairan aktif.

26
c. Rencana/Intervesi Keperawatan

1. PRE OPERATIF

No. Domain Nursing Outcome Interventions


Diagnosis

1. Domain 3A Ansietas Setelah dilakukan Mengidentifikasi


Respon b/d tindakan status psikososial
perilaku ancaman keperawatan (A.510)
pasien dan status selama 1 x 30
Menilai mekanisme
keluarga: kesehatan menit, masalah
koping (A.510.6)
Pengetahuan ansietas dapat
X4-00146 diatasi, dengan 1. Tinjau pola koping
kriteria hasil : pasien dan
keefektifannya
O.500: Pasien
2. Minta pasien untuk
atau keluarga
menggambarkan
menunjukkan
metode saat ini
pengetahuan
untuk mengatasi
tentang status
stres
psikososial yang
3. Mendorong pasien
diharapkan
untuk
terhadap
mengungkapkan
prosedur
perasaan
1. Pasien 4. Menentukan
mengungkapk metode komunikasi
an urutan dan dukungan yang
kejadian yang paling efektif
diharapkan 5. Mengevaluasi
sebelum dan ketersediaan dan
segera setelah efektivitas sistem
operasi pendukung
2. Pasien Mengidentifikasi
menyatakan kebutuhan pendidikan
harapan yang pasien dan keluarga
realistis (A.530)
mengenai
Menerapkan langkah-
pemulihan
langkah untuk
dari prosedur
memberikan
3. Pasien dan
dukungan psikologis
anggota

27
keluarga (Im.510)
mengidentifik
1. Menilai tanda dan
asi tanda dan
gejala kecemasan
gejala untuk
atau ketakutan (
dilaporkan ke
misalnya ,
ahli bedah
insomnia pra
atau penyedia
operasi,
layanan
ketegangan otot,
kesehatan
tremor , mudah
tersinggung,
gelisah,
diaphoresis,
takipnea,
takikardia, tekanan
darah tinggi, wajah
pucat atau
kemerahan,
perilaku menarik
diri)
2. Berikan informasi
dan jawab
pertanyaan dengan
jujur
3. Memberikan
suasana kepedulian
dan perhatian (
misalnya ,
pendekatan privasi
yang tidak
menghakimi,
empati, rasa
hormat)
4. Menawarkan
metode alternatif
untuk
meminimalkan
kecemasan (
misalnya , musik,
humor)
5. Jelaskan tujuan
persiapan pra
operasi sebelum
implementasi

28
Mengevaluasi respon
fisik dari rencana
tindakan (E.520)

1. Mengevaluasi
efektivitas sistem
pendukung
2. Memverifikasi
kemampuan pasien
untuk memahami
informasi
3. Memberikan waktu
yang diperlukan
untuk memproses
informasi
4. Tinjau rencana
asuhan
keperawatan
dengan pasien dan
anggota keluarga
2. Domain 2 Nyeri Akut Setelah dilakukan Menilai pengendalian
Respon b/d agens tindakan nyeri (A.360)
fisiologis cedera keperawatan
1. Tinjau penilaian
bologis selama 1 x 30
pasien untuk jenis
menit, nyeri dapat
X38-00132 nyeri yang dirawat
berkurang,
dan kondisi medis
dengan kriteria
2. Tinjau protokol
hasil :
pengobatan saat ini
3. Meminta pasien
mengungkapkan
O330: Pasien
keefektifan
menunjukkan
pengobatan dengan
dan / atau
alat penilaian yang
melaporkan
diakui (misalnya,
kontrol nyeri
skala numerik,
yang memadai
skala wajah)
1. Klien 4. Menawarkan
mengatakan informasi kepada
rasa nyeri pasien dan anggota
telah keluarga tentang
berkurang nyeri, tindakan
2. Tanda vital pereda nyeri, skala
pasien saat penilaian, dan data
penilaian lainnya

29
keluar dari OR untuk dilaporkan
sama dengan 5. Pantau pasien
atau untuk kesesuaian
meningkat isyarat verbal dan
dari nilai nonverbal.
sebelum Menerapkan pedoman
operasi. nyeri (Im.310)
TD : 120/90
1. Tinjau penilaian
mmHG
pasien untuk jenis
N : 60 -100
nyeri yang dirawat,
kali/menit
kondisi medis, dan
P : 16 – 20
status kesehatan
kali/menit
2. Tinjau pedoman
S : 36 ˚C –
nyeri fasilitas
37,5 ˚C
3. Mendokumentasik
3. Pasien secara
an tingkat nyeri
verbal
yang dinyatakan
mengontrol
pasien saat ini
rasa sakit.
4. Posisi nyaman
kecuali ada
kontraindikasi
5. Menentukan
apakah rejimen
memenuhi
kebutuhan pasien
yang diidentifikasi
6. Memantau
hubungan
kemajuan pasien
dengan
pengendalian nyeri
7. Memantau
efektivitas
pedoman nyeri
8. Memberi obat
sesuai resep
9. Analgesik yang
diresepkan
menurut protokol
Menerapkan metode
alternatif pengendalian
nyeri ( Im . 310.1)

1. Minta pasien untuk

30
mengungkapkan
keefektifan rejimen
pengobatan
2. Kaji pengobatan
nyeri
nonpengobatan (
mis. , Terapi
dingin, terapi
panas, gangguan
musik, terapi
relaksasi,
rehabilitasi fisik,
visualisasi,
mondar-mandir ,
stimulasi saraf
listrik transkutan
3. Mengidentifikasi
gaya koping pasien
dan pengaruh
budaya terkait
manajemen nyeri
4. Libatkan anggota
keluarga dan orang
penting lainnya
dalam
5. Pantau kemajuan
dalam
penatalaksanaan
nyeri pasien
6. Mengevaluasi
tanggapan pasien.
Berkolaborasi
pemberian analgesik
(Im.310.2)

1. Tinjau penilaian
untuk jenis nyeri
yang dirawat dan
kondisi medis
pasien
2. Tinjau protokol
pemberian
pengobatan
3. Memantau proses

31
administrasi
4. Memberikan
pengajaran terkait
analgesia yang
dikendalikan
pasien
5. Mengevaluasi
respons pasien
terhadap
pemberian obat.
Mengevaluasi
tanggapan terhadap
intervensi manajemen
nyeri (E.250)

1. Mengidentifikasi
dan
mendokumentasika
n bagaimana pasien
mengekspresikan
rasa sakit (
misalnya , ekspresi
wajah, mudah
tersinggung,
gelisah,
verbalisasi)
2. Mengevaluasi sifat
nyeri dan setiap
perubahan tingkat
nyeri setelah
intervensi
manajemen nyeri
3. Domain 4 Gangguan Setelah dilakukan Mengidentifikasi
Eliminasi tindakan Retensi Status Retensi
Sistem
Urin b/d keperawatan Urin (A.270)
Kesehatan
obstruksi selama 1 x 1 jam,
1. Lakukan penilaian
anatomi masalah
urin komprehensif
gangguan
X62-00016 eliminasi yang berfokus pada
urin
inkontinensia
dapat diatasi,
(mis., Keluaran
dengan kriteria
urin, pola kencing,
hasil :
fungsi kognitif, dan
masalah kencing
yang sudah ada

32
O.230 Status sebelumnya)
Genitourinari 2. Pantau penggunaan
obat dengan sifat
1. Pola eliminasi
antikolinergik atau
tidak
agonis alfa §
terganggu
Pantau efek obat
2. Pasien dapat
yang diresepkan,
mengosongka
seperti penghambat
n kandung
saluran kalsium
kemih
dan antikolinergik
sepenuhnya
3. Merangsang
3. Tidak ada
refleks kandung
darah yang
kemih dengan
terlihat di urin
mengoleskan
4. Tidak nyeri
dingin ke perut
saat buang air
4. Berikan waktu
kecil
yang cukup untuk
5. Tidak ada
mengosongkan
retensi urin
kandung kemih (10
menit)
5. Gunakan semangat
musim dingin di
toilet atau urinoir
6. Pantau intake dan
output
7. Pantau tingkat
distensi kandung
kemih dengan
palpasi

33
2. INTRA OPERATIF

No. Domain Nursing Outcome Interventions


Diagnosis

1. Domai 1 Risiko Setelah dilakukan Mengidentifikasi


Keselamatan Cedera tindakan keperawatan status fisiologis
faktor selama 1 x 1 jam, risiko (A.210)
risiko cedera dapat dihindari,
1. Mengevaluasi
prosedur dengan kriteria hasil :
membran bukal,
bedah
sklera, dan kulit
X29-00035
( misalnya ,
O. 10: Pasien terbebas
kekeringan,
dari tanda dan gejala
sianosis,
cedera yang
penyakit
berhubungan dengan
kuning)
sumber panas
Laporkan
1. Kondisi kulit penyimpangan
pasien, selain dalam hasil studi
sayatan bedah, tidak diagnostik (A.340)
berubah antara
1. Mengkomunika
masuk dan keluar
sikan status
dari OR atau ruang
kesehatan
prosedur
fisiologis (
2. Pasien melaporkan
misalnya ,
kenyamanan
laporan verbal,
termoregulasi
catatan pasien)
3. Status
kepada anggota
neuromuskuler
tim yang sesuai
pasien tidak
2. Bekerja sama
berubah antara
dengan
masuk dan keluar
penyedia
dari ruang operasi
layanan
atau prosedur
kesehatan lain
tentang hasil
studi diagnostik
atau temuan
penilaian
Menilai kondisi
kulit dasar (A.240)

1. Mengevaluasi
keberadaan

34
denyut nadi
perifer,
meminta
persepsi pasien
tentang nyeri,
dan
mengidentifikas
i gangguan
mobilitas saat
pasien terjaga
2. Monitor kondisi
kulit pasien
3. Menilai risiko
pasien untuk
cedera kulit
yang
berhubungan
dengan sumber
panas
4. Menilai kulit
untuk cedera
dari perangkat
invasif ( mis. ,
Tabung, saluran
pembuangan,
kateter yang
tinggal, kabel)
5. Mengidentifikas
i diagnosis
keperawatan
yang
menggambarka
n tingkat risiko
cedera kulit
pasien terkait
bahaya termal.
Menerapkan
perangkat
keamanan (Im.80)

1. Memeriksa
lingkungan
bedah untuk
mengetahui

35
peralatan atau
kondisi yang
menimbulkan
risiko
keselamatan
dan mengambil
tindakan
pemulihan
2. Memilih
perangkat
keselamatan
berdasarkan
kebutuhan
pasien dan
prosedur
operasi atau
invasif yang
direncanakan
3. Menerapkan
perangkat
keselamatan
pada pasien
sesuai dengan
rencana
perawatan,
pedoman
praktik yang
berlaku ,
kebijakan
fasilitas, dan
petunjuk yang
didokumentasik
an
4. Memastikan
bahwa
perangkat
keselamatan
tersedia, bersih,
bebas dari
ujung yang
tajam, dengan
bantalan yang
sesuai, dan
berfungsi

36
dengan baik
sebelum
digunakan
Memonitor
parameter
psikologis ( Im .
370)

1. Pantau tanda
vital ( mis. ,
tekanan darah,
monitor jantung
atau detak dan
ritme EGC, laju
pernapasan,
suhu
2. Pantau pasien
untuk
perubahan
integritas kulit (
misalnya ,
denyut nadi
perifer, warna
kulit, suhu,
turgor, isi ulang
kapiler, jika
sesuai)
Mengevaluasi
tanda dan gejala
cedera fisik pada
kulit dan jaringan
(E.10)

1. Menginspeksi
dan
mengevaluasi
kulit pasien,
tonjolan tulang,
situs tekanan,
area yang
disiapkan, dan
jaringan di
sekitarnya
untuk
tandatanda

37
irigasi atau
cedera (
misalnya ,
perubahan
warna, ruam,
lecet, lecet, area
yang menonjol)
2. Melaporkan
perbedaan yang
tidak terduga
kepada anggota
tim perawatan
kesehatan yang
sesuai.
2. Domai 1 Risiko Setelah dilakukan Menilai
Keselamatan Infeksi tindakan keperawatan kerentanan
faktor selama 1 x 1 menit, terhadap infeksi
risiko risiko infeksi dapat (A.350)
prosedur dihindari, dengan
Menerapkan
invasif kriteria hasil :
teknik aseptik
X28-00004
O.280: Pasien (Im.300)
terbebas dari tanda
1. Menetapkan
dan gejala infeksi
dan memelihara
1. Luka pasien bebas bidang steril
dari tanda dan 2. Menerapkan
gejala infeksi dan prinsip teknik
nyeri, kemerahan, aseptik
bengkak, drainase, 3. Melakukan
atau penyembuhan persiapan kulit
tertunda pada saat 4. Menjamin
keluar. sanitasi
2. Pasien memiliki lingkungan
luka bedah yang perioperative
bersih dan tertutup 5. Mematuhi
terutama dengan kewaspadaan
balutan kering dan standar dan
steril saat keluar berbasis
dari OR transmisi
3. Pasien tidak demam 6. Tutup luka saat
dan bebas dari tanda prosedur selesai
dan gejala infeksi 7. Merawat tempat
4. Antibiotik pra sayatan, tempat
operasi dan pasca alat invasif (

38
operasi diberikan misalnya , pipa
sesuai pedoman endotrakeal,
yang pipa
direkomendasikan trakeostomi,
pipa drainase,
kateter
perkutan, alat
akses vaskular
), sistem
drainase urin,
dan sistem
drainase
lainnya.
Melindungi dari
kontaminasi silang
(Im.300.1)

1. Minimalkan
kontaminasi
silang dengan
memahami dan
menerapkan
praktik
pengendalian
infeksi saat
menyiapkan
instrumen dan
perlengkapan
untuk
digunakan
2. Mengikuti
protokol yang
ditetapkan
untuk desinfeksi
tingkat tinggi
3. Menerapkan
teknik aseptik
Pantau bidang
steril
4. Pastikan pintu
ke OR
mengingatkan
tertutup
mengharapkan

39
lalu lintas
pasien dan
personel yang
diperlukan
5. Melakukan
kebersihan
tangan
6. Memakai
pakaian bedah
bersih, kering,
baru dicuci
yang
dimaksudkan
untuk
digunakan di
ruang bedah
7. Menutupi
rambut kepala
dan wajah,
termasuk
cambang, untuk
meminimalkan
penyebaran
mikroba di
lingkungan
8. Menjaga kuku
tetap pendek,
bersih, sehat,
dan bebas dari
kuku palsu atau
akrilik
9. Melakukan
antiseptik
tangan bedah
Memulai kontrol
lalu lintas
(Im.300.2)

1. Membatasi
akses ke ruang
bedah hanya
untuk personel
yang berwenang
2. Catat nama

40
semua individu
yang
berpartisipasi
dalam prosedur
operasi atau
invasif dan
mereka yang
hadir di ruang
OR atau
prosedur, baik
secara langsung
atau tidak
langsung,
berpartisipasi
dalam prosedur
operasi atau
invasif (
misalnya , siswa
perwakilan
industri)
3. Mempertahanka
n pola lalu
lintas searah
untuk barang
yang akan
diproses ulang
untuk ruang
operasi atau
ruang prosedur;
memindahkan
item dari area
dekontaminasi
ke area
pemrosesan,
dan setelah
pemrosesan, ke
area
penyimpanan.
4. Mencegah
material kotor
memasuki area
terlarang
5. Pindahkan
persediaan dari

41
area terlarang,
jika ada,
melalui OR atau
ruang prosedur
ke koridor
semiterbatas.
Memberikan
terapi antibiotik
yang diresepkan
seperti yang
diperintahkan
(Im.220.2)

1. Tentukan
apakah perintah
dokter untuk
terapi antibiotik
telah ditulis dan
sesuai dengan
praktik terbaik
saat ini atau
praktik berbasis
bukti
2. Konfirmasikan
kepatuhan
pasien dengan
terapi
profilaksis yang
diresepkan dan
diperintahkan
untuk diberikan
sendiri
3. Menilai pasien
sebelum
memberikan
dan menunda
atau menahan
pengobatan jika
perlu
4. Memastikan
bahwa obat
yang benar
diberikan
kepada pasien

42
yang tepat,
dalam dosis
yang tepat,
melalui rute
yang benar,
pada waktu
yang tepat
5. Catat tanggal
kedaluwarsa
Mengenali dan
mengidentifikas
i efek samping,
reaksi toksik,
dan alergi obat
6. Mengevaluasi
respons pasien
terhadap
pengobatan
yang diberikan
7. Minta perintah
dari dokter
untuk dosis
berulang
antibiotik
profilaksis jika
prosedur
pembedahan
berlangsung
lebih dari empat
jam atau terjadi
kehilangan
banyak darah.
Mengevaluasi
kemajuan
penyembuhan luka
(E.200)

1. Mengidentifikas
i dan
mengevaluasi
faktor risiko
penyembuhan
luka
2. Mengevaluasi

43
status luka
3. Memantau suhu
tubuh pasien
4. Laporkan tanda
dan gejala
infeksi

44
3. POST OPERATIF

No. Domain Nursing Outcome Interventions


Diagnosis

1. Domain 2 Nyeri Akut Setelah dilakukan Menilai pengendalian


Respon b/d agens tindakan nyeri (A.360)
fisiologis cedera fisik keperawatan selama
1. Tinjau penilaian
(prosedur 1 x 30 menit, nyeri
pasien untuk jenis
bedah) dapat berkurang,
nyeri yang dirawat
dengan kriteria hasil
X38-00132 dan kondisi medis
:
2. Tinjau protokol
pengobatan saat ini
3. Meminta pasien
O330: Pasien
mengungkapkan
menunjukkan dan /
keefektifan
atau melaporkan
pengobatan dengan
kontrol nyeri yang
alat penilaian yang
memadai
diakui (misalnya,
1. Klien skala numerik, skala
mengatakan wajah)
rasa nyeri telah 4. Menawarkan
berkurang informasi kepada
2. Pasien bekerja pasien dan anggota
sama dengan keluarga tentang
berbaring diam nyeri, tindakan
selama prosedur pereda nyeri, skala
intraoperatif penilaian, dan data
menggunakan penilaian lainnya
anestesi lokal untuk dilaporkan
blok. 5. Pantau pasien untuk
3. Tanda vital kesesuaian isyarat
pasien saat verbal dan
keluar dari OR nonverbal.
sama dengan Menerapkan pedoman
atau meningkat nyeri (Im.310)
dari nilai
1. Tinjau penilaian
sebelum
pasien untuk jenis
operasi.
nyeri yang dirawat,
TD : 120/90
kondisi medis, dan
mmHG
status kesehatan
N : 60 -100
2. Tinjau pedoman
kali/menit

45
P : 16 – 20 nyeri fasilitas
kali/menit 3. Mendokumentasikan
S : 36 ˚C – 37,5 tingkat nyeri yang
˚C dinyatakan pasien
4. Pasien secara saat ini
verbal 4. Posisi nyaman
mengontrol rasa kecuali ada
sakit. kontraindikasi
5. Menentukan apakah
rejimen memenuhi
kebutuhan pasien
yang diidentifikasi
6. Memantau hubungan
kemajuan pasien
dengan pengendalian
nyeri
7. Memantau
efektivitas pedoman
nyeri
8. Memberi obat sesuai
resep
9. Analgesik yang
diresepkan menurut
protokol
Menerapkan metode
alternatif pengendalian
nyeri ( Im . 310.1)

1. Minta pasien untuk


mengungkapkan
keefektifan rejimen
pengobatan
2. Kaji pengobatan
nyeri nonpengobatan
( mis. , Terapi
dingin, terapi panas,
gangguan musik,
terapi relaksasi,
rehabilitasi fisik,
visualisasi, mondar-
mandir , stimulasi
saraf listrik
transkutan
3. Mengidentifikasi

46
gaya koping pasien
dan pengaruh
budaya terkait
manajemen nyeri
4. Libatkan anggota
keluarga dan orang
penting lainnya
dalam
5. Pantau kemajuan
dalam
penatalaksanaan
nyeri pasien
6. Mengevaluasi
tanggapan pasien.
Berkolaborasi
pemberian analgesik
(Im.310.2)

1. Tinjau penilaian
untuk jenis nyeri
yang dirawat dan
kondisi medis pasien
2. Tinjau protokol
pemberian
pengobatan
3. Memantau proses
administrasi
4. Memberikan
pengajaran terkait
analgesia yang
dikendalikan pasien
5. Mengevaluasi
respons pasien
terhadap pemberian
obat.
Mengevaluasi
tanggapan terhadap
intervensi manajemen
nyeri (E.250)

1. Mengidentifikasi dan
mendokumentasikan
bagaimana pasien
mengekspresikan
rasa sakit ( misalnya

47
, ekspresi wajah,
mudah tersinggung,
gelisah, verbalisasi)
2. Mengevaluasi sifat
nyeri dan setiap
perubahan tingkat
nyeri setelah
intervensi
manajemen nyeri
2. Domain 2 Resiko Setelah dilakukan Mengidentifikasi faktor-
Defisit tindakan faktor yang
Respon
Volume keperawatan selama berhubungan dengan
Fisiologis
cairan 1 x 2 jam, peningkatan risiko
faktor risiko Kekurangan volume perdarahan atau
kehilangan cairan dapat diatasi, ketidakseimbangan
cairan aktif dengan kriteria hasil cairan dan elektrolit
X18-00028 : (A.310)

1. Menetapkan dan
memverifikasi
O.300:
keperawatan
Keseimbangan
2. Menilai tanda vital
cairan, elektrolit,
3. Menilai kondisi
dan asam-basa
pasien terkait cedera
pasien
traumatis atau
dipertahankan
perdarahan abnormal
pada atau
4. Disampaikan dengan
ditingkatkan dari
dokter atau penyedia
tingkat dasar
perawatan anestesi
1. Tanda-tanda jika data penilaian
vital pasien yang tidak biasa atau
dan dalam tanda dan gejala
kisaran yang ketidakseimbangan
diharapkan cairan, elektrolit,
saat keluar atau asam basa
dari OR, dicatat
ruang 5. Mengidentifikasi dan
prosedur, atau memverifikasi
unit perawatan ketersediaan darah
pasca anestesi atau pengganti
(PACU) plasma
TD : 120/90 Mengidentifikasi status
mmHG fisiologis (A.210)
N : 60 -100
1. Mengevaluasi

48
kali/menit membran bukal,
P : 16 – 20 sklera dan kulit (
kali/menit misalnya ,
S : 36 ˚C – kekeringan ,
37,5 ˚C sianosis, icterus)
2. Tekanan darah Menerapkan teknik
dan denyut hemostasis (Im.340)
nadi pasien
1. Menyediakan
berada dalam
perlengkapan,
kisaran yang
instrumentasi, dan
diharapkan
teknik bedah yang
dan tetap
tepat sesuai
stabil dengan
kebutuhan untuk
perubahan
mengontrol
posisi pada
perdarahan
saat
Memantau parameter
dipindahkan
fisiologis (Im.370)
ke PACU dan
keluar dari 1. Memantau parameter
PACU fisiologis termasuk
3. Output urin asupan dan keluaran,
pasien berada gas darah arteri,
dalam kisaran kadar elektrolit,
yang status hemodinamik,
diharapkan dan konsentrasi
saat keluar oksigen arteri (SaO 2
dari OR, )
ruang 2. Pantau tanda-tanda
prosedur, atau vital
PACU. 3. Pantau tanda-tanda
hipovolemia dan
hipervolemia
4. Memantau
kehilangan cairan (
mis. , Perdarahan,
diare, keringat,
pengeluaran urin,
muntah)
5. Memperkirakan
kehilangan darah
dan cairan
Menetapkan akses IV
(Im.200.1)

49
1. Menetapkan dan
mempertahankan
akses IV perifer
untuk mengelola
cairan IV, obat-
obatan, dan produk
darah sesuai perintah
dokter
Kolaborasi dalam
manajemen cairan dan
elektrolit (Im.210.1)

1. Memverifikasi
prosedur dan
mengantisipasi serta
mengenali
kehilangan cairan
2. Mengantisipasi
persyaratan
penggantian untuk
volume besar,
prosedur kehilangan
cairan
3. Mengelola atau
mempersiapkan
pemberian terapi
cairan
4. Pantau asupan dan
keluaran
5. Mengevaluasi
respons pasien
terhadap manajemen
cairan
Mengevaluasi respons
terhadap pemberian
cairan dan elektrolit
(E.220)

1. Memantau asupan
dan keluaran, gas
darah arteri, kadar
elektrolit, status
hemodinamik, dan
SaO 2)
2. Memperkirakan

50
kehilangan darah
dan cairan
3. Memantau tanda dan
gejala kelebihan atau
kekurangan volume
cairan
4. Pantau respons
pasien terhadap
terapi cairan dan
elektrolit yang
diresepkan

51
B. Penyimpangan KDM
PENYIMPANGAN KDM BATU URETER

52
53
ASKEP PERIOPERATIF

FORMAT PENGKAJIAN PERIOPERATIF (COT)

NAMA : FLAVIA ENYKUSTIA

NIM : R014192034

HARI/TGL PENGKAJIAN : RABU, 30 DESEMBER 2020

A. PENGKAJIAN

1. IDENTITAS PASIEN

a. Nama Pasien : Tn.J

b. Umur : 41 tahun

c. Agama : Islam

d. Pendidikan : SMA

e. Alamat : Palla Lingk Leppakaman

f. No RM : 14.78.75

g. Diagnosa Medis : Baru Ureter 1/3 distal

2. IDENTITAS ORANG TUA/ PENANGGUNG JAWAB

a. Nama : Ny. N

b. Umur : 40 tahun

c. Agama : Islam

d. Pendidikan : SMA

e. Pekerjaan : IRT

54
f. Hubungan dengan : Istri

Asal pasien

□ Rawat Jalan

 Rawat Inap

□ Rujukan

B. RINGKASAN RIWAYAT PENYAKIT DAN TUJUAN PEMBEDAHAN

Tn. J. berusia 41 tahun RM 14.8785 dengan diagnosa Batu Ureter 1/3

distal sinistra. pada tanggal 30 Desember 2020 pasien masuk ke ruang operasi

dari ruang rawat inap. Sifat operasi elektif. Dengan rencana tindakan URS +

Elektro Kinetik Litotripsi + Insersi Dj Stent + Sirkumsisi pada jam 13.00, dan

diundur ke jam 14.45. pada saat timbang terima dari perawat ruang rawat inap

ke perawat di ruang operasi hasil pemeriksaan yaitu tannda-tanda vital TD:

100/70 mmHg ,N: 100 x/menit ,P: 20 x/menit, S 26 ˚C, SpO2: 98 %, TB: 155,

BB: 65, IMT 27,1 (Obesitas level 1) GCS Composmentis, Skala nyeri: 0/10

(NRS), pasien tampak cemas, pasien mulai puasa makan padat dan air sejak

jam 04.00 WITA, riwayat operasi sebelumnya tidak ada, gangguan fisik tidak

ada, pasien terpasang IV Cath no 20, RL 20 tpm. Terapi antibiotic profilaksis

(ceftriakxon 1 gr/iv).

Pasien direncanakan tindakan URS + EKL + Insersi Dj Stent yang

bertujuan untuk menghancurkan batu ureter yang berada pada ureter 1/3 distal

sinistra dan akan dikeluarkan melalui saluran kemih bersama denga urin.

Kemudian dilakukan juga tindakan Sirkumsisi untuk mengangkat sebagian,

maupun seluruh bagian, dari kulup atau prepusium dari penis.

55
C. PRE OPERASI

1. Keluhan Utama: Klien mengatakan saat kencing merasa tidak tuntas

Riwayat Penyakit : □ DM □ Asma □ Hepatitis □ Jantung □ Hipertensi □ HIV


2
Tidak ada

3. Riwayat Operasi/anestesi : Ada (tidak ada)

4. (tidak ada)
Riwayat Alergi : □ Ada, sebutkan..................

5. Jenis Operasi: URS + EKL + DJ Stent

6. TTV: Suhu : 36.00C, Nadi : 80 x/mnt, Respirasi : 20 x/mnt, TD :


110/70mmHg

7. TB/BB: 155 cm / 65 kg

8. Golongan Darah : - Rhesus: -

RIWAYAT PSIKOSOSIAL/SPIRITUAL

Status Emosional: □Tenang □ Bingung □Kooperatif □Tidak Kooperatif


9.
□ Menangis □ Menarik diri

10. Tingkat Kecemasan: □ Tidak Cemas □Cemas

11. Skala Cemas:

0 = Tidak Cemas

1 = Mengungkapkan kerisauan

2 = Tingkat perhatian tinggi

3 = Kerisauan tidak berfokus

4 = Respon simpate-adrenal

5 = Panik

12. Skala Nyeri menurut VAS (Visual Analog Scale)

56
Tidak nyeri Nyeri ringan Nyeri sedang Nyeri berat Sangat nyeri

Nyeri

tak tertahankan

0-1 2-3 4-5 6-7 √ 8-9 10


√ √

13. Survey Sekunder, lakukan secara head to toe secara prioritas:

Normal
Jika Tidak Normal, Jelaskan
Ya Tidak

 Kepala : kepala simetris, tidak


teraba benjolan
 Mata : tidak kelainan
Kepala √  Hidung : tidak ada secret
 Mulut : gigi tampak ada karies
 Telinga : telinga tampak bersih
dan tidak ada nyeri tekan

Leher √ Tidak ada pembesaran tiroid

 Jantung : bunyi jantung S1 S2


Normal
Dada √
 Paru : pengembangan dada
simetris

Abdomen √ Tidak teraba adanya massa

Genitalia √ Kelainan pada penis yaitu Phimosis

57
Integumen √ Tidak ada kelainan

Ekstremitas √ Tidak ada kelainan

D. INTRA OPERASI

1. Anastesi dimulai jam : pukul 14.45

2. Pembedahan dimulai jam : pukul 15.00

3. Jenis anastesi :

√ Spinal □Umum/general anastesi □ Lokal □ Nervus blok □ Epidural

4. Posisi operasi :

□ Terlentang √ litotomi □ tengkurap/knee chees □ lateral: □ kanan □

kiri

□ lainnya......

5. Catatan Anestesi: Dilakukan Anastesi Spinal

6. Pemasangan alat-alat :

□Airway: □Terpasang □ ETT □Terpasang LMA □OPA

√ O2 Nasal

7. TTV :

58
Suhu : 36.0°C , Nadi 78 x/mnt, Teraba □ kuat, □ Lemah, □teratur, □

tidak teratur, RR : 18 x/mnt, TD : 121/78 mmHg, Saturasi O2 100 %

8. Survey Sekunder, lakukan secara head to toe secara prioritas

Normal
Keterangan
Ya Tidak

Mata - - Tidak ada kelainan

Leher - - Tidak ada kelainan

Dada - - Tidak ada kelainan

Abdomen - - Tidak ada kelainan

Genitalia - - Tidak ada kelainan

Dilakukan insisi pada penis


Integumen √
(Sirkumsisi)

Imobilisasi, kelemahan otot


Ekstremitas √
akibat anastesi

Total cairan masuk

□ Infus : 1000 cc

□ Tranfusi : - bag

Total cairan keluar

□ Urine : 100 cc

□ Perdarahan : 30 cc

59
9. Instrumen yang digunakan

a. Alat On Steril

1) Surgical light/lampu operasi

2) Meja mayo, meja trolli, meja operasi

3) Eletro Surgical Unit ( ESU)

4) Mesin suction

5) Oksigen sentral dan vacum sentral

6) Standar infus

7) Tempat sampah infeksi dan non infeksi

8) Safety box untuk benda tajam (jarum benang jahit, jarum

disposible, potongan ampul, pisau bedah (blade)

9) Kursi

10) Mesin anastesi dan obat-obatan

b. Linen Steril Set

1) Jas operasi/gaun : 4 buah

2) Duk kecil : 4 buah

3) Duk besar tanpa lubang (layar kaki, dan tangan) : 1 buah

4) Duk besar berlubang : 1 buah

c. Alat steril

1) Com : 2 buah

2) Nierbekken : 1 buah

3) pinset cirurgis` : 1 buah

4) pinset anatomis : 1 buah

60
5) Klem arteri : 4 buah

6) Hemostatic Forvep kelly : 1 buah

7) Scalpel handle no. 3 : 1 buah

8) Gunting jaringan : 1 buah

9) Neadle Holder : 1 buah

10) Set Ureteronscopy : 1 buah

11) Set Litoripsi EKWL : 1 buah

12) Sponge holding : 1 buah

d. Bahan habis pakai

1) Aquades 25 ml : 1 buah

2) Kasa steril : 3 bungkus

3) NaCl 0.9% (1000 ml) : 2 botol

4) Dispo 10 cc : 1 buah

5) Dispo 5 cc : 1 buah

6) Scalpel no. 10 : 1 buah

7) Gloves steril 71/2 : 3 buah

8) Gloves steril 61/2 : 3 buah

9) Gloves steril 7 : 3 buah

10) Monopolar coag : 1 buah

11) Urine cateter No.10 : 1 buah

12) Urine Bag : 1 buah

13) Underpad non steril : 1 buah

14) Benang (choromic) cat gut 3 - 0 : 1 buah

61
10. Pelaksanaan pembedahan

a. Pasien terbaring dalam posisi litotomi dalam pengaruh spinal

anastesi

b. Desinfeksi dan drapping prosedur pada daerah genetalia

c. Mengatur fokus camera pada ureterorenoscopy

d. Memasukkan uteroskop lewat uretra (saluran kencing) pasien. Alat

berbentuk selang tipis ini dapat membantu dokter untuk melihat

kondisi saluran kemih, mencari lokasi batu ginjal, dan memasukkan

serat fiber penghasil laser guna menghancurkan batu.

e. Ketika batu ditemukan, serat fiber akan dimasukkan lewat

uteroskop dan menghasilkan laser yang akan menghancurkan batu.

f. Serpihan-serpihan kecil batu kemudian diambil dengan uteroskop.

Sementara butir butir batu yang menjadi pasir akan keluar sendiri

melalui urine.

g. Alat khusus bernama DJ stent dimasukkan dalam saluran kemih

untuk menjaga saluran ini tetap terbuka, menjaga aliran urine, dan

membantu batu keluar lewat urine. Stent akan dikeluarkan dalam

beberapa hari atau beberapa minggu kemudian.

h. Setelah tindakan tersebut dilanjutkan tindakan sirkumsisi

i. Kulit dan mukosa dijahit satu – satu atau jelujur dengan cat gut 3/0

j. Kemudian gunakan verban

k. Pemasangan cateter

l. Operasi selesai

62
11. Peran mahasiswa

Pada operasi kali ini, mahasiswa hanya mengobservasi

E. POST OPERASI

1. Pasien pindah ke : RR

Pindah ke ICU/PICU/NICU, jam 16.10 WITA

2. Keluhan saat di RR : □ Mual □ Muntah □Pusing □Nyeri

luka operasi □ Kaki terasa kebas □ Menggigil □lainnya

3. Keadaan umum : □Baik √ Sedang □ Sakit berat

4. TTV :

Suhu 36.0 C , Nadi 59 x/mnt, RR 19 x/mnt, TD 131/90 mmHg,

Saturasi O2 100%

5. Kesadaran : √ CM □Apatis □ Somnolen □ Soporo □

Coma

6. Survey Sekunder, lakukan secara head to toe secara prioritas:

Normal
Jika Tidak Normal, Jelaskan
Ya Tidak

Mata √ Tidak kelainan

Klien terpasang O2 nacal canul 4


Hidung √
l

Leher √ Tidak ada kelainan

63
Dada √ Tidak ada kelainan

Abdomen √ Tidak ada kelainan

Genitalia √ Klie terpasang kateter

Terdapat luka insisi pada penis


Integumen √
(Sirkumsisi)

Ekstremitas √ Kelemahan otot akibat anastesi

Tidak nyeri Nyeri ringan Nyeri sedang Nyeri berat Sangat nyeri

Nyeri

tak tertahankan

0-1 2-3 4-5 6-7 √ 8-9 10


√ √

64
E. ANALISA DATA

SYMPTOM PROBLEM ETIOLOGI

Pre Operasi

DS : Ansietas Ancaman status terkini

Klien mengatakan
merasa cemas karena
akan menjalani operasi

DO :

- Raut wajah tampak


gugup dan tegang
- Skala cemas 1
(mengungkapkan
kerisauan)
- TTV :
TD: 100/70 mmHg
,
N: 100 x/menit ,
P: 20 x/menit,
S 26 ˚C,

DS : Hambatan Obstruksi anatomi


Eliminasi Urin
Klien mengeluh merasa
tidak puas saat buang
air kecil

DO :

- Terdapat batu pada


ureter

65
Intra Operasi

Faktor risiko : Risiko Cedera Prosedur bedah

- Penggunaan
peralatan URS,
EKL, DJ Stent
- Efek anastesi
(general anestesi)

Faktor risiko :

- Penggunaan Risiko infeksi Prosedur invasif


peralatan URS,
EKL, DJ Stent
- Prosedur
sirkumsisi

Post Operasi

DS : Nyeri akut Agens cedera fisik (prosedur


bedah)
Klien mengatakan
merasakan sakit pada
daerah genetalia

DO :

Wajah klien tampak


meringis

P : Post op URS, EKL,


DJ Stent dan Sirkumsisi

Q : Tertusuk-tusuk

R : Genetalia

S : 4 VAS

66
T : ± 10 menit

Faktor resiko : Resiko Kehilangan cairan aktif


Beresiko terjadi kekurangan
pendarahan akibat Post volume cairan
tindakan URS, EKL dan
DJ Stent

67
F. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. PRE OPERATIF

a. Ansietas b/d ancaman status kesehatan

b. Hambatan Eliminasi Urin b/d obstruksi anatomi

2. INTRA OPERATIF

a. Risiko Cedera faktor risiko prosedur bedah

b. Risiko Infeksi faktor risiko prosedur invasif

3. POST OPERATIF

a. Nyeri Akut b/d agens cedera fisik (prosedur bedah)

b. Resiko Defisit Volume cairan faktor risiko kehilangan volume cairan

aktif

68
G. Rencana/Intervesi Keperawatan

1. PRE OPERATIF

No. Domain Nursing Outcome Interventions


Diagnosis

1. Domain 3A Ansietas b/d Setelah Mengidentifikasi


Respon ancaman dilakukan status psikososial
perilaku status tindakan (A.510)
pasien dan kesehatan keperawatan
Menilai mekanisme
keluarga: selama 1 x 30
X4-00146 koping (A.510.6)
Pengetahuan menit, masalah
ansietas dapat 1. Tinjau pola koping
diatasi, dengan pasien dan
kriteria hasil : keefektifannya
2. Minta pasien untuk
O.500: Pasien
menggambarkan
atau keluarga
metode saat ini
menunjukkan
untuk mengatasi
pengetahuan
stres
tentang status
3. Mendorong pasien
psikososial
untuk
yang
mengungkapkan
diharapkan
perasaan
terhadap
4. Menentukan
prosedur
metode komunikasi
1. Pasien dan dukungan yang
mengun paling efektif
gkapkan 5. Mengevaluasi
urutan ketersediaan dan
kejadian efektivitas sistem
yang pendukung
diharap Mengidentifikasi
kan kebutuhan pendidikan

69
sebelum pasien dan keluarga
dan (A.530)
segera
Menerapkan langkah-
setelah
langkah untuk
operasi
memberikan
2. Pasien
dukungan psikologis
menyatakan
(Im.510)
harapan
yang realistis 1. Menilai tanda dan
mengenai gejala kecemasan
pemulihan atau ketakutan (
dari prosedur misalnya ,
3. Pasien dan insomnia pra
anggota operasi,
keluarga ketegangan otot,
mengidentifi tremor , mudah
kasi tanda tersinggung,
dan gejala gelisah,
untuk diaphoresis,
dilaporkan takipnea,
ke ahli takikardia, tekanan
bedah atau darah tinggi, wajah
penyedia pucat atau
layanan kemerahan,
kesehatan perilaku menarik
diri)
2. Berikan informasi
dan jawab
pertanyaan dengan
jujur
3. Memberikan
suasana kepedulian
dan perhatian (
misalnya ,

70
pendekatan privasi
yang tidak
menghakimi,
empati, rasa
hormat)
4. Menawarkan
metode alternatif
untuk
meminimalkan
kecemasan (
misalnya , musik,
humor)
5. Jelaskan tujuan
persiapan pra
operasi sebelum
implementasi
Mengevaluasi respon
fisik dari rencana
tindakan (E.520)

1. Mengevaluasi
efektivitas sistem
pendukung
2. Memverifikasi
kemampuan pasien
untuk memahami
informasi
3. Memberikan waktu
yang diperlukan
untuk memproses
informasi
4. Tinjau rencana
asuhan
keperawatan

71
dengan pasien dan
anggota keluarga
2. Domain 4 Hambatan Setelah Mengidentifikasi
Eliminasi dilakukan Retensi Status Retensi
Sistem
Urin b/d tindakan Urin (A.270)
Kesehatan
obstruksi keperawatan
1. Lakukan penilaian
anatomi selama 1 x 1
urin komprehensif
jam, masalah
X62-00016 yang berfokus pada
gangguan
inkontinensia
eliminasi urin
(mis., Keluaran
dapat diatasi,
urin, pola kencing,
dengan kriteria
fungsi kognitif, dan
hasil :
masalah kencing
yang sudah ada
sebelumnya)
O.230 Status
2. Pantau penggunaan
Genitourinari
obat dengan sifat
1. Pola antikolinergik atau
eliminasi agonis alfa §
tidak Pantau efek obat
terganggu yang diresepkan,
2. Pasien dapat seperti penghambat
mengosongk saluran kalsium
an kandung dan antikolinergik
kemih 3. Merangsang
sepenuhnya refleks kandung
3. Tidak ada kemih dengan
darah yang mengoleskan
terlihat di dingin ke perut
urin 4. Berikan waktu
4. Tidak nyeri yang cukup untuk
saat buang mengosongkan
air kecil kandung kemih (10

72
5. Tidak ada menit)
retensi urin 5. Gunakan semangat
musim dingin di
toilet atau urinoir
6. Pantau intake dan
output
7. Pantau tingkat
distensi kandung
kemih dengan
palpasi

2. INTRA OPERATIF

No. Domain Nursing Outcome Interventions


Diagnosis

1. Domai 1 Risiko Setelah dilakukan Mengidentifikasi


Keselamatan Cedera tindakan keperawatan status fisiologis
faktor selama 1 x 1 jam, risiko (A.210)
risiko cedera dapat dihindari,
1. Mengevaluasi
prosedur dengan kriteria hasil :
membran bukal,
bedah
sklera, dan kulit
X29-00035
( misalnya ,
O. 10: Pasien terbebas
kekeringan,
dari tanda dan gejala
sianosis,
cedera yang
penyakit
berhubungan dengan
kuning)
sumber panas
Laporkan
1. Kondisi kulit penyimpangan
pasien, selain dalam hasil studi
sayatan bedah, tidak diagnostik (A.340)
berubah antara
1. Mengkomunika
masuk dan keluar

73
dari OR atau ruang sikan status
prosedur kesehatan
2. Pasien melaporkan fisiologis (
kenyamanan misalnya ,
termoregulasi laporan verbal,
3. Status catatan pasien)
neuromuskuler kepada anggota
pasien tidak tim yang sesuai
berubah antara 2. Bekerja sama
masuk dan keluar dengan
dari ruang operasi penyedia
atau prosedur layanan
kesehatan lain
tentang hasil
studi diagnostik
atau temuan
penilaian
Menilai kondisi
kulit dasar (A.240)

1. Mengevaluasi
keberadaan
denyut nadi
perifer,
meminta
persepsi pasien
tentang nyeri,
dan
mengidentifikas
i gangguan
mobilitas saat
pasien terjaga
2. Monitor kondisi
kulit pasien

74
3. Menilai risiko
pasien untuk
cedera kulit
yang
berhubungan
dengan sumber
panas
4. Menilai kulit
untuk cedera
dari perangkat
invasif ( mis. ,
Tabung, saluran
pembuangan,
kateter yang
tinggal, kabel)
5. Mengidentifikas
i diagnosis
keperawatan
yang
menggambarka
n tingkat risiko
cedera kulit
pasien terkait
bahaya termal.
Menerapkan
perangkat
keamanan (Im.80)

1. Memeriksa
lingkungan
bedah untuk
mengetahui
peralatan atau
kondisi yang

75
menimbulkan
risiko
keselamatan
dan mengambil
tindakan
pemulihan
2. Memilih
perangkat
keselamatan
berdasarkan
kebutuhan
pasien dan
prosedur
operasi atau
invasif yang
direncanakan
3. Menerapkan
perangkat
keselamatan
pada pasien
sesuai dengan
rencana
perawatan,
pedoman
praktik yang
berlaku ,
kebijakan
fasilitas, dan
petunjuk yang
didokumentasik
an
4. Memastikan
bahwa

76
perangkat
keselamatan
tersedia, bersih,
bebas dari
ujung yang
tajam, dengan
bantalan yang
sesuai, dan
berfungsi
dengan baik
sebelum
digunakan
Memonitor
parameter
psikologis ( Im .
370)

1. Pantau tanda
vital ( mis. ,
tekanan darah,
monitor jantung
atau detak dan
ritme EGC, laju
pernapasan,
suhu
2. Pantau pasien
untuk
perubahan
integritas kulit (
misalnya ,
denyut nadi
perifer, warna
kulit, suhu,
turgor, isi ulang

77
kapiler, jika
sesuai)
Mengevaluasi
tanda dan gejala
cedera fisik pada
kulit dan jaringan
(E.10)

1. Menginspeksi
dan
mengevaluasi
kulit pasien,
tonjolan tulang,
situs tekanan,
area yang
disiapkan, dan
jaringan di
sekitarnya
untuk
tandatanda
irigasi atau
cedera (
misalnya ,
perubahan
warna, ruam,
lecet, lecet, area
yang menonjol)
2. Melaporkan
perbedaan yang
tidak terduga
kepada anggota
tim perawatan
kesehatan yang
sesuai.

78
2. Domai 1 Risiko Setelah dilakukan Menilai
Keselamatan Infeksi tindakan keperawatan kerentanan
faktor selama 1 x 1 menit, terhadap infeksi
risiko risiko infeksi dapat (A.350)
prosedur dihindari, dengan
Menerapkan
invasif kriteria hasil :
teknik aseptik
X28-00004
O.280: Pasien (Im.300)
terbebas dari tanda
1. Menetapkan
dan gejala infeksi
dan memelihara
1. Luka pasien bebas bidang steril
dari tanda dan 2. Menerapkan
gejala infeksi dan prinsip teknik
nyeri, kemerahan, aseptik
bengkak, drainase, 3. Melakukan
atau penyembuhan persiapan kulit
tertunda pada saat 4. Menjamin
keluar. sanitasi
2. Pasien memiliki lingkungan
luka bedah yang perioperative
bersih dan tertutup 5. Mematuhi
terutama dengan kewaspadaan
balutan kering dan standar dan
steril saat keluar berbasis
dari OR transmisi
3. Pasien tidak demam 6. Tutup luka saat
dan bebas dari tanda prosedur selesai
dan gejala infeksi 7. Merawat tempat
4. Antibiotik pra sayatan, tempat
operasi dan pasca alat invasif (
operasi diberikan misalnya , pipa
sesuai pedoman endotrakeal,
yang pipa
direkomendasikan trakeostomi,

79
pipa drainase,
kateter
perkutan, alat
akses vaskular
), sistem
drainase urin,
dan sistem
drainase
lainnya.
Melindungi dari
kontaminasi silang
(Im.300.1)

1. Minimalkan
kontaminasi
silang dengan
memahami dan
menerapkan
praktik
pengendalian
infeksi saat
menyiapkan
instrumen dan
perlengkapan
untuk
digunakan
2. Mengikuti
protokol yang
ditetapkan
untuk desinfeksi
tingkat tinggi
3. Menerapkan
teknik aseptik
Pantau bidang

80
steril
4. Pastikan pintu
ke OR
mengingatkan
tertutup
mengharapkan
lalu lintas
pasien dan
personel yang
diperlukan
5. Melakukan
kebersihan
tangan
6. Memakai
pakaian bedah
bersih, kering,
baru dicuci
yang
dimaksudkan
untuk
digunakan di
ruang bedah
7. Menutupi
rambut kepala
dan wajah,
termasuk
cambang, untuk
meminimalkan
penyebaran
mikroba di
lingkungan
8. Menjaga kuku
tetap pendek,

81
bersih, sehat,
dan bebas dari
kuku palsu atau
akrilik
9. Melakukan
antiseptik
tangan bedah
Memulai kontrol
lalu lintas
(Im.300.2)

1. Membatasi
akses ke ruang
bedah hanya
untuk personel
yang berwenang
2. Catat nama
semua individu
yang
berpartisipasi
dalam prosedur
operasi atau
invasif dan
mereka yang
hadir di ruang
OR atau
prosedur, baik
secara langsung
atau tidak
langsung,
berpartisipasi
dalam prosedur
operasi atau
invasif (

82
misalnya , siswa
perwakilan
industri)
3. Mempertahanka
n pola lalu
lintas searah
untuk barang
yang akan
diproses ulang
untuk ruang
operasi atau
ruang prosedur;
memindahkan
item dari area
dekontaminasi
ke area
pemrosesan,
dan setelah
pemrosesan, ke
area
penyimpanan.
4. Mencegah
material kotor
memasuki area
terlarang
5. Pindahkan
persediaan dari
area terlarang,
jika ada,
melalui OR atau
ruang prosedur
ke koridor
semiterbatas.

83
Memberikan
terapi antibiotik
yang diresepkan
seperti yang
diperintahkan
(Im.220.2)

1. Tentukan
apakah perintah
dokter untuk
terapi antibiotik
telah ditulis dan
sesuai dengan
praktik terbaik
saat ini atau
praktik berbasis
bukti
2. Konfirmasikan
kepatuhan
pasien dengan
terapi
profilaksis yang
diresepkan dan
diperintahkan
untuk diberikan
sendiri
3. Menilai pasien
sebelum
memberikan
dan menunda
atau menahan
pengobatan jika
perlu
4. Memastikan

84
bahwa obat
yang benar
diberikan
kepada pasien
yang tepat,
dalam dosis
yang tepat,
melalui rute
yang benar,
pada waktu
yang tepat
5. Catat tanggal
kedaluwarsa
Mengenali dan
mengidentifikas
i efek samping,
reaksi toksik,
dan alergi obat
6. Mengevaluasi
respons pasien
terhadap
pengobatan
yang diberikan
7. Minta perintah
dari dokter
untuk dosis
berulang
antibiotik
profilaksis jika
prosedur
pembedahan
berlangsung
lebih dari empat

85
jam atau terjadi
kehilangan
banyak darah.
Mengevaluasi
kemajuan
penyembuhan luka
(E.200)

1. Mengidentifikas
i dan
mengevaluasi
faktor risiko
penyembuhan
luka
2. Mengevaluasi
status luka
3. Memantau suhu
tubuh pasien
4. Laporkan tanda
dan gejala
infeksi

3. POST OPERATIF

No. Domain Nursing Outcome Interventions


Diagnosis

1. Domain 2 Nyeri Akut Setelah dilakukan Menilai pengendalian


Respon b/d agens tindakan nyeri (A.360)
fisiologis cedera fisik keperawatan selama
1. Tinjau penilaian
(prosedur 1 x 30 menit, nyeri
pasien untuk jenis
bedah) dapat berkurang,
nyeri yang dirawat
dengan kriteria hasil
X38-00132 dan kondisi medis
:
2. Tinjau protokol
pengobatan saat ini

86
3. Meminta pasien
mengungkapkan
O330: Pasien
keefektifan
menunjukkan dan /
pengobatan dengan
atau melaporkan
alat penilaian yang
kontrol nyeri yang
diakui (misalnya,
memadai
skala numerik, skala
1. Klien wajah)
mengatakan 4. Menawarkan
rasa nyeri telah informasi kepada
berkurang pasien dan anggota
2. Pasien bekerja keluarga tentang
sama dengan nyeri, tindakan
berbaring diam pereda nyeri, skala
selama prosedur penilaian, dan data
intraoperatif penilaian lainnya
menggunakan untuk dilaporkan
anestesi lokal 5. Pantau pasien untuk
blok. kesesuaian isyarat
3. Tanda vital verbal dan
pasien saat nonverbal.
keluar dari OR Menerapkan pedoman
sama dengan nyeri (Im.310)
atau meningkat
1. Tinjau penilaian
dari nilai
pasien untuk jenis
sebelum
nyeri yang dirawat,
operasi.
kondisi medis, dan
TD : 120/90
status kesehatan
mmHG
2. Tinjau pedoman
N : 60 -100
nyeri fasilitas
kali/menit
3. Mendokumentasikan
P : 16 – 20
tingkat nyeri yang
kali/menit
dinyatakan pasien
S : 36 ˚C – 37,5

87
˚C saat ini
4. Pasien secara 4. Posisi nyaman
verbal kecuali ada
mengontrol rasa kontraindikasi
sakit. 5. Menentukan apakah
rejimen memenuhi
kebutuhan pasien
yang diidentifikasi
6. Memantau hubungan
kemajuan pasien
dengan pengendalian
nyeri
7. Memantau
efektivitas pedoman
nyeri
8. Memberi obat sesuai
resep
9. Analgesik yang
diresepkan menurut
protokol
Menerapkan metode
alternatif pengendalian
nyeri ( Im . 310.1)

7. Minta pasien untuk


mengungkapkan
keefektifan rejimen
pengobatan
8. Kaji pengobatan
nyeri nonpengobatan
( mis. , Terapi
dingin, terapi panas,
gangguan musik,
terapi relaksasi,

88
rehabilitasi fisik,
visualisasi, mondar-
mandir , stimulasi
saraf listrik
transkutan
9. Mengidentifikasi
gaya koping pasien
dan pengaruh
budaya terkait
manajemen nyeri
10. Libatkan anggota
keluarga dan orang
penting lainnya
dalam
11. Pantau kemajuan
dalam
penatalaksanaan
nyeri pasien
12. Mengevaluasi
tanggapan pasien.
Berkolaborasi
pemberian analgesik
(Im.310.2)

1. Tinjau penilaian
untuk jenis nyeri
yang dirawat dan
kondisi medis pasien
2. Tinjau protokol
pemberian
pengobatan
3. Memantau proses
administrasi
4. Memberikan

89
pengajaran terkait
analgesia yang
dikendalikan pasien
5. Mengevaluasi
respons pasien
terhadap pemberian
obat.
Mengevaluasi
tanggapan terhadap
intervensi manajemen
nyeri (E.250)

1. Mengidentifikasi dan
mendokumentasikan
bagaimana pasien
mengekspresikan
rasa sakit ( misalnya
, ekspresi wajah,
mudah tersinggung,
gelisah, verbalisasi)
2. Mengevaluasi sifat
nyeri dan setiap
perubahan tingkat
nyeri setelah
intervensi
manajemen nyeri
2. Domain 2 Resiko Setelah dilakukan Mengidentifikasi faktor-
Defisit tindakan faktor yang
Respon
Volume keperawatan selama berhubungan dengan
Fisiologis
cairan 1 x 2 jam, peningkatan risiko
faktor risiko Kekurangan volume perdarahan atau
kehilangan cairan dapat diatasi, ketidakseimbangan
cairan aktif dengan kriteria hasil cairan dan elektrolit

90
X18-00028 : (A.310)

1. Menetapkan dan
memverifikasi
O.300:
keperawatan
Keseimbangan
2. Menilai tanda vital
cairan, elektrolit,
3. Menilai kondisi
dan asam-basa
pasien terkait cedera
pasien
traumatis atau
dipertahankan
perdarahan abnormal
pada atau
4. Disampaikan dengan
ditingkatkan dari
dokter atau penyedia
tingkat dasar
perawatan anestesi
1. Tanda-tanda jika data penilaian
vital pasien dan yang tidak biasa atau
dalam kisaran tanda dan gejala
yang ketidakseimbangan
diharapkan saat cairan, elektrolit,
keluar dari OR, atau asam basa
ruang prosedur, dicatat
atau unit 5. Mengidentifikasi dan
perawatan pasca memverifikasi
anestesi ketersediaan darah
(PACU) atau pengganti
TD : 120/90 plasma
mmHG Mengidentifikasi status
N : 60 -100 fisiologis (A.210)
kali/menit
1. Mengevaluasi
P : 16 – 20
membran bukal,
kali/menit
sklera dan kulit (
S : 36 ˚C –
misalnya ,
37,5 ˚C
kekeringan ,
2. Tekanan darah
sianosis, icterus)
dan denyut
Menerapkan teknik

91
nadi pasien hemostasis (Im.340)
berada dalam
1. Menyediakan
kisaran yang
perlengkapan,
diharapkan
instrumentasi, dan
dan tetap
teknik bedah yang
stabil dengan
tepat sesuai
perubahan
kebutuhan untuk
posisi pada
mengontrol
saat
perdarahan
dipindahkan
Memantau parameter
ke PACU dan
fisiologis (Im.370)
keluar dari
PACU 1. Memantau parameter
3. Output urin fisiologis termasuk
pasien berada asupan dan keluaran,
dalam kisaran gas darah arteri,
yang kadar elektrolit,
diharapkan status hemodinamik,
saat keluar dan konsentrasi
dari OR, oksigen arteri (SaO 2
ruang )
prosedur, atau 2. Pantau tanda-tanda
PACU. vital
3. Pantau tanda-tanda
hipovolemia dan
hipervolemia
4. Memantau
kehilangan cairan (
mis. , Perdarahan,
diare, keringat,
pengeluaran urin,
muntah)
5. Memperkirakan
kehilangan darah

92
dan cairan
Menetapkan akses IV
(Im.200.1)

1. Menetapkan dan
mempertahankan
akses IV perifer
untuk mengelola
cairan IV, obat-
obatan, dan produk
darah sesuai perintah
dokter
Kolaborasi dalam
manajemen cairan dan
elektrolit (Im.210.1)

1. Memverifikasi
prosedur dan
mengantisipasi serta
mengenali
kehilangan cairan
2. Mengantisipasi
persyaratan
penggantian untuk
volume besar,
prosedur kehilangan
cairan
3. Mengelola atau
mempersiapkan
pemberian terapi
cairan
4. Pantau asupan dan
keluaran
5. Mengevaluasi
respons pasien

93
terhadap manajemen
cairan
Mengevaluasi respons
terhadap pemberian
cairan dan elektrolit
(E.220)

1. Memantau asupan
dan keluaran, gas
darah arteri, kadar
elektrolit, status
hemodinamik, dan
SaO 2)
2. Memperkirakan
kehilangan darah
dan cairan
3. Memantau tanda dan
gejala kelebihan atau
kekurangan volume
cairan
4. Pantau respons
pasien terhadap
terapi cairan dan
elektrolit yang
diresepkan

94
BAB IV
KESIMPULAN & SARAN

Demikian berdasarkan tujuan asuhan keperawatan yang dilakukan penulis

pada pasien Batu Ureter 1/3 distal di ruang Central Operating Theatre RS Unhas

Makassar, maka penulis memberikan kesimpulan serta saran untuk meningkatkan

pelayanan kesehatan dan asuhan keperawatan antara lain :

A. Kesimpulan

Berdasarkan pada tujuan laporan kasus yang penulis buat, maka penulis

menyimpulkan beberapa hal antara lain :

1. Pengkajian meliputi identitas klien, riwayat kesehatan sekarang, dahulu

dan keluarga, dan pemeriksaan fisik.

2. Diagnosa keperawatan yang dapat diangkat yaitu Ansietas, gangguan

eliminasi urin, Resiko cedera, resiko infeksi, nyeri akut dan resiko

kekurangan volume cairan

3. Perencanaan keperawatan yaitu observasi, ukur TTV, pemberian posisi,

mengkaji skor risiko jatuh

4. Implementasi yang dilakukan dimulai langsung setelah pengkajian selesai.

5. Evaluasi keperawatan dengan melihat dan menilai kemampuan klien

dalam mencapai tujuan, menetukan apakah tujuan keperawatan telah

tercapai atau belum dan mengkaji penyebab jika tujuan keperawatan

belum tercapai.

95
B. Saran

Berdasarkan kasus yang diambil penulis dengan Asuhan

Keperawatan perioperatif Pada Tn. J dengan diagnosa Batu Ureter 1/3

distal dan tindakan URS + EKL + Dj Stent dan Sirkumsisi di ruangan

Central Operating Theatre (COT) RS Unhas Makassar demi kebaikan

selanjutnya, maka penulis menyarankan kepada :

1. Instalasi pelayanan kesehatan diharapkan dapat meningkat kinerja

perawat dan tenaga medis yang lain sehingga mampu meningkatkan

asuhan keperawatan.

2. Tenaga kesehatan khususnya perawat diharapkan untuk melanjutkan

asuhan keperawatan yang sudah dikelola oleh penulis yang bertujuan

untuk persiapan pemulihan kesehatan pasien

96
DAFTAR PUSTAKA

Al-Marhoon, M.S., Shareef, O., Al-Habsi, I.S., Al-Balushi, A.S, Mathew, J., D.,

& Venkiteswaran, K. P. (2013). Extracorporeal Shock-wave Lithotripsy

Success Rate and Complication. Oman Medical Journal, 28(4): 255-259.

AORN. (2011). Perioperatif Nursing Data Set : The Perioperatif Nursing

Vacobulary (3rd ed.). USA: AORN,Inc.

Aulawi, K. (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Rapha Publishing.

Di, U., Undata, R., Tahun, P., Az-zahra, H., Munir, M. A., & Rupawan, I. K.

(2018). Hubungan kadar asam urat dalam darah terhadap kejadian

urolithiasis di rsud undata palu tahun 2014-2016. 5(1), 1–10. Retrieved from

jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/MedikaTadulako/article/download/12299/

9587

Fauzi, A., & Putra, M. M. A. P. (2016). Nefrolitiasis. Majority, 5(April), 69–73.

Retrieved from https://juke.kedokteran.unila.ac.id

Kambadakone, A. R., Eisner, B. H., Catalano, O. A., & Sahani, D. V. (2010).

New and evolving concepts in the imaging and management of urolithiasis:

Urologists’ perspective. Radiographics, 30(3), 603–623.

https://doi.org/10.1148/rg.303095146

Naufal, I. (2015). Askep Klien Perioperatif. Retrieved from scribd.com:

https://www.scribd.com/doc/46509863/askepklienperioperatif

Noegroho, B. S., Daryanto, B., Soebhali, B., Kadar, D. D., Soebadi, D. M.,

97
Hamiseno, D. W., … Tarmano. (2018). Panduan Penatalaksanaan Klinis

Batu Saluran Kemih. In Ikatan Ahli Urologi ndonesia (IAUI). Retrieved from

https://core.ac.uk/download/pdf/323565959.pdf

Nuari, N.A. & Widayati, D. (2017). Gangguan Pada Sistem Perkemihan &

Penatalaksanaan Keperawatan. Yogyakarta : Penerbit Deepublish

Silalahi, M. K. (2020). Faktor-Faktor yang berhubungan dengan kejadian

penyakit Batu Saluran Kemih di Poli Urologi RSAU dr. Esnawan Antariksa.

12(September), 205–212. Retrieved from

journal.thamrin.ac.id/index.php/jikmht/article/download/385/386

Wein, A., R. Kavoussi, et al., Eds. (2007). Campbell-Walsh’s Urology 10th

edition. Philadelphia, WB Saunders.p.

Fauzi, A., & Putra, M. M. A. P. (2016). Nefrolitiasis. Majority, 5(April), 69–73.

Noegroho, B. S., Daryanto, B., Soebhali, B., Kadar, D. D., Soebadi, D. M.,

Hamiseno, D. W., … Tarmano. (2018). Penatalaksanaan Klinis Batu

Saluran Kemih. In Ikatan Ahli Urologi ndonesia (IAUI).

Noegroho, B. S., Daryanto, B., Soebhali, B., Kadar, D. D., Soebadi, D. M.,

Hamiseno, D. W., … Tarmano. (2018). Panduan Penatalaksanaan Klinis

Batu Saluran Kemih. Ikatan Ahli Urologi ndonesia (IAUI).

Purnomo. (2011). Dasar-Dasar Urologi. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto.

Sja’bani, M. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Jakarta: Pusat

Penerbitan Penyakit Dalam FKUI.

Syamsir, H. M. (2014). Sirkumsisi Berbasis Kompetensi (2thed.). Jakarta: ECG.

98
Wein, A., R. Kavoussi, et al., E. (2007). Campbell-Walsh’s Urology 10th edition.

Philadelphia: WB Saunders.

99
LAMPIRAN

Lampiran 1

LAPORAN KRITISI JURNAL


PRAKTIK PROFESI PEMINATAN KLINIK KEPERAWATAN
PERIOPERATIF
“The effectiveness of curvilinear supine position on the incidence of pressure
injuries and interface pressure among surgical patients”

Oleh

FLAVIA NYKUSTIA
R014 19 2034

PRESEPTOR INSTITUSI

(Moh. Syafar Sangkala S.Kep., Ns., MANP)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021

100
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Cedera tekanan perioperatif (PI, sebelumnya dikenal sebagai ulkus

tekanan) indikator keamanan area dan kualitas kunci untuk pasien, fasilitas

perawatan kesehatan, dan institusi medis. Bagi pasien yang menjalani operasi

jangka panjang, pencegahan PI perioperatif tetap menjadi tantangan klinis

yang berat. Studi melaporkan bahwa cedera tekanan terjadi pada 69% pasien

rawat inap yang telah menjalani prosedur pembedahan saat dirawat di rumah

sakit. PI adalah cedera terlokalisasi pada kulit dan jaringan di bawahnya yang

biasanya terjadi di atas tulang menonjol sebagai akibat dari tekanan eksternal,

baik sendiri atau dalam kombinasi dengan gaya geser dan gesekan.

Tschannen dan Hayes melaporkan bahwa prosedur pembedahan yang

berlangsung lebih dari 3 jam dikaitkan dengan risiko yang lebih tinggi dari PI

perioperatif dan peningkatan yang buruk seiring waktu . Hal ini mungkin

disebabkan oleh distribusi berat badan yang tidak merata dalam hal kontak

tubuh dengan meja operasi, berbeda sesuai dengan ukuran yang berbeda dari

setiap pasien, dan menghasilkan tekanan yang berbeda pada area antarmuka

antara tubuh dan meja operasi, yang semakin meningkat. risiko kerusakan

jaringan. Penghilang tekanan adalah faktor terpenting dalam pencegahan PI.

Area berisiko tinggi, seperti tonjolan tulang, rentan terhadap luka karena

tekanan eksternal yang tinggi, dan mengurangi tekanan antarmuka antara

101
tubuh pasien dan permukaan pendukung adalah intervensi klinis yang valid

untuk mengurangi risiko pengembangan PI.

Berdasarkan teori redistribusi tekanan dan kontur tubuh, kami

berhipotesis bahwa posisi terlentang lengkung amelioratif untuk pasien bedah

lebih baik untuk mendistribusikan kembali tekanan antarmuka melalui

peningkatan area kontak daripada posisi terlentang tradisional. Posisi

terlentang lengkung amelioratif, yang berarti bagian belakang dinaikkan ke 12

° (95% CI: 11.58–12.37 °), pelat kursi dinaikkan ke 13 ° (95% CI: 12.28–

13.37 °), dan pelat kaki diturunkan menjadi 10.20 ° (95% CI:10.14–11.38 °).

Sebelumnya, kami menggunakan sistem pemetaan tekanan Xsensor X3 untuk

mengukur tekanan antarmuka di wilayah risiko PI untuk memastikan bahwa

posisi terlentang lengkung amelioratif dapat menurunkan tekanan antarmuka

puncak ke wilayah berisiko pada sukarelawan yang sehat.

B. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi efek dari posisi terlentang

lengkung amelioratif pada pencegahan PI perioperatif (1-4) pada pasien bedah

dengan durasi operasi lebih dari 3 jam di lingkungan rumah sakit.

102
BAB II

KRITISI JURNAL

A. Penilaian Elemen Dasar

1. Gaya penulisan : Penelitian tersebut menggunakan gaya penulisan yang

benar dan mudah di pahami.

2. Penulisan : Kualifikasi penulis pada penelitian ini sesuai dengan

penelitian yang telah diteliti yaitu Rumah Sakit TongJi, TongJi Medical

College, Universitas Sains dan Teknologi Huazhong.

3. Judul : Judul telah menggambarkan isi penelitian yaitu efek dari posisi

terlentang lengkung amelioratif pada pencegahan PI perioperatif (1-4)

pada pasien bedah dengan durasi operasi lebih dari 3 jam.

4. Abstrak :

Tujuan: Pasien yang pasien bedah dengan durasi operasi lebih dari 3 jam

memiliki resiko mengalami cedera tekan akibat posisi pembedahan.

Sehingga tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi efek posisi

terlentang lengkung pada kejadian cedera tekanan pada pasien bedah di

rumah sakit.

Metode: Metode penelitian yang digunakan adalah studi prospektif, acak,

terkontrol, dilakukan dari Mei hingga Desember 2016, termasuk 104

pasien bedah dari rumah sakit universitas di China (kelompok eksperimen,

n = 52; kelompok kontrol, n = 52). Insiden cedera tekanan, tekanan

antarmuka, kenyamanan dan skor kepuasan dari ahli bedah, ahli anestesi,

atau perawat dicatat. Uji Mann-Whitney U Chi-square digunakan untuk

103
mengetahui perbedaan insiden cedera tekanan dan model linier campuran

digunakan untuk tekanan antarmuka.

Hasil: Secara keseluruhan kelompok intervensi memiliki cedera tekanan

intraoperatif yang lebih sedikit dibandingkan kelompok kontrol (0 pasien

[0%] vs 9 pasien [17,65%], p = 0,002). Dibandingkan dengan kelompok

kontrol, kelompok eksperimen memiliki tekanan antarmuka yang lebih

rendah secara signifikan di daerah sakrum dan tumit (F = 23,81, p < 0,001;

F = 60,71, p < 0,001). Subjek merasa nyaman dalam dua kelompok

masing-masing adalah 40 (80%) vs 3 (5,88%) (kelompok eksperimen vs

kelompok kontrol) ( p < 0,001).

Kesimpulan: Posisi terlentang lengkung secara signifikan dapat

menurunkan kejadian cedera tekanan perioperatif pada pasien bedah

dengan durasi operasi lebih dari tiga jam. Mempertimbangkan hasil ini,

kami merekomendasikan penggunaan posisi terlentang lengkung sebagai

intervensi yang efektif untuk menginformasikan pemberian perawatan

perioperatif, mengurangi cedera tekanan perioperatif. Temuan ini dapat

berfungsi untuk memandu penerapan redistribusi tekanan dalam posisi

bedah pasien selama operasi berkepanjangan.

5. Referensi: Semua referensi telah disitasi dengan benar dan mengunakan

style vancouver.

104
B. Validitas

1. Tujuan/ masalah penelitian

Tujuan yang ditetapkan jelas, yaitu untuk mengevaluasi efek posisi

terlentang lengkung pada kejadian cedera tekanan pada pasien bedah di

rumah sakit.

P : Pasien bedah dengan durasi lebih dari 3 jam

I : Posisi terlentang lengkung

C : Kelompok control diberikan intervensi posisi terlentang

O : Menurunkan Kejadian Ulkus Tekan pada pasien bedah

T : 2 hari

2. Sampel

Pasien yang memenuhi persyaratan berikut direkrut: peserta> 18 tahun,

menjalani anestesi umum dan operasi terbuka saat dalam posisi terlentang,

waktu operasi yang diharapkan ≥3j, diharapkan bangsal / rumah sakit

tinggal ≥3 hari, dan pemahaman yang baik tentang bahasa Mandarin

tertulis dan lisan. Kriteria eksklusi meliputi: riwayat cedera tekanan masa

lalu atau sekarang (1-4), skindisease, paralisis, penyakit vaskulard perifer,

dan disfungsi sendi. Tiga pasien dikeluarkan karena alasan yang berbeda.

Sebanyak 101 pasien diacak dan berpartisipasi dalam pengumpulan data

(kelompok intervensi, n = 50; kelompok kontrol, n = 51), dan drop-out rate

adalah 2,88%.

3. Ethical Consideration

105
Persetujuan etis dari penelitian ini diperoleh dari dewan peninjau

kelembagaan komite etika penelitian manusia rumah sakit studi (IRB ID:

TJ-C20160102). Selain itu, penelitian ini terdaftar dalam daftar uji klinis

dari Chinese Clinical Trial Registry. (Nomor registrasi adalah ChiCTR-

IOR-16009061).

4. Metodologi

Desain penelitian jelas, yaitu prospective randomized controlled trial di

rumah sakit umum dengan 91 ruang operasi, dari Mei hingga Desember,

pada 2016.

5. Follow up dan analysis (consort statement)

Berdasarkan hasil perbandingan gambaran karakteristik responden

kelompok intervensi dan kelompok kontrol bahwa kelompok tersebut

serupa dengan (P 05).

Sehingga dapat disipulkan sampel penelitian ini homogeny.

6. Bliding

No Bliding : Dalam penelitian membutakan peserta untuk alokasi

kelompok tidak dimungkinkan karena sifat intervensi posisi bedah

C. Reliabilitas

1. Data Analisis

Data yang terkumpul diolah menggunakan Microsoft Office Excel

2010, dan analisis statistik diproses menggunakan SAS (Versi9.4).

Karakteristik demografis dan klinis peserta dianalisis menggunakan

106
statistik deskriptif.Man-WhitneyUChi-squaretest digunakan untuk variabel

kategori dan uji-t independen digunakan untuk variabel kontinu untuk

memastikan homogenitas antara kelompok-kelompok. Data mengenai

tekanan antarmuka untuk pengukuran berulang dianggap sebagai distribusi

efek dari asumsi-asumsi yang dianalisis. model. Algoritme estimasi

kemungkinan maksimum yang dibatasi dalam model campuran digunakan

untuk membandingkan dan menentukan kesesuaian optimal dari data, dan

jumlah kuadrat tipe III digunakan untuk menguji hipotesis. Tingkat

signifikansi data ditetapkan 0,05 dengan pengujian dua sisi.

2. Hasil Penelitian

a. Karakteristik peserta

Rata-rata peserta adalah 52,17 tahun (SD, 13,80 tahun; kisaran, 20-79

tahun). Tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik antara dua

grup.

b. Pasien dengan PI dalam kelompok eksperimen dan kontrol

Prevalensi PPI periode (1-2) dalam kelompok eksperimen adalah 0

(hari 1), 0 (hari 2) dan 0 (hari 3). Kelompok kontrol memiliki

prevalensi PI yang lebih tinggi secara signifikan (p <0,05). Data yang

sesuai untuk kelompok kontrol adalah 17,65%, 7,84%, dan 1,96%

(Tabel2). Tabel2 menunjukkan pergerakan pasien antara kategori PI

selama hari-hari tindak lanjut. Lokasi PI yang paling umum adalah

tumit (kategori 1, n = 6; kategori 2, n = 1), sakrum (kategori 1, n = 1),

dan skapula (kategori1, n = 1).

107
c. Tekanan antarmuka di lima area dalam dua grup seiring waktu

Dibandingkan dengan kelompok kontrol, kelompok eksperimental

memiliki tekanan antarmuka yang lebih rendah secara signifikan di

daerah sakram dan tumit. Untuk hasil statistik yang lebih akurat, kami

menyertakan enam node waktu untuk statistik model linier campuran

yang diukur berulang kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada

perubahan signifikan secara statistik pada tekanan antarmuka ke

sakrum dan daerah tumit selama periode 5 jam (p <0,001). Dalam

kelompok eksperimen, tekanan antarmuka dari daerah sakrum dan

tumit berkurang dengan cepat setelah menempatkan peserta pada

posisinya, dan kemudian meningkat secara bertahap dalam 5 jam dan

kemudian stabil. Demikian pula, angka-angka pada kelompok kontrol

terus meningkat dari waktu ke waktu, dan secara signifikan lebih

tinggi daripada kelompok eksperimen (p <0,05).

d. Kenyamanan pasien dan kepuasan ahli bedah

Subjek merasa nyaman dalam dua kelompok masing-masing adalah 40

(80%) vs 3 (5,88%) (kelompok eksperimen vs kelompok kontrol) (p

<0,001). Tingkat kepuasan ahli bedah pada kelompok eksperimen dan

kontrol adalah 100% dan 98,04%, dan perbedaannya tidak signifikan

secara statistik (p> 0,05).

D. Aplikabilitas

Hasil penelitian dihubungkan dengan tinjauan pustaka dan dibandinkan

dengan penelitian lain serupa. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa

108
kelompok posisi terlentang lengkung secara signifikan dapat menurunkan

prevalensi PI perioperatif pada pasien bedah dengan durasi operasi> 3 jam.

Keterbatasan Penelitian :

Studi ini memiliki beberapa keterbatasan.

1. Pertama, penelitian ini dilakukan di salah satu rumah sakit umum di

China. Penelitian lebih lanjut dapat menyelidiki masalah ini di rumah

sakit dengan kepemilikan berbeda dalam sistem kesehatan China.

2. Gaya geser dalam penelitian ini tidak dapat diukur (dengan menggunakan

pemetaan tekanan antarmuka) dan tindak lanjut 2 hari mungkin terlalu

singkat untuk mengidentifikasi perkembangan PI yang parah.

3. Selain itu, jumlah sampel dalam penelitian selama lebih dari 6 jam kecil

sehingga penelitian gagal untuk mengklarifikasi hubungan antara tekanan

antarmuka, waktu operasi dan posisi pembedahan. Di masa depan, kita

harus mengukur tekanan antarmuka pada peserta dalam periode yang

lama.

4. Selanjutnya, seiring dengan penelitian selanjutnya, kita dapat

memperoleh data yang relevan tentang korelasi antara tekanan perfusi

kuli. Sehingga dapat disimpulkan, temuan ini dapat berfungsi untuk

memandu penerapan redistribusi tekanan dalam posisi bedah pasien

selama operasi berkepanjangan.

109
BAB III

KESIMPULAN

Artikel penelitian dengan judul “The effectiveness of curvilinear supine

position on the incidence of pressure injuries and interface pressure among

surgical patients” bertujuan untuk untuk mengevaluasi efek posisi terlentang

lengkung pada kejadian cedera tekanan pada pasien bedah di rumah sakit.

Penelitian ini menggunakan rancangan acak terkontrol prospektif untuk

mengevaluasi efek posisi terlentang lengkung pada prevalensi PI. Temuan ini

menunjukkan bahwa posisi terlentang lengkung secara signifikan dapat

menurunkan prevalensi PI perioperatif pada pasien bedah dengan durasi operasi>

3 jam.

Peneliti menemukan bahwa tekanan permukaan dikaitkan dengan

peningkatan waktu operasi secara signifikan pada area berisiko tinggi untuk PI

perioperatif pada kelompok kontrol, sedangkan tekanan antarmuka pada daerah

sakrum dan tumit di kelompok posisi terlentang lengkung secara signifikan lebih

rendah daripada kelompok kontrol selama seluruh operasi.

Sehingga dapat disimpulkan, temuan ini dapat diaplikasikan untuk

memandu penerapan redistribusi tekanan dalam posisi bedah pasien selama

operasi berkepanjangan.

110
DAFTAR PUSTAKA

GuoY,LiY,ZhaoK,YueX,YuY,KuangW,etal.Effectsofcurvilinearsupine positionon

tissueinterfacepressure:aprospectivebefore and afterstudy.Journal ofWou

ndOstomy&ContinenceNursingOfficialPublicationoftheWoundOstomy

&ContinenceNursesSociety2017;44:450 4.https://doi.org/10.1097/WON.

0000000000000360.

HayesRM,SpearME,LeeSI,KrauserLupearBE,BenoitRA,ValerioR,etal. Relationsh

ipbetweentimeintheoperatingroomandincidentpressureulcers:a matchedca

se controlstudy.AmJMedQual:TheOfficialJournaloftheAmerican College

ofMedicalQuality2015;30:591–7.https://doi.org/10.1177/

1062860614545125.

M,HuberJ,HuberD.Acomparativeassessmentofinterfacepressures generatedbyfour

surgicaltheatreheelpressureulcerprophylactics.IntWoundJ 2012;9:259 63.

https://doi.org/10.1111/j.1742-481X.2011.00865.x.

MeehanAJ,BeinlichNR,HammondsTL.Anurse initiatedperioperativepressure injur

yriskassessmentandpreventionprotocol.AORNJ2016;104:554–65.

NPUAP.NationalPressureUlcerAdvisoryPanel(NPUAP)announcesachangein term

inologyfrompressureulcertopressureinjuryandupdatesthestagesofpressurei

njury.http://www.npuap.org/national-pressure-ulcer-advisory-panel-

npuapannounces-a-change-in-terminology-from-pressure-ulcer-to-

pressure-injury-andupdates-the-stages-of-pressure-injury/April13,2016.

111
SpruceL.Backtobasics:preventingperioperativepressureinjuries.AORNJ 2017;105:

92 9.105:92-9.92-99.10.1016/j.aorn.2016.10.018.

TschannenD,BatesO,TalsmaA,GuoY.Patient specificandsurgicalcharacteristics int

hedevelopmentofpressureulcers.AmJCritCare:AnOfficialPublication, Am

ericanAssociationofCritical-CareNurses2012;21:116–

25.https://doi.org/10. 4037/ajcc2012716.

112
113
114
115
116
117
118
Lampiran 2

Asuhan Keperawatan Perioperatif Kasus Bedah Umum Dan Bedah Khusus

ASKEP PERIOPERATIF
FRAKTUR DENGAN TINDAKAN REDUCTION INTERNA FIXATION
(ORIF)

Kelompok 3

Riventi Pali’ Kamoda (R014192015)


Flavia Enykustia (R01419034)
Nurul Sakinah Fathiasari (R014191021)

PRESEPTOR INSTITUSI

(Moh. Syafar Sangkala, S.Kep.,Ns., MANP)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021

119
BAB I
KONSEP MEDIS

A. Definisi
Fraktur adalah gangguan dari kontinuitas yang normal dari suatu
tulang. Jika terjadi fraktur, jaringan lunak yang berada disekitarnya juga
ikut terganggu. Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang femur, yang biasanya disertai dengan luka pada sekitar jaringan
lunak, kerusakan otot, rupture tendon, dan kerusakan pembuluh darah
(Smeltzer & Bare, 2015). Tulang yang mendapatkan tekanan terus
menerus di luar kapasitas dapat mengalami keretakan tulang. Pada
kelompok usia tua (lanjut usia), massa tulang yang rendah cenderung
mengalami fraktur. Dengan benturan kecil, dapat menyebabkan fraktur
karena massa tulang yang rendah tidak mampu menahan daya benturan
(Sagaran, Manjas, & Rasyid, 2017).

120
B. Etiologi
Menurut Sagaran et al. (2017), penyebab terjadinya fraktur terdiri dari
cedera traumatic dan cedera patologik, yaitu sebagai berikut:
1. Cedera Traumatik
a. Cedera langsung
Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang
sehingga tulang patah secara spontan. Seperti ketika sebuah benda
bergerak menghantam area tubuh di atas tulang.
b. Cedera tak langsung
Cedera tak langsung berarti ketika suatu kontraksi kuat dari otot
menekan tulang. Dengan kata lain, titik tumpuan benturan dan
fraktur berjauhan. misalnya jatuh terpeleset di kamar mandi
2. Cedera Patologik
Cedera patologik yaitu keadaan yang dapat menyebabkan
frakktur bila tulang itu sendiri rapuh atau underlying diseases. Dalam
hal ini kerusaka tulang akibat proses penyakit dimana dengan traua
minor dapat mengakibatkan fraktur. Hal tersebut dapat juga tejadu
pada keadaan berikut:
a. Tumor Tulang
Tumor tulang (kanker) dapat bersifat jinak atau ganas. Tumor tulang
ganas termasuk osteosarcoma, fibrosasarkoma, kondrosarkoma, dan
sarcoma Ewing. Biasanya terdapat mass atau lesi yang dapat
dirasakan pada lokasi tumor.
b. Infeksi (Osteomielitis)
Osteomielitis merupakan infeksi piogenik berat pada tulang dan
jaringan sekitar. Osteomyelitis dapat terjadi sebagai akibat infeksi
pada tulang yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus,
atau fungal). Staphylococcus aureus merupakan organisme tersering
yang menginfeksi. Selain itu juga ditemuka Escherichia coli,
pseudomonas, klebsiella, salmonella, dan organisme Proteus.

121
c. Rakhitis
Rakhitis merupakan suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh
defisiensi vitamin D yang memppengaruhi semua jaringan tulang
yang lain, biasanya disebabkan oleh kegagalan absorbs vitamin D
dan asupan kalsium atau fosfat yang rendah.
C. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik dari fraktur menurut Black & Hawks (2014), yaitu
sebagai berikut:
1. Deformitas
Deformitas pada lokasi fraktur disebabkan karena adanya
pembengkakan dari perdarahan lokal. Spasme otot dapat menyebabkan
pemendekan tungkai, deformitas rotasional, atau angulasi.
Dibandingkan yang sehat, lokasi fraktur dapat memiliki deformitas
yang nyata.
2. Pembengkakan
Edema dapat muncul segera, sebagai akibat dari akumulasi cairan
serosa pada lokasi fraktur serta ekstravasasi darah ke jaringan sekitar.
3. Memar (ekimosis)
Memar terjadi karena perdarahan subkutan pada lokasi fraktur
4. Spasme Otot
Sering mengiringi fraktur, spasme otot involunteer sebenarnya
berfungsi sebagai bidai/perlindungan alami untuk mengurangi gerakan
lebih lanjut dari fragmen fraktur.
5. Nyeri
Jika klien secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu mengiringi
fraktur, intensitas dan keparahan dari nyeri akan berbeda pada masing-
masing klien. Nyeri biasanya terus-menerus, meningkat jika fraktur
tidak dimobilisasi. Hal ini terjadi karena spasme otot, fragmen fraktur
yang bertindihan, atau cedera pada struktur sekitarnya.
6. Kehilangan fungsi

122
Hilangnya fungsi terjadi karena nyeri yang disebabkan fraktur.
Kelumpuhan dapat terjadi dari cedera saraf.
7. Gerakan abnormal dan krepitasi
Manifestasi ini terjadi karena gerakan dari bagian tengah tulang atau
gesekan antar fragmen fraktur yang menciptakan sensasi dan suara
deritan.
8. Perubahan neurovascular
Cedera neurovascular terjadi akibat kerusakan saraf perifer atau
struktur vascular yang terkait. Klien dapat mengeluhkan rasa kebas
atau kesemutan atau tidak teraba nadi pada daerah distal dari fraktur.
D. Klasifikasi
1. Klasifikasi secara umum
Secara umum, frakture diklasifikasikan sebagai : (Bucholz,
2006 dalam Mahartha, 2015)
a. Fraktur terbuka : Fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia
luar melalui luka pada kulit dan jaringan lunak, dapat terbentuk
dari dalam maupun luar
b. Fraktur tertutup: Fraktur dimana kulit tidak ditembus oleh fragmen
tulang, sehingga tempat fraktur tidak tercemar oleh
lingkungan/dunia luar.
c. Fraktur komplikasi: fraktur yang disertai dengan komplikasi seperti
malunion, delayed union, nounion dan infeksi tulang
Metode klasifikasi palsing sederhana adalah berdasarkan pada
apakah fraktur tertutup atau terbika. Fraktur tertutup memiliki kulit
yang masih utuh di atas lokasi cedera. Sedangkan fraktur terbuka
memiliki ciri dimana robeknya kulit di atas cedera tulang (Black &
Hawks, 2014).
2. Klasifikasi garis patah tulang
a. Greenstick : Fraktur dimana satu sisi tulang retak dan sisi lainnya
bengkok
b. Transversal : Fraktur yang memotong lurus pada tulang

123
c. Spiral : Fraktur yang mengelilingi tungkai/lengan tulang, obliq,
yaitu fraktur yang garis patahnya miring membentuk sudut
melintasi tulang.

3. Klasifikasi bentuk patah tulang (Apley & Solomon, 2013)


a. Komplet : garis fraktur menyilang atau memotong seluruh tulang
dan fragmen tulang biasanya bergeser
b. Inkomplet : hanya sebgian retakan pada sisi tulang
c. Kompresi : Fraktur dimana tulang terdorong ke arah permukaan
tulang lain
d. Vulsi : Fragmen tulang tertarik oleh ligament
e. Communited (segmental) : Fraktur dimana tulang terpecah
menjadi beberapa bagian
f. Simple : Fraktur dimana tulang patah dan kulit utuh
g. Fraktur dengan perubahan posisi : yaitu ujung tulang yang patah
berjauhan dari tempat yang patah,
h. Fraktur tanpa perubahan posisi : yaitu tulang patah, posisi pada
tempatnya yang normal
i. Fraktur komplikata : yaitu tulang yang patah menusuk kulit dan
tulang terlihat
E. Komplikasi
Komplikasi fraktur bergantung pada jenis cedera, usia pasien, dan
adanya masalah kesehatan lain (komorbiditas), dan penggunaan obat yang
mempengaruhi perdarahan, seperti warfarin, kortikosteroid, dan NSAID.
Pengkajian yang berkelanjutan dari status neurovaskular pasien untuk

124
adanya komplikasi sangatlah penting agar dapat melakukan intervensi
yang cepat untuk meminimalkan efek samping yang ada. Adapun
komplikasi dari fraktur menurut Black & Hawks (2014) dan Kowalak,
Welsh, & Mayer (2017), yaitu:
1. Syok hipovolemik atau traumatik
Komplikasi ini dapat terjadi akibat pendarahan (baik kehilangan darah
eksternal maupun internal) dan kehilangan cairan eksternal ke jaringan
yang rusak.
2. Cedera saraf
Fragmen tulang dan edema jaringan yang berkaitan dengan cedera
dapat menyebabkan cedera saraf. Hal-hal yang perlu diwaspadai
adalah jika tungkai pasien yang cedera pucat dan teraba dingin,
perubahan pada kemampuan pasien untuk menggerakkan jari-jari
tangan atau tungkai, parestesia, atau adanya keluhan nyeri yang
meningkat.
3. Sindrom kompartemen
Kompartemen otot pada tungkai atas dan bawah dilapisi oleh jaringan
fasia yang keras dan tidak elastis yang tidak akan membesar jika otot
mengalami pembengkakan. Edema yang terjadi sebagai respons
terhadap fraktur dapat menyebabkan peningkatan tekanan
kompartemen yan dapat mengurangi perfusi darah kapiler. Jika suplai
darah lokal tidak dapat memenuhi kebutuhan metabolik jaringan, maka
terjadi iskemia. Sindroma kompartemen merupakan suatu kondisi
gangguan sirkulasi yang berhubungan dengan peningkatan tekanan
yang terjadi secara progresif pada ruang terbatas. Hal ini disebabkan
oleh hal-hal yang menurunkan ukuran kompartemen, termasuk gaya
kompresi eksternal seperti gips yang ketat atau faktor-faktor internal
seperti perdarahan atau edema.
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk fraktur menurut Black & Hawks
(2014), yaitu sebagai berikut:

125
1. Radiografi (Sinar-X)
Penggunaan posisi radiologis (anteroposterior dan lateral) yang
tepat sangat penting untuk mengkaji kecurigaan fraktur dengan tepat.
Temuan rontgen yang tidak normal antara lain edema jaringan lunak
atau pergeseran tulang setelah cedera. Radiografi dari tulang yang
patah akan menunjukkan perubahan pada kontur normalnya dan sirupsi
dari hubungan sendi yang normal. Radiografi biasanya dilakukan
sebelum reduksi fraktur, setelah reduksi, dan kemudian secara periodik
saat penyembuhan tulang.
2. CT-Scan
Tomografi komputer dapat digunakan untuk mengetahui adanya
fraktur. Kelebihan dari CT-Scan adalah bisa melihat gangguan
(hematoma) pada struktur lain (pembuluh darah).
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI adalah pemeriksaan yang menggunakan magnet besar untuk
menghasilkan gambaran yang detail pada jaringan lunak dan tulang. MRI
digunakan untuk mendeteksi kondisi yang memengaruhi tendon,
ligamen, dan otot.
G. Penatalaksanaan
Beberapa penatalaksanaan menurut Nurarif & Kusuma (2015);
Black & Hawks (2014), adalah sebagai berikut:
1. Rekognisi /Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan
tindakan selanjutnya. Petugas medis harus teliti memeriksa area yang
cedera dan melakukan anamnesis pasien. Detail dari cedera penting
untuk menentukan kemungkinan tipe fraktur dan cedera yang
berhubungan.
2. Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Yaitu upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga
kembali seperti semula secara optimal. Dengan kata lain, untuk

126
mengembalikan kelurusan, posisi, dan panjang fragmen tulang sedekat
mungkin. Metode reduksi terbagi atas:
a. Reduksi Tertutup
Untuk melakukan reduksi tertutup, petugas medis memberikan
traksi manual untuk menggerakkan fragmen tulang dan
mengembailkan kelurusan tulang. Reduksi tertutup harus dilakukan
segera setelah cedera untuk meminimalkan risiko kehilangan
fungsi, untuk mencegah atau menghambat terjadinya artiritis
traumatic, dan meminimalkan efek deformitas dari cedera tersebut.
Alat imobilisasi yang paling sering digunakan adalah gips (suatu
alat sementarayang terbuat dari bahan sintetik seperti fiberglass,
polimer plastic thermal, atau plester Paris (kalsium sulfat
anhidrosa).
b. Traksi
Traksi adalah pemberian gaya tarik terhadap bagian tubuh yang
cedera atau kepada tungkai, sementara kontratraksi aka menarik
kea rah yang berlawanan. Gaya tarik ini dapat dicapai dengan
menggunakan tangan (traksi manual) tau dengan pemberian beban.
1) Traksi kulit (skin traksi)
Traksi kulit adalah pemberian gaya tarik secara langsung ke
kulit dengan menggunakan skin strips, sepatu bot atau bidai
busa. Traksi Buck adalah jenis traksi kulit yang paling umum
(sebuh bot busa dikenakan pada tungkai paien yang terluka dan
disambungkan dengan beban yang menggantung pada ujung
tempat tidur.
2) Traksi skeletal (skeletal traksi)
Traski skeletal menggunakan pin untuk memberikan gaya
pada tulang.Dengan traksi skeletal, gaya langsung dapat
diberikan setelah dokter memasukkan pin stainless-steel
melalui tulang itu sendiri. Lokasi yang paling umum untuk

127
insersi-pin adalah femur distal, tibia proksimal, dan ulna
proksimal.
c. Reduksi Terbuka
Reduksi terbuka dilakukan dengan pembedahan fragmen tulang
direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat
paku, atau batangan logam digunakan untuk mempertahankan fragmen
tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi.
Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau langsung ke rongga
sumsum tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang
kuat bagi fragmen tulang.
1) OREF (Open Reduction Eksternal Fixation),adalah reduksi
terbuka dengan fiksasi internal dimana tulang di transfiksasikan
di atas dan di bawahnya fraktur, sekrup atau kawat ditransfiksi
dibagian proksimal dan distal kemudian dihubungkan satu sama
lain dengan suatu batang lain. Fiksasi eksternal ini digunakan
utnuk mengobati fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan
lunak. Alat ini memberikan dukungan yang stabil untuk fraktur
komunitif (hancur atau remuk). Pin yang telah terpasang dijaga
agar tetap terjaga posisinya, kemudian dikaitkan pada
kerangkanya. Fiksasi ini memberikan rasa nyaman bagi pasien
yang mengalami kerusakan fragmen tulang.
2) ORIF (Open Reduction Internal Fixation) adalah metode
penatalaksanaan patah tulang dengan cara pembedahan reduksi
terbuka dan fiksasi internal dimana dilakukan insisi pada tempat
yang mengalami cedera dan ditemukan sepanjang bidang
anatomik tempat yang mengalami fraktur.
d. Retensi/Immobilisasi
Merupakan upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang
sehingga kembali seperti semula secara optimun. Imobilisasi fraktur.
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi

128
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau
interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai,
traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan
logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai
bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
e. Rehabilitasi
Bertujuan untuk mengembalikan aktifitas fungsional
semaksimal mungkin untuk menghindari atropi atau kontraktur. Bila
keadaan memungkinkan,harus segera dimulai latihan-latihan untuk
mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi.

129
BAB II
KONSEP TINDAKAN ORIF
A. DEFINISI
ORIF (Open Reduction Internal Fixation), Open Reduction Internal
Fixation (ORIF) adalah suatu jenis operasi dengan pemasangan internal
fiksasi yang dilakukan ketika fraktur tersebut tidak dapat direduksi secara
cukup dengan close reduction, untuk mempertahankan posisi yang tepat
pada fragmen fraktur (Potter & Perry, 2005). Fungsi ORIF untuk
mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak
mengalami pergerakan. Internal fiksasi ini berupa intra medullary nail,
biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur
transvers.
Open Reduction Internal Fixation (ORIF) adalah sebuah prosedur
bedah medis, yang tindakannya mengacu pada operasi terbuka untuk
mengatur tulang, seperti yang diperlukan untuk beberapa patah tulang,
fiksasi internal mengacu pada fiksasi sekrup dan piring untuk
mengaktifkan atau memfasilitasi penyembuhan (Brunner & Suddart,
2003).

130
B. TUJUAN
Ada beberapa tujuan dilakukannya pembedahan Orif (T.M. Marrelli,
2007), antara lain:
1. Memperbaiki fungsi dengan mengembalikan gerakan dan stabilitas
2. Mengurangi nyeri.
3. Klien dapat melakukan ADL dengan bantuan yang minimal dan dalam
lingkup keterbatasan klien.
4. Sirkulasi yang adekuat dipertahankan pada ekstremitas yang terkena
5. Tidak ada kerusakan kulit
C. INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI
Indikasi tindakan pembedahan ORIF (American Academy of Orthopedic
Surgeons, 2012):
1. Fraktur yang tidak stabil dan jenis fraktur yang apabila ditangani
dengan metode terapi lain, terbukti tidak memberi hasil yang
memuaskan.
2. Fraktur leher femoralis, fraktur lengan bawah distal, dan fraktur
intraartikular disertai pergeseran.
3. Mal-reduksi/kegagalan
4. Fraktur avulsi mayor yang disertai oleh gangguan signifikan pada
struktur otot tendon
Kontraindikasi tindakan pembedahan ORIF:
1. Tulang osteoporotik terlalu rapuh menerima implan
2. Jaringan lunak diatasnya berkualitas buruk
3. Terdapat infeksi
4. Adanya fraktur comminuted yang parah yang menghambat
rekonstruksi.
5. Pasien dengan penurunan kesadaran
6. Pasien dengan fraktur yang parah dan belum ada penyatuan tulang
7. Pasien yang mengalami kelemahan (malaise)

131
D. PERSIAPAN ATAU PROSEDUR DI RUANG OPERASI

1. Persiapan alat dan ruangan


a. Alat tidak steril: Lampu operasi, Cuter unit, Meja operasi, Suction,
Hepafik, Gunting
b. Alat steril: Duk besar 3. Baju operasi 4, selang suction steril,
selang cuter steril, side 2/0, palain 2/0, berbagai macam ukuran
jarum.
c. Set ORIF:

1) Koker panjang 2

2) Klem bengkok 6

3) Bengkok panjang 1
4) Pinset cirugis 2

132
5) Gunting jaringan 1

6) Kom 2

7) Bisturi 1

8) Hand mest
9) Platina 1 set

10) Kasssa steril


11) Gunting benang 2

133
12) Sponge Holder 1

13) Bor 1
14) Hak pacul 1
15) Hak sedang 1
16) Hak duk 1
E. PROSEDUR PEMBEDAHAN ORIF
1. Persiapan pasien
a. Alat-alat dipersiapkan
b. Pasien di[ndahkan dari brankar ke meja operasi
c. Klien dipasangkan bedside monitor
2. Pelaksanaan operasi
a. Tim bedah melakukan cuci tangan (Scrub)
b. Tim bedah telah memakai baju operasi (Gloving)
c. Klien diintubasi dengan ET, sebelumnya dilakukan general anastesi
d. Klien diposisikan telentang dengan kepala sedikit ekstensi
e. Dalam stadium anastesi dilakukan disinfektan menggunakan betadine,
kemudia di bilas menggunakan alcohol 70%

134
f. Dipasang linen (doek steril) difiksasi dengan menggunakan doek
klem, selanjutnya ditutupi/dipasang doek lubang besar (mempersempit
area yang akan dioperasi)
g. Melakukan insisi dengan pisau bedah ± 10 cm, secara horizontal dari
lapisan kulit, lemak, otot
h. Melakukan pemegangan tulang menggunakanreduction, kemudian
memposisikannya pada posisi semula, kemudian memesang plate pada
tulang sambal memegang dengan retractor dan melakukan
pengeburan, memasang plate dan screw dengan obeng
i. Control perdarahan dengan cara suction atau deep dengan kassa
j. Memposisikan tulang dengan keadaan semula, mengukur panjang
plate danscrew
k. Tulang di bor dan diukur kedalaman gor
l. Memasang plate dan screw pada tulang yang telah di bor
m. Mencuci dengan NaCl, dan memastikan tidak ada lagi perdarahan
n. Melakukan hecting dengan polisorb 2-0, menggunakan safil 2-0 dan
pada bagian kulit menggunakan byosin 4-0
o. Menutup luka dengan sufratulle, kasa, dan diplester
p. Daerah area operasi dibersihkan dengan NaCl 0,9% dan handuk basah
q. Operasi selesai dan mengobservasi pasien serta meleaskan ET
F. RISIKO DAN KOMPLIKASI ORIF
Tingginya risiko osteomielitis yang terjadi akibat infeksi setelah pemasangan
fiksasi internal, maka diperlukan pengawasan dan pemeriksaan yang konstan selama
penanganan. Kondisi teknik bedah yang streil dan teliti dapat mengurangi risiko
tersebut, namun tidak dapat menghilangkan resiko infeksi saat saat internal fiksasi
digunakan.
Risiko dan komplikasi yang dapat terjadi akibat fiksasi internal atau
ORIF adalah kolonisasi bakteri tulang akibat kontaminasi karena adanya
perangkat asing yang berada di dalam tubuh manusia, infeksi, kekakuan,

135
hilangnya rentang gerak, kerusakan pada otot dan saraf, nyeri kronis terkait
dengan pelatm skrup, dan pin, sindrom kompartemen, dan deformitas
(American Academy of Orthopaedic Surgeons, 2012).
G. PERAWATAN POST OPERATIF
Dilakukan utnuk meningkatkan kembali fungsi dan kekuatan pada
bagian yang sakit. Dapat dilakukan dengan cara:
1. Mempertahankan reduksi dan imobilisasi.
2. Meninggikan bagian yang sakit untuk meminimalkan pembengkak.
3. Mengontrol kecemasan dan nyeri (biasanya orang yang tingkat
kecemasannya tinggi, akan merespon nyeri dengan berlebihan)
4. Latihan otot Pergerakan harus tetap dilakukan selama masa imobilisasi
tulang, tujuannya agar otot tidak kaku dan terhindar dari pengecilan massa
otot akibat latihan yang kurang.
5. Memotivasi klien untuk melakukan aktivitas secara bertahap dan
menyarankan keluarga untuk selalu memberikan dukungan kepada klien.

136
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Anamnesa
a. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
digunakan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no.register,
tanggal MRS, diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut biasa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi faktor
peningkat nyeri
2) Quality of Pain: seperti apa nyeri yang dirasakan atau digambarkan
klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut,atau menusuk
3) Region ; radiation, relief : apakah rasa sakit bias reda, apakah rasa
sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi
4) Severity (Scale) of Pain : seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
klien, bias berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa
jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya
5) Time : berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk
pada malam hari atau siang hari
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur,
yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
member petnjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.

137
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur.
f. Riwayat Psikososial
Merupakan respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya
dalam kehidupan sehari-harinya.
g. Pola-pola Fungsi Kesehatan
1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketakutan akan terjadinya kecacatan
pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk
membantu penyembuhan tulangnya.
2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pola nutrisi klien bias membantu menentukan penyebab masalah
musculoskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak
adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang
kurang merupakan faktor predisposisi masalah musculoskeletal
terutama pada lansia.
3) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini
dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga,
pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
4) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak
dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah benyuk
aktivitas klien terutama pekerjaan klien.

138
5) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya
yang salah (gangguan gambaran tubuh.
6) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. Begitu
juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga,
timbul rasa nyeri akibat fraktur.
7) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme
koping yang ditempuh klien biasa tidak efektif.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Gambaran Umum
1) Keadaan umum : baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda,
seperti:
a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien
b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan
pada kasus fraktur biasanya akut
c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
a) Sistem integument
Terdapat eritema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
oedema, nyeri tekan.

139
b) Wajah
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi
maupun bentuk. Tidak ada lesi, simetris, tak oedema
3) Keadaan Lokal
Pemeriksaan pada sistem musculoskeletal menurut Reksoprodjo
(2006) dalam Wahid (2013) adalah:
a) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(1) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan
seperti bekas operasi)
(2) Café au lait spot (birth mark)
(3) Fistulae warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau
hiperpigmentasi
(4) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang
tidak biasa (abnormal)
(5) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(6) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
b) Feel (palpasi)
Yang perlu dicatat adalah :
(1) Perubahan suhu disekitartrauma (hangat) dan kelembaban
kulit. Capillary refill time normal ≤ 2 detik
(2) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau
oedema terutama disekitar persendian
(3) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal, medial, atau distal)
c) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah
pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran
metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak

140
(mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan
aktif dan pasif (Naufal, 2015).
B. Pre Op Care
Fase pre operasi yaitu:
1. Merencanakan metode penyuluhan yang sesuai dengan kebutuhan pasien
2. Melibatkan keluarga dalam wawancara
3. Memastikan kelengkapan pemeriksaan pra operatif
4. Membuat rencana asuhan keperawatan
5. Memastikan daerah pembedahan
6. Puasa 8 jam menjelang operasi pasien tidak diperbolehkan makan
7. Pemeriksaan fisik dan laboratorium (Naufal, 2015).
Adapun diagnosa keperawatan pre operasi yang mungkin dijumpai pada klien
fraktur adalah sebagai berikut :
1. Ansietas
2. Nyeri akut
3. Hambatan mobilitas fisik
4. Defisit pengetahuan
Asuhan Keperawatan Pre Op :
Nursing
No Nursing Outcome Nursing Interventions
Diagnosis
1. Anxiety O.500 : Knowledge of Identifies psychosocial status
X4-00146 psychosocial responses (A.510)
(Assesses the psychosocial
Domain 3A  The patient
factors that influence the
Behavioral verbalizes the patient’s care and develops and
responses - sequence of events to implements plan of care to
patient and expect before and address those needs)
family: immediately after
knowledge surgery Screens for substances abuse
(A.510.5)
 The patient states
realistic expectations  Monitors vital sign
regarding recovery Assesses coping mechanism

141
from procedure (A.510.6)
 The patient and
 Review patient’s coping
family members
pattern and its effectiveness
identify signs and
 Ask patient to describe
symptoms to report to
current methods of dealing
the surgeon or health
with stress
care provider
 Encourages patient to
express feelings
 Determines the most
effective methods of
communication and support
 Evaluates availability and
effectiveness of support
system
Identifies patient and
designated support person’s
educational needs (A.530)
(Identifies educational needs
relative to the patient’s
procedure, perioperative care
requirements and psychosocial
status)
Implements measures to
provide psychological
support (Im.510)
 Assesses for signs and
symptoms of anxiety or
fear (eg, preoperative
insomnia, muscle
tenseness, tremors,
irritability, change in
a[petite, restlessness,
diaphoresis, tachypnea,
tachycardia, elevated blood
pressure, facial pallor or
flushing, withdrawn

142
behavior)
 Provide information and
answer questions honestly
 Provides an atmosphere of
care and concern (eg,
privacy nonjudgmental
approach, empathy,
respect)
 Offers alternative methods
to minimize anxiety (eg,
music, humor)
 Explain purpose of
preoperative preparations
before implementation
Includes patient or designate
support persons in
perioperative teaching (Im.
700)
(Identifies patient and
designated support person’s
knowledge and provides
education and support)
Explains expected sequence
of events (Im. 700.2)
(Describes routines and
protocols related to
perioperativa care)
Evaluates psychosocial
response to plan of care
(E.520)
 Evaluates effectiveness of
support system
 Verifies patient’s ability to
understand information
 Provides necessary time to
process information

143
 Review nursing care plan
with patient and family
members
2. Acute pain O330 : Patient Assesses pain control (A.360)
X38-00132 demonstrates and/or (Uses validated spain scale to
reports adequate pain assess pain control)
Domain 2
control
Physiologic  Review patient assessment
response  The patient for type of pain being
cooperates by lying treated and medical
quietly during condition
intraoperative  Review current treatment
procedure utilizing protocol
block local  Requests patien verbalize
anesthesia. effectiveness of treatment
 The patient’s vital with recognized assessment
signs at discharge tool (eg, numerical scale,
from the OR are face scale)
equal to or improved  Offers information to
from preoperative patient and family
values. members about pai , pain
 The patient relief measures, rating
verbalizes control of scales, and other
pain. assessment data to report
 Monitor patient for
congruence of verbal and
nonverbal cues.
Implements pain guidelines
(Im.310)
 Review patient assessment
for type of pain being
treated, medical condition,
and health status
 Review facility pain
guidelines
 Documents patient’s
current stated pain level

144
 Positions for comfort
unless contraindicated
 Determines whether
regimen meets patient’s
identified need
 Monitors relationship of
patient progress to pain
control
 Monitors pain guideline
effectiveness
Implements alternative
methods of pain control (Im.
310.1)
 Ask patient to verbalize
effectiveness of treatment
regimen
 Review non medication
pain treatments (eg, cold
therapy, heat therapy,
music distraction,
relaxation therapy, physical
rehabilitation,
visualization, pacing,
transcutaneous electrical
nerve stimulation
 Identifies patient’s coping
style and cultural
influences regarding pain
management
 Includes family members
and significant other in
educational process
 Monitor progress in
management of patient’s
pain
 Evaluates patient’s

145
responses.
Evaluates responses to pain
management interventions
(E.250)
 Identifies and documents
how the patient expresses
pain (eg, facial expression,
irritability, restlessness,
verbalization)
 Evaluates the nature of the
pain and any changes in
pain level after pain
management interventions
3. Impaired 0.250 : Musculoskeletal Identifies baselines
physical status musculoskeletal status
mobility (A.280)
 The patient’s has full
X34-00085
return of movemet of  Assesses sensory
Domain 1 extremities at time of limination such as tingling,
Safety discharge fro the OR numbness, or pain
 The patient has full  Identifies the use of
return of movement assistive mobility devive,
of extremities at time such as (wheelchair,
of discharge from the walker, crutches, cane or
OR. prosthesis, including type.
 The patient has full  Assesses mobility
return of movement limitations
of extremities at time Identifies baseline
of discharge from the musculoskeletal status
OR. (A.280)
 The patient is free  Assesses functional status
from pain or of the musculature and
numbness associated skeletal system regard to
with surgical range of motion, mobility,
positioning deformity, and strength.
0.80 : positioning injury  Identifies history of falls
 Neuromuscular and determines fall risk

146
status: flexes and  Assesses fundctional while
extends extremities patient is awake and
without assistance, responsive such as bone
denies numbness or fracture, gait, mobilitas,
tingling of muscle strength, paralysis,
extremities range of motion.
 The patient has full Positions the patient (Im.40)
return of movement
 Position patient on
of extremities at time
strercher while side rails up
of discharge from the
and wheels locked
OR.
 Modifies bed
 The patient is free
 Adapts positioning plan to
from pain or
accommodate patient’s
numbness associated
limitations
with surgical
 Maintans patient’s bpdy
positioning
alignment
 Maintans proper alignment
of leg (eg, uncrossed)
 Applies safety devices
Evaluates musculoskeletal
(E.290)
 Evaluates functional
liminations
 Evaluates mobility
impairments
 Evaluates range of motion
 Examines patient to
assesses neuromuscular
impairments
 Identifies changes in
extermities (eg, pulses, skin
color, temperature, turgor,
capillary refill, SaO2, as
appropriate.
4. Deficient O550: Patient or Assesses baselines
Knowledge designed support neurological status (A.250)

147
X30-00126 person demonstrates (Collect data to evaluate
knowledge of the patient’s current neurological
Domain 3A
expected responses to status)
Behavioral
the operative or
responses - Identifies barriers to
invasive procedure
patient and communication (A.520)
 The patient
family: (Assesses factors that could
verbalizes the
knowledge affect ability to communicate,
sequence of events comprebend, and demonsrate
to expect before and understanding of new
immediately after information)
surgery
Elicits perceptions of surgery
 The patient states
(A.510.3)
realistic expectations
regarding recovery  Verifies surgical procedure
from procedure  Encourages patient to
 The patient and verbalize understanding of
family members procedure
identify signs and  Observes behavior for
symptoms to report nonverbal cues
to the surgeon or  Encourages patient to
health care provider verbalize possible
outcomes of surgery
 Encourages patient’s
expression of fear or
anxiety related to surgery
and the outcomes of
surgery
 Evalutes patient’s
responses
Determines knowledge level
(A.530.1)
 Verifies understanding of
procedure and
perioperative events
 Evaluates patient’s
responses to identify level

148
of knowledge and
understanding
Implements measures to
provide psychological
support (Im.510)
 Assesses for signs and
symptoms of anxiety or
fear (eg, preoperative
insomnia, muscle
tenseness, tremors,
irritability, change in
appetite, restlessness,
diaphoresis, tachypnea,
tachycardia, elevated blood
pressure, facial pallor or
flushing, withdrawn
behavior)
 Orient patient to
environment and care
routine s and practices
 Provide information and
answer questions honestly
 Provides an atmosphere of
care and concern (eg,
privacy nonjudgmental
approach, empathy,
respect)
 Reinforces phycisian’s
explanations and clarifies
any misconception
 Explain purpose of
preoperative preparations
before implementation
 Encourages patient
participantion in decision
making and planning

149
postoperative care
Includes patient or designate
support persons in
perioperative teaching (Im.
700)
(Identifies patient and
designated support person’s
knowledge and provides
education and support)
Explains expected sequence
of events (Im. 700.2)
(Describes routines and
protocols related to
perioperativa care)
Evaluates response to
instructions (E.550)
(Evaluates patient’s and family
member’s understanding of
instructions regarding
perioperative experience and
ongoing care)

150
C. Intra-operatif Care
Fase intra operasi yaitu:
1. Identifikasi klien kembali
2. Validasi data yang di butuhkan klien
3. Memasang infus (IV), memberikan medikasi intravena
4. Melakukan pemantauan fisiologis menyeluruh sepanjang prosedur
pembedahan
5. Menjaga keselamatan pasien, mengkaji tingkat kesadaran klien
6. Menelaah ulang lembar observasi pasien (rekam medis) (Naufal, 2015).
Adapun diagnosa keperawatan intra operasi yang mungkin dijumpai
pada klien fraktur adalah sebagai berikut :
1. Hipotermia
2. Risiko defisit volume cairan (balance cairan, obsevasri tanda syok, urin
output, menghitung dll)
3. Resiko cedera
Asuhan Keperawatan Intra Op :
No Nursing Diagnosis Nursing Outcome Nursing Interventions
and Activities
1. Hypothermia O. 290 : The patient’s Assesses risk for
core body inadvertent hypothermia
X26-00006
temperature is within (A.200.1)
expected or
Identifies patients at high
therapeutic range
Domain 2 risk for inadvertent
Physiologic  The patient’s hypothermia to include but
response temperature is no limited to patient’s:
temperature is  With preoperative
greater than 36° C baseline temperature
(96,8° F) at time of less than or equal to
discharge from the
36° C (96,8° F)
operating or
 In a cold surgical
procedure room
environment
 The patient’s

151
temperature is  With high body
intentionally surface/kg and low
maintained at 33° C subcutaneous brown
(91, 4° F) to lower fat for insulation
cell metabolism increases rate of heat
loss (eg, infants,
neonates, toddlers)
 With metabolic
disorders
Implements
thermoregulation
measures (Im. 280)
 Select temperature
monitoring and
regulation devices
based on identified
patient needs
 Operates temperature
monitoring and
regulation devices
according to
manufacturers written
instruction
Monitors physiological
paarmeters (Im. 370)
 Monitor vital sign (eg,
blood pressure, heart
monitor or EGC rate
and rhythm,
respiratory rate,
temperature
 Monitor patient for
changes in skin
integrity (eg,
peripheral pulses, skin
color, temperature,

152
turgor, capillary refill,
as appropriate)
Evaluates response to
thermoregulation
measures (E.260)
 Assesses and
documents patient’s
body temperature at
frequent intervals
 Interprets and
communicates patient
temperature data to
appropriate members
of health care team for
further evaluation and
action as appropriate
 Report patient’s
temperature to PACU
nurses for
determination of
appropriate
postoperative
treatment methods
2. Risk for deficient O300 : Patient’s fluid, Identifies factors
fluid volume electrolyte, and acid- associated with an
base balances are increased risk for
X18-00028
maintained at or hemorrhage or fluid and
improved from electrolyte imbalance
baseline levels (A.310)
Domain 2
 The patient’s vital  Establishes and
Physiologic
signs and within verified nursing
response
expected range at  Assesses vital sign
discharge from the  Assesses patient
OR, procedure condition related to
room, or post traumatic injury or
anesthesia care unit abnormal bleeding

153
(PACU)  Confers with physician
 The patient’s blood or anesthesia care
pressure and pulse provider if unusual
are within expected assessment data or
range and remain signs and symptoms of
stable with position fluid, electrolyte, or
change at time of acid-base imbalances
transfer to PACU are noted
and discharge from  Identifies and verifies
PACU availability of blood or
 The patient’s plasma replacement
urinary output is Identifies physiological
within expected status (A.210)
range at discharge
 Evaluates buccal
from the OR,
membranes, sclera and
procedure room, or
skin (eg, dryness,
PACU.
cyanosis, jaundice)
Implements hemostasis
technique (Im.340)
 Provides supplies,
instrumentation, and
appropriate surgical
techniques as needed
to control hemorrhage
Monitors physiological
parameters (Im.370)
 Monitors physiological
parameters including
intake and output,
arterial blood gases,
electrolyte levels,
hemodynamic status,
and arterial oxygen
concentration (SaO2)
 Monitors vital signs

154
 Monitors for signs
hypovolemia and
hypervolemia
 Monitors fluid loss (eg,
bleeding, diarrhea,
perspiration, urine
output, vomiting)
 Estimates blood and
fluid loss
 Monitors wound
drainage
Establishes IV access
(Im.200.1)
 Establishes and
maintains peripheral
IV access to administer
IV fluids, medications,
and blood products per
physician order
Collaborates in fluid and
electrolyte management
(Im.210.1)
 Verifies procedure and
anticipates and
recognizes fluid loss
 Anticipates
replacement
requirements for large
volume, fluid loss
procedures
 Administers or
prepares for
administration of fluid
therapy
 Monitors intake and
output

155
 Evaluates patient’s
response to fluid
management
Evaluates response to
administration of fluids
and electrolyte (E.220)
 Monitors intake and
output, arterial blood
gases, electrolyte
levels, hemodynamic
statuses, and SaO2)
 Estimates blood and
fluid loss
 Monitors for signs and
symptoms of fluid
volume excess or
deficit
 Monitors patient’s
response to prescribed
fluid and electrolyte
therapy
2. Risk for injury O. 10 : Patient is free Identifies physiological
from signs and status (A.210)
X29-00035
symptoms of injury
 Evaluates buccal
Domain 1 Safety related to thermal
sources membranes, sclera, and
skin (eg, dryness,
 Patient’s skin cyanosis, jaundice)
condition, other Report deviation in
than the surgical diagnostic study result
incision, is (A.340)
unchanged between
 Communicates
admission and
physiological health
discharge from the
status (eg, verbal
OR or procedure
reports, patient record)
room
to appropriate team
 Patient reports

156
comfort at the members
thermoregulation  Collaborates with other
device site health care providers
 Patient’s regarding diagnostic
neuromuscular study results or
status is unchanged assessment findings
between admission Assesses baseline skin
and discharge from condition (A.240)
the OR or procedure
 Evaluates presences of
room
peripheral pulses,
solicits patient’s
perception of pain, and
identifies mobility
impairments while
patient is awake
 Assesses patient’s skin
condition
 Assesses patient’s risk
for skin injury related
to thermal sources
 Assesses skin for
injury from invasive
devices (eg, tubes,
drains, indwelling
catheters, cables)
 Identifies the nursing
diagnoses that describe
the patient’s degree of
risk for skin injury
related to thermal
hazards.
Applies safety devices
(Im.80)
 Examines the surgical
environment for
equipment or

157
conditions that pose a
safety risk and takes
corrective action
 Selects safety devices
based on the patient’s
needs and the planned
operative or invasive
procedure
 Applies safety devices
on the patient
according to the plan
of care, applicable
practice guidelines,
facility policies, and
manufacturers
documented
instructions.
 Ensures that safety
devices are readily
available, clean, free of
sharp edges, padded as
appropriate, and in
working order before
use
Monitor psychological
parameters (Im. 370)
 Monitor vital sign (eg,
blood pressure, heart
monitor or EGC rate
and rhythm,
respiratory rate,
temperature
 Monitor patient for
changes in skin
integrity (eg,
peripheral pulses, skin

158
color, temperature,
turgor, capillary refill,
as appropriate)
Evaluates for signs and
symptoms of physical
injury to skin and tissue
(E.10)
 Inspects and evaluates
the patient’s skin, bony
prominences, pressure
sites, prepped area, and
adjacent tissue for
signs of irrigation or
injury (eg,
discoloration, rash,
abrasions, blisters,
raised areas)
 Solicits for complaints
of pain or discomfort
in areas other than the
surgical incision
 Solicits for complaints
of numbness or
tingling (eg,
thermoregulation
device site, site of
positioning aids)
 Reports unexpected
variance to appropriate
members of the health
care team.

159
D. Post Op Care
Fase post operasi yaitu dimana pasien secara cermat di pantau di Post
Anastesi Care Unit (PACU) sampai pasien pulih dari anastesi dan bersih
secara medis untuk meninggalkan unit, pemantauan spesifik termasuk dasar
kehidupan yaitu: Airway (jalan nafas), breathing (pernafasan), dan circulation
(sirkulasi), tindakan di lakukan sebagai upaya mencegah komplikasi pasca
operasi.
1. Memindahkan klien ke PACU
2. Mengkaji efek dari agen anastesi
3. Memantau fungsi vital serta mencegah komplikasi
4. Menyerahkan klien ke unit keperawatan
5. Aktivitas keperawatan berfokus pada tingkat penyembuhan pasien dan
melakukan penyuluhan, dan tindak lanjut serta rujukan penting untuk
penyembuhan yang berhasil dan rehabilitasi diikuti oleh pemulangan
(Naufal, 2015).
Adapun diagnosa keperawatan post operasi yang mungkin dijumpai
pada klien fraktur adalah sebagai berikut :
1. Nyeri akut
2. Kerusakan integritas kulit
3. Risiko Jatuh
Asuhan Keperawatan Post Op :
No Nursing Nursing Outcome Nursing Interventions and
Diagnosis Activities
1. Acute pain O330 : Patient Assesses pain control (A.360)
X38-00132 demonstrates and/or
(Uses validated spain scale to
reports adequate pain
Domain 2 assess pain control)
control
Physiologic
 Reviews patient assessment
response  The patient
for type of pain being
cooperates by lying
treated and medical
quietly during
conditions

160
intraoperative  Reviews potential
procedure utilizing interactions of pain
block local medications with other
anesthesia. medications or food
 The patient’s vital equests patient verbalize
signs at discharge effectiveness of treatment
from the OR are with recognized assessment
equal to or tool (eg.numerical scale,
improved from face scale)
preoperative values.  Request verbalization of
 The patient patient’s expectation of
verbalizes control of acceptable pain score
pain.  Offers information to
patient and family
members about pain , pain
relief measures, rating
scales, and other
assessment data to report
 Monitor patient for
congruence of verbal and
nonverbal cues.
Implements pain guidelines
(Im.310)
 Review patient assessment
for type of pain being
treated, medical condition,
and health status
 Review facility pain
guidelines
 Documents patient’s
current stated pain level
 Positions for comfort
unless contraindicated
 Determines whether
regimen meets patient’s
identified need

161
 Monitors relationship of
patient progress to pain
control
 Monitors pain guideline
effectiveness
Impements alternative
methods of pain control
(Im.310.1
(Uses therapeutic touch,
meditation, breathing and
positiong to augment pain
control methods)
 Reviews non medication
pain treatments (eg. Musio
distraction, relaxation
therapy)
 Offers information abou
methods that will assist in
pain control.
Evaluates respons to pain
manangement intervention
(E.250)
 Assesses patient’s
responses to pain
management interventions
including physiological
parameters and subjective
and objective findings.
 Identifies and documents
how the patient expresses
pain (eg, facial expression,
irritability, restlessness,
verbalization)
 Evaluates the nature of the
pain and any changes in
pain level after pain

162
management interventions
2. Impaired skin 0.300 Fluid, Identifies factor associated
integrity X50- Electrolyte And Acid- with an increased risk pf
00046 Base Balance hemorage or fluid and
clectrolyte (A.310)
Domain 2  The patien vital sign
Physiologic are within expected  Establishes and verifies
response range at discharge nursing assessment
from the OR,  Assesses vital signs
procedure room or  Assesses patient condition
postanesthesia care related to traumatic injury
unit (PACU) or abnormal bleeding
 The patient’s blood  Identifies patients risk for
pressure and pulse hemorage of hypovolemia
are within expected in relation to operative
range and remain procedure
stable with position Identifies physiological status
change at time (A.210)
transpfer to PACU  Assesses diagnostic study
and discharge from results including, but not
PACU limited to: cardiac,
 The patient urinary gastrointestinal,
output is within genitourinary, laboratory,
expected range at nuclear, pathology,
discharge from the radiology.
OR, procedure  Evaluates buccal
room or membranes, sclera, and
postanesthesia care skin 9E, drynesss, cyanosis,
unit (PACU) jaundince)
 Assesses temperature
Collaborates in fluid and
electrolyte manangement
(Im.210.1)
 Verifies prcdure and
anticipates and recognizes
fluid loss
 Validates variances form

163
norm (eg, edema, ascites,
adventitious breath sounds)
and reports to appropriate
members of health care
team.
 Maintains ptent IV acces
 Monitors hydration status
as appropriate
Evaluates response to
administration of fluids and
electrolytes
 Monitor intake and output,
arterial blodd gases
electrolyte levels,
hemodynamic status and
SaO2.
 Estimates blood and fluid
loss
 Monitor for signs and
symptoms of fluids volume
excess or deficit
 Monitor for signs and
symptoms of electrolyte
imbalance
 Monitor patient’s response
to prescribed fluid and
electrolyte therapy
Evaluates tissue perfusion
(E.270)
 Examines patient to
assesses peripheral pulses
and/ or
neuromuscularimpairments
3. Risk for falls O. 120 : Patient is Transposts according to
free from signs and individual needs (Im.30)
X69-00155
symptoms of injury
 Identifies parients correctly

164
Domai 1 Safety related to  Explains what patient can
transfer/transport expect prior to intiating
transfer/transport
 The patient reports
being comfortable  Assesses mobility
when reclined on impairments
the transport  Adapts plan of care to
equipment/device address mobility
 The patient is free impaiements
signs and symptoms  Performs or directs patient
of injury relate to transfer
transfer/transport on  Positions patient to
discharge from the maintain respiration and
OR or procedure circulation
room  Maintains body alignment
during transfer
 Applies safery devices
 Plans for special needs
during transport and
transfer

165
WEB OF CAUTION (WOC) FRAKTUR

166
167
DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Orthopaedic Surgeons. (2012). The Following are the


Requirements for Internal Fixation. Guidelines Internal Fixation Under
MSF settings.

AORN. (2011). Perioperatif Nursing Data Set : The Perioperatif Nursing


Vacobulary (3rd ed.). USA: AORN,Inc.

Apley, G., & Solomon, L. (2013). Buku Ajar Orthopedi dan Fraktur Sistem Apley.
Jakarta: Widya Medika.

Black, J. M., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen


klinis untuk hasil yang diharapkan. (A. Suslia, F. Ganiajri, P. P. Lestari, R.
W. A. Sari, & S. Kurnianingsih, Eds.) (8th ed.). Singapura: Elsevier.

Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2013).


Nursing Interventions Classification (6th ed.). Elsevier.

Brunner and Suddarth.2003. Keperawatan Medical Bedah . Jakarta : EGC

Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2018). NANDA-I Diagnosis Keperawatan


Definisi dan Klasifikasi 2018-2019. Jakarta: EGC.

Kowalak, J. P., Welsh, W., & Mayer, B. (2017). Buku ajar patofisiologi (EGC).
Jakarta.

Maratha, G. R., Maliawan, S., & Kawiyana, K. S. (2013). Management Of


Fracture Of Musculosceletal trauma. E-Jurnal Medika Udayana, 2, Nomor
3, 1-13.

Marrelli, T.M. 2007. Buku saku Dokemtasi Keperawatan. Jakarta : EGC

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2013). Nursing
Outcomes Classification (5th ed.). Elsevier.

Naufal, I. (2015). Askep Klien Perioperatif. Retrieved from scribd.com:


https://www.scribd.com/doc/46509863/askepklienperioperatif

Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan


Diagnosa Medis dan Nanda NIC NOC. In 2. Yogyakarta: Mediaction.

Sagaran, V. C., Manjas, M., & Rasyid, R. (2017). Distribusi Fraktur Femur Yang
Dirawat Di Rumah Sakit Dr. M. Djamil, Padang (2010-2012). Jurnal
Kesehatan Andalas, 6(3), 586–589. Retrieved from
http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/download/742/598

Sherwood, L. (2014). Fisiologi manusia dari sel ke sistem (8th ed.). Jakarta: EGC.

168
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2015). Buku ajar keperawatan medikal-bedah (8th
ed.). Jakarta: EGC.

Petersen, Carol.(2011). Perioperative nursing data set, the perioperative nursing


vocabulary 3rd edition. USA. Association of periOperative Registered
Nurses (AORN)

Potter, P.A, Perry, A.G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep,
Proses, dan Praktik.Edisi 4.Volume 2.Alih Bahasa : Renata
Komalasari,dkk.Jakarta:EGC.

169
ASKEP PERIOPERATIF
UROLITHIASIS
DENGAN TINDAKAN INSERSI DJ STENT
DAN ELEKTRO KINETIK LITOTRIPSI

Kelompok 3

Riventi Pali’ Kamoda (R014192015)


Flavia Enykustia (R01419034)
Nurul Sakinah Fathiasari (R014191021)

PRESEPTOR INSTITUSI

(Moh. Syafar Sangkala, S.Kep.,Ns., MANP)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021

170
BAB I
KONSEP MEDIS
A. Definisi
Batu saluran kemih (BSK) atau Urolithiasis adalah suatu kondisi
dimana dalam saluran kemih individu terbentuk batu berupa kristal yang
mengendap dari urin. Urolithiasis adalah pembentukan batu (kalkuli) di
saluran kemih, paling sering terbentuk di pelvis atau kaliks. Batu tersebut
bisa terbentuk dari berbagai senyawa, misalnya kalsium oksalat (60%),
fosfat (30%), asam urat (5%) dan sistin (1%)/ Batu dengan ukuran lebih
kecil yang mungkin terbentuk,bisa lewat di sepanjang saluran kemih, dan
bisa dikeluarkan selama berkemih (mikturisi), menyebabkan beberapa atau
bahkan tidak ada gejala, tetapi batu dengan ukuran yang lebih besar akan
menimbulkan gejala klinis ketika telah menyumbat saluran kemih atau
telah mengandung patogen-patogen yang menimbulkan infeksi yang
menetap meskipun telah diberi terapi antimikroba (Brunner & Suddarth,
2013).
Terbentuknya batu pada saluran kemih disebabkan karena adanya
deposit dari mineral karena saluran kemih tidak dapat melakukan
pengeluaran urin dengan baik. Batu saluran kemih terbuat dari garam dan
mineral dalam urine yang menempel satu sama lain dan membentuk batu.
Kebanyakan batunya berupa krikil kecil dan biasanya tidak menimbulkan
rasa sakit ketika tetap berada di ginjal. Namun jika ukuran batunya lebih
besar, hal ini bisa menyebabkan nyeri dan bahkan menghalangi aliran
urine ketika batu bergerak melalui saluran yang sempit, yaitu saluran
kemih (ureter).
B. Etiologi
Pembentukan batu saluran kemih (BSK) di pengaruhi oleh faktor
intrinsik (usia, riwayat keluarga menderita batu saluran kemih dan jenis
kelamin) dan ekstrinsik (geografi, iklim dan temperatur, intake cairan, diet,
pekerjaan, stres, kegemukan (obesitas), kebiasaan menahan buang air
kemih) (Silalahi, 2020).

171
Faktor intrinsik, meliputi:
1. Usia: usia lansia awal – manula berpeluang untuk menderita batu
saluran kemih sebesar 81 kali dibandingkan dewasa awal - dewasa
akhir, hal ini terjadi karena proses metabolisme yang sudah mulai
menurun.
2. Herediter; diduga dapat diturunkan dari generasi ke generasi.
3. Jenis kelamin; kelompok laki -laki berpeluang untuk menderita batu
saluran kemih sebesar 27 kali dibandingkan kelompok perempuan. Hal
ini dipengaruhi oleh serum testosteron akan menghasilkan peningkatan
produksi oksalat endogen oleh hati, rendahnya serum testosteron pada
perempuan dan anak-anak menyebabkan rendahnya kejadan batu
saluran kemih pada perempuan dan anak-anak, serta gaya hidup yang
kurang baik pada laki-laki
Faktor ekstrinsik meliputi:
1. Intake cairan; kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral
kalsium dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih. Intake cairan
< 1500 ml berpeluang untuk menderita batu saluran kemih sebesar 81
kali dibandingkan kelompok > 1500 ml. Hal ini di dukung oleh teori
bahwa pembentukan batu dipengaruhi oleh faktor hidrasi (air yang
masuk dalam tubuh). Pada orang dengan dehidrasi (kekurangan cairan
tubuh) kronik dan asupan cairan kurang memiliki risiko tinggi terkena
batu saluran kemih
2. Lama duduk: Lama duduk lebih dari 4 jam/hari berpeluang untuk
menderita batu saluran kemih sebesar 27 kali dibandingkan kelompok
yang lama duduk kurang dari 4 jam/hari. Hal ini disebabkan karena
jika terlalu lama duduk orang akan mengalami pelepasan kalsium
tulang ke darah, yang akan mengakibatkan memacu timbulnya
hiperkalsemia batu dikarenakan adanya proses supersaturasi bahan
pembentukan batu di dalam tubulus renalis yang akan merubah zona
stabil saturasi rendah menjadi zona saturasi tinggi.

172
3. Obesitas : Obesitas berpeluang untuk menderita batu saluran kemih
sebesar 81 kali dibandingkan kelompok tidak obesitas. Hal ini
disebabkan pada orang yang gemuk pH air kemih turun, kadar asam
urat, oksalat dan kalsium naik.
4. Diet; diet tinggi purin, oksalat dan kalsium mempermudah terjadinya
batu saluran kemih. Jika terjadi peningkatan asupan purin maka akan
terjadi penumpukan kristal urat. Peningkatan kadar asam urat dapat
menyebabkan terjadinya urolithiasis yang awalnya berasal dari
penumpukan Kristal (Di et al., 2018).
C. Manifestasi Klinis
Jika batunya kecil, maka batu bisa keluar bersamaan dengan urine.
Gejala baru akan muncul jika batu berukuran lebih besar. Gejala yang
umum dari batu saluran kemih adalah:
1. Nyeri berat di samping dan belakang, di bawah tulang rusuk
2. Nyeri yang menjalar ke perut bawah dan pangkal paha
3. Nyeri yang datang dalam gelombang dan berfluktuasi dalam intensitas
4. Nyeri saat buang air kecil
5. Urine yang berwarna merah muda, merah, atau cokelat
6. Urine keruh atau berbau tidak sedap
7. Mual dan muntah
8. Buang air kecil lebih sering daripada biasanya
9. Demam
10. Buang air kecil dalam jumlah sedikit
D. Jenis-Jenis Batu Saluran Kemih
Komposisi batu saluran kemih pada umumnya mengandung kalsium
oksalat monohidrat dan dihidrat, asam urat, ammonium, fosfat, sistin,
xantin, dan 2,8-dihidroxyadenin. Kandungan beberapa senyawa ini bisa
mengindikasikan adanya pembentukan batu jika ditemukan
peningkatannnya. Kemudian, jenis-jenis batu yang sering ditemukan pada
pasien batu saluran kemih terbagi secara umum atas 4 jenis yaitu, batu
kalsium (kalsium oksalat (monohidrat atau dihidrat), kalsium fosfat

173
(brushite atau apatit), batu asam urat, batu struvit dan batu sistin Fauzi &
Putra (2016).
4. Batu Kalsium
Kalsium adalah zat yang paling umum dan ditemukan pada 90%
batu. Batu kalsium biasanya terbentuk dari kalsium fosfat atau kalsium
oksalat. Ukurannya bervariasi dati partikel yang sangat kecil
(pasir/kerikil), hingga yang besar seperti batu staghorn yang dapat
memenuhi seluruh pelvis ginjal dan meluas hingga kaliks.
Hiperkalsiuri (peningkatan zart terlarut berupa kalsium dalam urine)
disebabkan oleh empat komponen utama:
e. Peningkatan reabsorpsi tulang yang membebaskan kalsium, seperti
padaB penyakit Paget, hiperparatiroidisme, penyakit Cushing,
osteolisis yang disebabkan keganasan dari payudara, paru-paru,
dan prostat.
f. Penyerapan kalsium dalam jumlah besar, seperti pada pasien
sarkoisdosis dan konsumsi vitamin D berlebihan.
g. Terganggunya penyerapan kalsium yang tersaring pada tubular
renal, seperti pada kondisi asidosis tubular renal.
h. Kelainan structural, seperti pada “ginjal spon/spone ginjal”.
5. Batu Asam Urat
Batu asam urat disebabkan oleh meningkatnya eksresi urat, deplesi
cairan, dan pH urine yang rendah. Hiperurisuria adalah hasil dari
peningkatan pembentukan asam urat atau pemasukan zat-zat uricosuric
sulfinpirazon, thiazid, dan salisilat. Biasanya diderita pada pasien-
pasien penyakit gout, pasien yang mendapatkan terapi anti kanker
dengan zat yang menyebabkan destruksi sel-sel secara cepat dapat
meningkatkan konsentrasi asam urat di urine., dan yang banyak
menggunakan obat urikosurik seperti sulfinpirazon, thiazid, dan
salisilat.
6. Batu Struvit

174
Batu struvit (triple fosfat), terbentuk dari karbon apatit dan
magnesium amonium fosfat. Penyebabnya adalah bakteri jenis tertentu,
umumnya proteus yang mengandung enxim preotease. Enzim ini
membelah urea menjadi dua molekul ammonia, yang meningkatkan
pH urine. Fosfat mengendap di urine yang basa. Batu struvit sulit
dihilangkan karena batu yang keras terbentuk di sekeliling inti sel
bakteri sehingga melindungi batu tersebut dari terapi antibiotic
7. Batu sistin, sering muncul pada masa kanak-kanak dan remaja, jarang
terjadi pada orang dewasa. Sistinuria adalah akibat dari kesalahan
metabolic kongenital yang diwariskan sebagai kelainan autosomal
resesif.
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Noegroho et al., (2018) pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan pada pasien dengan batu saluran kemih antara lain pemeriksaan
laboratorium dan pencitraan.
3. Pemeriksaan Radiologi
Diagnosis klinis sebaiknya dilakukan dengan pencitraan yang tepat
untuk membedakan yang dicurigai batu ginjal atau batu ureter.
Evaluasi pada pa-sien termasuk anamnesis dan riwayat medis lengkap
serta pemeriksaan fisik. Pasien dengan batu ureter biasanya mengeluh
adanya nyeri, muntah, kadang demam, namun dapat pula tidak
memiliki gejala.3 Pencitraan rutin antara lain, foto polos abdomen
(kidney-ureter-bladder/KUB radiography). Pemeriksaan foto polos
dapat membedakan batu radiolusen dan radioopak serta berguna untuk
membandingkan saat follow-up.
c. USG, merupakan pencitraan yang awal dilakukan dengan alasan
aman, mudah diulang, dan terjangkau. USG juga dapat
mengidentifikasi batu yang berada di kaliks, pelvis, dan UPJ.
d. Pemeriksaan CT- Scan non kontras sebaiknya digunakan mengikuti
pemerik-saan USG pada pasien dengan nyeri punggung bawah akut
karena lebih akurat dibandingkan IVP. CT-Scan non kontras

175
menjadi standar diagnostik pada nyeri pinggang akut. CT-Scan non
kontras dapat menentukan ukuran dan densitas batu. CT-Scan dapat
mendeteksi batu asam urat dan xantin.
e. Pemeriksaan urografi intravena (IVP), IVP dapat dipakai sebagai
pe-meriksaan diagnostik apabila CT-Scan non kontras tidak
memungkinkan.
f. MRI, Pada wanita hamil, paparan radiasi dapat menyebabkan efek
teratogenik dan karsinogenesis. USG menjadi modalitas pencitraan
utama pada pasien hamil dengan kecurigaan adanya kolik renal.
Namun, perubahan fisiologis pada wa- nita hamil dapat menyerupai
gejala obstruksi ureter. MRI dapat digunakan se-bagai modalitas lini
kedua untuk menilai adanya obstruksi saluran kemih dan dapat
melihat batu sebagai ‘filling defect’. MRI 1,5 T merupakan
pemeriksaan yang direkomendasikan pada wanita hamil.
Penggunaan gadolinium tidak rutin digunakan pada wanita hamil
karena memiliki efek toksik pada janin. Untuk deteksi BSK selama
kehamilan, penggunaan CT-Scan dosis rendah memiliki nilai
prediksi positif 95,8% dibandingkan MRI (80%) dan USG (77%).
Penggunaan CT-Scan direkomendasikan pada wanita hamil sebagai
pilihan modalitas terakhir (Noegroho et al., 2018).
4. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium sederhana dilakukan untuk semua
pasien batu saluran kemih. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan
adalah pemeriksaan darah dan urinalisa.
c. Pemeriksaan darah, pemeriksaan darah berupa hemoglobin,
hematokrit, leukosit, trombosit, dan hitung jenis darah, apabila
pasien akan direncanakan untuk diintervensi, maka perlu
dilakukan pemeriksaan darah berupa, ureum, kreatinin, uji
koagulasi (activated partial thromboplastin time/aPTT,
international normalised ratio/INR), natrium, dan kalium. Bila

176
diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan kalsium dan atau C-
reactive protein (CRP).
d. Pemeriksaan urine rutin, pemeriksaan ini digunakan untuk melihat
eritrosuria, leukosuria, bak-teriuria, nitrit, pH urine, dan atau
kultur urine. Hanya pasien dengan risiko tinggi terjadinya
kekambuhan, maka perlu dilakukan analisis spesifik lebih lanjut.
Analisis komposisi batu sebaiknya dilakukan apabila didapatkan
sampel batu pada pasien BSK. Pemeriksaan analisis batu yang
dianjurkan menggunakan sinar X terdifraksi atau spektroskopi
inframerah. Selain pemeriksaan di atas, dapat juga dilakukan
pemeriksaan lainnya yaitu kadar hormon PTH dan kadar vitamin
D, bila dicurigai hiperparatiroid primer
F. Penatalaksanaan
Pengobatan batu yang mengakibatkan obstruksi saluran kemih akut
meliputi: hidrasi, manajemen rasa sakit, dan mungkin penambahan terapi
alpha-blocker dengan atau tanpa prosedur yang lebih invasif, seperti
extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL), percutaneous
nephrolithotripsy(PCNL), dan ureteroscopy. Batu asam urat diobati bukan
dengan intervensi melainkan dengan terapi obat penghancur berupa
alkalinisasi urin, peningkatan asupan cairan dan xanthine oxidase
inhibitor.4 Oleh karena itu, komposisi batu ginjal merupakan faktor kunci
dalam evaluasi pra operasi, pengobatan, dan pencegahan urolithiasis
berulang (Kambadakone, Eisner, Catalano, & Sahani, 2010).
Apabila batu ginjal tidak dapat diobati dengan langkah-langkah di
atas karena batu terlalu besar untuk keluar sendiri lewat urine,
menyebabkan perdarahan, kerusakan ginjal atau infeksi saluran kemih
yang berkelanjutan, berikut beberapa prosedur yang mungkin dilakukan:
1. ESWL menggunakan gelombang suara untuk menciptakan getaran kuat
(gelombang kejut) yang memecah batu menjadi potongan-potongan
kecil agar bisa dikeluarkan lewat urine. Prosedur ini berlangsung
selama sekitar 45 – 60 menit dan dapat menyebabkan nyeri intensitas

177
sedang. Pasien akan mendapatkan anestesi ringan untuk membuat
pasien merasa nyaman.

2. Operasi pengangangkatan batu ginjal, prosedur yang disebut


percutaneous nephrolithotomy melibatkan pengangkatan batu ginjal
secara bedah menggunakan teleskop kecil dan perangkat yang
dimasukkan melalui sayatan kecil di punggung. Pasien akan menerima
anestesi general selama operasi. Setelah itu pasien harus menjalani
perawatan di rumah sakit selama satu hingga dua hari hingga pasien
pulih. Dokter dapat menganjurkan operasi ini jika ESWL tidak berhasil.

3. Ureteroskopi yaitu mengangkat batu yang lebih kecil di saluran kemih


atau ginjal, dokter akan memasukkan selang tipis berlampu
(uretoscope) yang dilengkapi dengan kamera melalui uretra dan
kandung kemih ke ureter pasien. Setelah batu terlacak, batu tersebut

178
dijerat dan dipecah menjadi potongan-potongan yang akan dikeluarkan
melalui urine. Kemudian, dokter memasukkan selang kecil (stent) di
ureter untuk meredakan pembengkakan dan mendukung penyembuhan.
Pasien mungkin membutuhkan bius lokal atau total selama prosedur
ini.

4. Nefrolitotomi perkutan (PCNL), prosedur ini dilakukan untuk batu yang


lebih besar atau berbentuk tidak teratur dengan menggunakan scope
yang menemukan dan menghilangkan batu. Scope dimasukan langsung
ke ginjal melalui sayatan kecil di punggung pasien.

5. Operasi kelenjar paratiroid, beberapa batu kalsium fosfat terbentuk


karena kelenjar paratiroid yang terlalu aktif. Batu ini terletak di empat
sudut kelenjar tiroid tepat di bawah jakun. Ketika kelenjar ini

179
memproduksi terlalu banyak hormon paratiroid (hiperparatiroid), kadar
kalsium melonjak sehingga terbentuk batu ginjal. Hiperparatiroid terjadi
ketika tumor kecil yang jinak terbentuk di salah satu kelenjar paratiroid.
Hal ini juga bisa terjadi ketika pasien terkena kondisi lain yang
menyebabkan kelenjar ini memproduksi lebih banyak hormon
paratiroid. Mengangkat tumor tersebut dari kelenjar akan menghentikan
pembentukan batu ginjal.

180
BAB II
KONSEP TINDAKAN ELEKTRO KINETIK LITOTRIPSI
A. Pengertian
Litotripsi adalah tindakan medis yang melibatkan penggunaan
gelombang kejut atau laser untuk menghancurkan batu ginjal, batu kandung
kemih, atau batu saluran kemih. Prosedur ini dilakukan oleh dokter spesialis
bedah urologi. Melalui litotripsi, batu yang dihancurkan akan menjadi
pecahan-pecahan kecil. Pecahan ini kemudian dikeluarkan dari tubuh melalui
urine. Jika obat-obatan tidak dapat mengatasi keberadaan batu tersebut,
litotripsi bisa dilakukan sebagai pilihan untuk membuang batu dengan cepat
dan efektif.

B. Klasifikasi
Llitotripsi terbagi dalam dua jenis berikut:
1. Extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL)
ESWL menggunakan gelombang kejut untuk menghancurkan batu.
2. Flexible ureteroscopy and laser lithotripsy (FUSRL)
FUSRL memakai laser untuk menghancurkan batu.

181
a. Indikasi
Litotripsi diperlukan untuk batu ginjal atau saluran kemih yang menyebabkan
kondisi-kondisi di bawah ini:
1. Perdarahan
2. Kerusakan ginjal
3. Nyeri
4. Infeksi saluran kemih
b. Persiapan
Beberapa persiapan di bawah ini perlu dilakukan sebelum menjalani litotripsi:
1. Kondisi tertentu
Informasikan pada dokter bedah atau perawat apabila pasien:
a. Sedang hamil atau memiliki kemungkinan hamil
b. Sedang mengonsumsi obat-obatan, suplemen, atau obat herbal tanpa
resep dokter
2. Obat-obatan tertentu
Pada beberapa hari sebelum operasi, pasien harus menginformasikan
pada dokter mengenai jenis-jenis obat yang boleh dikonsumsi atau tidak.
Pasien perlu menghentikan konsumsi obat-obatan pengencer darah,
seperti aspirin, ibuprofen, clopidogrel, dan warfarin.
3. Persiapan lainnya
Pada hari dilakukannya operasi, pasien perlu:
a. Mengikuti arahan dokter terkait puasa selama enam jam sebelum
prosedur

182
b. Mengonsumsi obat-obatan sesuai arahan dokter
c. Sampai di rumah sakit tepat waktu
a. Prosedur
Litotripsi bisa dilakukan di bawah pengaruh bius lokal atau bius total,
sehingga pasien tidak merasa nyeri selama operasi. Jenis obat bius yang
digunakan akan ditentukan oleh dokter spesialis anestesi berdasarkan kondisi
pasien. Setelah bius efektif, dokter akan melakukan salah satu prosedur di
bawah ini:
2. Extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL)
Pada extracorporeal shock wave lithotripsy, prosedurnya meliputi:
a) Posisikan x-ray C-arm pada posisi 0° dan posisikan meja pasien pada
posisi ditengahtengah area penembakan. Turunkan tekanan pasien
membrane. Setting therapy source pada posisi yang tepat sesuai
dengan indikasi target penembakan.
b) Pastikan kondisi pasien dalam kondisi nyamandan stabil serta
badannya menempel pada therapy source. Geser therapy head ke
posisi fluoroscopy supaya tindakan fluoroscopy bisa dilakukan
dengan baik.
c) Lakukan fluoroscopy pada posisi AP. Letakkan pasien pada posisi
meja horizontal. Sambil melakukan fluoroscopy AP geser target
penembakan ke posisi tanda silang pada gambar x-ray. Putar x-ray
C-arm pada posisi 30°. Pastikan tidak ada benda yang terbentur,
kemudian lakukan fluoroscopy pada posisi 30°.
d) Gerakkan meja pasien kearah vertikal untuk menempatkan target
penembakan pada posisi tanda silang pada gambar x-ray. Gerakkan
x-ray C-arm pada posisi AP dan 30° sambil dilakukan fluoroscopy
dan pastikan target penembakan tepat ditengah tanda sialang pada
gambar x-ray.
e) Berikan jeli ultrasound pada therapy source dan pastikan tidak ada
gelembung udara pada permukaan therapy source agar pasien

183
membran menempel sempurna kepada badan pasien. Geser therapy
source pada posisi penembakan.
f) Kembungkan pasien membrane sampai menempel sempurna pada
badan pasien. Universitas Sumatera Utara 25
g) Hindari penggunaan x-ray secara berlebihan dan gunakan
pengamatan dengan USG selama penembakan berlangsung.
h) Selama penembakan, mundurkan posisi probeUSG sejauh mungkin
supaya mengurangi penyerapan energy gelombang kejut pada
dudukan probe USG. Apabila gambar USG kurang baik, tambahkan
jeli ultrasound dan kembungkan pasien membran sampai menempel
sempurna dengan pasien
3. Flexible ureteroscopy and laser lithotripsy (FUSRL)
Prosedur FUSRLmeliputi:
a) Dokter akan memasukkan uteroskop lewat uretra (saluran kencing)
pasien. Alat berbentuk selang tipis ini dapat membantu dokter untuk
melihat kondisi saluran kemih, mencari lokasi batu ginjal, dan
memasukkan serat fiber penghasil laser guna menghancurkan batu.
b) Ketika batu ditemukan, serat fiber akan dimasukkan lewat uteroskop
dan menghasilkan laser yang akan menghancurkan batu.
c) Serpihan-serpihan kecil batu kemudian diambil dengan uteroskop.
Sementara butir butir batu yang menjadi pasir akan keluar sendiri
melalui urine.
d) Alat khusus bernama stent dapat diletakkan dalam saluran kemih
untuk menjaga saluran ini tetap terbuka, menjaga aliran urine, dan
membantu batu keluar lewat urine. Stent akan dikeluarkan dalam
beberapa hari atau beberapa minggu kemudian.
e) Prosedur ESWL maupun FUSRL biasanya membutuhkan waktu
selama satu jam.
b. Hal yang perlu diperhatikan
Setelah efek obat bius hilang dan pasien sadar, kondisi pasien akan
dipantau selama setidaknya satu jam kemudian. Langkah ini bertujuan

184
memastikan pasien sudah stabil dan bisa pulang. Dokter juga akan
memberikan instruksi dan meresepkan obat pereda nyeri. Butuh waktu
beberapa minggu hingga serpihan batu benar-benar hilang dari tubuh pasien.
Pasien tidak perlu cemas jika menemukan sedikit darah dalam urine selama
beberapa hari pertama pascaprosedur. Pasien juga dapat merasakan nyeri di
punggung. Namun gejala ini bisa membaik dengan obat pereda nyeri.
Sebagian pasien dapat pula mengalami memar ringan pada lokasi pemberian
gelombang kejut di kulit.
c. Komplikasi
Secara umum, litotripsi tergolong sebagai prosedur yang aman. Tetapi
risiko komplikasinya tetap ada, dan bisa berupa:
1. Perdarahan di sekitar ginjal, yang membutuhkan transfusi darah
2. Infeksi ginjal
3. Pecahan batu yang menyumbat aliran urine dari ginjal, sehingga
menimbulkan nyeri atau kerusakan ginjal
4. Pecahan batu yang tertinggal dalam tubuh pasien
5. Luka pada lambung atau usus halus
6. Kelainan fungsi ginjal pascaprosedur dan memar di punggung

185
INSERSI DJ STENT
A. Pengertian
DJ stent atau double J stent adalah suatu alat yang dipasang di dalam
tubuh yang berperan dalam mengalirkan urin / cairan dari ginjal ke kandung
kemih dalam kasus terjadinya penyumbatan aliran dari ginjal ke kandung
kemih akibat cidera pada ureter ataupun batu pada ureter. Kedua ujung dari
penghubung ini menyerupai abjad J sehingga diberikan istilah double J stent.
Karakteristik stent ureter yang ideal, meliputi mudah saat dilakukan
insersi, tidak mudah terjadi migrasi, memberikan aliran urine yang optimal,
dapat ditoleransi dengan baik oleh penderita, biokompatibel, biodurabiliti,
tidak mudah terjadi enkrustasi, tidak menyebabkan refluks, mudah terlihat
dengan ultrasonografi, mudah diganti dan dilepas; dan terjangkau (Al-
Marhoon 2012).
Untuk menjamin aliran yang optimal maka dikembangkanlah stent dengan
ukuran diameterluar mulai 4,8 F sampai 6 F, dengan panjang12-30cm (Singh,
2003; Wein, et al., 2007).Untuk orang dewasa rata-rata memakai ukuran 24

cm (Wein, et al., 2007), untuk anak-anak, biasanya digunakan 4,8 fr dan 20-
24cm.

Ada beberapa cara untuk menentukan panjang stent yang akan


dipasang, yaitu ; pertama dengan mengukur panjang ureter mempergunakan
fluoroskopi, atau menentukan panjang ureter dari gambaran urografi

186
intravena, dan memperkirakan panjang ureter berdasarkan tinggi badan
penderita (Wein, et al., 2007).

B. Indikasi pemasangan
1. Menyambung ureter yang terputus.
2. Jika saat tindakan URS (Ureterorenoscopy) lapisan dalam ureter terluka.
3. Setelah operasi URS batu ureter distal, karena dikhawatirkan muara ureter
bengkak sehingga urine tidak dapat keluar.
4. Stenosis atau penyempitan ureter. DJ stent berfungsi agar setelah dipasang
penyempitan tersebut menjadi longgar.
5. Setelah URS dengan batu ureter tertanam, sehingga saat selesai URS
lapisan dalam ureter kurang baik.
6. Operasi batu ginjal yang jumlahnya banyak dan terdapat kemungkinan batu
sisa. Jika tidak dipasang dapat terjadi bocor urine berkepanjangan.
7. Batu ginjal yang besar dan direncanakan ESWL. Seandainya tidak dipasang
maka serpihan batu dapat menimbulkan rasa nyeri.
8. Untuk mengamankan saluran kencing pada pasien kanker cervix.

187
9. Untuk mengamankan ginjal saat kedua ginjal/ureter tersumbat dan baru
dapat diterapi pada 1 sisi saja. Maka sisi yang lain dipasang DJ stent.
10. Pada pasien gagal ginjal karena sumbatan kencing, (tidak dapat dilakukan
nefrostomi karena hidronefrosis kecil).
C. Prosedur pemasangan
Stent ureter ditempatkan secara endoskopi melalui kandung kemih
atau secara perkutaneus menuju ginjal maupun saat operasi terbuka.
Penempatan stent ureter menggunakan guidewire melewati sidehole di bagian
distal, sampai ke ujung proksimal, tujuannya untuk meluruskan stent saat
penempatan dengan sitoskopi. Sideholes membantu drainase dan tanda hitam
di kedua ujungnya stent memfasilitasi visualisasi curl saat menempatkan stent
secara visual melalui sistoskopi. Guidewire dimasukkan terlebih dahulu dari
distal sideholes ke arah proksimal atau sebagai alternatif lain ujung distal
stent dapat dipotong. Begitu stent ditempatkan, guidewire ditarik,
membiarkan stent terbentuk di bagian ginjal dan kandung kemih. Penempatan
stent saat operasi terbuka adalah dengan dengan memasukkan guidewire
melalui sidehole di tengah stent. Stent dilepas dengan endoskopi
menggunakan forseps kaku atau fleksibel untuk menangkap ujung distal distal
di kandung kemih, menariknya bersamaan dengan sistoskopi.

188
D. Efek samping
Dalam pemasangannya, DJ stent dapat memberikan efek samping
seperti infeksi saluran kemih, nyeri pada saat BAK, nyeri pada daerah perut
bawah, kencing bercampur darah, perpindahan DJ stent. Perlu diketahui
bahwa efek samping ini dapat terjadi bervariasi setiap individu yang
mengalami pemasangan DJ stent. Untuk menangani kondisi demam dapat
digunakan obat pereda demam sesuai dengan dosis dan aturan
penggunaannya, namun untuk menilai kondisi ibu anda dengan lebih baik
dapat dilakukan konsultasi pada dokter terkait operasi pemasangan DJ stent,
agar dapat dilakukan follow-up pada kondisi ibu anda dan pengobatan yang
sesuai. Namun jika kondisi ibu anda mengalami demam tinggi hingga diatas
39 derajat Celcius, mengalami nyeri perut bawah mendadak dengan intensitas
nyeri yang hebat, atau perdarahan hebat keluar dari saluran kemih atau daerah
intim, segera bawa ibu anda ke unit gawat darurat terdekat untuk penanganan
lebih lanjut.
E. Pengangkatan DJ stent
DJ stent harus diangkat atau diganti 2-3 bulan sekali. DJ stent yang
terpasangan harus <3 bulan, dan bisa diangkat apabila terdapat indikasi
seperti adanya perbaikan dari sistem perkemihan terutama di ginjal. Untuk
waktu paling cepat kapan dilakukan pengangkatan DJ Stent bergantung dari
dokter yang merawat atau yang mengoperasi.
Proses pelepasan atau pengangkatan DJ stent ini bisa dilakukan
dengan pembiusan secara lokal maupun umum. Selama prosedur cabut DJ
stent dilakukan insersi sheath ukuran 20 Fr di muara uretra sampai buli-buli,
dengan durasi 10-15 menit, dengan skala nyeri VAS 9-10, sehingga
diperlukan pembiusan regional atau umum. Biasanya pasien setelah dilakukan
pengangkatan ini bisa langsung pulang, dan dilakukan kontrol kembali
beberapa waktu ke depan. Pasien yang sudah dilakukan pengangkatan DJ
stent, bisa dapat beraktifitas sehari-hari sesuai dengan kondisi tubuhnya.
Namun masih dianjurkan untuk tidak melakukan aktifitas yang berat. Pada
kasus DJ stent yang mengalami enkrustasi atau membentuk batu memerlukan

189
ekstra tindakan yaitu litotripsi, dengan durasi operasi yang lebih lama dan
lebih invasive.

190
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Menurut Nuari & Widayati ( 2017 ), pengkajian pada pasien dengan
gangguan sistem perkemihan sebagai berikut:
1. Anamnesa
a. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
digunakan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah,
no.register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
Keluhan dari klien bergantung pada posisi atau letak batu, ukuran batu,
dan penyulit yang ada. Nyeri akibat adanya peningkatan tekanan
hidrostatik di daerah abdomen bagian bawah yakni berawal dari area
renal meluas secara anterior dan pada wanita ke bawah mendekati
kandung kemih sedangkan pada pria mendekati testis. Nyeri yang
dirasakan bisa berupa nyeri kolik atupun non kolik. Nyeri kolik hilang
timbul akibat spasme otot polos ureter karena peningkatan aktivitas
untuk mengeluarkan batu. Sedangkan nyeri non kolik terjadi akibat
peregangan kapsul ureter karena hidronefrosis atau infeksi pada ureter.
Apabila urolithiasis disertai dengan adanya infeksi maka demam juga
akan dikeluhkan. Keluhan kencing seperti disuria, retensi urin atau
gangguan miksi lainnya dikeluhkan klien saat pertama datang ke
tenaga kesehatan.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Klien awalnya mengeluhkan perubahan gangguan eliminasi urin yang
dialami (oliguria, disuria, hematuria). Biasanya seiring berjalannya
waktu dan tingkat keparahan penyakit maka nyeri mulai dirasakan dan
nyeri ini bersifat progresif. Respon dari nyeri itu sendiri yakni
munculnya gangguan gastrointestinal, seperti keluhan anoreksia, mual,
dan muntah yang menimbulkan manfestasi penurunan asupan nutrisi

191
umum. Mengkaji berapa lama dan berapa kali keluhan tersebut
dirasakan, apa yang dilakukan, kapan keluhan tersebut muncul adalah
penting untuk mengetahui riwayat perjalanan penyakit.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya riwayat batu ginjal sebelumnya, riwayat mengalami gangguan
haluaran urin sebelumnya, riwayat ISK, riwayat hiperkalsemia ataupun
hiperkalsiuria, riwayat hiperparatiroidisme, riwayat penyakit kanker
(berhubungan dengan adanya malignansi), dan riwayat hipertensi yang
bisa menjadi faktor penyulit pada kasus urolithiasis, penderita
osteoporosis yang menggunakan obat dengan kadar kalsium yang
tinggi.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pernah menderita urolithiasis, adanya riwayat ISK, riwayat
hipertensi, riwayat kalkulus dalam keluarga, penyakit ginjal, gout,
riwayat penyakit usus halus, riwayat bedah abdomen sebelumnya,
hiperparatiroidisme..
f. Riwayat Penggunaan Obat
Adanya riwayat pengunaan obat-obatan tinggi kalsium, antibiotik,
opioda, antihipertensi, natrium bikarbonat, alupurinol, fosfat, tiazid,
pemasukan berlebihan kalsium dan vitamin.
g. Pola-pola Fungsi Kesehatan
1) Pola sirkulasi
Adanya peningkatan TD/nadi (nyeri, anseitas, gagal ginjal). Kulit
hangat dan kemerahan, pucat.
2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Klien mual dan muntah, nyeri tekan pada abdomen. Diet rendah
purin, kalsium oksalat, dan fosfat. Ketidakcukupan pemasukan
cairan, tidak minum air dengan cukup yang ditandai dengan distensi
abdomen, penurunan suara bising usus.
3) Pola Aktivitas
Pekerjaan yang dilakukan monoton seperti sopir bus.

192
4) Pola eliminasi
Riwayat adanya ISK Kronis atau obstruksi sebelumnya (kalkulus).
Terjadi penurunan haluaran urin yang ditandai dengan adanya rasa
seperti terbakar, oliguria, hematuria, piuria, perubahan pola
berkemih.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Gambaran Umum
1) Keadaan umum : baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-
tanda, seperti:
a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah,
komposmentis tergantung pada keadaan klien
b) Kesakitan, keadaan penyakit: terjadi secara akut atau bisa juga
terjadi nyeri kronik. Lokasi nyeri tergantung pada lokasi batu,
contoh pada panggul di region sudut kostovetebral (CVA) dan
dapat menyebar ke seluruh punggung, abdomen, dan turun ke
lipat paha serta genitalia. Nyeri dangkal konstan menunjukan
kalkulus ada di pelvis atau kalkulus ginjal. Nyeri dapat
digambarkan sebagai akut, hebat tidak hilang dengan posisi
atau tindakan lain yang ditandai dengan prilaku distraksi,
terjadi demam dan menggigil.
c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik
fungsi maupun bentuk.
b. Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
1) Kepala dan leher: Kepala normal dan bentuk simetris, tidak ada
pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada keterbatasan gerak leher.
2) Mata: Mata normal
3) Hidung: Hidung normal, jalan nafas efektif, tidak menggunakan
pernapasan cuping hidung.
4) Telinga: Fungsi pendengaran kien baik.
5) Mulut dan gigi: mukosa bibir kering atau lembab, tidak ada
peradangan pada mulut, mulut dan lidah bersih.

193
6) Dada:
a) Inspeksi: Dada klien simetris.
b) Palpasi: Dada klien simetris tidak ditemukan adanya benjolan.
c) Perkusi: Tidak ditemukan adanya penumpukan sekret, cairan
atau darah di daerah paru.
d) Auskultasi: Suara napas normal, dan terdengar suara jantung.
7) Abdomen:
a) Inspeksi: Warna kulit, turgor kulit baik.
b) Auskultasi: Peristaltik usus 12x/menit
c) Palpasi: Adanya nyeri tekan pada abdomen kiri bawah
d) Perkusi: -
8) Genetalia: Hasil pengkajian keadaan umum dan fungsi genetalia
tidak ditemukan adanya keluhan atau kelainan bentuk anatomi.
B. Pre Op Care
Fase pre operasi yaitu:
1. Merencanakan metode penyuluhan yang sesuai dengan kebutuhan
pasien
2. Melibatkan keluarga dalam wawancara
3. Memastikan kelengkapan pemeriksaan pra operatif
4. Membuat rencana asuhan keperawatan
5. Memastikan daerah pembedahan
6. Puasa 8 jam menjelang operasi pasien tidak diperbolehkan makan
7. Pemeriksaan fisik dan laboratorium (Naufal, 2015).
Adapun diagnosa keperawatan pre operasi yang mungkin dijumpai pada
klien dengan kasus urolithiasis adalah sebagai berikut:
1. Ansietas
2. Nyeri akut
3. Hambatan eliminasi urin

194
Asuhan Keperawatan Pre Op :
Nursing Interventions and
No Nursing Diagnosis Nursing Outcome
Activities
1. Anxiety O.500 : Knowledge of Identifies psychosocial
X4-00146 psychosocial status (A.510)
responses (Assesses the psychosocial
Domain 3A
factors that influence the
Behavioral  The patient patient’s care and develops
responses -patient verbalizes the and implements plan of care
and family: sequence of events to address those needs)
knowledge to expect before
and immediately Screens for substances
after surgery abuse (A.510.5)
 The patient states  Monitors vital sign
realistic Assesses coping mechanism
expectations (A.510.6)
regarding recovery
 Review patient’s coping
from procedure
pattern and its
 The patient and
effectiveness
family members
 Ask patient to describe
identify signs and
current methods of
symptoms to
dealing with stress
report to the
surgeon or health  Encourages patient to
care provider express feelings
 Determines the most
effective methods of
communication and
support
 Evaluates availability
and effectiveness of
support system
Identifies patient and
designated support
person’s educational needs
(A.530)
(Identifies educational needs
relative to the patient’s
procedure, perioperative care
requirements and
psychosocial status)
Implements measures to

195
provide psychological
support (Im.510)

 Assesses for signs and


symptoms of anxiety or
fear (eg, preoperative
insomnia, muscle
tenseness, tremors,
irritability, change in
a[petite, restlessness,
diaphoresis, tachypnea,
tachycardia, elevated
blood pressure, facial
pallor or flushing,
withdrawn behavior)
 Provide information and
answer questions
honestly
 Provides an atmosphere
of care and concern (eg,
privacy nonjudgmental
approach, empathy,
respect)
 Offers alternative
methods to minimize
anxiety (eg, music,
humor)
 Explain purpose of
preoperative preparations
before implementation
Includes patient or
designate support persons
in perioperative teaching
(Im. 700)
(Identifies patient and
designated support person’s
knowledge and provides
education and support)
Explains expected sequence
of events (Im. 700.2)
(Describes routines and
protocols related to
perioperativa care)
Evaluates psychosocial

196
response to plan of care
(E.520)

 Evaluates effectiveness
of support system
 Verifies patient’s ability
to understand
information
 Provides necessary time
to process information
 Review nursing care plan
with patient and family
members
2. Acute pain O330 : Patient Assesses pain control
X38-00132 demonstrates and/or (A.360)
reports adequate (Uses validated spain scale to
Domain 2
pain control assess pain control)
Physiologic
response  The patient  Review patient
cooperates by assessment for type of
lying quietly pain being treated and
during medical condition
intraoperative  Review current treatment
procedure utilizing protocol
block local  Requests patien verbalize
anesthesia. effectiveness of
 The patient’s vital treatment with
signs at discharge recognized assessment
from the OR are tool (eg, numerical scale,
equal to or face scale)
improved from  Offers information to
preoperative patient and family
values. members about pai , pain
 The patient relief measures, rating
verbalizes control scales, and other
of pain. assessment data to report
 Monitor patient for
congruence of verbal and
nonverbal cues.
Implements pain guidelines
(Im.310)

 Review patient
assessment for type of
pain being treated,

197
medical condition, and
health status
 Review facility pain
guidelines
 Documents patient’s
current stated pain level
 Positions for comfort
unless contraindicated
 Determines whether
regimen meets patient’s
identified need
 Monitors relationship of
patient progress to pain
control
 Monitors pain guideline
effectiveness
Implements alternative
methods of pain control
(Im. 310.1)

 Ask patient to verbalize


effectiveness of
treatment regimen
 Review non medication
pain treatments (eg, cold
therapy, heat therapy,
music distraction,
relaxation therapy,
physical rehabilitation,
visualization, pacing,
transcutaneous electrical
nerve stimulation
 Identifies patient’s
coping style and cultural
influences regarding pain
management
 Includes family members
and significant other in
educational process
 Monitor progress in
management of patient’s
pain
 Evaluates patient’s
responses.

198
Evaluates responses to pain
management interventions
(E.250)
 Identifies and documents
how the patient expresses
pain (eg, facial
expression, irritability,
restlessness,
verbalization)
 Evaluates the nature of
the pain and any changes
in pain level after pain
management
interventions
3. Impared O.230 Genitourinary Identifies Retention
elimination urine Status Urinary Retention Status
X62-00016  The pattern of (A.270)
elimination is not  Perform a comprehensive
disturbed urinary assessment
Domain 4  The intake is focusing on incontinence
fluidnot disturbed (eg, urine output, urinary
Health System
 The patient can patterns, cognitive
empty the bladder function, and preexistent
completely urinary problems)
 There is no visible  Monitor the use of drugs
blood in the urine with anticholinergic
 No pain when properties or alpha
urinating agonist properties
 No urinary  Monitor the effects of
retention prescribed medications,
such as calcium channel
blockers and
anticholinergics
 Stimulating bladder
reflex by applying cold to
stomach
 Provide sufficient time
for emptying the bladder
(10 minutes)
 Use wintergreen spirit in

199
the potty or urinal
 Monitor intake and
output
 Monitor the level of
bladder distension by
palpation

C. Intra-operatif Care
Fase intra operasi yaitu:
1. Identifikasi klien kembali
2. Validasi data yang di butuhkan klien
3. Memasang infus (IV), memberikan medikasi intravena
4. Melakukan pemantauan fisiologis menyeluruh sepanjang prosedur
pembedahan
5. Menjaga keselamatan pasien, mengkaji tingkat kesadaran klien
6. Menelaah ulang lembar observasi pasien (rekam medis) (Naufal,
2015).
Adapun diagnosa keperawatan intra operasi yang mungkin dijumpai pada
klien dengan kasus urolithiasis fadalah sebagai berikut :
1. Hipotermi
2. Risiko Cedera
3. Risiko Infeksi
Asuhan Keperawatan Intra Op :
No Nursing Diagnosis Nursing Outcome Nursing Interventions
1. Domain 2 0. 290 : The Assesses risk for
Physiologic patient’s core body inadvertent hypothermia
response temperature is (A.200.1)
within expected or
Hypothermia  Identifies patients at
therapeutic range
high risk for
X26-00006
 The patient’s inadvertent
temperature is hypothermia to include
temperature is but no limited to
greater than 36° patient’s:
C (96,8° F) at  With preoperative

200
time of discharge baseline temperature
from the less than or equal to
operating or 36° C (96,8° F)
procedure room  In a cold surgical
 The patient’s environment
temperature is  With high body
intentionally surface/kg and low
maintained at subcutaneous brown
33° C (91, 4° F) fat for insulation
to lower cell increases rate of heat
metabolism loss (eg, infants,
neonates, toddlers)
 With metabolic
disorders
Implements
thermoregulation
measures (Im. 280)
 Select temperature
monitoring and
regulation devices
based on identified
patient needs
 Operates temperature
monitoring and
regulation devices
according to
manufacturers written
instruction
Monitors physiological
paarmeters (Im. 370)
 Monitor vital sign (eg,
blood pressure, heart
monitor or EGC rate
and rhythm,
respiratory rate,
temperature
 Monitor patient for
changes in skin
integrity (eg,

201
peripheral pulses, skin
color, temperature,
turgor, capillary refill,
as appropriate)
Evaluates response to
thermoregulation
measures (E.260)
 Assesses and
documents patient’s
body temperature at
frequent intervals
 Interprets and
communicates patient
temperature data to
appropriate members
of health care team for
further evaluation and
action as appropriate
 Report patient’s
temperature to PACU
nurses for
determination of
appropriate
postoperative
treatment methods
2. Risk for injury O. 10 : Patient is Identifies physiological
free from signs and status (A.210)
X29-00035
symptoms of injury
 Evaluates buccal
Domai 1 Safety related to thermal
sources membranes, sclera, and
skin (eg, dryness,
 Patient’s skin cyanosis, jaundice)
condition, other Report deviation in
than the surgical diagnostic study result
incision, is (A.340)
unchanged
 Communicates
between
physiological health
admission and
status (eg, verbal
discharge from
reports, patient record)
the OR or
to appropriate team

202
procedure room members
 Patient reports  Collaborates with other
comfort at the health care providers
thermoregulation regarding diagnostic
device site study results or
 Patient’s assessment findings
neuromuscular Assesses baseline skin
status is condition (A.240)
unchanged
 Evaluates presences of
between peripheral pulses,
admission and solicits patient’s
discharge from
perception of pain, and
the OR or
identifies mobility
procedure room impairments while
patient is awake
 Assesses patient’s skin
condition
 Assesses patient’s risk
for skin injury related
to thermal sources
 Assesses skin for
injury from invasive
devices (eg, tubes,
drains, indwelling
catheters, cables)
 Identifies the nursing
diagnoses that describe
the patient’s degree of
risk for skin injury
related to thermal
hazards.
Applies safety devices
(Im.80)
 Examines the surgical
environment for
equipment or
conditions that pose a
safety risk and takes
corrective action

203
 Selects safety devices
based on the patient’s
needs and the planned
operative or invasive
procedure
 Applies safety devices
on the patient
according to the plan
of care, applicable
practice guidelines,
facility policies, and
manufacturers
documented
instructions.
 Ensures that safety
devices are readily
available, clean, free of
sharp edges, padded as
appropriate, and in
working order before
use
Monitor psychological
parameters (Im. 370)
 Monitor vital sign (eg,
blood pressure, heart
monitor or EGC rate
and rhythm,
respiratory rate,
temperature
 Monitor patient for
changes in skin
integrity (eg,
peripheral pulses, skin
color, temperature,
turgor, capillary refill,
as appropriate)
Evaluates for signs and
symptoms of physical
injury to skin and tissue

204
(E.10)
 Inspects and evaluates
the patient’s skin, bony
prominences, pressure
sites, prepped area, and
adjacent tissue for
signs of irrigation or
injury (eg,
discoloration, rash,
abrasions, blisters,
raised areas)
 Solicits for complaints
of pain or discomfort
in areas other than the
surgical incision
 Solicits for complaints
of numbness or
tingling (eg,
thermoregulation
device site, site of
positioning aids)
 Reports unexpected
variance to appropriate
members of the health
care team.
3. Risk for infection O.280 : Patient is Assesses susceptibility
free from signs and for infection (A.350)
X28-00004
symptoms of
Classifies surgical wound
infection
(A.350.1)
Domain 1  The patient’s
wound is free  Class II (clean-
Safety from signs and contaminated) wounds:
symptoms of Operative wounds in
infection and which the respiratory,
pain, redness, alimentary, genital, or
swelling, urinary tract in entered
drainage, or under controlled
delayed healing conditions and without
at time of unusual contamination.
discharge Specially procedures
involving the biliary

205
 The patient has a tract, appendix, vagina,
clean, primarily and oropharynx are
closed surgical included in this
wound covered category, provide no
with dry, sterile evidence of infection
dressing at or major break in
discharge from technique is
the OR encountered
 The patient has a Implements aseptic
class III wound technique (Im.300)
covered with a
dry, sterile  Establishes and
dressing maintains the sterile
 The patient’s field
wound is intact  Applies principles of
and free from aseptic technique
signs of infection  Performs skin
30 days preparation
following  Ensures perioperative
surgery environmental
 The patient’s sanitation
immune status  Adheres to standard
remains within and transmission-based
expected level 5 precaution
days following  Dresses wound at
surgery completion of
 The patient’s procedure
white blood cell  Cares for incision sites,
count remains invasive-devices sites
within level 5 (eg, endotracheal tube,
days following tracheostomy tube,
surgery drainage tube,
 The patient is percutaneous catheter,
afebrile and free vascular access
from signs and devices), urinary
symptoms of drainage systems, and
infection other drainage
 Preoperative and systems.
postoperative Protects from cross-
antibiotics given contamination (Im.300.1)
according to
 Minimize cross-
recommended
contamination by
guidelines
understanding and
implementing infection
control practices when

206
preparing instruments
and supplies for use
 Follows established
protocols for high level
disinfection
 Implements aseptic
technique
 Monitors the sterile
field
Environment
 Work with facilities
engineers and
managers to provide
for ventilation and air
filtration system that
meet local, state and
federal regulations and
recommendation
 Ensure the doors to the
OR remind closed
expect for necessary
patient and personnel
traffic
 Contain contamination
by developing and
implementing
appropriate traffic
patterns based on
design of surgical suite
or procedure room.
Personnel
 promotes personnel
health and hygiene
 excludes personnel
with acute infection or
skin lesions from the
practice setting
 performs hand hygiene
 wears clean, dry,
freshly, laundered
surgical attire intended
for use in the surgical
suite
 wears long-sleeved

207
jacked that is snapped
or buttoned closed
when not scrubbed
 covers head and facial
hair, including
sideburns, to minimize
microbial dispersal
within the environment
 wears single high-
efficiency mask when
open sterile supplies
and equipment are
present or where
scrubbed persons may
be located
 Keeps fingernails
short, clean, healthy,
and free of artificial or
acrylic nails.
 Wears shoes covers
when gross
contamination of the
feed can be reasonably
expected
 Performs surgical hand
antiseptic
Initiates traffic control
(Im.300.2)
 Keep doors to OR or
procedure rooms
closed except during
movement of patients,
personnel, supplies,
and equipment
 Restricts access to
surgical suite to
authorized personnel
only
 Record names of all
individuals who
participate in the
operative or invasive
procedure and those
who are present in the
OR or procedure room,

208
whether directly or
indirectly, participating
in the operative or
invasive procedure (ie,
industry representative
students)
 Maintains
unidirectional traffic
pattern for items to be
reprocessed for the
surgical suite or
procedure room;
moves items from
decontamination area
to processing area, and
after processing, to
storage areas.
 Prevents soiled
materials from entering
restricted area
 Move supplies from
restricted area, if
present, through ORs
or procedure room to
semi-restricted
corridor.
Administers prescribed
antibiotic therapy as
ordered (Im.220.2)
 Determine if physician
order for antibiotic
therapy have been
written and coincide
with current best
practices or evidence-
based practice
 Confirm patient
compliance with
prescribed
prophylactic therapies
ordered to be self-
administered
 Assesses patient before
administering and
delays or withholds

209
medication if
necessary
 Confirms correct
medication is
administered to the
right patient, in the
right dose, via the right
route, at the right time
 Note expiration date
 Recognizes and
identifies adverse
effects, toxic reactions,
and medication
allergies
 Evaluates the patient’s
response to medication
administered
 Request order from
physician for repeat
doses of prophylactic
antibiotic if surgical
procedure lasts longer
than four hours or
major blood loss
occurs.
Monitor for signs and
symptoms of infection
(Im.360)
Minimize the length of
invasive procedure by
planning care (Im. 760)
Administers care to
wound sites (Im.290)
 Dresses wound at
completion of
procedure
 Selects dressing
materials based on
clinical needs
 Observes
characteristics of
wound drainage
 Changed dressings

210
over closed wounds
 Assesses wound if
patient has signs and
symptoms of infection
(eg, fever, unusual
wound pain, redness
and head at the wound
site, edema)
 Cleans all areas of the
wound as order
prescribe using
antiseptic technique
 Aseptically removes
skin suture or staples
according to physician
orders from the healed
wound
Evaluates progress of
wound healing (E.200)
 Identifies and
evaluates patient’s risk
factors that impair
wound healing
 Evaluates wound status
 Monitors temperature
for elevation
 Provides wound care
consist with wound
class
 Report signs and
symptoms of infection

D. Post Op Care
Fase post operasi yaitu dimana pasien secara cermat di pantau di Post
Anastesi Care Unit (PACU) sampai pasien pulih dari anastesi dan bersih
secara medis untuk meninggalkan unit, pemantauan spesifik termasuk
dasar kehidupan yaitu: Airway (jalan nafas), breathing (pernafasan), dan
circulation (sirkulasi), tindakan di lakukan sebagai upaya mencegah
komplikasi pasca operasi.
1. Memindahkan klien ke PACU

211
2. Mengkaji efek dari agen anastesi
3. Memantau fungsi vital serta mencegah komplikasi
4. Menyerahkan klien ke unit keperawatan
5. Aktivitas keperawatan berfokus pada tingkat penyembuhan pasien
dan melakukan penyuluhan, dan tindak lanjut serta rujukan penting
untuk penyembuhan yang berhasil dan rehabilitasi diikuti oleh
pemulangan (Naufal, 2015).
Adapun diagnosa keperawatan post operasi yang mungkin dijumpai
pada klien dengan kasus urolithiasis adalah sebagai berikut:
1. Nyeri akut
2. Resiko Jatuh
Asuhan Keperawatan Post Op :
No Nursing Nursing Outcome Nursing Interventions
Diagnosis
1. Acute pain O330 : Patient Assesses pain control
X38-00132 demonstrates and/or (A.360)
reports adequate pain
Domain 2 (Uses validated spain scale
control
Physiologic to assess pain control)
response  The patient
 Reviews patient
cooperates by lying
assessment for type of
quietly during
pain being treated and
intraoperative
medical conditions
procedure utilizing
 Reviews potential
block local
interactions of pain
anesthesia.
medications with other
 The patient’s vital
medications or food
signs at discharge
equests patient verbalize
from the OR are
effectiveness of
equal to or improved
treatment with
from preoperative
recognized assessment
values.
tool (eg.numerical scale,
 The patient
face scale)
verbalizes control of
 Request verbalization of
pain.
patient’s expectation of
acceptable pain score

212
 Offers information to
patient and family
members about pain ,
pain relief measures,
rating scales, and other
assessment data to
report
 Monitor patient for
congruence of verbal
and nonverbal cues.
Implements pain
guidelines (Im.310)
 Review patient
assessment for type of
pain being treated,
medical condition, and
health status
 Review facility pain
guidelines
 Documents patient’s
current stated pain level
 Positions for comfort
unless contraindicated
 Determines whether
regimen meets patient’s
identified need
 Monitors relationship of
patient progress to pain
control
 Monitors pain guideline
effectiveness
Impements alternative
methods of pain control
(Im.310.1
(Uses therapeutic touch,
meditation, breathing and
positiong to augment pain
control methods)
 Reviews non medication

213
pain treatments (eg.
Musio distraction,
relaxation therapy)
 Offers information abou
methods that will assist
in pain control.
Evaluates respons to pain
manangement
intervention (E.250)
 Assesses patient’s
responses to pain
management
interventions including
physiological
parameters and
subjective and objective
findings.
 Identifies and
documents how the
patient expresses pain
(eg, facial expression,
irritability, restlessness,
verbalization)
 Evaluates the nature of
the pain and any
changes in pain level
after pain management
interventions
2. Risk for falls O. 120 : Patient is free Transposts according to
from signs and individual needs (Im.30)
X69-00155
symptoms of injury
 Identifies parients
Domain related to
transfer/transport correctly
1 Safety  Explains what patient
 The patient reports can expect prior to
being comfortable intiating
when reclined on the transfer/transport
transport  Assesses mobility
equipment/device impairments
 The patient is free  Adapts plan of care to

214
signs and symptoms address mobility
of injury relate to impaiements
transfer/transport on  Performs or directs
discharge from the patient transfer
OR or procedure  Positions patient to
room maintain respiration and
circulation
 Maintains body
alignment during
transfer
 Applies safery devices
 Plans for special needs
during transport and
transfer

215
WEB OF CAUTION (WOC) UROLITIASIS

216
217
DAFTAR PUSTAKA

Al-Marhoon, M.S., Shareef, O., Al-Habsi, I.S., Al-Balushi, A.S, Mathew, J., dan
Venkiteswaran, K.P., 2013. Extracorporeal Shock-wave Lithotripsy Success
Rate and Complication. Oman Medical Journal, 28(4)

AORN. (2011). Perioperatif Nursing Data Set : The Perioperatif Nursing


Vacobulary (3rd ed.). USA: AORN,Inc.

Brunner, & Suddarth. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah . Jakarta:
EGC.

Di, U., Undata, R., Tahun, P., Az-zahra, H., Munir, M. A., & Rupawan, I. K.
(2018). Hubungan kadar asam urat dalam darah terhadap kejadian
urolithiasis di rsud undata palu tahun 2014-2016. 5(1), 1–10. Retrieved from
jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/MedikaTadulako/article/download/12299/
9587

Fauzi, A., & Putra, M. M. A. P. (2016). Nefrolitiasis. Majority, 5(April), 69–73.


Retrieved from https://juke.kedokteran.unila.ac.id

Kambadakone, A. R., Eisner, B. H., Catalano, O. A., & Sahani, D. V. (2010).


New and evolving concepts in the imaging and management of urolithiasis:
Urologists’ perspective. Radiographics, 30(3), 603–623.
https://doi.org/10.1148/rg.303095146

Naufal, I. (2015). Askep Klien Perioperatif. Retrieved from scribd.com:


https://www.scribd.com/doc/46509863/askepklienperioperatif

Noegroho, B. S., Daryanto, B., Soebhali, B., Kadar, D. D., Soebadi, D. M.,
Hamiseno, D. W., … Tarmano. (2018). Panduan Penatalaksanaan Klinis
Batu Saluran Kemih. In Ikatan Ahli Urologi ndonesia (IAUI). Retrieved from
https://core.ac.uk/download/pdf/323565959.pdf

Nuari, N.A. & Widayati, D. (2017). Gangguan Pada Sistem Perkemihan &
Penatalaksanaan Keperawatan. Yogyakarta : Penerbit Deepublish
Petersen, Carol.(2011). Perioperative nursing data set, the perioperative nursing
vocabulary 3rd edition. USA. Association of periOperative Registered
Nurses (AORN)

Silalahi, M. K. (2020). Faktor-Faktor yang berhubungan dengan kejadian


penyakit Batu Saluran Kemih di Poli Urologi RSAU dr. Esnawan Antariksa.
12(September), 205–212. Retrieved from
journal.thamrin.ac.id/index.php/jikmht/article/download/385/386

Wein, A., R. Kavoussi, et al., Eds. (2007). Campbell-Walsh’s Urology 10th


edition. Philadelphia, WB Saunders.p.

218
219

Anda mungkin juga menyukai