Anda di halaman 1dari 28

BAGIAN ILMU ANESTESI Referat

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN Oktober 2023


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

“PENATALAKSANAAN CAIRAN PADA TUR PROSTAT”

OLEH:
MOH AGHIEF DZULNASRI
(105501106721)

PEMBIMBING:
dr. Ade Irna, M.Kes., Sp.An-TI, Subps TI(K)

Dibawakan Dalam Rangka Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Anestesi

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:


Nama : Moh Aghief Dzulnasri, S.Ked
NIM : 105501106721
Judul Referat : Penatalaksanaan Cairan pada Operasi TUR Prostat
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Penyakit Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Oktober 2023


Pembimbing,

dr. Ade Irna, M.Kes., Sp.An-TI, Subps TI(K)

i
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur yang sebesar-besarnya penulis panjatkan kehadirat


Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan anugerah-Nya kepada kita semua
bahwa dengan segala keterbatasan yang penulis miliki akhirnya penulis dapat
menyelesaikan penulisan referat dengan judul “Penatalaksanaan Cairan pada
Operasi TUR Prostat” dalam rangka tugas kepaniteraan klinik Departemen Ilmu
Anestesi, Program Pendidikan Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Makassar.

Keberhasilan penyusunan referat ini adalah berkat bimbingan, kerja sama,


serta bantuan moril dan materil dari berbagai pihak yang telah diterima penulis
sehingga segala rintangan yang dihadapi selama penulisan dan penyusunan referat
ini dapat terselesaikan dengan baik.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan memberikan
penghargaan yang setinggi-tingginya secara tulus dan ikhlas kepada yang
terhormat:
1. dr. Ade Irna, M.Kes., Sp.An-TI, Subps TI(K) selaku supervisor pembimbing.
2. Serta semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan
satu-persatu.
Tidak ada manusia yang sempurna maka penulis menyadari sepenuhnya
bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, sehingga dengan segala kerendahan
hati penulis siap menerima kritik dan saran serta koreksi yang membangun dari
semua pihak.
Makassar,
Oktober 2023

Moh Aghief Dzulnasri

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN..................................................................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................2
A. DEFINISI......................................................................................................2
B. EPIDEMIOLOGI..........................................................................................2
C. INDIKASI.....................................................................................................3
D. KONTRAINDIKASI....................................................................................3
E. TANDA DAN GEJALA POST OPERASI..................................................3
F. PILIHAN ANESTESI...................................................................................4
G. PENATALAKSANAAN..............................................................................5
H. KOMPLIKASI............................................................................................20
BAB III KESIMPULAN.......................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................23

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah suatu penyakit pembesaran atau


hipertrofi dari prostat. BPH meningkat seiring bertambahnya usia. BPH histologis
terjadi pada sekitar 8% pria berusia 31 hingga 40 tahun, 50% pria berusia 51
hingga 60 tahun, 70% pria berusia 61 hingga 70 tahun, dan 90% pria berusia 81
hingga 90 tahun. Intervensi bedah klasik yang dapat dilakukan pada penderita
BPH termasuk prostatektomi terbuka (OP) dan reseksi prostat transurethral
(TURP). OP adalah prosedur bedah invasif yang diindikasikan untuk pria yang
prostatnya, menurut ahli urologi, terlalu besar untuk TURP karena takut akan
reseksi yang tidak sempurna, perdarahan yang signifikan, atau risiko
hiponatremia. TURP tetap menjadi pengobatan standar untuk pasien dengan BPH
sedang atau berat yang membutuhkan pengobatan aktif atau yang gagal atau tidak
menginginkan terapi medis. TURP dikembangkan selama tahun 1930-an sebagai
alternatif yang kurang invasif untuk OP dalam pengobatan pembesaran prostat
jinak.1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1
A. DEFINISI
Reseksi prostat transurethral atau TURP adalah prosedur di mana prostat
dibedah melalui pendekatan endoskopi. Prosedur ini merupakan pembedahan
besar dan minimal invasif pertama di era modern. Prosedur ini telah
digunakan selama bertahun-tahun dan masih dianggap sebagai standar emas
pembedahan untuk obstruksi saluran kandung kemih (BOO), dengan hanya
beberapa perubahan kecil sejak diperkenalkan secara modern pada tahun
1943. TURP juga dapat digunakan untuk membuka abses prostat, serta
membuka saluran ejakulasi pada beberapa kasus azoospermia obstruktif.2

Gambar 1. Prosedur TURP3

B. EPIDEMIOLOGI
Pada umumnya, TURP memiliki efektivitas dalam perbaikan gejala BPH
yang mencapai 90% sehingga metode ini merupakan salah satu baku emas
tatalaksana invasif BPH. Prosedur TURP merupakan prosedur yang sangat
direkomendasikan oleh IAUI. Akan tetapi, tingkat keberhasilan TURP dapat
menurun bila terjadi retensi bekuan darah, retensi urin akut, maupun infeksi
saluran kemih. Selain itu, terdapat pula angka mortalitas 30 hari pertama
pascaoperasi sebesar 0,1% serta kemungkinan terjadinya komplikasi yang
meliputi ejakulasi retrograd, disfungsi ereksi, dan stenosis leher vesica
urinaria.3

2
C. INDIKASI
Indikasi untuk TURP termasuk kegagalan manajemen medis untuk
gejala saluran kemih bagian bawah (LUTS) atau obstruksi saluran kandung
kemih (BOO), nefropati obstruktif, pembentukan batu kandung kemih yang
berulang, dua atau lebih episode retensi urin, abses prostat, kesulitan untuk
melakukan kateterisasi intermiten yang bersih, hematuria bruto yang
berulang, pengosongan yang tidak sempurna, dan azoospermia obstruktif [8]
[9] Divertikulum kandung kemih dengan sendirinya tidak dianggap sebagai
indikasi yang memadai.2

D. KONTRAINDIKASI
Kontraindikasi absolut adalah pasien yang secara medis tidak dapat
mentoleransi anestesi atau gejala sisa operasi. Infeksi saluran kemih yang
aktif dan tidak diobati akan menjadi kontraindikasi absolut lainnya.2
Kontraindikasi relatif adalah terapi pasca-radiasi untuk kanker prostat,
miastenia gravis, multiple sclerosis, dan Parkinson, karena kelompok pasien
ini memiliki kemungkinan besar mengalami inkontinensia pasca operasi
karena sfingter eksternal yang tidak berfungsi. Antikoagulasi aktif merupakan
kontraindikasi relatif lain untuk TURP tradisional, tetapi TURP laser dapat
dilakukan pada pasien yang mengalami antikoagulasi, atau pengencer darah
dapat ditahan secara tepat untuk memungkinkan dilakukannya prosedur ini.
Jika prostat sangat besar, lebih dari 100 gram, ini biasanya merupakan
indikasi untuk mempertimbangkan melakukan prostatektomi sederhana atau
HoLEP, karena sebagian besar ahli urologi tidak memiliki keterampilan atau
pengalaman yang diperlukan untuk melakukan TURP sebesar itu dengan
aman. Kandung kemih yang sangat hiperaktif yang tidak mudah dikendalikan
juga merupakan kontraindikasi relatif.2

E. TANDA DAN GEJALA POST OPERASI


Tanda dan gejala yang paling umum adalah mual dan hipotensi yang
diikuti dengan muntah dan produksi urin yang rendah, yang semuanya
menjadi lebih sering terjadi seiring dengan semakin banyaknya cairan yang
diserap. Gangguan penglihatan dilaporkan oleh 10% pasien yang menyerap
>500 ml larutan glisin. Hipertensi arteri menjadi lebih jarang terjadi ketika

3
lebih banyak cairan irigasi yang diserap. Kesadaran yang menurun terjadi
pada 5% pasien setelah penyerapan >1 liter cairan. Diare terjadi pada 20%
pasien yang menyerap >3 liter.
Nyeri perut dilaporkan oleh 10-20% pasien yang menyerap >1 liter
cairan. Gejala ini sangat terkait dengan ekstravasasi, yang juga terkait dengan
insiden hipotensi arteri yang lebih tinggi dan output urin yang buruk.
Dokter harus mewaspadai sindrom TUR ringan, yang mudah
terlewatkan. Hal ini muncul dengan mual dan sering terjadi penurunan
tekanan arteri secara tiba-tiba 30-45 menit setelahnya operasi. Natrium serum
diturunkan 5-10 mmol liter.
Tes status 'mental mini' menunjukkan bahwa penyerapan glisin memiliki
hubungan yang kuat dengan kebingungan sementara setelah TURP.
Kebingungan yang nyata dapat terjadi sebagai respons terhadap penyerapan
1-2 liter, tetapi lebih konsisten dengan volume penyerapan yang lebih besar
dan dapat berlanjut menjadi penurunan kesadaran dan koma.
Insiden infark miokard akut selama TURP adalah antara 1 dan 3%.70
Bukti iskemia jantung, dengan menggunakan EKG Holter, ditemukan pada
25% pasien TURP, sebagian besar pada pasien yang diketahui memiliki
penyakit kardiovaskular. Peningkatan marjinal dalam enzim jantung terjadi
pada 7% dari semua pasien TURP, tetapi kejadiannya lebih tinggi pada
pasien dengan penyerapan glisin.
Sindrom TUR yang parah jarang terjadi tetapi dijelaskan dengan baik
dalam literatur. Sebuah tinjauan terhadap 24 kasus yang parah (glisin 1,5%)
menunjukkan bahwa gejala neurologis terjadi pada 92%, gejala
kardiovaskular pada 54%, gangguan penglihatan pada 42%, tanda-tanda
saluran pencernaan pada 25% dan gagal ginjal pada 21%. Angka kematian
adalah 25%.

F. PILIHAN ANESTESI
Anestesi Umum
Prosedur anestesi umum dengan menggunakan laryngeal mask airway
(LMA) paling sering digunakan untuk prosedur sistoskopi karena durasi
prosedur yang pendek (15-20 menit). Saturasi oksigen harus dimonitor secara
ketat pada pasien geriatri, obesitas, atau pada pasien yang memiliki cadangan
4
paru-paru minimal yang ditempatkan pada posisi litotomi atau
Trendelenburg.4,8
Anestesi Regional
Blok spinal maupun blok epidural dapat digunakan untuk prosedur
sistoskopi, namun pada praktiknya, anestesi blok spinal lebih disukai karena
awitannya yang lebih singkat (5 menit) bila dibandingkan dengan anestesi
epidural yang lebih panjang (15-20 menit). Awitan yang singkat pada
anestesi spinal lebih disukai terutama pada prosedur operasi yang singkat
(<30 menit) dan pada pasien berusia lanjut dan berisiko tinggi. Perubahan
posisi ke litotomi setelah penyuntikan obat anestesi hiperbarik dianggap
dapat memengaruhi level sensorik dan memungkinkan terjadinya hipotensi
yang berat. Tetapi beberapa penelitian tidak dapat membuktikannya. Level
blok setinggi T, dapat memberikan anestesi sempurna untuk hampir semua
prosedur sistoskopi. Meskipun demikian, anestesi regional tidak
menghilangkan refleks obturator (rotasi eksternal dan aduksi paha sekunder
dari rangsangan saraf obturator pada dinding lateral kandung kemih).4,7

G. TATALAKSANA
Selama 1-2 minggu pertama setelah operasi, penting untuk minum
banyak cairan untuk membersihkan perdarahan baru dari kandung kemih.
Jumlah cairan yang diminum biasanya tergantung pada jumlah darah dalam
urin. Jika air seni Anda cukup banyak mengandung darah, Anda mungkin
perlu minum hingga 3 liter air per hari. Jika air seni Anda tidak lagi
mengandung darah dan rongga prostat telah sembuh, maka asupan cairan
sebanyak 2 liter per hari sudah cukup. Hindari alkohol dan kopi selama
beberapa minggu pertama setelah prosedur karena hal ini dapat memperburuk
frekuensi dan urgensi berkemih.4
TURP dikerjakan dengan menggunakan alat khusus, yaitu resektoskop
monopolar atau bipolar dengan menggunakan cairan irigasi untuk membantu
visualisasi dan mengambil jaringan prostat yang direseksi.4
Idealnya cairan irigasi yang digunakan untuk TURP harus bersifat
isotonik, tidak menghantarkan listrik, transparan, steril, dan tidak mahal. Air
suling bersifat tidak menghantarkan listrik dan tidak mahal, tetapi terlalu
hipotonik sehingga tidak menjadi pilihan. Ketika diserap dalam jumlah yang

5
besar ke dalam sirkulasi darah, air suling juga dapat menyebabkan hemolisis,
syok, dan gagal ginjal. Cairan yang umumnya digunakan adalah glisin 1.2-
1,5%, manitol 3-5%, glukosa 2.5-4%, sorbitol 3,5%, cytal (campuran sorbitol
2,7% dan manitol 0,54%) dan urea 1%. Cairan-cairan ini bersifat hipotonik
sehingga dapat berfungsi optimal tanpa meningkatkan risiko. Meskipun
cairan irigasi ini tidak menyebabkan hemolisis yang signifikan, namun
penyerapan yang berlebihan dapat menyebabkan komplikasi lain, seperti
edema paru dan hiponatremia.4
Glisin dapat menyebabkan efek toksik pada jantung dan retina, mannitol
dapat menyebabkan edema paru pada pasien dengan penyakit jantung, dan
glukosa dapat menyebabkan hiperglikemia berat pada pasien diabetes.
Komplikasi lainnya dapat menyebabkan hiponatremia yang berat, kejang
hingga koma.4
Terapi Cairan dan Transfusi Darah
Pada pendarahan yang terjadi <20% dari perkiraan volume darah pasien
berikan cairan pengganti kristaloid atau koloid, tetapi apabila terjadi
pendarahan >20% dari perkiraan volume darah pasien, berikan transfusi
darah. Pada pasien dengan sindrom TURP, terapi restriksi cairan, dengan
pemberian diuretik (furosemid), larutan garam hipertonik untuk hyponatremia
simptomatik secara lambat peningkatan tidak melebihi 12 mEq/L per hari.
Darah yang hilang tergantung pada besar prostat dan durasi operasi. Estimasi
kehilangan darah sekitar 7-20 ml/g dari jaringan yang dipotong dan 2-5
ml/menit selama waktu operasi.4

Tabel 1. Osmolaritas cairan irigasi pada prosedur TURP.4

6
1. Gangguan keseimbangan cairan tubuh
Tubuh manusia pada kelahiran mengandungi sekitar 75% berat cairan. Di
usia satu bulan, nilai ini menurun menjadi 65% dan pada saat dewasa berat
cairan dalam tubuh manusia bagi pria adalah 60% dan wanita pula sekitar
50%. Selain itu, faktor kandungan lemak juga mengkontribusi kepada
kandungan cairan dalam tubuh. Semakin tinggi jumlah lemak yang terdapat
dalam tubuh, seperti pada wanits, semakin ssemakin kurang kandungan cairan
yang ada. Nilai normal ambilan cairan dewasa adalah sekitar 2500ml,
termasuk 300ml hasil metabolism tenaga susbtrat. Rata-rata kehilangan cairan
adalah sebanyak 2500ml dimana ia terbahagi kepada 1500ml hasil urin,
400ml terevaporasi lewat respiratori, 400ml lewat evaporasi kulit, 100ml
lewat peluh dan 100ml melalui tinja. Kehilangan cairan lewat evaporasi
adalah penting kerna ia memainkan peranan sebagai thermoragulasi, dimana
ia mengkontrol sekitar 20-25% kehilangan haba tubuh. Perubahan pada
kesimbanngan cairan dan volume sel bisa menyebabkan impak yang serius
seperti kehilangan fungsi pada sel, terutama ada otak. Bentuk gangguan yang
paling sering terjadi adalah kelebihan atau kekurangan cairan yang
mengakibatkan perubahan volume.11
A. Overhidrasi
Air, seperti subtrat lain, berubah menjadi toksik apabila dikonsumsi
secara berlebihan dalam jangka waktu tertentu. Intoksikasi air sering terjadi
bila cairan di konsumsi tubuh dalam kadar tinggi tanpa mengambil sumber
elektrolit yang menyeimbangi kemasukan cairan tersebut. Overhidrasi terjadi
jika asupan cairan lebih besar daripada pengeluaran cairan. Kelebihan cairan
dalam tubuh menyebabkan konsentrasi natrium dalam aliran darah menjadi
sangat rendah. Penyebab overhidrasi meliputi, adanya gangguan ekskresi air

7
lewat ginjal (gagal ginjal akut), masukan air yang berlebihan pada terapi
cairan, masuknya cairan irigator pada tindakan reseksi prostat transuretra, dan
korban tenggelam. Gejala overhidrasi meliputi, sesak nafas, edema,
peningkatan tekanan vena jugular, edema paru akut dan gagal jantung. Dari
pemeriksaan lab dijumpai hiponatremi dalam plasma. Terapi terdiri dari
pemberian diuretic (bila fungsi ginjal baik), ultrafiltrasi atau dialisis (fungsi
ginjal menurun), dan flebotomi pada kondisi yang darurat.11
B. Dehidrasi
Dehidrasi merupakan suatu kondisi defisit air dalam tubuh akibat
masukan yang kurang atau keluaran yang berlebihan. Kondisi dehidrasi bisa
terdiri dari 3 bentuk, yaitu: isotonik (bila air hilang bersama garam, contoh:
GE akut, overdosis diuretik), hipotonik (Secara garis besar terjadi kehilangan
natrium yang lebih banyak dibandingkan air yang hilang. Karena kadar
natrium serum rendah, air di kompartemen intravaskular berpindah ke
ekstravaskular, sehingga menyebabkan penurunan volume intravaskular),
hipertonik (Secara garis besar terjadi kehilangan air yang lebih banyak
dibandingkan natrium yang hilang. Karena kadar natrium tinggi, air di
kompartemen ekstravaskular berpindah ke kompartemen intravaskular,
sehingga penurunan volume intravaskular minimal)11

Tabel 1. Status dehidrasi.12

8
2. Gangguan keseimbangan elektrolit

Tabel 1. Gangguan keseimbangan elektrolit.13

3. Gangguan keseimbangan elektrolit13


A. ( Jumlah cairan yang dibutuhkan selama 24 jam )
B. Cairan defisit ( jumlah kekurangan cairan yang terjadi )
C. Cairan pengganti ( replacement )
- Sekuestrasi ( cairan third space )
- Pengganti darah yang hilang
- Pengganti cairan yang hilang melalui fistel, maag slang dan drainase
Untuk mengganti cairan tubuh yang hilang dapat dilakukan penghitungan untuk
menghitung berapa besarnya cairan yang hilang tersebut :
• Refraktometer
Defisit cairan : BD plasma – 1,025 x BB x 4 ml Ket. BD plasma = 0,001
• Dari serum Na+

9
Air yang hilang : 0,6 Berat Badan x BB (Plasma Natrium – 1 ) Ket. Plasma Na =
140
• Dari Hct
Defisit plasma (ml) = vol.darah normal – (vol.darah normal x nilai Hct awal/Hct
terukur)
Sementara kehilangan darah dapat diperkirakan besarnya melalui beberapa
kriteria klinis seperti pada tabel di bawah ini:13

Tabel 2. Kriteria kehilangan darah13

4. Pemilihan Cairan
Cairan intravena diklasifikasikan menjadi kristaloid dan koloid. Kristaloid
merupakan larutan dimana molekul organik kecil dan inorganik dilarutkan
dalam air. Larutan ini ada yang bersifat isotonik, hipotonik, maupun
hipertonik. Cairan kristaloid memiliki keuntungan antara lain : aman,
nontoksik, bebas reaksi, dan murah. Adapun kerugian dari cairan kristaloid
yang hipotonik dan isotonik adalah kemampuannya terbatas untuk tetap
berada dalam ruang intravaskular.13
Cairan resusitasi diberikan untuk memperbaiki defisit volume intravaskular
pada kasus hipovolemia absolut atau relatif. Secara teori, pilihan antara
10
koloid dan kristaloid harus mempertimbangkan persamaan Starling yang telah
direvisi dan model glikokaliks dari pertukaran cairan transvaskular. Ketika
tekanan kapiler (atau perbedaan tekanan transendotel) rendah, seperti pada
hipovolemia atau sepsis dan terutama syok septik, atau selama hipotensi
(setelah induksi dan anestesi), pengganti albumin atau plasma tidak memiliki
keuntungan dibandingkan infus kristaloid, karena semuanya tetap
intravaskular. Namun, lapisan glikokaliks adalah struktur yang rapuh dan
terganggu oleh peradangan sistemik atau sepsis akibat trauma bedah, tetapi
juga oleh infus cairan yang cepat (terutama salin). Dalam keadaan ini, aliran
transkapiler (kebocoran albumin dan risiko edema jaringan) meningkat,
demikian pula risiko untuk berkembang menjadi sindrom peningkatan
permeabilitas global (GIPS).14
• Kristaloid
Kristaloid berisi elektrolit (contoh kalium, natrium, kalsium, klorida).
Kristaloid tidak mengandung partikel onkotik dan karena itu tidak terbatas
dalam ruang intravascular dengan waktu paruh kristaloid di intravascular
adalah 20-30 menit. Beberapa peneliti merekomendasikan untuk setiap 1 liter
darah, diberikan 3 liter kristaloid isotonik. Kristaloid murah, mudah dibuat,
dan tidak menimbulkan reaksi imun. Larutan kristaloid adalah larutan primer
yang digunakan untuk terapi intravena prehospital. Tonisitas kristaloid
menggambarkan konsentrasi elektrolit yang dilarutkan dalam air,
dibandingkan dengan yang dari plasma tubuh. Ada 3 jenis tonisitas kritaloid,
diantaranya:15
- Isotonis
Ketika kristaloid berisi sama dengan jumlah elektrolit plasma, ia memiliki
konsentrasi yang sama dan disebut sebagai “isotonik” (iso, sama; tonik,
konsentrasi). Ketika memberikan kristaloid isotonis, tidak terjadi perpindahan
yang signifikan antara cairan di dalam intravascular dan sel. Dengan
demikian, hampir tidak ada atau minimal osmosis. Keuntungan dari cairan
kristaloid adalah murah, mudah didapat, mudah penyimpanannya, bebas
reaksi, dapat segera dipakai untuk mengatasi defisit volume sirkulasi,
menurunkan viskositas darah, dan dapat digunakan sebagai fluid challenge
test. Efek samping yang perlu diperhatikan adalah terjadinya edema perifer
dan edema paru pada jumlah pemberian yang besarContoh larutan kristaloid
11
isotonis: Ringer Laktat, Normal Saline (NaCl 0.9%), dan Dextrose 5% in 1⁄4
NS.15
- Hipertonis
Jika kristaloid berisi lebih elektrolit dari plasma tubuh, itu lebih
terkonsentrasi dan disebut sebagai “hipertonik” (hiper, tinggi, tonik,
konsentrasi). Administrasi dari kristaloid hipertonik menyebabkan cairan
tersebut akan menarik cairan dari sel ke ruang intravascular. Efek larutan
garam hipertonik lain adalah meningkatkan curah jantung bukan hanya
karena perbaikan preload, tetapi peningkatan curah jantung tersebut mungkin
sekunder karena efek inotropik positif pada miokard dan penurunan afterload
sekunder akibat efek vasodilatasi kapiler viseral. Kedua keadaan ini dapat
memperbaiki aliran darah ke organ-organ vital. Efek samping dari pemberian
larutan garam hipertonik adalah hipernatremia dan hiperkloremia. Contoh
larutan kristaloid hipertonis: Dextrose 5% dalam 1⁄2 Normal Saline, Dextrose
5% dalam Normal Saline, Saline 3%, Saline 5%, dan Dextrose 5% dalam
RL.15
- Hipotonis
Ketika kristaloid mengandung elektrolit lebih sedikit dari plasma dan kurang
terkonsentrasi, disebut sebagai “hipotonik” (hipo, rendah; tonik, konsentrasi).
Ketika cairan hipotonis diberikan, cairan dengan cepat akan berpindah dari
intravascular ke sel. Contoh larutan kristaloid hipotonis: Dextrose 5% dalam
air, 1⁄2 Normal Saline.15
Kristaloid adalah pilihan pertama untuk resusitasi cairan produk non darah,
larutan seimbang mungkin menawarkan keuntungan kecil dalam menjaga
fungsi ginjal dibandingkan dengan saline 0,9%. Resusitasi yang kurang dan
resusitasi yang berlebihan dikaitkan dengan bahaya pada pasien yang tidak
sehat secara kritis. Penilaian volume sekuncup untuk tantangan cairan secara
luas digunakan untuk memandu volume cairan dalam perawatan kritis, tetapi
tidak dipelajari dengan baik pada populasi UGD dan waktu pengiriman yang
optimal dan volume yang diinfus tidak ditetapkan. Sebagian besar pasien di
UGD tidak menanggapi cairan yang diinfus, sehingga menerapkan 'aturan'
fisiologis sederhana pada situasi kompleks ini dapat menyebabkan infus
berlebihan dan bahaya. Kita harus berhati-hati dalam menerapkan bukti yang
berasal dari pasien ICU, karena mayoritas pasien UGD tidak sakit kritis
12
sehingga harus melobi penyandang dana penelitian untuk berinvestasi dalam
uji klinis besar yang diperlukan untuk lebih mendefinisikan terapi cairan yang
optimal dalam perawatan darurat.16
• Koloid
Cairan koloid mengandung zat-zat yang mempunyai berat molekul tinggi
dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan
agak lama dalam ruang intravaskuler. Koloid digunakan untuk resusitasi
cairan pada pasien dengan defisit cairan berat seperti pada syok
hipovolemik/hermorhagik sebelum diberikan transfusi darah, pada penderita
dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein jumlah besar
(misalnya pada luka bakar). Cairan koloid merupakan turunan dari plasma
protein dan sintetik yang dimana koloid memiliki sifat yaitu plasma expander
yang merupakan suatu sediaam larutan steril yang digunakan untuk
menggantikan plasma darah yang hilang akibat perdarahan, luka baker,
operasi, Kerugian dari ‘plasma expander’ ini yaitu harganya yang mahal dan
dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (walau jarang) dan dapat menyebabkan
gangguan pada cross match. Berdasarkan jenis pembuatannya, larutan koloid
terdiri dari: 15
- Koloid Alami
Koloid Alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia ( 5% dan
25%). Dibuat dengan cara memanaskan plasma 60°C selama 10 jam untuk
membunuh virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein plasma selain
mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan beta
globulin. Selain albumin, aktivator Prekallikrein (Hageman’s factor
fragments) terdapat dalam fraksi protein plasma dan sering menimbulkan
hipotensi dan kolaps kardiovaskuler.15
- Koloid Sintetik
• Dextran
Koloid ini berasal dari molekul polimer glukosa dengan jumlah yang besar.
Dextrans diproduksi untuk mengganti cairan karena peningkatan berat
molekulnya, sehingga memiliki durasi tindakan yang lebih lama di dalam
ruang intravaskular. Namun, obat ini jarang digunakan karena efek samping
terkait yang meliputi gagal ginjal sekunder akibat pengendapan di dalam
tubulus ginjal, gangguan fungsi platelet, koagulopati dan gangguan pada
13
cross-matching darah. Tersedia dalam bentuk Dextran 40 (Rheomacrodex)
dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70 (Macrodex) dengan berat
molekul 60.000-70.000.15
• Hydroxylethyl Starch (Hetastarch)
Cairan koloid sintetik yang sering digunakan saat ini. Pemberian 500 ml
larutan ini pada orang normal akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam waktu
2 hari dan sisanya, yaitu starch yang bermolekul besar, sebesar 64% dalam
waktu 8 hari. Hetastarch nonantigenik dan jarang dilaporkan adanya reaksi
anafilaktoid. Low molecular weight Hydroxylethyl starch (Penta- Starch)
mirip Heta starch, mampu mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali
volume yang diberikan dan berlangsung selama 12 jam. Karena potensinya
sebagai plasma volume expander yang besar dengan toksisitas yang rendah
dan tidak mengganggu koagulasi maka Pentastarch dipilih sebagai koloid
untuk resusitasi cairan jumlah besar.15
• Gelatin
Merupakan bagian dari koloid sintesis yang terbuat dari gelatin, biasanya
berasal dari collagen bovine serta dapat memberikan reaksi. Larutan gelatin
adalah urea atau modifikasi succinylated cross-linked dari kolagen sapi. Berat
molekul gelatin relatif rendah, 30,35 kDa, jika dibandingkan dengan koloid
lain. Pengangkut berisi NaCl 110 mmol/l. Efek ekspansi plasma segera dari
gelatin adalah 80-100% dari volume yang dimasukkan dibawah kondisi
hemodilusi normovolemik. Efek ekspansi plasma akan bertahan 1-2 jam.
Tidak ada batasan dosis maksimum untuk gelatin. Gelatin dapat memicu
reaksi hipersensitivitas, lebih sering daripada larutan HES. Meskipun produk
mentahnya bersumer dari sapi, gelatin dipercaya bebas dari resiko penyebaran
infeksi. Kebanyakan gelatin dieskskresi melalui ginjal, dan tidak ada
akumuluasi jaringan.15
Koloid terdiri dari kelas senyawa dengan berat molekul tinggi yang
tersuspensi dalam kendaraan pembawa yang, dalam kondisi fisiologis normal,
tetap berada di ruang intravaskular, memberikan tekanan onkotik, dan
memberikan ekspansi plasma. Albumin dan pati adalah koloid yang paling
umum digunakan dalam praktik karena durasi kerja dan tolerabilitasnya,
tetapi gelatin dan dekstran juga tetap tersedia. Dalam setiap kasus ini, gradien
onkotik dianggap menarik cairan interstitial ke dalam ruang intravaskular,
14
sehingga meningkatkan efisiensi ekspansi volume relatif terhadap jumlah
kristaloid yang sebanding. Namun terlepas dari manfaat teoretis ini, uji coba
terkontrol secara acak dari semua pendatang dengan penyakit kritis yang
membutuhkan resusitasi telah gagal menunjukkan keunggulan koloid
dibandingkan kristaloid.17
Pertanyaan apakah kristaloid atau koloid yang terbaik untuk resusitasi terus
merupakan bahan diskusi dan penelitian. Banyak cairan telah dikaji unruk
resusitasi, antara lain: NaCl 0,9%, Larutan Ringer laktat, NaCl hipertonik,
albumin, fraksi protein murni, plasma beku segar, hetastarch, pentastarch, dan
dekstran 70. Bila problema sirkulasi utama pada syok adalah hipovolemia,
maka terapi hendaknya ditujukan untuk restorasi volume darah dengan cairan
resusitasi ideal. Cairan ideal adalah yang dapat membawa O2. Larutan koloid
yang ada terbatas karena ketidakmampuan membawa O2. Darah lengkap
marupakan ekspander volume fisiologis dan komplit, namun terbatas masa
simpan yang tidak lama, fluktuasi dalam penyimpanannya, risiko kontaminasi
viral, reaksi alergi dan mahal. Biarpun larutan koloid tidak dapat membawa
O2, namun sangat bermanfaat karena mudah tersedia dan risiko infeksi relatif
rendah. resusitasi hemodinamik lebih cepat dilaksanakan dengan koloid
karena larutan koloid mengekspansikan volume vaskular dengan lebih sedikit
cairan dari pada larutan kristaloid. Sedangkan larutan kristaloid akan keluar
dari pembuluh darah dan hanya 1⁄4 bagian tetap tinggal dalam plasma pada
akhir infus. Larutan kristaloid juga mengencerkan protein plasma sehingga
TOK menurun, yang memungkinkan filtrasi cairan ke interstisiel. Resusitasi
cairan kristaloid dapat pula berakibat pemberian garam dan air yang
berlebihan dengan konsekuensi edema interstitial. Pada kasus perdarahan
yang cukup banyak, tetapi yang tidak memerlukan transfusi, dapat dipakai
koloid dengan waktu paruh yang lama misalnya : Haes steril 6 %. Bila pasien
memerlukan transfusi, selama menunggu darah, kita dapat memberi koloid
dengan BM sekitar 40.000 misalnya : Expafusin, Plasmafusin, Haemaccel,
Gelafundin atau Dextran L. Dengan begitu, manakala darah siap untuk
ditransfusikan sekitar 2 -3 jam kemudian, kita dapat melakukannya langsung,
tanpa khawatir terjadi kelebihan cairan dalam ruang intravaskular.13

15
Tabel 3. Perbandingan Kristaloid dan Koloid

Tabel 4. Komposisi beberapa cairan

• Produk Darah
Ketersediaan produk darah merupakan hal yang penting. Berkurangnya
kemampuan mengangkut oksigen akan mempersulit manajemen syok
hemoragik sehingga menyebabkan iskemia jaringan walaupun dengan cardiac
output yang tinggi. Perlu diingat bahwa hemodilusi harus dihindari pada awal
terjadinya syok hemoragik, baik untuk cadangan hematokrit maupun untuk
hemostasis.3 Penatalaksanaan yang baik dari pasien dengan trauma
perdarahan yang masif meliputi identifikasi dini dari sumber perdarahan,
diikuti dengan tindakan- tindakan segera untuk menghentikan perdarahan,
memulihkan perfusi jaringan dan mencapai status hemodinamik yang stabil.
Prosedur ini meliputi resusitasi cairan, penggunaan vasopresor dan transfusi
darah untuk mencegah atau memperbaiki gangguan koagulasi akibat dari
trauma. Namun, strategi resusitasi yang optimal masih diperdebatkan; dimana
pilihan cairan resusitasi, target hemodinamik untuk mengontrol perdarahan
16
dan pencegahan gangguan koagulasi akibat dari trauma yang optimal masih
dipertanyakan.18
Tujuan resusitasi cairan pada trauma adalah untuk mengganti kehilangan
volume intravascular akibat kehilangan darah, mempertahankan tekanan
darah, dan mempertahankan penghantaran oksigen. Seluruh darah, atau
pRBC, selain cairan digunakan untuk menggantikan kapasitas fungsional
pengiriman oksigen dan pembekuan. Program Dukungan Kehidupan Trauma
Tingkat Lanjut yang disponsori oleh American College of Surgeons
merekomendasikan kristaloid untuk resusitasi. Sebagian besar penelitian tidak
menemukan perbedaan dalam kelangsungan hidup antara kristaloid dan
koloid, kecuali pada subset spesifik pasien trauma, tetapi kristaloid
memungkinkan penggantian cairan yang lebih cepat dan lebih murah
dibandingkan dengan koloid.19
Protokol perdarahan mayor ada di rumah sakit untuk mengoordinasikan
respons terhadap kehilangan volume darah yang signifikan, seperti yang
dapat dilihat pada pasien trauma atau bedah. Selain dokter, laboratorium
hematologi dan porter disiagakan agar komponen darah dapat disiapkan dan
diangkut ke pasien tanpa penundaan. Perdarahan besar dapat diidentifikasi
ketika perdarahan mengarah ke tanda-tanda syok hemoragik (TD sistolik < 90
mmHg, HR > 100 bpm, dll.); pasien kemungkinan telah kehilangan 30% -
40% volume darah yang bersirkulasi pada tahap ini. Perdarahan mayor juga
dapat didefinisikan sebagai kehilangan darah lebih dari 150 mL/menit, atau
50% kehilangan volume darah dalam waktu 3 jam atau kehilangan lebih dari
satu volume darah dalam 24 jam (> 70 mL/kg).20
- Packed red blood cells (PRBC)
PRBC golongan darah O Rh(-) tanpa crossmatch harus selalu tersedia di
pusat trauma manapun sebab dapat langsung di- berikan. PRBC jenis ini
harus segera diberikan pada pasien dengan syok akibat perdarahan yang
sedang berlangsung. Selanjutnya darah yang telah menjalani proses
crossmatch harus segera diberikan. Satu kantong PRBC rata-rata akan
meningkatkan hematokrit sebanyak 3% atau hemo- globin sebesar 1 g/dL
pada pasien dengan berat badan 70 kg tanpaperdarahan. Risiko pemberian
PRBC yaitu reaksi transfusi, transmisi infeksi dan hipotermi. PRBC disimpan
pada suhu 40C sehingga akan menurunkan suhu pasien dengan cepat jika
17
tidak dimasukkan melalui penghangat atau dicampur dengan kristaloid
isotonik. Mencampur darah dengan kristaloid juga akan mengurangi
viskositas PRBC sehingga bisa lebih mudah masuk intravena. Transfusi cepat
PRBC berisiko terjadi intoksikasi sitrat pada resepien. PRBC dikemas dengan
sitrat untuk berikatan dengan kalsium bebas sehingga menghambat kaskade
pembekuan darah. Transfusi PRBC dalam jumlah banyak dengan cepat
menyebabkan tubuh tidak mampu untuk menyediakan kalsium bebas,
sehingga terjadi penurunan kalsium bebas dalam darah. Hipokalsemia yang
tidak diketahui penyebabnya merupakan penyebab lazim terjadinya hipotensi
menetap walaupun telah dilakukan resu- sitasi cairan dengan volume yang
adekuat. Kadar ion kalsium sebaiknya diperiksa dan kalsium intravena
sebaiknya diberikan jika diperlukan. American Society of Anesthesiologists
(ASA) merekomendasikan transfusi PRBC pada kadar hemoglobin kurang
dari 6 g/dL dan tidak merekomendasikan transfusi di atas 10 g/dL. Pemberian
transfusi pada kadar hemoglobin 6- 10 g/dL didasarkan pada pendekatan in-
dividual, dengan mempertimbangkan adanya iskemi organ, kecepatan dan
jumlah perdarahan, status volume intravaskuler, dan risiko jika terjadi
oksigenasi yang tidak adekuat. Sebagai contoh: pada pasien dengan cadangan
kardiopulmoner yang rendah dan konsumsi oksigen tinggi.21
- Plasma
Terapi plasma diindikasikan pada pasien yang telah menjalani transfusi
PRBC pada fase akut sebanyak enam kantong pada fase akut sebanyak enam
kantong. Plasma seharusnya diberikan lebih awal pada pasien dengan
traumabermakna dan adanya perdarahan aktif. Cryoprecipitate atau preparat
faktor koagulasi lainnya jarang diperlukan kecuali ditemukan ada- nya
defisiensi kongenital. Bukti terakhir dari perang di Iraq menyebutkan bahwa
whole blood lebih superior daripada terapi komponen darah. Jika whole blood
tidak tersedia, fresh frozen plasma (FFP): PRBC dengan rasio 1:1 atau 1:2
terbukti dapat meningkatkan volumee intravaskuler dan memperbaiki faktor
koagulasi yang hilang akibat transfusi kristaloid yang masif.21
- Platelet
Jumlah platelet tetap adekuat selama proses perdarahan pasien trauma jika
dibandingkan dengan hematokrit atau para- meter koagulasi lainnya, namun
transfusi platelet diindikasikan jika terjadi perda- rahan akut lebih dari 1,5
18
kali volumee darah pasien. Transfusi platelet diberikan pada pasien dengan
perdarahan masif dan pada pasien yang secara klinis mengalami koagulopati
dengan kadar platelet yang rendah (50.000). Platelet tidak boleh diberi kan
melalui filter karena dapat mengurangi kuantitas yang sampai ke jaringan.21

Gambar 10. Pilihan cairan pengganti untuk suatu kehilangan cairan13

2.5 Jalur Pemberian Terapi Cairan


Pemberian terapi cairan dapat dilakukan melalui jalur vena, baik vena perifer
maupun vena sentral, melalui kanulasi tertutup atau terbuka dengan seksi
vena.22
• Kanulasi Vena Perifer
Syarat dari pemilihan kanulasi ini adalah dimulai dari vena di daerah ekstremitas
atas lalu dilanjutkan pada vena bagian ekstremitas bawah. Vena di area
kepala perlu dihandari karena hematom mudah terjadi. Pada bayi baru lahir,
vena umbilikalis bisa digunakan untuk kanulasi terutama dalam keadaan
darurat. Tujuan dilakukannya kanulasi vena perifer ini adalah untuk:22
- Terapi cairan pemeliharaan dalam waktu singkat. Lokasi pemasangan
harus dipindah serta penggantian set infus perlu dilakukan, jika
pemberiannya melebihi 3 hari.
- Terapi cairan pengganti dalam keadaan darurat, untuk menganti
kehilangan cairan tubuh atau perdarahan akut.
- Terapi obat lain secara intravena yang diberikan secara kontinyu atau
berulang
• Kanulasi Vena Sentral

19
Pemberian jangka panjang, misalnya untuk nutrisi parenteral total, dilakukan
kanulasi pada vena subklavikula atau vena jugularis interna. Sedangkan
dalam pemberian jangka pendek, dilakukan melalui vena- vena di atas
ekstremitas atas secara tertutup atau terbuka dengan vena seksi. Tujuan dari
kanulasi vena sentral ini tersendiri adalah: 22
- Terapi cairan dan nutrisi parenteral jangka panjang. Terutama untuk cairan
nutrisi parenteral dengan osmolaritas yang tinggi untuk mencegah iritasi pada
vena.
- Jalur pintas terapi cairan pada keadaan darurat, misalnya kardiovaskuler, vena
perifer sulit diidentifikasi.
- Untuk pemasangan alat pemacu jantung.

2.6 Komplikasi Terapi Cairan


Komplikasi yang paling sering terjadi adalah cairan yang masuk ke dalam
tubuh terlalu banyak. Ketika hal ini terjadi, jantung gagal memompa volume
sirkulasi yang terekspansi secara efektif. Distensi berlebih pada ventrikel kiri
dapat menyebabkan gagal jantung, dengan konsekuensi berupa edema paru.
Pasien dengan edema paru akan memendekkan pernapasan dan menyebabkan
batuk, terdengar crackles pada auskultasi dan penurunan saturasi oksigen.
Manifestasi klinis ini seringkali diikuti oleh meningkatnya denyut jantung.
Gagal ginjal dan kerusakan ventrikel yang sudah ada dapat memperburuk
kondisi. Sindrom kompartemen abdomen dan sindrom distres resprasi akut
adalah konsekuensi dari kelebihan resusitasi cairan dan kelebihan cairan.22

H. KOMPLIKASI
Meskipun TURP menjadi pilihan utama pada terapi BPH, kemungkinan
terjadinya komplikasi tidak dapat dihindari yaitu intraoperatif, perioperatif
dan lanjut. Komplikasi intraoperatif meliputi perdarahan, perforasi buli,
perforasi kapsul prostat, sindroma TUR dan kematian. Komplikasi
perioperatif meliputi perdarahan, retensi urin, infeksi saluran kemih,
epididimitis, clot retention dan kematian. Komplikasi lanjut meliputi striktur
urethra, retensi urin berulang, inkontinensia urin, ejakulasi retrograd,dan
disfungsi ereksi.6,9,10

20
Komplikasi intraoperatif yang paling berat adalah sindroma TUR dengan
angka mortalitas sebesar 0,99%. Komplikasi perdarahan dapat terjadi, baik
selama maupun setelah operasi yang pada umumnya membutuhkan tindakan
transfusi sekitar 4% pasien yang menjalani TURP. Komplikasi pascaoperasi
yang paling sering adalah retensi urin sebanyak 24%. Angka kejadian
komplikasi lanjut meliputi ejakulasi retrograd sebesar 75%, disfungsi ereksi
sebesar 5-10% dan inkontinensia <1%.6

BAB III
KESIMPULAN

Reseksi prostat transurethral atau TURP adalah prosedur di mana prostat


dibedah melalui pendekatan endoskopi. Pada umumnya, TURP memiliki
21
efektivitas dalam perbaikan gejala BPH yang mencapai 90% sehingga metode ini
merupakan salah satu baku emas tatalaksana invasif BPH. Selama 1-2 minggu
pertama setelah operasi, penting untuk minum banyak cairan untuk membersihkan
perdarahan baru dari kandung kemih. Idealnya cairan irigasi yang digunakan
untuk TURP harus bersifat isotonik, tidak menghantarkan listrik, transparan,
steril, dan tidak mahal. Air suling bersifat tidak menghantarkan listrik dan tidak
mahal, tetapi terlalu hipotonik sehingga tidak menjadi pilihan. Ketika diserap
dalam jumlah yang besar ke dalam sirkulasi darah, air suling juga dapat
menyebabkan hemolisis, syok, dan gagal ginjal. Cairan yang umumnya digunakan
adalah glisin 1.2-1,5%, manitol 3-5%, glukosa 2.5-4%, sorbitol 3,5%, cytal
(campuran sorbitol 2,7% dan manitol 0,54%) dan urea 1%. Cairan-cairan ini
bersifat hipotonik sehingga dapat berfungsi optimal tanpa meningkatkan risiko.
Meskipun cairan irigasi ini tidak menyebabkan hemolisis yang signifikan, namun
penyerapan yang berlebihan dapat menyebabkan komplikasi lain, seperti edema
paru dan hiponatremia.

DAFTAR PUSTAKA

1. Suherni I, Budi M, Dewi F. Perbedaan Efek Kombinasi Tramadol 100 mg +


Ketorolac 30 mg (drip) dengan Ketorolac 30 mg (bolus) terhadap Mean
Arterial Pressure (MAP) Pasien Post Tur Prostat di Rumah Sakit
22
Bhayangkara Anton Soedjarwo Pontianak Kalimantan Barat. Jurnal Inovasi
Penelitian. 2023
2. Lesli S, Chargui S, Stormont. Transurethral Resection of the Prostate.
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing. 2023.
3. Sutanto R. Hiperplasia Prostat Jinak: Manajemen Tatalaksana dan
Pencegahan. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia. 2021.
4. Rehatta N, Hanindito E, Tantri A dkk. Anetesiologi dan Terapi Intensif. PT
Grandmedia Pustaka Utama. 2019.
5. Hahn RG. Fluid absorption in endoscopic surgery. British Journal of
Anaesthesia. 2006.
6. Zuhirman, Juananda D, Lestari P. Gambaran Komplikasi Transurethral
Resection of the Prostate pada Pasien Benign Prostatic Hyperplasia. JIK.
2006.
7. Shbeer A. Regional Anesthesia (2012-2021): A Comprehensive Examination
Based on Bibliometric Analyses of Hotpots, Knowledge Structure and
Intellectual Dynamics. Journal of Pain Research. 2022.
8. Smith G, D'Cruz J, Rondeau B, Goldman J. General Anesthesia for Surgeons.
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing. 2023.
9. Al-Hajjaj M, Aljool A. An extremely rare complication of transurethral
resection of the prostate: A case report. Annals of Medicine and Surgery.
2022.
10. Mbaeri TU, Abiahu JA, Obiesie EA et all. Assessment of Complications of
Transurethral Resection of the Prostate Using Clavien-Dindo Classification in
South Eastern Nigeria. Nigerian Journal of Surgery. 2020.
11. Abu Rahman, D. R. B. Gangguan Keseimbangan Cairan Dan Elektrolit.
Dalam Rangka Mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya Bagian/Smf Ilmu
Anestesiadan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ Rsup
Sanglah. 2017.
12. Distefano, M., & Bajaj, L. Intravenous Fluid Therapy-Algorithm. Children’s
Hospitan Colorado. 2020.
13. Salam, S. H. (2020). Dasar-Dasar Terapi Cairan Dan Elektrolit.
14. Bartel, B., & Gau, E. (2020). Fluid and Electrolyte Management.
15. Suta Dharma, P. D., & Sucandra Kresna, I. M. A. (2017). Terapi Cairan.
Bagian/Smf Ilmu Anestesi Dan Reanimasi Fk Unud/Rsup Sanglah.
23
16. Harris, T., Coats, T. J., & Elwan, M. H. (2018). Fluid therapy in the
emergency department: An expert practice review. Emergency Medicine
Journal, 35(8), 511–515. https://doi.org/10.1136/emermed-2017-207245
17. Frazee, E., & Kashani, K. (2016). Fluid Management for Critically Ill
Patients: A Review of the Current State of Fluid Therapy in the Intensive
Care Unit. Kidney Diseases, 2(2), 64–71
18. Supandji, M., Budipratama, D., & Pradian, E. (2015). Strategi Resusitasi pada
Traumatik Syok Hemoragik. Anesthesia & Critical Care, 33(3), 218–225.
19. Malbrain, M. L. N. G., van Regenmortel, N., Saugel, B., de Tavernier, B., van
Gaal, P. J., Joannes-Boyau, O., Teboul, J. L., Rice, T. W., Mythen, M., &
Monnet, X. (2018). Principles of fluid management and stewardship in septic
shock: it is time to consider the four D’s and the four phases of fluid therapy.
In Annals of Intensive Care (Vol. 8, Issue 1). Springer Verlag.
https://doi.org/10.1186/s13613-018-0402-x
20. Taha Ismail, M., & Hamed Elbaih, A. (2020). Principles of Intravenous
Fluids. EC Emergency Medicine and Critical Care, 4(6), 24–46.
https://www.researchgate.net/publication/341544766
21. Posangi, I. (2018). Penatalaksanaan Cairan Perioperatif Pada Kasus Trauma.
Jurnal Biomedik, 4(1), 5–12.
22. Sukarata, I. P. R. D., & kurniyanta, I. P. (2017). Terapi Cairan. Bagian/Smf
Ilmu Anestesi Dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Rsup Sanglah.

24

Anda mungkin juga menyukai