SKRIPSI
FIANITA NURLARASATI
1410211058
SKRIPSI
FIANITA NURLARASATI
1410211058
Fianita Nurlarasati
Abstrak
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah penyakit degeneratif tersering pada laki-
laki yang ditandai dengan adanya hiperplasia sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat
yang dapat menyebabkan obstruksi saluran kemih. Di Indonesia lebih dari 5 juta pria
di atas usia 60 tahun di perkirakan mengalami BPH. Keluhan BPH yaitu Lower
Urinary Track Symptom (LUTS). Untuk mengurangi keluhan dapat dilakukan
pemeriksaan uroflowmetri pada pasien. Pengobatan BPH adalah dengan
mengkonsumsi tamsulosin yang merupakan obat inhibitor 1 adrenergik, yang
bertujuan untuk merelaksasi otot-otot pada prostat. Penelitian ini bertujuan untuk
melihat perbedaan nilai uroflowmetri pasien BPH antara sebelum dan sesudah
pemberian tamsulosin. Jenis penelitian ini adalah analitik observasi dengan desain
penelitian case control dan pengambilan sampel dengan menggunakan metode
nonprobability sampling dengan teknik consecutive sampling dengan jumlah subjek
62 orang. Data dianalisis dengan uji T berpasangan. Hasil menunjukkan terdapat
perbedaan nilai uroflowmetri yang sangat signifikan (p<0,01) pada pasien BPH
sebelum dan sesudah pemberian tamsulosin. Nilai perbedaan rata-rata uroflowmetri
awal sampai setelah 2 minggu adalah lebih besar (1.047) dibandingkan perbedaan
rata-rata nilai uroflowmetri awal sampai satu bulan pemberian tamsulosin (1.852).
Kata Kunci: Benign Prostate Hyperplasia (BPH), Lower Urinary Track Symptom
(LUTS), Tamsulosin, Uroflowmetri
ii
THE DIFFERENCE VALUE OF URINARY FLOW RATE ON
UROFLOWMETRY INSPECTION BETWEEN BEFORE AND AFTER
ADMINISTRATION OF TAMSULOSINE IN Benign Prostatic Hyperplasia
(BPH) PATIENTS AT UROLOGICAL SURGERY CLINIC RSPAD GATOT
SOEBROTO JAKARTA YEAR 2017
Fianita Nurlarasati
Abstract
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) is the most common degenerative disease in men
characterized by stromal cell hyperplasia and prostate gland epithelial cells that can
cause urinary tract obstruction. In Indonesia after urinary tract stones, the incidence in
Indonesia of more than 5 million men over the age of 60 is estimated to have BPH.
BPH complaints generally are the Lower Urinary Track Symptom (LUTS). To reduce
LUTS complaints uroflowmetric examination can be carried out in patients.
Treatment of BPH is to consume tamsulosin which is an 1 adrenergic inhibitor drug,
which aims to relax the muscles in the prostate. This study aims to look at differences
in uroflowmetry values of BPH patients between before and after tamsulosin
administration. This type of research is analytic observation with case control
research design and sampling using nonprobability sampling method with
consecutive sampling technique with 57 subjects.Data were analyzed by paired T test.
The results showed that there were significant differences in IPSS values (p <0.01) in
BPH patients before and after tamsulosin administration. The difference in the mean
of the initial uroflowmetry until after 2 weeks was smaller (1.047) than the difference
in the average initial uroflowmetry score to one month of tamsulosin (1.852).
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas segala rahmat
dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik dan tepat
waktu. Dalam hal ini, penulis memilih topik mengenai bedah urologi dengan judul
“Beda Nilai Pancaran Urine Pada Pemeriksaan Uroflowmetri Sebelum Dan Sesudah
Diberikan Tamsulosin Pada Pasien BPH Di Poli Bedah Urologi RSPAD Gatot
Soebroto Tahun 2017”.
Penulis menyusun penelitian yang dikemas dalam bentuk skripsi ini sebagai
salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Kedokteran pada Program S1
Kedokteran Umum di Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jakarta.
Bukan suatu hal yang mudah bagi saya menyelesaikan penelitian ini seorang
diri, Karena itu, saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. dr. R Bebet Prasetyo, Sp.U selaku dosen pembimbing I, yang selalu
memberikan ilmu, arahan, saran dan bimbingan kepada saya agar penelitian
ini berjalan dengan sebaik-baiknya. Terima kasih juga kepada dr. Retno
Yulianti, M.Biomed. selaku dosen pembimbing II, yang selalu memberikan
bimbingan dan arahan terutama dalam penulisan laporan penelitian ini.
2. dr. Andi dan dr. Hariyono, Sp.U selaku pembimbing lapangan, yang sudah
meluangkan waktu, tenaga untuk memberikan saran, arahan, bimbingan dalam
pengambilan data penelitian ini.
3. dr.Erna Harfiani, M.Si selaku dosen penguji, untuk ilmu, tenaga, dan waktu
dalam memperbaiki laporan penelitian ini.
4. Kedua orang tua saya tercinta, ayah tersayang Surianto Sastro Sumitro dan
mama tercinta Ating Sugiantini yang selalu memberikan cinta, kasih sayang,
dukungan, doa dan nasehat untuk menguatkan dan mengarahkan saya menjadi
lebih baik dari hari ke hari. Terimakasih juga kepada kakak kandung saya
Muhammad Rizky Nurwibowo dan kakak ipar saya dr. Ning Destryanti yang
iv
tidak pernah berhenti berdoa dan memotivasi saya untuk tidak pernah berhenti
menggapai cita-cita saya meskipun tidak mudah.
5. Untuk sahabat-sahabat selama perkuliahan ini, Nida Fakhriyyah Rahmah, Iga
Nuryanti, Sofia Nurfadilla, Sarah Putri karlina, Mayang Febrina Putri, Bunga
Octavia, Erla Oktasilfia, Andhita Adriyanti, yang tidak pernah berhenti
mendoakan, mendukung, dan membantu saya dalam menjalani penelitian dan
kehidupan perkuliahan ini.
6. Untuk teman-teman seperjuangan Departemen Bedah Urologi yang sudah
banyak membantu dan mendoakan saya, Mayang Febrina Putri,Lina Utarini,
Fitria Hasanah.
Fianita Nurlarasati
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.....................................................................................................i
PERNYATAAN ORISINALITAS...............................................................................ii
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI........................................................iii
PENGESAHAN...........................................................................................................iv
ABSTRAK....................................................................................................................v
ABSTRACT...................................................................................................................vi
KATA PENGANTAR................................................................................................vii
DAFTAR ISI..............................................................................................................ixx
DAFTAR TABEL......................................................................................................xxi
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................xxiii
DAFTAR BAGAN.....................................................................................................xiii
DAFTAR LAMPIRAN..............................................................................................xiv
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1
I.1 Latar Belakang.........................................................................................................1
I.2 Rumusan Masalah....................................................................................................3
I.3 Tujuan Penelitian......................................................................................................3
I.4 Manfaat Penelitian....................................................................................................4
vi
IV.2 Hasil Penelitian....................................................................................................38
IV.3 Pembahasan Hasil Penelitian...............................................................................32
IV.4 Keterbatasan Penelitian.......................................................................................43
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................47
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
LAMPIRAN
vii
DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR BAGAN
x
DAFTAR LAMPIRAN
xi
BAB I
PENDAHULUAN
Kelenjar prostat adalah salah satu organ tubuh laki-laki yang paling sering
mengalami gangguan, yaitu pembesaran prostat jinak atau Benign Prostate
Hyperplasia (BPH). Seiring dengan bertambanya usia, BPH akan lebih sering
ditemukan (Setiati, 2014). Penyakit pembesaran prostat jinak menjadi urutan kedua
penyakit tersering pada laki-laki, setelah penyakit batu saluran kemih yang sering
dijumpai di klinik urologi. Secara umum 5% atau sekitar 5 juta dari jumlah laki-laki
di Indonesia dengan kelompok usia 60 tahun ke atas, dan sekitar 2,5 juta laki-laki
dengan kelompok usia di bawah 60 tahun dinyatakan menderita penyakit BPH.
Prevalensi berdasarkan pemeriksaan histologis BPH pada laki berusia 41-50 tahun
meningkat 20%, pada laki usia 51-60 tahun meningkat menjadi 50%, hingga lebih
dari 90% pada laki berusia lebih dari 80 tahun. Pada usia 55 tahun, lebih dari 25%
laki-laki mengeluh gejala obstruksi pada saluran kemih bagian bawah, meningkat
hingga 50% pada usia 75 tahun disertai keluhan berkurangnya pancaran atau aliran
urin pada saat berkemih (Saputra, 2016).
1
2
Karena hal tersebut, penulis tertarik untuk meneliti perbedaan nilai pancaran urin
pada pemeriksaan uroflowmetri sebelum dan sesudah pemberian tamsulosin di RSPAD
Gatot Soebroto yang merupakan rumah sakit rujukan tertinggi TNI angkatan darat dan
umum.
II.1 Prostat
II.1.1 Anatomi dan Histologi
Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di bawah dari buli-buli, di
depan rektum dan membungkus uretra posterior. Bentuknya seperti buah kemiri
dengan ukuran 4x3x2,5 cm dan beratnya kurang lebih 20 gram seperti pada gambar 1
(Purnomo, 2012). Prostat memiliki kapsula fibrosa yang padat dan dilapisi oleh
jaringan ikat prostat sebagai bagian fascia pelvis visceralis. Pada bagian superior dari
prostat berhubungan dengan vesika urinaria, sedangkan bagian inferior bersandar
pada diafragma urogenital. Permukaan ventral prostat terpisah dari simpisis pubis
oleh lemak retroperitoneal dalam spatium retropubicum dan permukaan dorsal
berbatas pada ampulla recti. Kelenjar prostat terdiri atas jaringan kelenjar dinding
uretra yang mulai menonjol pada masa pubertas. Biasanya kelenjar prostat dapat
tumbuh seumur hidup. Secara anatomi, prostat berhubungan erat dengan kandung
kemih, uretra, vas deferens, dan vesikula seminalis. Prostat terletak di atas diafragma
panggul, sehingga uretra terfiksasi pada diafragma tersebut, dapat terobek bersama
diafragma bila terjadi cedera. Prostat dapat diraba pada pemeriksaan colok dubur
(Sjamsuhidajat dkk., 2012).
5
6
II.2.2 Etiologi
menginjak usia tua dan masih mempunyai testis yang masih berfungsi normal
menghasilkan testosteron. Di samping itu pengaruh hormon lain (estrogen, prolaktin),
diet tertentu, mikrotrauma, dan faktor-faktor lingkungan diduga berperan dalam
proliferasi sel - sel kelenjar prostat secara tidak langsung. Faktor-faktor tersebut
mampu mempengaruhi sel-sel prostat untuk mensintesis protein growth factor, yang
selanjutnya protein inilah yang berperan dalam memacu terjadinya proliferasi sel-sel
kelenjar prostat. Fakor-faktor yang mampu meningkatkan sintesis protein growth
factor dikenal sebagai faktor ekstrinsik sedangkan protein growth factor dikenal
sebagai faktor intrinsik yang menyebabkan hiperplasia kelenjar prostat (Guideline
IAUI, 2015). Ada beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat
kaitannya dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron dan proses aging (menjadi
tua). Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya BPH adalah:
a. Teori Dihidrotestosteron
Gejala klinis hanya terjadi sekitar 10% pada laki-laki yang mengidap kelainan
ini. Hal ini dikarenakan BPH mengenai bagian dalam prostat, manifestasinya yang
tersering adalah gejala obstruksi saluran kemih bawah (Kumar dkk., 2007). Gejala
klinis berkembang lambat karena hipertrofi detrusor kandung kemih
mengkompensasi untuk kompresi uretra. Seiring dengan osbtruksi berkembang,
kekuatan pancaran urin menurun, dan terjadi keraguraguan dalam memulai berkemih
dan menetes diakhir berkemih.
Disuria dan urgensi merupakan tanda klinis iritasi kandung kemih (mungkin
sebagai akibat peradangan atau tumor) dan biasanya tidak terlihat pada hiperplasia
prostat. Ketika residual pasca-miksi bertambah, dapat timbul nokturia dan overflow
incontinence (Saputra, 2009). Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada
saluran kemih maupun keluhan di luar saluran kemih, yaitu:
yang seharusnya . kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan
mempertahankan kontraksinya dalam waktu yang lama, menimbukan gejala
obstruksi tersebut yang terdiri dari hesitansi (sulit memulai berkemih),
pancaran urin lemah, intermitensi (miksi terputus-putus) dan rasa tidak puas
setelah berkemih. Untuk mengetahui derajat obstruksi prostat, perlu dilakukan
pengukuran residu urin dan urinary flow rate (laju urin). Gejala iritasi terjadi
sekunder pada kandung kemih sebagai respon meningkatnya resistensi
pengeluaran. Gejala ini terjadi karena pengosongan kandung kemih tidak
sempurna pada pasien BPH, dan juga pembesaran prostat menyebabkan
hipersensitifitas pada otot detrusor kandung kemih, sehingga kandung kemih
sering berkontraksi walaupun belum penuh. Gejala iritasi terdiri dari frekuensi
berkemih meningkat, nokturia (sering ingin berkemih pada malam hari),
urgency (sulit menahan untuk tidak berkemih), isuria (Nyeri pada saat
berkemih). Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan saluran kemih
bagian bawah, beberapa ahli urologi membuat sistem penilaian yang secara
subjektif dapat diisi dan dihitung sendiri oleh pasien. Sistem skoring yang
dianjurkan oleh organisasi kesehatan dunia (WHO) adalah Skor International
Gejala Prostat atau I-PSS (International Prostatic Symptom Score) terdiri atas
tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi dan satu
pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien. Setiap
pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi diberi nilai 0−5,
sedangkan keluhan yang menyangkut kualitas hidup diberi nilai 1−7. Dari
skor IPSS itu dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu ringan
(skor 0−7), sedang (skor 8−19), dan berat (skor 20−35) (Nursalam, 2016).
b. Gejala di luar saluran kemih
Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia
inguinalis atau hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering
mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra-
abdominal (Purnomo, 2012). Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan
buli-buli yang terisi penuh dan teraba massa kistus di daerah supra simfisis
14
akibat retensi urin. Kadang-kadang didapatkan urin yang selalu menetes tanpa
disadari oleh pasien yaitu merupakan tanda dari inkontinensia paradoksa. Pada
colok dubur yang diperhatikan adalah tonus sfingter ani atau refleks bulbo-
kavernosus untuk menyingkirkan adanya kelainan buli-buli neurogenik,
mukosa rektum, dan keadaan prostat, antara lain: kemungkinan adanya nodul,
krepitasi, konsistensi prostat, simetrisitas antara lobus dan batas prostat .
Colok dubur pada pembesaran prostat jinak menunjukkan konsistensi prostat
kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak
didapatkan nodul, sedangkan pada karsinoma prostat, konsistensi prostat keras
atau teraba nodul dan mungkin di antara prostat tidak simetri (Purnomo,
2012).
II.2.5 Patofisiologi
Pada BPH terjadi rasio peningkatan komponen stroma terhadap kelenjar. Pada
prostat normal rasio stroma dibanding dengan kelanjar adalah 2:1, pada BPH,
rasionya meningkat menjadi 4:1. Hal ini menyebabkan pada BPH terjadi peningkatan
tonus otot polos prostat dibandingkan dengan prostat normal. Dalam hal ini massa
prostat yang menyebabkan obstruksi komponen statik sedangkan tonus otot polos
yang merupakan komponen dinamik sebagai penyebab obstruksi prostat (Purnomo,
2012). Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala
yaitu komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini
berhubungan dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak
uretra pars prostatika sehingga terjadi gangguan aliran urine (obstruksi infra vesikal)
sedangkan komponen dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan kapsulnya, yang
merupakan α-adrenergik reseptor. Stimulasi pada α-adrenergik reseptor akan
menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun kenaikan tonus. Komponen
dinamik ini tergantung dari stimulasi saraf simpatis, yang juga tergantung dari
beratnya obstruksi oleh komponen mekanik (Presti et al, 2013).
II.2.6 Diagnosis
a. Anamnesis
1) Riwayat Penyakit
2) Skor keluhan
b. Pemeriksan Fisik
1) Status Urologis
a) Ginjal
Pemeriksaan fisik ginjal pada kasus BPH untuk mengevaluasi adanya
obstruksi atau tanda infeksi.
b) Kandung kemih
Pemeriksaan kandung kemih dilakukan dengan palpasi dan perkusi
untuk menilai isi kandung kemih, ada tidaknya tanda infeksi.
c) Colok Dubur
c. Pemeriksaan Penunjang
Sumbu y : waktu
20
Sumbu y : waktu
II.2.7 Tatalaksana
b. Medikamentosa
Terapi medikamentosa diberikan pada pasien derajat sedang dengan hasil
IPSS ≥ 7. Obat-obatan yang digunakan pada terapi medikamentosa pasien
BPH meliputi:
1) α1-blocker
(a) Tamsulosin
(1) Farmakodinamik
(2) Farmakokinetik
(3) Dosis
Obat ini hanya dikonsumsi oleh pria dewasa dengan dosis awal 0,4
mg dan obat dikonsumsi satu kali sehari dosis maksimum sebanyak
0,8 mg per hari, akan ada peningkatan dosis dengan jeda waktu
peningkatan dosis 2 - 4 minggu dan melakukan evaluasi terhadap
respon tubuh terhadap dosis awal (Setiawati and Gan, 2012).
Tamsulosin masih tetap aman dan efektif walaupun diberikan
hingga 6 tahun (Katzung, 2012).
(b) Doksazosin
Doksazosin adalah obat yang biasa diberikan untuk membantu
meningkatkan aliran urin pada pria dengan pembesaran prostat.
(1) Farmakodinamik
Obat ini dapat meningkatkan kemungkinan gagal jantung dengan
memblokir reseptor tertentu di sel-sel otot jantung. Reseptor sel,
bernama α1-adrenergik reseptor, meningkatkan kontraksi otot halus.
Obat-obatan seperti doksazosin mempromosikan aliran urin yang
lebih baik dengan menghalangi aksi dari reseptor, sehingga
23
(3) Dosis
2) 5α-reductase inhibitor
(a) Faramakodinamik
5α reductase inhibitor bekerja dengan cara mencegah hidrolise
testosteron menjadi DHT dengan cara menghambat 5 alpha reduktase,
suatu enzim yang diperlukan untuk mengubah testosteron menjadi
dehidrotestosteron (DHT), suatu hormon androgen yang mempengaruhi
pertumbuhan kelenjar prostat, sehingga jumlah DHT berkurang tetapi
jumlah testosteron tidak berkurang, sehingga libido juga tidak menurun.
Penurunan kadar zat aktif dehidrotestosteron ini menyebabkan
mengecilnya ukuran prostat. Saat ini, terdapat 2 jenis obat 5α‐reductase
inhibitor yang dipakai untuk mengobati BPH, yaitu finasteride dan
dutasteride. Efek klinis finasteride atau dutasteride baru dapat terlihat
setelah 6 bulan (European Association of Urology, 2010)
(b) Dosis
24
3) Phospodieterase 5 Inhibitor
(a) Farmakodinamik
(b) Dosis
Sampai saat ini, hanya tadalafil dengan dosis 5 mg per hari yang
direkomendasikan untuk pengobatan LUTS .
c. Pembedahan
Terapi pembedahan dilakukan bila pasien mengalami komplikasi, seperti
retensi urine akut, gagal Trial Without Catheter (TwoC), infeksi saluran kemih
berulang, hematuria makroskopik berulang, batu kandung kemih, penurunan
fungsi ginjal yang disebabkan oleh obstruksi akibat BPH dan perubahan patologis
pada kandung kemih dan saluran kemih bagian atas. Indikasi relatif lain untuk
terapi pembedahan adalah keluhan berat yang tidak menunjukkan perbaikan
setelah pemberian terapi non bedah, dan pasien yang menolak pemberian terapi
medikamentosa (Guideline IAUI 2015).
25
Obstruksi α1 adrenergik
infra vesika inhibitor
Komponen Komponen
mekanik dinamik
26
Retensi
Peningkatan
urin
reseptor
adrenergik
Menegejan
saat miksi
Tidak terjadi
peningkatan
respon saraf
simpatis
Pancaran urin
Ket: tidak diteliti membaik
Diteliti
Sumber : Modifikasi dari Purnomo (2011); Smith’s General Urology 17th edition
Bagan 1 Kerangka Teori
Variable Perancu
- Kepatuhan minum
obat
- Ketepatan waktu
control
27
Gacci Mauro,
2012 A Randomized, Placebo- Variabel independen: terapi Kombinasi tamsulosin 0,4
Controlled Study to Assess kombinasi Tamsulosin dan mg dan vardenafil 10 mg
Safety and Efficacy of Verdenafil setiap hari selama 12
Vardenafil 10 mg and minggu ditoleransi dengan
Tamsulosin 0.4 mg vs. Variabel dependen: LUTS baik dan lebih efektif
dibandingkan dengan
Tamsulosin 0.4 mg Alone Pembeda: terdapat perbedaan tamsulosin sendiri untuk
in the Treatment of LUTS pada variabel dependen meningkatkan fungsi urin
Secondary to BPH dan ereksi pada pria dengan
LUTS / BPH.
BAB III
METODE PENELITIAN
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang
mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Notoatmodjo, 2010). Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh pasien BPH yang diberikan obat tamsulosin di Poli
Bedah Urologi RSPAD Gatot Soebroto 2017.
III.3.2 Sampel
Sampel penelitian adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang
diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2010). Sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah dokumen rekam medis pasien BPH di Poli
Bedah Urologi RSPAD Gatot Soebroto yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
yang telah ditetapkan oleh peneliti.
29
30
Qmax Total
31
P1 = A / (A + B) = 74/90 = 0,82
P2 = C / (C + D ) = 54/92 = 0,58
2
N=
[ Z √2P ( 1-P) +Z √ P ( 1- P ) + P ( 1- P ) ]
1-α 1-β 1 1 2 2
( P1 - P2 )2
P = (P1 + P2)/2
n=
[ Z √2P ( 1-P) +Z √ P ( 1- P ) + P ( 1- P ) ]
1-α 1-β 1 1 2 2
( P1 - P2 )2
32
2
[ 0,05 √2 (P 1 + P 2 )/2 ( 1- (P 1 + P 2)/2 ) +0,8 √0,82 ( 1-0,82 ) +0,58 ( 1-0,58 ) ]
¿
(0,82-0,58 )2
2
=
[ 0,05 √ 2 (1,4)/2 ( 1- (1,4)/2 ) +0,8 √0,82 ( 1-0,82 ) +0,58 (1-0,58 ) ]
(0,82-0,58) 2
n=57 sampel
a. Kriteria Inklusi
1) Pasien berusia 40 tahun ke atas
2) Pasien baru mendapat tamsulosin
3) Pasien BPH derajat sedang sampai berat
4) Pasien mengkonsumsi tamsulosin setidaknya selama 1 minggu
b. Kriteria Eksklusi
1) Pasien yang telah mendapat tata laksana selain tamsulosin
2) Pasien yang mengalami penyakit selain BPH yang dapat menimbullkan keluhan
berkemih seperti voiding storage
3) Pasien dengan kelainan anatomis dan fungsi ginjal
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel terikat (dependent) dan
variabel bebas (independent). Pada penelitian ini variabel terikat merupakan nilai
pancaran urin pada pemeriksaan uroflowmetri pasien BPH, dan variabel bebasnya
adalah pemberian tamsulosin.
Skala Hasil
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur
Ukur Ukur
Variabel terikat
Pemeriksaan laju pancaran
1 pemeriksaan urin secara elektronik Uroflowmeter Mengukur cc/detik Numerik
Uroflowmetri untuk mendapatkan pancaran urin
informasi mengenai dengan satuan
volume berkemih, laju cc/detik.
pancaran maksimum
(Qmax),laju pancaran rata-
rata(Qave), dan waktu
yang dibutuhkan untuk
mencapai laju pancaran
maksimum, dan lama
pancaran. (Guideline IAUI
2015).
Variabel Bebas
1. Pemberian Obat antagonis kompetitif Rekam Dosis per kali Miligra Numerik
Tamsulosin α1-adrenergik yang medis minum m
digunakan untuk mengurangi
kontraksi otot polos prostat
dengan dosis yang diberikan
0,4 - 0,8 mg 1x/hari diberikan
secara oral selama 13 minggu
(Katzung, 2012)
34
Instrument penelitian ini berupa rekam medis yang diperoleh dari poli bedah
urologi RSPAD Gatot Soebroto tahun 2017.
Setelah data terkumpul, data kemudian diolah dan dianalisis. Pengolahan data
terdiri dari 4 tahapan, yaitu editing, coding, data entry dan cleaning. Setelah melalui
4 proses tersebut data akan dianalisis menggunakan teknik komputerisasi.
a. Editing
Editing merupakan prosedur awal yang dilakukan setelah melakukan pengumpulan
data rekam medis. Pada proses ini dilakukan pemeriksaan atas kelengkapan rekam
medis.
b. Coding
Coding merupakan kegiatan mengubah data yang semula bentuk huruf atau
kalimat menjadi data angka atau bilangan dan disesuaikan dengan nilai yang telah
ditentukan pada definisi operasional penelitian.
c. Data Entry
Setelah dilakukan kegiatan koding, data kemudian dimasukan kedalam aplikasi
pengolahan statistik pada komputer.
d. Cleaning
35
Cleaning merupakan prosedur terakhir dalam pengolahan data. Pada bagian ini
dilakukan pengecekan kesesuaian data pada komputer dengan kisi-kisi yang
ditetapkan untuk mencegah adanya kesalahan kode atau ketidaklengkapan data.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis univariat dan
analisis untuk melihat beda pancaran urin pada pemeriksaan uroflowmetri
Sidang proposal
Pengambilan data
Dokumentasi
37
38
39
Angkatan Darat, maka kepala staf Angkatan Darat dengan Surat Keputusannya
Nomor SKEP-582/X/1970 tanggal 22 Oktober 1970 menetapkan nama RSPAD
menjadi Rumah Sakit Gatot Soebroto, disingkat Rumkit Gatot Soebroto. Akhirnya
untuk membuat keseragaman sebutan nama-nama rumah sakit di lingkungan TNI
Angkatan Darat, Kajankesad dengan surat edaran Nomor SE/18/VIII/1977 tanggal 4
Agustus 1977 menetapkan sebutan untuk Rumah Sakit Gatot Soebroto menjadi
Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto (RSPAD Gatot Soebroto). Guna
menghormati dan mengenang jasa Letjen TNI Gatot Soebroto. Pada tahun 2010, RS
Kepresidenan Gatot Soebroto telah ditetapkan menjadi RS Pendidikan Utama FK
Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jakarta.
i) Masjid Asyifa, Chapel Kairos, dan Pura sebagai tempat ibadah yang
memberikan pelayanan rohani bagi pasien dan keluarga yang
sedang menjalani perawatan
j) Wisma Bermis sebagai kamar transit keluarga
k) Minimarket
l) Perbankan dan ATM Centre (BRI, BNI, Bukopin, Mandiri, BJB)
m) Cafetaria, Coffee Shop, dan Bakery
n) Taman dan relaksasi
o) Area Parkir luas, aman, dan bergaransi
p) Rumah Duka
q) Mess Perwira
r) Flat Dokter
s) Asrama Perawat / Karyawan dan Asrama Mahasiswa
t) Lapangan Tennis
u) Tempat Penitipan Anak (TPA) “Wahana Bina Balita”
c. Pelayanan Paviliun
Pelayanan Rawat Inap Rumah Sakit Kepresidenan RSPAD Gatot
Soebroto memiliki kelas yang bervariasi mulai dari Super VIP sampai kelas III
dengan fasilitas yang berbeda. Untuk kamar rawat inap khusus telah disediakan
pelayanan di Paviliun Kartika, Paviliun dr. R. Darmawan. PS, Paviliun dr.
Imam Sudjudi, Paviliun Anak dan Perawatan Non Paviliun.
Paviliun Kartika merupakan bagian dari Rumah Sakit Kepresidenan
RSPAD Gatot Soebroto yang mengemban tugas dalam memberikan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat umum, dengan motto "We Are Ready Give The
Best" Kami berusaha memberikan pelayanan prima.
Dengan didukung dokter ahli, tenaga profesional di bidangnya serta
peralatan media berteknologi canggih, Peviliun Kartika telah memberikan
pelayanan kesehatan kepada perorangan, dan telah bekerjasama kurang lebih
42
157 perusahaan bahkan kini banyak pejabat tinggi negara yang mempercayakan
pemeriksaan dan perawatan kesehatannya di Paviliun Kartika.
d. Poliklinik Bedah
Poliklinik Bedah siap melayani pasien dengan kasus bedah yang terdiri dari:
1) Bedah anak
2) Bedah Orthopedi atau Bedah Tulang
3) Bedah Syaraf
4) Bedah Toraks atau Jantung dan Paru
5) Bedah Vaskuler atau Pembuluh Darah
6) Bedah Digestif atau Saluran Cerna
7) Bedah Plastik
8) Bedah Onkologi atau Tumor
9) Bedah Urologi atau Saluran Kencing
10) Pemecah Batu Ginjal (ESWL)
Tamsulosin
(N= 57)
(mean ± SD)
43
IV.2.2 Hasil Analisis untuk melihat beda pancaran urin pada pemeriksaan
uroflowmetri
Analisis untuk melihat beda pancaran urin pada pemeriksaan uroflowmetri
menggunakan uji statistik Repeated Measurement Anova. Uji ini untuk menguji
perbedaan rata-rata antara dua kelompok data yang dependen. Tujuannya untuk
mengetahui apakah ada perbedaan nilai Qmax sebelum pemberian tamsulosin dan
nilai Qmax setelah pemberian tamsulosin dan juga tadalafil. Uji Repeated
Measurement Anova dan uji t-test memiliki asumsi yang harus dipenuhi, yaitu :
datanya berdistribusi normal, kedua kelompok data dependen (berpasangan), variabel
yang dihubungkan berbentuk numerik dan kategorik (lebih dari 2 kelompok) dan data
yang homogen.
Kolmogorov-Smirnova
Statistic Df Sig.
Selisih_Nilai
.102 57 .200*
Qmax
Sumber : Data Sekunder Diolah, 2018
44
Pada Output table uji normalitas data karena sampel berjumlah >50, maka
yang perlu di lihat nilai Kolmogorov-Smirnov. Nilai p=0,200 dengan alfa 5% atau
0,05, maka nilai p > 0,05 yang artinya tidak terdapat perbedaan signifikan antara
distribusi data kita dengan distribusi data teoritis. Artinya, data selisih berdistribusi
normal, maka bisa lakukan uji beda secara parametrik dengan uji Repeated
Measurement Anova dan T-test.
Tabel 6 Hasil homogenitas Data Obat Tamsulosin
Pada tabel diatas terdapat perbedaan nilai rata-rata atau selisih nilai rata-rata
Qmax antara sebelum dan sesudah pemberian tamsulosin selama 2 minggu, yakni
sebesar 1.852. Karena nilai p<alfa adalah p=0,000 (alfa 5% atau 0,05), artinya
terdapat perbedaan signifikan antara nilai Qmax sebelum dengan nilai Qmax sesudah
konsumsi tamsulosin selama 2 minggu.
Pada tabel diatas terdapat perbedaan nilai rata-rata atau selisih nilai rata-rata
Qmax antara sebelum dan sesudah pemberian tamsulosin selama 4 minggu, yakni
sebesar 1.777. Karena nilai p<alfa adalah p=0,000 (alfa 5% atau 0,05), artinya
45
terdapat perbedaan signifikan antara nilai Qmax sebelum dengan nilai Qmax sesudah
konsumsi tamsulosin selama 4 minggu.
IV.3 Pembahasan
Setelah melakukan penelitian dan pengolahan data yang diambil dari 57 rekam
medis pasien yang mendapatkan terapi tunggal menggunakan tamsulosin di Poli
Bedah RSPAD Gatot Soebroto tahun 2018 mendapatkan hasil yang tersaji pada tabel
12 menampilkan hasil dari beda nilai rata-rata Qmax awal sampai setelah 2 minggu
adalah 1.047 dan beda nilai rata-rata Qmax awal sampai setelah 4 minggu (1 bulan)
sebesar 1.852 . Dari hasil ini sudah terlihat perbedaan yang sangat signifikan antara
rata-rata nilai Qmax setelah 2 minggu dengan rata-rata Qmax setelah 4 minggu yaitu
hampir 2 kali lipat. Hal ini diperjelas oleh hasil uji menggunakan Repeated
Measurement Anova yang menunjukan hasil terdapat perbedaan nilai Qmax secara
sangat signifikan p = 0.000 (p<0,001).
Berdasarkan teori BPH terjadi rasio peningkatan komponen stroma terhadap
kelenjar, Yaitu peningkatan komponen dinamik dan komponen mekanik. Peningkatan
komponen dinamik akan mengakibatkan peningkatan reseptor adrenergik yang akan
meningkatkan respon saraf simpatis (McAninch et al, 2013). Peningkatan respon
saraf simpatis ini akan mengakibatkan peningkatan motor neuron ke sfingter uretra
ekstra yang akan menutup sfingter tersebut dan membuat aliran urin tidak mengalir
(Sherwood, 2016) dan mengakibatkan keluhan rasa tidak puas saat miksi, miksi
terputus, pancaran urin melemah. Tamsulosin sebagai obat yang bekerja untuk
menghambat α1-adrenergik akan membuat otot-otot prostat berelaksasi sehingga
diharapkan aliran urin pasien tidak terganggu akibat tertekannya uretra pars prostatika
pasien dan LUTS yang dirasakan mengalami perbaikan (Kapoor, 2012).
Hasil ini sejalan dengan penelitian Yigit Akin (2012) menemukan nilai prediksi
positif yang pertama dosis Qmax berubah untuk peningkatan Qmax bulan ketiga
sebagai 90,9% dan nilai prediksi negatif sebesar 66,6%. Selanjutnya nilai prediktif
positif untuk Qave adalah 86,1% dan nilai prediktif negatif adalah 50%. Di terangkan
pada temuan ini, dosis pertama tamsulosin 0,4 mg, jika perubahan pada Qmax paling
46
V.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan terhadap hasil penelitian yang
diperoleh
a. Rata - rata nilai pancaran urin pada pemeriksaan uroflowmetri pasien BPH
pada minggu ke 0 sebelum pemberian tamsulosin sebesar 9,73
b. Rata - rata nilai pancaran urin pada pemeriksaan uroflowmetri pasien BPH
pada minggu ke 2 sesudah pemberian tamsulosin sebesar 10,78.
c. Rata - rata nilai pancaran urin pada pemeriksaan uroflowmetri pasien BPH
pada minggu ke 4 sesudah pemberian tamsulosin 11,56.
d. Beda nilai pancaran urin pada pemeriksaan uroflowmetri pasien BPH pada
minggu ke 0 sebelum pemberian tamsulosin dan minggu ke 2 sesudah
pemberian tamsulosin sebesar 1,047.
e. Beda nilai pancaran urin pada pemeriksaan uroflowmetri pasien BPH pada
minggu ke 0 sebelum pemberian tamsulosin dan minggu ke 4 sesudah
pemberian tamsulosin sebesar 1,852.
f. Beda nilai pancaran urin pada pemeriksaan uroflowmetri pasien BPH pada
minggu ke 2 dan minggu ke 4 sesudah pemberian tamsulosin sebesar
1,777.
Dapat diambil kesimpulan bahwa pada penelitian ini terdapat perbedaan yang
sangat signifikan pada nilai Qmax pasien BPH pada awal sampai dua minggu setelah
pemberian tamsulosin, awal sampai satu bulan pemberian dan, dua minggu sampai
satu bulan pemberian, dimana nilai rata-rata Qmax awal sampai setelah 2 minggu
adalah lebih kecil (1.047) dibandingkan rata-rata nilai Qmax awal sampai satu bulan
pemberian tamsulosin (1.852) sehingga terjadi peningkatan rata-rata nilai Qmax pada
pasien BPH walau hanya dengan pemberian obat tunggal yaitu tamsulosin saja.
47
48
V.2 Saran
V.2.1 Saran untuk RS Kepresidenan RSPAD Gatot Soebroto
Perlunya dilakukan penelitian mengenai perbandingan tamsulosin dengan
obat lain dalam penatalaksanaan LUTS pada BPH di RSPAD Gatot Soebroto.
Akin, Y., Gulmez, H., Ucar, M. and Yucel, S., 2013. The effect of first dose of
tamsulosin on flow rate and its predictive ability on the improvement of
LUTS in men with BPH in the mid-term. International urology and
nephrology, 45(1), pp.45-51.
Cooperberg, M.R. and Carroll, P.R., 2015. Trends in management for patients with
localized prostate cancer, 1990-2013. Jama, 314(1), pp.80-82.
Cumpanas, A.A., Botoca, M., Minciu, R. and Bucuras, V., 2013. Intravesical
prostatic protrusion can be a predicting factor for the treatment outcome in
patients with lower urinary tract symptoms due to benign prostatic obstruction
treated with tamsulosin. Urology, 81(4), pp.859-863.
Guyton, A.C. and Hall, J.E., 2006. Textbook of Medical Physiology. 13th ed.
Philadelphia, PA, USA: Elsevier Saunders.
Katzung, B.G., Masters, S.B. and Trevor, A.J., 2012. Basic and clinical
pharmacology twelfth edition. International edition. McGraw-Hill. Page,
pp.636-650.
Kim, S. J., Shin, I. S., Eun, S. J., Whangbo, T. K., Kim, J. W., Cho, Y. S., Kim, J. C.
(2017) „Evidence is enough?: A systematic review and network metaanalysis
of the efficacy of tamsulosin 0.2 mg and tamsulosin 0.4 mg as an initial
therapeutic dose in asian benign prostatic hyperplasia patients‟,
49
50
Kumar, V., Cotran, R.S., dan Robbins S.L. 2007. Buku Ajar Patologi. Edisi 7; ali
Bahasa, Brahm U, Pendt ;editor Bahasa Indonesia, Huriawati Hartanto,
Nurwany Darmaniah, Nanda Wulandari.-ed.7-Jakarta: EGC.
Lepor, H. (2007) „Alpha blockers for the treatment of benign prostatic hyperplasia.‟,
Reviews in urology, 9(4), pp. 181–90. Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18231614%0Ahttp://www.pubmedc
entral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=PMC2213889.
McAninch, J.W. and Tanagho, E.A. eds., 1988. Smith's general urology. Prentice-
Hall International.
Mcphee Stepen J. and Maxine A. Papadakis. 2013. Current Medical Diagnosis and
Treatment. New York: McGraw Hill.
McPhee, S.J., Papadakis, M.A. and Rabow, M.W. eds., 2011. Current medical
diagnosis & treatment : Urologic Disorder 2011. New York:: McGraw-Hill
Medical. P.923-5
Mochtar, CA, Umbas, R, Soebadi, DM, Rasyid, N, Noegroho, BS, Poernomo, BB,
Tjahjodjati, Danarto HR, Wijanarko, S, Warli, SM, Hamid, ARAH 2015,
Panduan Penatalaksanaan Klinis Pembesaran Prostat Jinak (Benign
Prostatic Hyperplasia / BPH) Edisi ke-2, Jakarta : Ikatan Ahli Urologi
Indonesia (IAUI). http://www.iaui.or.id/ast/file/Guideline_BPH_(2015).pdf
Presti, JC. et al.,2013. Kane CJ, Shinohara K, Carroll PR. Neoplasms of the prostate
gland. Dalam:Smiths’s General Urology. 17th.
Pusat Data dan Informasi Kementerian Indonesia 2013, Gambaran Kesehatan Lanjut
Usia di Indonesia, Pusat Data dan Informasi Kementerian Indonesia, Jakarta
www.depkes.go.id/download.php?
file=download/pusdatin/buletin/buletinlansia.pdf
Setiawati, A. & Gan, S., 2012. Obat Ganglion dalam Farmakologi dan Terapi, Edisi
5. Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Sherwood, L. (2012). Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Edisi ke-6. Jakarta: EGC.
52
Sjamsuhidajat, dkk. (2012). Buku ajar ilmu bedah Samsuhidajat-De Jong. Edisi ke-3.
Jakarta: EGC
Yoo, T.K. and Cho, H.J., 2012. Benign prostatic hyperplasia: from bench to
clinic. Korean journal of urology, 53(3), pp.139-148