Anda di halaman 1dari 65

BEDA NILAI PANCARAN URIN PADA PEMERIKSAAN

UROFLOWMETRI PADA PASIEN BPH SEBELUM DAN


SESUDAH PEMBERIAN TAMSULOSIN DI POLI BEDAH
UROLOGI RSPAD GATOT SOEBROTO TAHUN 2017

SKRIPSI

FIANITA NURLARASATI
1410211058

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA


FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN
2018
BEDA NILAI PANCARAN URIN PADA PEMERIKSAAN
UROFLOWMETRI PADA PASIEN BPH SEBELUM DAN
SESUDAH PEMBERIAN TAMSULOSIN DI POLI BEDAH
UROLOGI RSPAD GATOT SOEBROTO TAHUN 2017

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh


Gelar Sarjana Kedokteran

FIANITA NURLARASATI
1410211058

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA


FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN
2018
BEDA NILAI PANCARAN URIN PADA PEMERIKSAAN UROFLOWMETRI
ANTARA SEBELUM DAN SESUDAH PEMBERIAN TAMSULOSIN PADA
PASIEN Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) DI POLI BEDAH UROLOGI
RSPAD GATOT SOEBROTO JAKARTA TAHUN 2017

Fianita Nurlarasati

Abstrak

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah penyakit degeneratif tersering pada laki-
laki yang ditandai dengan adanya hiperplasia sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat
yang dapat menyebabkan obstruksi saluran kemih. Di Indonesia lebih dari 5 juta pria
di atas usia 60 tahun di perkirakan mengalami BPH. Keluhan BPH yaitu Lower
Urinary Track Symptom (LUTS). Untuk mengurangi keluhan dapat dilakukan
pemeriksaan uroflowmetri pada pasien. Pengobatan BPH adalah dengan
mengkonsumsi tamsulosin yang merupakan obat inhibitor 1 adrenergik, yang
bertujuan untuk merelaksasi otot-otot pada prostat. Penelitian ini bertujuan untuk
melihat perbedaan nilai uroflowmetri pasien BPH antara sebelum dan sesudah
pemberian tamsulosin. Jenis penelitian ini adalah analitik observasi dengan desain
penelitian case control dan pengambilan sampel dengan menggunakan metode
nonprobability sampling dengan teknik consecutive sampling dengan jumlah subjek
62 orang. Data dianalisis dengan uji T berpasangan. Hasil menunjukkan terdapat
perbedaan nilai uroflowmetri yang sangat signifikan (p<0,01) pada pasien BPH
sebelum dan sesudah pemberian tamsulosin. Nilai perbedaan rata-rata uroflowmetri
awal sampai setelah 2 minggu adalah lebih besar (1.047) dibandingkan perbedaan
rata-rata nilai uroflowmetri awal sampai satu bulan pemberian tamsulosin (1.852).

Kata Kunci: Benign Prostate Hyperplasia (BPH), Lower Urinary Track Symptom
(LUTS), Tamsulosin, Uroflowmetri

ii
THE DIFFERENCE VALUE OF URINARY FLOW RATE ON
UROFLOWMETRY INSPECTION BETWEEN BEFORE AND AFTER
ADMINISTRATION OF TAMSULOSINE IN Benign Prostatic Hyperplasia
(BPH) PATIENTS AT UROLOGICAL SURGERY CLINIC RSPAD GATOT
SOEBROTO JAKARTA YEAR 2017

Fianita Nurlarasati

Abstract
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) is the most common degenerative disease in men
characterized by stromal cell hyperplasia and prostate gland epithelial cells that can
cause urinary tract obstruction. In Indonesia after urinary tract stones, the incidence in
Indonesia of more than 5 million men over the age of 60 is estimated to have BPH.
BPH complaints generally are the Lower Urinary Track Symptom (LUTS). To reduce
LUTS complaints uroflowmetric examination can be carried out in patients.
Treatment of BPH is to consume tamsulosin which is an 1 adrenergic inhibitor drug,
which aims to relax the muscles in the prostate. This study aims to look at differences
in uroflowmetry values of BPH patients between before and after tamsulosin
administration. This type of research is analytic observation with case control
research design and sampling using nonprobability sampling method with
consecutive sampling technique with 57 subjects.Data were analyzed by paired T test.
The results showed that there were significant differences in IPSS values (p <0.01) in
BPH patients before and after tamsulosin administration. The difference in the mean
of the initial uroflowmetry until after 2 weeks was smaller (1.047) than the difference
in the average initial uroflowmetry score to one month of tamsulosin (1.852).

Keywords: uroflowmetry, Benign Prostate Hyperplasia (BPH), Tamsulosin, Lower


Urinary Track Symptom (LUTS).

iii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas segala rahmat
dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik dan tepat
waktu. Dalam hal ini, penulis memilih topik mengenai bedah urologi dengan judul
“Beda Nilai Pancaran Urine Pada Pemeriksaan Uroflowmetri Sebelum Dan Sesudah
Diberikan Tamsulosin Pada Pasien BPH Di Poli Bedah Urologi RSPAD Gatot
Soebroto Tahun 2017”.
Penulis menyusun penelitian yang dikemas dalam bentuk skripsi ini sebagai
salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Kedokteran pada Program S1
Kedokteran Umum di Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jakarta.
Bukan suatu hal yang mudah bagi saya menyelesaikan penelitian ini seorang
diri, Karena itu, saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. dr. R Bebet Prasetyo, Sp.U selaku dosen pembimbing I, yang selalu
memberikan ilmu, arahan, saran dan bimbingan kepada saya agar penelitian
ini berjalan dengan sebaik-baiknya. Terima kasih juga kepada dr. Retno
Yulianti, M.Biomed. selaku dosen pembimbing II, yang selalu memberikan
bimbingan dan arahan terutama dalam penulisan laporan penelitian ini.
2. dr. Andi dan dr. Hariyono, Sp.U selaku pembimbing lapangan, yang sudah
meluangkan waktu, tenaga untuk memberikan saran, arahan, bimbingan dalam
pengambilan data penelitian ini.
3. dr.Erna Harfiani, M.Si selaku dosen penguji, untuk ilmu, tenaga, dan waktu
dalam memperbaiki laporan penelitian ini.
4. Kedua orang tua saya tercinta, ayah tersayang Surianto Sastro Sumitro dan
mama tercinta Ating Sugiantini yang selalu memberikan cinta, kasih sayang,
dukungan, doa dan nasehat untuk menguatkan dan mengarahkan saya menjadi
lebih baik dari hari ke hari. Terimakasih juga kepada kakak kandung saya
Muhammad Rizky Nurwibowo dan kakak ipar saya dr. Ning Destryanti yang

iv
tidak pernah berhenti berdoa dan memotivasi saya untuk tidak pernah berhenti
menggapai cita-cita saya meskipun tidak mudah.
5. Untuk sahabat-sahabat selama perkuliahan ini, Nida Fakhriyyah Rahmah, Iga
Nuryanti, Sofia Nurfadilla, Sarah Putri karlina, Mayang Febrina Putri, Bunga
Octavia, Erla Oktasilfia, Andhita Adriyanti, yang tidak pernah berhenti
mendoakan, mendukung, dan membantu saya dalam menjalani penelitian dan
kehidupan perkuliahan ini.
6. Untuk teman-teman seperjuangan Departemen Bedah Urologi yang sudah
banyak membantu dan mendoakan saya, Mayang Febrina Putri,Lina Utarini,
Fitria Hasanah.

Jakarta, 1 Agustus 2018


Penulis

Fianita Nurlarasati

v
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.....................................................................................................i
PERNYATAAN ORISINALITAS...............................................................................ii
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI........................................................iii
PENGESAHAN...........................................................................................................iv
ABSTRAK....................................................................................................................v
ABSTRACT...................................................................................................................vi
KATA PENGANTAR................................................................................................vii
DAFTAR ISI..............................................................................................................ixx
DAFTAR TABEL......................................................................................................xxi
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................xxiii
DAFTAR BAGAN.....................................................................................................xiii
DAFTAR LAMPIRAN..............................................................................................xiv

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1
I.1 Latar Belakang.........................................................................................................1
I.2 Rumusan Masalah....................................................................................................3
I.3 Tujuan Penelitian......................................................................................................3
I.4 Manfaat Penelitian....................................................................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................5


II.1 Prostat ....................................................................................................................5
II.2 Benign Prostatic Hyperplasia (BPH).....................................................................8
II.3 Kerangka Teori.....................................................................................................24
II.4 Kerangka konsep...................................................................................................25
II.5 Hipotesis Penelitian...............................................................................................25
II.6 Penelitian Terkait..................................................................................................25

BAB III METODE PENELITIAN.....................................................................……27


III.1 Jenis Penelitian....................................................................................................27
III.2 Lokasi dan Waktu Penelitian...............................................................................27
III.3 Subjek Penelitian.................................................................................................27
III.4 Metode Pengumpulan Data.................................................................................29
III.5 Identifikasi Variabel Penelitian...........................................................................30
III.6 Definisi Operasional............................................................................................30
III.7 Instrumen Penelitian............................................................................................31
III.8 Teknik Pengumpulan Data..................................................................................31
III.9 Pengolahan Data..................................................................................................31
III.10 Analisis Data......................................................................................................32
III.11 Protokol Penelitian.............................................................................................32

BAB IV HASIL PENELITIAN.... .............................................................................34


IV.1 Gambaran Umum Tempat Penelitian..................................................................34

vi
IV.2 Hasil Penelitian....................................................................................................38
IV.3 Pembahasan Hasil Penelitian...............................................................................32
IV.4 Keterbatasan Penelitian.......................................................................................43

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN..................................................................... 45


IV.4 Kesimpulan..........................................................................................................45
IV.4 Saran ..................................................................................................................46

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................47
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
LAMPIRAN

vii
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Penelitian Terkait ……………………………………………………26


Tabel 2 Effect of the intravesical protrusion of the prostate (IPP) on the
response to medical treatment with tamsulosin……………………….28
Tabel 3 Definisi Operasional Penelitian………………………………………30
Tabel 4 Karakteristik umum.…………………………………………….…...38
Tabel 5 Hasil Uji Normalitas data…………………………………………….39
Tabel 6 Hasil Beda Nilai Qmax ………………………………………………40
Tabel 7 Hasil Uji Normalitas Data Obat Tadalafil...........................................40
Tabel 8 Hasil Uji Perbedaan Nilai Qmax setelah pemberian Tadalafil .....…..41
Tabel 9 Hasil Uji Perbedaan Nilai Qmax setelah pemberian Tamsulosin
dan Tadalafil..………………………………………….……..............41

viii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi Prostat ..........................................................................................6


Gambar 2. Fisiologi Berkemih .....................................................................................8
Gambar 3. Hasil uroflowmetri normal........................................................................19
Gambar 4. Hasil uroflowmetri LUTS..........................................................................19

ix
DAFTAR BAGAN

Bagan 1 Kerangka Teori..............................................................................................25


Bagan 2 Kerangka Konsep..........................................................................................25
Bagan 3 Protokol Penelitian........................................Error! Bookmark not defined.

x
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Persetujuan Proposal


Lampiran 2 Surat Permohonan Izin Penelitian
Lampiran 3 Surat Persetujuan Penelitian di RSPAD Gatot Soebroto
Lampiran 4 Surat Persetujuan Etik
Lampiran 5 Output Analisis Univariat
Lampiran 6 Output Analisi Bivariat

xi
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Kelenjar prostat adalah salah satu organ tubuh laki-laki yang paling sering
mengalami gangguan, yaitu pembesaran prostat jinak atau Benign Prostate
Hyperplasia (BPH). Seiring dengan bertambanya usia, BPH akan lebih sering
ditemukan (Setiati, 2014). Penyakit pembesaran prostat jinak menjadi urutan kedua
penyakit tersering pada laki-laki, setelah penyakit batu saluran kemih yang sering
dijumpai di klinik urologi. Secara umum 5% atau sekitar 5 juta dari jumlah laki-laki
di Indonesia dengan kelompok usia 60 tahun ke atas, dan sekitar 2,5 juta laki-laki
dengan kelompok usia di bawah 60 tahun dinyatakan menderita penyakit BPH.
Prevalensi berdasarkan pemeriksaan histologis BPH pada laki berusia 41-50 tahun
meningkat 20%, pada laki usia 51-60 tahun meningkat menjadi 50%, hingga lebih
dari 90% pada laki berusia lebih dari 80 tahun. Pada usia 55 tahun, lebih dari 25%
laki-laki mengeluh gejala obstruksi pada saluran kemih bagian bawah, meningkat
hingga 50% pada usia 75 tahun disertai keluhan berkurangnya pancaran atau aliran
urin pada saat berkemih (Saputra, 2016).

Hal lain yang menyebabkan pentingnya perhatian terhadap penyakit BPH


adalah gejala penyakit BPH yang jika dibiarkan akan semakin parah. Gejala dari BPH
adalah lower urinary tract symptoms (LUTS) terdiri atas gejala obstruksi (voiding
symptoms) maupun iritasi (storage symptoms). Pasien BPH sering mengalami
keluhan berkemih, penderita mengeluhkan frekuensi berkemih meningkat, khususnya
pada malam hari, bahkan ada kalanya tidak dapat ditahan yang dapat mengakibatkan
terjadinya inkontinensia. Pasien juga sering mengeluhkan perasaan tidak puas setelah
berkemih (Mochtar et al, 2015). Hal tersebut terjadi apabila hambatan pada uretra
terus meningkat, sehingga menyebabkan berkemih akan makin sulit dan pancaran
berkemih juga melemah, bahkan berkemih dapat mendadak berhenti. Untuk

1
2

mengurangi keluhan LUTS dapat dilakukan penatalaksanaan dan pemeriksaan pada


pasien untuk mengetahui derajat berat ringannya BPH yang dialami yang dinilai
dengan menggunakan skor Internasional Prostate Symptom Scale (IPSS) (Guideline
IAUI, 2015).

Setelah menentukan derajat gejala LUTS dapat dilakukan pemeriksaan


penunjang yaitu pemeriksaan uroflowmetri. Uroflowmetri adalah pencatatan tentang
pancaran urin selama proses miksi secara elektronik. Pemeriksaan ini ditujukan untuk
mendeteksi gejala obstruksi saluran kemih bagian bawah yang tidak invasif. Dari
uroflowmetri dapat diperoleh informasi mengenai volume miksi, pancaran maksimum
(Qmax), pancaran rata-rata (Qave), waktu yang dibutuhkan untuk mencapai pancaran
maksimum, dan lama pancaran. Pemeriksaan ini sangat mudah, non invasif, dan
sering dipakai untuk mengevaluasi gejala obstruksi intravesika baik sebelum maupun
setelah mendapatkan terapi (Guideline IAUI, 2015).

Penatalaksanaan BPH terdiri atas watchful waiting, medikamentosa dan terapi


pembedahan yang bertujuan untuk menghilangkan tanda dan gejala, ataupun
mencegah progresivitas penyakit itu sendiri. Tapi indikasi yang paling umum adalah
untuk meredakan gejala LUTS dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup penderita
BPH. Alpha-blockers adalah obat yang paling efektif, terjangkau, dan mempunyai
tingkat toleransi paling baik dalam meredakan LUTS (Lepor, 2007). Pengobatan
dengan α1-blocker bertujuan menghambat kontraksi otot polos prostat sehingga
mengurangi resistensi tonus leher kandung kemih dan uretra (Mochtar et al., 2015).
Obat golongan α1-blocker yang telah teruji klinis adalah terazosin, doxazosin,
tamsulosin, dan alfuzosin (Lepor, 2007).
Tamsulosin adalah obat oral yang paling umum digunakan sebagai
pengobatan LUTS pada pasien BPH (Kim et al., 2017). Tamsulosin dikenal sebagai
obat pertama yang merupakan subtipe α1-antagonis selektif untuk pengobatan BPH.
Penelitian mengenai subtipe α1-antagonis selektif ini menunjukkan bahwa tamsulosin
sepuluh kali lipat lebih selektif terhadap reseptor α1-A dibandingkan selektifitasnya
terhadap reseptor α1-B (Lepor, 2007).
3

Karena hal tersebut, penulis tertarik untuk meneliti perbedaan nilai pancaran urin
pada pemeriksaan uroflowmetri sebelum dan sesudah pemberian tamsulosin di RSPAD
Gatot Soebroto yang merupakan rumah sakit rujukan tertinggi TNI angkatan darat dan
umum.

I.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan sebelumnya, maka rumusan


masalah yang dapat diambil adalah apakah terdapat beda pancaran urin pada
pemeriksaan uroflometri pasien BPH sebelum dan sesudah penggunaan tamsulosin
di Poli Bedah RSPAD Gatot Soebroto Tahun 2017?

I.3 Tujuan Penelitian


I.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui perbedaan nilai pancaran urin pada pemeriksaan uroflowmetri


pasien BPH sebelum dan sesudah penggunaan tamsulosin di Poli Bedah RSPAD
Gatot Seobroto tahun 2017.

I.3.2 Tujuan Khusus

a. Mengetahui nilai rata - rata pancaran urin pada pemeriksaan uroflowmetri


pasien BPH pada minggu ke 0, 2 dan 4 sebelum pemberian tamsulosin.
b. Mengetahui beda nilai rata - rata pancaran urin pada pemeriksaan
uroflowmetri pasien BPH pada minggu ke 0 sebelum pemberian tamsulosin
dan minggu ke 2 sesudah pemberian tamsulosin.
c. Mengetahui beda nilai rata - rata pancaran urin pada pemeriksaan
uroflowmetri pasien BPH pada minggu ke 0 sebelum pemberian tamsulosin
dan minggu ke 4 sesudah pemberian tamsulosin.
d. Mengetahui beda nilai rata - rata pancaran urin pada pemeriksaan
uroflowmetri pasien BPH pada minggu ke 2 dan minggu ke 4 sesudah
pemberian tamsulosin.
4

I.4 Manfaat Penelitian


I.4.1 Manfaat Teoritis

Dapat memberikan informasi mengenai beda pancaran urin pada pemeriksaan


uroflowmetri pasien BPH sebelum dan sesudah penggunaan tamsulosin di Poli
Bedah RSPAD Gatot Seobroto tahun 2017.

I.4.2 Manfaat Praktisi


I.4.2.1 Bagi Peneliti

a. Menambah pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan suatu penelitian.


b. Melatih identifikasi masalah dan meningkatkan kemampuan analisis, serta
untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang beda pancaran urin pada
pemeriksaan uroflowmetri pasien BPH sebelum dan sesudah penggunaan
tamsulosin.

I.4.2.2 Institusi dan Tenaga Kesehatan

Agar dapat mengetahui manfaat pemberian tamsulosin pada pasien BPH


untuk mengurangi keluhan LUTS pada pemeriksaan uroflowmetri.

I.4.2.3 Bagi Masyarakat

Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai manfaat pemberian


tamsulosin pada pasien BPH untuk mengurangi gejala LUTS pada pemeriksaan
uroflowmetri yang dialami sehingga mencegah komplikasi yang mugkin terjadi.

I.4.2.4 Bagi Peneliti Selanjutnya

Agar penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk penelitian selanjutnya.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Prostat
II.1.1 Anatomi dan Histologi

Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di bawah dari buli-buli, di
depan rektum dan membungkus uretra posterior. Bentuknya seperti buah kemiri
dengan ukuran 4x3x2,5 cm dan beratnya kurang lebih 20 gram seperti pada gambar 1
(Purnomo, 2012). Prostat memiliki kapsula fibrosa yang padat dan dilapisi oleh
jaringan ikat prostat sebagai bagian fascia pelvis visceralis. Pada bagian superior dari
prostat berhubungan dengan vesika urinaria, sedangkan bagian inferior bersandar
pada diafragma urogenital. Permukaan ventral prostat terpisah dari simpisis pubis
oleh lemak retroperitoneal dalam spatium retropubicum dan permukaan dorsal
berbatas pada ampulla recti. Kelenjar prostat terdiri atas jaringan kelenjar dinding
uretra yang mulai menonjol pada masa pubertas. Biasanya kelenjar prostat dapat
tumbuh seumur hidup. Secara anatomi, prostat berhubungan erat dengan kandung
kemih, uretra, vas deferens, dan vesikula seminalis. Prostat terletak di atas diafragma
panggul, sehingga uretra terfiksasi pada diafragma tersebut, dapat terobek bersama
diafragma bila terjadi cedera. Prostat dapat diraba pada pemeriksaan colok dubur
(Sjamsuhidajat dkk., 2012).

Selain mengandung jaringan kelenjar, kelenjar prostat mengandung cukup


banyak jaringan fibrosa dan jaringan otot polos. Kelenjar ini ditembus oleh uretra dan
kedua duktus ejakulatorius, dan dikelilingi oleh suatu pleksus vena. Kelenjar limfe
regionalnya ialah kelenjar limfe hipogastrik, sacral, obturator, dan iliaka eksterna
(Sjamsuhidajat dkk., 2012).

5
6

Sumber: McAninch et al, 2013

Gambar 1 Anatomi Kelenjar Prostat

II.1.2 Fisiologi Berkemih

Miksi atau berkemih merupakan proses pengosongan kandung kemih yang


diatur oleh dua mekanisme, yaitu refleks berkemih dan kontrol volunter. Refleks
berkemih yang secara keseluruhan merupakan refleks spinal akan terpicu saat adanya
rangsangan pada reseptor regang di dalam dinding kandung kemih. Pada orang
dewasa, reseptor regang ini akan teraktivasi apabila kandung kemih telah terisi urin
sebanyak 200-400 mL. Semakin besar tegangan melebihi ukuran ini, semakin besar
tingkat pengaktifan reseptor. Serabut saraf aferen akan membawa impuls dari reseptor
regang menuju ke medulla spinalis dan akhirnya, melalui antar neuron, akan
merangsang saraf parasimpatis untuk kandung kemih dan menghambat neuron
7

motorik ke sfingter eksternus. Stimulasi saraf parasimpatis akan menyebabkan


kontraksi kandung kemih. Kontraksi kandung kemih ini secara otomatis akan
menyebabkan terbukanya sfingter uretra internus secara mekanis sedangkan sfingter
eksternus akan melemas karena neuron motoriknya dihambat. Setelah kedua sfinger
uretra terbuka, maka urin akan terdorong keluar oleh kontraksi kandung kemih
(Sherwood, 2012).

Selain memicu refleks berkemih, pengisian kandung kemih akan


menimbulkan kesadaran seseorang dan memicu keinginan untuk berkemih. Persepsi
penuhnya kandung kemih muncul sebelum sfingter eksternus secara refleks melemas,
memberi peringatan bahwa miksi akan segera terjadi. Dengan toilet training pada
masa anak-anak, kontrol volunter berkemih dapat mengalahkan refleks berkemih
sehingga pengosongan kandung kemih dapat terjadi sesuai keinginan orang yang
bersangkutan. Pada saat seseorang menahan berkemih, impuls eksitatorik volunter
dari korteks serebri mengalahkan sinyal inhibitorik refleks dari reseptor regang ke
neuron motorik yang terlibat sehingga otot-otot ini akan tetap berkontraksi dan tidak
ada urin yang keluar. Akan tetapi, berkemih tidak dapat ditahan selamanya. Karena
kandung kemih terus terisi urin, maka sinyal refleks dari reseptor regang akan
meningkat seiring waktu. Akibatnya, sinyal inhibitorik refleks ke neuron motorik
sfingter eksternus menjadi sedemikian kuat sehingga tidak dapat lagi diatasi oleh
sinyal eksitatorik volunter sehingga sfingter melemas dan kandung kemih secara tak
terkontrol mengosongkan isinya (Sherwood, 2012).
Berkemih juga dapat dilakukan dengan sengaja, meskipun kandung kemih
sedang tidak dalam kondisi teregang, yaitu dengan secara sengaja melemaskan
sfingter eksternus dan diafragma pelvis. Turunnya dasar panggul memungkinkan
kandung kemih turun, yang secara simultan menarik terbuka sfingter uretra internus
dan meregangkan dinding kandung kemih. Akibatnya, terjadi pengaktifan reseptor
regang yang kemudian akan menyebabkan kontraksi kandung kemih melalui refleks
berkemih. Pengosongan kandung kemih secara sengaja ini juga dapat dibantu oleh
kontraksi dinding abdomen dan diafragma pernafasan, yang akan menyebabkan
8

peningkatan tekanan intraabdomen yang kemudian akan menekan kandung kemih ke


bawah untuk mempermudah proses pengosongan (Sherwood, 2012). Gambar 2
dibawah ini menjelaskan tentang fisiologi berkemih.

Sumber: Sherwood, 2012

Gambar 2 Fisiologi Berkemih

II.2 Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)


II.2.1 Definisi
Benign Prostatic Hyperplasia merupakan istilah histopatologis, yaitu adanya
hyperplasia sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat. Banyak faktor yang diduga
9

berperan dalam proliferasi/pertumbuhan jinak kelenjar prostat. Pada dasarnya BPH


tumbuh pada pria yang menginjak usia tua dan memiliki testis yang masih
menghasilkan testosteron. Di samping itu, pengaruh hormon lain (estrogen,
prolaktin), pola diet, mikrotrauma, inflamasi, obesitas, dan aktivitas fisik diduga
berhubungan dengan proliferasi sel kelenjar prostat secara tidak langsung. Faktor-
faktor tersebut mampu memengaruhi sel prostat untuk mensintesis growth factor,
yang selanjutnya berperan dalam memacu terjadinya proliferasi sel kelenjar prostat (
Guideline IAUI, 2015).
Prostat terletak mengelilingi urethra posterior, pembesaran dari prostat
mengakibatkan uretra pars prostatika menyempit dan menekan dasar dari kandung
kemih. Penyempitan ini dapat menghambat keluarnya urin. Keadaan ini
menyebabkan peningkatan tekanan intravesika. Untuk dapat mengeluarkan urin,
kandung kemih harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi
yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomi kandung kemih, perubahan
struktur ini oleh penderita dirasakan sebagai keluhan atau gejala LUTS.
Lower Urinary Tract Symptoms adalah istilah umum untuk menjelaskan
berbagai gejala berkemih yang dikaitkan dengan BPH. Keluhan pasien BPH berupa
LUTS terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms) maupun iritasi (storage
symptoms). Gambaran prostat normal dibandingkan dengan BPH Obstruksi yang
disebabkan oleh BPH tidak hanya disebabkan oleh adanya massa prostat (merupakan
komponen statis) yang menyumbat uretra posterior tetapi juga disebabkan oleh
peningkatan tonus otot polos (merupakan komponen dinamis) yang terdapat pada
stroma prostat, kapsul prostat, dan leher kandung kemih. Peningkatan tonus otot
polos prostat (organ tersebut dipersarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari
nervus pudendus) pada BPH terkait rangsangan dari α1-adrenoceptors (Kim, 2017).

II.2.2 Etiologi

Terdapat banyak faktor yang diduga berperan dalam proliferasi atau


pertumbuhan jinak kelenjar prostat, tetapi pada dasarnya BPH tumbuh pada pria yang
10

menginjak usia tua dan masih mempunyai testis yang masih berfungsi normal
menghasilkan testosteron. Di samping itu pengaruh hormon lain (estrogen, prolaktin),
diet tertentu, mikrotrauma, dan faktor-faktor lingkungan diduga berperan dalam
proliferasi sel - sel kelenjar prostat secara tidak langsung. Faktor-faktor tersebut
mampu mempengaruhi sel-sel prostat untuk mensintesis protein growth factor, yang
selanjutnya protein inilah yang berperan dalam memacu terjadinya proliferasi sel-sel
kelenjar prostat. Fakor-faktor yang mampu meningkatkan sintesis protein growth
factor dikenal sebagai faktor ekstrinsik sedangkan protein growth factor dikenal
sebagai faktor intrinsik yang menyebabkan hiperplasia kelenjar prostat (Guideline
IAUI, 2015). Ada beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat
kaitannya dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron dan proses aging (menjadi
tua). Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya BPH adalah:

a. Teori Dihidrotestosteron

Untuk pertumbuhan sel kelenjar prostat sangat dibutuhkan suatu


metabolit androgen yaitu dihidrotestosteron (DHT). Dihidrotestosteron
dihasilkan dari reaksi perubahan testosteron di dalam sel prostat oleh enzim
5α-reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. Dihidrotestosteron yang telah
berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA
pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang
menstimulasi 15 pertumbuhan sel prostat (Purnomo, 2012). Perubahan
testosteron menjadi dihidrotestosteron oleh enzim 5α-reduktase. Pada
berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda
dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim
5α-reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini
menyebabkan sel prostat pada BPH lebih sensitif terhadap DHT, sehingga
replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal
(Purnomo, 2012).

b. Teori Ketidakseimbangan Estrogen dan Testosteron


11

Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun, sedangkan


kadar estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen dan
testosteron relatif meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen di dalam prostat
berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel prostat terhadap rangsangan
hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan
jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Meskipun rangsangan
terbentuknya sel-sel baru akibat perubahan testosteron menjadi
dihidrotestosteron oleh enzim 5α-reduktase (Purnomo, 2012). Rangsangan
testosteron menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada mempunyai umur
yang lebih panjang sehingga masa prostat menjadi lebih besar (Purnomo,
2012).

c. Teori Interaksi Stroma dan Epitel

Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung


dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth factor) tertentu.
Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari dihidrotestosteron (DHT)
dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis growth factor yang selanjutnya
mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu menyebabkan
terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma (Purnomo, 2012).

d. Berkurangnya Kematian Sel Prostat

Program kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme


fisiologi untuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Pada apoptosis
terjadi kondensasi dan fragmentasi sel yang selanjutnya sel-sel yang
mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di sekitarnya kemudian
didegradasi oleh enzim lisosom (Purnomo, 2012). Pada jaringan normal,
terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan kematian sel. Pada
saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan
jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang.
12

Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan


pertambahan massa prostat. Sampai sekarang belum dapat diterangkan secara
pasti faktor-faktor yang menghambat proses apoptosis. Diduga hormon
androgen berperan dalam menghambat proses kematian sel karena setelah
dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar prostat.
Estrogen diduga mampu memperpanjang usia sel-sel prostat, sedangkan faktor
pertumbuhan TGF-β berperan dalam proses apoptosis (Purnomo, 2012).

II.2.3 Gejala Klinis

Gejala klinis hanya terjadi sekitar 10% pada laki-laki yang mengidap kelainan
ini. Hal ini dikarenakan BPH mengenai bagian dalam prostat, manifestasinya yang
tersering adalah gejala obstruksi saluran kemih bawah (Kumar dkk., 2007). Gejala
klinis berkembang lambat karena hipertrofi detrusor kandung kemih
mengkompensasi untuk kompresi uretra. Seiring dengan osbtruksi berkembang,
kekuatan pancaran urin menurun, dan terjadi keraguraguan dalam memulai berkemih
dan menetes diakhir berkemih.

Disuria dan urgensi merupakan tanda klinis iritasi kandung kemih (mungkin
sebagai akibat peradangan atau tumor) dan biasanya tidak terlihat pada hiperplasia
prostat. Ketika residual pasca-miksi bertambah, dapat timbul nokturia dan overflow
incontinence (Saputra, 2009). Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada
saluran kemih maupun keluhan di luar saluran kemih, yaitu:

a. Keluhan pada saluran kemih


Keluhan pada saluran kemih bagian bawah (LUTS) terdiri atas gejala
obstruksi dan gejala iritatif. Gejala obstruksi timbul akibat adanya
penyempitan pada uretra karena disekeliling dindingnya terdesak oleh prostat
yang membesar. Penyempitan uretra tersebut menyebabkan urin sulit keluar,
karena itu otot detrusor pada kandung kemih perlu berkontraksi lebih dari
13

yang seharusnya . kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan
mempertahankan kontraksinya dalam waktu yang lama, menimbukan gejala
obstruksi tersebut yang terdiri dari hesitansi (sulit memulai berkemih),
pancaran urin lemah, intermitensi (miksi terputus-putus) dan rasa tidak puas
setelah berkemih. Untuk mengetahui derajat obstruksi prostat, perlu dilakukan
pengukuran residu urin dan urinary flow rate (laju urin). Gejala iritasi terjadi
sekunder pada kandung kemih sebagai respon meningkatnya resistensi
pengeluaran. Gejala ini terjadi karena pengosongan kandung kemih tidak
sempurna pada pasien BPH, dan juga pembesaran prostat menyebabkan
hipersensitifitas pada otot detrusor kandung kemih, sehingga kandung kemih
sering berkontraksi walaupun belum penuh. Gejala iritasi terdiri dari frekuensi
berkemih meningkat, nokturia (sering ingin berkemih pada malam hari),
urgency (sulit menahan untuk tidak berkemih), isuria (Nyeri pada saat
berkemih). Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan saluran kemih
bagian bawah, beberapa ahli urologi membuat sistem penilaian yang secara
subjektif dapat diisi dan dihitung sendiri oleh pasien. Sistem skoring yang
dianjurkan oleh organisasi kesehatan dunia (WHO) adalah Skor International
Gejala Prostat atau I-PSS (International Prostatic Symptom Score) terdiri atas
tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi dan satu
pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien. Setiap
pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi diberi nilai 0−5,
sedangkan keluhan yang menyangkut kualitas hidup diberi nilai 1−7. Dari
skor IPSS itu dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu ringan
(skor 0−7), sedang (skor 8−19), dan berat (skor 20−35) (Nursalam, 2016).
b. Gejala di luar saluran kemih
Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia
inguinalis atau hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering
mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra-
abdominal (Purnomo, 2012). Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan
buli-buli yang terisi penuh dan teraba massa kistus di daerah supra simfisis
14

akibat retensi urin. Kadang-kadang didapatkan urin yang selalu menetes tanpa
disadari oleh pasien yaitu merupakan tanda dari inkontinensia paradoksa. Pada
colok dubur yang diperhatikan adalah tonus sfingter ani atau refleks bulbo-
kavernosus untuk menyingkirkan adanya kelainan buli-buli neurogenik,
mukosa rektum, dan keadaan prostat, antara lain: kemungkinan adanya nodul,
krepitasi, konsistensi prostat, simetrisitas antara lobus dan batas prostat .
Colok dubur pada pembesaran prostat jinak menunjukkan konsistensi prostat
kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak
didapatkan nodul, sedangkan pada karsinoma prostat, konsistensi prostat keras
atau teraba nodul dan mungkin di antara prostat tidak simetri (Purnomo,
2012).

II.2.4 Faktor Resiko

Dalam penelitian terakhir, pengaruh makanan terhadap pembesaran prostat


telah menjadi kontroversi. Menurut sebuah studi yang menganalisis data dari
kelompok plasebo dalam Prostate Cancer Prevention Trial (PCPT), yang terdaftar
18.880 pria berusia lebih dari 50 tahun, tingginya konsumsi daging merah dan diet
tinggi lemak dapat meningkatkan risiko BPH, dan tingginya konsumsi sayuran
dikaitkan dengan penurunan risiko BPH. Likopen dan suplemen dengan vitamin D
bisa menurunkan risiko pembesaran prostat, tetapi vitamin C, vitamin E, dan
selenium dilaporkan tidak ada hubungannya dengan BPH. Aktivitas fisik juga
terbukti mengurangi kemungkinan pembesaran prostat dan Lower Urinary Tract
Symptom (LUTS). Dalam meta-analisis yang terdaftar 43.083 pasien laki-laki,
intensitas latihan itu terkait dengan pengurangan risiko pembesaran prostat. Sebuah
korelasi negatif antara asupan alkohol dan pembesaran prostat telah ditunjukkan
dalam banyak studi penelitian (Yoo & Cho, 2012).

Pria yang mengkonsumsi alkohol memiliki risiko 30% lebih kecil


kemungkinan terjadi gejala BPH, 40% lebih kecil kemungkinan untuk mengalami
Transurethral Resection Prostate, dan 20% lebih kecil kemungkinan mengalami
15

gejala nokturia. Namun, dalam meta-analisis dari 19 studi terakhir, menggabungkan


120.091 pasien, pria yang mengkonsumsi 35 gram atau lebih alkohol per hari dapat
menurunkan risiko BPH sebesar 35% tetapi peningkatan risiko LUTS dibandingkan
dengan pria yang tidak mengkonsumsi alkohol (Yoo & Cho, 2012).

II.2.5 Patofisiologi

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan


menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal.
Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna
melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan
anatomi buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula,
sakula, dan divertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli tersebut, oleh
pasien dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau LUTS yang
dahulu dikenal dengan gejala prostatismus (Purnomo, 2012).

Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak


terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat
menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks
vesikoureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter,
hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal (Purnomo, 2012).

Obstruksi pada leher kandung kemih mengakibatkan berkurangnya atau tidak


adanya aliran kemih, dan ini memerlukan intervensi untuk membuka jalan keluar
urin. Metode yang mungkin adalah prostatektomi parsial, Transurethral Resection of
Prostate (TURP) atau insisi prostatektomi terbuka, untuk mengangkat jaringan
periuretral hyperplasia dengan cara insisi transuretral melalui serat otot leher
kandung kemih untuk memperbesar jalan keluar urin, dilatasi balon pada prostat
untuk memperbesar lumen uretra, dan terapi antiandrogen untuk membuat atrofi
kelenjar prostat (Price & Wilson, 2012).
16

Pada BPH terjadi rasio peningkatan komponen stroma terhadap kelenjar. Pada
prostat normal rasio stroma dibanding dengan kelanjar adalah 2:1, pada BPH,
rasionya meningkat menjadi 4:1. Hal ini menyebabkan pada BPH terjadi peningkatan
tonus otot polos prostat dibandingkan dengan prostat normal. Dalam hal ini massa
prostat yang menyebabkan obstruksi komponen statik sedangkan tonus otot polos
yang merupakan komponen dinamik sebagai penyebab obstruksi prostat (Purnomo,
2012). Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala
yaitu komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini
berhubungan dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak
uretra pars prostatika sehingga terjadi gangguan aliran urine (obstruksi infra vesikal)
sedangkan komponen dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan kapsulnya, yang
merupakan α-adrenergik reseptor. Stimulasi pada α-adrenergik reseptor akan
menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun kenaikan tonus. Komponen
dinamik ini tergantung dari stimulasi saraf simpatis, yang juga tergantung dari
beratnya obstruksi oleh komponen mekanik (Presti et al, 2013).

II.2.6 Diagnosis
a. Anamnesis
1) Riwayat Penyakit

Pemeriksaan awal terhadap pasien BPH adalah melakukan anamnesis


atau wawancara yang cermat guna mendapatkan data tentang riwayat penyakit
yang dideritanya (Guideline IAUI 2015). Anamnesis itu meliputi:

a) Keluhan yang dirasakan dan berapa lama keluhan itu telah


mengganggu
b) Riwayat penyakit lain dan penyakit pada saluran urogenitalia (pernah
mengalami cedera, infeksi, kencing berdarah (hematuria), kencing
batu, atau pembedahan pada saluran kemih)
c) Riwayat kesehatan secara umum dan keadaan fungsi seksual
17

d) Riwayat konsumsi obat yang dapat menimbulkan keluhan berkemih.

2) Skor keluhan

Pemandu untuk mengarahkan dan menentukan adanya gejala obstruksi


akibat pembesaran prostat adalah sistem penskoran keluhan. Salah satu
system penskoran yang digunakan secara luas adalah International Prostate
Symptom Score (IPSS) yang telah dikembangkan American Urological
Association (AUA) dan distandarisasi oleh World Health Organization
(WHO). Skor ini berguna untuk menilai dan memantau keadaan pasien BPH.
International Prostate Symptom Score terdiri atas 7 pertanyaan yang masing -
masing memiliki nilai 0 hingga 5 dengan total maksimum 35 (lihat lampiran
kuesioner IPSS yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia).
Kuesioner IPSS dibagikan kepada pasien dan diharapkan pasien mengisi
sendiri setiap pertanyaan. Berat ringannya keluhan pasien BPH dapat
digolongkan berdasarkan skor yang diperoleh, yaitu: skor 0-7: ringan, skor 8-
19: sedang, dan skor 20-35: berat. Selain 7 pertanyaan di atas, di dalam daftar
pertanyaan IPSS terdapat satu pertanyaan tunggal mengenai kualitas hidup
(quality of life atau QoL) yang juga terdiri atas 7 kemungkinan jawaban
(Guideline IAUI 2015).
3) Catatan harian berkemih (voiding diaries)

Pencatatan harian berkemih sangat berguna pada pasien yang


mengeluh nokturia sebagai keluhan yang menonjol. Dengan mencatat kapan
dan berapa jumlah asupan cairan yang dikonsumsi serta kapan dan berapa
jumlah urin yang dikemihkan, dapat diketahui seorang pasien menderita
nokturia idiopatik, instabilitas detrusor akibat obstruksi infravesika, atau
karena poliuria akibat asupan air yang berlebih. Sebaiknya pencatatan
dikerjakan 3 hari berturut-turut untuk mendapatkan hasil yang baik.
18

b. Pemeriksan Fisik
1) Status Urologis

a) Ginjal
Pemeriksaan fisik ginjal pada kasus BPH untuk mengevaluasi adanya
obstruksi atau tanda infeksi.
b) Kandung kemih
Pemeriksaan kandung kemih dilakukan dengan palpasi dan perkusi
untuk menilai isi kandung kemih, ada tidaknya tanda infeksi.
c) Colok Dubur

Colok dubur atau digital rectal examination (DRE) merupakan


pemeriksaan yang penting pada pasien BPH. Dari pemeriksaan colok
dubur ini dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat, konsistensi
prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu tanda dari
keganasan prostat. Mengukur volume prostat dengan DRE cenderung
lebih kecil daripada ukuran yang sebenarnya. Pada pemeriksaan colok
dubur juga perlu menilai tonus sfingterani dan reflek bulbokavernosus
yang dapat menunjukkan adanya kelainan pada lengkung reflek di
daerah sacral (Guideline IAUI, 2015).

c. Pemeriksaan Penunjang

1) Uroflowmetri (Pancaran Urin)

Uroflowmetri adalah pemeriksaan pancaran urin selama proses berkemih


seperti pada Gambar 3. Pemeriksaan non-invasif ini ditujukan untuk
mendeteksi gejala obstruksi saluran kemih bagian bawah. Dari uroflowmetri
dapat diperoleh informasi mengenai volume berkemih, laju pancaran
maksimum (Qmax), laju pancaran rata‐rata (Qave), waktu yang dibutuhkan
19

untuk mencapai laju pancaran maksimum, dan lama pancaran. Pemeriksaan


ini dipakai untuk mengevaluasi gejala obstruksi infravesika, baik sebelum
maupun setelah terapi dan digabungkan dengan pemeriksaan lain (Guideline
IAUI 2015).

Kombinasi pemeriksaan skor IPSS, volume Hasil uroflowmetri tidak


spesifik menunjukkan penyebab terjadinya kelainan pancaran urin. Pancaran
urin yang lemah dapat disebabkan obstruksi saluran kemih bagian bawah atau
kelemahan otot detrusor seperti pada Gambar 4. Terdapat hubungan antara
nilai Qmax dengan kemungkinan obstruksi saluran kemih bagian bawah atau
Bladder Outlet Obstruction (BOO). Pada batas nilai Qmax sebesar 10
mL/detik memiliki spesifisitas sebesar 70%, positive predictive value (PPV)
sebesar 70%, dan sensitivitas sebesar 47% untuk mendiagnosis BOO.
Sementara itu, dengan batas nilai Qmax sebesar 15 mL/detik memiliki
spesifisitas sebesar 38%, PPV sebesar 67%, dan sensitivitas sebesar 82%
untuk mendiagnosis BOO. Sebaiknya, penilaian ada tidaknya obstruksi
saluran kemih bagian bawah tidak hanya dinilai dari hasil Qmax saja, tetapi
juga prostat, dan Qmax cukup akurat dalam menentukan adanya obstruksi
saluran kemih bagian bawah. Pemeriksaan uroflowmetri bermakna jika
volume urin >150 mL (Guideline IAUI 2015).

Ket : Sumbu x : banyaknya urin

Sumbu y : waktu
20

Sumber : Guideline IAUI, 2015


Gambar 3 Hasil uroflowmetri normal

Ket : Sumbu x : banyaknya urin

Sumbu y : waktu

Sumber : Guideline IAUI, 2015


Gambar 4 Hasil uroflowmetri LUTS

II.2.7 Tatalaksana

Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup


pasien. Terapi yang ditawarkan pada pasien tergantung pada derajat keluhan,
keadaan pasien, maupun kondisi obyektif kesehatan pasien yang diakibatkan
oleh penyakitnya. Pilihannya adalah mulai dari: 1) tanpa terapi (watchful
waiting), 2) medikamentosa, dan 3) terapi intervensi. Di Indonesia, tindakan
Transurethral Resection of the prostate (TURP) masih merupakan pengobatan
terpilih untuk pasien BPH (Guideline IAUI 2015).

a. Tanpa Terapi (watchful waiting)


21

Penatalaksanaan konservatif pada pasien BPH berupa watchful waiting. Pada


watchful waiting¸ pasien hanya dipantau oleh dokter untuk melihat
perkembangan dari penyakitnya tanpa diberikan obat. Penatalaksanaan
konservatif ditujukan pada pasien BPH derajat ringan dengan skor IPSS di
bawah 7 (Guideline IAUI 2015).

b. Medikamentosa
Terapi medikamentosa diberikan pada pasien derajat sedang dengan hasil
IPSS ≥ 7. Obat-obatan yang digunakan pada terapi medikamentosa pasien
BPH meliputi:
1) α1-blocker

Terapi dengan menggunakan α1-blocker bertujuan untuk mengurangi


kontraksi otot polos pada prostat sehingga diharapkan mengurangi retensi
pada leher kandung kemih dan uretra. Obat yang tersedia adalah tamsulosin
terazosin, dan doksazosin yang cukup diberikan satu kali sehari (Guideline
IAUI 2015).

(a) Tamsulosin

Tamsulosin merupakan obat yang digunakan untuk penatalaksanaan


LUTS pada BPH karena lebih selektif terhadap reseptor subtipe α-1A.

(1) Farmakodinamik

Obat ini selektif menghambat reseptor alfa 1a & 1d di uretra &


prostat pada otot polos di uretra & prostat sehingga dapat
mereleksasi/menurunkan tekanan uretra di bagian prostat dan dapat
memperbaiki gangguan buang air kecil yg disebabkan oleh BPH
(Setiawati and Gan, 2012). Rata-rata obat golongan ini mampu
memperbaiki skor gejala miksi hingga 30-45% atau 4-6 poin skor
IPSS dan Qmax hingga 15-30% dibandingkan dengan sebelum
22

terapi. Perbaikan gejala meliputi keluhan iritatif maupun keluhan


obstruktif sudah dirasakan sejak 48 jam setelah pemberian obat
(Katzung, 2012).

(2) Farmakokinetik

Tamsulosin akan mengalami metabolisme di hati dan hanya sedikit


yang diekskresi utuh melalui ginjal, Hal ini menyebabkan
penggunaan tamsulosin memberikan efek yang sedikit terhadap
tekanan darah dan juga obat ini mempunyai waktu paruh 5-10 jam
(Setiawati and Gan, 2012).

(3) Dosis

Obat ini hanya dikonsumsi oleh pria dewasa dengan dosis awal 0,4
mg dan obat dikonsumsi satu kali sehari dosis maksimum sebanyak
0,8 mg per hari, akan ada peningkatan dosis dengan jeda waktu
peningkatan dosis 2 - 4 minggu dan melakukan evaluasi terhadap
respon tubuh terhadap dosis awal (Setiawati and Gan, 2012).
Tamsulosin masih tetap aman dan efektif walaupun diberikan
hingga 6 tahun (Katzung, 2012).

(b) Doksazosin
Doksazosin adalah obat yang biasa diberikan untuk membantu
meningkatkan aliran urin pada pria dengan pembesaran prostat.
(1) Farmakodinamik
Obat ini dapat meningkatkan kemungkinan gagal jantung dengan
memblokir reseptor tertentu di sel-sel otot jantung. Reseptor sel,
bernama α1-adrenergik reseptor, meningkatkan kontraksi otot halus.
Obat-obatan seperti doksazosin mempromosikan aliran urin yang
lebih baik dengan menghalangi aksi dari reseptor, sehingga
23

mengendurkan otot-otot yang mengontrol aliran urin (McPhes,


2013).
(2) Farmakokinetik
Obat ini Kadar tertinggi didalam plasma setelah 2 jam

(3) Dosis

Obat ini umumnya diberikan pada laki-laki dewasa.

Dosis yang digunakan pada BPH umumnya 1 mg per

hari 1 kali sehari pada awal terapi dan dapat

ditingkatkan hingga 4 mg per hari dengan dosis

maksimum obat untuk BPH yaitu 8 mg per hari


(McPhes,2013).

2) 5α-reductase inhibitor
(a) Faramakodinamik
5α reductase inhibitor bekerja dengan cara mencegah hidrolise
testosteron menjadi DHT dengan cara menghambat 5 alpha reduktase,
suatu enzim yang diperlukan untuk mengubah testosteron menjadi
dehidrotestosteron (DHT), suatu hormon androgen yang mempengaruhi
pertumbuhan kelenjar prostat, sehingga jumlah DHT berkurang tetapi
jumlah testosteron tidak berkurang, sehingga libido juga tidak menurun.
Penurunan kadar zat aktif dehidrotestosteron ini menyebabkan
mengecilnya ukuran prostat. Saat ini, terdapat 2 jenis obat 5α‐reductase
inhibitor yang dipakai untuk mengobati BPH, yaitu finasteride dan
dutasteride. Efek klinis finasteride atau dutasteride baru dapat terlihat
setelah 6 bulan (European Association of Urology, 2010)
(b) Dosis
24

Obat diberikan 5 mg per hari 1 kali sehari, selama minimal 6 bulan


(McPhes,2013).

3) Phospodieterase 5 Inhibitor
(a) Farmakodinamik

Phospodiesterase 5 inhibitor (PDE 5 inhibitor) meningkatkan


konsentrasi dan memperpanjang aktivitas dari cyclic guanosine
monophosphate (cGMP) intraseluler, sehingga dapat mengurangi tonus
otot polos detrusor, prostat, dan uretra. Di Indonesia, saat ini ada 3 jenis
PDE 5 Inhibitor yang tersedia, yaitu sildenafil, vardenafil, dan tadalafil
(Katzung, 2012).

(b) Dosis
Sampai saat ini, hanya tadalafil dengan dosis 5 mg per hari yang
direkomendasikan untuk pengobatan LUTS .

c. Pembedahan
Terapi pembedahan dilakukan bila pasien mengalami komplikasi, seperti
retensi urine akut, gagal Trial Without Catheter (TwoC), infeksi saluran kemih
berulang, hematuria makroskopik berulang, batu kandung kemih, penurunan
fungsi ginjal yang disebabkan oleh obstruksi akibat BPH dan perubahan patologis
pada kandung kemih dan saluran kemih bagian atas. Indikasi relatif lain untuk
terapi pembedahan adalah keluhan berat yang tidak menunjukkan perbaikan
setelah pemberian terapi non bedah, dan pasien yang menolak pemberian terapi
medikamentosa (Guideline IAUI 2015).
25

II.3 Kerangka Teori

Penyebab pembesaran prostat

Teori Interaksi Ketidakseimbangan Penurunan


dihidrotestosteron stroma-epitel antara estrogen- kematian sel
testosteron prostat

Pembesaran prostat Tamsulosin

Obstruksi α1 adrenergik
infra vesika inhibitor

Komponen Komponen
mekanik dinamik
26

Retensi
Peningkatan
urin
reseptor
adrenergik
Menegejan
saat miksi

Tidak terjadi
peningkatan
respon saraf
simpatis

Pancaran urin
Ket: tidak diteliti membaik

Diteliti

Sumber : Modifikasi dari Purnomo (2011); Smith’s General Urology 17th edition
Bagan 1 Kerangka Teori

II.4 Kerangka Konsep

Variabel Terikat Variabel Bebas

Beda pancaran urin pada Sebelum dan sesudah


pemeriksaan uroflormetri diberikan Tamsulosin

Variable Perancu
- Kepatuhan minum
obat
- Ketepatan waktu
control
27

Bagan 2 Kerangka Konsep

II.5 Hipotesis Penelitian

H0 : Tidak terdapat perbedaan pancaran urin pada pemeriksaan uroflowmetri sebelum


dan sesudah diberi Tamsulosin pada pasien BPH

H1 : Terdapat perbedaan pancaran urin pada pemeriksaan uroflowmetri sebelum dan


sesudah diberi Tamsulosin pada pasien BPH

II.6 Penelitian Terkait

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis sedikit banyak terinspirasi dan


mereferensi dari penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan latar belakang
masalah pada skripsi ini. Berikut ini penelitian terdahulu yang berhubungan dengan
skripsi ini seperti terlihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 1 Penelitian Terkait

Nama dan Variabel, Persamaan,


Judul Penelitian Hasil Penelitian
Tahun
Penelitian dan Perbedaan
Alin Adrian Intravesical Prostatic Dari 183 pasien dengan gejala
Cumpanas , Protrusion Can Be a  Variabel independen : LUTS akibat BPH diobati
2013 Predicting Factor for the Tamsulosin dengan tamsulosin (0,4 mg
Treatment Outcome in sekali sehari) selama 3 bulan.
Patients With Lower Setelah 3 bulan pengobatan,
 Variabel dependen :
Urinary Tract Symptoms Qmax meningkat 25% pada
Intravesical Prostatic
Due to Benign Prostatic kelompok A dan 19% pada
Protrusion
Obstruction Treated With kelompok B.
Tamsulosin  Perbedaan : terdapat pada
variable dependen
28

peneliti dan penelitian


sebelumnya

Yigit Akin, The effect of first dose of Sebanyak 48 responden pria


2013 tamsulosin on flow rate  Variabel independen : terjadi peningkatan yang
and its predictive ability on tamsulosin signifikan dari Qmax dan
the improvement of LUTS Qave, penurunan PVR
in men with BPH in the dengan dosis pertama
 Variabel dependen :
mid-term tamsulosin pada bulan
LUTS
pertama dan ketiga
 Perbedaan : terdapat
perbedaan pada variable
dependen

Muhammad Efek Dari Terapi Terapi kombinasi α1


Ridha, 2017 Kombinasi α1 Adrenergik Variabel independen: terapi adrenergik blocker dan
Blocker, dan Inhibitor PDE kombinasi α1 adrenergik inhibitor PDE 5 secara
5 Terhadap IPSS, IIEF 5, blocker, dan inhibitor PDE signifikan memperbaiki
Qmax, dan PVR Pasien 5 IIEF 5 dan Qmax tetapi
Dengan LUTS dan tidak lebih baik
Disfungsi Ereksi meningkatkan nilai IPSS
Variabel dependen: IPSS,
dan PVR dibanding terapi
IIEF 5, Qmax, dan PVR
tunggal
Pembeda: terdapat perbedaan
pada variabel independen

Gacci Mauro,
2012 A Randomized, Placebo- Variabel independen: terapi Kombinasi tamsulosin 0,4
Controlled Study to Assess kombinasi Tamsulosin dan mg dan vardenafil 10 mg
Safety and Efficacy of Verdenafil setiap hari selama 12
Vardenafil 10 mg and minggu ditoleransi dengan
Tamsulosin 0.4 mg vs. Variabel dependen: LUTS baik dan lebih efektif
dibandingkan dengan
Tamsulosin 0.4 mg Alone Pembeda: terdapat perbedaan tamsulosin sendiri untuk
in the Treatment of LUTS pada variabel dependen meningkatkan fungsi urin
Secondary to BPH dan ereksi pada pria dengan
LUTS / BPH.
BAB III
METODE PENELITIAN

III.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian menggunakan desain penelitian kohort prospektif yang


merupakan suatu penelitian survei (non eksperimen) yang paling baik dalam
mengkaji hubungan antara faktor risiko dengan efek penyakit (Notoatmodjo, 2010).

III.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di RSPAD Gatot Soebroto yang berada di Jalan


Abdul Rahman Saleh No. 24, Jakarta Pusat. Waktu penelitian dilaksanakan pada
bulan September 2017 sampai dengan November 2018.

III.3 Subjek Penelitian


III.3.1 Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang
mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Notoatmodjo, 2010). Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh pasien BPH yang diberikan obat tamsulosin di Poli
Bedah Urologi RSPAD Gatot Soebroto 2017.

III.3.2 Sampel

Sampel penelitian adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang
diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2010). Sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah dokumen rekam medis pasien BPH di Poli
Bedah Urologi RSPAD Gatot Soebroto yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
yang telah ditetapkan oleh peneliti.

29
30

III.3.2.1 Perhitungan Besar Sampel

Penghitungan besar sample pada penelitian ini menggunakan acuan nilai p


yang didapatkan dari penelitian Alin Adrian Cumpanas tahun 2013 yang dapat dilihat
dari Tabel 2 dan metode yang digunakan untuk menentukan jumlah sampel adalah
dengan menggunakan rumus Lemeshow beda proporsi sebagai berikut :

Maka jumlah sampel yang


dibutuhkan sekitar :
n=
sampe
Maka jumlah sampel yang
dibutuhkan sekitar :
n=
sampe
Tabel 2 Efek Intravesical Protrusion of the Prostate (IPP) terhadap Respon
Penatalaksaan Tamsulosin

Qmax Total
31

Respond (+) Non- Respond (-)


Intravesical Protrusion ≤ 10 mm 74 16 90
Of The Prostate >10 mm 54 38 92
Total 128 54 542

Sumber : Cumpanas AA, 2013

P1 = A / (A + B) = 74/90 = 0,82

P2 = C / (C + D ) = 54/92 = 0,58
2

N=
[ Z √2P ( 1-P) +Z √ P ( 1- P ) + P ( 1- P ) ]
1-α 1-β 1 1 2 2

( P1 - P2 )2

N = Jumlah sampel minimal

Z1-/2 = Derajat kemaknaan 5%

Z1- = Kekuatan Uji pada β = 80%

P = (P1 + P2)/2

P1 = Proporsi nilai IPP dengan respon terhadap tamsulosin

P2 = Pro Proporsi nilai IPP dengan non-respon terhadap tamsulosin

Maka jumlah sampel yang dibutuhkan sekitar :


2

n=
[ Z √2P ( 1-P) +Z √ P ( 1- P ) + P ( 1- P ) ]
1-α 1-β 1 1 2 2

( P1 - P2 )2
32

2
[ 0,05 √2 (P 1 + P 2 )/2 ( 1- (P 1 + P 2)/2 ) +0,8 √0,82 ( 1-0,82 ) +0,58 ( 1-0,58 ) ]
¿
(0,82-0,58 )2
2

=
[ 0,05 √ 2 (1,4)/2 ( 1- (1,4)/2 ) +0,8 √0,82 ( 1-0,82 ) +0,58 (1-0,58 ) ]
(0,82-0,58) 2

n=57 sampel

Berdasarkan perhitungan rumus diatas, maka jumlah sampel yang diperlukan


dalam penelitian ini adalah sebesar 57 orang responden. Ditambahkan 10% untuk
kemungkinan drop out menjadi 62 orang.

III.3.2.2 Kriteria Penelitian

a. Kriteria Inklusi
1) Pasien berusia 40 tahun ke atas
2) Pasien baru mendapat tamsulosin
3) Pasien BPH derajat sedang sampai berat
4) Pasien mengkonsumsi tamsulosin setidaknya selama 1 minggu
b. Kriteria Eksklusi
1) Pasien yang telah mendapat tata laksana selain tamsulosin
2) Pasien yang mengalami penyakit selain BPH yang dapat menimbullkan keluhan
berkemih seperti voiding storage
3) Pasien dengan kelainan anatomis dan fungsi ginjal

III.4 Metode Pengumpulan Data

Pada penelitian ini dilakukan pengambilan sampel dengan menggunakan


metode nonprobability sampling dengan teknik consecutive sampling, yaitu
menetapkan subjek yang memenuhi kriteria penelitian dimasukan dalam penelitian
hingga kurun waktu tertentu sampai jumlah yang diperlukan pada penelitian tersebut
terpenuhi (Nursalam, 2008).
33

III.5 Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel terikat (dependent) dan
variabel bebas (independent). Pada penelitian ini variabel terikat merupakan nilai
pancaran urin pada pemeriksaan uroflowmetri pasien BPH, dan variabel bebasnya
adalah pemberian tamsulosin.

III.6 Definisi Operasional

Definisi operasional variable penelitian merupakan penjelasan dari masing-


masing variabel yang digunakan dalam penelitian terhadap indikator-indikator yang
membentuknya. Definisi operasional penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 3 Definisi Operasional Penelitian

Skala Hasil
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur
Ukur Ukur
Variabel terikat
Pemeriksaan laju pancaran
1 pemeriksaan urin secara elektronik Uroflowmeter Mengukur cc/detik Numerik
Uroflowmetri untuk mendapatkan pancaran urin
informasi mengenai dengan satuan
volume berkemih, laju cc/detik.
pancaran maksimum
(Qmax),laju pancaran rata-
rata(Qave), dan waktu
yang dibutuhkan untuk
mencapai laju pancaran
maksimum, dan lama
pancaran. (Guideline IAUI
2015).
Variabel Bebas

1. Pemberian Obat antagonis kompetitif Rekam Dosis per kali Miligra Numerik
Tamsulosin α1-adrenergik yang medis minum m
digunakan untuk mengurangi
kontraksi otot polos prostat
dengan dosis yang diberikan
0,4 - 0,8 mg 1x/hari diberikan
secara oral selama 13 minggu
(Katzung, 2012)
34

III.7 Instrumen Penelitian

Instrument penelitian ini berupa rekam medis yang diperoleh dari poli bedah
urologi RSPAD Gatot Soebroto tahun 2017.

III.8 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder, yaitu menggunakan data rekam


medis pasien BPH di poli bedah urologi RSPAD Gatot Soebroto bulan Desember
2017 sampai bulan Januari tahun 2017.

III.9 Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, data kemudian diolah dan dianalisis. Pengolahan data
terdiri dari 4 tahapan, yaitu editing, coding, data entry dan cleaning. Setelah melalui
4 proses tersebut data akan dianalisis menggunakan teknik komputerisasi.

a. Editing
Editing merupakan prosedur awal yang dilakukan setelah melakukan pengumpulan
data rekam medis. Pada proses ini dilakukan pemeriksaan atas kelengkapan rekam
medis.
b. Coding
Coding merupakan kegiatan mengubah data yang semula bentuk huruf atau
kalimat menjadi data angka atau bilangan dan disesuaikan dengan nilai yang telah
ditentukan pada definisi operasional penelitian.
c. Data Entry
Setelah dilakukan kegiatan koding, data kemudian dimasukan kedalam aplikasi
pengolahan statistik pada komputer.
d. Cleaning
35

Cleaning merupakan prosedur terakhir dalam pengolahan data. Pada bagian ini
dilakukan pengecekan kesesuaian data pada komputer dengan kisi-kisi yang
ditetapkan untuk mencegah adanya kesalahan kode atau ketidaklengkapan data.

III.10 Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis univariat dan
analisis untuk melihat beda pancaran urin pada pemeriksaan uroflowmetri

a. Analisis univariat, yaitu analisis yang dilakukan untuk mendeskripsikan masing-


masing variabel yang digunakan dalam penelitian yaitu beda pancaran urin pada
pemeriksaan uroflowmetri sebelum dan sesudah penggunaan tamsulosin.
b. Analisis yang dilakukan untuk melihat beda nilai pancaran urin pada pemeriksaan
uroflowmetri sebelum dan sesudah penggunaan tamsulosin dan untuk melihat beda
nilai pancaran urin pada pemeriksaan uroflowmetri sesudah penggunaan
tamsulosin dan tadalafil menggunakan uji statistik Repeated Measures Anova 
dengan variabel independen dan variabel depeden berupa data rasio. Repeated
Measures Anova  adalah pengukuran berulang terhadap sekumpulan obyek atau
partisipan yang sama. Pada prinsipnya Repeated Measures Anova sama dengan
paired T-test untuk membandingkan rata-rata dua sampel yang saling
berhubungan.
36

III.11 Protokol Penelitian

Identifikasi masalah dan perumusan masalah

Menentukan metode penelitian

Menentukan sumber data. populasi, dan sampel

Menentukan besar sampel

Menentukan definisi operasional

Pembuatan proposal penelitian dan


pengajuan surat izin penelitian

Sidang proposal

Komisi etika penelitian

Pengambilan data

Analisis data dengan aplikasi pengolah data


statistik

Pembuatan hasil, pembahasan, dan menarik


kesimpulan

Presentasi hasil penelitian

Dokumentasi
37

Bagan 3 Protokol Penelitian


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Gambaran Lokasi Penelitian


IV.1.1 Gambaran Umum RSPAD Gatot Soebroto
Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto (disingkat RSPAD)
adalah sebuah rumah sakit type A yang terletak di DKI Jakarta, Indonesia tepatnya
berada di Jl. Dr. Abdul Rachman Saleh, rumah sakit ini berada di bawah Komando
Pusat Kesehatan Angkatan Darat. Rumah sakit ini didirikan pemerintah kolonial
Belanda pada tahun 1819. Di rumah sakit ini pulalah dirintis pendidikan dokter Jawa
yang dikenal dengan sebutan School tot Opleiding van Inlandsche Artsen. Saat ini
RSPAD Gatot Soebroto merupakan rumah sakit tingkat satu dan menjadi rujukan
tertinggi di jajaran TNI yang memberikan perawatan kesehatan untuk prajurit TNI
AD, Pegawai Negeri Sipil serta masyarakat umum. Nama rumah sakit ini berasal dari
nama Letnan Jenderal TNI Gatot Soebroto, Guna menghormati dan mengenang jasa
Letjen TNI Gatot Soebroto.
Setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia tanggal 29 Desember 1949,
salah satu instalasi kesehatan militer yang diserahkan kepada tentara nasional
Indonesia ialah “Leger Hospital Batavia”. Pada tanggal 26 Juli 1950 dilaksanakan
serah terima rumah sakit dari pihak TNI diwakili Letnan Kolonel Ckm Dr. Satrio dan
dari KNIL diwakili oleh Letnan Kolonel Dr. Scheffers. Rumah sakit ini diberi nama
Rumah Sakit Tentara Pusat (RSTP). Rumah Sakit Tentara Pusat adalah suatu
lembaga di bawah Djawatan Kesehatan Tentara Angkatan Darat (DKTAD). Pada
tahun 1953 sebutan DKTAD berubah menjadi DKAD. Sebutan ini memengaruhi juga
nama RSTP menjadi Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RUMKIT PUS-AD),
namun singkatan yang lebih dikenal adalah RSPAD.
Nama RSPAD ini berjalan sampai akhir 1970, untuk memberi kehormatan
kepada tokoh TNI Angkatan Darat yang banyak jasanya terhadap para prajurit yang
menderita sakit yaitu Jenderal TNI Gatot Soebroto mantan wakil Kepala Staf

38
39

Angkatan Darat, maka kepala staf Angkatan Darat dengan Surat Keputusannya
Nomor SKEP-582/X/1970 tanggal 22 Oktober 1970 menetapkan nama RSPAD
menjadi Rumah Sakit Gatot Soebroto, disingkat Rumkit Gatot Soebroto. Akhirnya
untuk membuat keseragaman sebutan nama-nama rumah sakit di lingkungan TNI
Angkatan Darat, Kajankesad dengan surat edaran Nomor SE/18/VIII/1977 tanggal 4
Agustus 1977 menetapkan sebutan untuk Rumah Sakit Gatot Soebroto menjadi
Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto (RSPAD Gatot Soebroto). Guna
menghormati dan mengenang jasa Letjen TNI Gatot Soebroto. Pada tahun 2010, RS
Kepresidenan Gatot Soebroto telah ditetapkan menjadi RS Pendidikan Utama FK
Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jakarta.

a. Visi & Misi


1) Visi RS Kepresidenan RSPAD Gatot Soebroto
Menjadi Rumah Sakit Kepresidenan Berstandar Internasional, Rujukan
Tertinggi, dan Rumah Sakit Pendidikan Utama serta Kebanggaan Prajurit,
ASN, Keluarga dan Masyarakat.

2) Misi RS Kepresidenan RSPAD Gatot Soebroto


a) Menyelenggarakan fungsi perumahsakitan tingkat pusat dan rujukan
tertinggi bagi rumah sakit TNI dalam rangka mendukung tugas TNI AD.
b) Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dan dukungan kesehatan yang
profesional, bermutu dan berorientasi keselamatan pasien bagi
prajurit/ASN TNI, Kemhan RI dan keluarga serta masyarakat.
c) Menyelenggarakan pelayanan kesehatan bagi Presiden, Wakil Presiden,
Pejabat Negara, Tamu Negara, dan VVIP lainnya.
d) Meningkatkan kemampuan tenaga kesehatan melalui pendidikan
berkelanjutan.
e) Mengembangkan keilmuan dan riset secara berkesinambungan
berdasarkan Evidence Based Practice.
40

b. Sarana dan Prasarana


RSPAD Gatot Soebroto dibangun diatas tanah seluas 12,5 hektar dengan luas
bangunan 115.010 m2, dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang memadai
sebagai berikut :
1) Sarana
a) Tenaga Listrik 5.000 KVA
b) Genset 2.800 KVA
c) UPS 200 KVA
d) AC Sentral 4 Unit
e) Lift 29 Unit
f) Laundri dengan kapasitas cuci 400 Kg
g) Kompresor 200 Kg
h) Dapur Pusat dengan kapasitas 1.000 porsi/pasien
i) Boiler 2.000 Kg / Jam
j) Sarana Pengolah Limbah Cair 5 Unit
k) Sarana Pengolah Limbah Padat 1 Unit

2) Sarana Pendukung lainnya


a) Sarana Evakuasi Udara berupa Helipad yang mampu didarati
Helikopter jenis Super Puma
b) Ambulans
c) Apotek
d) Bank Darah dan Laboratorium
e) Haemodialisa
f) Kamar Operasi
g) Klinik Diet, Gaya hidup, dan Metabolik
h) Klinik Perawatan Luka dan Klinik Kulit
41

i) Masjid Asyifa, Chapel Kairos, dan Pura sebagai tempat ibadah yang
memberikan pelayanan rohani bagi pasien dan keluarga yang
sedang menjalani perawatan
j) Wisma Bermis sebagai kamar transit keluarga
k) Minimarket
l) Perbankan dan ATM Centre (BRI, BNI, Bukopin, Mandiri, BJB)
m) Cafetaria, Coffee Shop, dan Bakery
n) Taman dan relaksasi
o) Area Parkir luas, aman, dan bergaransi
p) Rumah Duka
q) Mess Perwira
r) Flat Dokter
s) Asrama Perawat / Karyawan dan Asrama Mahasiswa
t) Lapangan Tennis
u) Tempat Penitipan Anak (TPA) “Wahana Bina Balita”

c. Pelayanan Paviliun
Pelayanan Rawat Inap Rumah Sakit Kepresidenan RSPAD Gatot
Soebroto memiliki kelas yang bervariasi mulai dari Super VIP sampai kelas III
dengan fasilitas yang berbeda. Untuk kamar rawat inap khusus telah disediakan
pelayanan di Paviliun Kartika, Paviliun dr. R. Darmawan. PS, Paviliun dr.
Imam Sudjudi, Paviliun Anak dan Perawatan Non Paviliun.
Paviliun Kartika merupakan bagian dari Rumah Sakit Kepresidenan
RSPAD Gatot Soebroto yang mengemban tugas dalam memberikan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat umum, dengan motto "We Are Ready Give The
Best" Kami berusaha memberikan pelayanan prima.
Dengan didukung dokter ahli, tenaga profesional di bidangnya serta
peralatan media berteknologi canggih, Peviliun Kartika telah memberikan
pelayanan kesehatan kepada perorangan, dan telah bekerjasama kurang lebih
42

157 perusahaan bahkan kini banyak pejabat tinggi negara yang mempercayakan
pemeriksaan dan perawatan kesehatannya di Paviliun Kartika.

d. Poliklinik Bedah
Poliklinik Bedah siap melayani pasien dengan kasus bedah yang terdiri dari:
1) Bedah anak
2) Bedah Orthopedi atau Bedah Tulang
3) Bedah Syaraf
4) Bedah Toraks atau Jantung dan Paru
5) Bedah Vaskuler atau Pembuluh Darah
6) Bedah Digestif atau Saluran Cerna
7) Bedah Plastik
8) Bedah Onkologi atau Tumor
9) Bedah Urologi atau Saluran Kencing
10) Pemecah Batu Ginjal (ESWL)

IV.2 Hasil Penelitian


IV.2.1 Hasil Analisis Univariat
Variabel independen (variabel bebas) dalam penelitian ini adalah pemberian
tamsulosin. Sedangkan variabel dependen (variabel terikat) dalam penelitian ini
adalah nilai Qmax pasien pembesaran prostat jinak atau Benign Prostate
Hyperplasia (BPH). Uji statistik dilakukan dengan menggunakan analisis univariat
untuk mengetahui distribusi frekuensi dan proporsi guna mendeskripsikan variabel
independen dan dependen yang diteliti. Gambaran distribusi frekuensi karakteristik
responden terhadap nilai Qmax pasien pembesaran prostat jinak atau Benign Prostate
Hyperplasia (BPH) dapat dilihat pada tabel 4 dibawah ini.

Tabel 4 Karakterisik Subjek Menurut Qmax Awal sampai Qmax


Setelah 1 Bulan pemberian Tamsulosin

Tamsulosin
(N= 57)
(mean ± SD)
43

Qmax minggu 0 (Skor) 9.73 ± 3.369

Qmax Minggu 2 (Skor) 10.78± 2.867

Qmax minggu 4 (Skor) 11.56 ± 2.258

Sumber : Data Sekunder, 2018

Hasil penelitian pada tabel 4 menunjukan bahwa dari 57 responden yang


diberikan tamsulosin pada Qmax minggu 0 didapatkan rata-rata sebesar 9.73 lalu
minggu 2 sebesar 10.78 dan minggu 4 sebesar 11.56 pada hasil tersebut didapatkan
peningkatan rata-rata dari setiap minggunya sedangkan pada pasien yang diberikan
tadalafil didapatkan rata-rata pada Qmax minggu 0 didapatkan rata-rata sebesar 16.75
lau pada minggu 2 sebesar 13.14 dan pada minggu 4 sebesar 10.60 pada hasil
tersebutdidapatkan penrunan rata-rata pada Qmax setelah 4 minggu pemberian obat.

IV.2.2 Hasil Analisis untuk melihat beda pancaran urin pada pemeriksaan
uroflowmetri
Analisis untuk melihat beda pancaran urin pada pemeriksaan uroflowmetri
menggunakan uji statistik Repeated Measurement Anova. Uji ini untuk menguji
perbedaan rata-rata antara dua kelompok data yang dependen. Tujuannya untuk
mengetahui apakah ada perbedaan nilai Qmax sebelum pemberian tamsulosin dan
nilai Qmax setelah pemberian tamsulosin dan juga tadalafil. Uji Repeated
Measurement Anova dan uji t-test memiliki asumsi yang harus dipenuhi, yaitu :
datanya berdistribusi normal, kedua kelompok data dependen (berpasangan), variabel
yang dihubungkan berbentuk numerik dan kategorik (lebih dari 2 kelompok) dan data
yang homogen.

Tabel 5 Hasil Uji Normalitas Data Obat Tamsulosin

Kolmogorov-Smirnova
Statistic Df Sig.
Selisih_Nilai
.102 57 .200*
Qmax
Sumber : Data Sekunder Diolah, 2018
44

Pada Output table uji normalitas data karena sampel berjumlah >50, maka
yang perlu di lihat nilai Kolmogorov-Smirnov. Nilai p=0,200 dengan alfa 5% atau
0,05, maka nilai p > 0,05 yang artinya tidak terdapat perbedaan signifikan antara
distribusi data kita dengan distribusi data teoritis. Artinya, data selisih berdistribusi
normal, maka bisa lakukan uji beda secara parametrik dengan uji Repeated
Measurement Anova dan T-test.
Tabel 6 Hasil homogenitas Data Obat Tamsulosin

Levene df1 df2 Sig.


Statistic
,680 2 168 ,508

Berdasarkan hasil uji homogenitas diatas didapatkan hasil nilai signifikasi


0,508 maka nilai signifikansi > 0,05 yang artinya data tersebut homogeny dan dapat
dilakukan uji selanjutnya uji Repeated Measurement Anova dan juga uji T-test.

Tabel 7 Hasil Uji Perbedaan Nilai Qmax setelah pemberian Tamsulosin

Status Selisih P Value


Rata-Rata
Qmax minggu 0 – minggu 2 1.047
Qmax minggu 0 – minggu 4 1.852 0.000
Qmax minggu 2 – minggu 4 1.777

Pada tabel diatas terdapat perbedaan nilai rata-rata atau selisih nilai rata-rata
Qmax antara sebelum dan sesudah pemberian tamsulosin selama 2 minggu, yakni
sebesar 1.852. Karena nilai p<alfa adalah p=0,000 (alfa 5% atau 0,05), artinya
terdapat perbedaan signifikan antara nilai Qmax sebelum dengan nilai Qmax sesudah
konsumsi tamsulosin selama 2 minggu.
Pada tabel diatas terdapat perbedaan nilai rata-rata atau selisih nilai rata-rata
Qmax antara sebelum dan sesudah pemberian tamsulosin selama 4 minggu, yakni
sebesar 1.777. Karena nilai p<alfa adalah p=0,000 (alfa 5% atau 0,05), artinya
45

terdapat perbedaan signifikan antara nilai Qmax sebelum dengan nilai Qmax sesudah
konsumsi tamsulosin selama 4 minggu.

IV.3 Pembahasan
Setelah melakukan penelitian dan pengolahan data yang diambil dari 57 rekam
medis pasien yang mendapatkan terapi tunggal menggunakan tamsulosin di Poli
Bedah RSPAD Gatot Soebroto tahun 2018 mendapatkan hasil yang tersaji pada tabel
12 menampilkan hasil dari beda nilai rata-rata Qmax awal sampai setelah 2 minggu
adalah 1.047 dan beda nilai rata-rata Qmax awal sampai setelah 4 minggu (1 bulan)
sebesar 1.852 . Dari hasil ini sudah terlihat perbedaan yang sangat signifikan antara
rata-rata nilai Qmax setelah 2 minggu dengan rata-rata Qmax setelah 4 minggu yaitu
hampir 2 kali lipat. Hal ini diperjelas oleh hasil uji menggunakan Repeated
Measurement Anova yang menunjukan hasil terdapat perbedaan nilai Qmax secara
sangat signifikan p = 0.000 (p<0,001).
Berdasarkan teori BPH terjadi rasio peningkatan komponen stroma terhadap
kelenjar, Yaitu peningkatan komponen dinamik dan komponen mekanik. Peningkatan
komponen dinamik akan mengakibatkan peningkatan reseptor adrenergik yang akan
meningkatkan respon saraf simpatis (McAninch et al, 2013). Peningkatan respon
saraf simpatis ini akan mengakibatkan peningkatan motor neuron ke sfingter uretra
ekstra yang akan menutup sfingter tersebut dan membuat aliran urin tidak mengalir
(Sherwood, 2016) dan mengakibatkan keluhan rasa tidak puas saat miksi, miksi
terputus, pancaran urin melemah. Tamsulosin sebagai obat yang bekerja untuk
menghambat α1-adrenergik akan membuat otot-otot prostat berelaksasi sehingga
diharapkan aliran urin pasien tidak terganggu akibat tertekannya uretra pars prostatika
pasien dan LUTS yang dirasakan mengalami perbaikan (Kapoor, 2012).
Hasil ini sejalan dengan penelitian Yigit Akin (2012) menemukan nilai prediksi
positif yang pertama dosis Qmax berubah untuk peningkatan Qmax bulan ketiga
sebagai 90,9% dan nilai prediksi negatif sebesar 66,6%. Selanjutnya nilai prediktif
positif untuk Qave adalah 86,1% dan nilai prediktif negatif adalah 50%. Di terangkan
pada temuan ini, dosis pertama tamsulosin 0,4 mg, jika perubahan pada Qmax paling
46

sedikit 5 ml / detik dan di Qave setidaknya 2 ml / detik, kita dapat memprediksi


bahwa tamsulosin akan efektif pada bulan ketiga.
Obat tersebut selektif dalam menghambat reseptor alfa 1a & 1d di uretra &
prostat pada otot polos di uretra & prostat sehingga dapat mereleksasi/menurunkan
tekanan uretra di bagian prostat dan dapat memperbaiki gangguan buang air kecil yg
disebabkan oleh BPH (Setiawati and Gan, 2012). Rata-rata obat golongan ini mampu
memperbaiki skor gejala miksi hingga 30-45% atau 4-6 poin skor IPSS dan Qmax
hingga 15-30% dibandingkan dengan sebelum terapi. Perbaikan gejala meliputi
keluhan iritatif maupun keluhan obstruktif sudah dirasakan sejak 48 jam setelah
pemberian obat (Guideline IAUI 2015).
IV.4 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu dengan melihat rekam medis
pasien dan telah dilaksanakan sesuai dengan prosedur, namun penulis masih
mendapatkan beberapa keterbatasan yang dapat mempengaruhi kondisi dari
penelitian yang dilakukan. Adapun keterbatasan tersebut antara lain :
a. Pengumpulan data sekunder menggunakan rekam medis, sehingga ada
kemungkinan kesalahan dalam mencatat hasil pemeriksaan uroflowmetri.
b. Keterbatasan waktu penelitian sehingga jumlah sampel yang diambil tidak
terlalu besar.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

V.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan terhadap hasil penelitian yang
diperoleh
a. Rata - rata nilai pancaran urin pada pemeriksaan uroflowmetri pasien BPH
pada minggu ke 0 sebelum pemberian tamsulosin sebesar 9,73
b. Rata - rata nilai pancaran urin pada pemeriksaan uroflowmetri pasien BPH
pada minggu ke 2 sesudah pemberian tamsulosin sebesar 10,78.
c. Rata - rata nilai pancaran urin pada pemeriksaan uroflowmetri pasien BPH
pada minggu ke 4 sesudah pemberian tamsulosin 11,56.
d. Beda nilai pancaran urin pada pemeriksaan uroflowmetri pasien BPH pada
minggu ke 0 sebelum pemberian tamsulosin dan minggu ke 2 sesudah
pemberian tamsulosin sebesar 1,047.
e. Beda nilai pancaran urin pada pemeriksaan uroflowmetri pasien BPH pada
minggu ke 0 sebelum pemberian tamsulosin dan minggu ke 4 sesudah
pemberian tamsulosin sebesar 1,852.
f. Beda nilai pancaran urin pada pemeriksaan uroflowmetri pasien BPH pada
minggu ke 2 dan minggu ke 4 sesudah pemberian tamsulosin sebesar
1,777.
Dapat diambil kesimpulan bahwa pada penelitian ini terdapat perbedaan yang
sangat signifikan pada nilai Qmax pasien BPH pada awal sampai dua minggu setelah
pemberian tamsulosin, awal sampai satu bulan pemberian dan, dua minggu sampai
satu bulan pemberian, dimana nilai rata-rata Qmax awal sampai setelah 2 minggu
adalah lebih kecil (1.047) dibandingkan rata-rata nilai Qmax awal sampai satu bulan
pemberian tamsulosin (1.852) sehingga terjadi peningkatan rata-rata nilai Qmax pada
pasien BPH walau hanya dengan pemberian obat tunggal yaitu tamsulosin saja.

47
48

V.2 Saran
V.2.1 Saran untuk RS Kepresidenan RSPAD Gatot Soebroto
Perlunya dilakukan penelitian mengenai perbandingan tamsulosin dengan
obat lain dalam penatalaksanaan LUTS pada BPH di RSPAD Gatot Soebroto.

V.2.2 Saran untuk Peneliti Selanjutnya


Diharapkan pada penelitian selanjutnya :
a. Variabel yang diteliti tidak hanya Qmax, penggunaan obat lain atau
tamsulosin dengan obat lain.
b. Penelitian dilakukan dalam kurun waktu yang lebih lama sehingga
diharapkan sampel yang diteliti lebih banyak dan dapat melihat efek
tamsulosin dalam jangka panjang bagi pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Akin, Y., Gulmez, H., Ucar, M. and Yucel, S., 2013. The effect of first dose of
tamsulosin on flow rate and its predictive ability on the improvement of
LUTS in men with BPH in the mid-term. International urology and
nephrology, 45(1), pp.45-51.

Cooperberg, M.R. and Carroll, P.R., 2015. Trends in management for patients with
localized prostate cancer, 1990-2013. Jama, 314(1), pp.80-82.

Cumpanas AA , Intravesical Prostatic Protrusion Can Be a Predicting Factor for the


Treatment Outcome in Patients With Lower Urinary Tract Symptoms Due to
Benign Prostatic Obstruction Treated With Tamsulosin, 2013

Cumpanas, A.A., Botoca, M., Minciu, R. and Bucuras, V., 2013. Intravesical
prostatic protrusion can be a predicting factor for the treatment outcome in
patients with lower urinary tract symptoms due to benign prostatic obstruction
treated with tamsulosin. Urology, 81(4), pp.859-863.

Guidelines on Urological Infections, European Association of Urology 2010

Guyton, A.C. and Hall, J.E., 2006. Textbook of Medical Physiology. 13th ed.
Philadelphia, PA, USA: Elsevier Saunders.

Guideline, Ikatan Ahli Urologi Indonesia. Panduan Penatalaksanaan Klinis


Pembesaran Prostat Jinak (Benign Prostatic Hyperplasia / BPH), 2015

Katzung, B.G., Masters, S.B. and Trevor, A.J., 2012. Basic and clinical
pharmacology twelfth edition. International edition. McGraw-Hill. Page,
pp.636-650.

Kim, S. J., Shin, I. S., Eun, S. J., Whangbo, T. K., Kim, J. W., Cho, Y. S., Kim, J. C.
(2017) „Evidence is enough?: A systematic review and network metaanalysis
of the efficacy of tamsulosin 0.2 mg and tamsulosin 0.4 mg as an initial
therapeutic dose in asian benign prostatic hyperplasia patients‟,

49
50

International Neurourology Journal, 21(1), pp. 29–37. doi:


10.5213/inj.1734826.413.

Kumar, V., Cotran, R.S., dan Robbins S.L. 2007. Buku Ajar Patologi. Edisi 7; ali
Bahasa, Brahm U, Pendt ;editor Bahasa Indonesia, Huriawati Hartanto,
Nurwany Darmaniah, Nanda Wulandari.-ed.7-Jakarta: EGC.

Lepor, H. (2007) „Alpha blockers for the treatment of benign prostatic hyperplasia.‟,
Reviews in urology, 9(4), pp. 181–90. Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18231614%0Ahttp://www.pubmedc
entral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=PMC2213889.

McAninch, J.W. and Tanagho, E.A. eds., 1988. Smith's general urology. Prentice-
Hall International.

McAninch, JW & Lue, TF 2013, General urology, McGraw-Hill, United States of


America.

Mcphee Stepen J. and Maxine A. Papadakis. 2013. Current Medical Diagnosis and
Treatment. New York: McGraw Hill.

McPhee, S.J., Papadakis, M.A. and Rabow, M.W. eds., 2011. Current medical
diagnosis & treatment : Urologic Disorder 2011. New York:: McGraw-Hill
Medical. P.923-5

Mochtar, CA, Umbas, R, Soebadi, DM, Rasyid, N, Noegroho, BS, Poernomo, BB,
Tjahjodjati, Danarto HR, Wijanarko, S, Warli, SM, Hamid, ARAH 2015,
Panduan Penatalaksanaan Klinis Pembesaran Prostat Jinak (Benign
Prostatic Hyperplasia / BPH) Edisi ke-2, Jakarta : Ikatan Ahli Urologi
Indonesia (IAUI). http://www.iaui.or.id/ast/file/Guideline_BPH_(2015).pdf

Notoatmodjo, S 2010, Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta


51

Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan


Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika.

Presti, JC. et al.,2013. Kane CJ, Shinohara K, Carroll PR. Neoplasms of the prostate
gland. Dalam:Smiths’s General Urology. 17th.

Price Sylvia A, Wilson Lorraine M. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. Jakarta: EGC; 2012.

Purnomo B. 2012. Dasar-dasar urologi. Edisi ke-3. Jakarta: Sagung Seto.

Purnomo, B.B. (2008). Dasar-dasar urologi: Hiperplasia prostat. Ed 2. Jakarta:


Sagung Seto

Pusat Data dan Informasi Kementerian Indonesia 2013, Gambaran Kesehatan Lanjut
Usia di Indonesia, Pusat Data dan Informasi Kementerian Indonesia, Jakarta
www.depkes.go.id/download.php?
file=download/pusdatin/buletin/buletinlansia.pdf

Saputra L. 2009. Harrison manual kedokteran. Tangerang: Karisma

Setiawati, A. & Gan, S., 2012. Obat Ganglion dalam Farmakologi dan Terapi, Edisi
5. Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

Sherwood, L. (2012). Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Edisi ke-6. Jakarta: EGC.
52

Sjamsuhidajat, dkk. (2012). Buku ajar ilmu bedah Samsuhidajat-De Jong. Edisi ke-3.
Jakarta: EGC

Tanagho, E. A & McAnich, J. W. (2008). Smith’s general urology: Neoplasm of


prostat gland.  USA: The McGraw-Hill Companies

Yoo, T.K. and Cho, H.J., 2012. Benign prostatic hyperplasia: from bench to
clinic. Korean journal of urology, 53(3), pp.139-148

Anda mungkin juga menyukai