PenelitianDeskriptif
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH
SURABAYA
2019
SKRIPSI
Penelitian Deskriptif
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH
SURABAYA
2019
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
i
ii
SKRIPSI
PenelitianDeskriptif
Oleh
NIM 2015.04.1.0180
Menyetujui:
iii
SKRIPSI
Penelitian Deskriptif
Oleh
NIM 2015.04.1.0180
Mengesahkan:
Ketua Sidang,
NIK: 02473
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-
Nya sehingga penelitian dan penyusunan skripsi ini dapat berjalan dengan
lancar. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran Universitas Hang
Tuah Surabaya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak dapat selesai tanpa
bantuan dari pihak lain, baik secara langsung ataupun tidak langsung,
oleh sebab itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih
kepada:
1. Tuhan Yesus Kristus yang telah membimbing setiap langkah saya
sejak lahir hingga segala keputusan yang saya buat kini dan nanti.
2. Laksamana Muda TNI (Purn) Ir. Sudirman, S.IP., S.E., M.AP.,
selaku Rektor Universitas Hang Tuah Surabaya yang telah
memberikan kesempatan dan kemudahan kepada penulis untuk
mengikuti pendidikan di Universitas Hang Tuah Surabaya.
3. Sakti Hoetama, dr., Sp.U, selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Umum Universitas Hang Tuah Surabaya yang telah memberikan
kemudahan dan membantu penulis selama mengikuti pendidikan di
Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah Surabaya.
4. Dian Ardiana, dr., Sp.KK, selaku Wakil Dekan I Fakultas
Kedokteran
Umum Universitas Hang Tuah Surabaya yang telah memberi
kesempatan dan membantu penulis dalam menyelesaikan
pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah
Surabaya.
5. Suwarno, dr., Sp.PD., FINASIM, selaku Wakil Dekan II Fakultas
Kedokteran Umum Universitas Hang Tuah Surabaya yang telah
memberi kesempatan dan membantu penulis dalam menyelesaikan
pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah
Surabaya.
v
6. Prajogo Wibowo, dr., M.Kes, selaku Wakil Dekan III Fakultas
Kedokteran Umum Universitas Hang Tuah Surabaya yang telah
memberi kesempatan dan kemudahan kepada penulis dalam
menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas
Hang Tuah Surabaya.
7. Ariyo Sakso Bintoro, dr., Sp.U dan Sakti Hoetama, dr., Sp.U selaku
dosen pembimbing I yang memberikan ide, saran, dan bimbingan
kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.
8. Henry Purbowo Sintoro, dr., Sp.BTKV,FIHA, selaku dosen
pembimbing II yang memberikan masukan, arahan, dan bimbingan
kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.
9. dr. Wienta Diarsvitri, M.Sc, Ph.D yang telah membantu dalam
proses analisis data hasil penelitian serta masukan lain yang
berharga.
10. Ibu Anita, M.kes, yang telah membantu untuk proses uji etik
11. Dr. Hj. Sri Hartiningsih, dr., M.Kes, sebagai dosen wali yang
membantu dalam memberikan saran dan motivasi belajar kepada
penulis dalam menempuh perkuliahan.
12. Para dosen Fakultas Kedokteran Umum Universitas Hang Tuah
Surabaya yang telah berkenan memberi ilmu, pengalaman, dan
pelajaran yang berharga kepada penulis.
13. Para staf Fakultas Kedokteran Umum Universitas Hang Tuah
Surabaya yang telah membantu dan memberikan kemudahan
kepada penulis dalam menyelesaikan kegiatan perkuliahan.
14. Orang tua tercinta dan tersayang, Singgih Gunawan dan Sri Lestari,
yang telah mendidik dengan penuh kasih sayang, memotivasi untuk
selalu belajar, mendoakan kesuksesan dan keberhasilan, serta
selalu memberikan dukungan penuh baik secara moril maupun
materil dalam pendidikan kepada penulis.
15. Teman-teman seperjuangan di Fakultas Kedokteran Universitas
Hang Tuah Surabaya, Aileen Gabrielle, Adela Marina Angel, Elisa
Kresnasaputra, Monique Wongsodihardjo, Nabila Anisa
vi
Novembri,Nurrochmah Ihayani, Aji Wibowo, Bagah Restu Pambudi,
Edwin Timotius, Gianfranco Amos, Kenny Yulian, Paulus Erick
Djuanda, Richard Harris, Richard Edwin Nerchan, Juliyanti, dan
Alexander Wignyo Setiadi sebagai teman senasib dan
seperjuangan yang selalu memberikan motivasi dan dukungan
dalam segala hal.
16. Teman- teman tutor semester 7, Erika Putri, Clara, Desy Petronella,
Dwi Kurniawan, IGA Pradnya Gisca, Karin Windatama, Mochamad
Reza, Nurrochmah Ihayani, Stanislaus Rino, dan Thalia, Sebagai
teman yang menemani dan selalu memberi bantuan dalam
pengerjaan skripsi dan perkuliahan.
17. Teman-teman Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah
Surabaya angkatan 2015, SAPHIR, ketua angkatan Sabriantoro
Pratama Dwiprawira dan wakil ketua angkatan I Made
KrisnaDwipayana yang selalu membantu, memberikan motivasi dan
semangat agar skripsi ini dapat terselesaikan dengan tepat waktu.
Semoga lulus bersama menjadi dokter.
18. Kepada semua pihak yang sudah berperan dalam penelitian ini dan
tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih dan semoga Tuhan Yang
Maha Esa selalu memberikan berkat-Nya kepada semua pihak yang telah
ikut berkontribusi dalam penelitian ini.
Penulis
vii
DAFTAR SINGKATAN
DHT : Dehidrotestosterone
HE : Hematoxyline Eosin
viii
IPSS : International Prostate Symptom Score
ix
KCHS : Korean Community Health Survey
USG : Ultrasonography
x
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN iv
KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI xi
DAFTAR LAMPIRAN xx
ABSTRAK xxi
ABSTRACT xxii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
xi
1.4.2 ..................................................................................................... Bagi Peneliti
............................................................................................................ 4
xii
2.3.8 ............................................................................................ Manajemen BPH
.......................................................................................................... 25
xiii
4.3.1 ........................................................................................................ Pengertian
.......................................................................................................... 42
xiv
5.1.10 .......... Distribusi Pasien BPH yang Menjalani TURP Berdasarkan
Keluhan Pasca Operasi ..................................................................... 59
BAB 6 PEMBAHASAN 62
xv
7.1 ......................................................................................................... Kesimpulan
.......................................................................................................... 70
7.2 .....................................................................................................................Saran
.......................................................................................................... 71
DAFTAR PUSTAKA 72
LAMPIRAN 77
xvi
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 5.1 Distribusi pasien BPH yang menjalani TURP berdasarkan usia
................................................................................................. 49
Tabel 5.2 Distribusi pasien BPH yang menjalani TURP berdasarkan
pekerjaan ................................................................................. 50
Tabel 5.3 Distribusi pasien BPH berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT)
................................................................................................. 51
Tabel 5.4 Distribusi pasien BPH berdasarkan riwayat diabetes ............... 52
Tabel 5.5 Distribusi pasien BPH berdasarkan riwayat hipertensi ............. 53
Tabel 5.6 Distribusi pasien BPH berdasarkan riwayat penyakit jantung .. 54
Tabel 5.7 Distribusi pasien BPH berdasarkan derajat penyakit ............... 55
Tabel 5.8 Distribusi pasien BPH dengan komplikasi ................................ 56
Tabel 5.9 Distribusi pasien BPH berdasarkan indikasi absolut bedah ..... 57
Tabel 5.10 Distribusi pasien BPH berdasarkan keluhan pasca operasi ... 60
Tabel 5.11 Distribusi pasien BPH berdasarkan lama rawat inap ............. 61
xviii
DAFTAR GAMBAR
xix
Gambar 5.7 Diagram derajat penyakit pasien BPH ................................. 56
Gambar 5.8 Diagram pasien BPH dengan komplikasi ............................. 57
Gambar 5.9 Diagram indikasi absolut bedah pasien BPH yang menjalani
TURP ................................................................................... 59
Gambar 5.10 Diagram keluhan pasca operasi pasien BPH yang menjalani
TURP ................................................................................... 60
Gambar 5.11 Diagram lama rawat inap pasien BPH yang menjalani TURP
........................................................................................... 62
DAFTAR LAMPIRAN
xx
ABSTRAK
xxi
Silvianny Felita Wiyasih
ABSTRACT
xxii
THE PROSTATE (TURP) AT DR. RAMELAN NAVAL HOSPITAL
SURABAYA, JANUARY – DECEMBER 2017
Silvianny Felita Wiyasih
xxiii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakang
Hiperplasia prostat benigna atau Benign Prostatic Hyperplasia
(BPH) adalah hiperplasidari komponen kelenjar dan stroma prostat
yang mengakibatkan penyumbatan uretra pars prostatika (Muttaqin
and Kumala, 2011). Penyumbatan uretra ini dapat menyebabkan
berbagai gejala urinaria (Nursalam and Fransisca, 2009).
1
tidak hanya ditentukan oleh usia saja, tetapi bersifat multifaktorial (Xu
et al., 2016).
1.2 RumusanMasalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka
rumusan masalah yang dapat diuraikan yaitu:
2
2. Bagaimana distribusi pasien BPH yang menjalani TURP
berdasarkan pekerjaan?
3. Bagaimana distribusi pasien BPH yang menjalani TURP
berdasarkan indeks massa tubuh?
4. Bagaimana distribusi pasien BPH yang menjalani TURP
berdasarkan riwayat diabetes?
5. Bagaimana distribusi pasien BPH yang menjalani TURP
berdasarkan riwayat hipertensi?
6. Bagaimana distribusi pasien BPH yang menjalani TURP
berdasarkan riwayat penyakit jantung?
7. Bagaimana distribusi pasien BPH yang menjalani TURP
berdasarkan gradasi prostat?
8. Bagaimana distribusi pasien BPH dengan komplikasi?
9. Bagaimana distribusi pasien BPH yang menjalani TURP
berdasarkan indikasi absolut bedah?
10. Bagaimana distribusi pasien BPH yang menjalani TURP
berdasarkan keluhan pasca operasi?
11. Bagaimana distribusi pasien BPH yang menjalani TURP
berdasarkan lama rawat inap?
1.3 TujuanPenelitian
1.3.1. Tujuanumum
Mengetahui karakteristik pasien Benign Prostatic
Hyperplasia (BPH) yang menjalani Transurethral Resection of the
Prostate (TURP) di Rumkital Dr. Ramelan Surabaya pada periode
Januari-Desember 2017.
1.3.2. Tujuankhusus
1. Untuk mengetahui distribusi pasien BPH yang menjalani TURP
berdasarkan usia.
2. Untuk mengetahui distribusi pasien BPH yang menjalani TURP
berdasarkan pekerjaan.
3
3. Untuk mengetahui distribusi pasien BPH yang menjalani TURP
berdasarkan indeks massa tubuh.
4. Untuk mengetahui distribusi pasien BPH yang menjalani TURP
berdasarkan riwayat diabetes.
5. Untuk mengetahui distribusi pasien BPH yang menjalani TURP
berdasarkan riwayat hipertensi.
6. Untuk mengetahui distribusi pasien BPH yang menjalani TURP
berdasarkan riwayat penyakit jantung.
7. Untuk mengetahui distribusi pasien BPH yang menjalani TURP
berdasarkan gradasi prostat.
8. Untuk mengetahui distribusi pasien BPH dengan komplikasi.
9. Untuk mengetahui distribusi pasien BPH yang menjalani TURP
berdasarkan indikasi absolut bedah.
10. Untuk mengetahui distribusi pasien BPH yang menjalani TURP
berdasarkan keluhan pasca operasi.
11. Untuk mengetahui distribusi pasien BPH yang menjalani TURP
berdasarkan lama rawat inap.
4
1.4.4 Bagi Peneliti Lain
Diharapkan penelitian ini dapat berguna sebagai sumber
informasi dan dapat disempurnakan lagi di penelitian selanjutnya.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
5
• Isthmus dari prostat berada di anterior dari uretra dan sebagian
besar terdiri dari komponen otot
• Lobus kanan dan kiri (zona perifer) dibagi menjadi empat, yaitu:
- Lobus inferoposterior (superfisial) berada di posterior dari
uretra dan inferior dari duktus ejakulatorius, yang bisa
dijangkau pada saat pemeriksaan colok dubur atau digital
rectal examination(DRE)
- Lobus inferolateral (superfisial) berada di lateral dari uretra
dan merupakan bagian utama dari prostat
- Lobus superomedialmengelilingi duktus ejakulatorius,
profundus dari lobus inferoposterior
- Lobus anteromedial berada di profundus dari lobus
inferolateral dan di lateral dari uretra pars prostatika yang
proksimal (Moore, Agur and Dalley, 2011).
2.1.2 Vaskularisasi, Aliran Limfatik, dan Persarafan
6
Gambar 2.1Topografi Prostat (dikutip dari
https://www.webmd.com/urinary-incontinence-oab/picture-of-the-
prostate#1)
7
Gambar 2.2 Anatomi Prostat (dikutip dari Netter)
8
Zona-zona dari prostat antara lain:
Epitel silindris dari kelenjar dengan inti prominen dan juga epitel
basal yang pipih dapat dilihat dalam lapangan pandang besar. Sel basal
ini akan menjadi prominen pada nodular hyperplasia(Young, O’Dowd and
Woodford, 2014).
9
Gambar 2.3Histologi Prostat; uretra berada di sentral dikelilingi oleh
stroma fibrous dan septa fibrous membagi kelenjar menjadi
beberapa lobus (dikutip dari Wheater’s)
10
Gambar 2.4Histologi Susunan Prostat; kelenjar prostat terdiri dari
kelenjar dan stroma. Stroma ini adalah campuran dari jaringan
fibrokolagen dan sabut otot polos (dikutip dari Wheater’s)
11
berlanjut seumur hidup pada sebagian besar pria. BPH sering
terjadi pada fase pertumbuhan kedua. Dalam fase pertumbuhan
dari prostat ini, akan terjadi pembesaran prostat yang akan
menjepit uretra dan memunculkan gejala-gejala terkait BPH (NIH,
2014).
2.3.2 Etiologi
1. Teori dihidrotestosteron
Androgen yang paling penting pada pertumbuhan prostat
adalah dihidrotestosteron (DHT). DHT bisa terbentuk dari
testosteron dengan bantuan enzim 5α-reductase. Aktivitas
enzim ini akan meningkat pada pasien BPH, sama halnya
dengan jumlah reseptor androgen. DHT dan testosteron akan
berikatan dengan reseptor androgen. Selanjutnya, kompleks
DHT-reseptorandrogen akan bekerja pada inti sel untuk
menstimulasi sintesa protein (Purnomo, 2011).
2. Peran dari Estrogen
Estrogen meningkatkan sensitivitas sel prostat terhadap
androgen. Responnya bergantung dari reseptor estrogen yang
dimiliki baik sel stroma maupun sel epitel. Menurut beberapa
studi, peningkatan estrogen terkait dengan peningkatan dari
beberapa faktor pertumbuhan. Kadar estrogen akan meningkat
pada usia tua (Roehrborn and McConnell, 2007).
3. Interaksi stroma dan epitel
Salah satu protein dari stroma, misalnya matriks
ekstraselular, meregulasi diferensiasi dari sel epitel. Tetapi bila
terjadi kerusakan pada komponen ini, regulasi sel epitel yang
normalnya berupa penghambatan terhadap proliferasi sel akan
12
terganggu. CRY61 adalah salah satu protein matriks
ekstraselular yang meningkatkan proliferasi sel epitel maupun
sel stroma (Roehrborn and McConnell, 2007).
4. Faktor pertumbuhan
Selain hormonsteroid, faktor pertumbuhan juga dapat
mempengaruhi proliferasi sel dan kematian sel. Efeknya bisa
berupa stimulasi atau inhibisi. TGF-β adalah slah satu contoh
faktor pertumbuhan yang menginhibisi proliferasi sel epitel
(Roehrborn and McConnell, 2007).
5. Kematian sel prostat
Pada prostat yang normal, terjadi keseimbangan antara
pertumbuhan dan kematian. Tetapi bila kematian sel berkurang,
maka secara tidak langsung akan meningkatkan jumlah sel
prostat. Androgendiduga dapat menurunkan
apoptosis(Purnomo, 2011).
6. Teori sel stem
Sel yang mengalami apoptosis akan digantikan oleh sel-sel
baru. Aktivitas sel stem yang tidak sesuai pada waktunya bisa
mengakibatkan proliferasi sel stroma dan sel epitel yang
berlebihan (Purnomo, 2011).
Faktor resiko dari BPH dibagi menjadi faktor resiko yang bisa
dihindari dan tidak bisa dihindari.
1. Faktor resiko yang tidak bisa dihindari yaitu:
a. Usia
Semakin bertambahnya usia, dengan meningkatnya jumlah
jaringan adiposa, maka jumlah testosteronsemakin menurun
danjumlah estrogensemakin meningkat. Jumlah estrogen yang
meningkat mengakibatkan terjadinya hiperplasia stroma
(Purnomo, 2011). Usia sebagai salah satu faktor resiko BPH
dapat terlihat pada penelitian yang dilakukan oleh
13
Mahendrakrisna (2016), kelompok usia terbanyak pasien BPH
adalah pada kelompok usia 61-70 tahun (43,8%) dengan usia
rata-rata 65,75 dimana usia termuda adalah 46 tahun dan usia
tertua adalah 89 tahun (Mahendrakrisna, Maulana and Erwin,
2016).
b. Ras
Orang dari ras kulit hitam memiliki risiko 2 kali lebih besar
untuk terjadi BPH dibanding ras lain. Orang-orang Asia memiliki
insidensi BPH paling rendah. (Roehborn and McConnell, 2002).
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Fowler
(1999) dan Kaplan (1998), ukuran prostat total pada orang
berkulit hitam cenderung lebih membesar daripada orang
berkulit putih. Penelitian lain menunjukkan tidak ada perbedaan
pada orang berkulit hitam dan putih. Data yang lain
menunjukkan bahwa ada penurunan resiko BPH pada orang
Asia dibandingkan orang berkulit putih (Lim, 2017).
c. Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga pada penderita BPH dapat meningkatkan
risiko terjadinya kondisi yang sama pada anggota keluarga yang
lain. Bila satu anggota keluarga mengidap penyakit ini, maka
risiko meningkat 2 kali bagi yang lain. (Roehborn and
McConnell, 2002).
2. Faktor resiko yang dapat dihindari yaitu:
a. Berat Badan
Jaringan adiposa adalah sumber aromatisasi yang
menghasilkan estrogen. Semakin banyak jaringan adiposa,
maka kadar estrogen juga akan meningkat. Menurut penelitian
yang dilakukan Parsons, orang yang tergolong obesitas (BMI
≥35 kg/m2) memiliki resiko 3,5 kali lipat untuk mengalami
pembesaran prostat dibandingkan orang yang bukan tergolong
obesitas (BMI <25 kg/m2) (Parsons, 2007).
b. Rokok
14
Nikotin yang dikandung rokok dapat meningkatkan kadar
testosteron dan estrogen sehingga dapat berefek positif
terhadap pembesaran prostat. Selain itu rokok juga terkait
dengan peningkatan resiko sindroma metabolik (Roehrborn and
McConnell, 2007). Penelitian sebelumnya telah membuktikan
bahwa pH serum yang disebabkan karena rokok dapat berperan
penting dalam penurunan kadar zink, mempengaruhi kadar
testosteron dan DHT pada prostat. Tetapi, penelitian lain
menunjukkan tidak ada korelasi antara ukuran prostat dengan
kebiasaan merokok ataupun riwayat merokok. (Xu et al., 2016).
c. Kurangnya Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik seperti berolahraga dapat menurunkan kadar
dihidrotestosteron sehingga memperkecil resiko gangguan
prostat. Selain itu, olahraga dapat membantu mengontrol berat
badan agar otot lunak yang melingkari prostat tetap stabil dan
menurunkan kadar lemak dalam darah (Yatim, 2004).
d. Diabetes
Beberapa hipotesa terkait dengan diabetes sebagai salah
satu faktor resiko BPH adalah:
• Meningkatnya insulin secara sekunder pada diabetes dapat
meningkatkan aktivitas simpatis dan meningkatkan tonus
dari otot polos prostat
• Gula darah yang tinggi dapat meningkatkan kalsium dalam
sitosol yang bebas, lalu mengaktifkan sistem saraf simpatis
• Insulin memiliki struktur yang mirip dengan IGF dan bisa
berikatan dengan reseptor IGF. Insulin yang meningkat
dapat menurunkan protein pengikat IGF-1 sehingga kadar
IGF akan meningkat. IGF merupakan faktor pertumbuhan
yang meningkatkan resiko BPH
• Insulin dapat meningkatkan hormon seks secara langsung
atau tidak langsung. Hormon seks yang meningkat terkait
dengan resiko BPH
15
• Insensitivitas glukosa terkait dengan inflamasi sistemik.
Mediator inflamasi seperti sitokin dapat meningkatkan
proliferasi dan penurunan apoptosis dari sel-sel kelenjar
prostat (Sarma et al., 2009).
• Aliran abnormal karena microangiopathy dapat berkontribusi
terhadap pertumbuhan prostat terkait dengan hipoksia
melalui sekresi dari faktor pertumbuhan
e. Hipertensi
Salah satu hipotesa mengatakan hipertensi dapat
menyebabkan kerusakan vaskuler dan meningkatkan resistansi
aliran sehingga menyebabkan pertumbuhan dari prostat. (Chen,
Tsai and Tong, 2012). Penelitian yang dilakukan Hwang, dkk
menunjukkan bahwa tekanan darah sistolik dan diastolik sama-
sama berhubungan dengan volume prostat secara signifikan.
(Hwang et al., 2015).
f. Penyakit Kardiovaskular
Pada suatu studi retrospektif yang melibatkan 702 pria
berumur 65-80 tahun, didapatkan sekitar 29% pria BPH
menderita penyakit arteri koronaria. Aterosklerosis diduga
menyebabkan iskemia pada pelvis, sehingga terjadi aliran yang
abnormal dan hipoksia pada jaringan prostat. Keadaan inilah
yang menstimulasi pertumbuhan prostat dengan meningkatkan
sekresi dari beberapa faktor pertumbuhan (Nandeesha, 2008).
3. Faktor Lain:
Faktor sosiodemografi yang diduga berkaitan dengan
keparahan gejala saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinary
Tract Symptoms (LUTS) adalah pendidikan, status perkawinan, dan
pekerjaan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Korean
Community Health Survey (KCHS) pada tahun 2011, 86% pasien
BPH sudah menikah dan mempunyai pasangan, sementara 34%
pasien BPH pendidikan terakhirnya adalah sekolah menengah atas
(Jo et al., 2017). Penelitian lain di RSUD Dr. Soedarso Pontianak
16
menunjukkan 71% pasien BPH adalah pensiunan (Setyawan,
Saleh and Arfan, 2015). Hasil penelitian ini sesuai dengan
pernyataan bahwa BPH banyak terjadi pada pasien usia 60 tahun
ke atas (Mochtar et al., 2015; Putra et al., 2016).
2.3.4 Patofisiologi
17
berkemih). Gejala iritatif terkait dengan hipersensitivitas otot
detrusor sehingga gejalanya dapat berupa urgensi (miksi sulit
ditahan), frekuensi (bertambahnya frekuensi miksi), dan
nokturia. Gejala setelah berkemih terkait dengan pengosongan
kandung kemih yang tidak tuntas, yaitu sensation of incomplete
bladder emptying (rasa tidak tuntas saat berkemih) danpost void
dribbling (urin menetes setelah berkemih). Gejala-gejala
tersebut disebut sebagai gejala saluran kemih bagian bawah
atau Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) (Roehrborn, 2008;
Cooperberg et al., 2013).
Tidak semua BPH menimbulkan gejala. Sebuah penelitan
pada pria berusia di atas 40 tahun, sesuai dengan usianya,
sekitar 50% mengalami hiperplasi kelenjar prostat secara
histopatologis. Dari jumlah tersebut, 30-50% mengalami LUTS,
yang juga dapat disebabkan oleh kondisi lain (Roehrborn,
2008).
Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa LUTS tidak
hanya disebabkan oleh adanya kelainan pada prostat. Adanya
gangguan dari kandung kemih dapat juga menyebabkan LUTS,
misalnya peningkatan aktivitas otot detrusor, gangguan
kontraktilitas pada fase penampungan, dan penurunan aktivitas
otot detrusor pada fase pengosongan. Kondisi lain baik kondisi
urologis maupun neurologis juga dapat berkontribusi terhadap
adanya LUTS (Oelke et al., 2012).
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Gejalanya berupa nyeri pinggang, benjolan di pinggang
(yang merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam yang
merupakan tanda dari infeksi atau urosepsis (Purnomo, 2011).
3. Gejala di luar saluran kemih
Beberapa pasien dapat mengalami hernia inguinalis atau
hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering
mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan
18
peningkatan tekanan intra abdominal (Purnomo, 2011).
2.3.7.1 Anamnesis
1. Riwayat Penyakit
19
• Riwayat kesehatan secara umum dan keadaan fungsi
seksual
• Riwayat konsumsi obat yang dapatmenimbulkan keluhan
berkemih (Mochtar et al., 2015).
2. Skor keluhan
Salah satu penentu adanya gejala obstruksi akibat
pembesaran prostat dan tingkat keparahan gejala adalah sistem
penskoran keluhan. Sistem penskoran yang digunakan secara
luas adalah International Prostate Symptom Score (IPSS) yang
telah dikembangkan American Urological Association (AUA) dan
distandarisasi oleh World Health Organization (WHO). Skor ini
berguna untuk menilai dan memantau keadaan pasien BPH.
IPSS terdiri atas 7 pertanyaan yang masing-masing memiliki
nilai 0 hingga 5 dengan total maksimum 35. Kuesioner IPSS
dibagikan kepada pasien dan diharapkan pasien mengisi sendiri
setiap pertanyaan. Berat ringannya keluhan pasien BPH dapat
digolongkan berdasarkan skor yang diperoleh, yaitu: ringan:
skor 0-7, sedang: skor 8-19, dan berat: skor 20-35.
Selain 7 pertanyaan di atas, di dalam daftar pertanyaan
IPSS terdapat satu pertanyaan tunggal mengenai kualitas hidup
(quality of life atau QoL) yang juga terdiri atas 7 kemungkinan
jawaban (Mochtar et al., 2015).
20
Gambar 2.5Skor IPSS dan kualitas hidup (dikutip dari IAUI 2015)
21
Dengan mencatat kapan dan berapa jumlah asupan cairan yang
dikonsumsi serta kapan dan berapa jumlah urin yang
dikemihkan, dapat diketahui seorang pasien menderita nokturia
idiopatik, instabilitas detrusor akibat obstruksi infravesika, atau
karena poliuria akibat asupan air yang berlebih. Sebaiknya
pencatatan dikerjakan 3 hari berturut-turut untuk mendapatkan
hasil yang baik (Mochtar et al., 2015).
22
1. Laboratorium
a. Analisis urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting
dilakukan untuk melihat adanya darah, protein, sel
leukosit. Pemeriksaan kultur urin juga berguna untuk
mengetahui jenis kuman penyebab infeksi dan
sensitivitas kuman terhadap antimikroba tertentu.
b. Pemeriksaan faal ginjal, untuk mengetahui kemungkinan
adanya penyulit yang mengenai saluran kemih bagian
atas. Elektrolit, kadar ureum, dan kreatinin darah
merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal dan status
metabolik.
c. Pemeriksaan prostate specific antigen (PSA) dilakukan
sebagai dasar penentu biopsi atau sebagai deteksi dini
dari keganasan. Bila nilai PSA <4 ng/ml, maka tidak perlu
dilakukan biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml,
perlu dihitung prostate specific antigen density (PSAD)
terlebih dahulu. Jika lebih ≥ 0,15 maka sebaiknya
dilakukan biopsi prostat, demikian juga pada nilai PSA >
10 ng/ml (Baradero and Dayrit, 2007; Purnomo, 2011).
2. Radiologis
Pemeriksaan radiologis bertujuan untuk memperkirakan
volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli-buli dan volume
residu urin serta untuk mencari kelainan patologi lain, baik yang
berhubungan maupun tidak berhubungan dengan BPH
(Purnomo, 2011).
a. Foto polos abdomen, untuk mengetahui kemungkinan
adanya batu opak di saluran kemih, adanya batu atau
kalkulosa prostat, dan adanya bayangan buli-buli yang
penuh dengan urin sebagai tanda adanya retensi urin.
b. Pemeriksaan pielografi intravena (IVP), untuk
memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang
ditunjukkan dengan adanya indentasi prostat
23
(pendesakan buli-buli oleh kelenjar prostat) atau ureter di
bagian distal yang berbentuk seperti mata kail, dan
penyulit yang terjadi pada buli-buli.
c. Pemeriksaan USG trans abdominal dan trans rektal,
untuk mengetahui besar kelenjar prostat, intra prostatic
protrusion (IPP), menentukan sisa residu urin,
menentukan adanya kelainan buli-buli, kerusakan ginjal,
mencari kemungkinan adanya keganasan prostat
(Purnomo, 2011).
3. Pemeriksaan lain
a. Residual urin, yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa
urin dapat diukur dengan cara melakukan kateterisasi
setelah miksi atau ditentukan dengan pemeriksaan USG
setelah miksi.
b. Pancaran urin (flow rate), dapat dihitung dengan cara
menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi
berlangsung (ml/detik) atau dengan alat uroflometri yang
menyajikan gambaran grafik pancaran urin (Purnomo,
2011).
24
Gambar 2.6 Pengelolaan pasien BPH (dikutip dari IAUI 2015)
25
resiko masing-masing. Pemilihan terapi ini bergantung dari
tingkat keparahan gejala dari BPH yang bisa ditentukan
salah satunya dengan IPSS, derajat gangguan yang
ditimbulkan, dan berdasarkan pilihan pasien. Selain itu juga
harus dipertimbangkan komorbiditas terkait usia, seperti
diabetes atau sindroma metabolik lain, dan efek negatif dari
terapi terhadap berbagai kondisi tersebut (Vuichoud and
Loughlin, 2015).
26
2.3.8.1 Watchful Waiting
Watchful waiting dilakukan pada pasien yang memiliki gejala
ringan (IPSS 0-7) atau gejala yang sedang sampai berat tetapi tidak
mengganggu aktivitas sehari-hari. Caranya hanya dengan
pemeriksaan berkala tiap tahun tanpa perlu adanya terapi lain.
(Vuichoud and Loughlin, 2015).
Pada watchful waiting ini, pasien diberi penjelasan mengenai
segala sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya,
misalnya:
• Jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol
setelah makan malam
• Kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan
iritasi pada kandung kemih (kopi atau cokelat)
• Batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung
fenilpropanolamin
• Jangan menahan kencing terlalu lama
• Penanganan konstipasi (Mochtar et al., 2015).
2.3.8.2 Medikamentosa
Terapi medikamentosa diberikan pada pasien dengan skor
IPSS >7 dan gejala yang mengganggu. Jenis obat yang digunakan
adalah:
1. α-Blocker
Prostat dan kandung kemih mempunyai reseptor subtipe α-
1a, oleh karena itu bisa diberikan obat-obatan golongan α-
blocker. Obat-obatan ini dapat diklasifikasikan berdasarkan
selektivitas dan waktu paruhnya. Blokade selektif dari α1a-
receptor pada prostat dan kandung kemih memiliki efek
samping sistemik terhadap sistem kardiovaskuler sehingga
titrasi dosis perlu dilakukan (Cooperberg et al., 2013).
2. 5α-Reductase inhibitor
Contoh obat 5α-reductase inhibitor adalah finasteride dan
27
dutasteride. Cara kerjanya yaitu dengan menghambat konversi
dari testosteron menjadi DHT. Finasteride mempengaruhi
komponen epitel dari prostat, sehingga dapat menurunkan
ukuran kelenjar, memperbaiki gejala (pada pria dengan ukuran
prostat >40 cm3), dan menurunkan kadar Prostate Specific
Antigen (PSA) sampai 50%. Efek samping dari finasteride, yaitu
penurunan libido, penurunan volume ejakulat, dan impotensi.
Dutasteride memiliki cara kerja yang sama dengan finasteride
dan memiliki efek samping, yaitu disfungsi ereksi, penurunan
libido, gynecomastia, dan gejala-gejala terkait ejakulasi
(Cooperberg et al., 2013).
3. Antagonis Reseptor Muskarinik
Pengobatan dengan menggunakan obat-obatan antagonis
reseptor muskarinik bertujuan untuk menghambat atau
mengurangi stimulasi reseptor muskarinik sehingga akan
mengurangi kontraksi sel otot polos kandung kemih. Beberapa
obat antagonis reseptor muskarinik yang terdapat di Indonesia
adalah fesoterodine fumarate, propiverine HCL, solifenacin
succinate, dan tolterodine l-tartrate.
Penggunaan antimuskarinik terutama untuk memperbaiki
gejala iritatif LUTS. Analisis pada kelompok pasien dengan nilai
PSA <1,3 ng/ml (≈volume prostat kecil) menunjukkan pemberian
antimuskarinik sangat bermanfaat. Sampai saat ini, penggunaan
antimuskarinik pada pasien dengan BOO masih terdapat
kontroversi, khususnya yang berhubungan dengan risiko
terjadinya retensi urin akut. Oleh karena itu, perlu dilakukan
evaluasi rutin keluhan dengan IPSS dan sisa urin pasca
berkemih. Penggunaan antimuskarinik bisa dipertimbangkan jika
penggunaan α-blocker tidak mengurangi gejala iritatif.
Penggunaan antimuskarinik dapat menimbulkan efek
samping, seperti mulut kering, konstipasi, kesulitan berkemih,
nasopharyngitis, dan pusing (Mochtar et al., 2015).
28
4. The phosphodiesterase (PDE)
Isoenzymes 4 dan 5 terdapat pada prostat dan mengatur
tonus otot polos. Inhibisi terhadap isoenzym dengan obat-
obatan, seperti sildenafil and tadalafil, telah terbukti memberikan
perbaikan tidak hanya pada gejala tetapi juga quality of life (Qol)
pada pria dengan LUTS. Sampai saat ini, hanya tadalafil
dengan dosis 5 mg per hari yang direkomendasikan untuk
pengobatan LUTS (Curtis Nickel et al., 2010; Mochtar et al.,
2015).
5. Terapi kombinasi
Terapi ini merupakan kombinasi dari α-bloker dan 5α-
reductase inhibitor. Terapi ini ditujukan untuk pasien dengan
kelenjar yang membesar dan kadar PSA yang tinggi. Hasil uji
klinis menunjukkan bahwa terapi kombinasi secara signifikan
memperbaiki gejala dan peak urinary flow dibandingkan dengan
monoterapi. Kombinasi terapi medis dapat secara efektif
menghambat perkembangan penyakit simtomatik dan dapat
menurunkan risiko retensi urin dan operasi prostat (Curtis Nickel
et al., 2010).
6. Fitofarmaka
Terapi ini menggunakan tumbuh-tumbuhan atau ekstrak
tumbuhan. Contoh dari ekstrak tumbuhan yang digunakan untuk
terapi, yaitu saw palmetto, Pygeum africanum, Echinacea
purpurea, Hypoxis rooperi, dan lain-lain. Tetapi, penelitian
terbaru menunjukkan tidak ada perbaikan gejala yang terlihat
pada penggunaan terapi ini (Cooperberg et al., 2013).
2.3.8.3 Pembedahan
Indikasi absolut tindakan pembedahan, yaitu pada BPH yang
sudah terjadi komplikasi, seperti:
• Retensi urinakut
29
• Infeksi saluran kemih berulang
• Hematuria makroskopik berulang
• Batu kandung kemih
• Penurunan fungsi ginjal yang disebabkan oleh obstruksi akibat
BPH
• Perubahan patologis pada kandung kemih dan saluran kemih
bagian atas
30
Gambar 2.8 Algoritma tata laksana pilihan terapi intervensi (dikutip
dari IAUI 2015)
31
yang memberikan panas melalui gelombang mikro dari ujung
antena pada kateter uretral dan Transurethral Needle Ablation
(TUNA) yang menggunakan jarum untuk masuk ke prostat lalu
memberi panas melalui energi dari frekuensi radio (Yassin,
Prasad and Hashim, 2016). Selain TUMT dan TUNA, terdapat
juga stent dan High Intensity Focused Ultrasound (HIFU). Stent
berguna untuk mengatasi obstruksi pada pasien yang tidak
mungkin menjalani operasi (Purnomo, 2011).
2. Pembedahan Endourologi
• Electrosurgery
Transurethral Incision of the Prostate (TUIP) atau
Bladder Neck Incision (BNI) diindikasikan untuk volume
prostat yang kecil (≤30 ml), leher kandung kemih yang tinggi,
penyempitan leher kandung kemih, pria muda dan aktif
secara seksual. Selain TUIP, terdapat juga Monopolar
Transurethral Resection of the Prostate (M-TURP) dan
BipolarTransurethral Resection of the Prostate (B-TURP)
yang diindikasikan untuk volume prostat yang lebih besar
(≥30 ml) (Yassin, Prasad and Hashim, 2016).
• Pembedahan laser
Contoh pembedahan yang menggunakan laser, yaitu
Holmium Laser Enucleation of the Prostate (HoLEP),
Holmium Laser Resection of the Prostate (HoLRP), Holmium
Laser Ablation of the Prostate (HoLAP), dan Thulium Laser
Transurethral Vaporesection of the Prostate (ThuVARP).
Holmium, potassium titanyl phosphate (KTP), dan thulium
adalah beberapa tipe laser generasi baru. Laser yang sering
digunakan untuk HoLAP adalah holmium dan potassium
titanyl phosphate. HoLEP adalah terapi gold standard
modern selain TURP dan prostatektomi terbuka (Yassin,
Prasad and Hashim, 2016). Endoskopi dapat mencapai
prostat melalui uretra sehingga tidak menimbulkan luka pada
32
kulit. Laser holmium digunakan untuk mengupas inti
obstruktif prostat secara keseluruhan. Pembedahan ini dapat
memberikan hasil yang maksimal dan seorang pria biasanya
hanya memerlukan satu prosedur HoLEP seumur hidupnya
(Cambridge Urology Partnership, 2011).
3. Pembedahan terbuka
Tindakan ini adalah tindakan paling lama yang masih sering
dikerjakan, paling invasif, dan paling efisien sebagai terapi BPH.
Prostatektomi terbuka diindikasikan untuk ukuran prostat yang
besar (>100 gram) dan terdapat 2 metode, yaitu Millin dan
Freyer. Enukleasi kelenjar prostat melalui pendekatan retropubik
infravesika adalah metode dari Millin, sedangkan pendekatan
suprapubik transvesika adalah metode Freyer atau bisa juga
transperineal(Purnomo, 2011).
Prostatektomi suprapubik dilakukan secara transvesika dan
adalah pilihan terapi untuk kasus BPH yang disertai dengan
patologi kandung kemih. Setelah kandung kemih dibuka,
dilakukan insisi semisirkular pada mukosa kandung kemih,
tepatnya di distal trigonum. Diseksi tajam dan tumpul dilakukan
untuk mengambil jaringan prostat. Kateter uretral dan
suprapubik dipasang terakhir, setelah terjadi hemostasis.
Prostatektomi retropubik dilakukan dengan insisi transversal
pada kapsul prostat dan tidak membuka kandung kemih.
Setelah mengambil jaringan prostat, hanya kateter uretral yang
perlu dipasang pada prosedur ini. Prostatektomi perineal
dilakukan melalui insisi kecil di perineum. Setelah jaringan
prostat diambil, kateter uretral dipasang dan diambil 12 hari
pasca operasi (Cooperberg et al., 2013).
4. Prosedur laparoskopi atau dengan bantuan robotik
Robotic-assisted Laparoscopic Radical Prostatectomy
(RALP) mulai dikembangkan selama dekade terakhir. Prosedur
ini menggunakan teknologi invasif minimal dan dapat digunakan
33
sebagai alternatif dari prostatektomi terbuka atau prosedur
transurethral kompleks lainnya (Yassin, Prasad and Hashim,
2016).
5. Prosedur investigasional
• UroLift
Prosedur dilakukan dengan memasukkan alat seperti
teleskop ke dalam uretra. Perangkat ini memungkinkan ahli
bedah untuk memasang implan kecil di antara permukaan
dalam dan luar prostat. Implan ini menarik lobus prostat yang
membesar tanpa memerlukan insisi pada jaringan. Jumlah
implan yang dibutuhkan bervariasi sesuai ukuran dan bentuk
prostat, biasanya hanya memerlukan 2 sampai 4 implan.
Setelah implan selesai dipasang, kebanyakan pasien dapat
buang air kecil tanpa memerlukan kateter (Cambridge
Urology Partnership, 2011).
• Injeksi toksin Botulinum A
Toksin Botulinum (BTX) adalah merupakan
eksotoksin dari bakteri Clostridium botulinum. BTX-A
mengurangi gejala LUTS dengan induksi apoptosis sel-sel
prostat, sehingga terjadi atrofi jaringan dan ukuran prostat
akan tereduksi. Selain itu, BTX-A menghambat neuron
sensoris dari prostat dan mengurangi sinyal aferen yang
masuk ke sistem saraf pusat, sehingga akan terjadi relaksasi
otot polos parenkim prostat dan obstruksi akan berkurang
(Yassin, Prasad and Hashim, 2016).
34
TURP dari segi waktu kateterisasi dan rawat inap pasca
operasi. Selain itu, perdarahan juga lebih sedikit ditemui pada B-
TURP dan gejala iritatif seperti dysuria juga lebih jarang terjadi
(Yassin, Prasad and Hashim, 2016).
Larutan normal salin adalah cairan irigan yang dipakai untuk
B-TURP. Cairan ini dapat menurunkan resiko terjadinya
sindroma TURP (Yassin, Prasad and Hashim, 2016). Sindroma
TURP menyebabkan gejala-gejala yang berubah dari keadaan
hiponatremi yang asimtomatik hingga kejang, koma, dan
kematian karena terjadi absorpsi cairan irigan selama prosedur
TURP. Gejala ini terkait dengan jumlah cairan yang masuk ke
sirkulasi melalui pembuluh darah pada daerah reseksi. Oleh
karena itu, pemilihan cairan yang tepat sangat diperlukan
sebelum memulai prosedur TURP (Demirel et al., 2012).
35
dilakukannya posisi litotomi, seperti pasien yang telah menjalani
penggantian panggul atau mengalami ankilosis berat pada
sendi panggul.
• Adanyadivertikulum kandung kemih bersama dengan
pembesaran prostat. Dalam kasus ini, jika prostatektomi
dilakukan tanpa pengobatan pada divertikulum, pasien dapat
mengalami infeksi saluran kemih berulang karena pengosongan
kandung kemih yang tidak tuntas.
• Adanya batu kandung kemih besar yang tidak bisa diatasi
dengan endoskopi.
• Pasien yang memiliki striktur uretra yang berat atau pasien yang
telah menjalani perbaikan hipospadia sebelumnya, lebih baik
digunakan metode open prostatectomy untuk menghindari
trauma pada uretra.
• Seorang pasien yang membutuhkan reimplantasi ureter
simultan membutuhkan open prostatectomy.
• Jika ada hernia inguinalis bersamaan dengan pembesaran
prostat, dilakukan operasi terbuka, sehingga hernia dapat
diperbaiki pada saat yang bersamaan.
• Pasien dengan koagulopati yang diketahui harus dikelola
dengan metode terbuka karena hemostasis lebih baik terjadi
pada operasi terbuka dibandingkan dengan operasi endoskopi
(Jain, Stoker and Tanwar, 2013).
2.4.2Pelaksanaan
TURP dilaksanakan dengan menggunakan anestesi spinal
atau general dan alat yang disebut dengan resectoscope 26F.
Cairan irigan juga diberikan agar daerah yang direseksi tetap
terang dan tidak tertutup oleh darah. Tujuan dari pembedahan ini
adalah agar leher kandung kemih terbuka dan membuat bentukan
barrel-shaped dalam uretra prostat antara leher kandung kemih dan
verumontanum. Jaringan prostat yang menyebabkan obstruksi
36
dihilangkan perlahan menggunakan electrocautery loop. Kepingan
yang terbentuk akan berada di bagian dalam kandung kemih dan
nantinya dilakukan evakuasi (pengambilan). Irigasi (3 arah) kateter
uretra akan dimasukkan setelah hemostasis terjadi. Kateter dilepas
setelah hematuria berhenti (kira-kira 36-48 jam setelah prosedur).
Rata-rata rawat inap di rumah sakit sekitar 4 hari (Bullock et al.,
2008)
2.4.4Komplikasi
Penyulit dini yang dapat terjadi pada saat TURP bisa berupa
perdarahan yang memerlukan transfusi (0-9%), retensi urin akut (0-
13,3%), retensi bekuan darah (0-39%), infeksi saluran kemih (0-
22%), dan yang paling parah sindroma TUR (0-5%). Sindroma TUR
37
disebabkan karena keadaan hiponatremi yang terjadi setelah
absorpsi cairan irigan pada saat prosedur TURP. Manifestasi klinis
dari sindroma TUR adalah mual, muntah, hipertensi, bradikardi, dan
gangguan visual. Selain itu, komplikasi jangka panjang yang dapat
terjadi meliputi inkontinensia urin (2,2%), stenosis leher kandung
kemih (4,7%), striktur uretra (3,8%),ejakulasi retrograde (65,4%),
disfungsi ereksi (6,5-14%), retensi urin, dan infeksi saluran kemih
(Cooperberg et al., 2013; Gravas et al., 2015).
38
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL
Pasien BPH
Pembedahan Medikamentosa/Kon
servatif
Reseksi prostat
trans-uretral
• Usia
• Pekerjaan
• Indeks massa tubuh
• Riwayat diabetes
• Riwayat hipertensi
• Riwayat penyakit
jantung
• Gradasi prostat
• Komplikasi penyakit
BPH
• Indikasi absolut
bedah
• Keluhan pasca
operasi
• Lama rawat inap
39
: variabel yang tidak diteliti
40
BAB 4
METODE PENELITIAN
41
1. Kriteria inklusi
• Pasien BPH yang menjalani tindakan Reseksi Prostat Trans-
uretral (TURP) di Rumkital Dr. Ramelan Surabaya.
• Pasien BPH yang memiliki rekam medis anamnesa dan
keterangan yang lengkap, meliputi usia, pekerjaan, indeks
massa tubuh, riwayat diabetes, riwayat hipertensi, riwayat
penyakit jantung, gradasi prostat, komplikasi, indikasi absolut
bedah, keluhan pasca operasi, dan lama rawat inap.
2. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah:
• Pasien BPH yang memiliki data rekam medis yang tidak
lengkap.
Jadi, sampel penelitian ini adalah pasien BPH yang
menjalani tindakan Reseksi Prostat Trans-uretral (TURP) di
Rumkital Dr. Ramelan Surabaya periode Januari-Desember
2017 yang memiliki rekam medis yang lengkap.
42
4.3.2 Definisi operasional
Definisi operasional adalah uraian tentang batasan variabel
yang dimaksud, atau tentang apa yang diukur oleh variabel yang
bersangkutan (Notoatmodjo, 2010).
1: 41 – 50 th
Lamanya hidup 2: 51 – 60 th
pasien BPH yang
Umur Data rekam 3: 61 – 70 th
dihitung
medis Ordinal
berdasarkan tahun 4: 71 – 80 th
sejak pasien itu
lahir 5: >80 th
1:PNS/TNI/POLRI
3:Wiraswasta
(usaha sendiri)
4:Pensiunan
43
Riwayat Ada / pernah Data rekam 0: Tidak Ada
Diabetes menderita penyakit medis Nominal
1: Ada
DM
Besarnya volume
prostat yang diukur
1: Grade I
berdasarkan
4: Grade IV
0: Tidak ada
komplikasi
1: Retensi urin
Penyakit yang baru
berulang
timbul kemudian
sebagai tambahan 2: Nefrolitiasis
pada penyakit Data rekam
Komplikasi
medis 3: Hidronefrosis Nominal
yang sudah ada
4: Batu Buli
5: CKD
44
1: Retensi urin
akut
3:Retensi dan
Gross hematuria
berulang
4: Retensi dan
Insufisiensi ginjal
akibat obstruksi
saluran kemih
pada buli
5:Retensi dan
Calculi bladder
1: 1 hari
45
Rawat pembedahan Data rekam 4: 4 hari
Inap TURP medis Nominal
5: 5 hari
6: 6 hari
46
4.8 Alur Penelitian
47
Mencatat data pasien sesuai kriteria yang diperlukan
Kesimpulan
BAB 5
HASIL PENELITIAN
48
5.1.1 Distribusi Pasien BPH yang Menjalani TURP Berdasarkan Usia
41 - 50 tahun 2 3%
51 - 60 tahun 8 12%
61 - 70 tahun 31 45%
71 - 80 tahun 23 34%
> 80 tahun 4 6%
68 100%
49
Usia
3%
6%
12%
[PERCENTAGE]
[PERCENTAGE]
Wiraswasta 7 10,3%
Pensiunan 43 63,2%
68 100%
50
Berdasarkan Tabel 5.2,
5.2, jumlah pasien BPH yang menjalani TURP
berdasarkan pekerjaan terbanyak adalah pensiunan sebanyak 43 orang
atau 63,2%; pegawai swasta sebanyak 14 orang atau 20,6%; wiraswasta
sebanyak 7 orang atau 10,3%; dan PNS / TNI / POLRI sebanyak 4 orang
atau 5,9%.
Pekerjaan
[VALUE]
50
J
40
u
30 [VALUE]
m
la
20
4 7
10
Gambar 5.2Diagram
Diagram pekerjaan pasien BPH yang menjalani TURP
<18,5
18,5 (BB Kurang) 0 0%
25 – 29,9 (BB
BB Lebih)
Lebih 24 35,3%
51
>30 (Obesitas) 1 1,5%
68 100%
Gambar 5.3Diagram
Diagram pekerjaan pasien BPH yang menjalani TURP
Tabel 5.4Distribusi
Distribusi pasien BPH berdasarkan riwayat diabetes
Ya 22 32,4%
Tidak 46 67,6%
52
68 100%
Riwayat Diabetes
32,4%
67,6%
Gambar 5.4Diagram
Diagram riwayat diabetes pasien BPH yang menjalani TURP
Ya 37 54,4%
Tidak 31 45,6%
68 100%
53
Berdasarkan Tabel 5.5,
5.5, jumlah pasien BPH yang menderita
hipertensi sebanyak 37 orang atau 54,4% dan pasien yang tidak
menderita hipertensi sebanyak 31 orang atau 45,6%.
Riwayat hipertensi
45,6%
54,4%
Hipertensi
Tidak hipertensi
Gambar 5.5Diagram
Diagram riwayat hipertensi pasien BPH yang menjalani TURP
Tabel 5.6Distribusi
Distribusi pasien BPH berdasarkan riwayat penyakit jantung
Ada riwayat 17 25
25%
68 100%
54
yang tidak mempunyai riwayat
riwa penyakit jantung sebanyak 51 orang atau
75%.
Riwayat penyakit
0 jantung
0%
25%
75%
Gambar 5.6Diagram
Diagram riwayat penyakit jantung pasien BPH yang menjalani
TURP
Tabel 5.7Distribusi
Distribusi pasien BPH berdasarkan gradasi prostat
Grade I 12 17,6%
Grade II 42 61,8%
Grade IV 5 7,4%
68 100%
55
Berdasarkan Tabel 5.7, pasien BPH grade II memiliki jumlah paling
banyak yaitu 42 orang atau 61,8%; grade I sebanyak 12 orang atau
17,6%; grade III sebanyak 9 orang atau 13,2%; dan grade IV sebanyak 5
orang atau 7,4%.
Gradasi Prostat
7,4%
17,6%
13,2
61,8%
Nefrolitiasis 9 13,2%
Hidronefrosis 4 5,9%
CKD 3 4,4%
56
Tidak ada komplikasi 0 0%
Komplikasi BPH
80 68
70
60
50
40
30
20
9
10 4 6 3
3 0
0
Retensi urin Nefrolitiasis Hidronefrosis Batu buli CKD Blood clot Tidak ada
berulang buli komplikasi
57
Retensi urin akut 47 69,1%
68 100%
58
Indikasi absolut bedah pasien
4,4%
7,4%
16,2%
69,1%
2,9%
59
Tabel 5.10Distribusi
Distribusi pasien BPH berdasarkan keluhan pasca operasi
Mual 2 3%
Perut panas 2 3%
68 100%
94%
Gambar 5.10Diagram
Diagram keluhan pasca operasi pasien BPH yang menjalani
TURP
60
5.1.11 Distribusi Pasien BPH yang Menjalani TURP Berdasarkan
Lama Rawat Inap
1 hari 0 0%
2 hari 0 0%
3 hari 23 33,8%
4 hari 28 41,2%
5 hari 15 22,1%
6 hari 2 2,9%
68 100%
61
L AM A R AWAT I N AP
30 28
25 23
J
20
u 15
15
m
la 10
5
2
0 0
0
1 hari 2 hari 3 hari 4 hari 5 hari 6 hari
BAB 6
PEMBAHASAN
62
Bhayangkara, Mataram memberi hasil yang serupa. Usia terbanyak
ada pada kelompok usia 61-70 tahun (38,2%) dan usia termuda adalah
46 tahun (Mahendrakrisna, Maulana and Erwin, 2016).
63
6.3 Karakteristik Pasien BPH yang Menjalani TURP Berdasarkan
Indeks Massa Tubuh (IMT)
Indeks massa tubuh pasien BPH yang menjalani TURP
terbanyak adalah pada kelompok 18,5 – 24,9 atau normal, yaitu
berjumlah 43 orang atau 63,2%.Penelitian di RSU dr. Soedarso,
Pontianak menunjukkan hasil serupa, yaitu dari 44 orang yang diteliti,
27 orang mempunyai indeks massa tubuh yang normal (61,36%)
(Setyawan, Saleh and Arfan, 2015).
64
terkait dengan hipoksiamelalui sekresi dari faktor pertumbuhan
(Berger, 2005; Sarma et al., 2009)
65
dengan studi yang menyebutkan faktor vaskular menjadi hubungan
antara penyakit jantung iskemik dengan BPH. Atherosklerosis diduga
menyebabkan iskemia pada pelvis, sehingga terjadi aliran abnormal
dan hipoksia pada jaringan prostat. Keadaan inilah yang menstimulasi
pertumbuhan prostat dengan meningkatkan sekresi dari faktor
pertumbuhan (Nandeesha, 2008).
66
melakukan pembedahan TURP atau juga bisa dicoba dengan
pengobatan konservatif. Derajat 3 dapat dilakukan reseksi endoskopik
oleh pembedah yang berpengalaman. Derajat 4 ditindaklanjuti dengan
pemasangan kateter, lalu terapi definitif TUR atau pembedahan
terbuka (Sjamsuhidajat and de Jong, 2005).
67
6.9 Karakteristik Pasien BPH yang Menjalani TURP Berdasarkan
Indikasi Absolut Bedah
Pasien BPH yang datang dengan keluhan retensi urin akut
berjumlah 47 orang atau 69,1%, sedangkan pasien yang mengeluh
retensi urin disertai gross hematuria berjumlah 11 orang atau 16,2%.
Pasien BPH lainnya mengeluh infeksi saluran kemih yang berulang,
insufisiensi ginjal akibat obstruksi BPH, dan batu buli. Keluhan-keluhan
ini merupakan indikasi absolut pembedahan TURP (Mochtar et al.,
2015).
68
leher kandung kemih, striktur uretra, ejakulasi retrograde, dan disfungsi
ereksi tidak bisa diobservasi lebih lanjut, karena pasien rata-rata
dirawat inap di rumah sakit sekitar 4 hari (Bullock et al., 2008).
69
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian 68 rekam medis pasien BPH yang menjalani
TURP di Rumkital Dr. ramelan Surabaya periode Januari – Desember
2017 dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
70
2. Pekerjaan terbanyak dari pasien BPH yang menjalani TURP
adalah pensiunan.
3. Pasien BPH sebagian besar memiliki indeks massa tubuh
normal (18,5 – 24,9) yang diukur dengan berat badan dibagi
tinggi badan dalam meter yang dikuadratkan.
4. Kebanyakan pasien BPH yang diteliti tidak mempunyai riwayat
diabetes.
5. Lebih dari separuh BPH mempunyai riwayat hipertensi.
6. Sebagian besar pasien BPH tidak mempunyai riwayat penyakit
jantung lain.
7. Berdasarkan gradasi prostat, pasien BPH terbanyak adalah
grade 2.
8. Semua pasien BPH mempunyai komplikasi retensi urin berulang
dari penyakit BPH yang dideritanya.
9. Indikasi absolut bedah pasien BPH terbanyak adalah retensi
urin akut.
10. Pasien lebih banyak mengeluhkan nyeri di saluran kemih dan
hematuria pasca operasi TURP.
11. Lama rawat inap pasien BPH terbanyak adalah 4 hari, paling
cepat 3 hari, dan paling lama 6 hari.
7.2 Saran
1. Lebih baik dilakukan komputerisasi data rekam medis dan SIM-RS
(Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit) agar data yang
tersedia lebih lengkap, akurat, tidak mudah hilang, dan
memudahkan peneliti untuk mencari informasi yang dibutuhkan.
2. Untuk penelitian lebih lanjut bisa digunakan sampel yang lebih
banyak dengan rentang waktu yang lebih panjang juga, supaya
bisa didapatkan hasil yang memuaskan.
3. Untuk penelitian selanjutnya, lebih baik dicantumkan karakteristik
hasil patologi anatomi dari pasien, karena BPH adalah penyakit
yang dapat didiagnosa secara mikroskopis.
71
DAFTAR PUSTAKA
72
Brunicardi, C. F. et al. (2005) Schwartz’s Principles of Surgery. 8th edn.
USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.
73
Filzha, A. (2016) Gambaran Benigna prostat Hiperplasia di RSUP Prof. Dr.
R. D. Kandou MAnado Periode Januari-Juli 2017.
Hwang, E. C. et al. (2015) ‘Men with hypertension are more likely to have
severe lower urinary tract symptoms and large prostate volume’,
LUTS: Lower Urinary Tract Symptoms, 7(1), pp. 32–36. doi:
10.1111/luts.12046.
Jain, S. K., Stoker, D. L. and Tanwar, R. (2013) Basic Surgical Skills and
Techniques. 2nd edn. New Delhi: JP Medical Ltd.
74
resection-of-the-prostate-turp/ (Accessed: 15 February 2018).
Persu, C. et al. (2010) ‘TURP for BPH . How Large is Too Large ?’, 3(4),
pp. 3–7.
75
Roehrborn, C. G. and McConnell, J. D. (2007) Campbell-Walsh Urology.
9th edn. Edited by M. F. Campbell et al. Philadephia: W.B. Saunders.
Sjamsuhidajat, R. and de Jong, W. (2005) Buku Ajar Ilmu Bedah. 2nd edn.
Edited by R. Sjamsuhidajat and W. de Jong. Jakarta: EGC.
https://www.webmd.com/urinary-incontinence-oab/picture-of-the-
prostate#1
76
https://siteman.wustl.edu/glossary/cdr0000045932/
LAMPIRAN
77
Lampiran 1 Jadwal Pelaksanaan
No Pelaksanaan Agt Sep Okt Nov Des
1 Mencari referensi
kepustakaan
2 Menyusun proposal
3 Mengurus perizinan
4 Pelaksanaan penelitian
5 Analisa data
6 Penyusunan laporan
7 Presentasi
78
Lampiran 2 Nota Dinas Penelitian
79
Lampiran 3 Surat Keterangan Penelitian
80