Anda di halaman 1dari 91

GAMBARAN HASIL PEMERIKSAAN

ESOFAGOGASTRODUODENOSKOPI PADA PENDERITA SINDROM


DISPEPSIA DI RUMAH SAKIT UMUM SANTO ANTONIUS
PONTIANAK TAHUN 2015-2016

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran pada
Program Studi Pendidikan Dokter

LIA PRAMITA
I1011151026

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2018
GAMBARAN HASIL PEMERIKSAAN
ESOFAGOGASTRODUODENOSKOPI PADA PENDERITA SINDROM
DISPEPSIA DI RUMAH SAKIT UMUM SANTO ANTONIUS
PONTIANAK TAHUN 2015-2016

Tanggung Jawab Yuridis Material Pada

LIA PRAMITA

I1011151026

Disetujui Oleh

Pembimbing I Pembimbing II

dr. Willy Brodus Uwan, Sp.PD, dr. M.Ibnu Kahtan, M. Biomed


K.GEH, FINASIM, MARS NIP. 19830903 200812 1 002
NIP. -

Dekan Fakultas Kedokteran


Universitas Tanjungpura

dr. Arif Wicaksono, M.Biomed


NIP. 198310302008121002

ii
SURAT KEPUTUSAN

DEKAN FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS TANJUNGPURA
NOMOR 3254/UN22.9/DK/2018

Tentang:
Penetapan Dosen Penguji Tugas Akhir (Skripsi) Mahasiswa Program Studi
Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura

Atas Nama: Lia Pramita/ I1011151026

Tanggal: 19 Mei 2018

TIM PENGUJI SKRIPSI

TANDA
JABATAN NAMA GOL
TANGAN

1. KETUA dr. Willy Brodus Uwan, Sp.PD, K.GEH,


FINASIM, MARS -

NIP. -

2. SEKRETARIS dr. M.Ibnu Kahtan, M. Biomed


III/b
NIP. 19830903 200812 1 002

3. PENGUJI I dr. Darmawan, M.Kes, Sp.PD


NIP.
-

4. PENGUJI II dr. Abror Irsan, MMR


III/b
NIP. 19851111 2010121 004

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT, karena atas segala limpahan rahmat-Nya penulis
dapat menyelesaikan karya tulis yang berbentuk skripsi ini sebagai persyaratan
untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran. Penulisan skripsi ini melibatkan
banyak pihak yang telah memberikan bantuan secara moral maupun material.
Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura, dr. Arif Wicaksono,


M. Biomed, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
mengikuti pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura
dengan lancar.
2. Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Tanjungpura, dr.Wiwik
Windarti, Sp.A, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
mengikuti pendidikan ilmu kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas
Tanjungpura.
3. dr. Willy Brodus Uwan. Sp.PD, K-GEH, FINASIM, MARS dan dr.
Muhammad Ibnu Kahtan, M.Biomed sebagai pembimbing pertama dan
kedua dalam pengerjaan skripsi yang selalu membantu, mendukung serta
memotivasi penulis dalam penyelesaian skripsi.
4. dr. Darmawan, M.Kes. Sp.PD dan dr.Abror Irsan sebagai penguji pertama
dan kedua yang memberikan saran, masukan dan koreksi sehingga skripsi
yang dibuat menjadi lebih baik.
5. dr. An An, M. Sc, Sp. S sebagai pembimbing akademik yang telah
memotivasi dan mendukung penulis selama proses pendidikan di Fakultas
Kedokteran Universitas Tanjungpura.
6. Direktur RSU Santo Antonius Pontianak, dr. Gede Sanjaya Sp. OT yang
telah mengizinkan penulis untuk melakukan kegiatan penelitian skripsi di
Rumah Sakit.
7. Kepala ruangan Endoskopi RSU Santo Antonius Pontianak beserta para staf
yang telah mendukung dan memberi fasilitas dalam pendataan gambaran
Endsokopi selama proses penelitian.
8. Seluruh staf pengajar beserta civitas akademik Fakultas Kedokteran yang
telah mendukung dan memberikan bantuan berupa fasilitas kegiatan
penelitian dan skripsi serta dukungan moral dalam pelaksanaan penelitian.
9. Kedua orang tua, Papra Antomi ST.MT dan Saliyah S.pd yang telah
memberikan fasilitas dan dukungan moral serta doa kepada penulis untuk
menyelesaikan skripsi

iv
10. Teman-teman seperjuangan, Kurnia Pralisa, Toni Prasetya, Vito Praditya,
Ullya Aisyafitri, Catherine Sugandi, Zaitin Nur, Resky Hevia dan teman-
teman Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas
Tanjungpura angkatan 2015, yang telah meluangkan waktu untuk
memberikan bantuan berupa tenaga, pikiran, motivasi serta doa sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan lancar.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini belum sempurna karena


keterbatasan dari penulis. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun untuk lebih menyempurnakan karya ilmiah ini. Semoga karya
ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca dan semua pihak.

Pontianak, April 2018


Penulis,

Lia Pramita
I1011151026

v
GAMBARAN HASIL PEMERIKSAAN
ESOFAGOGASTRODUODENOSKOPI PADA PENDERITA SINDROM
DISPEPSIA DI RUMAH SAKIT UMUM SANTO ANTONIUS
PONTIANAK TAHUN 2015-2016
Lia Pramita1, Willy B Uwan2, Ibnu Kahtan3

ABSTRAK
Latar Belakang: Dispepsia merupakan sindrom yang meliputi satu atau lebih dari
gejala-gejala yang terdiri dari nyeri, rasa terbakar di ulu hati, rasa cepat kenyang,
perut terasa penuh, dan gejala berlangsung sedikitnya dalam 3 bulan terakhir,
dengan awal mula gejala sedikitnya timbul 6 bulan sebelum diagnosis.
Esofagogastroduodenoskopi menjadi baku emas dalam pengelolaan pasien
dispepsia, menentukan diagnosa dan pemberian terapi Tujuan: Mengetahui
gambaran hasil pemeriksaan Esofagogastroduodenoskopi pada penderita sindrom
dispepsia di RSU Santo Antonius Pontianak Metodologi: Penelitian deskriptif
dengan pendekatan retrospektif. Sampel penelitian adalah semua populasi yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi serta menggunakan total sampling dari
seluruh rekam medis pasien sindrom dispepsia. Variabel bebas penelitian ini
adalah sindrom dispepsia dan variabel terikatnya adalah hasil pemeriksaan EGD.
Hasil: Pada pemeriksaan EGD didapatkan Gastritis (78,4%), Ulkus ventrikuli
(7,4%), Esofagitis (3,5%), Ulkus peptikum (2,7%), Ulkus duodenum (0,5%),
Gastropati hipertensi porta (2,1%), Varises esophagus (0,4%), Gastroduodenitis
(2,1%), Keganasan (2,7%), dan Barret Esofagus (0,2%). Gastritis (78,4%) lebih
banyak ditemukan pada kelompok usia 37-47 tahun (28,8%), dan lebih banyak
ditemukan pada perempuan. Kesimpulan: Gambaran hasil pemeriksaan EGD
pada penderita dispepsia terbanyak adalah Gastritis, Ulkus Ventrikuli, dan
terendah pada Keganasan dan Barret esophagus
Kata Kunci: Sindrom dispepsia, hasil pemeriksaan Esofagogastroduodenoskopi.

1) Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Tanjungpura


Pontianak, Kalimantan Barat.
2) Departemen Gastrohepatology, Fakultas Kedokteran, Universitas Tanjungpura
Pontianak, Kalimantan Barat.
3) Departemen Parasitologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Tanjungpura Pontianak,
Kalimantan Barat

vi
DESCRIPTION OF ESOPHAGOGASTRODUODENOSCOPY
EXAMINATION RESULTS IN DYSPEPSIA SYNDROME PATIENTS OF
SANTO ANTONIUS GENERAL HOSPITAL IN PONTIANAK YEAR 2015-
2016

Lia Pramita1, Willy B Uwan2, Ibnu Kahtan3

ABSTRACT
Background: Dyspepsia is a syndrome with one or more symptoms consisting of
pain, burning in the pit of liver, satiety, bloating, and symptoms occured at least 3
months, with early symptoms occured at least 6 months before diagnosed.
Esophagogastroduodenoscopy (EGD) became gold standard in the management,
diagnosis, and therapy of patients with dyspepsia. Purpose : Aiming to know the
description of Esophagogastroduodenoscopy examination results in dyspepsia
patients of Saint Antonius General Hospital in Pontianak. Methodology:
Descriptive study was used with retrospective approach. The samples were all
populations with the inclusion and exclusion criteria and used total sampling of
all medical records of patients with dyspepsia syndrome. The independent
variable was dyspepsia syndrome and the dependent variable was the results of
EGD examination. Results: The results of EGD examination obtained Gastritis
(78,4%), Ventricular Ulcers (7.4%), Esophagitis (3.5%), Peptic Ulcer (2.7% ),
Duodenal Ulcer (0.5%), Portal Hypertensive Gastropathy (2.1%), Esophageal
Varicose (0.4%), Gastroduodenitis (2.1%), Malignancy (2.7%), and Barret
Esophagus (0.2%). Gastritis (78.4%) was more common in the 37-47 years group
(28.8%) and in women. Conclusions: The results of EGD examination in most
dyspepsia patients were Gastritis, Ventriculi Ulcus, and lowest were Malignancy
and Barret Esophagus.

Keywords: Dyspepsia syndrome, Esofagogastroduodenoscopy examination result


1.
Medical Education, Faculty of Medicine, Tanjungpura University, West Borneo.
2.
Department of Gasrohepatology, Santo Antonius Hospital, West Borneo
3.
Department of Parasitology, Faculty of Medicine, Tanjungpura University, West
Borneo

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i


LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. ii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... iv
ABSTRAK ........................................................................................................ vi
ABSTRACT ..................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ...................................................................................................viii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xi
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xii
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................xiii
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1


1.2. Rumusan Masalah ................................................................................. 2
1.3. Tujuan Penelitian .................................................................................. 3
1.4. Manfaat Penelitian ................................................................................ 3
1.5. Keaslian Penelitian................................................................................ 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Dispepsia ............................................................................................... 5


2.1.1 Definisi ...................................................................................... 5
2.1.2 Epidemiologi ............................................................................. 5
2.1.3 Klasifikasi ................................................................................. 7
2.1.4 Patogenesis ................................................................................ 7
2.1.5 Faktor penyebab dispepsia ...................................................... 11
2.2. Esofagus .............................................................................................. 11
2.2.1 Gastro Esofageal Reflux Diseases (GERD) ............................ 11
2.2.2 Reflux Esofagitis ..................................................................... 13
2.2.3 Eosinofilik Esofagitis .............................................................. 17
2.2.4 Esofagus Barret ....................................................................... 18
2.2.5 Varises esofagus...................................................................... 20
2.2.6 Tumor esofagus ....................................................................... 21
2.2.6.1 Tumor jinak ................................................................. 21
2.2.6.2 Tumor ganas................................................................ 22
2.3. Lambung ............................................................................................. 23
2.3.1 Gastritis ...................................................................................... 23
2.3.2.Ulkus Peptikum.......................................................................... 24
2.3.3. Infeksi Helicobacter Pylori....................................................... 26
2.3.4. Kanker Gaster ........................................................................... 27
2.4. Duodenum ........................................................................................... 28
2.4.1 Ulkus Duodenum ....................................................................... 28
2.5. Endoskopi ........................................................................................... 29
2.5.1 Definisi....................................................................................... 29

viii
2.5.2 Klasifikasi .................................................................................. 30
2.5.3 Indikasi....................................................................................... 30
2.5.4 Kontraindikasi ............................................................................ 31
2.5.5 Komplikasi ................................................................................. 31
2.5.6 Esofagogastroduodenoskopi (EGD) .......................................... 31
2.5.6.1 Definisi .......................................................................... 31
2.5.6.2 Indikasi .......................................................................... 32
2.5.6.3 Kontraindikasi ............................................................... 32
2.5.6.4 Prosedur melakukan EGD ............................................. 33
2.5.6.5 Gambaran endoskopi normal SCBA ............................. 33
2.5.6.6 Gambaran kelainan endoskopi SCBA ........................... 35
2.6 Kerangka teori ..................................................................................... 37
2.7 Kerangka konsep ................................................................................. 38

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian ................................................................................ 39


3.2. Lokasi danWaktu Penelitian ............................................................... 39
3.3. Jadwal Penelitian ................................................................................ 39
3.4. Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi Penelitian .................................................................... 39
3.3.2. Sampel Penelitian...................................................................... 40
3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.4.1. Kriteria Inklusi .......................................................................... 40
3.4.2. Kriteria Eksklusi ....................................................................... 40
3.6. Identifikasi Variabel Penelitian
3.5.1. Variabel Bebas .......................................................................... 40
3.5.2. Variabel Terikat ........................................................................ 40
3.7. Definisi Operasional ........................................................................... 41
3.8. Instrumen Penelitian ........................................................................... 42
3.9. Metode Pengumpulan Data ................................................................. 42
3.10. Pengolahan Data Penelitian ................................................................ 42
3.11. Alur Penelitian .................................................................................... 42
3.12. Etika Penelitian ................................................................................... 43

BAB IV HASIL PENELITIAN

4.1 Frekuensi Pasien Sindrom Dispepsia di RSU Santo Antonius


Pontianak tahun 2015-2016 ................................................................ 43
4.2 Frekuensi Penderita Dispepsia yang melakukan Endoskopi
Berdasarkan Jenis Kelamin ................................................................. 44
4.3 Frekuensi Penderita Dispepsia yang melakukan Endoskopi
Berdasarkan Kelompok Umur ............................................................ 45
4.4 Gambaran Kelainan Endoskopi pada Pasien Sindrom Dispepsia di
RSU Santo Antonius Pontianak .......................................................... 45

ix
4.5 Gambaran kelainan endoskopi penderita dispepsia berdasarkan
jenis kelamin ....................................................................................... 46
4.6 Gambaran kelainan endoskopi penderita dispepsia berdasarkan
kelompok Umur .................................................................................. 47

BAB V PEMBAHASAN

5.1 Kasus sindrom dispepsia di RSU Santo Antonius Pontianak tahun


2015-2016 ........................................................................................... 49
5.2 Usia pasien sindrom dispepsia di RSU Santo Antonius Pontianak
tahun 2015-2016 ................................................................................. 49
5.3 Jenis kelamin pasien sindrom dispepsia di RSU Santo Antonius
Pontianak tahun 2015-2016 ................................................................ 51
5.4 Gambaran hasil EGD pada pasien sindrom dispepsia di RSU Santo
Antonius Pontianak tahun 2015-2016 ................................................. 52
5.5 Keterbatasan penelitian ....................................................................... 56

BAB VI PENUTUP
6.1 Kesimpulan ........................................................................................ 57
6.2 Saran .................................................................................................. 57

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 58


LAMPIRAN 1 .................................................................................................. 65
LAMPIRAN 2 .................................................................................................. 66
LAMPIRAN 3 .................................................................................................. 67

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Patofisiologi GERD ................................................................... 12


Gambar 2.2. Pengaruh Hiatal hernia pada patofisiologi GERD ..................... 16
Gambar 2.3. Esofagus Barret.......................................................................... 19
Gambar 2.4 Portocaval anatomi pada hipertensi portal ................................ 20
Gambar 2.5 Patofisiologi Ulkus Peptikum .................................................... 25
Gambar 2.6 Infeksi H.pylori pada gaster dan duodenum .............................. 27
Gambar 2.7 Gambar endoskopi normal......................................................... 34
Gambar 2.8 Gambaran kelainan endoskopi................................................... 35
Gambar 2.9 Kerangka teori ........................................................................... 37
Gambar 2.10 Kerangka konsep ....................................................................... 38
Gambar 3.1. Alur penelitian ........................................................................... 39
Gambar 4.1 Frekuensi pasien dispepsia di RSU Santo Antonius Pontianak
tahun 2015-2016 ....................................................................... 43

xi
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Keaslian Penelitian ............................................................................ 4


Tabel 2.1. Klasifikasi Los Angeles ................................................................... 16
Tabel 2.2. Pembagian derajat varises ............................................................... 22
Tabel 2.3. Klasifikasi aktivitas perdarahan Ulkus peptikum menurut Forest .. 26
Tabel 2.4. Klasifikasi Karsinoma gaster........................................................... 28
Tabel 3.1. Jadwal penelitian ............................................................................. 39
Tabel 3.2. Definisi operasional variable penelitian .......................................... 41
Tabel 4.1. Distribusi pasien dispepsia berdasarkan usia ................................. 44
Tabel 4.2. Frekuensi penderita dispepsia yang melakukan endoskopi tahun
2015-2016 ....................................................................................... 45
Tabel 4.3. Gambaran hasil pemeriksaan endoskopi pada penderita sindrom
dispepsia tahun 2015-2016 .............................................................. 46
Tabel 4.4. Distribusi kelainan endoskopi penderita dispepsia berdasarkan
jenis kelamin ................................................................................... 47
Tabel 4.5. Distribusi kelainan endoskopi penderita dispepsia berdasarkan
usia .................................................................................................. 48

xii
DAFTAR SINGKATAN

Hp : Helicobacter pylori
EGD : Esofagogastroduodenoskopi
HPA : Hypothalamic Pituitary Adrenal
IL : Interleukin
TGF : Tumor Growth Factor
IBS : Irritable Bowel Syndrome
OAINS : Obat Anti Inflamasi Non-Steroid
GERD : Gastro Esofageal Reflux Disease
TLESR : Transient Lower esophageal relaxation
SCBA : Saluran Cerna Bagian Atas
NERD : Non Erosif Reflux Disease
SEB : Sfingter Esofagus Bawah
HGD : High Grade Dysplasia
LGD : Low Grade Dysplasia
SH : Sirosis Hati
EVL : Endoscopic Variceal Ligation
KSS : Karsinoma sel skuamosa
MALT : Mucosal Associated Lymphoid Tissue
DNA : Deoxyribonucleic acid
TNF : Tumor Necrosis Factor
NGT : Naso Gastric Tube
EMR : Endoscopic mucosal resection
ESD : Endoscopic submucosa dissection
GRP : Gastrin Releasing Hormon

xiii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Definisi dispepsia dalam Roma III merupakan sindrom yang meliputi satu
atau lebih dari gejala-gejala yang terdiri dari nyeri atau rasa terbakar di ulu hati,
rasa cepat kenyang, perut terasa penuh, dan gejala tersebut berlangsung sedikitnya
dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala sedikitnya timbul 6 bulan
sebelum diagnosis.1
Dispepsia diklasifikasikan menjadi dispepsia organik dan dispepsia
fungsional. Dispepsia fungsional adalah dispepsia yang tidak ditemukan kelainan
pada pemeriksaan gastroenterologi, sedangkan dispepsia organik dapat ditemukan
kelainan pada pemeriksaan gastroenterologi dan sering ditemukan pada usia lebih
2
dari 40 tahun. Kondisi tersebut dapat menurunkan kualitas hidup lansia. Jika
tidak diantisipasi dengan deteksi dini dan tindakan yang tepat, maka dapat
berakibat fatal.
Berdasarkan penelitian pada populasi umum didapatkan bahwa 15-30% orang
dewasa pernah mengalami dispepsia dalam beberapa hari. Data dari pustaka
Negara Barat didapatkan bahwa angka prevalensinya sekitar 7-14%, tapi hanya
10-20% yang mencari pertolongan medis dan sisanya mengobati sendiri dengan
obat-obat yang beredar luas di pasaran. Angka prevalensi dispepsia diperkirakan
mencapai 10% dimana kasus baru yang datang pada pelayanan kesehatan lini
pertama sebesar 5-7%, dan belum ada data epideminologi di Indonesia. 3
Kasus dispepsia dijumpai pada hampir 30% kasus dalam praktek umum dan
hampir 60% dalam praktek ahli gastroenterologi. Gangguan dispepsia pada tahun
2004 menempati urutan ke 15 dari daftar 50 penyakit dengan pasien rawat inap
terbanyak di Indonesia dengan proporsi 1,3% dan menempati urutan ke 35 dari
daftar 50 penyakit penyebab kematian. Perubahan gaya hidup, pola makan dan
adanya infeksi H. pylori menjadi penyebab terjadinya sindrom dispepsia. 4,8
Sebanyak 3% populasi di Amerika Serikat, menggunakan obat-obat dispepsia
dalam jangka panjang dan setiap tahunnya terdapat 450.000 pasien yang

1
melakukan pemeriksaan saluran cerna bagian atas dengan menggunakan
endoskopi. 5 Pasien-pasien dispepsia dengan alarm simptom tidak diberikan terapi
empiris, melainkan harus dilakukan investigasi terlebih dahulu dengan endoskopi
dengan atau tanpa pemeriksaan histopatologi sebelum ditangani sebagai dispepsia
fungsional. 6
Pemeriksaan dengan endoskopi pada saluran cerna bagian atas menjadi baku
emas dalam pengelolaan pasien dengan dispepsia, sehingga memudahkan dalam
1
menentukan diagnosa dan pemberian terapi intervensi. Menurut American
Gastroenterologi Association, pedoman untuk endoskopi ditujukan pada pasien
yang lebih tua dengan dispepsia onset baru 6
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dida Ariyani di Banda Aceh,
didapatkan persentase gambaran endoskopi pada penderita dispepsia yang
tertinggi yaitu gastritis (29,21%), dan ulkus gaster (26,97%). Perbedaan
penduduk di Indonesia dapat mempengaruhi perbedaan frekuensi pada penderita
dispepsia, hal ini dikarenakan adanya perbedaan etnis/ras, genetik, pola hidup dan
kebiasaan, sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini. Penelitian
dengan judul Gambaran Hasil Pemeriksaan Esofagogastroduodenoskopi (EGD)
pada penderita Sindrom Dispepsia di Kalimantan Barat belum pernah dilaporkan,
sehingga penelitian ini adalah penelitian pertama di Kalimantan Barat, yang
dilakukan di Rumah Sakit Umum Santo Antonius Pontianak.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana gambaran hasil pemeriksaan Esofagogastroduodenoskopi pada
penderita sindrom dispepsia di Rumah Sakit Umum Santo Antonius Pontianak?

2
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Mengetahui gambaran hasil pemeriksaan Esofagogastroduodenoskopi
pada penderita sindrom dispepsia di RSU Santo Antonius Pontianak
1.3.2 Tujuan khusus
Mengetahui frekuensi penderita sindrom dispepsia berdasarkan diagnosis
dengan pemeriksaan endoskopi berupa esofagitis, varises esofagus,
gastritis, ulkus gaster, ulkus duodenum, GERD, dan penyakit keganasan

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Masyarakat
a. Menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai gejala dispepsia
dan pemeriksaan Esofagogastroduodenoskopi
b. Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai upaya pencegahan
dan penanganan sindrom dispepsia.
1.4.2 Rumah Sakit
Memberi informasi dan pertimbangan kepada rumah sakit mengenai
penggunaan pemeriksaan penunjang dengan cara
Esofagogastroduodenoskopi pada penderita sindrom dispepsia sehingga
dapat memudahkan dalam menentukan diagnosa dan pemberian terapi
intervensi.
1.4.3 Fakultas
Penelitian ini dapat digunakan sebagai rujukan ilmiah tambahan bagi
Fakultas Kedokteran untuk pembelajaran dan acuan penelitian selanjutnya.
1.4.4 Peneliti
a. Menambah pengetahuan mengenai pemeriksaan dengan menggunakan
Esofagogastroduodenoskopi pada penderita dispepsia dan menambah
kemampuan peneliti dalam penulisan dan penelitian ilmiah serta
penerapan teori yang diperoleh selama menjalani proses perkuliahan
b. Hasil penelitian dapat dijadikan referensi bagi peneliti lain untuk
penelitian selanjutnya.

3
1.5 Keaslian penelitian
Tabel 1.1 : Keaslian penelitian
No Peneliti Judul Penelitian Variabel Perbedaan
dengan penelitian
ini

1 Dida Eriyani,S Gambaran diagnosis Diagnosis Penelitian


(2012) Endoskopi pada Endoskopi pada mengenai
penderita dispepsia penderita gambaran
di Rumah sakit dispepsia endoskopi di
umum daerah dr. Rumah sakit
Zainoel Abidin umum daerah dr.
Banda Aceh Zainoel Abidin
Banda Aceh

2. Itgan Ghazali Hubungan antara Skor endoskopi Penelitian


skor Endoskopi dan kualitas mengenai
(2015)
dengan perubahan hidup hubungan skor
kualitas hidup setelah endoskopi dan
operasi sinus perubahan
kualitas hidup

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dispepsia
2.1.1 Definisi
Dispepsia adalah istilah yang digunakan untuk suatu sindrom atau
kumpulan gejala yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati,
kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang dan perut rasa penuh atau
begah. 7
Berdasarkan Kriteria Roma III, dispepsia didefinisikan sebagai sindrom
yang meliputi satu atau lebih dari gejala-gejala berikut ini :1
a. Rasa penuh di perut setelah makan
b. Cepat kenyang
c. Rasa terbakar di ulu hati
d. Gejala tersebut berlangsung sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan
awal mula gejala sedikitnya timbul 6 bulan sebelum diagnosis.

2.1.2 Epidemiologi
Data mengenai prevalensi dispepsia fungsional sangat beragam pada
berbagai populasi. Data tersebut mungkin menunjukkan perbedaan epidemiologi
dari berbagai wilayah. Survei yang dilakukan oleh Shaib dan El-Serag pada
pegawai dalam suatu institusi di Amerika Serikat, dengan melakukan
pemeriksaan endoskopi, didapatkan prevalensi dispepsia fungsional sebanyak
15%. Dua penelitian yang terpisah dilakukan di Inggris untuk menentukan
prevalensi dispepsia fungsional, penelitian oleh Jones et al menggunakan barium
enema dan endoskopi pada seperlima dari 9936 subjek mendapatkan prevalensi
dispepsia fungsional sekitar 23,8%, penelitian sebelumnya oleh Jones dan
Lydeard pada 20% dari 2066 orang dewasa,diperkirakan 11,5% mengalami
dispepsia fungsional.8
Penelitian populasi selama 10 tahun di Iceland menunjukkan peningkatan
9
dari 13,9% di tahun 1996 menjadi 16,7% di tahun 2006. Penelitian di

5
Norwegia sebanyak 14% dari 2027 orang dewasa mengalami dispepsia
fungsional setelah diperiksa. 8
Penelitian terhadap dispepsia fungsional di beberapa negara di Asia juga
menunjukkan prevalensi yang cukup tinggi, yaitu Cina sebanyak 69% dari 782
pasien dispepsia, Hongkong 43% dari 1.353 pasien, Korea 70% dari 476 pasien,
dan Malaysia 62% dari 210 pasien yang diperiksa.10 Angka prevalensi dispepsia
fungsional di Indonesia secara keseluruhan belum ada hingga saat ini. Pada
tahun 1991 di RS Cipto Mangunkusumo, terdapat 44% kasus dispepsia
fungsional dari 52 pasien dispepsia yang menjalani pemeriksaan endoskopi.
Penelitian di RS Martha Friska Medan tahun 2007 mendapatkan dispepsia
fungsional sebanyak 78,8% dari 203 pasien yang diperiksa. 11
Penderita dispepsia fungsional dapat terjadi pada berbagai rentang umur,
jenis kelamin, dan etnik/suku. Hasil berbagai survei belum dapat menunjukkan
prevalensi umur pasti untuk dispepsia fungsional. Dalam beberapa penelitian di
Asia, dispepsia fungsional lebih sering dijumpai pada kelompok umur yang
lebih muda. Data di Jepang menunjukkan prevalensi dispepsia fungsional sekitar
13% untuk kelompok umur dibawah 50 dan 8% untuk kelompok umur diatas 50
tahun, sedangkan di Cina prevalensi terbanyak pada kisaran umur 41-50 tahun,
dan di Mumbai, India terbanyak pada umur >40 tahun. Di Indonesia, prevalensi
terbanyak pada umur ≤40 tahun yaitu 85%, sedangkan penelitian lain
mendapatkan prevalensi terbanyak pada kisaran umur 26-35 tahun sebanyak
50%. 8
Mayoritas penelitian mengenai prevalensi berdasarkan jenis kelamin
tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara pria dan wanita. Beberapa
penelitian yang dilakukan dalam beberapa populasi hasilnya menunjukkan
perbandingan wanita lebih banyak menderita dispepsia fungsional dari pada laki-
laki yaitu 1,4 : 1 di Hongkong, 1,12 : 1,04 di Korea, 1,35 : 1,15 di Malaysia dan
1,16 : 1,01 di Singapura. Namun, suatu penelitian di Jepang menunjukkan
perbandingan prevalensi lebih besar pada laki-laki dari pada wanita yaitu 2:1.
Penelitian mengenai etnik juga pernah dilakukan, dua penelitian yang dilakukan
di Malaysia menemukan prevalensi dispepsia fungsional pada suku Melayu

6
14,6%, Cina 19,7%, India 11,2% dan lebih umum dijumpai pada etnis China
dibandingkan non-China (19,7% : 14,2%). Penelitian di Medan menunjukkan
prevalensi terbesar pada suku Batak 45,5%, Karo 27,3%, Jawa 18,2%, Melayu
4,5% dan Mandailing 4,5% 8

2.1.3 Klasifikasi
Klasifikasi dispepsia berdasarkan ada tidaknya penyebab dan kelompok
gejala, dibagi atas dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Dispepsia organik
adalah apabila penyebab dispepsia sudah jelas, misalnya ada ulkus peptikum.
Dispepsia organik jarang ditemukan pada usia muda, tetapi banyak ditemukan
pada usia lebih dari 40 tahun. Dispepsia fungsional adalah apabila penyebab
dispepsia tidak diketahui atau tidak didapati kelainan pada pemeriksaan EGD,
atau tidak ditemukannya adanya kerusakan organik dan penyakit-penyakit
sistemik.2
Dispepsia fungsional dibagi menjadi 2 kelompok, yakni postprandial
distress syndrome dan epigastric pain syndrome. Postprandial distress
syndrome mewakili kelompok dengan perasaan “begah” setelah makan dan
perasaan cepat kenyang, sedangkan epigastric pain syndrome merupakan rasa
nyeri yang menetap dan tidak begitu terkait dengan makan seperti pada
postprandial distress syndrome. 13
Berdasarkan pengobatan praktis, dispepsia dibagi menjadi tiga, yaitu (1)
dispepsia tipe ulkus, dimana yang lebih dominan adalah nyeri epigastrik, (2)
dispepsia tipe dismotilitas, dimana yang lebih dominan adalah keluhan
kembung, mual, muntah, rasa penuh, cepat kenyang, dan (3) dispepsia tipe non-
spesifik, dimana tidak ada keluhan yang dominan. 7

2.1.4 Patogenesis
Beberapa mekanisme patogenesis dispepsia termasuk perubahan
motilitas sistem pencernaan, hipersensitivitas viseral, disregulasi sistem saraf,
aktivasi imun perifer, faktor infeksi, inflamasi, kerentanan genetik, dan
psikologis.

7
a. Genetik
Genetik merupakan faktor predisposisi pada penderita gangguan
gastrointestinal fungsional. Faktor genetik dapat mengurangi jumlah sitokin
anti-inflamasi (IL-10, TGF-β). Penurunan sitokin anti-inflamasi dapat
menyebabkan peningkatan sensitivitas pada usus. Selain itu polimorfisme
genetik berhubungan dengan sistem re-uptake sinaps serotonin dan reseptor
polimorfisme alpha adrenergik yang mempengaruhi motilitas dari usus.
Serotonin adalah molekul sinyal penting yang mempengaruhi fungsi
motorik dan sensorik gastrointestinal. Sembilan puluh lima persen serotonin
tubuh disintesis pada sel enterochromaffin di usus.12, 13
Insiden keluarga yang mengalami gangguan fungsional
gastrointestinal berhubungan dengan potensi genetik. Perbedaan pada
kelenjar axis hipotalamus pituitary adrenal menjadi hasil temuan yang
menarik. Pasien dengan gangguan gastrointestinal fungsional terjadi
hiperaktifitas dari axis hypothalamus pituitarity adrenal13
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan genetik dengan
dispepsia, termasuk polimorfisme genetik dalam protein-G beta-3 sub-unit
C825T (GNB3-C825T), transporter serotonin, IL-17F dan reseptor
transient potensial vanilloid type 1.65. Penelitian dari Andreas
menunjukkan hubungan GNB3-C825T dengan dispepsia, namun tidak
bertumpang tindih dengan kriteria Roma III pada dispepsia. 14
b. Motilitas gastrointestinal
Dismotilitas telah menjadi fokus perhatian dan beragam abnormalitas
motorik telah dilaporkan, diantaranya keterlambatan pengosongan lambung,
akomodasi fundus yang terganggu, distensi antrum, kontraktilitas fundus
postprandial, dan dismotilitas duodenal. Berbagai studi melaporkan bahwa
pada dispepsia fungsional, terjadi keterlambatan pengosongan lambung dan
hipomotilitas antrum (50% kasus). Proses motilitas gastrointestinal
merupakan proses yang sangat kompleks, sehingga gangguan pengosongan
lambung saja tidak dapat mutlak menjadi penyebab tunggal adanya
gangguan motilitas. 13

8
Penelitian yang dilakukan oleh Stanghellini pada 146 pasien Irritable
Bowel Syndrome (IBS) yang diperiksa pengosongan lambungnya dengan
menggunakan skintigrafi serta gejala dispepsia yang menggunakan
kuesioner yang telah divalidasi ditemukan dispepsia pada 96 pasien (66%),
pasien mengeluh perut terasa penuh setelah makan sebanyak 88 %, nyeri
epigastrium 48 %, mual 30%, dan muntah 9%. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa prevalensi pengosongan lambung abnormal lebih
tinggi pada pasien dengan IBS dan dispepsia, dibandingkan dengan pasien
dengan IBS saja, baik pada pria maupun wanita. Penelitian tersebut juga
menemukan hubungan positif antara pengosongan lambung yang tertunda
dan perut terasa penuh saat makan dan mual pada pasien IBS. 14
c. Hipersensitivitas viseral
Hipersensitivitas viseral merupakan suatu distensi mekanik akibat
gastrointestinal yang hipersensitif terhadap rangsangan, dan menjadi salah
satu hipotesis penyakit gastrointestinal fungsional. Sensasi viseral
ditransmisikan dari gastrointestinal ke otak, dimana sensasi nyeri dirasakan.
Peningkatan persepsi nyeri sentral berhubungan dengan peningkatan sinyal
dari usus. 13
Peningkatan perangsangan pada dinding perut menunjukkan disfungsi
pada aktivitas aferen. Secara umum terganggunya aktivitas serabut aferen
lambung mungkin menyebabkan timbulnya gejala dispepsia. Dispepsia
fungsional juga ditandai oleh respon motilitas yang cepat setelah rangsangan
kemoreseptor usus. Hal ini mengakibatkan rasa mual dan penurunan
motilitas duodenum. Mekanisme hipersensitivitas viseral ini juga terkait
dengan mekanisme sentral. Penelitian pada nyeri viseral dan somatik
menunjukkan bahwa otak terlibat dalam afektif, kognitif dan aspek
emosional terhadap rasa sakit yang berhubungan dengan pusat sistem saraf
otonom. Kemungkinan bahwa perubahan perifer pada gastrointestinal
dimodulasi oleh mekanisme sentral.13

9
d. Infeksi
Penelitian di Spanyol mengungkapkan bahwa prevalensi dispepsia dan
IBS meningkat secara signifikan pada pasien yang telah mengalami
gastroenteritis akut. Pasien dengan gastroenteritis tersebut memenuhi
kriteria klinis untuk kedua dispepsia dan IBS, hasil ini mengkonfirmasi
bahwa kehadiran pasca infeksi bertumpang tindih dengan kejadian dispepsia
dan IBS. 14
Infeksi H. pylori mempengaruhi terjadinya dispepsia fungsional. Data
epidemiologi menunjukkan kejadian infeksi H. pylori pada pasien dengan
dispepsia cukup tinggi, walaupun masih ada perbedaan pendapat mengenai
pengaruh H. pylori terhadap dispepsia fungsional. Diketahui bahwa H.
pylori dapat merubah sel neuroendokrin lambung. Sel neuroendokrin
menyebabkan peningkatan sekresi lambung dan menurunkan tingkat
somatostatin. 13
e. Stress
Stres akut dapat memengaruhi fungsi gastrointestinal dan
mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan
kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah pemberian
stimulus berupa stres. Masih banyak ditemukan kontroversi yang
menghubungkan faktor psikologis stres kehidupan, fungsi autonom, dan
motilitas. 13
Stress adalah salah satu faktor patogen pada gangguan gastrointestinal
fungsional. Penelitian yang dilakukan oleh Fujikawa pada tikus ditemukan
adanya hubungan positif antara stress dengan pengosongan lambung dan
hiperkontraksi kolon pada tikus. Oleh karena itu, stress dapat menyebabkan
kelainan fungsional di seluruh saluran pencernaan melalui perubahan
morfologi sel-sel glia enterik, dengan demikian mungkin dapat
menyebabkan tumpang tindih dengan dispepsia dan IBS. 14

10
2.1.5 Faktor penyebab dari dispepsia 15,16
a. Gangguan pergerakan (motilitas) piloroduodenal dari saluran pencernaan
bagian atas (esofagus, lambung dan usus halus bagian atas)
b. Menelan terlalu banyak udara atau mempunyai kebiasaan makan yang
salah (mengunyah dengan mulut terbuka atau berbicara)
c. Menelan makanan tanpa dikunyah terlebih dahulu dapat membuat
lambung terasa penuh atau bersendawa terus.
d. Mengkonsumsi makanan/minuman yang bisa memicu timbulnya
dispepsia, seperti minuman beralkohol, bersoda (soft drink), dan kopi.
Minuman jenis ini dapat mengiritasi dan mengikis permukaan lambung.
e. Merokok, konsumsi steroid dan OAINS, serta berdomisili di daerah
dengan prevalensi H. pylori tinggi.
f. Penyakit pada hepar, pankreas, sistem billier seperti hepatitis,
pankreatitis, kolesistitis kronik.
g. Penyakit sistemik seperti diabetes melitus, penyakit tiroid, dan penyakit
jantung koroner.
h. Bersifat fungsional, yaitu dispepsia yang terdapat pada kasus yang tidak
didapat adanya kelainan/gangguan organik yang dikenal sebagai
dispepsia funsional atau dispepsia non ulkus.

2.2 Esofagus
2.2.1 Gastro Esofageal Reflux Disease
Gastro Esofageal Reflux Disease sebenarnya merupakan proses fisiologis
normal yang banyak dialami orang sehat, terutama sesudah makan. GERD
adalah kondisi patologis dimana sejumlah isi lambung berbalik (refluks) ke
esofagus melebihi jumlah normal, dan menimbulkan berbagai keluhan. 17

11
Gambar 2.1 : Patofisiologi GERD.Refluks terjadi ketika terjadinya gangguan
pengosongan lambung, sfingter esofagus yang tidak berfungsi maksimal, TLESR yang
meningkat, kemampuan pembersihan berkurang sehingga terjadi refluks asam lambung
ke esofagus dan dapat meiritasi mukosa esofagus. Peningkatan asam lambung yang
berlebihan dapat diinduksi oleh H. pylori yang membuat produksi sel parietal berlebih.
41

Gejala khas GERD adalah heartburn (rasa terbakar di dada dan disertai
nyeri) dan regurgitasi (rasa asam pahit dari lambung yang terasa di lidah). Salah
satu dari keduanya cukup untuk mendiagnosis GERD secara klinis. Selain kedua
gejala tersebut, GERD dapat menimbulkan keluhan nyeri atau rasa tidak enak di
epigastrium atau retrosternal bawah, disfagia (kesulitan menelan makanan),
odinofagia (rasa sakit waktu menelan) mual dan rasa pahit di lidah. Keluhan
ekstraesofageal juga dapat ditimbulkan oleh GERD dengan gejala nyeri dada
non kardiak, suara serak, laringitis, erosi gigi, batuk kronis, bronkiektasis, dan
asma. 17
Konsensus nasional penatalaksanaan GERD di Indonesia menetapkan
endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA) sebagai standar baku untuk
menegakkan diagnosis GERD. Pada endoskopi SCBA akan didapatkan mucosal
breaks diesofagus, dan pada biopsinya ditemukan esofagitis37 Esofagoskopi
mungkin memperlihatkan adanya erosi, ulkus, striktur peptik, dan
adenokarsinoma. Esofagoskopi tidak diagnostik pada GERD, namun

12
pemeriksaan ini memberikan hasil normal pada Non Erosif Reflux Disease
(NERD), yang mencangkup sepertiga sampai separuh dari kasus GERD. 18
2.2.2 Reflux Esofagitis
Refluks esofagitis adalah proses inflamasi pada esofagus yang terjadi
akibat GERD. Proses inflamasi tersebut dapat disertai perubahan pada mukosa
esofagus seperti erosi atau hiperplasia epitel. Refluks gastro-esofagus adalah
masuknya isi lambung ke dalam esofagus yang berlangsung secara involunter.
Isi lambung dapat berupa saliva, makanan, minuman, sekresi lambung atau
sekresi pankreas dan empedu yang terlebih dahulu masuk ke dalam lambung. 18,
19

Esofagitis refluks tidak hanya disebabkan oleh satu faktor, melainkan


oleh berbagai faktor yang saling berhubungan. Esofagitis refluks terjadi bila
terdapat ketidakseimbangan antara faktor yang menyebabkan GERD (faktor
agresif) dan faktor yang mencegah GERD (faktor defensif). Faktor-faktor
tersebut, adalah :
a. Sfingter esofagus bagian bawah
Sfingter Esofagus Bawah (SEB) merupakan salah satu barier anti refluks
yang memiliki 2 komponen mekanisme pertahanan, yaitu (1) SEB intrinsik
berupa otot polos esofagus dan (2) SEB ekstinsik berupa lengkung diafragma.
Sebagian SEB berada intra-abdomen dan sebagian lagi intra-toraks.
Keduanya membentuk hiatus esofagus dan bekerja sama menghasilkan
tekanan SEB yang merupakan mekanisme pertahanan penting terhadap
GERD.20
Selama proses menelan, SEB akan relaksasi selama 3-10 detik dengan
tekanan terendah (minimal 2 mmHg di atas tekanan intragastrik) untuk
memberikan jalan kepada bolus makanan masuk ke dalam lambung.
Selanjutnya, SEB akan mencegah refluks dengan cara mempertahankan
tekanan saat istirahat (resting pressure) sebesar 5-10 mmHg lebih tinggi
dibanding tekanan intragastrik. Bila terdapat peningkatan tekanan intra-
abdomen secara mendadak pada saat batuk, bersin atau distensi lambung,
maka tekanan SEB akan lebih ditingkatkan untuk mencegah refluks. Sfingter

13
esofagus bawah yang kompeten mampu menjaga tekanannya agar selalu
berada di atas tekanan intragastrik.20, 21
Disfungsi SEB akan menyebabkan kemampuan sfingter yang mengatur
tekanannya terganggu, sehingga lebih mudah terjadi refluks. Tekanan SEB
pada anak dengan GERD dilaporkan bervariasi antara 4-25 mmHg (sebagian
besar lebih dari 10 mmHg) atau 6-15 mmHg lebih rendah dibanding anak
normal. Tekanan SEB menurun seiring dengan meningkatnya derajat
penyakit21
b. Transient lower esophageal relaxation
Transient lower esophageal relaxation (TLESR) adalah relaksasi SEB
yang tidak berhubungan dengan proses menelan dan berlangsung lebih lama
dari biasanya ( >10 detik). TLESR dikontrol melalui refleks vago-vagal, sisi
aferen diatur oleh mekanoreseptor pada dinding proksimal lambung,
sedangkan sisi eferen diatur oleh batang otak. TLESR terjadi bersamaan
dengan inhibisi lengkung diafragma dan badan esofagus sehingga
mempermudah aliran balik isi lambung ke dalam esofagus. Keadaan ini
sering terjadi setelah makan dan dipicu oleh distensi lambung, sehingga
adanya gangguan pengosongan lambung akan meningkatkan frekuensi
TLESR. Saat terjadi TLESR, tekanan SEB turun menuju nol sehingga tidak
berfungsi sebagai barier anti refluks. 20, 21
c. Klirens esofagus
Klirens esofagus terjadi setelah episode refluks untuk mengurangi durasi
kontak antara isi lambung dengan epitel esofagus. Pada keadaan normal,
esofagus membersihkan asam dengan 4 mekanisme, yaitu gravitasi,
peristaltik, saliva dan produksi bikarbonat instrinsik dari esofagus. Saat bolus
asam masuk ke dalam esofagus, sebagian besar asam tersebut akan
dibersihkan oleh gravitasi dan peristaltik. Sisa asam akan dinetralkan oleh
saliva (bersifat alkali) yang tertelan dan bikarbonat yang diproduksi oleh
kelenjar esofagus. Refluks gastroesofagus yang terjadi saat tidur dapat
merusak mukosa esofagus karena pada posisi terlentang peran gravitasi
berkurang dan selama tidur tidak tejadi penelanan saliva sehingga

14
mengurangi klirens esofagus. Keterlambatan klirens refluks asam
berhubungan dengan tingkat keparahan GERD.22
d. Pertahanan esofagus
Esofagitis timbul akibat kontak antara zat toksik yang terdapat pada isi
refluks dengan mukosa esofagus dalam kurun waktu yang cukup untuk
mengalahkan pertahanan esofagus. Pertahanan esofagus ditentukan oleh
ketahanan mukosa dalam mengurangi kerusakan selama terjadi kontak
dengan isi lumen yang toksik. Mekanisme pertahanan esofagus dapat
dikelompokan menjadi pertahanan pre-epitelial, epitelial, post epitelial, dan
perbaikan jaringan23
e. Isi lambung
Refluks gastroesofagus akan menyebabkan kerusakan pada esofagus bila
isi refluks bersifat kaustik terhadap mukosa esofagus. Isi lambung yang
berpotensi sebagai kaustik adalah asam, pepsin, empedu dan enzim pankreas
(tripsin, lipase). Kondisi dengan pH yang rendah atau suasana asam
menyebabkan kerusakan mukosa esofagus yang sangat bergantung kepada
konsentrasi (pH) dan lama paparan. Kerusakan mukosa esofagus akan terlihat
bila pH lumen esofagus < 2 atau terdapat pepsin dan empedu di dalam isi
refluks.22
f. Hiatus hernia
Hiatus hernia merupakan protusi esofagogastric junction dan sebagian
fundus gaster melewati hiatus lengkung diafragma ke arah dada. Timbulnya
GERD diinduksi oleh peningkatan tekanan intra-abdomen secara tiba-tiba dan
berkorelasi dengan ukuran hiatus hernia. Tekanan SEB yang rendah pada
kondisi hiatus hernia merupakan predisposisi terjadinya GERD. Hiatus hernia
yang besar akan mengganggu mekanisme anti-refluks ekstra-sfingter akibat
adanya gangguan penjepitan lengkung diafragma saat inspirasi. Pada hiatus
hernia terbentuk kantung lambung di sekitar lengkung diafragma yang
berfungsi sebagai reservoir isi refluks.22

15
Gambar 2.2 : Pengaruh Hiatal Hernia pada patofisiologi GERD. Hiatal
Hernia akan mengganggu pergerakan otot diafragma yang berfungsi memperkuat
fungsi sfingter esofagus dan seiring perkembangannya, sfingter esofagus bagian
bawah kehilangan fungsinya, tidak bisa "meremas" dan tidak berfungsi sebagai
penghalang untuk refluks 44
Klasifikasi Los Angeles untuk diagnosis dan grading dari refluks esofagitis
pertama sekali didiskusikan pada World Congress of Gastroenterology tahun
1994, kemudian dipublikasikan pada tahun 1999 sampai sekarang, klasifikasi
Los Angeles ini adalah klasifikasi yang paling banyak digunakan oleh para
endoskopis dibandingkan dengan klasifikasi lainnya yang terlebih dulu.
Tabel 2.1 : Klasifikasi Los Angeles24
Derajat Kerusakan Gambaran Endoskopi

A Erosi kecil-kecil pada mukosa esofagus dengan


diameter < 5 mm.

B Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan


diameter > 5 mm tanpa saling berhubungan.

C Lesi yang konfluen tetapi tidak


mengenai/mengelilingi seluruh lumen.

D Lesi mukosa esofagus yang bersifat


sirkumferensial (mengelilingi seluruh lumen)

16
2.2.3 Eosinofilik Esofagitis
Eosinofilik esofagitis merupakan peradangan pada esofagus yang
ditandai infiltrasi eosinofil pada mukosa superfisial esofagus yang berhubungan
dengan alergi makanan, infeksi, gastroesophageal reflux dan keadaan atopik
seperti asma, rinitis, dan dermatitis atopi. 25
Kebanyakan kelainan bersifat asimptomatik sehingga menunjukkan
kejadian eosinofilik esofagitis secara signifikan lebih tinggi dari perkiraan awal.
Pasien biasanya laki-laki sekitar 60-70% dengan latar belakang alergi seperti
peningkatan kadar IgE, eosinofil perifer, penyakit alergi (asma, dermatitis atopi
atau rhinitis alergi) dan sensitisasi dengan uji tusukan kulit positif. Anak-anak
dengan kelainan ini biasanya disertai dengan gejala GERD dan gagal tumbuh,
sedangkan pada remaja disertai dengan disfagia dan pada dewasa disertai dengan
disfagia, impaksi makanan, striktura dan riwayat penyakit yang tidak diobati. 26
Beberapa penelitian menyatakan kemungkinan aeroalergen berperan
pada eosinofilik esofagitis. Mishra dkk, menggunakan model tikus untuk
membuktikan bahwa inhalasi Aspergillus menyebabkan eosinofilik esofagitis,
dimana allergen meningkatkan kadar eosinofil esofagus dan hiperplasia sel
epitel.27
Mayoritas pasien berjenis kelamin laki-laki, dan biasanya dengan satu
atau lebih gejala klinis berupa muntah, regurgitasi, nausea, nyeri dada atau nyeri
epigastrium, nafsu makan menurun, gagal tumbuh, hematemesis, dismotilitas
esofagus dan disfagia. Gejala dapat lebih sering dan berat pada beberapa pasien
sedangkan pada pasien yang lain gejala lebih ringan. Umumnya pasien
mengalami disfagia tiap hari, nausea kronik atau regurgitasi sedangkan yang lain
mungkin jarang mengalami dispepsia. Sekitar lebih 50% pasien memiliki gejala
tambahan alergi seperti asma, eksema atau rhinitis, dan lebih 50% pasien
memiliki orang tua dengan riwayat alergi 27
Esofagoskopi mungkin memperlihatkan adanya satu atau lebih fisura
longitudinal, cincin-cincin mukosa (feline esofagus) yang konsentrik transien
atau tetap, dan bercak-bercak putih (abses). Ultrasonografi endoskopi mungkin
mengungkapkan adanya penebalan dinding esofagus. 28

17
2.2.4 Esofagus Barret
Esofagus barret ditandai dengan adanya metaplasia epitel skuamosa
esofagus menjadi epitel kolumnar dan merupakan penyulit dari refluks esofagitis
yang parah, serta suatu faktor resiko untuk adenokarsinoma esofagus. Epitel
kolumnar metaplastik terbentuk saat proses pemulihan dari esofagitis erosif yang
terus mengalami refluks asam karena epitel kolumnar lebih resisten terhadap
kerusakan yang ditimbulkan oleh asam-pepsin dibandingkan dengan epitel
skuamosa. Adanya metaplasia usus disertai dengan sel goblet di esofagus
merupakan gambaran diagnostik esofagus barrett, dan tipe mukosa ini
diperkirakan merupakan faktor resiko terjadi kanker. Secara garis besar
Esofagus barret dibagi menjadi kelompok segmen panjang ( >2-3 cm ) dan
segmen pendek (< 2-3 cm). Kelompok segmen panjang didiagnosis pada sekitar
1,5% dan segmen pendek sekitar 10-15% dari populasi GERD. Kecepatan
terbentuknya kanker adalah 0,5% per tahun pada kelompok segmen panjang,
suatu peningkatan resiko 30 sampai 125 kali dibandingkan dengan populasi
umum. Esofagus barrett segmen pendek juga dapat berkembang menjadi kanker
tetapi resiko sebenarnya masih belum jelas. Metaplasia intestinal barrett
berkembang menjadi adenokarsinoma melalui tahap-tahap displasia, termasuk
displasia derajat ringan ( low grade dysplasia, LGD ) dan displasia derajat tinggi
( high grade dysplasia, HGD ). Esofagus barrett dapat menyebabkan ulkus
peptik kronik esofagus dengan struktur tinggi ( mid-esofagus ) dan panjang.
Esofagus barrett lebih sering dijumpai pada pria berkulit putih dengan obesitas,
insidensinya meningkat seiring dengan pertambahan usia. Manfaat pemeriksaan
penapis rutin terhadap populasi dengan penggunaan endoskopi untuk mendeteksi
esofagus barrett masih belum diketahui. Namun, pada pasien dengan gejala
GERD menetap pada usia 50 tahun, terutama pria kulit putih, dianjurkan satu
kali melakukan endoskopi. Pada saat esofagus barrett pertama kali diidentifikasi,
harus dilakukan upaya menyingkirkan adanya displasia atau karsinoma. 28
Diagnosis esofagus barret masih berpedoman pada biopsi dengan
endoskopi. Kemampuan kapsul endoskopi dalam mendiagnosis esofagus barret
telah dilakukan dan menghasilkan sensitivitas 67% serta spesifisitasnya 84%.

18
Penelitian multisenter lainnya mendapatkan bahwa kapsul endoskopi
memiliki sensitifitas yang baik, namun spesifisitasnya terbatas dalam
mendiagnosis esofagus barret ataupun refluks esofagitis. 29
Pada esofagus yang normal, pertemuan epitel kolumnar lambung dan
epitel skuamosa esofagus ditemukan pada bagian paling bawah esofagus. Pada
esofagus barret pertemuan ini berpindah keatas dan epitel kolumnar meluas
kedalam esofagus dan sangat mudah dibedakan dengan epitel skuamosa yang
dilihat diproksimal. Pemeriksaan esofagus barret dengan endoskopi ditujukan
untuk mencari hubungan seperti refluks esofagitis, ulkus esofagus, striktur,atau
hiatus hernia serta adanya karsinoma esofagus seperti nodul atau massa. 30

Gambar 2.3 : Esofagus Barret. Refluks kronis juga dapat menginduksi metaplasia
lapisan epitel esofagus bagian bawah epitel skuamosa berubah menjadi epitel kolumnar
yang mungkin mengalami displasia dan dapat terus berkembang menjadi
adenokarsinoma44

Diagnosis esofagus barret mengharuskan minimal ditemukannya 3 cm


epitel kolumnar di esofagus. Saat ini peneliti menemukan bahwa segmen pendek
epitel kolumnar esofagus barret didiagnosis jika pada endoskopi ditemukan
daerah epitel kolumnar yang definitif pada esofagus bawah dan secara biopsi
menunjukkan metaplasia intestinal 30
2.2.5 Varises Esofagus
Varises esofagus terjadi pada sekitar 50 % penderita Sirosis Hati (SH)
dan berhubungan dengan derajat keparahan SH. Sekitar 40% penderita SH dan
85% penderita SH dengan child C mempunyai varises esofagus. 3

19
Varises ini terjadi sekitar 70% pada penderita sirosis hati lanjut.
Perdarahan ini sering menyebabkan kematian. Perdarahan yang terjadi dapat
berupa hematemesis (muntah yang berupa darah merah) dan melena (warna
feces/kotoran yang hitam). 31
Pasien sirosis hati dengan tekanan portal yang normal, belum terbentuk
varises esofagus. Ketika tekanan portal meningkat maka secara progresif akan
terbentuk varises yang kecil. Dengan berjalannya waktu, dimana terjadi
peningkatan sirkulasi hiperdinamik maka aliran darah di dalam varises akan
meningkat dan meningkatkan tekanan dinding. Perdarahan varises muncul akibat
ruptur yang terjadi karena tekanan dinding yang maksimal. Jika tidak dilakukan
penanganan terhadap tingginya tekanan tersebut, maka beresiko untuk terjadinya
perdarahan yang berulang. 32

Gambar 2.4 : Portocaval anatomi pada hipertensi portal. Hipertensi portal


terjadi akibat adanya peningkatan resistensi intrahepatik terhadap aliran darah
portal akibat adanya nodul degeneratif dan adanya peningkatan aliran darah
splanchic sekunder akibat vasodilatasi pada splanchnic vascularbed.43
Pemeriksaan endoskopi dengan menggunakan Esophagogastro-
duodenoscopy (EGD) untuk menegakkan diagnosis dari varises esofagus dan
varises fundus gaster sangat direkomendasikan ketika pasien terdiagnosis sirosis
hati. Melalui pemeriksaan ini, dapat diketahui tingkat keparahan atau grading
dari varises yang terjadi serta ada dan tidaknya red sign dari varises, selain itu

20
dapat juga mendeteksi lokasi perdarahan spesifik pada saluran cerna bagian atas.
Endoskopi juga dapat digunakan sebagai manajemen perdarahan varises akut
yaitu dengan Skleroterapi atau Endoscopic Variceal Ligation (EVL).33
Untuk menilai derajat besarnya varises, baik konsensus Inggris maupun
Baveno I-1990 sampai dengan III-2000, juga konsensus PGI-2007, semuanya
sepakat untuk menganjurkan pemakaian cara yang sederhana menjadi 3
tingkatan. 34

Tabel 2.2 : Pembagian Derajat Varises (Rekomendasi Kuat Tingkat CII) 34


Tingkatan Penjelasan

Tingkat 1 Varises yang kolaps pada saat inflasi esofagus dengan


udara.

Tingkat 2 Varises antara tingkat 1 dan 3

Tingkat 3 Varises yang cukup menutup lumen esofagus

2.2.6 Tumor Esofagus


2.2.6.1 Tumor jinak
Leiomioma merupakan tumor jinak tersering yang ditemukan di
esofagus. Pria lebih sering ditemukan dibandingkan wanita dengan rasio 2:1.
Tumor ini biasanya tunggal dan muncul pada bagian distal esofagus dan didalam
bagian dinding sirkuler muskularis propria. Gejala yang dapat ditemukan yaitu
disfagia dan sakit dada, dan jarang ditemukan perdarahan gastrointestinal. 34
Diagnosis dapat ditegakkan dengan endoskopi SCBA dan barium
esofagografi. Pada endoskopi didapatkan tumor berbatas tegas, berbentuk bulat
dengan mukosa normal diatasnya. 34

21
2.2.6.2 Tumor ganas
Tumor ganas esofagus yang sering ditemukan yaitu karsinoma sel
skuamosa, adenokarsinoma esofagus, dan tumor epithelial maligna. Tumor
epithelial maligna adalah Karsinoma Sel Skuamosa dengan komponen sel
spindle, karsinoma sel skuamosa verukosa, adeno-canthoma dan karsinoma
adenoskuamosa, karsinoma kistik adenoid, karsinoma mukoepidermoid,
melanoma dan tumor endokrin. 34
Karsinoma sel skuamosa (KSS) merupakan kanker esofagus yang
paling sering ditemukan di dunia dengan angka mortalitas yang tinggi. KSS
esofagus lebih banyak ditemukan pada pria dibandingkan wanita (2-3 kali
peningkatan resiko pada pria). Faktor yang berperan antara lain merokok,
alkohol, diet b- karotene, vitamin C (menurunkan insiden), Sindrom Plummer-
Vinson, dan lainnya. KSS esofagus dini sering asimptomatik, namun ketika
sudah membesar timbul disfagia, odinofagia, anoreksia, nyeri retrosternal,
nausea, muntah, hematemesis, batuk. Tes diagnostik awal berupa barium meal
dengan endoskopi SCBA. Gambaran endoskopi kanker esofagus ini berupa
ulkus erosif superfisial, plak yang lebih tinggi dari sekitar, lesi kongestif yang
dibatasi bintik kemerahan pada mukosa dan lesi polipoid kecil. 34
Adenokarsinoma Esofagus merupakan penyakit yang lebih sering
terjadi pada pria dengan rasio pria : wanita yaitu 3-5,5 : 1, dan lebih sering
menyerang pada orang berkulit putih. Esofagus barret merupakan kondisi
terpenting terjadinya adenokarsinoma esofagus. Adenokarsinoma dini dapat
asimptomatik atau dapat timbul dengan gejala refluks gastroesofageal, termasuk
heart burn, regurgitasi, striktur benigna dengan disfagia, perdarahan dari
ulserasi-ulserasi, disfagia, odinofagia, sakit dada, nausea, muntah, batuk, dan
biasanya pendarahan gastrointestinal tersamarkan. Pada endoskopi SCBA
didapatkan adanya esofagus barret dan adenokasinoma esofagus dengan erosi
superfisial, elevasi seperti plak atau gambaran noduler. Bila kanker menjadi
lanjut tampak massa tumor polipoid, striktur (dapat asimetrik), atau ulserasi
dalam. 34

22
2.3 Lambung
2.3.1 Gastritis
Gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung.
Gastritis sering asimptomatik, dan mempunyai keluhan yang tidak khas.
Keluhan yang sering dihubung-hubungkan dengan gastritis adalah nyeri panas
dan pedih di ulu hati disertai mual kadang-kadang sampai muntah. 2
Terdapat 2 jenis gastritis yaitu gastritis akut dan kronik. Gambaran klinis
gastritis kronik biasanya tidak atau sedikit menimbulkan gejala, dapat timbul
rasa tidak enak di abdomen atas serta mual dan muntah, sedangkan gambaran
klinis gastritis akut bisa sama sekali tidak begejala, namun juga dapat
menyebabkan nyeri epigastrium dengan keparahan bervariasi disertai mual dan
muntah, atau bermanifestasi sebagai hematemesis, melena, dan pengeluaran
darah yang dapat mematikan, tergantung pada keparahan kelainan anatomi. 35
Gastritis kronik dapat diklasifikasikan berdasarkan tempat keterlibatan
predominannya. Tipe A merujuk kepada bentuk predominan di korpus
(autoimun) dan tipe B adalah bentuk dominan di antrum yang terkait H. pylori
serta gastritis AB merujuk pada gastritis campuran (antrum dan korpus).28
Gastritis tipe A lebih jarang ditemukan daripada kedua tipe diatas, dan
melibatkan fundus dan korpus, tanpa mengenai antrum. Gastritis tipe ini sering
dikaitkan dengan anemia pernisiosa sehingga sering dinamai dengan gastritis
autoimun. Infeksi H. pylori dapat menyebabkan gastritis dengan distribusi
serupa. Gastritis tipe B adalah bentuk gastritis yang sering terjadi dan
predominan di antrum. Infeksi H. pylori adalah penyebab terbanyak. Gastritis
atrofi multifokal, atrofi lambung yang diikuti oleh metaplasia, dapat dijumpai
pada gastritis kronik yang dipicu oleh infeksi H. pylori. Hal ini dapat
menyebabkan terbentuknya adenokarsinoma lambung. 28
Pemeriksaan fisik tidak cukup dalam penegakkan diagnosis. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan pemeriksaan endoskopi dan histopatologi. Gambaran
endoskopi yang dapat dijumpai adalah eritema, eksudatif, flat erosion, raised
erosion, perdarahan dan edematous. 3

23
2.3.2 Ulkus Peptikum
Ulkus peptikum adalah luka berbentuk bulat atau oval yang terbentuk
akibat lapisan lambung atau usus dua belas jari (duodenum) dirusak oleh asam
lambung dan getah pencernaan. 7
Ulkus peptikum terjadi ketika asam yang membantu pencernaan
makanan merusak dinding lambung atau duodenum. Penyebab paling umum
adalah infeksi bakteri yang disebut H. pylori. Penyebab lainnya adalah
penggunaan obat anti-inflamasi obat (OAINS) seperti aspirin dan ibuprofen
dalam jangka panjang. Stres dan makanan pedas tidak menyebabkan ulkus,
tetapi dapat memperburuk kondisinya. 7
Kasus ulkus peptikum bervariasi dengan jenis ulkus, jenis kelamin, usia,
kondisi geografis dan lokasi lingkungan yang berbeda-beda. Ras, pekerjaan,
genetik, dan faktor sosial diduga berperan dalam patogenesis ulkus peptikum.
Prevalensi ulkus peptikum di Amerika Serikat telah mengalami pergeseran yang
semula didominasi oleh kaum pria, kini prevalensi antara pria dan wanita
sebanding. Data terbaru menunjukkan bahwa prevalensi menurun pada pria yang
lebih muda dan meningkat pada wanita yang lebih tua. Hal ini kemungkinan
berhubungan dengan penurunan kebiasaan merokok pada pria muda, dan
peningkatan penggunaan OAINS pada wanita yang lebih tua. Jumlah kasus
ulkus peptikum dengan komplikasi pendarahan dan perforasi telah meningkat
sehingga meningkatkan resiko kematian. 7

24
Gambar 2.5 : Patofisiologi Ulkus peptikum. Ulserasi peptikum diakibatkan oleh
ketidakseimbangan antara faktor defensif (lapisan lendir dan prostaglandin), dan faktor
agresif (asam lambung dan efek merokok, alkohol dan NSAID). Infeksi H. pylori secara
tidak langsung dapat meningkatkan faktor agresif dan menurunkan faktor defensif. 44

25
Forest membuat klasifikasi perdarahan ulkus peptikum atas dasar
penemuan endoskopi yang bermanfaat untuk menentukan tindakan selanjutnya.
Tabel 2.3 : Klasifikasi Aktivitas Perdarahan Ulkus Peptikum Menurut
Forest36
Aktivitas perdarahan Kriteria Endoskopi

Forest Ia : perdarahan aktif Perdarahan arteri menyembur

Forest Ib : perdarahan aktif Perdarahan merembes

Forest II : perdarahan berhenti dan Gumpalan darah pada dasar tukak atau
masih terdapat sisa perdarahan terlihat pembuluh darah

Forest III : perdarahan berhenti dan Lesi tanpa tanda sisa perdarahan
tanpa sisa perdarahan

2.3.3 Infeksi Helicobacter pylori


Bakteri H. pylori merupakan bakteri gram negatif yang memiliki flagela
polar dan umumnya ditemukan pada permukaan mukosa gaster. H. pylori
merupakan salah satu bakteri yang paling banyak terjadi pada manusia.
Prevalensi infeksi H. pylori di negara berkembang lebih tinggi dibandingkan
dengan negara maju. Prevalensi populasi di negara maju sekitar 30-40%,
sedangkan di negara berkembang mencapai 80-90%. Dari jumlah tersebut hanya
sekitar 10-20% yang akan menjadi penyebab gastroduodenal. 3
H-pylori ditularkan dari manusia ke manusia, mengakibatkan peradangan
mukosa lambung dan kemungkinan untuk terjadi ulkus lambung atau duodenum
menjadi 10 kali lebih besar. Adanya bukti bahwa infeksi pada antrum lambung
mengakibatkan terjadinya ulkus duodenum yang kemungkinan berkaitan dengan
peningkatan sekresi gastrin saat terjadi infeksi.34

26
Gambar 2.6 : Infeksi H. pylori pada gaster dan duodenum. H. pylori merusak gaster
dan duodenum dengan merangsang produksi sel parietal dan meningkatkankan produksi
asam lambung dan H. pylori memiliki urease yang dapat memecah urea menjadi amonia
yang bersifat basa lemah sehingga bisa menjadi perlindungan dari asam lambung. 42

Infeksi H. pylori pada saluran cerna bagian atas mempunyai variasi klinis
yang luas, dapat mulai dari gejala asimptomatik, ulkus peptikum dan keganasan
lambung seperti adenokarsinoma atau Mucosal Associated Lymphoid Tissue
(MALT) limfoma. 3

2.3.4 Kanker gaster


Kanker gaster merupakan keganasan dan penyebab kematian pertama di
dunia sebelum tahun 1990. Penyebab utama dari kanker gaster adalah bakteri H.
pylori. Infeksi H. pylori menginduksi terjadinya inflamasi kronis yang bersifat
karsinogenik karena meningkatkan stress oksidatif, pembentukan radikal bebas,
sitokin proinflamasi, pergantian sel, dan potensial terjadinya perbaikan DNA
yang tidak sempurna. Makanan merupakan faktor resiko kanker gaster karena
peningkatan kandungan garam, nitrat dan amin aromatik polisiklik. Makanan
tinggi garam akan meningkatkan resiko kanker gaster sebesar 50-80%, karena
makanan tinggi garam meningkatkan kejadian gastritis atrofi yang juga
merupakan faktor resiko adenokarsinoma gaster. Perokok berat, perokok aktif

27
dan perokok sejak usia muda memiliki kemungkinan dua kali lebih besar
menderita kanker gaster. Diagnosis berdasarkan gejala klinis sulit ditemukan,
karena sebagian pasien asimptomatik. Gejala yang umum ditemukan adalah
penurunan nafsu makan, rasa tidak nyaman di perut, penurunan berat badan,
mudah lelah, mual, muntah, melena, rasa kembung, mudah kenyang, nyeri
epigastrium, dan disfagia. Pemeriksaan dengan EGD dapat menegakkan
diagnosis dengan akurasi 95%. 34
Klasifikasi karsinoma gaster berdasarkan gambaran lesi mikroskopis dari
hasil pemeriksaan endoskopi (Japanese Gastroenterologi Endoscopic Society),
yaitu :
Tabel 2.4: Klasifikasi Karsinoma Gaster 38
Type Gambaran lesi

Ia Lesi menonjol pada permukaan mukosa


(polypoid, nodular ataupun villous)

IIa Lesi yang elevasi pada permukaan mukosa

IIb Lesi yang berbentuk rata/flat dengan permukaan


mukosa

IIc Lesi yang depressed dari permukaan mukosa

III Lesi yang excavated dari permukaan mukosa

2.4 Duodenum
2.4.1 Ulkus duodenum
Ulkus duodenum sering terbentuk di bagian pertama duodenum (>95%),
dan sekitar 90% berlokasi 3 cm dari pilorus. Ulkus biasanya bergaris tengah ≤ 1
cm, tetapi kadang mencapai 3-6 cm (ulkus raksasa). ulkus berbatas tegas, dengan
kedalaman kadang mencapai muskularis propria. Dasar ulkus sering terdiri dari
suatu zona nekrosis eosinofilik yang disertai fibrosis disekitarnya. 28

28
Mekanisme terjadinya ulkus duodenum akibat infeksi H. pylori masih
belum jelas. Namun, salah satu kemungkinan penjelasannya adalah adanya
metaplasia lambung di duodenum yang memungkinkan H. pylori melekat dan
memicu cedera lokal akibat respon penjamu. Hipotesis lain menunjukkan infeksi
H. pylori di antrum dapat menyebabkan peningkatan produksi asam,
peningkatan asam duodenum dan cedera mukosa. 28
Pada orang yang terinfeksi H. pylori memicu peningkatan sekresi asam
melalui efek langsung dan tak langsung, dan meningkatkan sitokin proinflamasi
(IL-8, TNF, dan IL-1) pada sel G, D dan parietal. Infeksi H. pylori juga berkaitan
dengan penurunan produksi bikarbonat di mukosa duodenum. 28
Kebanyakan orang yang menderita ulkus duodenum, nyeri biasanya tidak
ada ketika bangun tidur tetapi timbul menjelang siang. Minum susu dan makan
(yang menyangga keasaman pH lambung) atau meminum obat antasida
mengurangi nyeri, tapi mulai timbul kembali setelah 2 atau 3 jam kemudian. 39
Rendahnya nilai prediksi nyeri abdomen untuk keberadaan ulkus
gastroduodenum sehingga memerlukan pemeriksaan radiologi (barium) dan
endoskopi. 28

2.5 Endoskopi
2.5.1 Definisi
Endoskopi adalah suatu alat yang digunakan untuk memeriksa organ
didalam tubuh manusia. Endoskopi dapat dilakukan dengan mengintip melalui
alat tersebut atau langsung melihat layar monitor (skop evis), sehingga kelainan
yang ada di organ tersebut dapat terlihat. Pemeriksaan endoskopi dapat melihat
kelainan-kelainan di saluran cerna antara lain esofagus, gaster, duodenum,
jejunum, ileum, kolon, saluran bilier, pancreas, dan hati dapat dideteksi lebih
mudah dan tepat. 3
Dalam perkembangan zaman, endoskopi tidak hanya digunakan untuk
diagnostik, namun dapat juga digunakan sebagai terapi antara lain skleroterapi
atau ligasi varises, hemostatik perendoskopik pada pendarahan akut, terapi laser,
polipektomi, parendoskopik pada pendarahan akut dan lain sebagainya. 3

29
2.5.2 Klasifikasi
Endoskopi terdiri dari beberapa macam yaitu esofagoskopi yang
digunakan untuk mendiagnosis kelainan di esofagus. Gastroskopi yaitu
pemeriksaan yang digunakan untuk mendiagnosis kelainan di gaster.
Duodenoskopi yaitu pemeriksaan yang digunakan untuk mendiagnosis kelainan
di duodenum. Enteroskopi digunakan untuk melihat kelainan di usus halus.
Kolonoskopi digunakan untuk melihat kelainan di usus besar. Endoskopi kapsul
yaitu pemeriksaan endoskopi menggunakan endoskop yang berbentuk kapsul
untuk mendiagnosis kelainan di usus halus. 3

2.5.3 Indikasi
Endoskopi saluran cerna bagian atas3
a. Melihat secara langsung abnormalitas yang didapatkan pada pemeriksaan
radiologis yang meragukan atau tidak jelas, dan melihat lokasi kelainan
terjadi.
b. Dilakukan pada pasien dengan gejala menetap seperti disfagia, nyeri
epigastrium, muntah-muntah, dimana pada pemeriksaan radiologis tidak
didapatkan kelainan
c. Memperjelas dan memastikan lebih lanjut terhadap suatu kelainan yang
sudah ditemukan di pemeriksaan sebelumnya, seperti pada pasien dengan
keganasan
d. Dilakukan pada pasien yang mengalami perdarahan saluran cerna bagian
atas untuk mendapatkan sumber perdarahan
e. Endoskopi dapat digunakan secara berulang-ulang untuk memantau
ulkus yang jinak dan pada pasien yang dicurigai kemungkinan adanya
keganasan seperti karsinoma gaster
f. Pada pasien sindrom dispepsia dengan usia lebih dari 45 tahun atau
dibawah 45 tahun yang memiliki tanda bahaya seperti muntah-muntah

30
hebat, demam, hematemesis, anemia, ikhterus, dan penurunan berat
badan, serta ditemukan riwayat pemakaian OAINS dan riwayat kanker
pada keluarga
g. Digunakan sebagai prosedur terapeutik seperti polipektomi, pemasangan
selang makanan (nasogastric tube), dilatasi pada stenosis esofagus atau
akalsia, dan sebagainya.

2.5.4 Kontraindikasi
Endoskopi saluran cerna bagian atas 3
a. Kontraindikasi absolut pada pasien yang tidak kooperatif atau menolak
dilakukan prosedur pemeriksaan tersebut, oklusi koroner akut, gagal
jantung berat, emfisema dan penyakit paru dengan obstruksi berat, dan
koma.
b. Kontraindikasi relatif berupa luka korosif akut pada esofagus, aneurisma
aorta, aritmia jantung berat, kifoskoliosis berat, diverticulum zenker,
osteofit bear pada tulang servical, struma besar, pasien gagal jantung,
penyakit infeksi akut (pneumonia, peritonitis, kolesistitis), pasien anemia
berat, toksemia pada kehamilan berat yang disertai kejang-kejang, pasien
pasca abdomen yang baru, gangguan kesadaran,dan tumor mediastinum

2.5.5 Komplikasi
Pada pemeriksaaan endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA) dapat
ditemukan kemungkinan komplikasi, diantaranya pneumonia aspirasi, perforasi,
perdarahan, gangguan kardiopulmoner, penularan infeksi, instrument
impaction.3

2.5.6 Esofagogastroduodenoskopi
2.5.6.1 Definisi
Pemeriksaan Esofagogastroduodenoskopi (EGD) merupakan suatu
pemeriksaan yang digunakan untuk mengevaluasi saluran cerna bagian atas
dan melihat struktur mukosa saluran cerna. 3

31
Pemeriksaan EGD dapat dilakukan melalui transnasal dan transoral.
Pemeriksaan EGD pada teknik transoral skup masuk melalui rongga mulut,
sedangkan pada teknik transnasal skup masuk melalui hidung dan memiliki
diameter yang lebih kecil dibandingkan transoral sehingga teknik ini lebih
nyaman dan sering digunakan untuk EGD. 3

2.5.6.2 Indikasi
Indikasi pemeriksaan EGD yaitu dispepsia, disfagia, GERD, evaluasi
adanya tumor yang sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan radiologi,
evaluasi drug induced injury, evaluasi benda asing, ulkus peptikum, serta
hematemesis melena. Selain untuk kepentingan diagnostik, EGD juga dapat
digunakan untuk tindakan terapi antara lain ligasi varises esofagus, sklerosing
varises esofagus/fundus/kardia. EGD juga dapat melakukan penyuntikan
adrenaline, kliping, koagulasi, baik dengan heat probe maupun dengan argon
plasma. EGD juga dapat digunakan untuk melakukan tindakan bedah minimal
seperti polipektomi, Endoscopic Mucosal Resection (EMR) dan juga
Endoscopic Submukosal Dissection (ESD), EGD juga dapat digunakan untuk
dilatasi esofagus, dilatasi stenosis, dan pemasangan stent pada esofagus dan
duodenum. 3
Indikasi EGD transnasal yaitu dispepsia, GERD, evaluasi adanya
tumor yang sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan radiologi. EGD juga
dapat digunakan untuk pemasangan Naso Gastric Tube (NGT) melalui
endoskopi dengan diameter skup yang lebih kecil. Pada kondisi stenosis dan
penyempitan lumen dapat digunakan EGD skup transnasal karena diameter
yang jauh lebih kecil. 3
2.5.6.3 Kontraindikasi
Pada pasien infark miokard akut, serangan asma bronkial akut, gagal
jantung kongesif berat dan keadaan hemodinamik tidak stabil, tidak dapat
dilakukan pemeriksaan EGD. Namun pada pasien gagal jantung relatif masih
dapat dilakukan EGD. Pada pasien dengan perdarahan saluran cerna bagian
atas tidak diindikasikan untuk melakukan pemeriksaan EGD. 3

32
2.5.6.4 Prosedur melakukan EGD
Pemeriksaan EGD ini bertujuan untuk melihat lumen saluran cerna
bagian atas dan daerah sekitar melalui skup endoskopi. Pemeriksa harus
melihat dengan jelas dan mengetahui arah dari skup tersebut. Posisi pasien
pada waktu dilakukan endoskopi adalah pada posisi miring serta sudah
terpasang mouth. pyloriiece dan penyangga gigi sehingga skup tidak tergesek
dengan gigi saat masuk. Pada saat sudah melalui lidah dan menuju hipofaring
posisi ujung skup tetap berada ditengah menuju sfingter krikofaringeal.
Kemudian pasien diminta untuk menelan dan diharapkan ujung skup akan
meluncur ke esofagus proksimal. Biasanya para endoskopis akan memilih
untuk mengontrol endoskopi (tombol udara, air dan penghisap) dalam satu
tangan yaitu tangan kiri. Sedangkan tangan kanan akan mengarahkan
masuknya skup dan mengendalikan arah skup ke kanan dan ke kiri atau ke atas
dan ke bawah. Setelah skup melewati esofagus selanjutnya skup menuju gaster.
Pada saat masuk gaster, udara diinsuflamasi ke dalam gaster sehingga struktur
dapat terlihat dengan jelas. Kemudian skup diarahkan menuju korpus, antrum
dan kita dapat melihat dan mengamati pylorus. Pada pylorus diperhatikan
menutup atau tetap terbuka (pyloric gapping). Setelah itu skup diarahkan
menuju duodenum, bulbus, post bulber, dan duodenum pars descendens.
Kemudian skup ditarik kembali menuju gaster dan dilakukan posisi U turn
yaitu ujung skup diputar 180 derajat. Posisi retrofleksi ini bertujuan untuk
melihat fundus dan kardia gaster. 3

2.5.6.5 Gambaran endoskopi normal Saluran Cerna Bagian Atas


Endoskopi SCBA digunakan untuk memvisualisasi mukosa saluran
cerna bagian atas secara menyeluruh. Gambaran mukosa lambung dan
duodenum normal pada endoskopi terlihat merah muda, halus, dan berkilau.
Antrum lambung tampak datar atau sedikit lipatan (rugae) di pra pylorus.
Korpus lambung tampak lipatan (rugae) yang teratur, tidak lebih dari 5 mm.
Pada duodenum akan tampak lapisan beludru karena adanya vili yang halus.40

33
Gambar endoskopi normal dapat dilihat dibawah ini

Gambar 2.7 : Gambaran EGD normal 42

A B C

D E F

Keterangan :

A Sfingter esofagus saat menelan D Pylorus lambung


B Sfingter esofagus saat bernafas E Duodenum bulb
C Antrum lambung F Duodenum bulb

34
Gambar 2.8 Gambaran kelainan endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas42

Beberapa kelainan yang dapat ditemukan yaitu mukosa yang


hiperemis, erosi, ulserasi, dan berbagai bentuk tumor dari polip sesil, polip
kecil, dan polip bertangkai sampai kanker 3,

A B C

D E F

G H I

35
J K L

Keterangan :

A. Gambaran endoskopi GERD G. Gambaran erytema pada Gastritis


B. Refluks Esofagitis grade III H. Gambaran erosi pada Gastritis
C. Varises esofagus I. Gambaran exsudat pada Gastritis
D. Bentuk lain dari Esofagitis J. Ulkus gaster di antrum
E. Barrett epithelium K. Ulkus duodenum akibat penggunaan OAINS
F. Adenokarsinoma awal L. Adenokarsinoma gaster

36
2.6 Kerangka Teori
Gangguan motilitas,
Kriteria Roma III makanan, merokok,
Dispepsia konsumsi steroid,
Nyeri/rasa OAINS, infeksi H-
terbakar di pylori, gangguan sistem
epigastrium, rasa Hepatopankreas, dan
penuh, cepat penyakit sistemik
kenyang, dan
tidak nyaman
Pemeriksaan
setelah makan.
Esofagosogastroduodenoskopi
(EGD)

Dispepsia Dispepsia
Organik Fungsional

Esofagitis, varises Normal


esofagus, gastritis, ulkus
peptikum, ulkus
duodenum dan
keganasan SCBA

Gambar 2.9 : Kerangka teori Sindrom Dispepsia yang melakukan


pemeriksaan EGD

37
2.7 Kerangka Konsep

Variabel Variabel terikat


Bebas Esofagus
Organik
Gambaran hasil pemeriksaaan Gaster
Dispepsia Esofagogastroduodenoskopi
Fungsional
Duodenum

Kriteria
Inklusi/eksklusi

Gambar 2.10 : Kerangka konsep penelitian pada penderita Sindrom


Dispepsia yang melakukan pemeriksaan EGD

38
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif dengan
menggunakan pendekatan retrospektif.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan pada bagian Endoskopi di Rumah Sakit Umum santo
Antonius Pontianak, pengambilan data dari hasil EGD periode Januari 2015
sampai dengan Desember 2016.

3.3 Jadwal Penelitian


Tabel 3.1 : Jadwal penelitian

April Mei Juni Juli Agustus Sep Okt Nov


2017 2017 2017 2017 2017 2017 2017 2017
Studi
Pendahuluan
dan
Persiapan
Pelaksanaan
Pengolahan
Data

3.4 Populasi dan Sampel Penelitian


3.4.1 Populasi Penelitian
a. Populasi target
Populasi target dalam penelitian ini adalah penderita Sindrom Dispepsia
yang melakukan pemeriksaan EGD

39
b. Populasi terjangkau
Populasi terjangkau dalam penelitian ini adalah penderita Sindrom
Dispepsia yang melakukan pemeriksaan EGD di RSU Santo Antonius
Pontianak mulai dari tahun 2015 sampai tahun 2016

3.4.2 Sampel Penelitian


Sampel yang diteliti pada penelitian ini adalah semua populasi yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Penelitian ini menggunakan total
sampling dari seluruh rekam medis pasien sindrom dispepsia di RSU Santo
Antonius Pontianak dari bulan Januari 2015 sampai dengan Desember 2016.

3.5 Kriteria Sampel


3.5.1 Kriteria Inklusi
1. Pasien sindrom dispepsia yang datang ke RSU Santo Antonius
Pontianak
2. Pasien yang didiagnosa klinik dengan dispepsia pada rekam medis,
memiliki data identitas dan hasil pemeriksaan EGD

3.5.2 Kriteria Eksklusi


1. Pasien sindrom dispepsia yang tidak memiliki biodata yang lengkap.
2. Pasien sindrom dispepsia tanpa data interpretasi pemeriksaan EGD.

3.6 Variabel Penelitian


3.6.1 Variabel bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah Sindrom dispepsia
3.6.2 Variabel terikat
Variable terikat dalam penelitian ini adalah hasil pemeriksaan EGD

40
3.7 Definisi Operasional Penelitian
Tabel 3.2 : Definisi operasional variable penelitian
Variabel Definisi Cara ukur Alat ukur Hasil ukur Skala
Operasional ukur

Dispepsia Bebas Suatu kondisi Pengumpulan Pemeriksaan Ya dan tidak Nominal


pasien yang telah data dari Endoskopi
didiagnosa sindrom rekam medis
dispepsia berupa
perut terasa penuh
setelah makan,
cepat kenyang, rasa
terbakar di ulu hati,
dan berlangsung
minimal 3 bulan
terakhir.
Hasil Terikat Suatu data hasil Pemeriksaan Tampilan Esofagitis, varises Ordinal
Pemeriksa interpretasi dari Esofagogastro endoskopi esofagus, gastritis,
an EGD dokter spesialis duodenoskopi ulkus peptikum,
penyakit dalam (EGD) ulkus duodenum,
bagian endoskopi. keganasan, dan
Jika ditemukan >1 normal endoskopi
kelainan pada
temuan endoskopi,
maka diagnosis
pasien ditentukan
berdasarkan
kelainan dominan
yang ditentukan dan
dipertimbangkan
oleh ahli
Gastroenterologi di
RSU Santo
Antonius

41
3.8 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah rekam
medis pasien Sindrom Dispepsia dan Gambaran EGD di RSU Santo Antonius
Pontianak.

3.9 Metode Pengumpulan Data


Data yang diambil merupakan data sekunder. Data sekunder adalah data
hasil pemeriksaan EGD pada pasien dispepsia dan data profil pasien yang diambil
dari rekam medis pasien yang telah terdiagnosa klinis sebagai sindrom dispepsia.

3.10 Pengolahan Data Penelitian


Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk tabel, grafik, persentase,
dan distribusi frekuensi.

3.11 Alur Penelitian

Rekam Pasien dengan Pemeriksaan Pengolahan dan


Medis Sindoma Dispepsia Endoskopi Penyajian Data

Gambar 3.1 : Alur Penelitian


3.12 Etika Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data rekam medis yang
diambil di RSU Santo Antonius Pontianak. Setiap data yang diperoleh peneliti
dari rekam medis akan dijaga kerahasiaannya. Penelitian dilaksanakan setelah
lolos uji kajian etik dari pihak tim etik Fakultas Kedokteran Universitas
Tanjungpura.

42
BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Frekuensi Pasien Sindrom Dispepsia di RSU Santo Antonius


Pontianak tahun 2015-1016
Dalam penelitian ini untuk mendapatkan gambaran hasil endoskopi pasien
dispepsia di RSU Santo Antonius Pontianak selama periode penelitian, dilakukan
proses pendataan pasien sindrom dispepsia di bagian rekam medis RSU Santo
Antonius Pontianak.
Kasus pasien sindrom dispepsia yang tercatat di rekam medis tahun 2015-
2016 berjumlah sebanyak 971 pasien.

2015 2016

56 57
52 51
48 49 49
47
44
41 40 39 40
38
35 36 35
33 34
31 32
29 28 27

Gambar 4.1 : Frekuensi pasien dispepsia di RSU Santo Antonius Pontianak


tahun 2015-2016

Berdasarkan data yang dikumpulkan dari 971 pasien dispepsia ditemukan


sebanyak 646 (66,5%) pasien yang memiliki data lengkap dan sebanyak 325
(33,5%) pasien dengan data tidak lengkap.

43
Pada penelitian ini didapatkan dispepsia lebih banyak ditemukan pada
perempuan sebanyak 406 pasien (63%), dan 240 pasien (37%) laki-laki
Berdasarkan kelompok usia sindrom dispepsia yang paling banyak adalah
kelompok usia 22-44 tahun sebanyak 221 pasien (34,2%). Kelompok usia pasien
yang paling sedikit adalah 4-14 tahun sebanyak 6 pasien (0,9%). Hasil distribusi
pasien dispepsia berdasarkan usia dapat dilihat pada tabel 4.1
Tabel 4.1 : Distribusi pasien dispepsia berdasarkan usia

Kategori usia Jumlah Persentase


4-14 tahun 6 0.9%
14-24 tahun 107 16.6%
24-44 tahun 221 34.2%
44-64 tahun 210 32.5%
>64 tahun 102 15.8%

Berdasarkan data yang dikumpulkan dari bagian Endoskopi RSU Santo


Antonius Pontianak tahun 2015-2016 didapatkan sebanyak 594 pasien sindrom
dispepsia yang melakukan pemeriksaan endoskopi. Dari 594 (61%) data rekam
medis tersebut kemudian dilakukan pendataan, dan terdapat data rekam medis
yang tidak lengkap sebanyak 29 (3%) rekam medis, sehingga rekam medis yang
dijadikan sampel sebanyak 565 (58%) rekam medis.

4.2 Frekuensi Penderita Dispepsia yang melakukan Endoskopi


Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan data pasien yang memiliki data lengkap dan melakukan
pemeriksaan endoskopi RSU Santo Antonius tahun 2015 sampai 2016 sebanyak
565 pasien, jumlah pasien laki-laki lebih banyak dari pada perempuan. Jumlah
pasien dispepsia laki-laki sebanyak 291 kasus (52%), dan pasien perempuan
sebanyak 274 kasus (48%).

44
4.3 Frekuensi Penderita Dispepsia yang melakukan Endoskopi
Berdasarkan Kelompok Umur
Berdasarkan kelompok usia, penderita dispepsia yang melakukan
pemeriksaan endoskopi pada tahun 2015 sampai 2016 yang paling banyak ditemui
pada kelompok usia 37-47 tahun, sebanyak 147 kasus (25%). Hasil analisis
frekuensi penderita dispepsia yang melakukan pemeriksaan endoskopi dapat
dilihat pada tabel 4.2
Tabel 4.2 : Frekuensi penderita dispepsia yang melakukan endoskopi
tahun 2015-2016

Kategori usia Jumlah Persentase


<15 tahun 4 0,7%
15-25 tahun 35 6,2%
26-36 tahun 104 18,4%
37-47 tahun 147 26,0%
48-58 tahun 142 25,13%
59-69 tahun 93 16,46%
70-80 tahun 31 5,49%
>80 tahun 9 1,6%

4.4 Gambaran Kelainan Endoskopi pada Pasien Sindrom Dispepsia di


RSU Santo Antonius Pontianak
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan persentase gambaran endoskopi
pada penderita dispepsia tertinggi yaitu gastritis (78,4%), dan terendah pada
Esofagus barret (0,2%). Hasil analisis dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

45
Tabel 4.3 : Gambaran hasil pemeriksaan endoskopi pada penderita
sindrom dispepsia tahun 2015 sampai 2016

Kelainan Endoskopi Jumlah Persentase


Gastritis 443 78.4 %
Ulkus Ventrikuli 42 7.4%
Esofagitis 20 3.5%
Ulkus Peptikum 15 2.7%
Ulkus Duodenum 3 0.5%
Gastropati Hipertensi Porta 12 2.1%
Varises Esofagus 2 0.4%
Gastroduodenitis 12 2.1%
Keganasan 15 2.7%
Esofagus Barret 1 0.2%
Total 565 100%

4.5 Gambaran Kelainan Endoskopi Penderita Dispepsia Berdasarkan


Jenis Kelamin
Pada penelitian ini didapatkan gastritis (78,4%) lebih banyak ditemukan
pada perempuan, sementara ulkus ventrikuli (7,4%) lebih banyak ditemukan pada
laki-laki. Hasil analisis distribusi gambaran endoskopi berdasarkan jenis kelamin
dapat dilihat di tabel 4.4

46
Tabel 4.4 : Distribusi kelainan endoskopi penderita dispepsia berdasarkan
jenis kelamin
Kelainan Perempuan Laki-laki
Endoskopi Jumlah Persentase Jumlah Persentase
Gastritis 227 82,8% 216 74,2%
Ulkus Ventrikuli 18 6,6% 24 8,2%
Esofagitis 11 4,0% 9 3,1%
Ulkus Peptikum 6 2,2% 9 3,1%
Ulkus Duodenum 0 0% 3 1,0%
Gastropati
Hipertensi Porta 1 0,4% 11 3,8%
Varises Esofagus 1 0,4% 1 0,3%
Gastroduodenitis 3 1,1% 9 3,1%
Keganasan 6 2,2% 9 3,1%
Esofagus Barret 1 0,4% 0 0%
Total 274 100% 291 100%

4.6 Gambaran Kelainan Endoskopi Penderita Dispepsia Berdasarkan


Kelompok Umur
Pada penelitian ini didapatkan persentase tertinggi dari hasil pemeriksaan
endoskopi pada pasien sindrom dispepsia yaitu gastritis (78,4%) dan sering
terjadi pada kelompok usia 37-47 tahun sebanyak 128 pasien. Kelompok usia
yang paling sedikit adalah kelompok usia kurang dari 15 tahun dan lebih dari 80
tahun. Hasil kelainan endoskopi beradasarkan kelompok umur dapat dilihat pada
tabel 4.5

47
Tabel 4.5 : Distribusi kelainan endoskopi berdasarkan usia

Kelainan Usia
Endoskopi <15 15-25 26-36 37-47 48-58 59-69 70-80 >80

Gastritis
4 30 93 128 108 57 19 4
Ulkus Ventrikuli 0 0 4 3 11 15 7 2
Esofagitis 0 3 4 4 4 5 0 0
Ulkus Peptikum 0 0 2 0 4 6 2 1
Ulkus Duodenum 0 0 0 0 3 0 0 0
Gastropati
Hipertensi Porta 0 0 0 6 2 3 1 0
Varises Esofagus 0 1 0 1 0 0 0 0
Gastroduodenitis 0 1 1 2 5 2 1 0
Keganasan 0 0 0 3 5 5 1 1
Esofagus Barret 0 0 0 0 0 0 0 1

48
BAB V

PEMBAHASAN

5.1 Kasus sindrom dispepsia di RSU Santo Antonius Pontianak tahun


2015-2016
Selama periode 2 tahun (2015-2016) di RSU Santo Antonius Pontianak
ditemukan 971 kasus sindrom dispepsia, angka ini cukup tinggi dibandingkan
kasus sindrom dispepsia yang ditemukan di RSU Mukopido Tolitoli Sulawesi
tengah dengan pasien sindrom dispepsia berjumlah 204 pasien pada tahun 2011,
dan 154 pasien pada tahun 2012. Begitu pula jika dibandingkan dengan penelitian
di China dengan jumlah kasus dispepsia sebanyak 561 subjek dari 2.018
responden yang melaporkan gejala sindrom dispepsia.45
Prevalensi dispepsia di Asia umumnya bervariasi, hal ini mungkin
berkaitan dengan kondisi, dan kriteria yang digunakan untuk mendiagnosis..
Perbedaan kultur seperti faktor makanan, sosial-budaya, psikologis, dan infeksi
oleh H. pylori bertanggung jawab dalam gejala dispepsia dalam suatu populasi
penelitian yang dapat mempengaruhi epidemiologi dispepsia. Adanya
heterogenitas yang cukup besar di antara negara-negara Asia, sehingga diperlukan
lebih banyak studi tentang epidemiologi dispepsia di Asia.45 Beberapa negara
masih menggunakan kriteria Rome III untuk mendiagnosis sindrom dispepsia,
namun ada juga beberapa negara yang sudah menggunakan kriteria Rome IV.

5.2 Usia pasien sindrom dispepsia di RSU Santo Antonius Pontianak


tahun 2015-2016
Usia pasien sindrom dispepsia dikelompokkan kedalam 5 kelompok usia
untuk melihat secara lebih rinci usia pasien sindrom dispepsia. Kelompok usia
dimulai dari usia 4-14 tahun untuk melihat kelompok usia muda yang mungkin
mendapatkan dispepsia fungsional seperti yang telah dilaporkan46
Pasien sindrom dispepsia di RSU Santo Antonius menunjukkan kelompok
usia yang sering muncul adalah kelompok usia 22-44 tahun dengan usia rata-rata
pasien dispepsia yaitu 44.1 tahun. Penelitian ini tidak jauh berbeda dengan

49
penelitian di Arab pada 161 pasien dispepsia yang ditemukan pada usia rata-rata
40 tahun.47 Pada penelitian di RSUP Dr. M. Djamil Padang menemukan usia
terbanyak dari pasien sindrom dispepsia adalah usia >40 tahun dengan usia rata-
rata dispepsia 47,69 tahun.48 Namun pada penelitian di RSU Anutapura Palu
menunjukkan pasien sindrom dispepsia terbanyak pada kelompok usia 19 – 44
tahun yang berjumlah 55,04%.49
Sindrom dispepsia yang terjadi pada kelompok usia 22-44 tahun di RSU
Santo Antonius dapat berhubungan dengan pola makan yang tidak teratur dan
stress fisiologis yang sering dialami pada kelompok usia muda. Pola makan yang
tidak teratur dapat meningkatkan frekuensi kekambuhan gastritis.50
Setiap fungsi tubuh mempunyai irama biologis (sirkadian rhythm) yang
memiliki jam kerja yang tetap dan sistematis dalam siklus 24 jam per hari.
Meskipun sistem pencernaan sendiri memiliki 3 siklus yang secara simultan aktif,
namun pada waktu-waktu tertentu masing-masing siklus akan lebih intensif
dibandingkan siklus-siklus lainnya. Jika aktivitas salah satu siklus terhambat,
aktivitas siklus berikutnya juga ikut terhambat. Hambatan ini memneri pengaruh
yang besar terhadap proses metabolisme. Dalam kondisi normal, konsentrasi asam
dan aktivitas enzim pada lambung akan meningkat dan mencapai puncaknya
maksimal setiap 4 jam setelah makan dan kemudian menurun pada jam
berikutnya. Faktor diet dan sekresi cairan asam lambung merupakan penyebab
timbulnya dispepsia, Jeda antara waktu makan merupakan penentu pengisian dan
pengosongan lambung. Jeda waktu makan yang baik yaitu berkisar antara 4-5
jam. 51
Stress sering terjadi pada wanita dan usia muda. Beberapa penelitian
menunjukkan peningkatan hormon kortisol di pagi dan malam hari pada pasien
dengan dispepsia fungsional dengan stress fisiologis. Stress dapat menginduksi
perubahan pada sistem Hipotalamus Pituitary Adrenal (HPA) axis. Stress
menyebabkan HPA axis lebih hiperaktif dan meningkatkan sensitifitasnya. Stress
yang kronik dapat meningkatkan produksi epinefrin dan norepinefrin pada medula
adrenal, meningkatkan produksi sitokin dan IL-6. Beberapa penelitian
menunjukkan persentase IL-6 pada mukosa gaster pasien dispepsia dengan stress

50
fisiologis yang lebih tinggi dari pada pasien dispepsia tanpa stress fisiologis. IL-6
berperan penting dalam merespon terhadap infeksi H-pylori dan terlibat dalam
peningkatan aktivitas H-pylori.52 Stres yang berkepanjangan juga merupakan
salah satu faktor yang memicu peningkatan produksi asam lambung. Gastritis
sering dihubungkan dengan keadaan psikologis seseorang.70
Faktor lain yang dapat meningkatkan kejadian sindrom dispepsia yaitu
makanan yang bersifat iritatif seperti alkohol dan aspirin yang dapat merusak
sawar mukosa pelindung lambung yaitu kelenjar mukosa dan taut epitel yang
rapat (tight epithelial junction) diantara sel pelapis lambung.53 Makanan yang
bersifat asam dapat memperlambat pengosongan lambung. Kimus yang bersifat
asam akan dinetralisasi oleh natrium bikarbonat (NaHCO3) sebelum memasuki
duodenum. Jika proses netralisasi belum selesai maka kimus asam akan berada di
dalam lambung. Proses ini akan semakin mengiritasi lapisan mukosa lambung dan
menimbulkan serangan gastritis.54 Makanan yang bersifat asin juga dapat
menimbulkan kejadian dispepsia dan kasus pra-kanker lambung. Tingginya
konsumsi makanan asin dan makanan yang diasap terbukti signifikan dalam
perkembangan kanker lambung dan dapat meningkatkan resiko terinfeksi bakteri
lambung penyebab gastritis.55

5.3 Jenis kelamin pasien sindrom dispepsia di RSU Santo Antonius


Pontianak tahun 2015- 2016
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diperoleh perbandingan
kejadian sindrom dispepsia antara laki-laki dan perempuan sebesar 1 : 1,69. Hal
ini berbeda dengan penelitian di RSUP Dr. M. Djamil Padang dengan
perbandingan yang sama antara laki-laki dan perempuan sebesar 1 : 1,07.48
Namun pada penelitian di RSU Anutapura Palu menunjukkan perempuan 2 kali
lebih banyak menderita dispepsia dari pada laki-laki dengan jumlah perempuan
178 pasien (68,99%), dan laki laki berjumlah 80 pasien (31,01%).49
Adanya perbedaan distribusi sindrom dispepsia berdasarkan jenis kelamin
dapat berhubungan dengan kebiasaan hidup yang berbeda antara laki-laki dan
perempuan seperti konsumsi minuman berakohol, dan kebiasaan merokok,

51
dimana laki-laki yang merokok lebih banyak dibandingkan perempuan. Merokok
dapat menyebabkan terhambatnya rasa lapar, bekurangnya jumlah nutrient dan
oksigen yang masuk ke bagian mikrosirkular gaster, dan dapat merangsang
keluarnya asam lambung berlebih. Alkohol dapat menstimulasi keluarnya asam
lambung meskipun tidak ada makanan didalam lambung.56
Pria lebih toleran terhadap rasa nyeri dibandingan pada wanita. Keadaan
seperti ini akan menyebabkan wanita lebih mudah merasakan gangguan lambung
dari pada pria. Mekanisme hormonal juga mempengaruhi sekresi getah lambung.
Pengaturan hormonal berlangsung melalui hormon gastrin. Hormon ini bekerja
pada kelenjar gastrin dan menyebabkan aliran tambahan getah lambung. Hormon
gastrin dipengaruhi oleh beberapa hal seperti adanya makanan dalam jumlah besar
didalam lambung, alkohol, dan kafein. Jenis kelamin juga dapat mempengaruhi
kerja hormon gastrin dimana faktor hormonal perempuan lebih reaktif dari pada
laki-laki. Pada penelitian dengan tikus, Gastrin Releasing Hormon (GRP) dapat
mengontrol fungsi seksual pria sedangkan GRP wanita tidak dapat dideteksi
ketika pubertas karena hormon estradiol dan progesteron meningkat. Hormon
androgen dapat meningkatkan GRP, dan progesteron bertindak sebagai
penghambat GRP.57

5.4 Gambaran hasil EGD pada pasien sindrom dispepsia di RSU Santo
Antonius Pontianak tahun 2015-2016
Berdasarkan hasil penelitian ini bahwa penderita dispepsia yang
melakukan pemeriksaan EGD sebanyak 594 pasien dengan jumlah terbanyak
yaitu laki-laki (52%). Hal ini sesuai dengan penelitian di unit Gatroenterologi di
RS Osmania ditemukan 10.029 pasien yang melakukan pemeriksaan endoskopi,
dengan rasio pria dan wanita yaitu 1,8:1.58 Penyebab perbedaan jumlah antara
laki-laki dan perempuan belum didapatkan penyebab pastinya. Kelompok usia
terbanyak yang melakukan pemeriksaan EGD di RSU Santo Antonius terdapat
pada kelompok usia 37-47 tahun (26%),dengan usia termuda 11 tahun, sedangkan
usia tertua 98 tahun. Hal ini tidak jauh berbeda dengan penelitian di Manado
dengan kelompok usia terbanyak yang melakukan pemeriksaan endoskopi adalah

52
usia 50-59 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa seiring dengan bertambahnya usia,
mukosa gaster cenderung menipis sehingga lebih rentan terhadap infeksi H. pylori
dan gangguan pada gaster serta berindikasi untuk dilakukan pemeriksaan
endoskopi.65 Pemeriksaan EGD diindikasikan pada pasien dengan sindrom
dispepsia dengan usia lebih dari 45 tahun atau dibawah 45 tahun yang memiliki
tanda bahaya seperti muntah hebat, demam, hematemesis, anemia, ikterus, dan
penurunan berat badan, serta memiliki riwayat pemakaian OAINS.
Berdasarkan hasil pemeriksaan endoskopi ditemukan 100% pasien yang
melakukan pemeriksaan EGD menderita dispepsia organik. Hal ini berbeda
dengan penelitian di Georgia pada 650 pasien, ditemukan 51% memiliki
endoskopi normal, dan 49% dengan kelainan endoskopi.59 Pada penelitian di
United Kingdom pada 500 pasien dengan usia > 55 tahun ditemukan 378 pasien
(75,8%) dengan kelainan endoskopi.60 Penelitian di Bangladesh tahun 2013
ditemukan 59,21% normal endoskopi dan 40,79% kelainan endoskopi.61 Adanya
perbedaan hasil pemeriksaan endoskopi kemungkinan dikarenakan pemeriksaan
EGD yang dilakukan tidak sesuai dengan indikasi yaitu < 45 tahun tanpa alarm
symptom, sehingga banyak ditemukan dispepsia fungsional atau psikogenik
Hasil pemeriksaan endoskopi pada pasien sindrom dispepsia di RSU Santo
Antonius didapatkan kelainan paling banyak adalah gastritis (78,4%), disusul
dengan ulkus gaster (7,4%), dan esofagitis (3,5%). Hal ini sesuai dengan
penelitian lain di klinik Gastroenterology Egypt yang ditemukan hasil endoskopi
yaitu gastritis (74,2%), esofagitis (23,2%), ulkus gaster (15,2%), ulkus peptikum
(13,9%), dan nodul di mukosa (13,2%).62 Pada penelitian di Georgia ditemukan
gastritis (29,7%), ulkus duodenum (7,2%), esofagitis (5,4%), dan keganasan
0,8%.59 Penelitian di United Kingdom didapatkan gastritis (47,2%) dan esofagitis
(24,4%), keganasan (1%).60 Penelitian di Arab juga ditemukan kelainan terbanyak
pada gastritis (52%).47 Pada beberapa penelitian tersebut menunjukkan kelainan
endoskopi terbanyak pada pasien sindrom dispepsia adalah gastritis. Di Indonesia,
gastritis menempati urutan ke-4 dari 50 peringkat utama penyakit dirumah sakit
seluruh indonesia dengan jumlah kasus 218.500. Berdasarkan data dari profil
Kementrian Kesehatan Kota Kendari pada tahun 2013 gastritis merupakan 10

53
besar penyakit yang berada pada posisi peringkat ke 5 pasien rawat inap dan
posisi ke 6 rawat jalan di rumah sakit. Rata-rata pasien yang datang di unit
pelayanan kesehatan baik di puskesmas maupun rumah sakit mengalami keluhan
yang berhubungan dengan nyeri ulu hati.63
Badan penelitian kesehatan dunia (WHO) tahun 2013, mengadakan
tinjauan terhadap beberapa negara di dunia dan mendapatkan hasil persentase dari
angka kejadian gastritis di dunia, diantaranya Inggris 22%, China 31%, Jepang
14,5%, Kanada 35%, dan Perancis 29,5%. Di dunia, insiden gastritis sekitar 1,821
juta dari jumlah penduduk setiap tahun. Insiden terjadinya gastritis di Asia
Tenggara sekitar 583.635 dari jumlah penduduk setiap tahunnya. Prevalensi
gastritis yang dikonfirmasi melalui endoskopi pada populasi di Shanghai sekitar
17,2% yang secara substantial lebih tinggi dari pada populasi di barat yang
berkisar 4,1% dan bersifat asimptomatik.64
Penyebab gastritis dibedakan atas faktor internal yaitu adanya kondisi
yang memicu pengeluaran asam lambung yang berlebihan dan faktor eksternal
yang menyebabkan iritasi dan infeksi. Beberapa penyebab gastritis adalah aspirin
atau OAINS, infeksi H.pylori, kebiasaan konsumsi alkohol, kopi, merokok, dan
sering mengalami stress.70
Penyebab terbanyak gastritis adalah H. pylori. H. pylori berkoloni di
mukosa gaster dan menyebabkan gastritis, ulkus peptikum, dan adenokarsinoma
gaster. Infeksi H-pylori cenderung menetap dan seumur hidup. Infeksi H-pylori
akan menginduksi sel imunitas yaitu neutrofil, limfosit B dan T, sel plasma,
makrofag, dan sel dendritik. Aktivasi dari sel imun bawaan tersebut akan
menginduksi interferon untuk memproduksi sitokin yang akan menarik mediator
inflamasi akut dan menyebabkan aktivasi respon imun adaptif.52
Inflamasi pada antrum akan menstimulasi sekresi gastrin yang selanjutnya
akan merangsang sel parietal untuk meningkatkan sekresi asam lambung. Infeksi
H-pylori meningkatkan kadar gastrin terutama yang berasal dari mukosa antrum.
Selain itu peningkatan sekresi gastrin juga terjadi akibat menurunnya kadar
somatostatin dalam mukosa antrum yang berasal dari sel D. Dalam hal ini, secara

54
fisiologis somatostatin atau sel D berfungsi sebagai acid brake, yang menekan
fungsi sel G dan sekresi asam lambung oleh sel parietal.66
Prevalensi H-pylori pada 111 pasien dispepsia di Kalibaru Jakarta
berjumlah 22,5%. Hasil ini lebih rendah dari pada penelitian di Korea Selatan dan
China. Pada penelitian di Jakarta menunjukkan tidak ada hubungan yang
signifikan antara usia dan infeksi H. pylori. Namun beberapa penelitian di 5 pulau
Indonesia menunjukkan bahwa infeksi H. pylori tertinggi terdapat pada 2
kelompok usia yaitu <29 tahun dan kelompok usia 50-59 group. Pada penelitian di
Korea Selatan juga menunjukkan angka infeksi H. pylori tertinggi dimulai pada
usia muda dan terus meningkat sesuai usia, dan menurun ketika usia >60 tahun.
Adanya perbedaan ini disebabkan oleh tingkat sosial ekonomi yang berbeda,
tingkat pendidikan dan tingat kebersihan yang rendah. 67
Pada penelitian ini didapatkan gastritis sering terjadi pada kelompok usia
37-47 tahun sebanyak 128 pasien (28,8%). Kelompok usia yang paling jarang
adalah kelompok usia kurang dari 15 tahun sebanyak 4 pasien (0,9%). Hal ini
sesuai dengan penelitian di United States pada ras putih, hitam, Hispanik, Asian,
dan Amerika ditemukan resiko tertinggi infeksi H. pylori terjadi pada kelompok
usia 41-50 tahun dan 51-65 tahun.68 Pada usia lanjut dinding lambung semakin
menipis, produksi mukus sebagai barrier berkurang, sehingga lapisan mukosa
lambung mudah rusak dan mudah terinfeksi H-pylori. Penyakit autoimun juga
sering terjadi pada usia lanjut, dan usia ini cenderung memiliki pola makan yang
tidak baik. Beberapa survei juga menunjukkan bahwa gastritis paling sering
menyerang usia produktif, karena tingkat kesibukan dan gaya hidup yang kurang
memperhatikan kesehatan serta stres yang mudah terjadi akibat pengaruh faktor-
faktor lingkungan.
Pada penelitian ini didapatkan gastritis sering ditemui pada perempuan
(82,8%) dari pada laki-laki (74,2%). Hal ini berbeda dengan hasil penelitian yang
dilakukan di Korea, didapatkan hasil bahwa laki-laki merupakan salah satu faktor
resiko dari metaplastik gastritis, dan ditemukan hubungan yang berbanding lurus
dengan rokok.69

55
5.5 Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah :
a. Pengambilan data dalam penelitian ini bersifat sekunder yaitu dengan
menggunakan data rekam medis, sehingga data yang dapat diambil bersifat
terbatas dan tidak lengkap
b. Faktor resiko dalam temuan kelainan endoskopi tidak diteliti dalam
penelitian ini, baik faktor yang dapat dimodifikasi maupun tidak dapat
dimodifikasi karena keterbatasan data rekam medis.

56
BAB VI

PENUTUP

6.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :
a. Didapatkan 971 pasien dispepsia di RSU Santo Antonius tahun 2015-
2016, dengan temuan terbanyak pada perempuan, dan kelompok usia 22-
24 tahun
b. Penderita dispepsia yang melakukan pemeriksaan EGD tahun 2015 sampai
2016 didapatkan paling sering pada perempuan, dan kelompok umur 37-47
tahun.
c. Gambaran hasil pemeriksaan EGD pada penderita dispepsia terbanyak
adalah Gastritis, Ulkus Ventrikuli, dan terendah pada keganasan dan
Barret esofagus.
d. Gastritis lebih banyak ditemukan pada perempuan, dan sering terjadi pada
kelompok usia 37-47 tahun, sementara ulkus ventrikuli lebih banyak
ditemukan pada laki-laki, dan sering terjadi pada kelompok usia 59-69
tahun

5.6 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada penderita dispepsia yang
melakukan pemeriksaan EGD mengenai faktor resiko, riwayat pengobatan
sebelumnya, dan hubungan jenis kelamin terhadap terjadinya dispepsia dan
kelainan endoskopi.

57
DAFTAR PUSTAKA

1. Foundation, R. Guidelines Rome III Diagnostic Criteria for Functional


Gastrointestinal Disorders. J Gastrointest Liver Dis JGLD. 2006
Sep;15(3):307–12.
2. Oustamanolakis P, Tack J. Dyspepsia: organic versus functional. J Clin
Gastroenterol. 2012;46(3):175–190.
3. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata K, Marcellus, Setiyohadi B,
Syam AF. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi VI. Jakarta:
Interna Publishing; 2014
4. Testerman TL, Morris J. Beyond the stomach: An updated view of
Helicobacter pylori pathogenesis, diagnosis, and treatment. World Journal
of Gastroenterology : WJG. 2014;20(36):12781-12808.
5. Al-Humayed SM, Mohamed-Elbagir AK, Al-Wabel AA, Argobi YA. The
Changing Pattern of Upper Gastro-Intestinal Lesions in Southern Saudi
Arabia: An Endoscopic Study. Saudi Journal of Gastroenterology :
Official Journal of the Saudi Gastroenterology Association.
2010;16(1):35-37.
6. Harmon RC, Peura DA. Review: Evaluation and management of
dyspepsia. Ther Adv Gastroenterol. 2010;3(2):87–98.
7. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Ilmu Penyakit Dalam:
Gastroenterologi. Jakarta: Interna Publishing; 2009
8. Muya Y, Murni AW, Herman RB. Karakteristik Penderita Dispepsia
Fungsional yang Mengalami Kekambuhan di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUP Dr. M. Djamil Padang, Sumatera Barat Tahun 2011. J Kesehat
Andalas. 2015 ;4(2):490-6
9. Olafsdottir LB, Gudjonsson H, Jonsdottir HH, Thjodleifsson B. Natural
history of functional dyspepsia: a 10-year population-based
study.Digestion. 2010;81(1):53-61.

58
10. Ghoshal UC, Singh R, Chang F-Y, et al. Epidemiology of Uninvestigated
and Functional Dyspepsia in Asia: Facts and Fiction. Journal of
Neurogastroenterology and Motility. 2011;17(3):235-244.
11. Kumar A, Jignesh P, Prabha S. Epidemiology of functional dyspepsia. J
Assoc Physicians India. 2012;60 suppl: 9-12.
12. Oshima T, Toyoshima F, Nakajima S, Fukui H, Watari J, Miwa H. Genetic
factors for functional dyspepsia: Genetic factors for functional dyspepsia. J
Gastroenterol Hepatol. 2011 Apr;26:83–7.
13. Abdullah, M. & Gunawan, J. Dispepsia dalam Cermin Dunia Kedokteran;
2012; 39(9): 647-50
14. Fujiwara Y, Arakawa T. Overlap in Patients With Dyspepsia/Functional
Dyspepsia. J Neurogastroenterol Motil. 2014 ;20(4):447–57.
15. Djojoningrat, D. Pendekatan Klinis Penyakit Gastrointestinal. Jakarta:
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.
16. Yarandi SS, Christie J. Functional Dyspepsia in Review: Pathophysiology
and Challenges in the Diagnosis and Management due to Coexisting
Gastroesophageal Reflux Disease and Irritable Bowel Syndrome.
Gastroenterol Res Pract. 2013;2013:1–8
17. Ndraha S. Penyakit Refluks Gastroesophageal. Departemen Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana Jakarta 2014: p.
27.
18. Pham TH, Genta RM, Spechler SJ, Souza RF, Wang DH. Development
and Characterization of a Surgical Mouse Model of Reflux Esophagitis
and Barrett’s Esophagus. J Gastrointest Surg. 2014 Feb;18(2):234–41.
19. Boeckxstaens GE, Rohof WO. Pathophysiology of Gastroesophageal
Reflux Disease. Gastroenterol Clin North Am. 2014 Mar;43(1):15–25.
20. Mittal RK. Pathophysiology of Gastroesophageal Reflux Disease: Motility
Factors. In: Richter JE, Castell DO, editors. The Esophagus. Chichester,
West Sussex: Wiley-Blackwell; 2012

59
21. Ruigómez A, Wallander M, Lundborg P, Johansson S, Rodriguez L.
Gastroesophageal reflux disease in children and adolescents in primary
care. Scandinavian Journal Of Gastroenterology. 2010; 45(2): 139-146
22. Hegar B, Mulyani RL. Esofagitis refluks pada anak. Sari Pediatri.
2016;8(1):43–53.
23. Orlando RC. The Integrity of the Esophageal Mucosa. Balance Between
Offensive and Defensive Mechanisms. Best practice & research Clinical
gastroenterology. 2010;24(6):873-882.
24. Sami SS, Ragunath K. The Los Angeles classification of gastroesophageal
reflux disease. Video J Encycl GI Endosc. 2013;1(1):103–104.
25. Penfield JD, Lang DM, Goldblum JR, Lopez R, Falk GW. The Role of
Allergy Evaluation in Adults With Eosinophilic Esophagitis: J Clin
Gastroenterol. 2010;44(1):22–7.
26. Samiullah, Bhurgri H, Sohail U. Eosinophilic Disorders of the
Gastrointestinal Tract. Prim Care Clin Off Pract. 2016;43(3):495–504.
27. Wyllie R, Hyams JS, penyunting. Pediatric Gastrointestinal and Liver
Disease Pathophysiology, Diagnosis and Management. Edisi ke-3.
Philadelphia: Saunders Elsevier ; 2015:543-8.
28. Longo DL, Fauci AS. Harrison Gastroenterologi Dan Hepatologi . Jakarta
: EGC; 2013
29. Badreddine RJ, Wang KK. Barrett esophagus: an update. Nat Rev
Gastroenterol Hepatol. 2010 ;7(7):369–78.
30. Johnston Mark. Barrett Esophagus Treatment & Management. Uniformed
Services University of the Health Sciences. Lancaster Gastroenterology,
Inc; 2016
31. Mitchell RN, Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Buku saku dasar patologis
penyakit robbins & cotran. Edisi Ketujuh. Jakarta: EGC Medical
Publisher;2008
32. de Franchis R. Revising consensus in portal hypertension: Report of the
Baveno V consensus workshop on methodology of diagnosis and therapy
in portal hypertension. J Hepatol. 2010 ;53(4):762–8.

60
33. Chen YI, Ghali P. Prevention and Management of Gastroesophageal
Varices in Cirrhosis. Int J Hepatol. 2012;2012:1–6.
34. Rani A. Buku Ajar Gastroenterologi. Jakarta: Interna Publishing
Pusat;2011
35. Vakil, N. Peptic Ulcer Disease. Dalam: Feldman, M., et al. Sleisenger and
Fordtran’s. Gastrointestinal and Liver Disease Pathophysiology, Diagnosis
and Management 9th ed. USA: Saunders Elsevier; 2010.
36. Hadi S. Gastroenterologi, Perdarahan saluran makan bagian atas. PT
alumni Bandung;2002
37. Antunes C, Curtis S. Gastroesophageal Reflux Disease. In: StatPearls .
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2017
38. Bosman FT. WHO classification of tumours of the digestive system. 4th
ed. Lyon: International Agency for Research on Cancer press. 2010; p:
417
39. Price SA, Wilson L M. Patofisiologi Konsep Klinis Proses - Proses
Penyakit. Edisi- 6. Jakarta:EGC; 2011
40. Schiller KFR, Lombard MG, editors. Atlas of gastrointestinal endoscopy
and related pathology. 2. ed. Oxford: Blackwell Science; 2002. 538 p.
41. Granderath FA, Kamolz T, Pointner R, editors. Gastroesophageal reflux
disease: principles of disease, diagnosis, and treatment. Wien ; New York:
Springer; 2006. 324 p.
42. Kim TJ, Kim ER, Chang DK, Kim Y-H, Baek S-Y, Kim K, et al.
Helicobacter pylori infection is an independent risk factor of early and
advanced colorectal neoplasm. Helicobacter; 2017;22(3):e12377.
43. Block B, Schachschal G, Schmidt H. Endoscopy of the upper GI tract: a
training manual ; 56 tables. Stuttgart: Thieme; 2004. 194 p.
44. Keshav S. The gastrointestinal system at a glance. Malden, Mass:
Blackwell Science; 2004. 117 p.
45. Ghoshal Uc, Singh R, Chang F-Y, Hou X, Wong Bcy, Kachintorn U.
Epidemiology Of Uninvestigated And Functional Dyspepsia In Asia: Facts
And Fiction. J Neurogastroenterolmotil. 2011 Jul 31;17(3):235–44

61
46. Kawamura A, Adachi K, Takashima T, Et Al. Prevalence Of Functional
Dyspepsia And Its Relationship With Helicobacter Pylori Infection In
Ajapanese Population. J Gastroenterolhepatol 2015;16:384-388
47. Azzam NA. Performance of American Society for Gastrointestinal
Endoscopy guidelines for dyspepsia in Saudi population: Prospective
observational study. World J Gastroenterol. 2015;21(2):637.
48. Putri Cy, Arnelis A, Asterina A. Gambaran klinis dan endoskopi saluran
cerna bagian atas pasien dispepsia Di Bagian Rsup Dr. M. Djamil Padang.
J Kesehatandalas. 2016;5(2).
49. Srikandi N, Mukaddas A, Faustine I. Profil Penggunaan Obat Pada Pasien
Dispepsia Di RSU Anutapura Palu. J Farm Galen Galen J Pharm.2017.
3(2):126–131.
50. Siregar Ma, Siagian A. Gambaran Pola Makan Penderita Gastritis Di
Wilayah Kerja Puskesmaskampar Kiri Hulu Kecamatan Kampar Kiri Hulu
Kabupaten Kampar Riau Tahun 2012. Gizi Kesehat Reproduksi Dan
Epidemiol. 2013;1(2).
51. Nasution NK. Hubungan Pola Makan dengan Kejadian Sindrom Dispepsia
pada Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Tahun 2015. Hub Pola
Makan Dengan Kejadian Sindrom Dispepsia Pada Mhs Fak Kesehat Masy
Tahun 2015
52. Darwin E, Murni AW, Nurdin AE. The Effect of Psychological Stress on
Mucosal IL-6 and Helicobacter pylori Activity in Functional Dyspepsia.
Acta Medica Indones. April 2017;49(2):99–104.
53. Tabiri S, Akanbong P, Abubakari BB. Assessment of the environmental
risk factors for a gastric ulcer in northern Ghana. Pan Afr Med J; 2016
54. Sherwood, L. 2014. Fisiologi manusia :Dari sel kesistem. Edisi 8. Jakarta:
EGC
55. Hunt RH, Camilleri M, Crowe SE, El-Omar EM, Fox JG, Kuipers EJ, dkk.
The stomach in health and disease. Gut. Oktober 2015;64(10):1650–68.
56. Guyton A.C, Dan Hall, J.E. 2014. Buku Ajar Fisiologi kedokteran. Edisi
12. Penterjemah: Ermita I, Ibrahim I. Singapura: Elsevier

62
57. Oti T, Takanami K, Ito S, Ueda T, Matsuda KI, Kawata M, dkk. Effects of
Sex Steroids on the Spinal Gastrin-Releasing Peptide System Controlling
Male Sexual Function in Rats. Endocrinology. 1 April 2018;159(4):1886–
96.
58. Mohiuddin MK, Chowdavaram S, Bogadi V, Prabhakar B, Rao KPR, Devi
S, dkk. Epidemic Trends of Upper Gastrointestinal Tract Abnormalities:
Hospital-based study on Endoscopic Data Evaluation. Asian Pac J Cancer
Prev APJCP. 2015;16(14):5741–7.
59. Abdeljawad K, Wehbeh A, Qayed E. Low Prevalence of Clinically
Significant Endoscopic Findings in Outpatients with Dyspepsia.
Gastroenterol Res Pract. 2017;2017:1–7.
60. Ching H, Hale MF, Sidhu R, et al Reassessing the value of gastroscopy for
the investigation of dyspepsia Frontline Gastroenterology 2018;9:62-66
61. Ghosh CK, Khan MR, Alam F, Shil BC, Kabir MS, Mahmuduzzaman M,
dkk. Pattern of Changes in the Findings among the Patients Undergoing
Diagnostic Esophagogastroduodenoscopy in Bangladesh. Mymensingh
Med J MMJ. 2016;25(4):726–9.
62. Emara MH, Salama RI, Salem AA. Demographic, Endoscopic and
Histopathologic Features Among Stool H. pylori Positive and Stool H.
pylori Negative Patients With Dyspepsia. Gastroenterol Res.
2017;10(5):305–10.
63. Sani W, Jufri NN. Analisis Faktor Kejadian Penyakit Gastritis pada Petani
Nilam di Wilayah Kerja Puskesmas Tiworo Selatan Kab. Muna Barat
Desa Kasimpa Jaya Tahun 2016. J Ilm Mhs Kesehat Masy. 2017;2(5).
64. WHO. (2013). World health statistics.
http://www.who.int/entity/whosis/whostat/EN_WHS10_Full.pdf?ua=1,
diakses tanggal 24 desember 2017
65. Kaminang GA, Waleleng BJ, Polii EB. Profil endoskopi gastrointestinal di
RSUP Prof. Dr. RD Kandou Manado periode Januari 2016–Agustus 2016.
E-Clin. 2016;4(2).

63
66. Permatasari L, Wangko S. Peran Sel Gastrin (Sel G) Dalam Saluran
Pencernaan. J Biomedik. 2011;3(3)
67. Darnindro N, Syam AF, Fauzi A, Rumende CM. Seroprevalence and
socio-demographic factors of Helicobcater pylori infection in patients with
dyspepsia in Kalibaru primary health care north Jakarta. Acta Med
Indones. 2015;47(4):297–303.
68. Huerta-Franco M-R, Banderas JW, Allsworth J. Ethnic/racial differences
in gastrointestinal symptoms and diagnosis associated with the risk of
Helicobacter pylori infection in the US. Clin Exp Gastroenterol. Januari
2018;Volume 11:39–49.
69. Choi, Soonami Et Al. Risk Factor Analysis Formetaplastic Gastritis In
Korean. Korea;2012
70. Selviana BY. Effect of Coffee and Stress With the Incidence of Gastritis. J
Major. 2015;4(2).

64
Lampiran 1 Surat permohonan kaji etik

65
Lampiran 2 Surat Permohonan Izin Penelitian

66
Lampiran 3 Data pasien sindrom dispepsia 2015-2016 28. SSA L 45 Dispepsia Gastritis
No Tahun Nama Jenis Usia Keluhan Diagnosis
Kela utama Pasien 29. KML L 35 Dispepsia Gastritis
min 30. NKI L 74 Dispepsia Gastritis
(L/P) 31. JS L 32 Dispepsia Gastritis
1. 2015 DRA P 52 Dispepsia Gastritis 32. MS L 41 Dispepsia Gastritis
2. RSY P 62 Dispepsia Gastritis 33. JN L 30 Dispepsia Gastritis
3. NN P 32 Dispepsia Gastritis 34. TST P 49 Dispepsia Gastritis
4. DK L 54 Dispepsia Gastritis 35. SRY P 45 Dispepsia Gastritis
5. MTG L 37 Dispepsia Gastritis 36. SL P 19 Dispepsia Gastritis
6. XST P 58 Dispepsia Ulkus Ventrikuli 37. IBS L 53 Dispepsia Gastritis
7. SHK L 56 Dispepsia Gastritis 38. LSB L 36 Dispepsia Gastritis
8. TAR P 14 Dispepsia Gastritis 39. MKW P 27 Dispepsia Gastritis
9. NSA L 29 Dispepsia Gastritis 40. NM P 37 Dispepsia Gastritis
10. HH P 59 Dispepsia Gastritis 41. TR P 52 Dispepsia Gastritis
11. ET P 69 Dispepsia Keganasan 42. WJR L 37 Dispepsia, Gastropati
12. AHR L 78 Dispepsia Gastritis sirosis hati hipertensi porta
13. PYN P 26 Dispepsia Gastritis 43. NRZ L 63 Dispepsia Ulkus ventrikuli
14. BKB L 37 Dispepsia Gastritis 44. AB L 67 Dispepsia Ulkus peptikum
15. EHT L 64 Dispepsia Gastritis 45. SRM P 49 Dispepsia Gastritis
16. FSK L 41 Dispepsia Gastritis 46. NV L 43 Dispepsia Gastritis
17. AI L 42 Dispepsia Gastritis 47. LLH L 75 Dispepsia Gastritis
18. EMD L 30 Dispepsia Gastritis 48. HAZ L 69 Dispepsia Gastritis
19. YVL P 51 Dispepsia Gastritis 49. BMN L 51 Dispepsia Gastritis
20. VNK P 24 Dispepsia Gastritis 50. KSD L 38 Dispepsia Gastritis
21. JML P 39 Dispepsia Gastritis 51. PS L 62 Dispepsia Ulkus ventrikuli
22. ALX L 49 Dispepsia Gastritis 52. MDS L 41 Dispepsia Gastritis
25. KMB L 37 Dispepsia Gastritis 53. PJN P 49 Dispepsia Gastritis
26. SMS L 64 Dispepsia Ulkus Peptikum 54. MRN P 33 Dispepsia Gastritis
27. ABD L 50 Dispepsia Gastritis 55. YLA P 34 Dispepsia Gastritis

1
56. CML P 80 Dispepsia Gastritis 85. YST P 71 Dispepsia Gastroduodenitis
57. TDR L 88 Dispepsia Gastritis 86. ERM P 48 Dispepsia Gastritis
58. AC L 31 Dispepsia Gastritis 87. JPS P 33 Dispepsia Gastritis
59. YGT P 70 Dispepsia Gastritis 88. TTN L 34 Dispepsia Gastritis
60. SPL L 46 Dispepsia Gastritis 89. RTN P 38 Dispepsia Gastritis
61. LL P 48 Dispepsia Gastritis 90. RMM P 44 Dispepsia Gastritis
62. AMC L 44 Dispepsia Gastritis
63. TKT L 44 Dispepsia Gastritis 91. MDY P 35 Dispepsia Gastritis
64. CLH P 36 Dispepsia Gastritis 92. TJS L 47 Dispepsia Gastritis
65. TRMY P 16 Dispepsia Esofagitis 93. UBT L 84 Dispepsia, Keganasan
66. FRF P 22 Dispepsia Varises disfagia
Esofagus 94. AMH P 49 Dispepsia Ulkus peptikum
67. KAY L 34 Dispepsia Gastritis 95. SYF L 50 Dispepsia Gastritis
68. KHS L 56 Dispepsia Gastroduodenitis 96. KBC L 17 Dispepsia Gastritis
69. HSS L 39 Dispepsia Gastritis 97. JSO L 73 Dispepsia Gastritis
70. OSC P 25 Dispepsia Gastritis 98. CCP L 52 Dispepsia Keganasan
71. MRA P 47 Dispepsia Gastritis 99. TSS P 85 Dispepsia Gastritis
72. SSL P 50 Dispepsia Gastritis 100. TML L 54 Dispepsia Keganasan
73. LGK P 56 Dispepsia Gastritis 101. RYO L 36 Dispepsia Gastritis
74. MGT P 49 Dispepsia Gastritis 102. KMA L 42 Dispepsia Gastritis
75. SHG L 58 Dispepsia Esofagitis 103. IMA P 41 Dispepsia Gastritis
76. KUR P 74 Dispepsia Ulkus ventrikuli 104. SSO L 40 Dispepsia Gastritis
77. SRO L 68 Dispepsia Esofagitis 105. YSR P 27 Dispepsia Gastritis
78. BNC P 76 Dispepsia Gastritis 106. MSB L 64 Dispepsia Esofagitis
79. JYH P 68 Dispepsia Gastritis 107. YL L 37 Dispepsia Gastritis
80. MRN P 47 Dispepsia Gastritis 108. SJD P 47 Dispepsia Gastritis
81. YG P 50 Dispepsia Gastritis 109. RNA P 45 Dispepsia Gastritis
82. SWY P 37 Dispepsia Gastritis 110. SYM P 36 Dispepsia Gastritis
83. ZKR L 40 Dispepsia Gastritis 111. LSD P 31 Dispepsia Gastritis
84. DRS L 49 Dispepsia Gastritis 112. IZN L 37 Dispepsia Gastritis
2
113. MBB L 69 Dispepsia Gastritis 139. PP L 57 Dispepsia Ulkus peptikum
114. ATN L 60 Dispepsia Gastritis 140. HRD L 53 Dispepsia Gastritis
115. YST P 43 Dispepsia Gastritis 141. HYS L 31 Dispepsia, Esofagitis
116. SSM P 54 Dispepsia Gastritis disfagia
117. PSL L 50 Dispepsia Gastritis 142. CLD P 38 Dispepsia Gastritis
118. LLN P 78 Dispepsia Ulkus peptikum 143. NNT L 56 Dispepsia Gastritis
119. TPPH L 72 Dispepsia Gastritis 144. LSN P 67 Dispepsia Ulkus ventrikuli
120. BND L 69 Dispepsia Gastritis 145. TMT P 44 Dispepsia Gastritis
121. BCH P 54 Dispepsia Gastritis 146. BSH L 55 Dispepsia Gastritis
122. AD L 51 Dispepsia, Keganasan 147. MET P 55 Dispepsia Gastritis
akhalsia 148. JBT L 32 Dispepsia Gastritis
123. EML P 40 Dispepsia Gastritis 149. HSM L 40 Dispepsia Gastritis
124. TYY P 19 Dispepsia, Esofagitis
melena 150. ARB P 70 Dispepsia Gastritis
125. NYT P 40 Dispepsia Gastritis 151. ROS P 70 Dispepsia Gastritis
126. ABY P 20 Dispepsia Gastritis 152. TLM P 30 Dispepsia Gastritis
127. KYN L 74 Dispepsia Ulkus ventrikuli 153. HAR P 68 Dispepsia Gastritis
128. AMY P 53 Dispepsia Ulkus ventrikuli 154. MYJ L 30 Dispepsia Gastritis
129. SA L 47 Dispepsia, Keganasan 155. MSN P 49 Dispepsia Gastritis
anemia 156. MRC P 64 Dispepsia Gastritis
130. HAM P 54 Dispepsia, Gastritis 157. UY L 43 Dispepsia Gastritis
disfagia 158. CM P 57 Dispepsia Gastritis
131. SYT P 35 Dispepsia Gastritis 159. DBB P 26 Dispepsia Gastritis
132. SJD L 45 Dispepsia Gastritis 160. ABN P 53 Dispepsia Gastritis
133. AMT L 41 Dispepsia Gastritis 161. SSM P 31 Dispepsia Ulkus ventrikuli
134. EV P 23 Dispepsia Gastritis 162. WAF P 24 Dispepsia Gastritis
135. YKS L 28 Dispepsia Gastritis 163. NP P 43 Dispepsia Gastritis
136. LS L 35 Dispepsia Gastritis 164. NN P 40 Dispepsia Gastritis
137. NCL P 33 Dispepsia Gastritis 165. HMA P 68 Dispepsia Esofagitis
138. RSN P 48 Dispepsia Gastritis 166. TDR P 69 Dispepsia Gastritis

3
167. YHA L 67 Dispepsia Gastritis 192. YMM L 37 Dispepsia Gastritis
168. NHK P 60 Dispepsia Gastritis 193. EY P 30 Dispepsia Gastritis
169. BDI P 43 Dispepsia Gastritis 194. CMJ L 45 Dispepsia Ulkus ventrikuli
170. ABN P 53 Dispepsia, Ulkus peptikum 195. MRE L 27 Dispepsia Esofagitis
hematemesi 196. BA L 19 Dispepsia Gastritis
s 197. MJ L 43 Dispepsia, Gastropati
171. MRP P 53 Dispepsia Gastritis sirosis hati hipertensi porta
172. TM P 52 Dispepsia Ulkus ventrikuli 198. HMD L 41 Dispepsia Gastritis
173. YMS L 35 Dispepsia Gastritis 199. IRM P 38 Dispepsia Gastritis
174. BBK L 39 Dispepsia Gastritis 200. NLM P 48 Dispepsia Esofagitis
175. SST L 50 Dispepsia Gastritis 201. FSY P 59 Dispepsia Gastritis
176. PRS P 47 Dispepsia Gastritis 202. MRD P 42 Dispepsia Gastritis
177. TSN P 34 Dispepsia Gastritis 203. SST P 42 Dispepsia Gastritis
178. YFB P 23 Dispepsia Gastritis 204. 2016 RZK L 50 Dispepsia Gastritis
179. KLS P 30 Dispepsia Gastritis 205. EVN P 40 Dispepsia Gastritis
180. LMN P 35 Dispepsia Keganasan 206. IDY L 43 Dispepsia Gastritis
181. AJR P 11 Dispepsia Gastritis 207. JMT L 45 Dispepsia Gastritis
182. MJB L 45 Dispepsia Gastropati 208. RHM L 20 Dispepsia Gastritis
hipertensi porta 209. WZH L 15 Dispepsia Gastritis
183. AGS L 60 Dispepsia Gastritis 210. NMR L 95 Dispepsia Ulkus ventrikuli
184. KMS P 29 Dispepsia Gastritis 211. PRN P 40 Dispepsia Gastritis
185. NLP P 72 Dispepsia Gastritis 212. PRN P 29 Dispepsia Gastritis
186. SMD L 44 Dispepsia, Gastropati 213. CHR L 53 Dispepsia Gastritis
sirosis hati hipertensi porta
214. TRK L 63 Dispepsia Gastroduodenitis
187. MT L 45 Dispepsia, Varises
sirosis hati esophagus 215. AND P 73 Dispepsia Gastritis
188. AF L 31 Dispepsia Gastritis 216. JCH P 53 Dispepsia Gastritis
189. SM L 53 Dispepsia Gastritis 217. FMM P 45 Dispepsia Gastritis
190. KP L 64 Dispepsia Ulkus ventrikuli 218. NSH L 22 Dispepsia Gastritis
191. KHL L 75 Dispepsia Ulkus peptikum 219. AAW L 55 Dispepsia Gastritis
220. MSG L 46 Dispepsia Gastritis
4
221. MST L 54 Dispepsia Gastritis 250. SSP L 41 Dispepsia Gastritis
222. TTH P 43 Dispepsia Gastritis 251. TKF L 65 Dispepsia Ulkus peptikum
223. YLM P 73 Dispepsia Gastritis 252. MMT L 47 Dispepsia Gastritis
224. LSH P 44 Dispepsia Gastritis 253. MEN L 60 Dispepsia Gastritis
225. MSR L 40 Dispepsia Gastritis 254. SYN P 34 Dispepsia Gastroduodenitis
226. FTR L 30 Dispepsia Gastritis 255. SPO L 53 Dispepsia Gastroduodenitis
227. ATT L 41 Dispepsia Gastritis 256. DFT L 37 Dispepsia Gastritis
228. RKM L 49 Dispepsia Ulkus duodenum 257. YPS P 61 Dispepsia Gastritis
229. LHK L 66 Dispepsia Gastritis 258. KK P 25 Dispepsia Gastritis
230. ASS P 27 Dispepsia Ulkus peptikum 259. VTS L 35 Dispepsia Gastritis
231. MAM L 25 Dispepsia Gastritis 260. MBH L 49 Dispepsia Gastritis
232. BMI L 36 Dispepsia Esofagitis 261. DD P 57 Dispepsia Gastritis
233. AGS L 33 Dispepsia Gastritis 262. SPC P 42 Dispepsia Gastritis
234. RPH L 48 Dispepsia Gastritis 263. PCH L 45 Dispepsia Gastritis
235. ABD L 32 Dispepsia Gastritis 264. ARY P 53 Dispepsia Ulkus ventrikuli
236. KTK L 55 Dispepsia Gastritis 265. SHO L 22 Dispepsia Gastritis
237. HLM L 14 Dispepsia Gastritis 266. PMA L 56 Dispepsia Ulkus peptikum
238. LLC L 66 Dispepsia Ulkus ventrikuli 267. HHT P 29 Dispepsia Gastritis
239. MM P 24 Dispepsia Gastritis 268. AGD L 52 Dispepsia Gastritis

240. MAG P 51 Dispepsia Ulkus ventrikuli 269. KMM L 50 Dispepsia Ulkus duodenum
241. HEN L 14 Dispepsia Gastritis 270. RMB L 56 Dispepsia Ulkus ventrikuli
242. KTR L 55 Dispepsia Gastritis 271. KSM L 61 Dispepsia Ulkus ventrikuli
243. LLC P 66 Dispepsia Ulkus ventrikuli 272. BSH L 61 Dispepsia Ulkus peptikum
244. MMM P 24 Dispepsia Gastritis 273. LSG L 56 Dispepsia Gastroduodenitis
245. TMN P 60 Dispepsia Gastritis 274. BPL L 57 Dispepsia Gastritis
246. RM P 52 Dispepsia Gastritis 275. ABR L 29 Dispepsia Gastritis
247. MRT P 61 Dispepsia Ulkus peptikum 276. TYT P 31 Dispepsia Ulkus ventrikuli
248. RCM L 45 Dispepsia Gastritis 277. HSK L 78 Dispepsia Gastritis
249. BHK L 55 Dispepsia Gastritis 278. FRL P 56 Dispepsia Gastritis
5
279. CNI P 68 Dispepsia Gastritis 308. LDS L 21 Dispepsia Gastritis
280. TSM L 64 Dispepsia Gastritis 309. TTJ L 59 Dispepsia Gastritis
281. RSL P 38 Dispepsia Gastritis 310. JH L 35 Dispepsia Gastritis
282. CAJ L 95 Dispepsia Gastritis 311. LGS P 48 Dispepsia Gastritis
283. HLM P 62 Dispepsia Pangastrits 312. BHS L 68 Dispepsia Gastritis
284. BQD L 29 Dispepsia Gastritis 313. KRM P 26 Dispepsia Gastritis
285. MRS P 28 Dispepsia Gastritis 314. VVW L 49 Dispepsia Gastroduodenitis
286. EDP L 24 Dispepsia Gastritis 315. BTY P 60 Dispepsia Gastritis
287. ANS L 31 Dispepsia Gastritis 316. PBD L 62 Dispepsia Gastritis
288. ULU L 41 Dispepsia Gastritis 317. ZKA P 48 Dispepsia Gastritis
289. DRS L 33 Dispepsia Ulkus ventrikuli 318. SHD L 34 Dispepsia Gastritis
290. BSN P 52 Dispepsia Gastropati 319. MKA P 39 Dispepsia Gastritis
hipertensi porta 320. CKH L 55 Dispepsia Keganasan
291. KPR L 39 Dispepsia Gastritis esophagus
292. RVB L 47 Dispepsia Gastritis 321. MDY L 67 Dispepsia Gastropati
293. SRL P 52 Dispepsia Gastritis hipertensi porta
294. EDM L 58 Dispepsia Gastritis 322. PDF L 80 Dispepsia Ulkus ventrikuli
295. LNC P 77 Dispepsia Gastritis 323. YNT P 35 Dispepsia Gastritis
296. MMA L 98 Dispepsia Ulkus ventrikuli 324. TFK L 67 Dispepsia Gastritis
297. ETN L 49 Dispepsia Gastritis 325. PLM L 61 Dispepsia Gastritis
298. MCG P 54 Dispepsia Gastritis 326. JMD L 46 Dispepsia Gastropati
299. PTR P 54 Dispepsia Gastritis hipertensi porta
327. SYN P 37 Dispepsia Gastritis
300. IMJ P 27 Dispepsia Gastritis
301. ITK P 44 Dispepsia Gastritis 328. KKK P 41 Dispepsia Esofagitis
302. JTN P 59 Dispepsia Ulkus ventrikuli 329. IRW P 84 Dispepsia Gastritis
303. RSN P 48 Dispepsia Gastritis 330. SNY P 60 Dispepsia Ulkus ventrikuli
304. SRM P 83 Dispepsia Ulkus peptikum 331. HDH L 41 Dispepsia Gastritis
305. ADM L 44 Dispepsia Gastritis 332. LBS L 56 Dispepsia Gastritis
306. AGS L 44 Dispepsia Gastritis 333. MBB L 71 Dispepsia Gastropati
307. LTH L 48 Dispepsia Gastritis hipertensi porta

6
334. MNC P 32 Dispepsia, Gastritis 363. WCI L 65 Dispepsia Gastropati
anemia hipertensi portal
335. KSE P 39 Dispepsia Gastritis 364. PTT P 28 Dispepsia Gastritis
336. MCS L 19 Dispepsia Esofagitis 365. ABA L 50 Dispepsia Gastritis
337. APN P 41 Dispepsia Gastritis 366. NDT L 78 Dispepsia Ulkus ventrikuli
338. HJJ P 68 Dispepsia Gastritis 367. TTD L 60 Dispepsia Ulkus peptikum
339. EFF L 60 Dispepsia Gastritis 368. MSN L 54 Dispepsia Gastritis
340. GTE L 67 Dispepsia Ulkus ventrikuli 369. YLD P 27 Dispepsia Gastritis
341. WWK P 47 Dispepsia Gastritis 370. MRS L 21 Dispepsia Gastritis
342. MJK L 56 Dispepsia Gastritis 371. WRN P 48 Dispepsia Gastritis
343. TTI P 39 Dispepsia Gastritis 372. RBB P 87 Dispepsia, Barret
344. ART P 50 Dispepsia Gastritis melena esophagus
345. SYR P 66 Dispepsia Ulkus ventrikuli 373. YHP L 33 Dispepsia Gastritis
346. ASD L 42 Dispepsia Gastritis 374. LBH L 39 Dispepsia Gastritis
347. VRO P 39 Dispepsia Gastritis 375. SDR P 44 Dispepsia Gastritis
348. IMH L 32 Dispepsia Gastritis 376. LKL L 54 Dispepsia Gastritis
349. MKM P 54 Dispepsia Gastritis 377. AFR L 32 Dispepsia Gastritis
350. SFT P 24 Dispepsia Gastritis 378. KSG L 39 Dispepsia Gastritis
351. ATA L 39 Dispepsia Gastritis 379. ADR L 29 Dispepsia Gastritis
352. HMH L 79 Dispepsia Ulkus ventrikuli 380. AYY L 68 Dispepsia Gastritis
353. HSN P 41 Dispepsia Gastritis 381. RMT P 55 Dispepsia Gastritis
354. NTW P 53 Dispepsia Gastritis 382. HRN P 51 Dispepsia Gastritis
355. NBT P 55 Dispepsia Gastritis 383. SLM L 78 Dispepsia Gastritis
356. SRT P 30 Dispepsia Gastritis 384. AGG L 52 Dispepsia, Gastropati
357. SST L 33 Dispepsia Ulkus peptikum sirosis hati hipertensi porta
385. ASS L 53 Dispepsia Gastritis
358. AGS L 39 Dispepsia Gastritis
386. JLA L 23 Dispepsia Gastroduodenitis
359. RHT P 38 Dispepsia Gastritis
360. MTA L 69 Dispepsia Keganasan 387. RSO L 36 Dispepsia Gastritis
361. AML P 51 Dispepsia Gastritis 388. ALS L 445 Dispepsia Gastritis
362. JML P 61 Dispepsia Gastritis 389. WHD L 37 Dispepsia Gastritis

7
390. WRT P 68 Dispepsia Gastritis 419. HNR L 51 Dispepsia, Ulkus duodenum
391. LDL P 55 Dispepsia Esofagitis hematemesi
392. MHD P 35 Dispepsia Gastritis s
393. NDN P 55 Dispepsia Gastritis 420. MSL L 33 Dispepsia Gastritis
394. SDG L 70 Dispepsia Ulkus ventrikuli 421. TSC P 79 Dispepsia Keganasan
395. SSD L 30 Dispepsia Gastritis 422. LRS L 44 Dispepsia Esofagitis
396. LBC L 67 Dispepsia Gastritis 423. DMN P 57 Dispepsia Ulkus ventrikuli
397. LSS P 47 Dispepsia Gastritis 424. SJK L 40 Dispepsia Gastritis
398. MJK P 36 Dispepsia Gastritis 425. AWJ L 30 Dispepsia Gastritis
399. WRT P 41 Dispepsia Gastritis 426. STU P 44 Dispepsia Gastritis
400. CMM P 60 Dispepsia Gastritis 427. MST P 65 Dispepsia Gastritis
401. NRU P 47 Dispepsia Gastritis 428. ARJ P 37 Dispepsia Ulkus ventrikuli
402. PWC L 53 Dispepsia Gastritis 429. TES L 66 Dispepsia Gastritis
403. NJN P 41 Dispepsia Gastritis 430. LPM P 71 Dispepsia Gastritis
404. YLN P 27 Dispepsia Gastritis 431. SBN P 29 Dispepsia Gastritis
405. ASN P 62 Dispepsia Gastritis 432. IDA P 33 Dispepsia Gastritis
406. TTL L 65 Dispepsia Gastritis 433. MRA L 32 Dispepsia Gastritis
407. KCC P 45 Dispepsia Gastritis 434. CJF P 56 Dispepsia Gastritis
408. LIN P 33 Dispepsia Gastritis 435. RSM L 51 Dispepsia Gastritis
409. ODI L 18 Dispepsia Gastritis 436. TET L 34 Dispepsia Gastritis
410. SSL P 36 Dispepsia Gastritis 437. CNI P 40 Dispepsia Gastritis
411. NTJ P 39 Dispepsia Ulkus ventrikuli 438. LSM P 58 Dispepsia Ulkus ventrikuli
412. SRN L 40 Dispepsia Gastritis 439. JLA L 17 Dispepsia Gastritis
413. PSP L 48 Dispepsia Gastritis 440. ERS P 39 Dispepsia Gastritis
414. SYD L 70 Dispepsia Gastritis 441. MJD P 66 Dispepsia Gastritis
415. MDS P 50 Dispepsia Gastritis 442. SSA P 57 Dispepsia Gastritis
416. GKR P 51 Dispepsia Gastritis 443. SJD L 58 Dispepsia Gastritis
417. AYL P 53 Dispepsia Gastritis 444. BKC P 65 Dispepsia Gastritis
445. RDY L 55 Dispepsia Gastritis
418. TMO L 68 Dispepsia Gastritis 446. EMA P 33 Dispepsia Gastritis
8
447. SGA L 54 Dispepsia Gastritis 477. SLV P 48 Dispepsia Gastritis
448. SPA P 53 Dispepsia Gastritis 478. ARB L 59 Dispepsia Esofagitis
449. KLM L 55 Dispepsia Ulkus ventrikuli 479. SSN L 51 Dispepsia Gastritis
450. MUN L 58 Dispepsia Keganasan
451. SMR P 71 Dispepsia Gastritis 480. VNN P 15 Dispepsia Gastritis
452. HBT L 31 Dispepsia Gastritis 481. AIE L 42 Dispepsia Gastritis
453. SJM P 34 Dispepsia Gastritis 482. SMA P 53 Dispepsia Gastritis
454. LMT P 69 Dispepsia Keganasan 483. LWG L 60 Dispepsia Gastritis
455. YSF L 69 Dispepsia Ulkus ventrikuli 484. MKS L 60 Dispepsia, Gastropati
456. EHS L 34 Dispepsia Gastritis sirosis hati hipertensi porta
457. DMD P 35 Dispepsia Gastritis 485. RYT L 40 Dispepsia Gastritis
458. TKP L 47 Dispepsia Gastritis 486. LDJ P 57 Dispepsia Esofagitis
459. FRS P 22 Dispepsia Gastritis 487. ENS P 34 Dispepsia Gastritis
460. MRT P 36 Dispepsia Gastroduodenitis 488. FDR L 60 Dispepsia Gastritis
461. RPA P 31 Dispepsia Gastritis 489. STR P 40 Dispepsia Gastritis
462. SYF P 45 Dispepsia Gastritis 490. YLS L 47 Dispepsia Gastritis
463. IYI P 57 Dispepsia Gastritis 491. SRA P 54 Dispepsia Gastritis
464. MHE L 47 Dispepsia Gastritis 492. NNI P 28 Dispepsia Gastritis
465. TKR P 49 Dispepsia Gastritis 493. TWY L 45 Dispepsia Gastritis
466. ANS L 61 Dispepsia Gastritis 494. NVL L 15 Dispepsia Gastritis
467. TTN P 50 Dispepsia Gastritis 495. MRT P 38 Dispepsia Gastritis
468. SPR L 66 Dispepsia Keganasan 496. KSM L 38 Dispepsia Gastritis
469. AAN L 35 Dispepsia Ulkus ventrikuli 497. ASN L 49 Dispepsia Gastritis
470. SAO L 57 Dispepsia Gastritis 498. YLA L 40 Dispepsia Gastritis
471. JHN L 48 Dispepsia Gastritis 499. ENS L 69 Dispepsia Keganasan
472. NRS P 57 Dispepsia Gastritis 500. DNA P 27 Dispepsia Gastritis
473. UNN P 41 Dispepsia Esofagitis 501. MGD P 39 Dispepsia Gastritis
474. NTL P 27 Dispepsia Gastritis 502. SHR P 51 Dispepsia Gastritis
475. RMS P 26 Dispepsia Gastritis 503. SKA P 42 Dispepsia Gastritis
476. MRA P 40 Dispepsia Gastritis 504. LSA P 38 Dispepsia Gastritis
9
505. LSK L 65 Dispepsia Gastritis 535. SDD L 59 Dispepsia Gastritis
506. SAN P 68 Dispepsia Gastritis 536. VCR L 62 Dispepsia Gastritis
507. MRT L 42 Dispepsia Gastritis 537. TDL P 59 Dispepsia Gastritis
508. TRC L 63 Dispepsia Ulkus ventrikuli 538. RRM P 64 Dispepsia Gastritis
509. LCF L 34 Dispepsia Gastritis 539. RGI L 39 Dispepsia Gastritis
510. YND P 34 Dispepsia Gastritis 540. KRS L 40 Dispepsia Gastritis
511. RSI L 36 Dispepsia Gastritis 541. MSS P 44 Dispepsia Gastritis
512. HRD L 53 Dispepsia Gastritis
513. YPT P 42 Dispepsia Gastritis 542. MRT P 45 Dispepsia Gastritis
514. KHJ L 64 Dispepsia Gastroduodenitis 543. SHD L 59 Dispepsia Gastritis
515. SRY P 45 Dispepsia Gastritis 544. LNA P 26 Dispepsia Esofagitis
516. RMN P 50 Dispepsia Gastritis 545. STN P 65 Dispepsia Esofagitis
517. AHD L 30 Dispepsia Gastritis 546. ADM L 16 Dispepsia Gastritis
518. YHN P 57 Dispepsia Gastritis 547. SLN P 32 Dispepsia Gastritis
519. NAK L 18 Dispepsia Gastritis 548. RDG L 26 Dispepsia Gastritis
520. BHR L 64 Dispepsia Gastritis 549. AND L 59 Dispepsia Gastritis
521. THF L 63 Dispepsia Ulkus ventrikuli 550. MGD P 49 Dispepsia Gastritis
522. SRB P 38 Dispepsia Gastritis 551. AGS L 30 Dispepsia Gastritis
523. PTR L 44 Dispepsia Gastritis 552. ALP L 48 Dispepsia Gastritis
524. SPR P 38 Dispepsia Esofagitis 553. SCI L 50 Dispepsia Ulkus ventrikuli
525. YPR L 29 Dispepsia Gastritis 554. RKA P 56 Dispepsia Ulkus ventrikuli
526. HMD L 68 Dispepsia Gastritis 555. HDJ L 74 Dispepsia Ulkus ventrikuli
527. ESA P 37 Dispepsia Gastritis 556. IGA L 34 Dispepsia Gastritis
528. YRI L 57 Dispepsia Gastritis 557. FRM P 53 Dispepsia Gastritis
529. LEL L 59 Dispepsia Ulkus ventrikuli 558. SDH P 61 Dispepsia Gastritis
530. YSS P 20 Dispepsia Gastritis 559. DJE P 63 Dispepsia Gastritis
531. LSN P 39 Dispepsia Keganasan 560. RSD L 37 Dispepsia Gastroduodenitis
532. ANS P 57 Dispepsia Gastritis 561. NMR P 51 Dispepsia Gastritis
533. AGS P 44 Dispepsia Gastritis 562. BDI L 36 Dispepsia Gastritis
534. RMB L 34 Dispepsia Gastritis 563. NIN P 15 Dispepsia Gastritis
10
564. EDY L 40 Dispepsia Gastritis 565. FTM P 58 Dispepsia Gastritis

11
67

Anda mungkin juga menyukai