Anda di halaman 1dari 25

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) merupakan istilah histopatologi yang

digunakan untuk menggambarkan adanya pembesaran prostat. Penyakit prostat

merupakan penyebab yang sering terjadi pada berbagai masalah saluran kemih pada

pria. Insidennya menunjukan peningkatan sesuai dengan umur, terutama mereka yang

berusia 60 tahun. Sebagian besar penyakit prostat menyebabkan pembesaran organ

yang mengakibatkan terjadinya penekanan/pendesakan uretra pars intraprostatik,

keadaan ini menyebabkan gangguan aliran urine, retensi akut dari infeksi traktus

urinarius memerlukan tindakan kateterlisasi segera. Penyebab penting dan sering dari

timbulnya gejala dan tanda ini adalah hiperlasia prostat dan karsinoma prostat (Ropiq,

2013).

Pada banyak pasien dengan usia diatas 50 tahun, kelenjar prostatnya mengalami

pembesaran, memanjang ke atas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin

dengan menutupi orifisium uretra. Kondisi ini dikenal sebagai hiperplasia prostatik

jinak (BPH), pembesaran, atau hipertrofi prostat. BPH adalah kondisi patologis yang

paling umum pada pria lansia dan penyebab kedua yang paling sering untuk

intervensi medis pada pria di atas usia 60 tahun.

1
2

Hormon testosteron adalah masalah yang menyebabkan prostat membesar.

Hormon testosteron adalah hormon reproduksi pria yang memegang peran dalam

meningkatkan gairah seks, libido, serta fungsi imun bagi tubuh pria. Ketika ada

rangsangan seksual, produksi hormon testosteron diubah menjadi hormon

dehidrostestosteron di dalam sel prostat, kemudian zat tersebut bereaksi dengan RNA

di dalam inti sel dan terjadi sintesa protein yang menyebabkan pembesaran prostat.

Bila prostat mengalami pembesaran, maka akan mempersempit atau bahkan

menutup saluran kencing, sehingga air kencing yang seharusnya mudah dikeluarkan

dengan lancar harus dikeluarkan dengan mengejan keras. Tidak heran jika dalam

kondisi ereksi akan terasa sulit buang air kecil, karena saluran kencing mengecil

sementara saluran reproduksi melebar. Dalam kasus berkaitan dengan masalah

reproduksi seperti ini, prostat akan normal kembali setelah tercapainya ejakulasi.

(Samarandana, 2012).

Pembengkakan atau pembesaran yang berlangsung lama, di bagian tengah dari

kelenjar prostat yang mengelilingi saluran kencing adalah suatu gejala yang banyak

diderita oleh kaum pria di atas usia 50 tahun. Pembengkakan prostat yang

berlangsung lama dapat mengarah ke tahap yang lebih serius seperti kanker prostat.

Dipercaya bahwa kanker prostat dapat dicegah dengan cara melakukan aktivitas

seksual regular secara teratur. Ibarat oli sintetik dalam mesin mobil, yang berfungsi

mengikis zat zat yang mengendap pada mesin, demikian juga halnya dengan cairan

dari saluran reproduksi. Diharapkan agar zat-zat yang ada dan mengendap dalam

organ prostat dapat dikeluarkan melalui ejakulasi. Dapat dikatakan bahwa pria yang


3

aktivitas seksualnya tersalurkan dengan baik dan dilakukan secara teratur memiliki

resiko kanker prostat yang sangat kecil (Samarandana, 2012).unner & Suddarth,

2002).Di dunia, pada BPH, insiden meningkat seiring dengan pertambahan umur,

pada usia 45-49 tahun, didapatkan kasus dari 1000 laki-laki, sementara pada usia 75-

79 tahun, insiden meningkat menjadi 38 kasus dari 1000 laki-laki. Adapun

prevalansinya yaitu 2,7% pada usia 45-49 tahun dan 24% pada usia 80 tahun. Akan

tetapi, jika di lihat secara histologi penyakit BPH, secara umum menyerang 20% pria

pada usia 40-an, dan meningkat secara dramatis pada pria berusia 60-an, dan 90%

pada usia 70 tahun (Asritada, 2013).

Menurut cancer incidence statistics (2013) Kanker prostat adalah kanker paling

umum, di Inggris (2010), ditemukan 25% dari semua kasus baru kanker pada laki-

laki, kedua kanker paru-paru dan usus lebih sering terjadi pada laki-laki daripada

kanker prostat, tetapi pada tahun 2008 kanker prostat menjadi kanker yang paling

umum pada pria Inggris. Pada tahun 2010, ada 40.975 kasus baru kanker prostat pada

laki-laki angka kejadian kasar menunjukkan bahwa ada 133,7 kasus kanker prostat

baru untuk setiap 100.000 pria.

Di indonesia, penyakit pembesaran prostat jinak menjadi urutan kedua setelah

penyakit batu saluran kemih, dan jika dilihat secara umumnya, diperkirakan hampir

50 persen pria Indonesia yang berusia di atas 50 tahun, dengan usia harapan hidup

mencapai 65 tahun ditemukan menderita penyakit PPJ atau BPH ini. Selanjutnya, 5

persen pria Indonesia sudah masuk ke dalam lingkungan usia di atas 60 tahun. Jika

dilihat dari 200 juta lebih penduduk indonesia, maka dapat diperkirakan 100 juta
4

adalah pria, dan yang berusia 60 tahun sebanyak 5 juta, secara umumnya diperkirakan

2.5 juta pria Indonesia menderita penyakit BPH atau PPJ ini (Istikomah, 2010).

Suatu penelitian menyebutkan bahwa prevalensi Benigna Prostat Hiperplasia

(BPH) yang bergejala pada pria berusia 40–49 tahun mencapai hampir 15%. Angka

ini meningkat dengan bertambahnya usia, sehingga pada usia 50–59 tahun

prevalensinya mencapai hampir 25% dan pada usia 60 tahun mencapai angka sekitar

43%. Angka kejadian BPH di Indonesia sebagai gambaran hospital prevalensi di dua

Rumah Sakit besar di Jakarta yaitu RSCM dan Sumberwaras selama 3 tahun terdapat

1040 kasus (Istikomah, 2010).

Perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30- 40 tahun.

Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan patologik

anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50 %. Usia 80

tahun sekitar 80% dan usia 90 tahun 100%. Prevalensi meningkat sejalan dengan

peningkatan usia pada pria dan insiden pada negara berkembang meningkat karena

adanya peningkatan umur harapan hidup (Mansjoer, 2010).

Pada tahun 2012 jumlah penemuan kasus BPH Provinsi Sumatera Selatan

adalah 18.165 kasus atau 24,43 %. Pada kasus BPH golongan umur <45tahun

sebanyak 6.403 kasus (35,24%) dan untuk golongan umur 50 tahun sebanyak 10.420

kasus (57,36%) dari seluruh kasus BPH (Tribun Sumsel, 2012).

Berdasarkan data yang diperoleh dari RSUD Dr. Ibnu Sutowo jumlah pasien

bedah tahun 2013 berjumlah 1830 pasien dengan Benigna Prostat Hiperplasi

sebanyak 76 pasien, tahun 2014 berjumlah 1530 pasien Benigna Prostat Hiperplasi
5

sebanyak 80 pasien, tahun 2015 berjumlah 1325 pasien dengan Benigna Prostat

Hiperplasi sebanyak 77 pasien dan pada tahun 2016 Periode Januari-Maret terdapat

979 pasien dengan BPH sebanyak 22 pasien (Rekapitulasi RSUD Ibnu Sutowo, 2016)

Dari latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti tentang

“Faktor-Faktor yang berhubungan dengan kejadian Benigna Prostat Hiperplasi (BPH)

pada Lansia Di Ruang rawat inap Bedah RSUD Dr Ibnu Sutowo Baturaja tahun

2016”

1.2. Rumusan masalah

Diketahuinya Faktor-Faktor yang berhubungan dengan kejadian Benigna

Prostat Hiperplasi (BPH) pada Lansia Di Ruang rawat inap Bedah RSUD Dr Ibnu

Sutowo Baturaja tahun 2016.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Diketahuinya Faktor-Faktor yang berhubungan dengan kejadian Benigna

Prostat Hiperplasi (BPH) pada Lansia Di Ruang rawat inap Bedah RSUD

Dr Ibnu Sutowo Baturaja tahun 2016

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Diketahuinya hubungan Riwayat Penyakit dengan kejadian penderita

Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) pada Lansia Di Ruang rawat inap

Bedah RSUD Dr Ibnu Sutowo Baturaja tahun 2016.


6

2. Diketahuinya hubungan Keturunan dengan kejadian penderita Benigna

Prostat Hiperplasi (BPH) pada Lansia Di Ruang rawat inap Bedah

RSUD Dr Ibnu Sutowo Baturaja tahun 2016.

3. Diketahuinya hubungan konsumsi alkohol dengan kejadian penderita

Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) pada Lansia Di Ruang rawat inap

Bedah RSUD Dr Ibnu Sutowo Baturaja tahun 2016

1.4 Pertanyaan Penelitian

1.4.1 Apakah ada hubungan Riwayat Penyakit dengan kejadian penderita

Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) pada Lansia Di Ruang rawat inap

Bedah RSUD Dr Ibnu Sutowo Baturaja tahun 2016?

1.4.2 Apakah ada hubungan Keturunan terhadap penderita Benigna Prostat

Hiperplasi (BPH) pada Lansia Di Ruang rawat inap Bedah RSUD Dr

Ibnu Sutowo Baturaja tahun 2016?

1.4.3 Apakah ada hubungan konsumsi Alkohol terhadap penderita Benigna

Prostat Hiperplasi (BPH) pada Lansia Di Ruang rawat inap Bedah RSUD

Dr Ibnu Sutowo Baturaja tahun 2016?

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagi RSUD Dr Ibnu Sutowo Baturaja


7

Diharapkan hasil penelitian yang dilakukan dapat menjadi bahan masukan

dalam melakukan pencegahan penyakit Benigna Prostat Hiperplasi (BPH)

sedini mungkin.

1.5.2 Bagi Institusi Pendidikan Al-Ma’arif Baturaja

Bagi institusi pendidikan di harapkan hasil penelitian dapat menjadi

bahan referensi bagi penelitian yang akan datang serta menjadi referensi

bagi mahasiswa dalam proses belajar, sehingga dapat menjadi bahan

pertimbangan untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

1.5.3 Bagi peneliti

Sebagai wadah mengaplikasikan ilmu keperawatan dan metodologi riset

penelitian serta dapat memberikan wacana baru bagi peneliti untuk

melihat fenomena nyata yang ada di lapangan tentang Benigna Prostat

Hiperplasi (BPH).

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini meneliti Faktor-Faktor yang berhubungan dengan kejadian

Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) pada Lansia Di Ruang rawat inap Bedah RSUD Dr

Ibnu Sutowo Baturaja tahun 2016.


8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Benigna Prostat Hiperplasi (BPH)

2.1.1. Definisi

BPH adalah pembesaran atau hypertropi prostat. Kelenjar prostat membesar,

memanjang ke arah depan ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran keluar

urine, dapat menyebabkan hydronefrosis dan hydroureter. Istilah Benigna Prostat

Hipertropi sebenarnya tidaklah tepat karena kelenjar prostat tidaklah membesar atau

hipertropi prostat, tetapi kelenjar-kelenjar periuretralah yang mengalami hiperplasian

(sel-selnya bertambah banyak. Kelenjar-kelenjar prostat sendiri akan terdesak

menjadi gepeng dan disebut kapsul surgical. Maka dalam literatur di benigna

hiperplasia of prostat gland atau adenoma prostat, tetapi hipertropi prostat sudah

umum dipakai (Ropiq, 2013)

Hiperplasi prostat adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara

umum pada pria > 50 tahun) yang menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretra dan

pembiasan aliran urinarius (Nainggolan, 2015).


9

Kesimpulan BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang

disebabkan oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran memanjang

keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi

orifisium uretra. Prostatektomy merupakan tindakan pembedahan bagian prostate

(sebagian/seluruh) yang memotong uretra, bertujuan untuk memeperbaiki aliran urin

dan menghilangkan retensi urinaria akut. 8

2.1.2. Anatomi

Prostat merupakan organ kelenjar fibromuskular yang mengelilingi urethra pars

prostatica. Prostat mempunyai panjang kurang lebih 1 ¼ inci atau 3 cm dan terletak di

antara collum vesicae di atas dan diafragma urogenital di bawah. (Snell, 2006).

Prostat dikelilingi oleh kapsul fibrosa. Di luar kapsul terdapat selubung fibrosa, yang

merupakan bagian lapisan visceral fascia pelvis. Prostat yang berbentuk kerucut

mempunyai basis prostat yang terletak di superior dan berhadapan dengan collum

vesicae dan apex prostatae yang terletak di inferior dan berhadapan dengan

diaphragma urogenitale. Kedua ductus ejaculatorius menembus bagian atas facies

posterior prostatae untuk bermuara ke urethra pars prostatica pada pinggir lateral

utriculus prostaticus (Nadya, 2011).

2.1.3. Etiologi
10

Berdasarkan epidemiologi, terdapat empat faktor yang mungkin mempengaruhi

terjadinya kanker prostat, yaitu genetik, hormon, makanan dan lingkungan, serta

infeksi (Setiowulan, 2010).

Penyebab hiperplasia prostat belum diketahui dengan pasti, ada beberapa

pendapat dan fakta yang menunjukan, ini berasal dan proses yang rumit dari androgen

dan estrogen. Dehidrotestosteron yang berasal dan testosteron dengan bantuan enzim

5-α reduktase diperkirakan sebagai mediator utama pertumbuhan prostat.

2.1.4. Patofisiologi

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika

dan akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan

intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat

guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan

perubahan anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi,

terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini

disebut fase kompensasi.

Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada

saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu

dikenal dengan gejala-gejala prostatismus.

Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam

fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga

terjadi retensi urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke

seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada
11

kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter

atau terjadi refluks vesico-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan

mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam

gagal ginjal (JK.Roar, 2015).

2.1.5. Manifestasi klinis

Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu

obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan

cukup lama dan kuat sehingga mengakibatkan: pancaran miksi melemah, rasa tidak

puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus

mengejan (straining), kencing terputus-putus (intermittency), dan waktu miksi

memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena overflow.

Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau

pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi

walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hiperseniti vitasotot detrusor dengan

tanda dan gejala antara lain:

a. Sering miksi (frekwensi),

b. Terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia),

c. Perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan

d. Nyeri pada saat miksi (disuria) (Yandridangga, 2014).

2.1.6. Epidemiologi
12

Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan

sebelum usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang

lambat dari lahir sampai pubertas, waktu itu ada peningkatan cepat dalam ukuran,

yang kontinu sampai usia akhir 30-an. Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa

mengalami perubahan hiperplasi.

Prevalensi yang pasti di Indonesia belum diketahui tetapi berdasarkan

kepustakaan luar negeri diperkirakan semenjak umur 50 tahun 20%-30% penderita

akan memerlukan pengobatan untuk prostat hiperplasia. Yang jelas prevalensi sangat

tergantung pada golongan umur. Sebenarnya perubahan - perubahan ke arah

terjadinya pembesaran prostat sudah dimulai sejak dini, dimulai pada perubahan-

perubahan mikroskopoik yang kemudian bermanifestasi menjadi kelainan

makroskopik (kelenjar membesar) dan kemudian baru manifes dengan gejala klinik.

Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat

ditemukan pada usia 30 – 40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus

berkembang akan terjadi perubahan patologi anatomi. Pada pria usia 50 tahun angka

kejadiannya sekitar 50%, dan  pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari

angka tersebut diatas akan menyebabkan gejala dan tanda klinik.

2.1.7. Penatalaksanaan Medis

Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam Yandridangga (2014), dalam

penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung pada stadium-stadium dari gambaran

klinisa.
13

a. Stadium I

Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan

pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa, seperti

alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap

keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun

kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama. 

b. Stadium II

Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya

dianjurkan reseksiendoskopi melalui uretra (trans uretra).

c. Stadium III

Pada stadium III reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan

prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam.

Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka.Pembedahan terbuka dapat dilakukan

melalui trans vesika, retropubik dan perineal.

d. Stadium IV

Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari

retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan

pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive

dengan TUR atau pembedahan terbuka. Pada penderita yang keadaan umumnya

tidak memungkinkan dilakukan pembedahan dapat dilakukan pengobatan

konservatif dengan memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa.


14

Pengobatan konservatif adalah dengan memberikan obat anti androgen yang

menekan produksi LH.

2.2. Faktor yang berhubungan dengan BPH (benign prostatic hyperplasia)

2.2.1. Riwayat penyakit

Riwayat keluarga pada penderita BPH dapat meningkatkan risiko terjadinya

kondisi yang sama pada anggota keluarga yang lain. Semakin banyak anggota keluarga

yang mengidap penyakit ini, semakin besar risiko anggota keluarga yang lain untuk dapat

terkena BPH. Bila satu anggota keluarga mengidap penyakit ini, maka risiko meningkat 2

kali bagi yang lain. Bila 2 anggota keluarga, maka risiko meningkat menjadi 2-5 kali.

Dari penelitian terdahulu didapatkan OR sebesar 4,2 (95%, CI 1,7-10,2)

Tidak bisa buang air kecil dengan kateter buli terpasang dialami penderita.

Awalnya penderita susah buang air kecil dialami sejak ±3 bulan sebelum masuk

rumah sakit. Setiap kali mau buang air kecil penderita harus menunggu lama sampai

urinnya keluar. Penderita harus mengedan pada saat buang air kecil dan keluarnya

urine menetes. Penderita buang air kecil terputus-putus dan pancarannya lemah.

Penderita juga mengeluh sering merasa tidak puas setelah buang air kecil dimana

penderita merasa masih ada sisa urine dalam buli-bulinya. Rasa nyeri juga dirasakan

oleh penderita pada perut bagian bawah terutama saat buang air kecil. Penderita tidak

bisa menahan rasa buang air kecil. Pada malam hari buang air kecil lebih dari 4 kali
15

sehingga mengganggu tidur penderita dan pada siang hari buang air kecil biasanya

tiap 1-2 jam. Kencing berdarah tidak ada, kencing bernanah tidak ada, sakit pinggang

tidak ada, panas tidak ada, tidak ada penurunan berat badan, dan BAB biasa.

Penderita mempunyai riwayat pemakaian obat anti tuberkulosis 6 bulan. Penderita

datang ke rumah sakit dengan dirujuk oleh dokter ahli.

2.2.2. Keturunan

Kanker disebabkan oleh suatu proses yang kompleks dan secara jelas masih

belum dipahami mengenai interaksi di antara herediter dan lingkungan. Faktor

genetik menjadi faktor yang menyebabkan kanker prostat, menurut beberapa

penelitian resiko kanker prostat meningkat dari 2% hingga 9%, pada pasien yang

sebelumnya memiliki riwayat keluarga yang menderita penyakit yang sama.

(Theodorescu D,2009).

2.2.3. Konsumsi Alkohol

Umumnya kata alkohol diartikan etanol atau dikenal dengan spirit of wine.

Etanol terbentuk dari fermentasi gula dan memiliki karakteristik tak berwarna, dan

mudah menguap (Schermisty, 2012).

Alkohol adalah salah satu dari sekelompok senyawa organik yang dibentuk dari

hidrokarbon-hidrokarbon oleh pertukaran satu atau lebih gugus hidroksil dengan

atom-atom hidrogen dalam jumlah yang sama; istilah ini meluas untuk berbagai hasil

pertukaran yang bereaksi netral dan mengandung satu atau lebih gugus alkohol
16

Konsumsi alkohol akan menghilangkan kandungan zink dan vitamin B6 yang

penting untuk prostat yang sehat. Zinc sangat penting untuk kelenjar prostat. Prostat

menggunakan zinc 10 kali lipat dibandingkan dengan organ yang lain. Zinc

membantu mengurangi kandungan prolaktin di dalam darah. Prolaktin meningkatkan

penukaran hormon testosteron kepada DHT.

Seperti halnya dengan penyakit jantung koroner (PJK) bahwa alkohol memang

dapat mengurangi risiko untuk mengalami PJK dan BPH tetapi pada mereka yang

mengkonsumsi alkohol dalam jumlah sedikit misalnya 1 unit alkohol per hari,

sedangkan mengkonsumsi alkohol dalam jumlah yang banyak justru menyebabkan

memburuknya kesehatan. Kemungkinan alkohol ini bekerja mengurangi risiko BPH

melalui efeknya mengurangi risiko PJK (Siswoyo, 2010).

2.2.4. Usia

Usia adalah rentang kehidupan yang diukur dengan tahun, umur adalah

lamanya hidup dalam tahun yang dihitung sejak dilahirkan (Harlock, 2004). Usia

adalah usia individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun

Pada usia tua terjadi kelemahan umum termasuk kelemahan pada buli (otot

detrusor) dan penurunan fungsi persarafan. Perubahan karena pengaruh usia tua

menurunkan kemampuan buli-buli dalam mempertahankan aliran urin pada proses

adaptasi oleh adanya obstruksi karena pembesaran prostat, sehingga menimbulkan gejala.

Testis menghasilkan beberapa hormon seks pria, yang secara keseluruhan

dinamakan androgen. Hormon tersebut mencakup testosteron, dihidrotestosteron dan


17

androstenesdion. Testosteron sebagian besar dikonversikan oleh enzim 5-alfa-reduktase

menjadi dihidrotestosteron yang lebih aktif secara fisiologis di jaringan sasaran sebagai

pengatur fungsi ereksi.

Tugas lain testosteron adalah pemacu libido, pertumbuhan otot dan mengatur

deposit kalsium di tulang. Sesuai dengan pertambahan usia, kadar testosteron mulai

menurun secara perlahan pada usia 30 tahun dan turun lebih cepat pada usia 60 tahun

keatas (Amalia, 2008)

2.3. Kajian Terdahulu

Menurut penelitian Amalia , Rizki (2008) di RS Dr. Kariadi, RSI Sultan Agung,

RS Roemani Semarang terhadap 104 responden didapatkan Hasil analisis bivariat

risiko untuk terkena BPH dengan kategori umur ≥ 50 tahun 4,566 kali lebih besar

dibandingkan kategori umur < 50 tahun dan hasil analisis bermakna secara statistik

pada 95% CI : 1,537-13,565 dan nilai p = 0,004.

2.4. Kerangka teori

Dalam penelitian ini, kerangka teori yang digunakan adalah teori yang

dikemukakan oleh Amaelia (2008) dan Siswoyo (2010) yaitu sebagai berikut:
Faktor Resiko yang tidak dapat
diubah
1. Usia
2. Riwayat Keluarga

Faktor Resiko yang dapat diubah


1. Aktifitas Seksual
2. Diabetes melitus Benigna Prostat Hiperplasi
3. Gaya Hidup (BPH)
a. Merokok
b. Minuman Beralkohol
c. Olahraga
18

Faktor Resiko yang dapat diubah


1. Pola makan
a. Kadar lemak jenuh dalam
makana
b. Kurangnya konsumsi
makaanan berserat
BAB III

KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL

DAN HIPOTESA

3.1. Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka teori diatas, untuk penelitian ini dibuat kerangka konsep

penelitian yaitu BPH yang dipengaruhi faktor risiko yang dapat diubah dan faktor

risiko yang tidak dapat diubah. maka kerangka konsep yang merupakan modifikasi

teori tentang BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah sebagai berikut:

Skema. 3.1

Variabel Independen Variabel Dependen

Faktor-faktor yang berhubungan


dengan BPH Benigna Prostat Hiperplasi (BPH)
1. Riwayat Penyakit
2. Keturunan
3. KonsumsiAlkohol

3.2. Definisi Operasional


19

Variabel yang Definisi Pengukuran Skala


No
diteliti Operasional Alat ukur Cara ukur Hasil ukur Ukur
1 BPH (benign pembesaran Checklist Wawancara 1.Ya, apabila Nominal
prostatic progresif dari terdiagnosa BPH
hyperplasia) kelenjar prostat 2.Tidak, apabila
tidak terdiagnosa
18 BPH
2. Riwayat Riwayat Checklist Wawancara 1.Ya, jika didalam Nominal
Penyakit keluarga pada keluarga ada
penderita BPH yang menderita
dapat BPH
meningkatkan 2.Tidak, jika
risiko terjadinya didalam keluarga
kondisi yang tidak ada yang
sama pada menderita BPH
anggota
keluarga yang
lain
3. Keturunan Penyakit BPH Checklist Wawancara 1.Ya, jika Nominal
yang diwariskan responden
dari keluarga menderita BPH
yang menderita yang diwariskan
BPH untuk anak oleh orang
mereka tuannya
2.Tidak , jika
responden tidak
menderita BPH
yang diwariskan
oleh orang
tuannya
4 Konsumsi Riwayat Checklist Wawancara 1.Ya, jika Nominal
20

Alkohol konsumsi responden pernah


alkohol yang mempunyai

pernah di riwayat
mengkonsumsi
alami
alkohol
responden
2.Tidak, jika
responden tidak
pernah
mempunyai
riwayat
mengkonsumsi
alkohol

3.3. Hipotesa

3.3.1 Ada hubungan Riwayat Penyakit dengan kejadian penderita Benigna

Prostat Hiperplasi (BPH) pada Lansia Di Ruang rawat inap Bedah RSUD

Dr Ibnu Sutowo Baturaja tahun 2016.

3.3.2 Ada hubungan Keturunan dengan kejadian penderita Benigna Prostat

Hiperplasi (BPH) pada Lansia Di Ruang rawat inap Bedah RSUD Dr

Ibnu Sutowo Baturaja tahun 2016.

3.3.3 Ada hubungan konsumsi Alkohol dengan kejadian penderita Benigna

Prostat Hiperplasi (BPH) pada Lansia Di Ruang rawat inap Bedah RSUD

Dr Ibnu Sutowo Baturaja tahun 2016


21

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah survey analitik dengan

pendekatan Cross Sectional yang bertujuan untuk menganalisa faktor-faktor

yang berhubungan dengan Benigna Prostat Hiperplasi (BPH).

Survei cross sectional yaitu menguji variabel independen (riwayat

penyakit, keturunan dan konsumsi alkohol) dengan variabel dependen (Benigna

Prostat Hiperplasi (BPH)) dimana data yang didapatkan sekaligus pada saat

bersamaan (Notoatmodjo, 2010).

4.2 Populasi dan Sampel

4.2.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan unit analisis yang karekteristiknya akan

diteliti (Arikunto, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh


22

pasien BPH yang dirawat di Ruang Rawat Inap Bedah RSUD Dr Ibnu

Sutowo Baturaja tahun 2016 sebanyak 22 responden.

4.2.2 Sampel

Sampel adalah sebagian populasi yang ciri-cirinya diselidiki atau diukur.


21
Pengambilan sampel dengan menggunakan metode Acidental Sampling,

yaitu sampel yang diambil pada saat penelitian sebanyak 20 Responden

(Arikunto, 2010).

4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

4.3.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di di Ruang Rawat Inap Bedah RSUD Dr

Ibnu Sutowo Baturaja.

4.3.2 Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2016

4.4 Etika Penelitian

Penelitian ini dilakukan setelah mendapatkan izin dari Direktur RSUD Dr Ibnu

Sutowo Baturaja serta Kepala Ruang Rawat Inap Bedah, penelitian ini juga

dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari responden yang bersedia untuk

diteliti di Ruang Rawat Inap Bedah.

4.5 Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data


23

4.5.1 Teknik Pengumpulan Data

a. Data primer

Data yang dikumpulkan pada saat penelitian dengan wawancara

terhadap responden menggunakan daftar pertanyaan kuesioner dan

untuk pertanyaan tertentu dilakukan observasi.

b. Data sekunder

Data sekunder diperoleh dari pihak-pihak antara lain :

1. Dari Dinas Kesehatan Kabupaten Ogan Komering Ulu

2. Dari RSUD Dr Ibnu Sutowo Baturaja

3. Dari Ruang Rawat Inap Bedah

4.5.2 Instrumen penelitian

Data diperoleh dengan melakukan secara langsung dengan menggunakan

kuesioner.

4.6 Teknik Pengolahan Data dan Analisa Data

4.6.1 Teknik Pengolahan Data

Menurut Notoatmodjo (2010), proses pengolahan data ini melalui tahap-

tahap sebagai berikut:

a. Editing (Pengeditan Data)

Editing adalah merupakan kegiatan untuk pengecekan dan perbaikan

isian formulir atau kuisoner. Apakah semua pertanyaan sudah terisi,

apakah jawaban atau tulisan masing-masing pertanyaan cukup jelas


24

atau terbaca, apakah jawabannya relevan dengan pertanyaannya, dan

apakah jawaban-jawaban pertanyaan konsisten dengan jawaban

pertanyaan lainnya.

b. Coding (Pengkodean)

Setelah melakukan editing, selanjutnya dilakukan peng”kodean” atau

“coding”, yakni mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi

data angka atau bilangan.

c. Data Entry (Pemasukan Data)

Yakni jawaban-jawaban dari masing-masing responden yang dalam

bentuk “kode” (angka atau huruf) dimasukan kedalam program atau

“software” komputer program yang sering digunakan untuk “entri

data” penelitian adalah paket program SPSS for Window.

d. Cleaning Data (Pembersihan Data)

Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden selesai

dimasukkan perlu dicek kembali untuk melihat kemungkinan-

kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode dan ketidak lengkapan,

kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi.

4.6.2 Analisa Data

a. Analisa Univariat
25

Analisis univariat  adalah analisis  yang dilakukan terhadap tiap

variabel dari hasil penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini hanya

menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel

(Notoatmodjo, 2010). Analisis yang telah dianalisis dilakukan dengan

distribusi frekuensi dari tiap-tiap variabel independen dan variabel

dependen

b. Analisa Bivariat

Analisa bivariat merupakan analisis yang dilakukan terhadap dua

variabel yang diduga berubungan atau berkolerasi (Notoatmodjo,

2010). Analisis ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara

variabel independen dengan variabel dependen di analisis dengan

menggunakan uji statistic Chi Square pada derajat kepercayaan 95 %

dengan derajat kemaknaan sebesar 5% atau ρ value 0,05. Dikatakan

hubungan bermakna bila hasil uji, ρ value ≤ 0,05 dan tidak ada

hubungan bernakna bila hasil uji, ρ value > 0,05.

Anda mungkin juga menyukai