Anda di halaman 1dari 18

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN Tn.

T DENGAN
POST OPERASI PROSTATEKTOMY HARI KE-4
DI RUANG DAHLIA RSUD dr. R. GOETENG TAROENADIBRATA
PURBALINGGA

Karya Tulis Ilmiah

Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Guna Menyelesaikan


Pendidikan Program Diploma III Keperawatan
Pada Akademi Keperawatan Serulingmas
Cilacap

Oleh:
Fendi Nurcahyadi
12.059

AKADEMI KEPERAWATAN SERULINGMAS


CILACAP
2015

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah


       Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat non-kanker.
BPH dijumpai pada lebih dari pria berusia diatas 60 tahun.BPH dapat menyebabkan
penekanan pada uretra ditempat uretra menembus prostat sehingga berkemih menjadi sulit,
mengurangi kekuatan aliran urine, atau menyebabkan urine menetes (Corwin, 2009).
Menurut Purnomo (2011) terjadinya BPH hingga saat ini belum diketahui secara pasti, tetapi
beberapa hipotesis menyatakan bahwa BPH erat kaitanya dengan peningkatan
kadardihidrotesteron (DHT) dan proses aging (penuaan).
       Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) dianggap menjadi bagian dari proses penuaan yang
normal. Walaupun demikian, jika menimbulkan gejala yang berat dan tidak segera ditangani
dapat menimbulkan komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita BPH yang dibiarkan
tanpa pengobatan adalah pembentukan batu vesika akibat selalu terdapat sisa urin setelah
buang air kecil, sehingga terjadi pengendapan batu. Bila tekanan intra vesika yang selalu
tinggi tersebut diteruskan ke ureter dan ginjal, akan terjadi hidroureter dan hidronefrosis
yang akan mengakibatkan penurunan fungsi ginjal (Purnomo, 2011).
      Penyebab Pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada kandung kemih atau vesika,
sehingga vesika sering berkontraksi meskipun belum penuh. Apabila vesika menjadi
dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi akan ditemukan sisa urin
didalam kandung kemih. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan
kandung kemih atau vesicolithiasis (Sjamsuhidajat dan Jong 2005).
      Data prevalensi tentang BPH secara mikroskopi dan anatomi sebesar 40% dan 90%
terjadi pada rentang usia 50-60 tahun dan 80-90 tahun (Amalia Riski, 2010). Di Indonesia
BPH merupakan kelainan urologi kedua setelah batu saluran kemih yang dijumpai diklinik
urologi dan diperkirakan 50% ada pria berusia diatas 50 tahun. Angka harapan hidup di
Indonesia, rata-rata mencapai 65 tahun sehingga diperkirakan 2,5 juta laki-laki di Indonesia
menderita BPH (Pakasi, 2009).
      Berdasarkan studi pendidikan di RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga pada
tanggal 17 Februari 2015, di Bangsal Bedah Dahlia, dalam tiga bulan terakhir dari bulan
Desember 2015 sampai Februari 2015di RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga
diperoleh data penderita penyakit Benigna Prostat Hyperplasia(BPH)  yaitu mencapai 30
pasien, terdapat 60% yang menderita BPH rata-rata penderita berusia 50 tahun keatas dan
berjenis kelamin laki-laki, dan dari 50% penderita harus dilakukan operasi.
      Pada pasien BPH biasanya terjadi obstruksi pada prostat hiperplasi. Untuk
menghilangkan adanya obstruksi pada prostat hiperplasi, maka perlu dilakukan terapi berupa
medikamentosa, pembedahan, atau tindakan endourologi lain yang kurang invasif. Akan
tetapi sampai saat ini tindakan terbaik untuk menyelesaikan masalah pada pasien BPH adalah
dengan tindakan operasi atau prostatektomi (Haryono, 2013).
      Tindakan operasi memungkinkan sekali munculnya masalah kesehatan diantaranya
seperti perubahan rasa nyaman nyeri, cemas karena adanya perubahan fungsi tubuh, aktifitas
seksual terganggu, serta muncul masalah infeksi. Dalam hal ini peran perawat adalah dapat
membantu klien dalam memenuhi kebutuhan post operasi (Brunner & Suddarth).
      Dari latar belakang diatas dengan permasalahan yang ada dan banyaknya kasus BPH yang
terjadi, maka penulis tertarik untuk mengambil judul Karya Tulis Ilmiah yaitu “ Asuhan
Keperawatan Pada Tn. T dengan Post Prostatektomy” sebagai kasus kelolaan.
B.       Rumusan masalah
       Bagaimana Asuhan Keperawatan pada pasien Tn. T dengan Benigna Prostat hyperplasia
(BPH) post operasi prostatectomy Hari ke-4 di Ruang RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata
Purbalingga?

C.      Tujuan Penulisan


1.         Tujuan umum 
      Mampu mengelola dan mengaplikasikan tentang Asuhan Keperawatan Pada Tn. T dengan
BPH Post Operasi Prostatektomy Di Ruang Dahlia RSUD Purbalingga.
2.         Tujun khusus
Adapun tujuan khusus yang ingin di capai adalah penulis mampu :
a.    Melakukan pengkajian keperawatan pada Tn. T dengan BPH Post Operasi Prostatektomy Di
Ruang Dahlia RSUD Purbalingga.
b.    Melakukan analisa data pada Tn. T dengan BPH Post Operasi Prostatektomy Di Ruang
Dahlia RSUD Purbalingga.
c.    Merumuskan diagnosa keperawatan pada Asuhan Keperawatan PadaTn. T dengan BPHPost
Operasi Prostatektomy Di Ruang Dahlia RSUD Purbalingga.
d.   Merumuskan intervensiKeperawatan PadaTn. T dengan BPHPost Operasi Prostatektomy Di
Ruang Dahlia RSUD Purbalingga.
e.    Melakukan atau melaksanakan tindakan  keperawatan pada Tn. T dengan BPH Post Operasi
Prostatektomy Di Ruang Dahlia RSUD Purbalingga.
f.     Melakukan evaluasi keperawatan yang telah di lakukan  padaTn. T dengan BPHPost
Operasi Prostatektomy Di Ruang Dahlia RSUD Purbalingga.
g.    Mendokumentasikan Asuhan Keperawatan Pada Tn. T dengan BPHPost Operasi
Prostatektomy Di Ruang Dahlia RSUD Purbalingga.
D.      Manfaat Penulisan
1.    Bagi Rumah Sakit RSUD Purbalingga
Sebagai salah satubahan informasi mengenai Asuhan Keperawatanpada pasienBenigna
Prostat Hyperplasiapost operasi prostatektomydi RSUD dr. Goeteng Taroenadibrata
Purbalingga.
2.    Bagi institusi pendidikan Akper Serulingmas
Sebagai media untuk peningkatan dan mendalami pengetahuan mengenai khususnya pasien
BPH post operasi prostatektomy.
3.    Bagi Mahasiswa
Untuk menambah pengetahuan tentang proses keperawatan dengan kasus BPH post operasi
prostaktektomy.
E.       Sistematika Penulisan
     Penulisan agar bisa memperhatikan gambaran yang lebih jelas mengenai penyusunan
proposal, maka penulisan menguraikan sebagai berikut:
BAB 1 PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
B.     Rumusan Masalah
C.     Tujuan Penulisan
D.    Manfaat Penulisan
E.     Sistematika Penulisan
BAB II TINJAUAN TEORI
A.    Definisi
B.     Etiologi
C.     Manifestasi Klinis
D.    Patifisiologi
E.     Pathway
F.      Pemeriksaan Penunjang
G.    Komplikasi
H.    Penatalaksanaan
1.      Medis
2.      Keperawatan
3.      Diagnosa keperawatan
4.      Fokus Intervensi
BAB III  TINJAUAN KASUS
A.      Pengkajian
B.       Diagnosa Keperawatan
C.       Intervensi Keperawatan
D.      Implementasi Keperawatan
E.       Evaluasi Keperawatan
BAB IV   PEMBAHASAN KASUS
A.    Pengkajian
B.       Diagnosa, Intervensi, implementasi dan evaluasi Keperawatan
BAB V PENUTUP
A.    Kesimpulan
B.       Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB II
KONSEP DASAR

A.      Definisi
       Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) adalah kondisi patologis yang paling umum pada
pria lansia dan penyebab kedua yang paling sering untuk intervensi medis pada pria di atas
usia 60 tahun (Brunner & Suddart, 2012).
Benigna Prostatic Hyperplasia atau BPH adalah masalah umum pada system genitourinary
pada pria dewasa yang ditunjukan dengan adanya peningkatan jumlah sel-sel epitel dan
jaringan stoma didalam kelenjar prostat (Andre, Terrence & Eugene, 2011).
       Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat non-kanker.
BPH dijumpai pada lebih dari pria berusia diatas 60 tahun.BPH dapat menyebabkan
penekanan pada uretra ditempat uretra menembus prostat sehingga berkemih menjadi sulit,
mengurangi kekuatan aliran urine, atau menyebabkan urine menetes (Corwin, 2009).
Jadi dapat disimpulkan Benigna Prostat Hyperplasia adalah suatu penyakit degeneratif
pembesaran kelenjar prostat yang penyebabnya belum jelas sampai saat ini dan  biasanya
menyerang pria usia lanjut diatas 50 tahun.
B.       Etiologi
Penyebab hyperplasia prostat jinak tidak diketahui. Namun, penuaan dan faktor
keseimbangan hormonal jelas penting. Walaupun mekanisme yang tepat belum diketahui
secara jelas. Peningkatan ukuran prostat seiring pertambahan usia dijumpai pada otopsi dan
timbulnya gejala berkaitan dengan usia. Data dari studi-studi otopsi memperlihatkan bukti
patologis hiperplasia prostat jinak pada kurang dari 10% pria usia 30an, 40% pria berusia
50an, lebih dari 70% pria berusia 60an, dan hampir 90% pria berusia 80an (McPhee &
Ganong, 2011).
      Penyebab khusus benigna prostat hyperplasia belum diketahui secara pasti, bebrapa
hipotesis menyatakan ada 2 faktor yang mempengaruhi yaitu peningkatan kadar testosterone
atau DHT dan proses penuaan (Nursalam & Fransisca, 2009).
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pastietiologi/penyebab terjadinya BPH,
namun beberapa hipotesisimenyebutkan bahwa BPH eratkaitanya dengan peningkatan
kadardehidrotestosteron (DHT) dan proses menua. Terdapat perubahanmikroskopik pada
prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bilaperubahan mikroskopik ini berkembang,
akan terjadi perubahan patologikanatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka
kejadiannya sekitar50%, untuk usia 80 tahun angka kejadianya sekitar 80%, dan usia 90
tahunsekiatr 100% (Purnomo, 2011)
Etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesayang diduga menjadi
penyebab timbulnya Benigna Prosat, teori penyebabBPH menurut Purnomo (2011) meliputi,
Teori Dehidrotestosteron (DHT),teori hormon (ketidakseimbangan antara estrogen dan
testosteron), factor interaksi stroma dan epitel-epitel, teori berkurangnya kematian
sel(apoptosis), teori sel stem.
1.      Teori Dehidrotestosteron (DHT)
      Dehidrotestosteron/ DHT adalah metabolit androgen yang sangatpenting pada
pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Aksis hipofisistestis dan reduksi testosteron menjadi
dehidrotestosteron (DHT)dalam sel prostad merupakan factor terjadinya penetrasi
DHTkedalam inti sel yang dapat menyebabkan inskripsi pada RNA,sehingga dapat
menyebabkan terjadinya sintesis protein yangmenstimulasi pertumbuhan sel prostat. Pada
berbagai penelitiandikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda
dengankadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzimalfa –reduktase
dan jumlah reseptor androgen lebih banyak padaBPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat
pada BPH lebih sensitiveterhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak
terjadidibandingkan dengan prostat normal.
2.      Teori hormone ( ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron)
      Pada usia yang semakin tua, terjadi penurunan kadar testosterone sedangkan kadar
estrogen relative tetap, sehingga terjadi perbandingan antara kadar estrogen dan testosterone
relative meningkat. Hormon estrogen didalam prostat memiliki peranan dalam terjadinya
poliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan
menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Meskipun rangsangan terbentuknya
sel-sel baru akibat rangsangan testosterone meningkat, tetapi sel-sel prostat telah ada
mempunyai umur yang lebih panjang sehingga masa prostat jadi lebih besar.
3.      Faktor interaksi Stroma dan epitel epitel
      Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-
sel stroma melalui suatu mediator yang disebut Growth factor. Setelah sel-sel stroma
mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth
factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri intrakrin dan autokrin, serta
mempengaruhi sel-sel epitel parakrin.Stimulasi itu menyebabkan terjadinya poliferasi sel-sel
epitel maupun sel stroma.Basic Fibroblast Growth Factor (bFGF) dapat menstimulasi sel
stroma dan ditemukan dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran
prostad jinak.bFGF dapat diakibatkan oleh adanya mikrotrauma karena miksi, ejakulasi atau
infeksi.
4.      Teori berkurangnya kematian sel (apoptosis)
      Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik untuk
mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi kondensasi dan
fragmentasi sel, yang selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh
sel-sel di sekitarnya, kemudian didegradasi oleh enzim lisosom. Pada jaringan normal,
terdapat keseimbangan antara laju poliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi
pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru
dengan yang mati dalam keadaan seimbang.Berkurangnya jumlah sel-sel prostat baru dengan
prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan
menjadi meningkat, sehingga terjadi pertambahan masa prostat.
5.      Teori sel stem
      Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel baru. Didalam kelenjar
prostat istilah ini dikenal dengan suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai kemampuan
berpoliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormone
androgen, sehingga jika hormone androgen kadarnya menurun, akan terjadi apoptosis.
Terjadinya poliferasi sel-sel BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem
sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.
C.      Manifestasi Klinis
      Untuk preoperasi prostatektomi gejala yang muncul menurut Mansjoer, (2000) : yang
biasa dikenal sebagai Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS)dibedakan menjadi gejala
iritatif dan obstruktif.
      Gejala iritatif ysitu sering miksi (frekuensi), terbangun untuk miksi pada malam hari
(nokturia), perasaan ingin miksi yang sangat mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi
(disuria). Sedangkan gejala obstruksi adalah pancaran melemah, rasa tidak lampias sehabis
miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitansi), harus mengedan (straining),
kencing terputus-putus (intermittency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi
retensio urin dan inkontinen karena overflow. Kadang-kadang tanpa sebab yang diketahui,
penderita sama sekali tidak dapat berkemih sehingga harus dikeluarkan dengan kateter, selain
gejala-gejala diatas oleh karena air kemih selalu terasa dalam kandung kemih, maka mudah
sekali terjadi cytitis dan selanjutnya kerusakan ginjal yaitu hydroneprosis, pyelonefritis.
      Tanda dan gejala pada pasien yang telah lanjut penyakitnya yaitu gagal ginjal,
peningkatan tekanandarah denyut nadi, respirasi. Tanda dan gejala dapat dilihat dari
stadiumnya:
1.    Stadium I
Ada obstruksi tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis, sisa
volume urin <50 ml, pemeriksaan colok dubur terdapat penonjolan prostat.
2.    Stadium II
a.    Ada retensi urine tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine walaupun tidak
sampai habis, masih tersisi 50-150 cc.
b.    Ada rasa tidak enak pada waktu BAK (disuria).
c.    Nokturia.
3.    Stadium III
           Urine selalu tersisa 150 cc atau lebih.
4.    Stadium IV
      Retensi Urine total buli-buli penuh, pasien kesakitan, urine menetes secar periodik.
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemihmaupun keluhan diluar
saluran kemih. Menurut Purnomo (2011) dan tandadan gejala dari BPH yaitu : keluhan pada
saluran kemih bagian bawah, gejala pada saluran kemih bagian atas, dan gejala di luar saluran
kemih.
1.      Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
a.       Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahandikandung kemih sehingga urin tidak
bisa keluar), hesitansi(sulit memulai miksi), pancaran miksi lemah, Intermiten(kencing
terputus-putus), dan miksi tidak puas (menetes setelahmiksi)
b.      Gejala iritasi meliputi : Frekuensi, nokturia, urgensi (perasaaningin miksi yang sangat
mendesak) dan disuria (nyeri pada saatmiksi).
2.      Gejala pada saluran kemih bagian atas
      Keluhan akibat hiperplasi prostat pada sluran kemih bagianatas berupa adanya gejala
obstruksi, seperti nyeri pinggang,benjolan dipinggang (merupakan tanda dari hidronefrosis),
ataudemam yang merupakan tanda infeksi atau urosepsis.
3.      Gejala diluar saluran kemih
      Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit herniainguinalis atau
hemoroid.Timbulnya penyakit ini dikarenakansering mengejan pada saan miksi sehingga
mengakibatkan tekananintraabdominal. Adapun gejala dan tanda lain yang tampak
padapasien BPH, pada pemeriksaan prostat didapati membesar,kemerahan, dan tidak nyeri
tekan, keletihan, anoreksia, mual danmuntah, rasa tidak nyaman pada epigastrik, dan gagal
ginjal dapatterjadi dengan retensi kronis dan volume residual yang besar.
D.      Patofisiologi
      Hiperplasi prostat adalah pertumbuhan nodul-nodulfibroadenomatosa majemuk dalam
prostat, pertumbuhan tersebut dimulaidari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas
dan tumbuhdengan menekan kelenjar normal yang tersisa.Jaringan hiperplastikterutama
terdiri dari kelenjar dengan stroma fibrosa dan otot polos yangjumlahnya berbeda-beda.
Proses pembesaran prostad terjadi secaraperlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran
kemih juga terjadisecara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaranprostad,
resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostad meningkat,serta otot destrusor menebal dan
merenggang sehingga timbul sakulasiatau divertikel. Fase penebalan destrusor disebut fase
kompensasi, keadaan berlanjut, maka destrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi/terjadidekompensasi sehingga terjadi
retensi urin. Pasien tidak bias mengosongkan vesika urinaria dengan sempurna, maka akan
terjadi statisurin. Urin yang statis akan menjadi alkalin dan media yang baik
untukpertumbuhan bakteri ( Baradero, dkk 2007).
Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapatmengakibatkan aliran urin
tidak deras dan sesudah berkemih masih adaurin yang menetes, kencing terputus-putus
(intermiten), dengan adanyaobstruksi maka pasien mengalami kesulitan untuk memulai
berkemih(hesitansi).Gejala iritasi juga menyertai obstruksi urin. Vesikaurinarianya
mengalami iritasi dari urin yang tertahan tertahan didalamnya sehingga pasien merasa bahwa
vesika urinarianya tidak menjadi kosongsetelah berkemih yang mengakibatkan interval
disetiap berkemih lebihpendek (nokturia dan frekuensi), dengan adanya gejala iritasi
pasienmengalami perasaan ingin berkemih yang mendesak atau urgensi dan nyerisaat
berkemih atau disuria (Purnomo, 2011).
Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter danobstruksi, akan terjadi
inkontinensia paradoks. Retensi kronikmenyebabkan refluk vesiko ureter, hidroureter,
hidronefrosis dan gagalginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada
waktumiksi penderita harus mengejan sehingga lama kelamaan menyebabkanhernia atau
hemoroid.Karena selalu terdapat sisa urin, dapatmenyebabkan terbentuknya batu endapan
didalam kandung kemih.Batuini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan
hematuria. Batutersebut dapat juga menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluk akan
mengakibatkan pielonefritis (Sjamsuhidajat dan Dejong, 2005).
E.      Pemeriksaan Penunjang
      Menurut Mansjoer (2000), dan Rendi & Margareth (2012), ada beberapa pemeriksaan
yang harus dilakukan untuk pasien Benigna prostat hyperplasia yaitu:
1.    Pemeriksaan Laboratorium
a.    Analisis Urine pemeriksaan mikroskopis urine untuk melihat adanya lekosit, bakteri dan
infeksi.
b.    Elektrolit, kadar ureum, kreatinin darah untuk fungsi ginjal dan status metabolic.m
c.    Pemeriksaan PSA (Prostat Spesifik Antigen) dilakukan sebagai dasar penentuan paknya
biopsi atau sebagai deteksi dari keganasan.
d.   Darah lengkap.
e.    Leukosit.
Menurut AY. Sutedjo (2008), peningkatan jumlah lekosit (lekositosis) menunjukan adanya
proses infeksi atau radang akut, dapat juga terjadi pada miokard infark, sirosis hepatis, luka
bakar, dan stress karena pembedahan maupun gangguan emosi.
f.     Blooding time.
g.    Liver fungsi.
2.    Pemeriksaan Radiologi
a.    Foto polos abdomen.
b.    Prelograf intravena.
c.    USG.
d.   Sistoskopi.
3.    Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini:
a.    Rectal Gradding
Dilakukan pada waktu vesika urine kosong;
1)        Grade 0: Penonjolan prostat 0 – 1cm ke dalam rectum.
2)        Grade 1: Penonjolan prostat 1 – 2cm ke dalam rectum.
3)        Grade 2: Penonjolan prostat 2 – 3cm ke dalam rectum.

4)        Grade 3: Penonjolan prostat 3 – 4cm ke dalam rectum.


5)        Grade 4: Penonjolan prostat 4 – 5cm ke dalam rectum.
b.    Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, di suruh kencing dulu
kemudian dipasang kateter.
1)        Normal            : Tidak ada sisa.
2)        Grade I            : Sisa 0 -50 cc.
3)        Grade II : Sisa 50 – 150 cc.
4)        Grade III : Sisa > 150 cc.
5)        Grade IV : Pasien sama sekali tidak bisa kencing.
c.    Intra Uretral Grading
Dengan alat perindoskope dengan diukur/dilihat beberapa jauh penonjolan lobus lateral
kedalam lumen uretra:
1)        Grade I
Clinical grading sejak berbulan-bulan, bertahun-tahun, mengeluh kalo kencing tidak lancar,
pancaran lemah, nokturia.
2)        Grade II
Bila miksi terasa panas, sakit disuria.
3)        Grade III
Gejala makin berat.
4)        Grade IV
Buli-buli penuh, disuria, overflow inkontinence. Bila overflow inkontinence dibiarkan
dengan adanya infeksi dapat terjadi urosepsis berat. Pasien menggigil, panas 40-40º celcius,
kesadaran menurun.
F.       Komplikasi
             Komplikasi yang muncul menurut Rendi & Margareth (2012), sebagai berikut:
Jika tidak dilakukan pembedahan:
1.         Urinary traktus infection.
2.         Retensi urin akut.
3.         Obstruksi dengan dilatasi uretra, dan hydronefrosis
4.         Gangguan fungsi ginjal
5.         Batu kandungkemih
6.         Hematuria.
7.         Hernia atau hemoroid.
Setelah dilakukan pembedahan:
1.         Impotensi (kerusakan nevron pudendes).
2.         Hemoragic pasca bedah.
3.         Fistula.
4.         Striktur pasca bedah.
5.         Inkontinensia urin.
6.         Disfungsi seksual.
G.      Penatalaksanaan Medis
      Penatalaksanaan pada pasien dengan BPH menurut Haryono (2013) dapat di lakukan
dengan :
1.         Terapi medikamentosa
a.       Penghambat adrenergik  a, misalnya prazosin, doxazosin, alfluzosin atau a 1a (tamsulosin).
b.      Penghambat enzim 5-a-reduktase, misalnya finasteride (poscar).
c.       Fitoterapi, misalnya eviprostat
2.         Terapi bedah: waktu penanganan untuk tiappasien bervariasi tergantung beratnya gejala
dan   komplikasi. Indikasi terapi bedah, yaitu:
a.       Retensio urin berulang.
b.      Hematuria.
c.       Tanda penurunan fungsi ginjal.
d.      Infeksi saluran kencing.
e.       tanda-tanda obstruksi berat yaitu divertikal, hidroureter, dan hidronefrosis.

      Menurut wijaya (2013) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH antara lain adalah :
1.    Observasi
      Biasanya dilakukan pada dengan keluhan ringan, nasehat yangdiberikan yaitu mengurangi
minum setelah makan malam untuk mengurangi nokturia, mengurangi minum kopi dan tidak
diperbolehkan minum alcohol supaya tidak selalu sering miksi. Setiap 3 bulan dilakukan
control keluhan, sisa kencingatau pemeriksaan colok dubur.
2.      Terapi medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk:
a.       Mengurangi retensio otot polos prostate sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi
infravescia dengan obat-obatan penghambat adrenalgik alfa.
b.      Mengurangi volume prostate sebagai komponen static dengan cara menurunkan kadar
hormon testosterone atau dihidrotestosteron (DHT) melalui penghambat 5 a-redukstase.
1)      Penghambat enzim
      Obat yang dipakai adalah finasteride dengan dosis 1x5 mg/hari, obat golongan ini dapat
menghambat pembentukan dehate sehingga prostate dapat membesar akan mengecil. Tetapi
obat ini bekerja lebih lambat daripada golongan bloker dan manfaatnya hanya jelas pada
prostate yang sangat besar.Salah satu efek samping obat ini adalah melemahkan libido,
ginekomastio, dan dapat menurunkan nilai PSA.
2)      Filoterapi
      Pengobatan filoterapi yang ada di Indonesia yaitu Eviprostat.Efeknya diharapkan terjadi
setelah pemberian selama 1-2 bulan.
3)      Terapi bedah
      Waktu penanganan untuk tiap klien bervariasi tergantung beratnya gejala dan komplikasi,
indikasi untuk terapi bedah yaitu retensio urine berulang, hematuria, tanda penurunan fungsi
ginjal,     infeksi saluran kemih berulang, ada batu saluran kemih. Karena pembedahan tidak
mengobati penyebab BPH, maka biasanya penyakit ini akan timbul kembali 8-10 tahun
kemudian.
4)      Terapi  invasive minimal
a)      Trans uretral microlowafe termoterapi (TUMT)
      Jenis pengobatan ini hanya dapat dilakukan dibeberapa rumah sakit besar.dilakukan
pemanasan prostate dengan gelombang micro yang disalurkan ke kelenjar prostate melalui
suatu trans duser yang diletakan di uretra pars prostatika.
b)      High intensity Focused Ultrasound (HIFU)
      Energi panas yang ditunjukan untuk menumbulkan nekrosis pada prostate berasal dari
gelombang ultrasonografi dari transduser piezokeramik yang mempunyai frekuensi 0 . 5- 10
MHz. energi yang dipancarkan melalui alat yang diletakan transrektal dan difokuskan
kekelenjar prostate. Teknik ini memerlukan anestesi umum.Data klinis menunjukan terjadi
perbaikan gejala klinis 50-60% dan Q    rata-rata meningkat 40-50%.Efek lebih lanjut dari
tindakan belum diketahui, dan sementara tercatat bahwa kegagalan terapi sebanyak 10%
setiap tahun.Meskipun sudah banyak modalitas yang telah ditemukan untuk mengobati
pembesaran prostate, sampai saat ini terapi yang memberikan hasil paling memuaskan adalah
TUR prostate.
c)      Transurethral Neddle Ablation of The Prostate (TUNA)
      Ablasi jarum Trans Suretra memakai energy dari frekuensi radio yang menimbulkan
panas sampai 100 C sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostate.sistem ini terdiri atas
kateter tuna yang dihubungkan dengan generator yang dapat membangkitkan energi pada
frekuensi radio 490 kHz. Kateter dimasukan kedalam uretra melalui sistoskopi dengan
pemberian anestesi topical xylocaine sehingga jarum yang terletak pada ujung kateter terletak
pada kelenjar prostate.
d)     Sent Prostate
      Sent prostate dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi karena
pembesaran prostate.Stent dipasang intraluminal diantara leher buli-buli dan disebelah
proksimal verumontanum sehingga urine dapat leluasa melewati lumen uretra
prostatuka.Stent dapat dipasang secara temporal atau permanen.Pemasangan alat ini
diperuntukan bagi pasien yang tidak mungkin menjalani operasi karena risiko pembedahan
yang cukup tinggi.
      Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH dapat
dilakukan dengan:
1.    Observasi
      Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi kopi, hindari
alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok dubur.
2.    Medikamentosa
a.    Mengharnbat adrenoreseptor α.
b.    Obat anti androgen.
c.    Penghambat enzim α -2 reduktase.
d.   Fisioterapi.
3.    Terapi Bedah
       Prostatektomy merupakan tindakan pembedahan bagian prostate  (sebagian/seluruh)
yang memotong uretra, bertujuan untuk memperbaiki aliran urin dan menghilangkan retensi
urinaria akut.
      Dalam pemilihan prosedur pembedahan prostatektomy bergantung pada: ukuran kelenjar,
keparahan obstruksi, usia pasien, kondisi pasien, adanya penyakit yang menyertai. Dan
indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan fungsi ginjal, infeksi
saluran kemih berulang, divertikel batu saluran kemih, hidroureter, hidronefrosis,  jenis
pembedahanprostatektomymenurut Mansjoer (2000):
a.    Trans Uretral Resection Prostatectomy (TURP) yaitu mengangkat jaringan dengan
instrumen yang dimasukkan uretra. Ini adalah prosedur yang paling umum dan dapat
dilakukan melalui endoskopi. Instrumen bedah dan optikal ( sitoskopi atau resektoskop)
dimasukkan secara langsung melalui uretra ke dalam prostat, yang kemudian dapat dilihat
secara langsung. Kelenjar diangkat dalam irisan kecil dengan loop pemotong listrik. Prosedur
ini tidak memerlukan insisi dan digunakan kelenjar dalam ukuran yang beragam dan ideal
bagi pasien yang mempunyai kelenjar kecil dan yang dipertimbangkan mempunyai resiko
bedah yang buruk.
Keuntungan Reseksi Trans Uretra Prostat :
1)        Menghindari insisi abdomen lebih aman bagi pasien berisiko bedah.
2)        Hospitalisasi dan periode pemulihan lebih singkat.
3)        Angka morbilitas lebih rendah.
4)        Menimbulkan sedikit nyeri.
Kerugian Reseksi Trans Uretra Prostat :
1)        Membutuhkan dokter bedah yang ahli.
2)        Pendarahan lama dapat terjadi.
b.    Prostatektomi Suprapubis yaitu salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi
abdomen. Suatu insisi dibuat ke dalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas.
Pembedahan ini dapat digunakan untuk kelenjar dengan segala ukuran.
Keuntungan Pembedahan Prostatektomi Suprapubis:
1)        Secara teknis sederhana.
2)        Memberikan area eksplorasi yang lebih luas.
3)        Memungkinkan eksplorasi untuk nodus limfe kankeroses.
4)        Memungkinkan pengobatan lesi kandung kemih yang berkaitan.
Kerugian Pembedahan Prostatektomi Suprapubis:
1)        Membutuhkan pembedahan melalui kandung kemih.
2)        Kontrol hemorragi sulit.
3)        Urine bisa bocor di sekitar tuba suprapubis.
4)        Pemulihan mungkin lama dan tidak nyaman.
c.    Prostatektomi retropubis yaitu teknik lain dan lebih umum dibanding pembedahan
suprapubik. Dokter bedah membuat insisi abdomen rendah mendekati kelenjar prostat yaitu
antar arkuspubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih.
Keuntungan pembedahan retropubik:
1)        Menghindari insisi ke dalam kandung kemih.
2)        Memungkinkan dokter bedah untuk melihat dan mengontrol pembedahan.
3)        Periode pemulihan lebih singkat.
4)        Kerusakan sfingter kandung kemih lebih sedikit.
Kerugian pembedahan retropubik  :
1)         Tidak dapat mengobati kandung kemih yang berkaitan.
2)         Insiden hemoragi akibat pleksus venosa prostat meningkat.
d.   Prostatektomi Peritoneal yaitu mengangkat kelenjar melalui insisi dalam perineum.
Pembedahan ini lebih praktis ketika pembedahan lainya tidak memungkinkan dan sangat 
berguna  untuk biopsi terbuka. Pada periode pasca operatif luka bedah mudah terkontaminasi
karena insisi dilakukan dekat dengan rektum lebih jauh lagi inkontinensia, impotensi, atau
cedera rektal lebih mungkin menjadi komplikasi.
Keuntungan pembedahan  Perineal:
1)        Memungkinkan drainase oleh bantuan gravitasi.
2)        Efektif untuk terapi kanker radikal.
3)        Memungkinkan hemostatik dibawah penglihatan langsung.
4)        Angka mortalitas rendah.
5)        Insiden syok lebih rendah.
6)        Ideal bagi pasien dengan prostat yang besar, resiko bedah buruk, pasien sangat tua dan
ringkih.
Kerugian pembedahan Perineal:
1)        Insiden impotensi dan inkontinensia urine pasca operatif tinggi.
2)        Kemungkinan kerusakan pada rektum dan sfingter eksternal.
3)        Potensi terhadap infeksi lebih besar.
e.    Prostatektomi retropubis radikal yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula,
vesikula seminalis dan jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada abdomen bagian
bawah, uretra dianastomosiskan ke leher kandung kemih pada kanker prostat.
4.    Terapi Invasif Minimal
a.    Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)Yaitu pemasangan prostat dengan
gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang
melalui/pada ujung kateter.
b.    Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP).
c.    Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD).
d.    Ablasi Jarum Transuretra.
H.      Penatalaksanaan Keperawatan
1.    Pengkajian
      Pengkajian pada pasien BPH dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan. Menurut
Doenges (2000) fokus pengkajian pasien dengan BPH adalah sebagai berikut :
a.    Sirkulasi
Pada kasus BPH sering dijumpai adanya;. Penurunan tekanan darah; peningkatan nadi sering
dijumpai pada. kasus postoperasi BPH yang terjadi karena kekurangan volume cairan.
b.    Integritas Ego
Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya karena
memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang dapat dilihat dari tanda-tanda
seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku.

c.    Eliminasi
      Pada kasus postoperasi BPH terjadi gangguan eliminasi yang terjadi karena tindakan
invasif serta prosedur pembedahan sehingga perlu adanya obervasi drainase kateter untuk
mengetahui adanya perdarahan dengan mengevaluasi warna urin. Evaluasi warna urin, contoh
: merah terang dengan bekuan darah, perdarahan dengan tidak ada bekuan, peningkatan
viskositas, warna keruh, gelap dengan bekuan. Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga
ada kemugkinan terjadinya konstipasi. Makanan dan cairan. Terganggunya sistem pemasukan
makan dan cairan yaitu karena efek penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun
efek dari anastesi pada postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual, muntah,
penurunan berat badan, tindakan yang perlu dikaji adalah awasi masukan dan pengeluaran
baik cairan maupun nutrisinya.
d.   Nyeri dan kenyamanan
      Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan dasar yang utama.
Karena menghindari nyeri merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Pada pasien
postoperasi biasanya ditemukan adanya nyeri suprapubik, pinggul tajam dan kuat, nyeri
punggung bawah.
e.    Keselamatan/ keamanan
      Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH faktor keselamatan tidak luput dari
pengkajian perawat karena hal ini sangat penting untuk menghindari segala jenis tuntutan
akibat kelalaian paramedik, tindakan yang perlu dilakukan adalah kaji adanya tanda-tanda
infeksi saluran perkemihan seperti adanya demam (pada preoperasi), sedang pada postoperasi
perlu adanya inspeksi balutan dan juga adanya tanda-tanda infeksi baik pada luka bedah
maupun pada saluran perkemihannya.

f.     Seksualitas
      Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang mengalami masalah
tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksualnya, takut inkontinensia/menetes selama
hubungan intim, penurunan kekuatan kontraksi saat ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri
tekan pada prostat.
g.    Laboratorium
      Pemeriksaan laboratorium diperlukan pada pasien preoperasi maupun postoperasi BPH.
Pada preoperasi perlu dikaji, antara lain urin analisa, kultur urin, urologi, urin,
BUN/kreatinin, asam fosfat serum, (SDP) sel darah putih. Sedangkan pada postoperasinya
perlu dikaji kadar hemoglobin dan hematokrit karena imbas dari perdarahan. Dan kadar
leukosit untuk mengetahui ada tidaknya infeksi.
2.    Diagnosa keperawatan
      Diagnosa keperawatan yang muncul dari hasil pengkajian sebagai berikut:
a.    Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri (fisik, biologi, kimia, psikologis).
b.    Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi mekanikal, bekuan darah,
oedema, trauma prosedur bedah, hilang tonus kandung kemih sehubungan dengan distensi
berlebihan pra operasi atau dekompresi kontinue.
c.    Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan terpajan/mengingat, salah interpretasi, informasi, dan
mengenal sumber informasi.
d.   Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan penyimpangan yang mempengaruhi
jalan masuk, asupan atau absorpsi cairan.
e.    Resiko infeksi berhubungan dengan faktor prosedur invasif.
f.     Kurang perawatan diri : personal higyene berhubungan dengan keletihan pasca operasi dan
nyeri.
g.    Resiko tinggi terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan fungsi dari struktur tubuh.
h.    Ketidakseimbanga nutrisi kurang kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
ketidakmampuan pemasukan atau mencerna makanan atau mengabsorbsi zat-zat gizi
berhubungan dengan faktor biologis, psikologis atau ekonomi.
3.    Fokus intervensi
a.    Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri (fisik, biologi, kimia, psikologis).
      Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri berkurang bahkan
hilang, dengan kriteria hasil:
1)        Pasien mengenal factor penyebab.
2)        Dapat menggunakan tindakan pencegahan.
3)        Pasien mengungkapkan perasaan nyaman berkurangnya nyeri.
4)        Dapat menggunakan tindakan non analgetik.
5)        Dapat menggunakan analgetik yang tepat.
Intervensi keperawatan:
1)        Kaji secara menyeluruh tentang nyeri termasuk lokasi, durasi, frekuensi, intensitas, dan
factor penyebab.
2)        Observasi isyarat non verbal dari ketidak nyamanan terutana jika tidak dapat
berkomunikasi secara efektif.
3)        Berikan analgetik dengan cepat.
4)        Berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa lama akan berakhir dan
antisipasi ketidak nyamanan dari prosedur.
5)        Ajarkan teknik non farmakologi.
b.    Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi mekanikal, bekuan darah,
oedema, trauma prosedur bedah, hilang tonus kandung kemih sehubungan dengan distensi
berlebihan pra operasi atau dekompresi kontinue.
      Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapakan tidak ada lagi perubahan
eliminasi urin, dengan kriteria hasil:
1)        Pasien mempertahankan keseimbangan cairan; cairan sebanding dengan haluaran.
2)        Pasien mengatakan peningkatan rasa nyaman.
3)        Pasien menyatakan pemahaman tentang penanganan.
4)        Komplikasi dapat dihindari atau diminimalkan.
Intervensi keperawatan:
1)        Observasi pola berkemih pasien. Dokumentasikan warna dan karakteristik urine, asupan
dan haluaran, dan berat badan pasien setiap hari.
2)        Berikan perawatan yang tepat untuk kondisi perkemihan pasien; pantau kemajuannya.
3)        Observasi kebiasaan defekasi pasien.
4)        Jelaskan alasan terapi dan efek yang diharapkan untuk meningkatkan pemahaman pasien
dan membangun rasa percaya kepada pemberi asuhan.
5)        Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan dan keluhan tentang masalah perkemihan.
c.    Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan terpajan/mengingat, salah interpretasi, informasi, dan
mengenal sumber informasi.
      Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kurang pengetahuan tidak
terjadi, dengan kriteria hasil:
1)        Pasien mengkomunikasikan semua keperluan yang diketahui.
2)        Pasien menyatakan atau mendemonstrasikan pemahaman tentang apa yang telah diajarkan.
3)        Pasien mendemonstrasikan kemampuan untuk melakukan perilaku baru berhubungan
dengan kesehatan sesuai yang diajarkan.
4)        Pasien menyatakan maksud untuk melakukan perubahan yang diperlukan dari profesional
kesehatan bila diperlukan.
Intervensi keperawatan:
1)        Tumbuhkan sikap saling percaya dan perhatian untuk meningkatkan pembelajaran.
2)        Negosiasi dengan pasien tentang usaha mengembangkan tujuan pembelajaran.
3)        Pilih strategi pembelajaran (diskusi, demonstrasi, bermain peran, materi visual) yang tepat
untuk gaya pembelajaran secara individual untuk meningkatkan keefektifan pengajaran.
4)        Ajarkan keterampilan yang pasien harus masukkan ke dalam gaya hidup sehari-hari.
5)        Masukkan  keterampilan yang dipelajari pasien ke dalam rutinitas sehari-hari selama
hospitalisasi.
6)        Berikan nama dan nomor telepon sumber-sumber orang atau organisasi kepada pasien
untuk menunjang kontinuitas perawatan dan tindak lanjut setelah pemulangan.
d.   Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan pasca operasi.
      Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kebutuhan cairan dan
elektrolit terpenuhi, dengan kriteria hasil:
1)        Mempertahankan urin output sesuai dengan usia
2)        Tekanan darah, nadi, suhu, tubuh dalam batas normal.
3)        Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, elastisitas turgor kulit baik.
4)        Membran mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan.
Intervensi keperawatan:
1)        Pertahankan catatan intake dan output yang akurat.
2)        Monitor status hidrasi (kelembaban membrane mukosa, nadi adekuat).
3)        Monitor vital sign.
4)        Monitor cairan atau makanan dan hitung intake kalori harian.
5)        Kolaborasikan pemberian cairan IV.
6)        Masukan oral.
e.    Resiko infeksi berhubungan dengan peningkatan paparan lingkungan (adanya media masuk)
terhadap pathogen.
      Tujuan: setelah dilakuakn tindakan keperawatan diharapakan tidak muncul tanda-tanda
infeksi, dengan kriteria hasil :
1)        Mengukur tanda dan gejala yang mengindikasikan infeksi tidak ada.
2)        Pasien dan keluarga berpartisipasi dalam perawtan kesehatan.
3)        Mampu mengidentifikasi potensial resiko.
Intervensi keperawatan :
1)        Deskripsikan proses penyakit dengan tepat.
2)        Sediakan informasi tentang kondisi pasien.
3)        Diskusikan perawatan yang akan dilakukan.
4)        Gambarkan tanda dan gejala penyakit.
5)        Instruksikan pasien untuk melaporkan kepada perawat untuk melaporkan tentang tanda dan
gejala yang diharapkan.
f.     Kurang perawatan diri : personal higyene berhubungan dengan keletihan pasca operasi dan
nyeri.
      Tujuan: Setelah dilakukan tidakan keperawatan diharapkan klien dapat melakukan
perawatan diri, dengan kriteria hasil:
1)        Dapat makan secara mandiri.
2)        Dapat berpakaian secara mandiri.
3)        Dapat toileting secara mandiri.
4)        Tubuh terawat.
5)        Kebersihan diri bagus.
6)        Oral hygiene mandiri.
Intervensi keperawatan:
1)        Pantau kemampuan klien untuk melakukan perawatan diri secara mandiri.
2)        Pantau kebutuhan klien untuk penyesuaian penggunaan alat untuk personal hygiene,
toileting, dan makan.
3)        Sediakan barang-barang yang diper;ukan klien, seperti deodoran, sabun mandi, sikat gigi
dll.
4)        Kolaborasi dengan keluarga untuk menyediakan bantuan hingga klien dapat melakukan
perawatan pribadi secara penuh.
5)        Dorong klien untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-harinya sesuai tingkat
kemampuan.
6)        Pertimbangkan umur klien ketika memperkenalkan aktivitas perawatan diri.
g.    Resiko tinggi terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan fungsi dari struktur tubuh.
      Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan disfungsi seksual tidak
terjadi, dengan kriteria hasil:
1)        Pasien mengakui adanya masalah atau kemungkinan masalah dalam fungsi seksual.
2)        Pasien menyatakan perasaan mengenai perubahan seksual.
3)        Pasien mengungkapkan pemahaman mengenai penyebab disfungsi seksual.
4)        Pasien mengungkapkan keinginan untuk mendapatkan konseling.
5)        Pasien menghidupkan kembali aktivitas seksual seperti sebelum sakit.
Intervensi keperawatan:
1)        Sediakan lingkungan yang tidak mengancam, dan dorong pasien untuk bertanya tentang
kesulitan pribadi.
2)        Berikan kesempatan pasien untuk menungkapkan perasaan secara terbuka dalam
lingkungan yang tidak mengancam.
3)        Berikan jawaban untuk pertanyaan khusus.
4)        Berikan waktu untuk privasi  untuk menunjukkan respek kepada pasien, memberikan
waktu untuk introspeksi dan memberi pasien kontrol waktu untuk berinteraksi dengan orang
lain.
5)        Anjurlan pasien untuk mendiskusikan keluhannya dengan suami/istri atau pasangan.
6)        Sarankan rujukan ke konselor seksual atau profesi terkait lainnya dalam mendapatkan
panduan selanjutnya untuk memberikan sumber-sumber penunjang kelanjutan terapi bagi
pasien.
h.    Ketidakseimbangan nutrisi kurang kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
ketidakmampuan pemasukan atau mencerna makanan atau mengabsorbsi zat-zat gizi
berhubungan dengan faktor biologis, psikologis atau ekonomi.
      Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nutrisi seimbang tercukupi,
dengan kriteria hasil:
1)        Pasien tidak lagi menunjukkan bukti penurunan berat badan.
2)        Berat badan pasien bertambah minimal kg setiap minggu.
3)        Pasien makan mandiri tanpa didorong.
4)        Pasien dan anggota keluarga atau pasangan mengkomunikasikan pemahaman kebutuhan
diit khusus.
Intervensi keperawatan:
1)        Beri kesempatan pasien mendiskusikan alasan untuk tidak makan untuk membantu
mengkaji penyebab gangguan makan.
2)        Tentuka makanan kesukaan pasien dan usahakan untuk mendapatkan makanan tersebut.
3)        Tawarkan makanan tinggi protein, tinggi kalori.
4)        Sajikan makanan yang membutuhkan  sedikit dikerat atau dikunyah untuk membantu
mencegah malingering pada saat makan.
5)        Ciptakan lingkungan yang menyenangkan pada waktu makan untuk meningkatkan nafsu
makan pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Andre, Terrence & Eugene. 2011. Case Files Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta : Karisma Publishing
Group.

Baradero, dkk. 2007. Patologi Umum Dan Sistematik Edisi 2. Jakarata:EGC


Basler, Joseph. 2011. Bladder Stone. Medscape Reference. Error! Hyperlink
reference not valid. diakses tanggal 12 Juni 2015.

Brunner & suddart. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarat: EGC

Corwin, E. J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC

Doenges, M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman Untuk Perencanaan Dan
Pendokumentasian Perawatan PasienEdisi 3. Jakarta: EGC
Eur J. Anaesthesiol. 2008. The Prevalence of Post Operative Pain in a Sample
of 1490 Surgial in Patients. Pubmed.gov. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ pubmed/18053314
diakses tanggal 12Juni 2015.

Haryono, Rudy. 2013. Keperawatan Medikal Bedah: Sistem perkemihan. Yogyakarta: Rapha
Publishing
Hidayat, A. Aziz Alimul. 2008. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi
Konsep dan Proses Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia.2009. Informasi Spesialite Obat (ISO)Indonesia. Jakarta: PT.
ISFI.

Jitowiyono S, W Kristiyanasi. 2012. Asuhan Keperawatan Post Operasi dengan


Pendekatan Nanda NIC, NOC. Yogyakarta: Nuha Medika.
Judha, Mohamad dkk.2012. Teori Pengukuran Nyeri dan Nyeri Persalinan.
Yogyakarta: Nuha Medika.

Mansjoer, arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta:EGC

McPhee &Ganong. 2011. Patologi Penyakit, Pengantar Menuju Kedokteran Klinis. Jakarta:EGC

NANDA, 2011.Diagnosis Kperawatan Patofisiologi dan Pathway. Jakarta: EGC

Nursalam & Fransisca. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta : Salemba Medik

Anda mungkin juga menyukai