Anda di halaman 1dari 40

PROPOSAL SKRIPSI

EFEKTIVITAS BLADDER TRAINING TERHADAP


RETENSI URIN PADA PASIEN POST OPERASI BPH
DI RUANG CEMPAKA RSUD PASAR REBO DKI JAKARTA

OWIK HARIAWAN
NIM. 201613023

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN JAYAKARTA


PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
JAKARTA
2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat

yang dapat menyebabkan uretra pars prostatika dan menyebabkan terhambatnya

aliran urine keluar dari buli-buli (Basuki B Purnomo,2008). Hiperplasia prostat

jinak (BPH) adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat , bersifat jinak

disebabkan oleh hypertrophi beberapa atau semua komponen prostat yang

mengakibatkan penyumbatan uretrapars prostatika. (Arif mutakin dan kumala

sari, 2011).

Pembesaran kelenjar prostat ini merupakan salah satu masalah genitourinari

yang prevalensi dan insidennya meningkat seiring dengan bertambahnya usia.

Angka kejadian BPH diketahui terjadi pada 70 persen pria berusia 60-69 tahun di

Amerika Serikat dan 80 persen pada pria berusia 70 tahun ke atas. Insiden BPH

diperkirakan akan meningkat mencapai 20 persen pada pria berusia 65 tahun ke

atas atau mencapai 20 juta pria pada tahun 2030 (Parsons, 2010). Tahun 2013 di

Indonesia terdapat 9,2 juta kasus BPH, di antaranya diderita oleh laki-laki berusia

di atas 60 tahun. (Adelia, 2017).

Penyakit pembesaran prostat di Indonesia menjadi urutan kedua setelah

penyakit batu saluran kemih di tahun 2005, jika dilihat secara umum diperkirakan

hampir 50% pria di Indonesia yang berusia diatas 50 tahun mengalami penyakit

pembesaran prostat ( Hamawi, 2010).


Data di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 10-12 juta orang dewasa

mengalami inkontinensia urine. Penduduk dunia sekitar 200 juta mengalami

inkontinensia urin (Data dari WHO, dalam Collein, 2012). Penderita

inkontinensia mencapai 13 juta dengan 85% diantaranya perempuan di Amerika

Serikat. Sekitar 50% usia lanjut diinstalasi perawatan kronis dan 11–30%

dimasyarakat mengalami inkontinensia urine. Prevalensinya meningkat seiring

dengan peningkatan umur. Perempuan lebih sering mengalami inkontinensia urine

dari pada laki–laki dengan Perbandingan1,5 : 1. (Yuliana, 2011).

Menurut data WHO (2013), diperkirakan terdapat sekitar 70 juta kasus

degeneratif, salah satunya ialah BPH, dengan insidensi di negara maju sebanyak

19%, sedangkan di negara berkembang sebanyak 5.35% kasus. Berbagai upaya

telah dilakukan untuk menangani kasus ini.

Komplikasi yang sering dialami oleh para penderita BPH yang sudah cukup

parah adalah adanya keluhan BAK macet atau retensi, terasa panas dan perasaan

tidak tuntas saat BAK Penanganan BPH dapat dilakukan dengan berbagai cara

antara lain watch full waiting, medikamentosa, dan tindakan pembedahan.

Transurethral resection prostate (TURP) menjadi salah satu tindakan

pembedahan yang paling umum dilakukan untuk mengatasi pembesaran prostat.

Kasus BPH ini salah satu penanganannya adalah dengan prosedur

pembedahan yang biasa disebut dengan prosedur TURP (Transurethral Resection

of the Prostate). Efek dari tindakan operasi ini adalah keluhan BAK kemerahan

dan terjadi retensi urin yang sering terjadi karena adanya cloth yang menyumbat

di saluran kemih. Retensi urin adalah ketidakmampuan dalam mengeluarkan urine

sesuai dengan keinginan, sehingga urine yang terkumpul di buli-buli melampaui


batas maksimal.

Penyempitan pada lumen uretra adalah salah satu penyebabnya karena fibrosis

pada dindingnya, disebut dengan striktur uretra. Penanganan kuratif penyakit ini

adalah dengan operasi, namun tidak jarang beberapa teknik operasi dapat

menimbulkan rekurensi penyakit yang tinggi bagi pasien (Purnomo, 2011).

Upaya perawatan post operasi yang dilakukan untuk mengatasi retensi urin

adalah dengan tindakan bladder training. Bladder training adalah salah satu

upaya untuk mengembalikan fungsi kandung kencing yang mengalami gangguan

kedalam keadaan normal atau fungsi optimal neurogenik. Bladder training

merupakan salah satu terapi yang efektif diantara terapi nonfarmakologis (Syafar,

2011). Latihan ini dilakukan dengan cara menahan atau menunda kencing pada

pasien yang terpasang kateter.

Efektivitas Bladder training juga telah di sampaikan oleh Dadi Santosa

(2015) menyatakan bahwa kombinasi latihan bladder training dan muscle pelvic

exercise ternyata efektif dalam perbaiki fungsi eliminasi kemih pada pasien BPH

pasca operasi TVP (Trans Vesika Prostatectomy).

Penelitian yang dilakukan oleh Friska Hinora (2014) menyebutkan bahwa

bladder training dapat meningkatkan kemampuan berkemih pada pasien retensi

urin yang terpasang kateter. Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian

yang dilakukan oleh Wahyu Hidayati, (2011) menjelaskan bahwa terdapat

pengaruh latihan bladder training terhadap penurunan jumlah residu urin pada

pasien stroke yang terpasang kateter urin. Data Rekam Medis RSUD Pasar Rebo

Jakarta bulan Januari-Juli tahun 2018 berjumlah 86 pasien.

Berdasarkan hasil wawancara terhadap enam pasien post operasi BPH, dua
orang pasien mengatakan setelah kondisi membaik dan selang kecing dilepas,

mereka mengatakan BAK awalnya masih terasa agak panas hingga akhirnya BAK

lancar seperti biasanya. Empat orang pasien mengatakan setelah pulang dari

rumah sakit, mereka mengeluhkan BAK macet dan terasa sakit sehingga mereka

kembali dipasang selang kencing . Tindakan perawat yang diambil pada saat

kejadian seperti ini biasanya adalah dengan memasang selang kencing kembali

dan melakukan spoel Nacl 0,9% untuk melancarkan saluran kemih bila ada

sumbatan. Berdasarkan hasil konfirmasi dari bidang keperawatan RSUD Pasar

Rebo, sampai saat ini belum membuat SOP (Standar Operasional Prosedur )

tentang latihan bladder training ini.

Berdasarkan permasalahan data - data data diatas maka peneliti tertarik

untuk melakukan penelitian yang berjudul “ Efektivitas Bladder Training

terhadap retensi urin pada pasien post operasi BPH di Ruang Cempaka RSUD

Pasar Rebo

B. Rumusan Masalah

Pembesaran kelenjar prostat / BPH adalah salah satu masalah genitourinari

yang cukup serius bila tidak segera ditangani dengan tepat. Faktor resiko

terjadinya BPH antara lain faktor penuaan, obesitas, usia, riwayat

keluargameningkatnya kadar kolesterol darah, pola makan tinggi lemak hewani,

olah raga, merokok, minuman beralkohol, penyakit Diabetes Mellitus dan

aktifitas seksual. BPH memiliki beberapa komplikasi diantaranya BAK macet,

terasa panas dan tidak tuntas saat BAK.

Penanganan yang dapat dilakukan pada BPH ini salah satunya adalah
dengan prosedur operasi yang biasa disebut dengan TURP. Kondisi yang

mungkin terjadi setelah operasi TURP ini adalah biasa terjadi retensi urin yang

terjadi setelah selang kencing dilepas. Tindakan mandiri perawat yang dapat

dilakukan untuk mengatasi keluhan tersebut adalah dengan pemberian latihan

bladder training guna mengurangi resiko retensi urin post operasi BPH.

Berdasarkan uraian rumusan masalah tersebut, peneliti dapat merumuskan

permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah efektivitas bladder

training terhadap retensi urin pada pasien post operasi BPH di Ruang Cempaka

RSUD Pasar Rebo

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas

bladder training terhadap retensi urin pada pasien post operasi BPH di

Ruang Cempaka RSUD Pasar Rebo.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini antara lain untuk:

a. Mengidentifikasi karakteristik responden berdasarkan umur dan

tingkat retensi urin.

b. Mengidentifikasi perbedaan tingkat retensi urin pada kelompok

perlakuan pasien post operasi BPH di ruang Cempaka RSUD Pasar

Rebo.

c. Mengidentifikasi perbedaan tingkat retensi urin pada kelompok

kontrol penelitian pada pasien post operasi BPH di ruang Cempaka


RSUD Pasar Rebo.

d. Menganalisa pengaruh bladder training terhadap retensi urin pada

pasien post operasi BPH di Ruang ruang Cempaka RSUD Pasar Rebo.

D. Manfaat penelitian bagi Rumah Sakit / masyarakat

1. Bagi pasien / masyarakat.

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam mengurangi resiko

retensi urin dan meningkatkan kenyamanan serta kepuasan pada pasien

yang dirawat di rumah sakit dengan post operasi BPH .

2. Bagi perawat atau rumah sakit RSUD Pasar Rebo.

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi panduan dalam bekerja terutama

dalam melakukan tindakan bladder training dan sebagai acuan dalam

membuat SOP (Standar Operasional Prosedur) khusunya dalam teknik

Bladder training yang tepat pada pasien post operasi BPH .

3. Manfaat bagi institusi pendidikan.

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber literatur untuk materi

pembelajaran dan juga berguna untuk menambah pengetahuan dan

wawasan khususnya tentang pengaruh bladder training terhadap retensi

urin pada pasien post operasi BPH .

4. Manfaat bagi penelitian lain.

Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi sumber data untuk

memotivasi pelaksanaan penelitian yang lebih baik di waktu yang akan

datang.

5. Manfaat bagi peneliti.


Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengalaman dan pengetahuan

dalam hal efektivitas bladder training terhadap retensi urin pada pasien

post operasi BPH.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Benigna Prostat Hipertofi (BPH)

1. Pengertian BPH
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat yang

dapat menyebabkan uretra pars prostatika dan menyebabkan terhambatnya

aliran urine keluar dari buli-buli(Basuki B Purnomo,2008).

Hiperplasia prostat jinak (BPH)adalah pembesanan prostat yang jinak

bervariasi berupa hiperplasia kelenjar atau hiperplasia fibromuskular.

Namun orang sering menyebutnya dengan hipertropi prostat namun

secarahistologi yang dominan adalah hyperplasia (Sabiston, David

C,2008).

Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesaran progresif dari

kelenjar prostat , bersifat jinak disebabkan oleh hypertrophi beberapa atau

semua komponen prostat yang mengakibatkan penyumbatan uretra pars

prostatika (Arif mutakin dan kumala sari, 2011).

Benign prostate hyperplasia adalah diagnosis histologikal, yaitu

proliferasi jaringan ikat, otot polos, dan epitel kelenjar pada zona transisi

prostat yang tidak terkendali. Secara klinis BPH didiagnosis ketika terjadi

obstruksi saluran kemih yang diakibatkan oleh pembesaran prostat

(Vuichoud & Loughlin, 2015).


2. Gejala dan Tanda

Gejala BPH dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu gejala

obstruktif dan gejala iritatif :

a. Gejala obstruktif meliputi hesitancy, pancaran BAK lemah (loss of

force), pancaran BAK terputus-putus (intermitency), tidak tuntas saat

selesai berkemih (sense of residual urine), rasa ingin BAK lagi

sesudah BAK (double voiding) dan keluarnya sisa BAK pada akhir

berkemih (terminal dribbling).

b. Gejala iritatif adalah frekuensi BAK yang tidak normal (polakisuria),

terbangun di tengah malam karena sering BAK (nocturia), sulit

menahan BAK (urgency), dan rasa sakit waktu BAK (disuria), kadang

juga terjadi BAK berdarah (hematuria).

c. Tanda

Tanda klinis terpenting BPH adalah ditemukannya pembesaran

konsistensi kenyal pada pemeriksaan colok dubur / digital rectal

examination (DRE). Hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan apabila

teraba indurasi atau terdapat bagian yang teraba keras, perlu dipikirkan

kemungkinan prostat stadium 1 dan 2.

3. Klasifikasi BPH

Berdasarkan perkembangan penyakitnya secara klinis penyakit BPH

dibagi menjadi 4 gradiasi :

a. Derajat 1 : Ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur

ditemukan penonjolan prostat, batas atas mudah teraba dan sisa urin
kurang dari 50 ml.

b. Derajat 2 : Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok dubur

dan batas atas dapat dicapai, sedangkan sisa volum urin 50- 100 ml.

c. Derajat 3: Saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas prostat

tidak dapat diraba dan sisa volum urin lebih dari 100ml.

d. Derajat 4 : Sudah terjadi retensi urine total

4. Etiologi

Etiologi atau penyebab terjadinya BPH hingga saat ini belum diketahui

secara pasti, namun beberapa hipotesisi menyebutkan bahwa BPH erat

kaitanya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses

menua. Terdapat perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada

pria usia 30-40 tahun. Perubahan mikroskopik ini berkembang, akan

terjadi perubahan patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan

angka kejadiannya sekitar 50%, untuk usia 80 tahun angka kejadianya

sekitar 80%, dan usia 90 tahun sekitar 100% (Purnomo, 2011)

Etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang

diduga menjadi penyebab timbulnya Benigna Prosat. Teori tentang

penyebab BPH meliputi: Teori Dehidrotestosteron (DHT), teori hormon

(ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron), faktor interaksi

stroma dan epitel-epitel, teori berkurangnya kematian sel (apoptosis), teori

sel stem (Purnomo, 2011).

a) Teori Dehidrotestosteron (DHT)

Dehidrotestosteron (DHT) adalah metabolit androgen yang sangat

penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Aksis hipofisis


testis dan reduksi testosteron menjadi dehidrotestosteron (DHT)

dalam sel prostad merupakan factor terjadinya penetrasi DHT

kedalam inti sel yang dapat menyebabkan inskripsi pada RNA,

sehingga dapat menyebabkan terjadinya sintesis protein yang

menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai penelitian

dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda dengan

kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim

5alfa –reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada

BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitive

terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi

dibandingkan dengan prostat normal (Purnomo, 2011).

b) Teori hormon ( ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron)

Usia yang semakin tua, menyebabkan terjadinya penurunan kadar

testosteron sedangkan kadar estrogen relative tetap, sehingga terjadi

perbandingan antara kadar estrogen dan testosterone relatif meningkat.

Hormon estrogen didalam prostat memiliki peranan dalam terjadinya

poliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan jumlah

reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat

(apoptosis). Rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan

testosterone meningkat, akan menyebabkan sel-sel prostat yang telah

ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga masa prostat jadi

lebih besar (Purnomo, 2011).

c) Faktor interaksi Stroma dan epitel epitel.

Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung


dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator yang disebut

Growth factor. DHT dan estradiol menstimulasi sel-sel stroma setelah

itu sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya

mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri intrakrin dan autokrin, serta

mempengaruhi sel-sel epitel parakrin. Stimulasi itu menyebabkan

terjadinya poliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma. Basic Fibroblast

Growth Factor (bFGF) dapat menstimulasi sel stroma dan ditemukan

dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran

prostad jinak. bFGF dapat diakibatkan oleh adanya mikrotrauma

karena miksi, ejakulasi atau infeksi (Purnomo, 2011).

d) Teori berkurangnya kematian sel (apoptosis)

Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme

fisiologik untuk mempertahankan homeostatis kelenjar prostat.

Kondensasi dan fragmentasi sel terjadi pada apoptosis ini, yang

selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel-

sel di sekitarnya, kemudian didegradasi oleh enzim lisosom. Terdapat

keseimbangan antara laju poliferasi sel dengan kematian sel pada jaringan

normal. Pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa terjadi,

penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan

seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat baru dengan prostat yang

mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara

keseluruhan menjadi meningkat, sehingga terjadi pertambahan masa

prostat (Purnomo, 2011).

e) Teori sel stem


Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel baru.

Istilah tersebut di dalam kelenjar prostat dikenal dengan suatu sel stem

yaitu sel yang mempunyai kemampuan berpoliferasi sangat ekstensif.

Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormone androgen,

sehingga jika hormone androgen kadarnya menurun, akan terjadi

apoptosis. Terjadinya poliferasi sel-sel BPH dipostulasikan sebagai

ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang

berlebihan sel stroma maupun sel epitel (Purnomo, 2011).

5. Patofisiologi

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra

prostatika dan menghambat aliran urine (Purnomo, 2011). Keadaan ini

menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Buli-buli harus

berkontraksi lebih kuat dalam mengeluarkan urin guna melawan tahanan

itu. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik

buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula,

sakula, dan divertikel buli-buli. Perubahan struktur pada bulu-buli tersebut

dikeluhkan pasien pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary

tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus.

Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-

buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara

ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter

atau terjadi refluks vesiko ureter. Keadaan keadaan ini jIka berlangsung

terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya


dapat jatuh ke dalam gagal ginjal (Purnomo, 2011).

7. Penatalaksanaan.

a. Observasi

Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Pasien dianjurkan

untuk mengurangi minum setelah makan malam yang ditujukan agar tidak

terjadi nokturia, menghindari obat-obat dekongestan (parasimpatolitik),

mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar

tidak terlalu sering BAK. Pasien dianjurkan untuk menghindari

mengangkat barang yang berat agar perdarahan dapat dicegah. Ajurkan

pasien agar sering mengosongkan kandung kemih (jangan menahan BAK

terlalu lama) untuk menghindari distensi kandung kemih dan hipertrofi

kandung kemih. Secara periodik pasien dianjurkan untuk melakukan

kontrol keluhan, pemeriksaan laboratorium, sisa kencing dan pemeriksaan

colok dubur (IAUI, 2015). Pemeriksaan derajat obstruksi prostat dapat

diperkirakan dengan mengukur residual urin dan pancaran urin:

b. Residual urin.

Adalah jumlah sisa urin setelah BAK. Sisa urin dapat diukur dengan cara

melakukan kateterisasi setelah BAK atau ditentukan dengan pemeriksaan

USG setelah miksi.

c. Pancaran urin (flow rate).

Dapat dihitung dengan cara menghitung jumlah urin dibagi dengan

lamanya BAK berlangsung (ml/detik) atau dengan alat urofometri yang

menyajikan gambaran grafik pancaran urin.


d. Terapi medikamentosa

Tujuan dari obat-obat yang diberikan pada penderita BPH adalah :

1) Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi

untuk mengurangi tekanan pada uretra

2) Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan

alfa blocker (penghambat alfa adrenergenik).

8. Pembedahan.

a. Pembedahan terbuka, beberapa teknik operasi prostatektomi

terbuka yang biasa digunakan adalah :

1) Prostatektomi suprapubik adalah salah satu metode mengangkat

kelenjar melalui insisi abdomen.

2) Prostatektomi perineal adalah suatu tindakan dengan mengangkat

kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum.

3) Prostatektomi retropubik adalah tindakan lain yang dapat

dilakukan, dengan cara insisi abdomen rendah mendekati kelenjar

prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa

memasuki kandung kemih.

b. Pembedahan endourologi, pembedahan endourologi transurethral

dapat dilakukan dengan memakai tenaga elektrik diantaranya:

1) Transurethral Prostatic Resection (TURP) merupakan tindakan


operasi yang paling banyak dilakukan, reseksi kelenjar prostat
dilakukan dengan transuretra menggunakan cairan irigan
(pembilas) agar daerah yang akan dioperasi tidak tertutup darah.
2) Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)adalah tindakan ini
dilakukan apabila volume prostat tidak terlalu besar atau prostat
fibrotic.
c. Terapi invasive minimal

Terapai invasive minimal dilakukan pada pasien dengan resiko tinggi

terhadap tindakan pembedahan. Terapi invasive minimal diantaranya

Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT), Transuretral

Ballon Dilatation (TUBD), ransuretral Needle Ablation/Ablasi jarum

Transuretra (TUNA), Pemasangan stent uretra atau prostatcatt

(Purnomo, 2011).

1) Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT), jenis

pengobatan ini hanya dapat dilakukan di beberapa rumah sakit

besar. Dilakukan dengan cara pemanasan prostat menggunakan

gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui

transducer yang diletakkan di uretra pars prostatika, yang

diharapkan jaringan prostat menjadi lembek. Alat yang dipakai antara lain

prostat.

2) Transuretral Ballon Dilatation (TUBD), pada tehnik ini dilakukan

dilatasi (pelebaran) saluran kemih yang berada di prostat dengan

menggunakan balon yang dimasukkan melalui kateter. Teknik ini

efektif pada pasien dengan prostat kecil, kurang dari 40 cm3.

Meskipun dapat menghasilkan perbaikan gejala sumbatan, namun

efek ini hanya sementar, sehingga cara ini sekarang jarang

digunakan.

3) Transuretral Needle Ablation (TUNA), pada teknik ini memakai

energy dari frekuensi radio yang menimbulkan panas mencapai 100


derajat selsius, sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat.

Pasien yang menjalani TUNA sering kali mengeluh hematuri,

disuria, dan kadang-kadang terjadi retensi urine (Purnomo, 2011).

4) Pemasangan stent uretra atau prostatcatth yang dipasang pada

uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi karena pembesaran

prostat, selain itu supaya uretra prostatika selalu terbuka, sehingga

urin leluasa melewati lumen uretra prostatika. Pemasangan alat ini

ditujukan bagi pasien yang tidak mungkin menjalani operasi karena

resiko pembedahan yang cukup tinggi.

9. Komplikasi

Komplikasi BPH antara lain:

a. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi

dekompensasi

b. Infeksi saluran kemih

c. Involusi kontraksi kandung kemih

d. Refluk kandung kemih

e. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus

berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung

urin yang akan mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.

f. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi

g. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat

terbentuk batu endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah

keluhan iritasi. Batu tersebut dapat pula menibulkan sistitis, dan bila

terjadi refluks dapat mengakibatkan pielonefritis.


B. Retensi Urin

1. Pengertian.

Retensi urin adalah ketidakmampuan dalam mengeluarkan urine sesuai

dengan keinginan, sehingga urine yang terkumpul di buli-buli melampaui

batas maksimal. Penyebabnya adalah akibat penyempitan pada lumen

uretra karena fibrosis pada dindingnya, disebut dengan striktur uretra.

Penanganan kuratif penyakit ini adalah dengan operasi, namun tidak

jarang beberapa teknik operasi dapat menimbulkan rekurensi penyakit

yang tinggi bagi pasien (Purnomo, 2011). Kondisi retensi urin ini

diperlukan penanganan tepat dan adekuat untuk menghindari resiko

kekambuhan penyakit striktur uretra.

2. Etiologi

Retensi urin dibagi menurut lokasi kerusakan syaraf (Sulli, 2011):

a. Supravesikal, berupa kerusakan pada pusat kemih dimedulla spinalis


sakralis S2-S3 setinggi TH1-L1. Kerusakan terjadipada saraf simpatos
dan parasimpatis baik sebagian maupun seluruhnya.
b. Vesikal, berupa kelemahan otot destrusor karena lama teregang,
berhubungan dengan masa kehamilan dan proses persalinan (trauma
obstetrik).
c. Infravesikal (distal kandung kemih), berupa kekakuan leher vesika,
fimosis, stenosis meatus uretra, trauma uretra, batu uretra, sklerosis
leher kandung kemih (bladder neck sclerosis).

Penyebab retensi urin Secara garis besar retensi urin disebabkan oleh (Selius &
Subedi, 2008):
a. Obstruksi
b. Infeksi

c. Faktor farmakologi

d. Faktor neurologi

e. Faktor trauma

3. Klasifikasi Retensi Urin :

a. Retensi urin akut

Retensi urin akut penderitanya seakan-akan tidak dapat berkemih

(BAK). Kandung kemih terasa sakit yang hebat didaerah suprapubik

dan hasrat ingin BAK yang hebat disertai mengejan. Sering kali urin

keluar menetes atau sedikit-sedikit (Kapita Selekta Kedokteran, 2000).

Kasus retensi akut ini bila penyebabnya tidak segera ditemukan maka

kerusakan lebih berat yang sifatnya permanen dapat terjadi, karena

otot destrusor atau ganglia parasimpatik pada kandung kemih menjadi

tidak dapat berkompromi (Pribakti, 2011).

b. Retensi urin kronis

Penderita secara perlahan dalam waktu yang lama tidak dapat BAK,

merasakan nyeri didaerah suprapubik hanya sedikit atau tidak sama

sekali walaupun kandung kemihpenuh (Kapita Selekta Kedokteran,

2000). Terdapat masalah khusus pada retensi urin kronis akibat

peningkatan tekanan intravesikal yang menyebabkan refluks urera,

infeksi saluran kemih atas dan penurunan fungsi ginjal (Pribakti,

2011).

Retensi urin juga dapat terjadi sebagian dan total:


a) Retensi urin sebagian yaitu penderita masih bisa mengeluarkan urin

tetapi terdapat sisa urin yang cukup banyak dalam kandung kemih.

b) Retensi urin total yaitu penderita sama sekali tidak dapat

mengeluarkan urin.

4. Gambaran klinis

a. Jumlah residu urin lebih dari 150 ml dalam 24 jam

b. Ketidaknyamanan daerah pubis

c. Distensi vesika urinaria

d. Ketidaksanggupan berkemih

e. Sering berkemih saat vesika urinaria berisi sedikit urin (25-50 ml)

f. Ketidakseimbangan jumlah urin yang dikeluarkan dengan asupannya

g. Meningkat keresahan dan keinginan berkemih

h. Adanya urin sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih.

5. Pengobatan

Medikasi yang menggunakan bahan anti kolinergik, seperti trisiklik

antidepresan, dapat membuat retensi urine dengan cara menurunkan

kontraksi otot detrusor pada buli-buli. Obat-obat simpatomimetik, seperti

dekongestan oral, juga dapat menyebabkan retensi urine dengan

meningkatkan tonus alpha- adrenergik pada prostat dan leher buli-buli.

Studi terbaru obat anti radang non steroid ternyata berperan dalam

pengurangan kontraksi otot detrusor lewat inhibisi mediator prostaglandin.

6. Pengkajian Retensi Urin

a. Pemeriksaan Subjektif

Pemeriksaan sebjektif dengan mencermati keluhan yang disampaikan


oleh pasien dan yang digali melalui anamnesis sitematik.

b. Pemeriksaan Objektif

Pemeriksaan objektif yaitu dengan melakukan pemeriksaan fisik

terhadap pasien untuk mencari data-data yang objektif mengenai

keadaan pasien.

c. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang dilakukan dengan mampu memilih berbagai

pemeriksaan yang dapat menunjang diagnosis, dianaranya adalah

pemeriksaan laboratorium, pencitraan (imaging). Pemeriksaan

penunjang mungkin diperlukan pada beberapa kasus yang lebih

bersifat spesialistik, yakni urolometri atau urodinamika,

elektromiografi, endourologi, dan laparoskopi (Purnomo, 2011).

C. Efektifitas

Kata efektif berasal dari bahasa inggris yaitu effective yang berarti sesuatu

yang dilakukan berhasil dengan baik. Kamus ilmiah popular mendefinisikan

efektifitas sebagai ketepatan penggunaan, hasil guna dan menunjang tujuan.

Efektifitas merupakan unsur pokok untuk mencapai tujuan atau sasaran yang

telah ditentukan didalam setiap organisasi kegiatan ataupun program. Bisa

disebut efektif apabila tercapai tujuan ataupun sasaran seperti yang telah

ditentukan.

Pada dasarnya pengertian efektifitas yang umum menunjukkan pada taraf

tercapainya hasil. Senantiasa dikaitkan dengan pengertian efisien, meskipun

sebenarnya ada perbedaan diantara keduanya. Efektifitas menekankan pada

hal yang dicapai, sedangkan efisiensi lebih melihat pada bagaimana cara
mencapai hasil yang dicapai itu dengan membandingkan antara input dan

outputnya. Istilah efektife (effective) dan efisien (efficient) merupakan dua

istilah yang saling berkaitan dan patut dihayati dalam upaya untuk mencapai

tujuan suatu organisasi.

Efektivitas adalah tingkat keberhasilan dalam mencapai tujuan atau sasaran.

Efektifitas ini sesungguhnya merupakan suatu konsep yang lebih luas

mencakup berbagai factor didalam maupun diluar diri seorang.

Dengandemikian efektivitas tiadak hanya dapat dilihat dari sisi produktivitas,

tetapi juga dapat dilihat dari sisi persepsi atau sikap individu. Menurut

Chester I Barner didalam kebijakan kinerja karyawan menjelaskan bahwa arti

efektif dan efisien adalah sebagai berikut :When aspecific desired end is

attained we shall say that the action is effective. When the unsought

consequences of the action are more important than the attainment of the

desaired end and are unimportant or trival, the actionis efficient.

Accordingly, we shall say that an action is effective if it specific objective

aim. It is efficient if it satisfies the motives of the aim, whatever it is effective

or not. (Bila suatu tujuan tertentu akhirnya dapat dicapai, kita boleh

mengatakan bahwa kegiatan tersebut adalah efektif. Tetapi bila akibat-akibat

yang tidak dicapai dari kegiatan mempunyai nilai yang lebih

pentingdibandingkan dengan hasil yang dicapai, sehingga mengakibatkan

ketidak puasan walaupun efektif, hal ini disebut tidak efisien. Sebaliknya bila

akibat yang tidak dicari-cari, tidak penting atau remeh, maka kegiatan

tersebutefisien. Sehubungan dengan itu, kita dapat mengatakan sesuatu

efektif bila mencapai tujuan tertentu. Dikatakan efisien bila hal itu
memuaskan sebagai pendorong mencapai tujuan, terlepas apakah efektif atau

tidak). Dilain pihak Efektivitas adalah kemampuan untu memilih tujuan yang

tepat. (Kapita Selekta kedokteran, 2008).

D. Bladder Training

1. Pengertian

Terdapat tiga macam metode bladder training, yaitu kegel exercises

(latihan pengencangan atau penguatan otot-otot dasar panggul), Delay

urination (menunda berkemih), dan scheduled bathroom trips (jadwal

berkemih) Suhariyanto (2009).

2. Tujuan

Tujuan dari bladder training adalah untuk melatih kandung kemih dan

mengembalikan pola normal perkemihan dengan menghambat atau

menstimulasi pengeluaran air kemih. Terapi ini bertujuan memperpanjang

interval berkemih yang normal dengan berbagai teknik distraksi atau

teknik relaksasi sehingga frekuensi berkemih dapat berkurang, hanya 6-7

kali per hari atau 2-3 jam sekali. Melalui latihan, penderita diharapkan

dapat menahan sensasi berkemih. Latihan ini dilakukan pada pasien pasca

bedah yang di pasang kateter (Suharyanto, 2009).

Secara umum bladder training dilakukan sejak sebelum kateter dilepas

hingga setelah kateter dilepas. Pada pasien dengan kateter menetap dapat

dilakukan tindakan bladder training rutin setiap hari. Bladder training

yang dilakukan rutin setiap hari, hasilnya sangat membantu dalam

mempertahankan kondisi normal maupun mengembalikan ke keadaan


semula pada pasien gangguan pola berkemih akibat kateterisasi

(Widiastuti, 2012).

Pada pasien yang dikateterisasi meskipun telah dilakukan bladder

training sebelum dibuka, belum mendapatkan pola berkemih yang optimal

karena kemunduran akibat pengaruh kateterisasi belum dapat

dikembalikan. Kurangnya latihan pada otot-otot destrusor di kandung

kemih menyebabkan kemampuan kandung kemih untuk mengembang

berkurang sehingga kapasitas dalam kandung kemih pun menjadi

menurun.

3. Indikasi Bladder Training

Bladder Training dapat dilakukan pada pasien yang mengalami retensi

urin, pada pasien yang terpasang kateter dalam waktu yang lama sehingga

fungsi spingter kandung kemih terganggu (Suharyanto, 2009). Bladder

training juga bisa dilakukan pada pasien yang menggunakan kateter yang

lama, dan pasien yang mengalami retensi urin.


E. Kerangka konsep

Retensi urine
Karakteristik pasien BPH Bedah
Endrourologi 1. Kelompok perlakuan
1. Umur
(TURP 2. Kelompok kontrol
2. Riwayat TURP
sebelumnya

Bladder Training

Gambar 2.2. Kerangka konsep


BAB III

KERANGKA PENELITIAN, DEFINISI OPERASIONAL DAN

HIPOTESA PENELITIAN

A. Kerangka penelitian

Variabel Bebas Variabel Terikat

Retensi urin pada


kelompok perlakuan

Bladder Training

Retensi urin pada kelompok kontrol

Bagan 3.1. Kerangka penelitian


B. DEFINISI OPERASIONAL

Tabel 3.2. Definisi Operasional

No. Variabel Definisi Operasional Cara ukur Alat Hasil Ukur Skala
Ukur Ukur
Variabel Independen
1. Bladder Upaya untuk mengembalikan SOP bladder Lembar 1. Dilakukan Nominal
Training fungsi kandung kemih yang trainingdan observasi BT
mengalami gangguan lembar checklist. hipotensi 2. Tidak
kedalam kondisi normal atau
dilakukaan
neurogenik.
BT
Variabel Dependen
2. Retensi Urin Ketidakmampuan Lembar Lembar 1. Ya Nominal
dalam mengeluarkan urin observasi observasi 2. Tidak
sesuai dengan keinginan, frekuensi urin kram otot
sehingga urin yang per 24 jam.
terkumpul di buli-buli
melampaui batas maksimal,
apabila volume residu urin
lebih dari 150 ml dalam 24
jam
C. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian merupakan jawaban sementara dari rumusan

masalah penelitian yang kebenarannya akan dibuktikan dalam sebuah

penelitian (Sugiyono, 2011). Hipotesis dalam penelitian ini adalah

Ha : Ada efektivitas bladder training terhadap retensi urin pada pasien post

operasi BPH di Ruang Cempaka RSUD Pasar Rebo

H0 : Tidak ada efektivitas bladder training terhadap retensi urin pada pasien post

operasi BPH di Ruang Cempaka RSUD Pasar Rebo.


BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian ini adalah deskriptif korelatif. Pada hakikatnya

merupakan penelitian atau penelaahan hubungan antara dua variabel pada

suatu situasi atau kelompok subjek.hal ini dilakukan untuk melihat

hubungan antara gejala satu dengan gejala yang laian, atau variabel satu

dengan variabel yang lain (Notoatmodjo, 2010). Desain penelitian yang

akan digunakan pada penelitian ini yaitu deskriptif korelatif dengan

pendekatan Cross Sectional.

B. Populasi dan Sample

Populasi adalah keseluruhan dari unit di dalam pengamatan yang akan

kita lakukan, sedangkan sampel adalah sebagian dari populasi yang

dinilai / karakteristiknya kita ukur dan yang nantinya dipakai untuk

menduga karakteristik dari populasi (Hastono dan Sabri, 2008).

1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah pasien post Op Urologi di ruang

Cempaka RSUD Pasar Rebo.


2. Sample

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang di

teliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2005).

a. Kriteria Inklusi

1) Pasien laki-laki berusia >40 tahun di ruang Cempaka RSUD

Pasar Rebo.

2) Pasien laki-aki ruang Cempaka RSUD Pasar Rebo yang

bersedia menjadi responden.

b. Kriteria Eksklusi

1) Pasien yang di rawat di ruang bedah RSUD Pasar Rebo.

2) Pasien RSUD Pasar Rebo yang tidak bersedia menjadi

responden.

Cara pengambilan sample dilakukan dengan cara

memberikan kesempatan kepada setiap individu untuk menjadi

anggota sample.

Untuk menentukan jumlah sampel menggunakan rumus

(Sofiudin dahlan, 2005) :

{ }
2
Zα +Zβ
N= +3
0,5∈ [ ( 1+ r ) / ( 1−r ) ]

Keterangan :

N :Besar sampel

Zα : Deviat baku alpha, kesalahan tipe I: 5%, maka Zα = 1,64

Zβ: Deviat baku beta, kesalaha tipe II: 10%, maka Zβ= 1,28

r : Korelasi dari penelitian sebelumnya 0,561


{ } { }
2 2
1,64+1,28 2,92
N= +3N= +3
0,5∈ [ ( 1+ 0,561 ) / (1−0,561 ) ] 0,5∈ [ ( 1,561 ) /0,439 ]

{ }
2
2,92
N= +3
0,5∈(1,91)

{ }
2
2,92
N= +3
0,261
2
N= { 4,218 } +3

N=17,791+3

N=20,79 atau 21

Jumlah sampel yang akan dilakukan pengambilan data

penelitian sesuai dengan perhitungan diatas yaitu sebanyak

21 responden. Sebagai antisipasi kemungkinan data yang

akan terkumpul dari responden tidak dapat dianalisis atau

tidak lengkap (maka besar sampel di tambah 10% dari besar

sampel minimum sehingga dibutuhkan 23 responden.

C. Tempat dan waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober-November 2018 di ruang

Cempaka RSU D Pasar Rebo Jakarta

D. Alat penelitian dan cara pengumpulan data


1. Alat penelitian

Menurut Wasis (2008). Instrumen adalah alat atau fasilitas yang di

gunakan Peneliti dalam mengumpulkan data baik dengan membuat daftar

pertanyaan atau angket, wawancara, observasi dan pengukuran.

2. Pengumpulan data

Menurut Nursalam (2010). Pengumpulan data adalah suatu proses

pendekatan kepada subjek dan proses pengumpulan karakteristik subjek

yang diperlukan dalam suatu penelitian Adapun metode pengumpulan data

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Peneliti meminta surat pengantar penelitian dari akademi.

b. Peneliti memasukkan surat pengantar penelitian ke bagian pendidikan

dan pelatihan (Diklat) RSUD Pasar Rebo.

c. Setelah mendapatkan persetujuan dari direktur rumah sakit kemudian

surat ditembuskan ke bagian diklat dan ke ruangan dimana dilakukan

penelitian yaitu ruang cempaka RSUD Pasar Rebo

d. Peneliti melakukan studi pendahuluan kepada calon responden.

e. Peneliti mengumpulkan data dengan memberikan kuesioner (pre test)

ke responden

f. Setelah satu jam peneliti kemudian menyebar kuesioner kembali (Post

test) kepada responden.

g. Hasil dari kuesioner ditabulasi dan kemudian dianalisa.

E. Teknik Pengolahan dan analisa data

1. Teknik pengolahan data


Pengolahan dan analisa data bertujuan mengubah data menjadi

sebuah informasi. Kegiatan pengolahan data meliputi:

a. Editing

Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memeriksa kembali

semua kuesioner satu per satu. Editing dilakukan dengan maksud untuk

mengecek, apakah setiap kuesioner telah diisi sesuai dengan petunjuk

sebelumnya, kuesioner yang masih belum diisi, atau pengisian yang tidak

sesuai dengan petunjuk dan tidak relevannya jawaban dengan pertanyaan.

Kuesioner yang di isi keluarga dan tidak sesuai dengan petunjuk pengisian

akan dikembalikan untuk di isi kembali sehingga sesuai dengan petunjuk

yang ada.

b. Coding (memberi tanda kode)

Coding adalah memberi tanda kode terhadap pertanyaan maupun

pernyataan yang telah diajukan, hal ini dimaksudkan untuk mempermudah

waktu mengadakan tabulasi dan analisa. Coding dilakukan dengan

memberi tanda pada masing-masing jawaban dengan kode berupa angka.

Kode-kode tersebut selanjutnya dimasukkan dalam tabel kerja untuk

mempermudah pembacaan. Angka 0 pada kode kuesioner berarti sebelum

diberikan perlakuan pendidikan kesehatan sedangkan angka 1 berarti

sudah diberikan perlakuan pendidikan kesehatan. Sedangkan coding untuk

item pertanyaan terkait kecemasan sebagai berikut: Angka 0: tidak ada

gejala, angka 1: ringan (satu gejala), 2 : sedang (2 gejala), 3: berat (lebih

dari 2 gejala), angka 4: sangat berat (semua gejala ada).

c. Entry
Memasukkan data dengan cara manual atau melalui pengolahan

program komputer.

d. Transferring

Memindahkan jawaban atau kode jawaban kedalam media tertentu.

e. Tabulasi

Tabulasi dilakukan dengan cara memasukkan data sesuai dengan alat

pengumpul data yang telah dicoding ke dalam program komputer.

2. Analisis

Terdapat 2 jenis analisa data dalam penelitian ini yaitu:

a. Univariat

Analisa univariat adalah analisa data satu variabel (Putri, 2014).

Variabel yang diukur adalah tingkat kecemasan keluarga pasien dengan

tujuan peneliti dapat mengetahui tingkat kecemasan keluarga pasien

sebelum dilakukan pendidikan kesehatan dan sesudah dilakukan

pendidikan kesehatan. .

b. Bivariat

Analisa bivariat adalah analisa data 2 variabel (Putri, 2014). Setelah

entry data di dalam program komputer Peneliti akan melakukan analisis.

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat komparatif yaitu suatu

penelitian yang dilakukan untuk membandingkan pasien yang dilakukan

Bladder Trainingn dan tidak deng menggunakan 2 sampel yang

berpasangan sehingga uji data yang digunakan adalah uji Wilcoxon

(Wasis, 2008).

Taraf signifikansi yang digunakan dalam penelitian ini adalah α=0,05.


Artinya jika taraf signifikansi kurang dari taraf nyata (0,05) maka terdapat

pengaruh Bladder Training dan tidak dilakukan Bladder Training.

Sebaliknya jika taraf signifkansi sama atau lebih besar dari taraf nyata

maka tidak terdapat pengaruh antara pasien-pasien yang dilakukan

Bladder Training atau tidak di ruang Cempaka RSUD Pasar Rebo.

F. Etika penelitian

Dalam melakukan penelitian, peneliti memperhatikan masalah etika

penelitian. Etika penelitian menurut Hidayat (2007), terdiri dari 4 macam

yaitu:

1. Informed Consent

Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dan

responden, dengan bentuk lembar persetujuan. Lembar persetujuan

diberikan sebelum penelitian kepada responden yang akan diteliti.

Lembar ini dilengkapi dengan judul penelitian dan manfaat penelitian,

sehingga subjek mengerti maksud dan tujuan penelitian. Bila subjek

menolak, maka peneliti tidak boleh memaksa dan harus tetap

menghormati hak-hak subjek.

2. Anonomity

Anonimity digunakan untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak akan

mencantumkan nama responden, tetapi pada lembar tersebut diberikan

kode pengganti nama responden.

3. Confidentiality

Informasi yang telah dikumpulkan dari responden akan dijamin


kerahasiaanya oleh peneliti, dan hanya akan digunakan untuk

pengembangan ilmu.

4. Asas Keadilan (Justice)

Prinsip ini bertujuan untuk menjunjung tinggi keadilan responden

dengan menghargai hak-hak dalam memberikan informasi, dan hak

menjaga privasi responden.


BAB IV

KESIMPUAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang akan dilakukan maka dapat disimpulkan

penelitian ini akan menghubungkan Bladder Training terhadap retensi urin

pada pasien Post Op dengan BPH.

B. Saran

1. Bagi RSUD Pasar Rebo

Diharapkan kepada pihak Rumah Sakit dapat mengevaluasi pentingnya

Bladder Training bagi pasien post Op dengan BPH sehingga tidak terjadi

retensi urine post pemasangan Catheter pasien dengan BPH

2. Bagi Perawat

Diharapkan kepada perawat untuk selalu menginformasikan kondisi

perkembangan kesehatan pasien kepada keluarga sampai keluarga

memahami kondisi/keadaannya.

3. Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini dapat dimasukkan dan digunakan sebagai bahan

pengembangan pengetahuan khususnya pada bidang keilmuan

Keperawatan Medikal Bedah


DAFTAR PUSTAKA

Anita Widiastuti. (2012). Perbedaan Kejadian Inkontinensia Urin pada Pasien


post kateterisasi yang dilakukan Bladder Training setiap hari dengan Bladder
Training sehari sebelum Kateter dibuka di BPK RSU Tidar Magelang.
Ariane, Mc. Kinnon et al. (2011). Predictor of Acute Urinary Retention after
TransUrethral Resection of the Prostate: A Retrospective Chart Audit Society
Of Urology, Nurses and Associety Urology Nursing. Vol 31. H 4
Fitri Mulyana. (2013). Penerapan Pre Operating Teaching pada klien dengan
masalah bedah Benign Prostate Hyperplasia Trans Urethral of the Prostate
(TURP) di Ruang Anggrek Tengah Kanan (Bedah Kelas 1) Rumah Sakit Umum
Pusat Persahabatan.

Ernawati. (2016). Pengaruh kombinasi bladder training dan kegel exercise


terhadap pemulihan inkontinensia pada pasien stroke. Serang. Stikes Paletehan

Hinora, F. (2014). Pengaruh Bladder Training Terhadap Kemampuan Berkemih


pada Pasien Pria dengan Retensi Urin. Buletin Sari putra .vol 1 (1)
Guess. (1995). Epidemiology and Natural History Of Benign Prostatic
Hyperplasia Urological Clinic of America. volume 22, No 2
Maya, H. (2011). Efektivitas Bladder Training Sitz Bath terhadap Fungsi
eliminasi Berkemih spontan pada ibu post partum spontan di RSUP H. Adam
Malik - RSUP dr Pringadi Medan dan RS Jejaring. diakses dari
http://repository.usu.ac.id/handle//23456789/27637
Mark. J. Speakman. (2009). Management of Acute and Chronic Retention in Men.

European Urology Supplement’s. vol 8 .523-529


Kusuma, K, D. (2015). Metodologi penelitian keperawatan. Jakarta. Trans Info
Media.

Nanda. (2012). Nursing Diagnosis Definition & Classification 2012-2014 Oxford.


Wiley – Black Well

Narbuko, C. 2007. Metodologi penelitian . Jakarta: Bumi Aksara


Notoadmodjo, S. (2005). Metodologi Penelitian kesehatan. Jakarta: PT Rineka
Cipta
Nursalam. (2010). Konsep dan penerapan metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Parsons, J.K. (2010). Benign Prostatic Hyperplasia and Male Lower Urinary
Tract Symptoms: Epidemiology & Risk factors Springer journal Curr Badder
Dysfunct Rep. 5. 212-218
Potter & Perry. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan Edisi 4 vol 2.
Jakarta: EGC.

Purnomo, B. (2011). Dasar dasar Urologi. Edisi ketiga. Jakarta: CV Sagung Seto

Sabri, L,& Priyo, S, H. (2009). Edisi refisi statistic kesehatan. Jakarta. Rajapindo
Persada.

Sigit Ariyoso. (2012). Asuhan Keperawatan post operasi BPH pada Tn Y di ruang
Matahari RSI PKU Muhammadiyah Pekajang Pekalongan
Surgical Nursing (10th Ed) Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
Sopiyudin Dahlan, M.(2010). Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan edisi
5.Jakarta

Sri Wulandari. (2012). Pengaruh Latihan Bladder Training terhadap Penurunan


Inkontinensia pada Lanjut Usia di Panti Wreda Dharma Bakti Surakarta
Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfa Beta
Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Trans Info Media
Sulli Nova. (2011). Retensi Urin. Diakses dari http://www.scribd.co/novasulli
Tri Subyati.(2010). Hubungan frekuensi seksual terhadap kejadian BPH di RSUD
kabupaten Kebumen. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan .vol 6 .no.2
Wiyono, D, dkk. (2016). Efektifitas bladder Training terhadap retensi urin pada
Pasien post operasi BPH di ruang mawar rsud dr. soehadi prijonegoro sragen
Sragen. Stikes

Anda mungkin juga menyukai