Anda di halaman 1dari 52

PROPOSAL SKRIPSI

EFEKTIVITAS BLADDER TRAINING TERHADAP


RETENSI URIN PADA PASIEN POST OPERASI BPH
DI RUANG CEMPAKA RSUD PASAR REBO DKI JAKARTA

OWIK HARIAWAN
NIM. 201613023

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN JAYAKARTA


PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
JAKARTA
2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

BPH (Benign Prostatic Hyperplasia) adalah merupakan pertumbuhan nodul-

nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai

dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan

menekan kelenjar normal yang tersisa, prostat tersebut mengelilingi uretra dan

pembesaran bagian periuretral menyebabkan obstruksi leher kandung kemih dan

uretra parsprostatika yang menyebabkan aliran kemih dari kandung kemih (Price

dan Wilson, 2006).

Pembesaran kelenjar prostat ini merupakan salah satu masalah genitourinari

yang prevalensi dan insidennya meningkat seiring dengan bertambahnya usia.

Angka kejadian BPH diketahui terjadi pada 70 persen pria berusia 60-69 tahun di

Amerika Serikat dan 80 persen pada pria berusia 70 tahun ke atas. Insiden BPH

diperkirakan akan meningkat mencapai 20 persen pada pria berusia 65 tahun ke

atas atau mencapai 20 juta pria pada tahun 2030 (Parsons, 2010). Penyakit

pembesaran prostat di Indonesia menjadi urutan kedua setelah penyakit batu

saluran kemih di tahun 2005, jika dilihat secara umum diperkirakan hampir 50%

pria di Indonesia yang berusia diatas 50 tahun mengalami penyakit pembesaran

prostat (A.K. Abbas, 2005 dalam ML Hamawi, 2010). Data pasien BPH yang

diperoleh pada tanggal 2 Januari 2012 RSI PKU Muhammadiyah Pekajangan,

menunjukkan adanya peningkatan dari tahun sebelumnya. Jumlah pasien dengan


diagnosa BPH pada tahun 2009 menyebutkan angka kejadiannya mencapai 30

pasien. Jumlah pasien pada tahun 2010 mengalami peningkatan dengan angka

kejadian menjadi 54 pasien. Penyebab BPH belum diketahui secara pasti, tetapi

sampai saat ini berhubungan dengan proses penuaan yang mengakibatkan

penurunan kadar hormon pria, terutama testosteron. Faktor lain yang

mempengaruhi BPH adalah latar belakang kondisi penderita misalnya usia,

riwayat keluarga, obesitas, meningkatnya kadar kolesterol darah, pola makan

tinggi lemak hewani, olah raga, merokok, minuman beralkohol, penyakit Diabetes

Mellitus, dan aktifitas seksual (Kirby, et al. (1997). Komplikasi yang sering

dialami oleh para penderita BPH yang sudah cukup parah adalah adanya keluhan

BAK macet atau retensi, terasa panas dan perasaan tidak tuntas saat BAK. Kasus

BPH ini salah satu penanganannya adalah dengan prosedur pembedahan yang

biasa disebut dengan prosedur TURP (Transurethral Resection of the Prostate).

Beberapa kelebihan TURP antara lain prosedur ini tidak dibutuhkan insisi dan

dapat digunakan untuk prostat dengan ukuran beragam, dan lebih aman bagi

pasien yang mempunyai risiko bedah yang buruk (Smeltzer & Bare, 2003). Efek

dari tindakan operasi ini adalah keluhan BAK kemerahan dan terjadi retensi urin

yang sering terjadi karena adanya cloth yang menyumbat di saluran kemih.

Retensi urin adalah ketidakmampuan dalam mengeluarkan urine sesuai dengan

keinginan, sehingga urine yang terkumpul di buli-buli melampaui batas maksimal.

Penyempitan pada lumen uretra adalah salah satu penyebabnya karena fibrosis

pada dindingnya, disebut dengan striktur uretra. Penanganan kuratif penyakit ini

adalah dengan operasi, namun tidak jarang beberapa teknik operasi dapat

menimbulkan rekurensi penyakit yang tinggi bagi pasien (Purnomo, 2011).


Upaya perawatan post operasi yang dilakukan untuk mengatasi retensi urin

adalah dengan tindakan bladder training. Bladder training adalah salah satu

upaya untuk mengembalikan fungsi kandung kencing yang mengalami gangguan

kedalam keadaan normal atau fungsi optimal neurogenik. Bladder training

merupakan salah satu terapi yang efektif diantara terapi nonfarmakologis (Syafar,

2011). Latihan ini dilakukan dengan cara menahan atau menunda kencing pada

pasien yang terpasang kateter.

Penelitian yang dilakukan oleh Friska Hinora (2014) menyebutkan bahwa

bladder training dapat meningkatkan kemampuan berkemih pada pasien retensi

urin yang terpasang kateter. Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian

yang dilakukan oleh Wahyu Hidayati, (2011) menjelaskan bahwa terdapat

pengaruh latihan bladder training terhadap penurunan jumlah residu urin pada

pasien stroke yang terpasang kateter urin. Efektivitas Bladder training juga telah

di sampaikan oleh Dadi Santosa (2015) menyatakan bahwa kombinasi latihan

bladder training dan muscle pelvic exercise ternyata efektif dalam perbaiki fungsi

eliminasi kemih pada pasien BPH pasca operasi TVP (Trans Vesika

Prostatectomy).

Berdasarkan data Rekam Medis RSUD Pasar Rebo Jakarta bulan Januari-

Juli berjumlah 86 pasien. Berdasarkan hasil wawancara terhadap enam pasien

post operasi BPH, dua orang pasien mengatakan setelah kondisi membaik dan

selang kecing dilepas, mereka mengatakan BAK awalnya masih terasa agak panas

hingga akhirnya BAK lancar seperti biasanya. Empat orang pasien mengatakan

setelah pulang dari rumah sakit, mereka mengeluhkan BAK macet dan terasa

sakit sehingga mereka kembali dipasang selang kencing . Tindakan perawat yang
diambil pada saat kejadian seperti ini biasanya adalah dengan memasang selang

kencing kembali dan melakukan spoel Nacl 0,9% untuk melancarkan saluran

kemih bila ada sumbatan. Berdasarkan hasil konfirmasi dari bidang keperawatan

RSUD Pasar Rebo, sampai saat ini belum membuat SOP (Standar Operasional

Prosedur ) tentang latihan bladder training ini.

Berdasarkan permasalahan data - data data diatas maka peneliti tertarik

untuk melakukan penelitian yang berjudul “ Efektivitas Bladder Training

terhadap Retensi urin pada pasien post operasi BPH di Ruang Cempaka RSUD

Pasar Rebo

B. Rumusan Masalah

Pembesaran kelenjar prostat / BPH adalah salah satu masalah genitourinari

yang cukup serius bila tidak segera ditangani dengan tepat. Faktor resiko

terjadinya BPH antara lain faktor penuaan, obesitas, usia, riwayat

keluargameningkatnya kadar kolesterol darah, pola makan tinggi lemak hewani,

olah raga, merokok, minuman beralkohol, penyakit Diabetes Mellitus dan

aktifitas seksual. BPH memiliki beberapa komplikasi diantaranya BAK macet,

terasa panas dan tidak tuntas saat BAK.

Penanganan yang dapat dilakukan pada BPH ini salah satunya adalah

dengan prosedur operasi yang biasa disebut dengan TURP. Kondisi yang

mungkin terjadi setelah operasi TURP ini adalah biasa terjadi retensi urin yang

terjadi setelah selang kencing dilepas. Tindakan mandiri perawat yang dapat

dilakukan untuk mengatasi keluhan tersebut adalah dengan pemberian latihan

bladder training guna mengurangi resiko retensi urin post operasi BPH.
Berdasarkan uraian rumusan masalah tersebut, peneliti dapat merumuskan

permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah efektivitas bladder

training terhadap retensi urin pada pasien post operasi BPH di Ruang Cempaka

RSUD Pasar Rebo

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas

bladder training terhadap retensi urin pada pasien post operasi BPH di

Ruang Cempaka RSUD Pasar Rebo.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini antara lain untuk:

a. Mengidentifikasi karakteristik responden berdasarkan umur dan

tingkat retensi urin.

b. Mengidentifikasi perbedaan tingkat retensi urin pada kelompok

perlakuan pasien post operasi BPH di ruang Cempaka RSUD Pasar

Rebo.

c. Mengidentifikasi perbedaan tingkat retensi urin pada kelompok

kontrol penelitian pada pasien post operasi BPH di ruang Cempaka

RSUD Pasar Rebo.

d. Menganalisa pengaruh bladder training terhadap retensi urin pada

pasien post operasi BPH di Ruang ruang Cempaka RSUD Pasar Rebo.
D. Manfaat penelitian bagi Rumah Sakit / masyarakat

1. Bagi pasien / masyarakat.

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam mengurangi resiko

retensi urin dan meningkatkan kenyamanan serta kepuasan pada pasien

yang dirawat di rumah sakit dengan post operasi BPH .

2. Bagi perawat atau rumah sakit RSUD Pasar Rebo.

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi panduan dalam bekerja terutama

dalam melakukan tindakan bladder training dan sebagai acuan dalam

membuat SOP (Standar Operasional Prosedur) khusunya dalam teknik

Bladder training yang tepat pada pasien post operasi BPH .

3. Manfaat bagi institusi pendidikan.

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber literatur untuk materi

pembelajaran dan juga berguna untuk menambah pengetahuan dan

wawasan khususnya tentang pengaruh bladder training terhadap retensi

urin pada pasien post operasi BPH .

4. Manfaat bagi penelitian lain.

Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi sumber data untuk

memotivasi pelaksanaan penelitian yang lebih baik di waktu yang akan

datang.

5. Manfaat bagi peneliti.

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengalaman dan pengetahuan

dalam hal efektivitas bladder training terhadap retensi urin pada pasien

post operasi BPH.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Efektifitas

1. Definisi Efektifitas

Kata efektif berasal dari bahasa inggris yaitu effective yang berarti

sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Kamus ilmiah popular

mendefinisikan efektifitas sebagai ketepatan penggunaan, hasil guna dan

menunjang tujuan. Efektifitas merupakan unsur pokok untuk mencapai

tujuan atau sasaran yang telah ditentukan didalam setiap organisasi kegiatan

ataupun program. Bisa disebut efektif apabila tercapai tujuan ataupun sasaran

seperti yang telah ditentukan.Hal ini sesuai dengan pendapat H. Emerson yang

dikutip Soewarno Handayaningrat S. (1994:16) yang menyatakan bahwa

“Efektifitas adalah pengukuran dalam arti tercapainya tujuan yang telah

ditentukan sebelumnya”. Menurut The Liang Gie (1997:108) dalam Abdul

Halim (2004:166) yang dimaksud dengan efektifitas adalah suatu keadaan

yang terjadi sebagai akibat yang dikehendaki. Jika seseorang melakukan

sesuatu perbuatan dengan maksud tertentu dan memang dikehendakinya, maka

orang itu dikatakan efektif bila menimbulkan akibat atau mempunyai maksud

sebagaimana yang dikehendakinya. Dengan demikian efektifitas adalah

ketercapaian tujuan yang diperoleh oleh seseorang sehinggaapa yang ingin

mereka capai dalam suatu kegiatan yang mereka lakukan telah mampu mereka

capai. Menurut F. X Soedjadi dalam Teguh Prasetyo (2002:220)

mengemukakan bahwa efektifitas adalah berhasil guna (effective), bahwa


kegiatan yang telah dilaksanakan dengan tepat sesuai dengan waktu yang telah

ditetapkan. Dengan demikian efektifitas yang dimaksud adalah apakah mereka

telah mampu melaksanakan kegiatan resmi sesuai dengan rencana yang

mereka miliki. Dari beberapa pendapat diatas mengenai efektifitas dapat

disimpulkan bahwa efektifitas adalah suatu kegiatan yang menunjukkan

tingkat keberhasilan atau kegagalan suatu kegiatan dalam mencapai tujuan

yang telah ditetapkan sebelumnya.Selain itu efektifitas dapat berarti suatu

pendekatan yang digunakan untuk melihat tercapainya atau tidak tercapainya

tujuan dalam rencana yang telah ditetapkan.

2. Indikator Pengukuran Efektifitas

Menurut Sutarto (1998:63) mengemukakan bahwa tujuan yang efektif

menambah semangat semua anggota organisasi untuk bekerja kearah tujuan

yang sama. Tujuan yang efektif memberikan tingkat pengukur yang obyektif

untuk mengukur, membanding dan menilai pelaksanaan. Tujuan yang efektif

juga dapat menjadi perangsang yang baik karena tujuan mempermudah bagi

anggota untuk menyempurnakan tujuan pribadinya dalam bekerja untuk

organisasi. Menurut Siagian (1986:33) mengemukakan bahwa ukuran untuk

mengetahui efektifitas suatu organisasi mencakup tentang :

a. Kejelasan tujuan yang hendak dicapai

b. Kejelasan strategi pencapaian tujuan

c. Proses analisa dan perumusan kebijaksanaan yang mantap

d. Perencanaan yang matang

e. Penyusunan program yang tepat


Menurut Effendy (1989: 14) menjelaskan indicator efektifitas adalah

tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya

merupakan sebuah pengukuran dimana suatu target telah tercapai sesuai

dengan apa yang telah direncanakan. Berkaitan dengan penjelasan

indikator-indikator efektifitas diatas, maka tercapainya tujuan dan sasaran

dapat mengetahui apakah pelaksanaan rencana dapat dikatakan efektif

atau sebaliknya.;

3. Ukuran Efektifitas

Efektifitas akan menjadi lebih jelas apabila memiliki arah dan tujuan

untuk mencapai sesuatu yang diharapkan. Pemahaman tentang efektifitas jika

dilaksanakan untuk mencapai tujuan secara kolektif seperti yang dilakukan

dalam suatu organisasi, maka penerapan efektifitas akan mewujudkan

tercapainya tujuan-tujuan organisasi sesuai dengan harapan yang telah

ditetapkan melalui kegiatan-kegiatan yang telah dijadwalkan. ingkat

efektifitas juga dapat diukur dengan membandingkan antara rencana yang

telah ditentukan dengan hasil yang telah diwujudkan. Jika usaha atau hasil

pekerjaan dan tindakan yang dilakukan tidak dapat sehingga menyebabkan

tujuan tidak tercapai atau sasaran yang di harapkan, maka hal itu dikatakan

tidak efektif. Menurut Emerson dalam Handayaningrat (1996:16), Efektifitas

adalah pengukuran dalam arti tercapainya sasaran atau tujuan yang ditentukan.

Jadi apabila tujuan tersebut telah tercapai baru dapat dikatakan efektif.

Sedangkan menurut Steers, Richarcd M (1985:206) mengatakan mengenai


ukuran efektifitas sebagai berikut :

a. Kemampuan menyesuaikan diri

Kemampuan organisasi untuk mengubah prosedur standar

organisasinya jika lingkungan berubah, untuk mencegah kekacauan

terhadap rangsangan lingkungan.

b. Produktifitas

Kuantitas yang dihasilkan organisasi dapat diukur menurut 3

tingkatan, yaitu tingkatan individu, kelompok dan keseluruhan

organisasi.

c. Kepuasan Kerja

Tingkat kesenangan yang dirasakan seseorang atas peranan

pekerjaannya dalam organisasi. Tingkat rasa puas individu bahwa

mereka mendapat imbalan yang setimpal dari bermacam-macam

aspek situasi pekerjaan dan organisasi tempat mereka berada.

d. Pencarian Sumber Daya

Kemampuan suatu organisasi untuk mengintegrasikan dan

mengkoordinasikan berbagai sub sistem memerlukan sumber daya

yang diperlukan untuk menjalankan tugasnya. Berkaitan dengan

pengertian efektivitas yang telah diuraikan diatas, makaefektifitas

yang telah ditentukan dan direncanakan dapat berjalan dengan baik

atau sebaliknya.
B. Bladder Training

1. Pengertian

Bladder training adalah salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi

kandung kemih yang mengalami gangguan ke keadaan normal atau ke

fungsi optimal neurogenik (Potter & Perry, 2005). Bladder training

merupakan salah satu terapi yang efektif di antara terapi nonfarmakologi.

Pengendalian kandung kemih dan sfingter dilakukan agar terjadi

pengeluaran urin secara kontinen. Latihan kandung kemih harus dimulai

dahulu untuk mengembangkan tonus kandung kemih saat mempersiapkan

pelepasan kateter yang sudah terpasang dalam waktu lama, dengan

tindakan ini bisa mencegah retensi (Smeltzer & Bare, 2002).

Terdapat tiga macam metode bladder training, yaitu kegel exercises

(latihan pengencangan atau penguatan otot-otot dasar panggul), Delay

urination (menunda berkemih), dan scheduled bathroom trips (jadwal

berkemih) Suhariyanto (2009). Latihan kegel (kegel execises) merupakan

aktifitas fisik yang tersusun dalam suatu program yang dilakukan secara

berulang-ulang guna meningkatkan kebugaran tubuh. Latihan kegel dapat

meningkatkan mobilitas kandung kemih dan bermanfaat dalam

menurunkan gangguan pemenuhan kebutuhan eliminasi urin. Latihan otot

dasar panggul dapat membantu memperkuat otot dasar panggul untuk

memperkuat penutupan uretra dan secara refleks menghambat kontraksi

kandung kemih. (Kane, 1996 dalam Nursalam 2006).

Bladder training dapat dilakukan dengan latihan menahan kencing

(menunda untuk berkemih). Bladder training dapat dilakukan pada pasien


yang terpasang kateter urin dengan mengklem aliran urin ke urin bag

(Hariyati, 2000). Bladder training dilakukan sebelum kateterisasi

diberhentikan. Tindakan ini dapat dilakukan dengan menjepit kateter urin

dengan klem kemudian jepitannya dilepas setiap beberapa jam sekali.

Tindakan menjepit kateter ini memungkinkan kandung kemih terisi urin

dan otot destrusor berkontraksi sedangkan pelepasan klem memungkinkan

kandung kemih untuk mengosongkan isinya. (Smeltzer, 2001).

2. Tujuan

Tujuan dari bladder training adalah untuk melatih kandung kemih dan

mengembalikan pola normal perkemihan dengan menghambat atau

menstimulasi pengeluaran air kemih (Potter & Perry, 2005). Terapi ini

bertujuan memperpanjang interval berkemih yang normal dengan berbagai

teknik distraksi atau teknik relaksasi sehingga frekuensi berkemih dapat

berkurang, hanya 6-7 kali per hari atau 2-3 jam sekali. Melalui latihan,

penderita diharapkan dapat menahan sensasi berkemih. Latihan ini

dilakukan pada pasien pasca bedah yang di pasang kateter (Suharyanto,

2009).

Tujuan dilakukan bladder training yaitu membantu pasien mendapat

pola berkemih yang rutin, mengembangkan tonus otot kandung kemih,

memperpanjang interval waktu berkemih, meningkatkan kapasitas

kandung kemih (Karon, 2005).

Secara umum bladder training dilakukan sejak sebelum kateter

dilepas hingga setelah kateter dilepas. Pada pasien dengan kateter menetap

dapat dilakukan tindakan bladder training rutin setiap hari. Bladder


training yang dilakukan rutin setiap hari, hasilnya sangat membantu dalam

mempertahankan kondisi normal maupun mengembalikan ke keadaan

semula pada pasien gangguan pola berkemih akibat kateterisasi

(Widiastuti, 2012).Pada pasien yang dikateterisasi meskipun telah

dilakukan bladder training sebelum dibuka, belum mendapatkan pola

berkemih yang optimal karena kemunduran akibat pengaruh kateterisasi

belum dapat dikembalikan. Kurangnya latihan pada otot-otot destrusor di

kandung kemih menyebabkan kemampuan kandung kemih untuk

mengembang berkurang sehingga kapasitas dalam kandung kemih pun

menjadi menurun.

3. Indikasi Bladder Training

Bladder Training dapat dilakukan pada pasien yang mengalami retensi

urin, pada pasien yang terpasang kateter dalam waktu yang lama sehingga

fungsi spingter kandung kemih terganggu (Suharyanto, 2009). Bladder

training juga bisa dilakukan pada pasien yang menggunakan kateter yang

lama, dan pasien yang mengalami retensi urin.

C. Retensi Urin

1. Pengertian.

Retensi urin adalah ketidakmampuan dalam mengeluarkan urine sesuai

dengan keinginan, sehingga urine yang terkumpul di buli-buli melampaui

batas maksimal. Penyebabnya adalah akibat penyempitan pada lumen

uretra karena fibrosis pada dindingnya, disebut dengan striktur uretra.


Penanganan kuratif penyakit ini adalah dengan operasi, namun tidak

jarang beberapa teknik operasi dapat menimbulkan rekurensi penyakit

yang tinggi bagi pasien (Purnomo, 2011). Kondisi retensi urin ini

diperlukan penanganan tepat dan adekuat untuk menghindari resiko

kekambuhan penyakit striktur uretra.

2. Etiologi

Retensi urin dibagi menurut lokasi kerusakan syaraf (Sulli, 2011):

a) Supravesikal

Berupa kerusakan pada pusat kemih dimedulla spinalis sakralis S2-S3

setinggi TH1-L1. Kerusakan terjadipada saraf simpatos dan parasimpatis

baik sebagian maupun seluruhnya.

b) Vesikal

Berupa kelemahan otot destrusor karena lama teregang, berhubungan

dengan masa kehamilan dan proses persalinan (trauma obstetrik).

c) Infravesikal (distal kandung kemih)

Berupa kekakuan leher vesika, fimosis, stenosis meatus uretra, trauma

uretra, batu uretra, sklerosis leher kandung kemih (bladder neck sclerosis)

(Kapita Selekta Kedokteran, 2000).

4. Penyebab retensi urin

Secara garis besar retensi urin disebabkan oleh (Selius & Subedi, 2008):

a) Obstruksi

b) Infeksi

c) Faktor farmakologi

d) Faktor neurologi
e) Faktor trauma

5. Klasifikasi Retensi Urin :

a) Retensi urin akut

Retensi urin akut penderitanya seakan-akan tidak dapat berkemih

(BAK). Kandung kemih terasa sakit yang hebat didaerah suprapubik

dan hasrat ingin BAK yang hebat disertai mengejan. Sering kali urin

keluar menetes atau sedikit-sedikit (Kapita Selekta Kedokteran,

2000). Kasus retensi akut ini bila penyebabnya tidak segera

ditemukan maka kerusakan lebih berat yang sifatnya permanen dapat

terjadi, karena otot destrusor atau ganglia parasimpatik pada kandung

kemih menjadi tidak dapat berkompromi (Pribakti, 2011).

b) Retensi urin kronis

Penderita secara perlahan dalam waktu yang lama tidak dapat BAK,

merasakan nyeri didaerah suprapubik hanya sedikit atau tidak sama

sekali walaupun kandung kemihpenuh (Kapita Selekta Kedokteran,

2000). Terdapat masalah khusus pada retensi urin kronis akibat

peningkatan tekanan intravesikal yang menyebabkan refluks urera,

infeksi saluran kemih atas dan penurunan fungsi ginjal (Pribakti,

2011).

Retensi urin juga dapat terjadi sebagian dan total:

a) Retensi urin sebagian yaitu penderita masih bisa mengeluarkan urin

tetapi terdapat sisa urin yang cukup banyak dalam kandung kemih.

b) Retensi urin total yaitu penderita sama sekali tidak dapat

mengeluarkan urin.
6. Gambaran klinis

a) Jumlah residu urin lebih dari 150 ml dalam 24 jam (Saultz et al,1999)

b) Ketidaknyamanan daerah pubis

c) Distensi vesika urinaria

d) Ketidaksanggupan berkemih

e) Sering berkemih saat vesika urinaria berisi sedikit urin (25-50 ml)

f) Ketidakseimbangan jumlah urin yang dikeluarkan dengan asupannya

g) Meningkat keresahan dan keinginan berkemih

h) Adanya urin sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih (Uliyah &

Hidayat, 2006).

7. Pengobatan

Medikasi yang menggunakan bahan anti kolinergik, seperti trisiklik

antidepresan, dapat membuat retensi urine dengan cara menurunkan

kontraksi otot detrusor pada buli-buli. Obat-obat simpatomimetik, seperti

dekongestan oral, juga dapat menyebabkan retensi urine dengan

meningkatkan tonus alpha- adrenergik pada prostat dan leher buli-buli.

Studi terbaru obat anti radang non steroid ternyata berperan dalam

pengurangan kontraksi otot detrusor lewat inhibisi mediator prostaglandin.

8. Pengkajian Retensi Urin

a) Pemeriksaan Subjektif

Pemeriksaan sebjektif dengan mencermati keluhan yang disampaikan oleh

pasien dan yang digali melalui anamnesis sitematik.

b) Pemeriksaan Objektif

Pemeriksaan objektif yaitu dengan melakukan pemeriksaan fisik terhadap


pasien untuk mencari data-data yang objektif mengenai keadaan pasien.

c) Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang dilakukan dengan mampu memilih berbagai

pemeriksaan yang dapat menunjang diagnosis, dianaranya adalah

pemeriksaan laboratorium, pencitraan (imaging). Pemeriksaan penunjang

mungkin diperlukan pada beberapa kasus yang lebih bersifat spesialistik,

yakni urolometri atau urodinamika, elektromiografi, endourologi, dan

laparoskopi (Purnomo, 2011).

D. Benigna Prostat Hipertofi (BPH)

1. Pengertian BPH

BPH (Benign Prostatic Hyperplasia) merupakan pembesaran

kelenjar prostat, memanjang ke atas kedalam kandung kemih dan

menyumbat aliran urin dengan menutupi orifisium uretra akibatnya terjadi

dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis) secara bertahap

(Smeltzer dan Bare, 2002).

Pendapat lain mengenai pengertian BPH adalah merupakkan

pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat,

pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi

yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa,

prostat tersebut mengelilingi uretra dan, dan pembesaran bagian

periuretral menyebabkan obstruksi leher kandung kemih dan uretra

parsprostatika yang menyebabkan aliran kemih dari kandung kemih (Price

dan Wilson, 2006).


Teori lainnya menjelaskan bahwa BPH merupakan suatu keadaan

yang sering terjadi pada pria umur 50 tahun atau lebih yang ditandai

dengan terjadinya perubahan pada prostat yaitu prostat mengalami atrofi

dan menjadi nodular, pembesaran dari beberapa bagian kelenjar ini dapat

mengakibatkan obstruksi urine (Baradero, dkk, 2007).

BPH merupakan sejenis keadaan di mana kelenjar prostat membesar

dengan cepat. Tanda klinis terpenting dalam BPH adalah ditemukannya

pembesaran pada pemeriksaan colok dubur atau digital rectal examination

(DRE). BPH prostat teraba membesar dengan konsistensi kenyal, ukuran

dan konsistensi prostat perlu diketahui, walaupun ukuran prostat yang

ditentukan melalui DRE tidak berhubungan dengan derajat obstruksi.

Prediksinya adalah jika teraba indurasi atau terdapat bagian yang teraba

keras, perlu dipikirkan kemungkinan prostat stadium 1 dan 2 (Suwandi,

2007).

2. Gejala dan Tanda

Gejala BPH dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu gejala

obstruktif dan gejala iritatif :

a. Gejala obstruktif meliputi hesitancy, pancaran BAK lemah (loss of

force), pancaran BAK terputus-putus (intermitency), tidak tuntas saat

selesai berkemih (sense of residual urine), rasa ingin BAK lagi

sesudah BAK (double voiding) dan keluarnya sisa BAK pada akhir

berkemih (terminal dribbling).

b. Gejala iritatif adalah frekuensi BAK yang tidak normal (polakisuria),

terbangun di tengah malam karena sering BAK (nocturia), sulit


menahan BAK (urgency), dan rasa sakit waktu BAK (disuria), kadang

juga terjadi BAK berdarah (hematuria).

c. Tanda

Tanda klinis terpenting BPH adalah ditemukannya pembesaran

konsistensi kenyal pada pemeriksaan colok dubur / digital rectal

examination (DRE). Hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan apabila

teraba indurasi atau terdapat bagian yang teraba keras, perlu dipikirkan

kemungkinan prostat stadium 1 dan 2 (Roehborn, Calus, Mc Connell,

2002 ).

3. Klasifikasi BPH

Berdasarkan perkembangan penyakitnya menurut Sjamsuhidajat dan De

jong (2005) secara klinis penyakit BPH dibagi menjadi 4 gradiasi :

a. Derajat 1 : Ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur

ditemukan penonjolan prostat, batas atas mudah teraba dan sisa urin

kurang dari 50 ml.

b. Derajat 2 : Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok dubur

dan batas atas dapat dicapai, sedangkan sisa volum urin 50- 100 ml.

c. Derajat 3: Saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas prostat

tidak dapat diraba dan sisa volum urin lebih dari 100ml.

d. Derajat 4 : Sudah terjadi retensi urine total

4. Etiologi

Etiologi atau penyebab terjadinya BPH hingga saat ini belum diketahui

secara pasti, namun beberapa hipotesisi menyebutkan bahwa BPH erat

kaitanya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses


menua. Terdapat perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada

pria usia 30-40 tahun. Perubahan mikroskopik ini berkembang, akan

terjadi perubahan patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan

angka kejadiannya sekitar 50%, untuk usia 80 tahun angka kejadianya

sekitar 80%, dan usia 90 tahun sekitar 100% (Purnomo, 2011)

Etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang

diduga menjadi penyebab timbulnya Benigna Prosat. Teori tentang

penyebab BPH meliputi: Teori Dehidrotestosteron (DHT), teori hormon

(ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron), faktor interaksi

stroma dan epitel-epitel, teori berkurangnya kematian sel (apoptosis), teori

sel stem (Purnomo, 2011).

a) Teori Dehidrotestosteron (DHT)

Dehidrotestosteron (DHT) adalah metabolit androgen yang sangat

penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Aksis hipofisis

testis dan reduksi testosteron menjadi dehidrotestosteron (DHT)

dalam sel prostad merupakan factor terjadinya penetrasi DHT

kedalam inti sel yang dapat menyebabkan inskripsi pada RNA,

sehingga dapat menyebabkan terjadinya sintesis protein yang

menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai penelitian

dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda dengan

kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim

5alfa –reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada

BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitive

terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi


dibandingkan dengan prostat normal (Purnomo, 2011).

b) Teori hormon ( ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron)

Usia yang semakin tua, menyebabkan terjadinya penurunan kadar

testosteron sedangkan kadar estrogen relative tetap, sehingga terjadi

perbandingan antara kadar estrogen dan testosterone relatif meningkat.

Hormon estrogen didalam prostat memiliki peranan dalam terjadinya

poliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan jumlah

reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat

(apoptosis). Rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan

testosterone meningkat, akan menyebabkan sel-sel prostat yang telah

ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga masa prostat jadi

lebih besar (Purnomo, 2011).

c) Faktor interaksi Stroma dan epitel epitel.

Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung

dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator yang disebut

Growth factor. DHT dan estradiol menstimulasi sel-sel stroma setelah

itu sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya

mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri intrakrin dan autokrin, serta

mempengaruhi sel-sel epitel parakrin. Stimulasi itu menyebabkan

terjadinya poliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma. Basic Fibroblast

Growth Factor (bFGF) dapat menstimulasi sel stroma dan ditemukan

dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran

prostad jinak. bFGF dapat diakibatkan oleh adanya mikrotrauma

karena miksi, ejakulasi atau infeksi (Purnomo, 2011).


d) Teori berkurangnya kematian sel (apoptosis)

Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme

fisiologik untuk mempertahankan homeostatis kelenjar prostat.

Kondensasi dan fragmentasi sel terjadi pada apoptosis ini, yang

selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel-

sel di sekitarnya, kemudian didegradasi oleh enzim lisosom. Terdapat

keseimbangan antara laju poliferasi sel dengan kematian sel pada jaringan

normal. Pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa terjadi,

penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan

seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat baru dengan prostat yang

mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara

keseluruhan menjadi meningkat, sehingga terjadi pertambahan masa

prostat (Purnomo, 2011).

e) Teori sel stem

Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel baru.

Istilah tersebut di dalam kelenjar prostat dikenal dengan suatu sel stem

yaitu sel yang mempunyai kemampuan berpoliferasi sangat ekstensif.

Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormone androgen,

sehingga jika hormone androgen kadarnya menurun, akan terjadi

apoptosis. Terjadinya poliferasi sel-sel BPH dipostulasikan sebagai

ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang

berlebihan sel stroma maupun sel epitel (Purnomo, 2011).


5. Faktor Resiko

Beberapa faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya BPH antara lain:

a. Kadar Hormon

Kadar hormon testosteron yang tinggi berhubungan dengan resiko

BPH. Testosteron akan diubah menjadi andogen yang lebih poten

yaitu dihydrotestosteron (DHT) oleh enzim 5α- reductase, yang

memegang peran penting dalam proses pertumbuhan sel- sel prostat

(Guess, 1995).

b. Usia

Terjadi kelemahan umum pada usia tua termasuk kelemahan pada buli

(otot detrusor) dan penurunan fungsi persarafan. Perubahan karena

pengaruh usia tua menurunkan kemampuan buli-buli dalam

mempertahankan aliran urin pada proses adaptasi oleh adanya

obstruksi karena pembesaran prostat, sehingga menimbulkan gejala.

Testis menghasilkan beberapa hormon seks pria, yang secara

keseluruhan dinamakan androgen. Hormon tersebut mencakup

testosteron, dihidrotestosteron dan androstenesdion.

Testosteron sebagian besar dikonversikan oleh enzim 5- alfa-reduktase

menjadi dihidrotestosteron yang lebih aktif secara fisiologis di

jaringan sasaran sebagai pengatur fungsi ereksi. Tugas lain testosteron

adalah pemacu libido, pertumbuhan otot dan mengatur deposit kalsium

di tulang. Sesuai dengan pertambahan usia, kadar testosteron mulai

menurun secara perlahan pada usia 30 tahun dan turun lebih cepat

pada usia 60 tahun keatas (Birowo, 2000).


c. Ras

Orang dari ras kulit hitam memiliki risiko 2 kali lebih besar untuk

terjadi BPH dibanding ras lain. Orang-orang Asia memiliki insidensi

BPH rendah (Roehborn, 2002).

d. Riwayat keluarga

Riwayat keluarga pada penderita BPH dapat meningkatkan risiko

terjadinya kondisi yang sama pada anggota keluarga yang lain.

Semakin banyak anggota keluarga yang mengidap penyakit ini,

semakin besar risiko anggota keluarga yang lain untuk dapat terkena

BPH. Resiko meningkat 2 kali bagi orang lain apabila dalam satu

keluarga ada satu anggota yang mengidap penyakit ini. . Bila 2

anggota keluarga, maka risiko meningkat menjadi 2-5 kali (Roehborn,

2002).

e. Obesitas

Obesitas akan membuat gangguan pada prostat dan kemampuan

seksual, tipe bentuk tubuh yang mengganggu prostat adalah tipe

bentuk tubuh yang membesar di bagian pinggang dengan perut buncit,

seperti buah apel. Beban di perut itulah yang menekan otot organ

seksual, sehingga lama-lama organ seksual kehilangan kelenturannya,

selain itu deposit lemak berlebihan juga akan mengganggu kinerja

testis. Penderita dengan obesitas terjadi peningkatan kadar estrogen

yang berpengaruh terhadap pembentukan BPH melalui peningkatan

sensitisasi prostat terhadap androgen dan menghambat proses

kematian sel-sel kelenjar prostat (Brigde, 2007).


Pola obesitas pada laki-laki biasanya berupa penimbunan lemak pada

abdomen. Salah satu cara pengukuran untuk memperkirakan lemak

tubuh adalah teknik indirek, di antaranya yang banyak dipakai adalah

Body Mass Indeks (BMI) dan waist to hip ratio (WHR). BMI diukur

dengan cara berat badan (kg) dibagi dengan kuadrat tinggi badan (m).

Interpretasinya (WHO) adalah overweight (BMI 25-29,9 kg/m2),

obesitas (BMI > 30 kg/m2). Pengukuran BMI mudah dilakukan,

murah dan mempunyai akurasi tinggi. WHR diukur dengan cara

membandingkan lingkar pinggang dengan lingkar panggul.

Pengukurannya dengan cara penderita dalam posisi terlentang, lingkar

pinggang diambil ukuran minimal antara xyphoid dan umbilicus dan

lingkar pinggul diambil ukuran maksimal lingkar gluteus - simfisis

pubis. Pada laki-laki di nyatakan obesitas jika lingkar pinggang > 102

cm atau WHR > 0,90.19

f. Pola Diet

Kekurangan mineral penting seperti seng, tembaga, selenium

berpengaruh pada fungsi reproduksi pria. Seng adalah yang paling

penting karena defisiensi seng berat dapat menyebabkan pengecilan

testis yang selanjutnya berakibat penurunan kadar testosteron.

Makanan tinggi lemak dan rendah serat juga membuat penurunan

kadar testosterol. Penumpukan lemak diperut akan terjadi apabila

kelebihan kadar kolesterol dalam tubuh yang pada akhirnya akan

menekan otot-otot seksual dan mengganggu testis, sehingga kelebihan

lemak tersebut justru dapat menurunkan kemampuan seksual.


Kemampuan seksual yang menurun ini diakibatkan oleh penurunan

produksi testosteron, yang nantinya mengganggu prostat (Walsh,

1992).

Suatu studi menemukan adanya hubungan antara penurunan risiko

BPH dengan mengkonsumsi buah dan makanan mengandung kedelai

yang kaya akan isoflavon. Kedelai sebagai estrogen lemah mampu

untuk memblokir reseptor estrogen dalam prostat terhadap estrogen.

Estrogen yang kuat ini dapat menyebabkan BPH jika sampai

menstimulasi reseptor dalam prostat. Studi demografik menunjukkan

adanya insidensi yang lebih sedikit timbulnya penyakit prostat ini pada

laki-laki Jepang atau Asia yang banyak mengkonsumsi makanan dari

kedelai. Isoflavon kedelai yaitu genistein dan daidzein, secara

langsung mempengaruhi metabolisme testosteron.

Mekanisme pencegahan dengan diet makanan berserat terjadi akibat

dari waktu transit makanan yang dicernakan cukup lama di usus besar

sehingga akan mencegah proses inisiasi atau mutasi materi genetik di

dalam inti sel. Mekanisme yang multifaktor terdapat juga didalam

sayuran dimana di dalamnya dijumpai bahan atau substansi anti

karsinogen seperti karoteniod, selenium dan tocopherol. Diet makanan

berserat atau karoten ini diharapkan mengurangi pengaruh bahan-

bahan dari luar dan akan memberikan lingkungan yang akan menekan

berkembangnya sel- sel abnormal.

g. Aktivitas Seksual

Kalenjar prostat adalah organ yang bertanggung jawab untuk


pembentukan hormon laki-laki. BPH dihubungkan dengan kegiatan

seks berlebihan dan alasan kebersihan. Kelenjar prostat akan

mengalami peningkatan tekanan darah pada saat kegiatan seksual

sebelum terjadi ejakulasi. Kelenjar prostat akan mengalami bengkak

permanen jika suplai darah ke prostat selalu tinggi dan akan terjadi

hambatan prostat. Seks yang tidak bersih akan mengakibatkan infeksi

prostat yang mengakibatkan BPH. Aktivitas seksual yang tinggi juga

berhubungan dengan meningkatnya kadar hormon testosteron

(Rahardjo, 1999).

h. Kebiasaan merokok

Nikotin dan konitin (produk pemecahan nikotin) pada rokok

meningkatkan aktifitas enzim perusak androgen, sehingga

menyebabkan penurunan kadar testosteron (Walsh, 1992).

i. Kebiasaan minum-minuman beralkohol

Konsumsi alkohol akan menghilangkan kandungan zink dan vitamin

B6 yang penting untuk prostat yang sehat. Zink sangat penting untuk

kelenjar prostat. Prostat menggunakan zink 10 kali lipat dibandingkan

dengan organ yang lain. Zink membantu mengurangi kandungan

prolaktin di dalam darah. Prolaktin meningkatkan penukaran hormon

testosteron kepada DHT (Gass, 2002).

j. Olah raga

Para pria yang tetap aktif berolahraga secara teratur, berpeluang lebih

sedikit mengalami gangguan prostat, termasuk BPH. Kadar

dihidrotestosteron dapat diturunkan dengan cara aktif berolahraga


sehingga dapat memperkecil risiko gangguan prostat. Olahraga juga

akan mengontrol berat badan agar otot lunak yang melingkari prostat

tetap stabil. Olahraga yang dianjurkan adalah jenis yang berdampak

ringan dan dapat memperkuat otot sekitar pinggul dan organ seksual

(Yatim, 2004).

Olahraga yang baik apabila dilakukan tiga kali dalam seminggu dalam

waktu 30 menit setiap berolahraga, olahraga yang dilakukan kurang

dari tiga kali dalam seminggu terdapat sedikit sekali perubahan pada

kebugaran fisik tetapi tidak ada tambahan keuntungan yang berarti.

Kadar kolesterol akan turun apabila latihan olah raga dilakukan lebih

dari tiga kali dalam seminggu.

k. Penyakit Diabetes Mellitus

Laki-laki yang mempunyai kadar glukosa dalam darah > 110 mg/dL

mempunyai risiko tiga kali terjadinya BPH, sedangkan untuk laki-laki

dengan penyakit DM mempunyai risiko dua kali terjadinya BPH

dibandingkan dengan laki-laki dengan kondisi normal (Bridge, 2007).

6. Patofisiologi

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra

prostatika dan menghambat aliran urine (Purnomo, 2011). Keadaan ini

menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Buli-buli harus

berkontraksi lebih kuat dalam mengeluarkan urin guna melawan tahanan

itu. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik

buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula,


sakula, dan divertikel buli-buli. Perubahan struktur pada bulu-buli tersebut

dikeluhkan pasien pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary

tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus.

Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-

buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara

ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter

atau terjadi refluks vesiko ureter. Keadaan keadaan ini jIka berlangsung

terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya

dapat jatuh ke dalam gagal ginjal (Purnomo, 2011).

Obstruksi yang diakibatkan oleh hiperplasia prostat benigna tidak

hanya disebabkan oleh adanya massa prostat yang menyumbat uretra

posterior, kondisi ini juga disebabkan oleh tonus otot polos yang pada

stroma prostat, kapsul prostat, dan otot polos pada leher buli-buli. Otot

polos itu dipersarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari nervus

pudendus. Tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada

leher buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal

dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan

detrusor ini disebut fase kompensasi. Kondisi ini menyebabkan detrusor

menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu

lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensio urin yang selanjutnya

dapat menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas

(Baradero, dkk, 2007).


7. Penatalaksanaan.

a. Observasi

Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Pasien dianjurkan

untuk mengurangi minum setelah makan malam yang ditujukan agar tidak

terjadi nokturia, menghindari obat-obat dekongestan (parasimpatolitik),

mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar

tidak terlalu sering BAK. Pasien dianjurkan untuk menghindari

mengangkat barang yang berat agar perdarahan dapat dicegah. Ajurkan

pasien agar sering mengosongkan kandung kemih (jangan menahan BAK

terlalu lama) untuk menghindari distensi kandung kemih dan hipertrofi

kandung kemih. Secara periodik pasien dianjurkan untuk melakukan

kontrol keluhan, pemeriksaan laboratorium, sisa kencing dan pemeriksaan

colok dubur (Purnomo, 2011). Pemeriksaan derajat obstruksi prostat dapat

diperkirakan dengan mengukur residual urin dan pancaran urin:

b. Residual urin.

Adalah jumlah sisa urin setelah BAK. Sisa urin dapat diukur dengan cara

melakukan kateterisasi setelah BAK atau ditentukan dengan pemeriksaan

USG setelah miksi.

c. Pancaran urin (flow rate).

Dapat dihitung dengan cara menghitung jumlah urin dibagi dengan

lamanya BAK berlangsung (ml/detik) atau dengan alat urofometri yang

menyajikan gambaran grafik pancaran urin.

d. Terapi medikamentosa

Tujuan dari obat-obat yang diberikan pada penderita BPH adalah


(Baradero dkk, 2007):

1) Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi

untuk mengurangi tekanan pada uretra

2) Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan

alfa blocker (penghambat alfa adrenergenik)

Mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormone testosterone/

dehidrotestosteron (DHT). Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada

pasien BPH, diantaranya : penghambat adrenergenik alfa, penghambat enzin 5

alfa reduktase, fitofarmaka. menurut Purnomo (2011).

E. Pembedahan.

Adalah tindakan pilihan, keputusan untuk dilakukan pembedahan

didasarkan pada beratnya obstruksi, adanya ISK, retensio urin berulang,

hematuri, tanda penurunan fungsi ginjal, ada batu saluran kemih dan

perubahan fisiologi pada prostat. Waktu penanganan untuk tiap pasien

bervariasi tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Intervensi bedah

yang dapat dilakukan meliputi : pembedahan terbuka dan pembedahan

endourologi (Smeltzer,Bare, 2001).

1. Pembedahan terbuka, beberapa teknik operasi prostatektomi

terbuka yang biasa digunakan adalah :

a. Prostatektomi suprapubik

Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen.

b. Prostatektomi perineal

Adalah suatu tindakan dengan mengangkat kelenjar melalui suatu insisi


dalam perineum.

c. Prostatektomi retropubik

Adalah tindakan lain yang dapat dilakukan, dengan cara insisi abdomen

rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis dan

kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih.

2. Pembedahan endourologi, pembedahan endourologi transurethral dapat

dilakukan dengan memakai tenaga elektrik diantaranya:

a. Transurethral Prostatic Resection (TURP)

Merupakan tindakan operasi yang paling banyak dilakukan, reseksi

kelenjar prostat dilakukan dengan transuretra menggunakan cairan irigan

(pembilas) agar daerah yang akan dioperasi tidak tertutup darah.

b. Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)

Tindakan ini dilakukan apabila volume prostat tidak terlalu besar atau

prostat fibrotic.

3. Terapi invasive minimal

Terapai invasive minimal dilakukan pada pasien dengan resiko tinggi

terhadap tindakan pembedahan. Terapi invasive minimal diantaranya

Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT), Transuretral Ballon

Dilatation (TUBD), ransuretral Needle Ablation/Ablasi jarum Transuretra

(TUNA), Pemasangan stent uretra atau prostatcatt (Purnomo, 2011).

1) Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT), jenis pengobatan

ini hanya dapat dilakukan di beberapa rumah sakit besar. Dilakukan

dengan cara pemanasan prostat menggunakan gelombang mikro yang

disalurkan ke kelenjar prostat melalui transducer yang diletakkan di


uretra pars prostatika, yang diharapkan jaringan prostat menjadi lembek.

Alat yang dipakai antara lain prostat.

2) Transuretral Ballon Dilatation (TUBD), pada tehnik ini dilakukan

dilatasi (pelebaran) saluran kemih yang berada di prostat dengan

menggunakan balon yang dimasukkan melalui kateter. Teknik ini

efektif pada pasien dengan prostat kecil, kurang dari 40 cm3. Meskipun

dapat menghasilkan perbaikan gejala sumbatan, namun efek ini hanya

sementar, sehingga cara ini sekarang jarang digunakan.

3) Transuretral Needle Ablation (TUNA), pada teknik ini memakai energy

dari frekuensi radio yang menimbulkan panas mencapai 100 derajat

selsius, sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Pasien yang

menjalani TUNA sering kali mengeluh hematuri, disuria, dan kadang-

kadang terjadi retensi urine (Purnomo, 2011).

4) Pemasangan stent uretra atau prostatcatth yang dipasang pada uretra

prostatika untuk mengatasi obstruksi karena pembesaran prostat, selain

itu supaya uretra prostatika selalu terbuka, sehingga urin leluasa

melewati lumen uretra prostatika. Pemasangan alat ini ditujukan bagi

pasien yang tidak mungkin menjalani operasi karena resiko

pembedahan yang cukup tinggi.

F. Komplikasi

Komplikasi BPH antara lain (Sjamsuhidajat & De Jong, 2005):

1. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi

dekompensasi

2. Infeksi saluran kemih


3. Involusi kontraksi kandung kemih

4. Refluk kandung kemih

5. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus

berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung

urin yang akan mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.

6. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi

7. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat terbentuk

batu endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi.

Batu tersebut dapat pula menibulkan sistitis, dan bila terjadi refluks dapat

mengakibatkan pielonefritis.
G. Kerangka konsep

Faktor resiko BPH : BPH Tanda BPH : pada pemeriksaan


1. Hormon colllon dubur didapat prostat
tampak membesar
2. Usia
3. Riwayat
keluarga Gejala BPH :
4. DM 1. Obstruktif
5. Alkohol 2. Iritatif
6. Merokok
7. Ras
8. Olah raga
9. Aktifitas sex

Observasi Bedah Therapy


Medika
mentosa

Th/ Invasis
Bedah terbuka Bedah Endro
minimal
(prostatectomi urologi (TURP)
)

Intervensi post TURP Kompliksi post TURP

Bladder irigation Bladder Training Retensi urin Obstruksi Sindrom post


TURP

Gambar 2.2. Kerangka teori


BAB III

KERANGKA PENELITIAN, DEFINISI OPERASIONAL DAN

HIPOTESA PENELITIAN

A. Kerangka penelitian

Variabel Bebas Variabel Terikat

Retensi urin pada


kelompok perlakuan

Bladder Training

Retensi urin pada kelompok kontrol

Bagan 3.1. Kerangka Konsep


B. DEFINISI OPERASIONAL

Tabel 3.2. Definisi Operasional

No. Variabel Definisi Operasional Cara ukur Alat Hasil Ukur Skala
Ukur Ukur
Variabel Independen
1. Bladder Upaya untuk mengembalikan SOP bladder Lembar 1. Dilakukan Ordinal
Training fungsi kandung kemih yang trainingdan observasi BT
mengalami gangguan lembar checklist. hipotensi 2. Tidak
kedalam kondisi normal atau
dilakukaan
neurogenik.
BT
Variabel Dependen
2. Retensi Urin Ketidakmampuan Lembar Lembar 1. Ya Ordinal
dalam mengeluarkan urin observasi observasi 2. Tidak
sesuai dengan keinginan, frekuensi urin kram otot
sehingga urin yang per 24 jam.
terkumpul di buli-buli
melampaui batas maksimal,
apabila volume residu urin
lebih dari 150 ml dalam 24
jam
C. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian merupakan jawaban sementara dari rumusan

masalah penelitian yang kebenarannya akan dibuktikan dalam sebuah

penelitian (Sugiyono, 2011). Hipotesis dalam penelitian ini adalah

Ha : Ada efektivitas bladder training terhadap retensi urin pada pasien post

operasi BPH di Ruang Cempaka RSUD Pasar Rebo

H0 : Tidak ada efektivitas bladder training terhadap retensi urin pada pasien post

operasi BPH di Ruang Cempaka RSUD Pasar Rebo.


BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian ini adalah deskriptif korelatif. Pada hakikatnya

merupakan penelitian atau penelaahan hubungan antara dua variabel pada

suatu situasi atau kelompok subjek.hal ini dilakukan untuk melihat

hubungan antara gejala satu dengan gejala yang laian, atau variabel satu

dengan variabel yang lain (Notoatmodjo, 2010). Desain penelitian yang

akan digunakan pada penelitian ini yaitu deskriptif korelatif dengan

pendekatan Cross Sectional.

B. Populasi dan Sample

Populasi adalah keseluruhan dari unit di dalam pengamatan yang akan

kita lakukan, sedangkan sampel adalah sebagian dari populasi yang

dinilai / karakteristiknya kita ukur dan yang nantinya dipakai untuk

menduga karakteristik dari populasi (Hastono dan Sabri, 2008).

1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah pasien post Op Urologi di ruang

Cempaka RSUD Pasar Rebo.


2. Sample

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang di

teliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2005).

a. Kriteria Inklusi

1) Pasien Laki-laki / Perempuan di ruang Cempaka RSUD Pasar

Rebo.

2) Pasien ruang Cempaka RSUD Pasar Rebo yang bersedia

menjadi responden.

b. Kriteria Eksklusi

1) Pasien yang di rawat di ruang bedah RSUD Pasar Rebo.

2) Pasien RSUD Pasar Rebo yang tidak bersedia menjadi

responden.

Cara pengambilan sample dilakukan dengan cara

memberikan kesempatan kepada setiap individu untuk menjadi

anggota sample.

Untuk menentukan jumlah sampel menggunakan rumus

(Sofiudin dahlan, 2005) :

{ }
2
Zα +Zβ
N= +3
0,5∈ [ ( 1+ r ) / ( 1−r ) ]

Keterangan :

N :Besar sampel

Zα : Deviat baku alpha, kesalahan tipe I: 5%, maka Zα = 1,64

Zβ: Deviat baku beta, kesalaha tipe II: 10%, maka Zβ= 1,28

r : Korelasi dari penelitian sebelumnya 0,561


{ } { }
2 2
1,64+1,28 2,92
N= +3N= +3
0,5∈ [ ( 1+ 0,561 ) / (1−0,561 ) ] 0,5∈ [ ( 1,561 ) /0,439 ]

{ }
2
2,92
N= +3
0,5∈(1,91)

{ }
2
2,92
N= +3
0,261
2
N= { 4,218 } +3

N=17,791+3

N=20,79 atau 21

Jumlah sampel yang akan dilakukan pengambilan data

penelitian sesuai dengan perhitungan diatas yaitu sebanyak

21 responden. Sebagai antisipasi kemungkinan data yang

akan terkumpul dari responden tidak dapat dianalisis atau

tidak lengkap (maka besar sampel di tambah 10% dari besar

sampel minimum sehingga dibutuhkan 23 responden.

C. Tempat dan waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober-November 2018 di ruang

Cempaka RSU D Pasar Rebo Jakarta

D. Alat penelitian dan cara pengumpulan data


1. Alat penelitian

Menurut Wasis (2008). Instrumen adalah alat atau fasilitas yang di

gunakan Peneliti dalam mengumpulkan data baik dengan membuat daftar

pertanyaan atau angket, wawancara, observasi dan pengukuran.

2. Pengumpulan data

Menurut Nursalam (2003). Pengumpulan data adalah suatu proses

pendekatan kepada subjek dan proses pengumpulan karakteristik subjek

yang diperlukan dalam suatu penelitian Adapun metode pengumpulan data

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Peneliti meminta surat pengantar penelitian dari akademi.

b. Peneliti memasukkan surat pengantar penelitian ke bagian pendidikan

dan pelatihan (Diklat) RSUD Pasar Rebo.

c. Setelah mendapatkan persetujuan dari direktur rumah sakit kemudian

surat ditembuskan ke bagian diklat dan ke ruangan dimana dilakukan

penelitian yaitu ruang HCU RSUD Pasar Rebo

d. Peneliti melakukan studi pendahuluan kepada calon responden.

e. Peneliti mengumpulkan data dengan memberikan kuesioner (pre test)

ke responden

f. Peneliti memberikan pendidikan kesehatan tentang perawatan pasien

di HCU selama 30 menit menggunakan media flipshart dan leaflet

g. Setelah satu jam peneliti kemudian menyebar kuesioner kembali (Post

test) kepada responden.

h. Hasil dari kuesioner ditabulasi dan kemudian dianalisa.


E. Teknik Pengolahan dan analisa data

1. Teknik pengolahan data


Pengolahan dan analisa data bertujuan mengubah data menjadi

sebuah informasi. Kegiatan pengolahan data meliputi:

a. Editing

Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memeriksa kembali

semua kuesioner satu per satu. Editing dilakukan dengan maksud untuk

mengecek, apakah setiap kuesioner telah diisi sesuai dengan petunjuk

sebelumnya, kuesioner yang masih belum diisi, atau pengisian yang tidak

sesuai dengan petunjuk dan tidak relevannya jawaban dengan pertanyaan.

Kuesioner yang di isi keluarga dan tidak sesuai dengan petunjuk pengisian

akan dikembalikan untuk di isi kembali sehingga sesuai dengan petunjuk

yang ada.

b. Coding (memberi tanda kode)

Coding adalah memberi tanda kode terhadap pertanyaan maupun

pernyataan yang telah diajukan, hal ini dimaksudkan untuk mempermudah

waktu mengadakan tabulasi dan analisa. Coding dilakukan dengan

memberi tanda pada masing-masing jawaban dengan kode berupa angka.

Kode-kode tersebut selanjutnya dimasukkan dalam tabel kerja untuk

mempermudah pembacaan. Angka 0 pada kode kuesioner berarti sebelum

diberikan perlakuan pendidikan kesehatan sedangkan angka 1 berarti

sudah diberikan perlakuan pendidikan kesehatan. Sedangkan coding untuk

item pertanyaan terkait kecemasan sebagai berikut: Angka 0: tidak ada

gejala, angka 1: ringan (satu gejala), 2 : sedang (2 gejala), 3: berat (lebih

dari 2 gejala), angka 4: sangat berat (semua gejala ada).

c. Entry
Memasukkan data dengan cara manual atau melalui pengolahan

program komputer.

d. Transferring

Memindahkan jawaban atau kode jawaban kedalam media tertentu.

e. Tabulasi

Tabulasi dilakukan dengan cara memasukkan data sesuai dengan alat

pengumpul data yang telah dicoding ke dalam program komputer.

2. Analisis

Terdapat 2 jenis analisa data dalam penelitian ini yaitu:

a. Univariat

Analisa univariat adalah analisa data satu variabel (Putri, 2014).

Variabel yang diukur adalah tingkat kecemasan keluarga pasien dengan

tujuan peneliti dapat mengetahui tingkat kecemasan keluarga pasien

sebelum dilakukan pendidikan kesehatan dan sesudah dilakukan

pendidikan kesehatan. .

b. Bivariat

Analisa bivariat adalah analisa data 2 variabel (Putri, 2014). Setelah

entry data di dalam program komputer Peneliti akan melakukan analisis.

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat komparatif yaitu suatu

penelitian yang dilakukan untuk membandingkan pasien yang dilakukan

Bladder Trainingn dan tidak deng menggunakan 2 sampel yang

berpasangan sehingga uji data yang digunakan adalah uji Wilcoxon

(Wasis, 2008).

Taraf signifikansi yang digunakan dalam penelitian ini adalah α=0,05.


Artinya jika taraf signifikansi kurang dari taraf nyata (0,05) maka terdapat

pengaruh Bladder Training dan tidak dilakukan Bladder Training.

Sebaliknya jika taraf signifkansi sama atau lebih besar dari taraf nyata

maka tidak terdapat pengaruh antara pasien-pasien yang dilakukan

Bladder Training atau tidak di ruang Cempaka RSUD Pasar Rebo.

F. Etika penelitian

Dalam melakukan penelitian, peneliti memperhatikan masalah etika

penelitian. Etika penelitian menurut Hidayat (2007), terdiri dari 4 macam

yaitu:

1. Informed Consent

Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dan

responden, dengan bentuk lembar persetujuan. Lembar persetujuan

diberikan sebelum penelitian kepada responden yang akan diteliti.

Lembar ini dilengkapi dengan judul penelitian dan manfaat penelitian,

sehingga subjek mengerti maksud dan tujuan penelitian. Bila subjek

menolak, maka peneliti tidak boleh memaksa dan harus tetap

menghormati hak-hak subjek.

2. Anonomity

Anonimity digunakan untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak akan

mencantumkan nama responden, tetapi pada lembar tersebut diberikan

kode pengganti nama responden.

3. Confidentiality

Informasi yang telah dikumpulkan dari responden akan dijamin


kerahasiaanya oleh peneliti, dan hanya akan digunakan untuk

pengembangan ilmu.

4. Asas Keadilan (Justice)

Prinsip ini bertujuan untuk menjunjung tinggi keadilan responden

dengan menghargai hak-hak dalam memberikan informasi, dan hak

menjaga privasi responden.


BAB IV

KESIMPUAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang akan dilakukan maka dapat disimpulkan

penelitian ini akan menghubungkan Bladder Training terhadap retensi urin

pada pasien Post Op dengan BPH.

B. Saran

1. Bagi RSUD Pasar Rebo

Diharapkan kepada pihak Rumah Sakit dapat mengevaluasi pentingnya

Bladder Training bagi pasien post Op dengan BPH sehingga tidak terjadi

retensi urine post pemasangan Catheter pasien dengan BPH

2. Bagi Perawat

Diharapkan kepada perawat untuk selalu menginformasikan kondisi

perkembangan kesehatan pasien kepada keluarga sampai keluarga

memahami kondisi/keadaannya.

3. Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini dapat dimasukkan dan digunakan sebagai bahan

pengembangan pengetahuan khususnya pada bidang keilmuan

Keperawatan Medikal Bedah


DAFTAR PUSTAKA

Anita Widiastuti. (2012). Perbedaan Kejadian Inkontinensia Urin pada Pasien


post kateterisasi yang dilakukan Bladder Training setiap hari dengan Bladder
Training sehari sebelum Kateter dibuka di BPK RSU Tidar Magelang.
Ariane, Mc. Kinnon et al. (2011). Predictor of Acute Urinary Retention after
TransUrethral Resection of the Prostate: A Retrospective Chart Audit Society
Of Urology, Nurses and Associety Urology Nursing. Vol 31. H 4
Bayhakki, Krisna Yetti, Mustikasari. (2008). Bladder training modifikasi cara
Kozier pada pasien pasca Bedah Ortopedi Yang Terpasang Kateter Urin. Jurnal
keperawatan Indonesia. Vol 12. No 1 hal 7-13
Beti Kristinawati. (2009). Efektivitas Pelaksanaan Bladder Training Secara Dini
Pada Pasien yang Terpasang Dower Catheter terhadap Kejadian Inkontinensia
Urin di Ruang Umar dan Ruang Khotijah RS Roemani Muhamad Semarang
Birowo P, Rahardjo L. (2000). Karakteristik penderita pembesaran prostat jinak
di RSUPN Dr. Cipto Mangun Kusumo dan RS Sumber Waras Jakarta tahun
1994 – 1997. Vol 50 (2) - 81-5
Bridge Sophie Bain.(2006). Obesity and Diabetes Increase Risk For BPH:
Presented at AUA. Atlanta, GA. URL: http://www.docguide.com. Diakses 10
maret 2007
Brunner and Suddarth, (1998). Manual of Nursing Practice, edidi 4. Jakarta: EGC
Dadi Santosa. (2015). Efektivitas Kombinasi Bladder Training dan Muscle
Pelvic Exercise terhadap Fungsi Eliminasi berkemih pada Pasien Benign
Prostate
Hyperplasia Pasca operasi Trans Vesical Prostatectomy
Fitri Mulyana. (2013). Penerapan Pre Operating Teaching pada klien dengan
masalah bedah Benign Prostate Hyperplasia Trans Urethral of the Prostate
(TURP) di Ruang Anggrek Tengah Kanan (Bedah Kelas 1) Rumah Sakit Umum
Pusat Persahabatan
Friska Hinora. (2014). Pengaruh Bladder Training Terhadap Kemampuan
Berkemih pada Pasien Pria dengan Retensi Urin. Buletin Sari putra .vol 1 (1)
Gass R. (2002). BPH: The opposite effect of alchohol and coffee intake . BJU
Internasional. 90. 649-654
Guess. (1995). Epidemiology and Natural History Of Benign Prostatic
Hyperplasia Urological Clinic of America. volume 22, No 2
Hasmita Maya. (2011). Efektivitas Bladder Training Sitz Bath terhadap Fungsi
eliminasi Berkemih spontan pada ibu post partum spontan di RSUP H. Adam
Malik - RSUP dr Pringadi Medan dan RS Jejaring. diakses dari
http://repository.usu.ac.id/handle//23456789/27637
Kirby, Roger. S, Christmas, Timothy.(1997). Benign Prostatic Hyperplasia
second Edition. Mosby international
Mark. J. Speakman. (2009). Management of Acute and Chronic Retention in Men.
European Urology Supplement’s. vol 8 .523-529
Montorsi F, Naspro R, Salonia A, Suardi N, Briganti A, Zanoni M, Valenti S, et
al. (2004). Holmium Laser Enucleation versus transurethral Resection of
Prostate : result from a 2-cancer, prospective, randomized trial in patients with
obstructive benign prostatic hyperplasia, J Urol. 172:1926-9
Nanda. (2012). Nursing Diagnosis Definition & Classification 2012-2014 Oxford.
Wiley – Black Well
Narbuko, C. 2007. Metodologi penelitian . Jakarta: Bumi Aksara
Notoadmodjo, S. (2005). Metodologi Penelitian kesehatan. Jakarta: PT Rineka
Cipta
Nursalam. (2003). Konsep dan penerapan metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Parsons, J.K. (2010). Benign Prostatic Hyperplasia and Male Lower Urinary
Tract Symptoms: Epidemiology & Risk factors Springer journal Curr Badder
Dysfunct Rep. 5. 212-218
Potter & Perry.(2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan Edisi 4 vol 2.
Jakarta: EGC
Purnomo B, Basuki. (2011).Dasar dasar Urologi. Edisi ketiga. Jakarta: CV
Sagung Seto
Rahardjo D. (1999). Prostat : Kelainan – Kelainan jinak, diagnosis dan
penanganan. 1stned. Jakarta: Asian Medical
Rizki Amalia. (2007). Faktor-faktor Resiko Terjadinya pembesaran Prostat Jinak
Roehborn, Calus G, McConnell, John D. (2002). Etiology, pathophysiology, and
Natural History of Benign Prostatic Hyperplasia In: Campbell’s Urology 8th
ed. W.B. Saunders.. P. 1297 - 1330
Sigit Ariyoso. (2012). Asuhan Keperawatan post operasi BPH pada Tn Y di ruang
Matahari RSI PKU Muhammadiyah Pekajang Pekalongan
Sjamsuhidajat, R & De Jong W. (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
Smeltzer, S.C, & Bare , B.G. (2003). Brunner & Suddarth’s Text Book of
Medical
Surgical Nursing (10th Ed) Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
Sopiyudin Dahlan, M.(2010). Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan edisi
5.
Jakarta
Sri Wulandari. (2012). Pengaruh Latihan Bladder Training terhadap Penurunan
Inkontinensia pada Lanjut Usia di Panti Wreda Dharma Bakti Surakarta
Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfa Beta
Suharyanto, Abdul, Madjid. (2009). Asuhan Keperawatan Pada Klien
Dengan
Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Trans Info Media
Sulli Nova. (2011). Retensi Urin. Diakses dari http://www.scribd.co/novasulli
Tri Subyati.(2010). Hubungan frekuensi seksual terhadap kejadian BPH di RSUD
kabupaten Kebumen. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan .vol 6 .no.2
Wahyu Widayati.(2011). The Influence of the Bladder Training Initiation on
Residual Urine in The Stroke Patient with Urine catheter . Nurse Media Journal
of Nursing 1,2 Juli 2011. 255-264
Walsh, Patrick C. (1992). Benign Prostatic Hyperplasia. In: Campbell’s Urology.
6th ed. W.B. Saunder. P. 1009 – 1025
Wartonah Tarwoto. (2006). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan
edisi 3. Jakarta: Salemba Medika

Wilson M. (1997). Care of The Patient Undergoing Transurethral Resection of


the Prostate, Journal of Perianesthesia Nursing. 12(5).341-351
Wyman JF, Fantl JA,McClish DK, et al. (1999). Bladder Training Plus Pelvic
Muscle Exercises Reduce Urinary Incontinence in Woman Immediately after
Treatment.
Yatim F. (1999). Pengobatan Terhadap Penyakit Usia Senja , Andropause dan
Kelainan Ginjal. Jakarta : Asian Medika

Anda mungkin juga menyukai